Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA Tugas

FAKULTAS KEDOKTERAN Sabtu, 10 Oktober 2020

UNIVERSITAS ALKAIRAAT

PALU

GLAUKOMA SEKUNDER

Disusun oleh :

Nama: Wulan Permatasari

Stambuk: 14 17 777 14 266

Pembimbing: dr. Tiara M.V.S. Hamid, M.Biomed

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

PALU

2020

1
GLAUKOMA SEKUNDER

A. Definisi
Glaukoma berasal dari kata Yunani ”Glaukos” yang berarti hijau kebiruan
yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma
merupakan penyebab kebutaan pertama yang irreversibel (Ilyas, 2004). Glaukoma
adalah suatu keadaan pada mata yang ditandai dengan kenaikan tekanan intraokuli,
penurunan visus, penyempitan lapang pandang, dan atropi nervus optikus.5,6
Glaukoma merupakan kumpulan beberapa penyakit dengan tanda utama
tekanan intraokuler yang tinggi dengan segala akibatnya yaitu, penggaungan dan
atrofi papil saraf optik serta defek lapang pandang yang khas. Di dalam bola mata
(intraokular) terdapat cairan bola mata atau humor akuos yang setiap saat mengalir
dari tempat pembuatannya sampai berakhir disaluran keluar. Bila dalam
pengalirannya mengalami hambatan, maka akan terjadi peningkatan tekanan bola
mata sehingga menganggu saraf penglihatan dan terjadi kerusakan lapang pandang
mulai ringan sampai berat sesuai tinggi dan lamanya tekanan tersebut mengenai
saraf mata. 7

B. Epidemiologi
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia setelah
katarak. Penyakit mata ini biasanya terjadi pada usia 40 tahun ke atas. Etnis Afrika
dibandingkan etnis kaukasus pada glaukoma sudut terbuka primer adalah 4:1.
Glaukoma berpigmen terutama pada etnis Kaukasus. Pada orang Asia lebih sering
dijumpai glaukoma sudut tertutup 3.

C. Faktor Risiko
Faktor risiko glaukoma meliputi hipermetropi (glaukoma sudut tertutup),
miopi (glaukoma sudut terbuka), usia > 45 tahun, keturunan (riwayat glaukoma
dalam keluarga), dan ras (Asia lebih berisiko). Faktor risiko lainnya adalah
migrain, hipertensi, hipotensi, diabetes melitus, peredaran darah dan regulasinya
(darah yang kurang akan menambah kerusakan), fenomena autoimun, degenerasi
primer sel ganglion, dan pascabedah dengan hifema / infeksi.4

2
Hal yang memperberat resiko glaukoma 5:
• Tekanan bola mata, makin tinggi makin berat
• Makin tua makin berat, makin bertambah resiko
• Resiko kulit hitam 7 kali dibanding kulit putih
• Hipertensi, risiko 6 kali lebih sering
• Kerja las, risiko 4 kali lebih sering
• Miopia, risiko 2 kali lebih sering
• Diabetes melitus, risiko 2 kali lebih sering.

D. Etiopatogenesis
Penyebab glaukoma tidak diketahui secara pasti, bisa juga karena
trauma/benturan, atau karena penyakit mata lain seperti katarak yang sudah pecah
(katarak hipermatur), uveitis dan pengaruh obat-obatan.
Tiga faktor sehingga terjadinya peningkatan tekanan intraokuler yang
akhirnya menyebabkan terjadinya glaukoma adalah :
1. Produksi berlebih humor akuous pada corpus siliaris
2. Adanya resistensi dan aliran akuous pada sistem trabekular maupun kanal
Schlemm.
3. Peningkatan tekanan vena episklera.
Bilik anterior dan bilik posterior mata terisi oleh cairan encer yang disebut
humor aqueus. Dalam keadaan normal, cairan ini dihasilkan di dalam bilik
posterior, melewati pupil masuk ke dalam bilik anterior lalu mengalir dari mata
melalui suatu saluran. Jika aliran cairan ini terganggu (biasanya karena
penyumbatan yang menghalangi keluarnya cairan dari bilik anterior), maka akan
terjadi peningkatan tekanan sehingga merusak serabut saraf mata. Perlu diketahui,
saraf mata berfungsi meneruskan bayangan yang dilihat ke otak. Di otak, bayangan
tersebut akan bergabung di pusat penglihatan dan membentuk suatu benda (vision).
Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong perbatasan antara saraf optikus
dan retina di bagian belakang mata. Akibatnya pasokan darah ke saraf optikus
berkurang sehingga sel-sel sarafnya mati. Karena saraf optikus mengalami
kemunduran, maka akan terbentuk bintik buta pada lapang pandang mata atau
menimbulkan skotoma (kehilangan lapangan pandang). Bila seluruh serabut saraf
rusak dan tidak diobati, glaukoma pada akhirnya akan menimbulkan kebutaan
total.Yang pertama terkena adalah lapang pandang tepi, lalu diikuti oleh lapang
3
pandang sentral. Pada penderita glaukoma, yang terjadi adalah kerusakan serabut
saraf mata sehingga menyebabkan blind spot.6
Faktor-faktor penyebab penggaungan dan degenerasi papil saraf optik 7:
1. Gangguan pendarahan pada papil yang disebabkan oleh peninggian tekanan
intraokuler.
2. Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik yang
merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata.
3. Penggaungan papil yang tidak simetris antara mata kanan dan mata kiri.

Gambar 2.2. Kerusakan Saraf Optikus pada Glaukoma


E. Klasifikasi
Klasifikasi Vaughan untuk glaukoma adalah sebagai berikut 6:
1. Glaukoma primer
a. Glaukoma sudut terbuka (simpleks)
Penyebab glaukoma ini belum pasti , mula timbulnya gejala simpleks ini
agak lambat yang kadang tidak disadari oleh penderita sampai akhirnya
berlanjut dengan kebutaan. Umumnya ditemukan pada pasien usia lebih dari
40 tahun. Gambaran patologik utama pada glaukoma sudut terbuka adalah
proses degeneratif di jalinan trabekular, termasuk pengendapan bahan
ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan endotel kanalis Schelmm.
Hal ini berbeda dari proses penuaan normal. Akibatnya adalah penurunan
drainase cairan aquos yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular.

b. Glaukoma sudut tertutup, terdiri atas :


 Akut

4
Glaukoma sudut tertutup akut primer terjadi apabila terbentuk iris bombe
yang menyebabkan sumbatan sudut bilik mata depan (BMD) oleh iris
perifer. Hal ini menyumbat aliran cairan aquos dan tekanan intraokular
meningkat dengan cepat. Glaukoma sudut tertutup terjadi pada mata yang
sudah mengalami penyempitan anatomik BMD.
 Sub akut
Pada glaukoma sudut tertutup sub akut episode peningkatan TIO
berlangsung singkat dan rekuren. Episode penutupan sudut membaik
secara spontan, tetapi terjadi akumulasi kerusakan pada sudut BMD
berupa pembentukan sinekia anterior perifer.
 Kronik
Sejumlah kecil pasien dengan predisposisi penutupan BMD tidak pernah
mengalami episode peningkatan akut TIO tetapi mengalami sinekia
anterior perifer yang semakin meluas disertai peningkatan bertahap dari
TIO.

2. Glaukoma kongenital : primer atau infantile dan disertai kelainan kongenital


lainnya.
3. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi akibat penyakit
mata yang lain atau penyakit sistemik yang menyertainya, seperti :
a. Akibat perubahan lensa (dislokasi lensa, intumesensi lensa, glaukoma fakolitik
dan fakotoksik pada katarak, glaukoma kapsularis / sindrom eksfoliasi).
b. Akibat perubahan uvea (uveitis anterior, tumor, rubeosis iridis)
c. Akibat trauma (hifema, kontusio bulbi, robeknya kornea atau limbus yang
disertai prolaps iris)
d. Akibat post operasi (pertumbuhan epitel konjungtiva, gagalnya pembentukan
bilik mata depan post-operasi katarak, blok pupil post operasi katarak).
e. Akibat pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal dalam jangka waktu
yang lama.

4. Glaukoma absolut

5
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma (sempit/terbuka)
dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan
gangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma absolute terlihat kornea keruh, bilik
mata dangkal, papil atrofi dengan ekskavasi glaukomatosa, mata keras seperti
batu dengan rasa sakit.

Gambar 2.3. Klasifikasi Glaukoma


F. Patofisiologi Glaukoma Sekunder

Patofisiologi peningkatan tekanan intraokular baik disebabkan oleh

mekanisme sudut terbuka atau sudut tertutup pada glaukoma sekunder, sesuai dengan

bentuk kelainan klinis yang menjadi penyebabnya. Efek peningkatan tekanan

intraokuler didalam mata dipengaruhi oleh perjalanan waktu dan besar peningkatan

intraokuler.8

Kerusakan saraf optik berupa penggaungan dan degenerasi papil saraf optik

diduga disebabkan oleh :

1. Gangguan pendarahan pada papil yang menyebabkan degenerasi berkas

serabut saraf pada pupil saraf optik.

6
2. Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik.

3. Ekskavasio papil saraf optik

Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah atropi sel

ganglion difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam

retina dan berkurangnya akson disaraf optikus. Diskus optikus menjadi atropik,

disertai pembesaran cekungan optikus, iris dan korpus siliaris juga. 5

G. Glaukoma sekunder akibat perubahan lensa

Kelainan ini dapat berupa mekanik yaitu lensanya dan kimiawi yaitu fokolitik

atau fokotoksik. Dislokasi lensa dapat berupa subluksasi ke depan atau ke belakang.

Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa., antara lain. 5,6

• Glaukoma pada subluksasi ke depan :

Subluksasi lensa ke depan dapat menyebabkan glaukoma karena terjadinya

hambatan pupil sehingga aliran aqueous dari bilik mata belakang ke bilik mata

depansehingga menyebabkan penutupan sudut bilik mata depan dan mata depan.

Subluksasi ini juga dapat mendorong iris ke depan sehingga menyebabkan

penutupan sudut bilik mata depan dan perlengketan di sudut tersebut yang kedua-

duanya dapat menyebabkan glaucoma.

• Glaukoma pada subluksasi ke belakang :

Pada subluksasi ke belakang dapat terjadi rangsangan yang menahun pada badan

siliar akibat tarikan-tarikan zonula Zin atau geseran lensa pada badan

siliar.Rangsangan ini menyebabkan produksi aqueous yang berlebihan yang

dapat menimbulkan glaukoma.

• Glaukoma pada luksasi ke depan :

7
Pada luksais ke depan lensa terletak langsung dalam bilik mata depan dan ini

menutup jalur keluar aqueous sehingga terjadi glaukoma.

• Glaukoma pada luksasi ke belakang :

Dalam keadaan ini lensa terletak langsung dalam bilik mata depan dan ini

menutup jalur keluar aqueous sehingga terjadi glaukoma.

Kelainan kimiawi dapat terjadi pada katarak hipermatur dimana protein lensa

dan makrofag menutup sudut bilik mata depan, hal ini disebut glaukoma fakolitik.

Protein lensa yang terlepas dari kapsulnya dapat menyebabkan iridosiklitis, hai ini

disebut glaukoma fakotoksik.

Pengobatan

• Dapat diberikan obat-obat anti glaukoma

• Bila tidak berhasil dapat dilakukan iridektomi perifer

• Operasi pengeluaran lensa merupakan cara untuk menghilangkan penyebab

utamanya dan hal ini merupakan pengobatan yag paling berhasil

H. Glaukoma sekunder akibat uveitis anterior

Badan siliaris berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor akuos)

yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Adanya peradangan diiris dan

badan siliaris, maka timbul hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar,

pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder.

Di sudut KOA, cairan melalui trabekulum masuk ke dalam kanal Schlemn

untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih

seimbang, maka tekanan mata masih dalam batas-batas normal 15-20 mmHg. Jika

8
banyak sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut KOA, sehingga aliran

cairan KOA keluar terhambat dan menimbulkan glaukoma sekunder.9

Elemen-elemen radang mengandung fibrin, yang menempel pada pupil, dapat

juga mengalami jaringan organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada lensa.

Perlekatan ini disebut sinekhia posterior. Bila seluruh pinggir iris melekat pada lensa,

disebut seklusio pupil, sehingga cairan dari KOP, tidak dapat melalui pupil untuk

masuk ke KOA, iris terdorong kedepan, menyebabkan sudut KOA sempit dan

timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada lensa, menyebabkan

pupil bentuknya tak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang dan fibrin, yang

kemudian mengalami jaringan organisasi dan terbentuklah oklusi pupil sehingga akan

menghambat aliran humor akuos dan dapat menyebabkan glaukoma sekunder.

Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan glaukoma sekunder yang dapat terjadi pada

stadium dini dan juga stadium lanjut. Pada stadium dini terjadi peradangan uvea

anterior, timbul hiperemi yang menimbulkan bertambahnya produk humor akuos,

juga ikut keluarnya sel-sel radang dengan fibrinnya akibat gangguan permeabilitas

dari pembuluh darah dan menyebabkan meningginya tekanan intraokuler. Pada

stadium lanjut adanya seklusio pupil, oklusi pupil, sinekhia perifer dapat

menimbulkan iris bombe yang menyebabkan sudut iridokornealis sempit dan

menimbulkan gangguan aliran keluar dari humor akuos sehingga tekanan intraokuler

meningkat yang pada akhirnya dapat menyebabkan glaukoma sekunder.

Glaukoma sekunder akibat uveitis anterior itu sendiri dikelompokkan menjadi

glaukoma sekunder sudut terbuka dan glaukoma sekunder sudut tertutup.8

1. Glaukoma sekunder sudut terbuka akibat uveitis anterior

9
Gambar 2. Glaukoma sekunder sudut terbuka akibat uveitis anterior

Pada tahap awal glaukoma sekunder akibat uveitis anterior, banyak berhubungan

dengan glaukoma sudut terbuka seperti yang terlihat pada gambar. Hambatan aliran

humor akuos berhubungan dengan menumpuknya sel-sel inflamasi dan serat fibrin

ditrabekulum (T). Pada tahap lanjut, sinekhia perifer (P) dapat muncul dan sudut

iridokornealis akan terbuka kurang dari 50% jika sudut tertutup oleh sinekhia perifer.

Terapi pada glaukoma sudut terbuka ini lebih banyak dengan medikamentosa.

Pada tahap yang lebih lanjut dari penyakit ini, pada banyak kasus, dapat terjadi

glaukoma sudut tertutup sebagai efek sekunder dari sinekhia perifer atau efek

sekunder blok pupil dari produk hasil inflamasi dipupil. Ini dapat juga karena pada

awalnya terjadi sebagai serangan berulang ringan dari uveitis yang tidak terdeteksi

yang menyebabkan sinekhia perifer dan menjadi glaukoma sudut tertutup kronik

2. Glukoma sekunder sudut tertutup akibat uveitis anterior

10
Gambar 3. Glaukoma sekunder sudut tertutup akibat uveitis anterior

Gambar menunjukkan keadaan sudut tertutup (A) dengan presentase lebih dari

50%. Pada uveitis tahap lanjut ini glaukoma sudut tertutup dapat berasal dari sinekhia

perifer atau efek sekunder blok pupil dari produk inflamasi yang ada dipupil (P).

Anatomi dari sudut iridokornealis tidak dapat dilihat dengan jelas pada pemeriksaan

gonioskopi disebabkan adanya sinekhia perifer dari iris dan adanya iris bombe

sehingga iris terdorong kedepan oleh cairan humor akuos pada kamera okuli posterior

sehingga menutupi sudut iridokornealis tersebut. Jika sudut sudah terbuka maka kita

dapat mengontrol glaukoma sekunder dan uveitis sehingga dapat menurunkan tekanan

intraokular, pengontrolan ini sulit dilakukan jika kondisi sudah berlangsung dalam

jangka waktu yang cukup lama dan telah ada jaringan fibrotik permanen pada

trabekulum, pada keadaan ini glaukoma sekunder yang terjadi dapat berlangsung

permanen selamanya. Pada kasus yang lain, setelah periode panjang pada uveitis yang

tidak diterapi atau dikontrol, sudut perlahan-lahan akan tertutup oleh sinekhia perifer,

pada keadaan ini, tentu saja glaukoma juga dapat berlangsung permanen pula.10

11
I. Glaukoma sekunder akibat trauma

Pada cedera mata dapt terjadi pendarahan ke dalam bilik mata depan (hifema)

ataupun hal lain yang menutupi cairan mata keluar sehingga tekana intraokuler

biasanya meningkat karena tersumbatnya aliran tersebut sehingga terjadi glaukoma

sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi pad atrauma tumpul mata yang

merusak sudut (resesi sudut).Selain itu limbusa atau kornea yang robek juga bisa

menyebabakan glaukoma sekunder.

J. Glaukoma sekunder akibat operasi

Glaukoma sekunder juga sering terjadi pasca pembedahan mata, hal ini sering

disebabkan oleh pertumbuhan epitel di COA setelah insisi kornea atau sklera sehingga

menutup COA yang dapat menimbulkan glaukoma. Selain itu gagalnya pertumbuhan

COA posca operasi karena adanya kebocoran pada luka operasi juga bisa

menimbulkan terjadinya glaukoma.

L. Glaukoma sekunder akibat tumor intra okuler

Pada retinoblastoma mempunyai gejala mata merah, mata merah ini sering

berhubungan dengan glaukoma sekunder yang terjadi akibat retinoblastoma. Apabila

sudah terjadi glaukoma maka dapat diprediksi sudah terjadi invasi ke nervus optikus.

Selain glaukoma, penyebab mata merah ini dapat pula akibat gejala inflamasi okuler

atau periokuler yang tampak sebagai selulitis preseptal atau endoftalmitis. Inflamasi

ini disebabkan oleh adanya tumor yang nekrosis. 8

Pada retinoblastoma didapatkan tiga stadium, yaitu : 9


1. Stadium tenang
Pupil lebar, di pupil tampak refleks kuning yang disebut “amaurotic cat’s
eye”. Hal inilah yang menarik perhatian orang tuanya untuk kemudian

12
berobat. Pada funduskopi, tampak bercak yang berwarna kuning mengkilat
dapat menonjol ke dalam badan kaca. Di permukaannya ada neovaskularisasi
dan perdarahan, dapat disertai dengan ablation retina.

2. Stadium glaukoma
Tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan intraokuler meningkat
(glaukoma sekunder) yang disertai rasa sakit yang sangat. Media refrakta
keruh, pada funduskopi sukar menentukan besarnya tumor.

3. Stadium ekstraokuler
Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar menyebabkan
eksoftalmus kemudian dapat pecah ke depan sampai ke luar dari rongga
orbita disertai nekrosis di atasnya. Pertumbuhan dapat pula terjadi ke
belakang sepanjang N. II dan masuk ke ruang tengkorak. Penyebaran ke
kelenjar getah bening, dapat masuk ke pembuluh darah untuk kemudian
menyebar ke seluruh tubuh.

K. Glaukoma sekunder akibat penggunaan steroid jangka panjang

Penggunaan steroid dalam jangka waktu lama diketahui dapat meningkatkan

terjadinya glaukoma, Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk menggunakan steroid

dalam jangka waktu lama pada pengobatan mata

M. Penatalaksanaan

1. Midriatika

Penggunaan midriatika pada pupil untuk mencegah blok pupil dan untuk

melepaskan sinekhia yang ada..

2. Topikal kortikosteroid

13
Bentuk kedua dari terapi adalah penggunaan topikal kortikosteroid.

Penggunaan ini juga mempunyai resiko karena dapat meningkatkan tekanan

intraokuler pada 20%-30% individu. Jika hal ini terjadi dapat diganti

dengan fluoromethylone atau steroid yang mirip yang mempunyai resiko

lebih rendah menaikkan tekanan intraokuler tapi efek anti inflamasinya

kuat.

3. Injeksi steroid subkonjungtiva

Pada pasien yang tidak berespon pada midriatika dan topikal kortikosteroid

dapat digunakan injeksi steroid subkonjungtiva.

4. Steroid sistemik dengan terus memonitor uvea anterior

Pada pasien yang tetap tidak berespon adekuat terhadap antiinflamasi

topikal steroid digunakan steroid sistemik. Luntz memilih menggunakan

prednisolone oral dengan dosis awal 120 mg sehari dan memonitor reaksi

uvea anterior. Dimaksudkan jika dengan dosis 120 mg per hari dan sekresi

dari uvea anterior menurun, maka dosis akan diturunkan perlahan-lahan,

dengan tetap memperhatikan reaksi uvea anterior (untuk menaikkan dan

menurunkan dosis).

5. Cytotoxic

Pada pasien dengan glaukoma sekunder yang menjadi uveitis kronis dimana

pengobatan dengan midriatika dan steroid tidak membaik, penggunaan

cytotoxic misalnya cylosporin atau methotrexate dapat memberikan hasil

yang baik dengan terkontrolnya glaukoma dan proses peradangan pada uvea

anterior .

6. Hipotensif agen

a. Simpatomimetik

14
- Mengurangi produksi humor akuos

- Epinefrin 0,5 – 2 %, 2 dd 1 tetes sehari

b. Beta – blocker

- Menghambat produksi humor akuos

- Timolol maleat 0,25 – 0,05 %, 1 – 2 dd 1 tetes sehari

c. Carbonic anhidrase inhibitor

- Menghambat produksi humor akuos

- Asetolamide 250 mg, 4 dd 1 tablet

15
7. Trabekuloplasti laser
Trabekuloplasti laser melibatkan penempatan serangkaian
pembakarn laser (lebar 50 mikrometer) pada jalinan trabekula, untuk
memperbaiki aliran keluar akueous. Pada awalnya terapi ini efektif,
namun tekanan intraokular secara perlahan kembali meningkat. Di
Inggris, terdapat peningkatan kecenderungan untuk melakukan
pembedahan drainase dini. 10,11

8. Pembedahan

16
Menurut Luntz jika tekanan berkisar antara 35-40 mmHg
dengan nervus optikus normal, maka diikuti 1-2 bulan untuk
memantau keadaan papil nervus optikus, lapang pandang,
peningkatan rasio cupdisc, jika semua ini masih dalam batas normal
sementara uveitis masih aktif dan ophtalmologis yakin masih ada
kemungkinan terapi berhasil maka terapi medikamentosa dapat
diteruskan. Tetapi jika papil nervus optikus sudah menunjukkan
tanda-tanda kerusakan dan defek lapang pandang sudah sangat
spesifik glaukoma, maka harus segera dioperasi. Jika sudah terjadi
sinekhia anterior perifer dan kerusakan sudut iridokornealis sudah
muncul, diperlukan trabekulektomi, seklusio pupil dapat diatasi
dengan iridektomi perifer (dengan laser). Iridektomi perifer dan
pembebasan pupil juga perlu dilakukan jika terjadi sinekhia posterior
yang ektensif antara iris dan lensa. dilakukan secara dini sebagai
terapi glaukoma. 10

Pathway Trabeculotomy

Komplikasi pembedahan antara lain:


17
 Penyempitan bilik anterior pada masa pascaoperasi dini yang
beresiko merusak lensa dan kornea.
 Infeksi intraokular
 Kemungkinan percepatan perkembangan katarak
 Kegagalan mengurangi tekanan intraokular yang adekuat.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa beberapa pengobatan topikal,
terutama obat simpatomimetik, dapat meningkatkan pembentukkan
parut konjungtiva dan menurunkan kemungkinan keberhasilan
pembedahan bila saluran drainase yang baru mengalami parut dan
menjadi nonfungsional. Pada pasien yang sangat rentan terhadap
pembentukkan parut, obat antimetabolik (5-fluorourasil dan
mitomisin) dapat digunakan pada saat pembedahan untuk mencegah
fibrosis.

L. Komplikasi
Jika pengobatan terlambat akan cepat berlanjut pada tahap akhir glukoma
yaitu gloukoma absolut.

M. Prognosis
Diagnosis yang lebih awal dan penanganan  dini pada glaukoma dapat
memberikan hasil yang memuaskan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam et al. Glaucoma. Last update July 2005. Available from:


http://www.urac.org/adams/glaucoma.html
2. Anonyma. Glaucoma : Introduction to Glaucoma & Medical Management of
Glaucoma. Section 10. USA. American Academy of Ophtalmology. 2002.
3. Anonyma. Drug Treatment for Glaucoma. Last update July 2005. Available from:
http:// www.agingeye.com/glaukoma/drug.html
4. Friedman, NJ. Review of Ophthalmology : Pharmacology. 1st Edition.
Philadelphia. Elsevier Saunders. 2003.
5. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2007.
6. Ilyas, S. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
2008.
7. Kanski, JJ. Clinical Ophthalmology : A Systematic Approach. 5th Edition. USA.
McGraw-Hill. 2003.
8. Vaughan, GD. & Riordan-Eva, P. Glaukoma dalam Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Alih Bahasa : Jan Tambajong & Brahm U. Pendit. Jakarta. Widya Medika. 2001.
9. Wijana, N., 1993 Ilmu Penyakit Mata, cetakan 6, halaman 135-137 & 219-225, Abadi
Tegal, Jakarta.
10. Gordon, S., 2004 Mechanism of Secondary Glaukoma from uveitis,
http/www.thehighligts.com.
11. James,Bruce dkk. 2005. Lecture Notes : Oftalmologi. Jakarta : Erlangga

19

Anda mungkin juga menyukai