LANDASAN TEORI
1. Tokoh
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh cerita adalah orang (-orang)
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan
Menurut Thobroni (2008: 66) tokoh dan penokohan merupakan dua buah unsur cerita
yang penting. Selain tokoh dan penokohan, di dalam ilmu sastra juga ada istilah-istilah serupa
yaitu watak dan perwatakan, serta karakter dan karakterisasi. Tokoh merujuk kepada orang,
Menurut Aminuddin (1995: 79) peristiwa dalam karya sastra fiksi seperti halnya
peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku
tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu
Menurut Khairil (2010) tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Dengan melihat
definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa tokoh dalam cerita memiliki variasi fungsi atau
peran mulai dari peran utama, penting, agak penting, sampai sekedar penggembira saja.
Perbedaan peran inilah yang menjadikan tokoh mendapat predikat sebagai tokoh utama
(sentral), tokoh protagonis, antagonis, peran pembantu utama (tokoh andalan), tokoh tidak
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah orang atau
pelaku yang ditampilkan dalam sebuah cerita atau karya sastra yang memiliki peranan yang
sangat penting. Karena tanpa adanya tokoh dalam suatu cerita bisa dikatakan cerita tersebut
Dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan setiap tokoh tidak sama. Ada
tokoh yang dapat digolongkan sebagai tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh yang dapat
digolongkan sebagai tokoh tambahan. Menurut Stanton (dalam Sugihastuti, 2003: 16) bahwa
hampir setiap cerita memiliki tokoh sentral yaitu tokoh yang berhubungan dengan setiap
Biasanya tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam
perubahan sikap dalam diri tokoh dan perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap
tokoh tersebut. Jelasnya tokoh utama atau tokoh sentral suatu fiksi dapat ditentukan paling
tidak dengan tiga cara. Pertama, tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan makna
atau tema. Kedua, tokoh itu yang yang paling terlibat dengan makna atau tema. Ketiga, tokoh
itu yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan (Sayuti, 2000: 74).
Menurut Nurgiyantoro (2007: 176-178) tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat
a. Berdasarkan peranannya dalam suatu cerita, maka tokoh cerita dibagi menjadi dua, yaitu
tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh
b. Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh
protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut
hero. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan pembaca,
konflik.
c. Berdasarkan perwatakan, tokoh dibagi menjadi dua, yaitu tokoh sederhana (simple atau
flat character) dan tokoh bulat (compleks character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang
hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat tertentu saja. Sedangkan tokoh
bulat atau tokoh kompleks adalah tokoh yang memiliki kompleksitas yang diungkap dari
Tokoh-tokoh cerita sebagaimana dikemukakan tersebut, tidak akan begitu saja secara
serta merta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan sarana yang memungkinkan
kehadirannya. Sebagai bagian dari karya fiksi yang bersifat menyeluruh dan padu, dan
mempunyai tujuan artistik, kehadiran dan penghadiran tokoh-tokoh cerita haruslah juga
dipertimbangkan dan tidak lepas dari tujuan tersebut. Masalah penokohan dalam sebuah
karya sastra tak semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan
perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan
penghadiran secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya
yang bersangkutan.
2. Penokohan
sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan
bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan
gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyarankan pada teknik
perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro,
2007: 166).
Cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan. Boulton
melalui Aminuddin (1995: 79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau
memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam. Mungkin pengarang menampilkan tokoh
sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan
penggambaran yang jelas tentang diri seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita,
dengan kata lain penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara menampilkan tokoh.
Menurut Sudjiman melalui Sugihastuti (2003: 18), pengkajian watak tokoh dan
penciptaan citra tokoh disebut penokohan. Pengkajian tersebut dapat berupa pemberian nama
yang menyiratkan arti, uraian pengarang secara ekspilisit mengenai tokoh, maupun
atau menampilkan tokoh dalam sebuah cerita. Penokohan menunjuk kepada penempatan
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam karya fiksi dibedakan ke dalam dua
cara, yaitu pelukisan secara langsung dan pelukisan secara tidak langsung. Pelukisan secara
langsung atau disebut juga dengan teknik analisis adalah pelukisan tokoh cerita yang
dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Pelukisan
tokoh secara tidak langsung adalah pengarang mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan
B. Konflik Psikologis
Konflik (conflict) adalah kejadian yang tergolong penting merupakan unsur yang
esensial dalam pengembangan plot. Pengembangan plot sebuah karya naratif akan
dipengaruhi untuk tidak ditentukan oleh wujud dan isi konflik, bangunan konflik yang
cerita yang dihasilkan. Misalnya peristiwa-peristiwa manusiawi yang seru dan sensasional,
yang berkaitan satu sama lain dan menyebabkan munculnya konflik-konflik yang kompleks
biasanya cenderung disenangi oleh pembaca. Bahkan sebenarnya, yang dihadapi dan menyita
perhatian pembaca sewaktu membaca suatu karya naratif adalah terutama peristiwa-peristiwa
Menurut Sayuti (2000: 42) konflik dalam cerita biasanya dibedakan menjadi tiga
jenis. Pertama, konflik dalam diri seseorang (tokoh). Konflik jenis ini sering disebut
psychological conflict ‘konflik kejiwaan’, yang biasanya berupa perjuangan seorang tokoh
dalam melawan dirinya sendiri. Kedua, konflik antara orang-orang atau sesorang dalam
masyarkat. Konflik jenis ini sering disebut dengan social conflict ‘konflik sosial’, yang
manusia dan alam. Konflik jenis ini sering disebut sebagai physical or element conflict ‘.
kejiwaan) adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seorang tokoh (atau tokoh-tokoh)
cerita. Jadi merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri dan lebih
merupakan permasalahan intern seorang manusia. Misalnya, hal itu terjadi karena adanya
pertentangan antara dua keinginan, keyakinan pilihan yang berbeda, harapan-harapan atau
Menurut Moeliono (Peny.) (2007: 587), konflik adalah percekcokan, perselisihan atau
pertentangan. Konflik dalam sastra adalah ketegangan atau pertentangan di dalam cerita
rekaan atau drama (pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh,
pertentangan antara dua tokoh, dsb). Konflik batin atau psikologis adalah konflik yang
disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang saling bertentangan
Menurut Dirgagunarsa (1986: 98) situasi konflik psikologis adalah situasi di mana
seseorang merasa bimbang atau bingung karena harus memilih antara dua atau beberapa
motif yang muncul pada saat bersamaan. Kebimbangan itu ditandai pula dengan adanya
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Dirgagunarsa, Walgito (2010: 261) juga
menghadapi keadaan adanya bermacam-macam motif yang timbul secara bebarengan, dan
motif-motif itu tidak dapat dikompromikan satu dengan yang lain, melainkan individu harus
mengambil pemilihan dan bermacam-macam motif tersebut. Keadaan ini dapat menimbulkan
Jadi dapat disimpulkan bahwa konflik adalah pertentangan atau pertikaian yang
terjadi pada diri sendiri atau terjadi antarkelompok. Sedangkan konflik dalam sastra adalah
pertikaian atau perselisihan yang terjadi dalam sebuah cerita. Adanya konflik sangat
mempengaruhi cerita karena dengan adanya konflik cerita menjadi lebih hidup.
Konflik psikologis adalah konflik yang terjadi pada jiwa manusia, hal itu terjadi
karena adanya pertentangan antara dua keyakinan. Jika dalam sebuah cerita konflik
psikologis terjadi pada jiwa tokoh-tokohnya dalam cerita. Konflik psikologis terjadi bila ada
dua tujuan yang ingin dicapai sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Konflik terjadi akibat
perbedaan yang tidak dapat diatasi antara kebutuhan individu dan kemampuan potensial.
Menurut pendapat Lewin, Hooland dan Sears (dalam Walgito, 2010: 155-156)
bahwa konflik mempunyai empat bentuk. Tiga bentuk konflik pertama dikemukakan oleh
Lewin, kemudian yang keempat dikemukakan oleh Hooland Sears. Bentuk-bentuk konflik itu
individu menghadapi dua motif atau lebih yang kesemuanya mempunyai nilai positif
individu menghadapi objek yang mengandung nilai yang positif, tetapi juga mengandung
nilai yang negatif. Hal ini dapat menimbulkan konflik pada individu yang bersangkutan.
individu menghadapi dua atau lebih motif yang kesemuanya mempunyai nilai negatif bagi
individu yang bersangkutan. Individu tidak boleh menolak semuanya, tetapi harus memilih
4. Konflik terjadi jika individu menghadapi situasi yang mengandung baik nilai-nilai positif
maupun nilai-nilai negatif. Keadaan ini dapat menimbulkan respons positif (penerimaan)
psikologis, jika merujuk pada struktur dan dinamika kepribadian yang dibangun Sigmund
Frued, maka munculnya konflik batin ini adalah akibat pertentangan dari unsur-unsur
kepribadian, Id, Ego, dan Superego. Id berisi dorongan-dorongan instinktif, ego berisi
pikiran-pikiran rasional manusia yang sesuai dengan realitas yang dihadapi, dan superego
berisi sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat di mana individu berada. Sepanjang
hidup manusia selalu mengalami konflik dari unsur-unsur kepribadian tersebut. Konflik yang
sering terjadi adalah pertentangan antara id dan superego. Ego sebagai penengahnya, oleh
karena itu, seseorang yang memiliki ego lemah diasumsikan akan seringkali mengalami
Menurut Rohmansyah (2010), konflik psikologis ini dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal adalah faktor yang
berasal dari dalam individu itu sendiri. Sedangkan faktor situasional adalah faktor yang
Menurut Dirgagunarsa (1986: 99) konflik dapat dikenali karena beberapa ciri yang
1. Terjadi pada setiap orang dengan reaksi-reaksi yang berbeda untuk rangsang yang sama.
2. Konflik terjadi bilamana motif-motif mempunyai nilai yang seimbang atau kira-kira sama,
4. Konflik dapat berlangsung dalam waktu yang singkat, mungkin beberapa detik, tetapi bisa
D. Kepribadian Manusia
1. Pengertian Kepribadian
disebabkan oleh adanya perbeadaan dalam penyusunan teori, penelitian, dan pengukurannya.
Kiranya patut diakui bahwa di antara para ahli psikologi belum ada kesepakatan tentang arti
dan definisi kepribadian itu. Boleh dikatakan, jumlah arti dan definisi kepribadian adalah
personality sendiri berasal dari bahasa Latin persona yang berarti topeng yang digunakan
oleh para aktor dalam suatu permainan atau pertunjukkan. Di sini para aktor
menyembunyikan kepribadiannya yang asli, dan menampilkan dirinya sesuai dengan topeng
kepribadian digunakan untuk untuk menggambarkan: (1) identitas diri, jati diri seseorang,
seperti: “Saya seorang yang terbuka” atau “Saya seorang pendiam,” (2) kesan umum
seseorang tentang diri sendiri atau orang lain, seperti “Dia agresif” atau “Dia jujur”, dan (3)
fungsi-fungsi kepribadian yang sehat atau bermasalah, seperti: “Dia baik” atau “Dia
pendiam”.
beberapa pengertian dari para ahli (Yusuf dan JuntikaNurihsan, 2007: 3-4):
a) Hall & Lindzey mengemukakan bahwa secara populer, kepribadian dapat diartikan
sebagai keterampilan atau kecakapan sosial (social skill), dan kesan yang paling menonjol,
yang ditunjukkan sesorang terhadap orang lain (seperti sesorang yang dikesankan sebagai
individu”.
c) Dashiell mengartikan sebagai “gambaran total tentang tingkah laku individu yang
terorganisasi”.
d) Derlega, Winstead & Jones mengartikan sebagai “Sistem yang relatif stabil mengenai
karakteristik individu yang bersifat internal, yang berkontribusi terhadap pikiran, perasaan
Pengertian kepribadian menurut disiplin ilmu psikologi bisa diambil dari rumusan
kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-
pengalaman hidupnya. Teoris yang lain, Gordon Allport, merumuskan kepribadian sebagai
“sesuatu” yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi arah kepada
seluruh tingkah laku individu yang bersangkutan atau bisa diartikan bahwa setiap individu
bertingkah laku dalam caranya sendiri karena setiap individu memiliki kepribadiannya
sendiri. Tidak ada dua orang yang berkepribadian sama. Sementara itu Sigmund Freud
memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem, yakni id, ego,
dan soperego. Tingkah laku, menurut Freud, tidak lain merupakan hasil dari konflik dan
2. Struktur kepribadian
Freud membagi struktur kepribadian ke dalam tiga komponen, yaitu id, ego dan
superego. Perilaku seseorang merupakan hasil interaksi antara ketiga komponen tersebut
1) Id
memenuhi kepuasan instink) dan rahim tempat ego dan superego berkembang. Id berorientasi
pada prinsip kesenangan (pleasure principle) atau prinsip reduksi ketegangan. Id merupakan
sumber energi psikis, maksudnya, bahwa id itu merupakan sumber dari instink kehidupan
(eros) atau dorongan-dorongan biologis (makan, minum, tidur, bersetubuh dan lain
sebagainya). Prinsip kesenangan merujuk kepada pencapaian kepuasan yang segera dari
dorongan-dorongan biologis tersebut. Id merupakan proses primer yang bersifat primitif,
2) Ego
Ego merupakan eksekutif atau manajer dari kepribadian yang membuat keputusan
(decision maker) tentang instink-instink mana yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya
atau sebagai sistem kepribadian yang terorganisasi, rasional dan berorientasi kepada prinsip
realitas. Peranan utama ego adalah sebagai moderator (perantara) atau yang menjembatani
antara id (keinginan yang kuat untuk mencapai kepuasan yang segera) dengan kondisi
lingkungan atau dunia luar yang diharapkan. Ego dibimbing oleh prinsip realitas yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok
Seperti halnya id, ego pun mempunyai keinginan untuk memaksimalkan pencapaian
kepuasan, hanya dalam prosesnya, ego berdasarkan kepada proses sekunder, yaitu berpikir
realistis yang bersifat rasional, dan berorientasi kepada pemecahan masalah. Ke dalam proses
sekunder ini termasuk pula fungsi-fungsi persepsi, belajar, memori, dan yang sepertinya.
Melalui proses sekunder ini pula, ego merumuskan suatu rencana untuk memuaskan
Hal yang harus diperhatikan dari ego ini adalah bahwa (1) ego merupakan bagian dari
mengecewakannya, (2) seluruh energi (daya) ego berasal dari id, sehingga ego tidak
terpisahkan dari id, (3) peran utamanya menengahi kebutuhan id dan kebutuhan lingkungan
sekitar, dan (4) ego bertujuan untuk mempertahankan kehidupan individu dan
pengembangbiakannya.
3) Superego
Superego merupakan komponen moral kepribadian yang terkait dengan standar atau
norma masyarakat mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Melalui pengalaman hidup,
terutama pada usia anak, individu telah menerima latihan atau informasi tentang tingkah laku
yang baik dan yang buruk. Individu mampu menerima norma-norma sosial atau prinsip-
prinsip moral tertentu, kemudian menuntut individu yang bersangkutan untuk hidup sesuai
seksual dan agresif, karena dalam perwujudannya sangat dikutuk oleh masyarakat, (2)
3. Tipe-tipe Kepribadian
Tipe pribadi menurut Galenus (dalam Yusuf dan JuntikaNurihsan, 2008: 26) adalah
sebagai berikut.
a) Tipe Sanguins, tipe ini mempunyai sifat dasar, periang, optimistis, dan percaya diri. Sifat
perasaannya adalah mudah menyesuaikan diri, tidak stabil, baik hati, tidak serius, kurang
b) Tipe Melankolis, sifat dasarnya adalah pemurung, sedih, pesimistis, kurang percaya diri.
Sifat lainnya adalah, merasa tertekan dengan masa lalunya, sulit menyesuaikan diri,
c) Tipe Koleris, sifat dasarnya adalah selalu merasa kurang puas, bereaksi negatif dan
provokasi, tidak mau mengalah, tidak sabaran, tidak toleran, dan banyak inisiatif (usaha).
d) Tipe Plegmatis, sifat dasarnya adalah pendiam, tenang, netral, dan stabil. Sifat lainnya
merasa cukup puas, tidak peduli, dingin hati, bersifat hemat, sangat hemat dan tertib/
teratur.
reaksi terhadap suatu persoalan. Di sini dapat dikemukakan ilustrasi tentang bagaimana
apabila mereka sedang berjalan di jalan yang kecil dan di tengah-tengah jalan itu ada batu
besar yang menghalanginya. Bagi yang Sanguins, dia akan meloncati batu itu, yang koleris
menendangnya dengan penuh amarah, yang Plegmatis mencari jalan memutar untuk
menghindari batu, sedangkan yang Melankolis, dia akan duduk di atas batu itu sambil
menangis.
4. Mengatasi Konflik
Freud berasumsi bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari rentetan konflik
internal yang terus menerus. Konflik antara id, ego dan superego adalah hal yang biasa
(rutin), karena id menginginkan kepuasan dengan segera, sementara ego menundanya sampai
ada kecocokan dengan dunia luar, dan superego sering sekali menghalanginya. Contoh: id
menghalanginya, karena perbuatan itu kurang baik. Akhirnya dalam diri mengalami konflik.
Konflik sering terjadi secara tidak disadari. Walaupun tidak disadari, konflik tersebut
dapat melahirkan kecemasan. Kecemasan ini dapat dilacak dari kekhawatiran ego akan
dorongan id yang tidak dapat dikontrol, sehingga melahirkan suasana yang mencekam atau
Menurut Alwisol (2009: 65) ada tiga macam hubungan interpersonal, yakni
mengatasi tingkah laku, konflik dan kecemasan hanya dapat dilakukan melalui perbaikan
melawan perasaan tak berdaya. Orang yang merasa selalu kalah atau mudah kalah menjadi
Bergerak melawan orang lain, orang yang agresif memandang orang lain sebagai
musuh, dan memakai strategi untuk melawan orang lain untuk meredakan kecemasan.
Sedangkan bergerak menjauh orang lain, untuk mengatasi konflik dasar, orang justru
memisahkan diri. Strategi ini adalah ekspresi kebutuhan keleluasaan pribadi (privacy),
kemandirian, dan kecukupan diri sendiri. Kebutuhan semacam itu bisa menimbulkan tingkah
E. Psikologi Sastra
Sastra adalah sastra. Begitu batasan yang paling sulit dibantah. Artinya selain sastra
adalah bukan sastra. Namun dilain pihak, kita juga boleh menyatakan sastra adalah ungkapan
jiwa. Sastra itu wakil jiwa lewat bahasa. Lewat simbol sastra itu ada. Simbol yang mewadahi
Menurut Wellek dan Warren (1995: 90) istilah “Psikologi sastra” mempunyai empat
kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau
sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-
hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak
Ratna (2004: 61) berpendapat bahwa pendekatan psikologi sastra pada dasarnya
berhubungan dengan tiga gejala uatama yaitu, pengarang, karya sastra, dan pembaca dengan
pertimbangan bahwa pendekatan psikologi lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan
karya sastra.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra
merupakan kajian terhadap tokoh-tokoh yang ada dalam sastra meliputi: (1) kajian terhadap
pengarang sebagai pencipta karya sastra, (2) kajian terhadap proses penciptaan sastra, (3)
kajian terhadap hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra, dan (4) kajian
Dengan demikian, karya sastra dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi.
Sastra dan psikologi terlalu dekat hubungannya. Meskipun sastrawan jarang berpikir secara
psikologis, namun karyanya tetap bisa bernuansa kejiwaan. Hal ini dapat diterima karena
antara sastra dan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan
fungsional.
Tidak langsung artinya hubungan itu ada karena baik sastra maupun psikologi,
kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama, yakni kejiwaan manusia. Pengarang dan
psikolog adalah sama-sama manusia biasa. Mereka mampu menangkap keadaan kejiwaan
manusia secara mendalam. Hasil penangkapan itu setelah mengalami proses pengolahan
Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna
untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Hanya perbedaannya gejala kejiwaan
yang ada dalam karya sastra adalah gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner,
sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil. Namun keduanya saling melengkapi
dan saling mengisi untuk pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia,
karena terdapat kemungkinan apa yang ditangkap oleh sang pengarang tak mampu diamati
Secara definitif tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang
terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikologi
sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang berkaitan
dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Sebagai
dunia dalam kata karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan ke dalamnya,
khususnya manusia. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi
sastra, sebab dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh aspek kejiwaan dicangkokkan
dan diinvestasikan.
peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat
dianalisis konflik batin, yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologis. Dalam
hubungan inilah peneliti harus menemukan gejala yang tersembunyi atau sengaja
dianggap relevan. Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur
tokoh dan penokohan, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara psikologis
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa novel mempunyai dunia otonom
sebuah cerita. Psikologi merupakan disiplin ilmu sendiri yang memiliki otonom dan berdiri
sendiri. Objek psikologi adalah manusia riil, sedangkan objek dalam novel adalah manusia
rekaan pengarang. Namun diantara keduanya terdapat titik temu. Psikologi memiliki teori-
teori yang dapat dimanfaatkan untuk membantu mengkaji karakter tokoh-tokoh dalam novel.
Dalam disiplin ilmu yang sebenarnya, psikologi digunakan untuk mengamati perilaku
manusia nyata. Dalam hubungannya dengan novel, psikologi dimanfaatkan untuk mengamati
perilaku tokoh-tokoh rekaan pengarang. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
keberadaan psikologi sangat membantu dalam mengkaji karakter para tokoh dalam sebuah
karya sastra.