Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

TONSILITIS

Pembimbing:
Dr. Arroyan Wardhana Sp. THT-KL

disusun Oleh:

WIDIA SATYA SURYA

1102012305

KEPANITERAAN KLINIK THT RSUD KABUPATEN BEKASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang atas karunia-Nya
karena saya dapat menyusun laporan kasus Tonsilitis ini sesuai tugas yang diberikan.
Laporan kasus ini saya susun sebagai prasyarat ujian kepaniteraan klinik THT RSUD
Kabupaten Bekasi. Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah untuk
mempermudah proses belajar kami dalam memahami definisi, gejala, komplikasi
serta terapi dari tonsilitis.
Saya menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu saya mohon dengan sangat kritik dan saran yang membangun dari
pembaca, agar proses pembelajaran bagi kami selama kepaniteraan THT dapat
dimengerti dengan baik serta berguna untuk kami dimasa depan kelak.
Akhir kata, kami menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dokter spesialis THT RSUD Kabupaten Bekasi yang telah membimbing
dengan segala kekurangan yang kami punyai serta teman-teman koass yang telah
membantu memberi masukan dalam penulisan referat ini. Semoga Tuhan yang Maha
Pengasih dan Penyayang melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Amin

Pekanbaru, 02 Juni 2020

2
BAB 1

LAPORAN KASUS

I. STATUS PASIEN
IdentitasPasien
Nama : Nn. S
Usia : 20 Tahun 4Bulan
Alamat : Cibuntu, Wanasari. Cibitung
JenisKelamin : Perempuan
Status Marital : Belummenikah
Pekerjaan : BelumBekerja
TanggalPemriksaan : 02 Juni 2020

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autonamnesis dengan pasien pada tanggal 02 Juni
2020
Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan nyeri menelan sejak 5 hari yang lalu
Keluhan Tambahan:
Demam, batuk dan pilek sejak 3 hari yang lalu.

RiwayatPenyakitSekarang
Pasien datang bersama dengan ibu pasien ke poli THT RSUD Kabupaten
Bekasi dengan keluhan utama nyeri pada saat menelan sejak 5 hari yang lalu. Pasien
mengatakan keluhan selalu timbul setelah pasien memakan gorengan dan minuman
dingin. Nyeri menelan yang dirasakan timbul sepanjang hari. Pasien juga mengeluh ada
demam, batuk dan pilek sejak 3 hari yang lalu. Tetapi setelah minum obat penurun
panas, demam dirasakan berkurang. Terkadang pasien juga merasa telinga kiri agak
budeg, atau terasa tertutup. Selain itu, pasien juga mengeluh suaranya hilang timbul dan
3
sering tersedak saat makan makanan padat. Keluhan dirasakan hilang timbul dalam
beberapa tahun terakhir. Dalam setahun pasien mengalami keluhan yang sama kurang
lebih 5 kali, kekambuhan terakhir sekitar 4 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki keluhan yang sama pertama kali sejak duduk dibangku SMP (7
Tahun lalu)
Riwayat batuk pilek (+)
Riwayat asma (-)
Riwayat alergi makanan dan obat (-)
Riwayat pengobatan paru (-) dan penyakit jantung (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu pasien menderita Asma (+)

Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya pernah berobat keklinik dan RS tipe C, diberi rujukan untuk
segera dilakukan tindakan di RSUD Kabupaten Bekasi .

PEMERIKSAAN FISIK
KeadaanUmum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
 Tekanandarah :120/80 mmHg
 Nadi : 80 x / menit
 Respirasi : 20 x / menit
 Suhu : 36.70C
Kepala : Normocephal, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor,
RCL/RCTL (+/+), konjungtivitis (-)
Leher : Trakea ditengah, tidak teraba massa, tidak teraba pembesaran KGB

4
(-)
Thorax
 Pulmo : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Jantung : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)
 Neurologis : Tidak dilakukan pemeriksaan

III. STATUS LOKALIS


A. Telinga
Bagian Kelainan Auris
Dextra Sinistra
 Kelainankongenital - -
 Radang tumor - -
Preaurikula
 Trauma - -
 Nyeritekan - -
 Kelainankongenital - -
 Radang tumor - -
Aurikula
 Trauma - -
 Nyeri Tarik - -
 Edema - -
 Hiperemis - -
 NyeriTekan - -
Retroaurikula
 Sikatrik - -
 Fistula - -

 Fluktuasi - -
CanalisAkustikusEksternu  KelainanKongenita - -
s l - -
 Kulit - -
 Sekret - -

 Serumen - -
- -
5
 Edema
 JaringanGranulasi - -
 Hifa - -
 Massa - -
 Kolestetoma
 Warna  Transparan  Transparan
 Intak  Utuh  Utuh
 Cahaya  Terlihatcon  Terlihatcon
Membran Timpani
e of e of
lightarah lightarah
jam 5.00 jam 7.00

Tes Pendengaran :
Pemeriksaan Auris
Dextra Sinistra
TesBisik - -
TesRinne Rinne (+) Rinne (+)
TesSchwabach Normal Normal
Tes Webber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Kesan : Tes Pendengaran normal

B. Hidung
Nasal
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
 Bentuk
Keadaan
DBN
Luar
 Ukuran
Rhinoskop  Mukosa  Hiperemis (-)  Hiperemis (-)
i Anterior  Sekret  Tidak Ada  Tidak Ada
 Krusta  Tidak ada  Tidak ada
 Concha  Hiperemis(-),  Hiperemis(+),
Inferior hipertrofi (-) hipertrofi (+)
 Septum  Tidak ada septum  Tidak ada septum
deviasi deviasi

6
 Polip/Tumor  Tidak ditemukan  Tidak ditemukan
massa massa
 Pasase Udara

Rhinoskop  Mukosa
i Posterior  Koana
 Sekret
 Torus
DBN DBN
tubarius
 Fossa
Rossenmuller
 Adenoid

Transluminasi : Tidak Dilakukan

Tidak dilakukan pemeriksaan

C. Mulut dan Orofaring


Bagian Kelainan Keteramgan
Mulut  Mukosa mulut  Tidak hiperemis
 Lidah  Hiperemis (-), laserasi (-)

7
 Palatum Mole  Normal, tidak ada kelainan

 Gigi Geligi

 Ditengah, tidak membesar


 Uvula
 Tidak terdapat halitosis
 Halitosis

Tonsil  Mukosa  Hiperemis +/+


 Besar  T2-T2
 Kripta  Sedikit melebar
 Detritus  Tidak terdapat detritus
 Perlengketan  Tidak ada

 Mukosa Hiperemis (-)


Faring  Granulasi Tidak ada
 Post Nasal Drip Tidak ada
Laring  Epiglotis Hiperemis (-), Udem(-), Massa (-)
 Kartilago
Aritenoid
 Plica
Ariepiglotika
 Plica Vestibularis
8
 Plica Vokalis
 Rima Glotis
 Trakea

D. Maxillofacial
Bagian Keterangan
Maxillofacial
 Bentuk
Simetris, massa (-)
 Parese N. Cranialis

E. Leher
Bagian Keterangan
Leher  Bentuk normal, trakea berada
 Bentuk di tengah
 Massa  Massa (-), pembesaran KGB
(-)

IV. RESUME
Anamnesis :
Pasien perempuan usia 20 tahun datang dengan keluhan nyeri menelan sejak 5
hari sebelum masuk Rumah Sakit, didapatkan tonsil hiperemis, dan membesar.
Keluhan pasien dirasakan hilang timbul dalam beberapa tahun terakhir dan sudah
mengeluhkan gejala yang sama sekitar 4 – 5 kali dalam setahun. Terdapat
keluhan batuk (+), pilek (+), demam hilang timbul (+). Tenggorokan terasa
kering (+), Nafas tidak segar (+)
Pemeriksaanfisik
KeadaanUmum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 120/80 mmHg, Nadi : 80 x / menit, Respirasi: 20 x / menit, Suhu : 36.70C

9
Status Lokalis
Hidung :
Chonca Nasalis Inferior sinistra : Hiperemis (+) Hipertrofi(+)
Tonsil :Hiperemis +/+, T2-T2

V. DIAGNOSIS KERJA
 Tonsilitis Kronik ec viral

VI. DIAGNOSIS BANDING


 Tonsilitis kronik ec bacteria
VII. USULAN PEMERIKSAAN
 Pemeriksaan darah lengkap

VIII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- Cefixime 2 x 100 mg/ hari
- Ibuprofen 2x 400mg /hari
- Betadine gargle

Non Medikamentosa
o Usulan rencana pembedahan
 Dilakukan tonsilektomi

o Edukasi
o Kurangi konsumsi makanan yang mengandung MSG dan minuman yang
dingin
o Makanmakananbergizisepertibuah-buahan
o Memperbaiki hygine mulut
o Istirahat secukupnya

10
o Menhgindari makanan atau minuman yang dapat memicu timbulnya
keluhan nyeri menelan

IX. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tonsil adalah massa yang terdiri atas jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya. Tonsil merupakan bagian dari Cincin Waldeyer. Cincin
Waldeyer tersusun atas tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring atau Gerlach’s

11
tonsil), tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), dan tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah). Tonsil (faucial atau palatina) berjumlah sepasang dan berbentuk oval,
terletak di dinding lateral orofaring, di fossa tonsilaris, di antara plika palatoglossus dan
plika palatofaringeus. Struktur histologi tonsil berhubungan erat dengan fungsinya sebagai
organ imunologis. 1
Tonsilitis adalah peradangan dari tonsil palatina yang merupakan merupakan masalah
umum yang terjadi pada anak maupun dewasa. Peradangan pada tonsil dapat disebabkan
oleh bakteri atau virus, termasuk strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza,
virus Epstein-Barr, enterovirus, dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab tersering
pada tonsilitis adalah bakteri grup A Streptococus beta hemolitik (GABHS), 30% dari
tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan juga merupakan penyebab radang tenggorokan.
Penyebaran tersebut bisa melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Tonsilitis
dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak – anak. Dalam beberapa kasus
ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan tonsillitis
kronis.2

2.1 ANATOMI
2.1.1 Anatomi Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal
(adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran
yang disebut cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi
melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi
fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun,
dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. Tonsil palatina yang biasanya disebut
tonsil saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah
intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya
melekat pada dasar lidah.1

12
Gambar Cincin Waldeyer

13
Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga
mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan
dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus. Kapsul ini
tidak melekat erat pada otot pharynx, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen
sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata.4
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi
membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. 1,4
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah:
1.Anterior : arcus palatoglossus
2.Posterior : arcus palatopharyngeus
3.Superior : palatum mole
4.Inferior : 1/3 posterior lidah
5.Medial : ruang orofaring
6.Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. konstrictor faryngis superior oleh jaringan areolar
longgar. A. karotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsil.

Gambar Struktur pada Orofaring.


2.1.2 Vaskularisasi
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan
arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina
desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri
faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri
lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua
daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh
arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui
pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringea.4

Gambar arteri yang memperdarahi tonsil palatina


2.1.3 Inervasi Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerves(sphenopalatina ganglion CN V).
2.1.4 Imunologi
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil
adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di
pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen,
interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang
immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area
ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel
ilmfoid.1,5
2.2 TONSILITIS

2.2.1 Definisi

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial),
tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding
faring atau Gerlach’s tonsil).1

2.2.2 Epidemiologi

Tonsilitis akut dapat terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering pada
anak usia di bawah 9 tahun. Pada bayi di bawah usia 3 tahun dengan tonsilitis akut,
15% dari kasus yang ditemukan disebabkan oleh bakteri streptokokus, sisanya itu
biasanya virus. Pada anak-anak yang lebih tua, sampai dengan 50% dari kasus
disebabkan streptococus pyogenes. Tonsilitis akut juga dapat terjadi pada laki-laki
dan perempuan dengan jumlah insiden yang sama rata. 4,5

2.2.3 Etiologi dan Klasifikasi


Berdasarkan lama perjalanan penyakit dan penyebabnya, tonsilitis dibagi menjadi8:
1. Tonsilitis Akut (Tonsilitis Viral dan Bakterial)
a) Pada tonsilitis akut akibat infeksi virus, gejala yang timbul menyerupai common cold
dan disertai nyeri tenggorok.
b) Infeksi bakteri yang ditandai dengan nyeri menelan, pembengkakan dan kemerahan
pada tonsil, tonsil eksudat dan limfadenopati servikal dan demam tinggi yang
timbulnya (onset) cepat, atau berlangsung dalam waktu pendek (tidak lama), dalam
kurun waktu jam, hari hingga minggu.
c) Lebih disebabkan oleh kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, atau disebut
juga Streptococcus pneumoniae, Streptococcus viridian, Streptococcus pyogenes.
Patogen lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis adalah group C beta-hemolytic
streptococcus, Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphtheria, Chlamydia
pneumoniae, and Mycoplasma pneumoniae.
d) Penyebab infeksi virus antara lain oleh virus Epstein Barr (tersering), Haemofilus
influenzae (tonsilitis akut supuratif), dan virus coxschakie (luka-luka kecil pada
palatum disertai tonsil yang sangat nyeri).
2. Tonsilitis Akut Rekuren
Tonsilitis akut yang berulang beberapa kali dalam setahun.
3. Tonsilitis Kronik
a) Tonsilitis kronik berlangsung dalam jangka waktu yang lama (bulan atau tahun) dan
dikenal sebagai penyakit menahun.
b) Tonsilitis kronik timbul akibat rangsangan kronis dari rokok, kebersihan mulut yang
buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, beberapa jenis makanan, dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat.
c) Bakteri penyebab tonsilitis kronik sama halnya dengan tonsilitis akut, namun
kadang-kadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif.
d) Saat pemeriksaan dapat ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata,
kripte membesar, dan terisi detritus.
e) Beberapa literatur sudah tidak menggunakan istilah tonsilitis kronik, digantikan
dengan tonsilitis akut rekuren, yaitu adanya episode berulang dari tonsilitis akut yang
diselingi dengan interval tanpa atau dengan adanya keluhan yang tidak signifikan.
Tonsilitis diklasifikasikan jenisnya sebagai1:
1. Tonsilitis virus
2. Tonsilitis Bakterial
a) Tonsilitis folikularis : tonsilitis akut dengan detritus.
b) Tonsiltis lakunaris : bercak-bercak detrits menjadi satu, membentuk alur-alur.
3. Tonsilitis membranosa
Tonsilitis difteri
Tonsilitis septik
c) Angina Plaut Vincent
4. Tonsilitis kronik

Gambar tonsilitis akut folikularis dhingra

Tonsilitis diklasifikasikan menurut onsetnya 8:


1. Tonsilitis akut
a) Tonsilitis akut catarrhal/superfisial: tonsilitis pada enfeksi virus
b) Tonsilitis akut folikular : infeksi pada kripta sehingga terbentuk eksudat purulen
berwarna kekuningan berbentuk titik-titik
c) Tonsilitis akut parenkimatous: parenkim tonsil terinfeksi sehingga tonsil membesar
dan memerah.
d) Tonsilitis akut membrannosa: tahap lebih lanjut dari tonsilitis akut folikular ketika
eksudat pada kripta menyatu membentuk membran pada permukaan tonsil
2. Tonsilitis kronik
a) Tonsilitis kronik folikular
b) Tonsilitis kronik parenkimatous
c) Tonsilitis kronik fibroid : tonsil terinfeksi namun tetap kecil dengan riwayat nyeri
tenggorokan berulang.

Gambar tonsilitis parenkimatous. Kedua tonsil menyentuh satu sama lain menyebabkan masalah
pada pernafasan dan bicara

2.2.4 Patofisiologi
Patogenesis infeksi dan inflamasi pada tonsil dan adenoid dipengaruhi oleh
lokasi tonsil yang letaknya di orofaring, nasofaring dan dasar lidah membentuk suatu
cincin pertahanan imunitas (Waldeyer’s ring). Organ ini akan memproses antigen
virus, bakteri dan mikroorganisme lain, sehingga mudah terkena infeksi dan pada
akhirnya dapat menjadi fokus infeksi. Infeksi virus yang diikuti infeksi bakteri
sekunder mungkin merupakan salah satu mekanisme dari infeksi akut menjadi
infeksi kronis, tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan (lingkungan
padat seperti militer, sekolah, dan keluarga), pejamu, alergi dan penggunaan
antibiotik yang luas serta status gizi.
Saat bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil
berperan sebagai filter. Bakteri atau virus menginfeksi lapisan epitel tonsil. Kripte
tonsil berfungsi untuk meningkatkan luas permukaan dan secara efektif menjebak
material asing, baik yang tertelan maupun yang terhirup. Proses peradangan dan
infeksi pada tonsil memicu pengeluaran leukosit polimorfonuklear yang akan
membentuk detritus yang merupakan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang
terlepas. Dari gambaran klinis, detritus akan mengisi kripte tonsil dan nampak
sebagai bercak kekuningan. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi
terhadap infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-kadang tonsil sudah kelelahan
menahan infeksi atau virus yang berulang. Pada kasus infeksi yang berulang, lapisan
epitel mukosa dan jaringan limfoid tonsil menjadi terkikis. Proses penyembuhan
jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga
ruang antara kelompok kripte melebar yang akan diisi oleh detritus. Proses ini
meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan
sekitar fossa tonsilaris. Saat pemeriksaan ditemukan tonsil membesar dengan
permukaan tidak rata, kripte membesar dan terisi detritus.2,6 ,8

2.2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis sangat berperan dalam penegakan diagnosis tonsilitis.


Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang tepat
untuk dapat mendiagnosis tonsilitis dengan benar dan menentukan tata laksana
selanjutnya. Keluhan berupa nyeri tenggorokan yang semakin parah jika penderita
menelan, nyeri seringkali dirasakan di telinga (referred pain). Nyeri telinga ini
diakibatkan oleh nyeri alih melalui saraf nervus glosofaringeus. Keluhan juga dapat
disertai demam dengan suhu tubuh yang tinggi, tidak enak badan, lesu, sakit kepala,
muntah, nyeri perut, dan nyeri sendi. Sedangkan keluhan yang sering ditemui pada
pembesaran adenoid ialah kesulitan bernafas menggunakan hidung. Apabila terdapat
pembesaran tonsil dan adenoid, keluhan yang timbul ialah gangguan bernafas saat
tidur. 8
Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan suhu tubuh, antara 38,3-40°C
(sensitivitas 37%, spesifisitas 66%); pembengkakan tonsil disertai eksudat dan
hiperemis (sensitivitas 31%, spesifisitas 81%), pembengkakan kelenjar
submandibula, kelenjar anterior servikal, disertai adanya nyeri tekan (sensitifitas
34%, spesifisitas 82%), inflamasi pada daerah faring dan atau eksudat. Tonsilitis
dapat mengakibatkan kekambuhan sakit tenggorokan dan keluar nanah pada lekukan
tonsil. 8

2.2.6 Diagnosis
Penetapan diagnosis klinik tonsilitis dalam praktik sangat beragam. Diagnosis
tonsilitis dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinik atau laboratorium atau tes
tertentu. Pemeriksaan klinis tonsil dilakukan dengan bantuan spatula lidah dengan
menilai warna, besar, pelebaran muara kripte, ada tidaknya detritus, nyeri tekan, dan
hiperemis pada arkus anterior. Besar tonsil dinyatakan dalam T0, T1, T2, T3, dan T4.
T0 apabila tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat. T1 apabila besar
tonsil 1/4 jarak arkus anterior dan uvula, dimana tonsil tersembunyi di dalam pilar
tonsilar. T2 apabila besar tonsil 2/4 jarak arkus anterior dan uvula, dimana tonsil
membesar ke arah pilar tonsilar. T3 apabila besar tonsil 3/4 jarak arkus anterior dan
uvula, atau terlihat mencapai luar pilar tonsilar. T4 apabila besar tonsil mencapai
arkus anterior atau lebih, dimana tonsil mencapai garis tengah.
Gambar ukutan tonsil dari T0 hingga T4

Skor Centor dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi tenggorok akibat


infeksi streptokokus grup A. Skor Centor ini merupakan acuan tervalidasi untuk
prediksi klinis pada infeksi streptokokus pada pasien lebih dari 15 tahun. Hal ini
dikarenakan pada pasien anak, terutama satu tahun awal, memiliki manifestasi nyeri
tenggorok yang berbeda. Skor Centor diajukan pada tahun 1981 oleh Centor dkk
setelah melakukan penelitian di Departemen Emergensi Universitas Virginia pada
286 pasien dewasa. Centor dkk menilai 4 tanda dan gejala untuk memperkirakan
kemungkinan faringitis akut streptokokus grup A pada pasien dewasa yang
mengalami nyeri tenggorok. Empat tanda dan gejala tersebut adalah ditemukannya
pembesaran dan eksudat pada tonsil, pembesaran dan nyeri tekan kelenjar getah
bening leher anterior (limfadenopati servikal anterior), adanya riwayat demam lebih
dari 38°C, dan tidak ada riwayat batuk. Masing-masing tanda dan gejala memiliki
skor satu. Risiko terjadinya infeksi streptokokus grup A tergantung jumlah skor dari
tanda dan gejala. Semakin besar jumlah skor, maka semakin besar kemungkinan
infeksi streptokokus grup A. Skor Centor dapat digunakan pada pasien anak, tetapi
tidak dianjurkan pemakaiannya pada anak usia kurang dari 3 tahun.

Tabel 3.1 Kriteria penilaian risiko infeksi streptokokus grup A


kriteria Nilai
Suhu > 38oC 1
Tidak ada batuk 1
Limfadenopati serviikal 1
anterior
Pembesaran tonsil atau eksudat 1

Penggunaan skor Centor memberikan dokter suatu pertimbangan rasional


untuk memperkirakan kemungkinan penyebab GABHS, namun tidak untuk
menetapkan suatu ketepatan diagnosis. Hal ini mungkin berguna untuk memutuskan
apakah perlu pemberian suatu antibiotik. (level bukti IV, derajat rekomendasi C)
Skor Centor berada dalam rentang 0-4. Skor 0-1 mengarah pada risiko infeksi yang
sangat rendah, sedangkan skor 3-4 mengarah pada peningkatan risiko infeksi
streptokokus. skor Centor tidak divalidasi untuk digunakan pada anak usia dibawah 3
tahun. Validasi skor Centor ini ialah +1 bila usia <15 tahun dan -1 pada usia >45
tahun.
Gejala dan tanda ternyata tidak cukup untuk menegakkan diagnosis,
diperlukan kombinasi dari beberapa faktor untuk dapat digunakan sebagai prediksi
klinik. IDSA (Infectious Disease Society of America) dan AHA (American Heart
Association) merekomendasikan konfirmasi status bakteriologik untuk menegakkan
diagnosis tonsilitis, baik menggunakan kultur swab tenggorok maupun menggunakan
rapid antigen detection test. Tes untuk mengetahui infeksi streptokokus tidak
diperlukan pada pasien anak dan dewasa dengan tanda dan gejala yang mengarah
pada infeksi virus. (level bukti I, derajat rekomendasi A) Gejala dan tanda tersebut
antara lain konjungtivitis, coriza atau rhinorea, stomattis anterior dan ulkus oral
diskret, batuk, serak, diare, dan exanthem atau enanthem viral. Tes juga tidak
diperlukan pada anak kurang dari 3 tahun.
Pada pasien dewasa, rapid antigen detection test dan kultur swab tenggorok
dianjurkan pada tanda dan gejala yang mengarah pada infeksi streptokokus. Tanda
dan gejala tersebut ialah demam persisten, keringat malam, kaku badan, nodus limfe
yang nyeri, pembengkakan tonsil atau eksudat tonsilofaringeal, scarlatiniform rash,
dan petekie palatum. CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan ACP
(American College of Physicians) merekomendasikan kultur swab tenggorok atau
RAT pada dewasa apabila gejala mengarah pada infeksi streptokokus, seperti demam
persisten, limfadenpati servikal anterior yang nyeri, nyeri wajah, dan discharge nasal
yang purulen.

Gambar Contoh RAT yang umum digunakan di Eropa.

2.2.7 Diagnosis Banding


1. Tonsilitis Difteri
Gejala terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu gejala umum, gejala lokal, dan
gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan
nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor yang semakin lama semakin meluas dan membentuk pseudomembran
yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya
pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf
kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernapasan dan pada
ginjal dapat menimbulkan albuminuria. Penyebabnya ialah kuman Corynebacterium
diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak kurang dari 10 tahun
dengan frekuensi tertinggi pada anak usia 2-5 tahun. Diagnosis dapat ditegakkan dari
gambaran klinis dan dengan menemukan kuman penyebab dari preparat langsung
kuman dari permukaan bawah membran semu. Cara yang lebih akurat dengan
identifikasi menggunakan flouroscent antibody technique dan diagnosis pasti dengan
isolasi kuman penyebab pada media Loeffler.

Gambar psuedomembran pada tonsilitis difteri

2. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)


Gejala yang timbul adalah demam tinggi (390C), nyeri di mulut, gigi dan kepala,
sakit tenggorok, badan lemah, gusi berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan
tampak membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus
alveolaris, mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex oro) dan
kelenjar submandibula membesar. Penyakit ini disebabkan karena bakteri spirochaeta
atau triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang
dan defisiensi vitamin C.
3. Mononukleosis Infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutup
ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfa
leher, ketiak, dan regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit
mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum
pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).

Gambaran tonsil psuedomembran pada mononukleosis infeksiosa

2.2.8 Tatalaksana

Tata laksana tonsilitis dapat berupa tata laksana non-operatif (medikamentosa dan
non-medikamentosa) dan operatif. Tata laksana umum tonsilitis menganjurkan setiap
pasien untuk istirahat dan minum yang cukup. Tata laksana medikamentosa meliputi
pemberian analgetik dan antibiotik. Tata laksana operatif berupa tonsilektomi dan
atau adenoidektomi.8
1. Penatalaksanaan tonsillitis akut :

a) Analgetika

 Dewasa : Ibuprofen atau paracetamol merupakan pilihan utama untuk analgetika


pada dewasa. Ibuprofen mempunyai hasil yang lebih baik untuk mengurangi nyeri
tenggorok daripada paracetamol. Kombinasi keduanya tidak memberikan hasil yang
signifikan pada pasien dewasa.
 Anak: Paracetamol merupakan pilihan utama sebagai analgetika pada anak.
Ibuprofen merupakan terapi alternatif dan tidak diberikan secara rutin pada anak
dengan risiko dehidrasi.

b) Antibiotik

 Amoksisilin peroral 50 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 1 g), atau 25


mg/kgbb dua kali sehari (dosis maksimum 500 mg), selama 10 hari. Penggunaan
amoksisilin peroral di Indonesia 50-60 mg/kgbb dibagi dalam 2-3 kali pemberian.
Dosis dewasa 3x500 mg.
 Sefalosporin generasi pertama seperti cephalexin dan cefadroxil diberikan selama 10
hari. Cephalexin peroral 20 mg/kgbb dua kali sehari (dosis maksimum 500 mg).
Cefadroxil peroral 30 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 1 g).
 Klindamisin peroral 7mg/kgbb, 3 kali sehari (dosis maksimum 300 mg) selama 10
hari.
 Azitromisin peroral 12 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 500 mg) selama 5
hari. Azitromisin dosis total 60 mg/kgbb lebih efektif dibandingkan antibiotik lain
selama 10 hari, sedangkan azitromsin dosis total 30 mg/kgbb kurang efektif pada
anak-anak.
 Klaritromisin peroral 7,5 mg/kgbb 2 kali sehari (dosis maksimum 250 mg) selama 10
hari.
c) Terapi tambahan

 Kortikosteroid : Pemberian kortikosteroid pada anak dan dewasa dapat memberikan


perbaikan yang signifikan terhadap gejala dan memberikan efek samping yang
minimal. Penggunaan kortikosteroid kombinasi dengan antibiotik tidak diberikan
secara rutin sebagai terapi tonsilitis, tetapi dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan gejala yang berat. Pemberian steroid lebih dari 3 hari mungkin tidak
memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan dosis tunggal pada anak dan
remaja dengan infeksi streptokokus. Dosis kortikosteroid sebagai antiinflamasi 3x1
tablet prednison selama 3 hari.
 Obat kumur antiseptik: Obat kumur antiseptik yang berisi chlorhexidine atau
benzydamine memberikan hasil yang baik dalam mengurangi keluhan nyeri
tenggorok dan memperbaiki gejala.

2. Tonsilitis Kronik
Terapi tonsilitis kronik terdiri atas terapi konservatif dan terapi operatif. Terapi
konservatif dilakukan dengan pemberian obat-obatan simptomatik dan obat kumur
yang mengandung desinfektan. Terapi operatif melibatkan tindakan tonsilektomi
dengan atau tanpa adenoidektomi.8

a) Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai suatu tindakan bedah yang mengangkat
keseluruhan jaringan tonsil palatina, termasuk kapsulnya dengan melakukan diseksi
ruang peritonsiler di antara kapsula tonsil dan dinding muskuler tonsil. Tindakan ini
dapat dilakukan dengan atau tanpa adenoidektomi. Adenoidektomi juga dilakukan
bersama tonsilektomi terutama apabila terdapat gangguan bernafas saat tidur.
Tindakan tonsilektomi merupakan prosedur bedah tersering pada anak- anak di USA.
Insiden tonsilektomi meningkat pada usia 4 tahun dan pada usia 16-17 tahun, baik
pada anak laki-laki maupun perempuan. Insiden tonsilektomi dan
tonsiloadenoidektomi juga meningkat di Minnesota dari tahun 1970 hingga 2005
dimana terdapat pergeseran indikasi dari infeksi ke obstruksi jalan napas atas.

b) SIGN indikasi tonsilektomi direkomendasikan untuk nyeri tenggorok berat yang


berulang pada dewasa:
 ≥7 episode dalam satu tahun terakhir;
 ≥5 episode setahun dalam 2 tahun terakhir;
 ≥3 episode setahun dalam 3 tahun terakhir.

Tonsiloadenoidektomi dapat mengurangi episode nyeri tenggorok secara marginal


pada anak-anak , tonsilektomi dipertimbangkan apabila terdapat salah satu dari
kriteria:
 ≥7 episode dalam satu tahun terakhir;
 ≥5 episode setahun dalam 2 tahun terakhir;
 ≥3 episode setahun dalam 3 tahun terakhir.

Untuk setiap episode, catatan medik menunjukkan nyeri tenggorok dan


≥1 dari:
 suhu >38,3°
 limfadenopati servikal
 eksudat tonsiler
 hasil tes positif untuk streptokokus beta-hemolitikus grup A.
Faktor lain yang menganjurkan tonsilektomi pada anak antara lain alergi atau
intoleransi antibiotik multipel, demam periodik dengan sindrom aphthous stomatitis,
pharyngitis, and adenitis (PFAPA), dan riwayat abses peritonsiler.
- Indonesia mengeluarkan rekomendasi pedoman klinik tonsilektomi dalam Health
Technology Assesment (HTA) Indonesia tahun 2004 yang telah disesuaikan dengan
AAO-HNS.
- Indikasi absolut
- Hipertrofi tonsil yang menyebabkan: obstruksi saluran napas misal pada OSAS,
disfagia berat yang disebabkan obstruksi, gangguan tidur, komplikasi
kardiopulmoner, gangguan pertumbuhan dentofasial, gangguan bicara (hiponasal).
- Riwayat abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
- Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi terutama
untuk hipertrofi tonsil unilateral.
- Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
 Indikasi relatif
- Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun dengan terapi antibiotik adekuat.
- Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis.
- Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus B- hemolitikus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik resisten β-laktamase.
c) Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
dengan imbang antara “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:
 Gangguan perdarahan.
 Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat.
 Anemia.
 Infeksi akut yang berat.
 Palatoskizis.
d) Teknik Operasi
 Diseksi : Coldsteel Dissection/ Diseksi Konvensional, Radiofrekuensi, Skalpel
Harmonik, Coblation, aser (CO2-KTP), Electrosurgery (Bedah Listrik)
 Guillotine
2.2.8 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menderita tonsilitis
adalah sebagai berikut:

1. Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi
faringeal
bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala
penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat, dan trismus.
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
2. Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga
menonjol ke arah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
3. Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti
dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan
disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu
dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan, selanjutnya dilakukan tonsilektomi
4. Tonsilitis kronis dengan serangan akut
Biasanya terjadi karena tatalaksana tonsilitis akut yang tidak adekuat. Infeksi kronis
dapat
terjadi pada folikel limfoid tonsil dalam bentuk mikroabses
5. Otitis Media Akut
Serangan berulang otitis media akut berkaitan erat dengan serangan berulang dari
tonsilitis
akibat infeksi yang menjalar melalui tuba eustachius
6. Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-
sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang
memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan
kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada
dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini
didiagnosa dengan mudah dengan
melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan
7. Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan di
atas
tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi
8. Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis.
Anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan
33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab
tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini
megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit
Glomerulonefritis7,8

2.2.9 Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita
tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika
tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan
bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat

Gejala-gejala yang menetap dapat menunjukkan bahwa penderita mengalami


infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada
telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari
infeksi serius seperti demam rematik.8

BAB III
KESIMPULAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cincin waldeyer. Cincin waldeyer terdiri dari susunan kelenjer limfa yang terdapat di
dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil faucial),
tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), dan tonsil tuba eustachius (lateral band dinding
faring / gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air-bond droplets),
tangan dan ciuman dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak.
Tonsilitis akut sering mengenai anak-anak usia sekolah, tetapi juga dapat
mengenai orang dewasa. Jarang mngenai bayi dan usia lanjut > 50 tahun. Penyebab
tersering tonsillitis akut adalah steptokokus beta hemolitikus grup A. Bakteri lain
yang juga dapat menyebabkan tonsillitis akut adalah Haemophilus influenza. Pada
tonsillitis kronis, dapat berupa komplikasi dan tonsillitis akut.
Macam-macam tonsilitis yaitu : tonsillitis akut (tonsilitis viral dan tonsilitis
bakterial); tonsilitis membranosa (tonsilitis difteri, tonsilitis septik dan Angina Plout
Vincent); dan Tonsilitis kronik.
Gejala tonsillitis pasien mengeluh ada penghalang di tenggorokan,
tenggorokan terasa kering, pernafasan bau, pada pemeriksaan tonsil membesar
dengan permukaan tidak rata, kriptus membesar dan terisi detritus, tidak nafsu
makan, mudah lelah, nyeri abdomen, pucat, letargi, nyeri kepala, disfagia (sakit saat
menelan), mual dan muntah.
Penatalaksanaan tonsillitis akut antara lain dengan antibiotik golongan
penisilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat isap dengan
desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin. Antibiotik yang adekuat untuk
mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan
obat simptomatik. Penatalaksanaan tonsillitis kronik antara lain: terapi lokal untuk
hygiene mulut dengan obat kumur / hisap, terapi radikal dengan tonsilektomi bila
terapi medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil.
Komplikasi tonsillitis akut dan kronik yang dapat terjadi yaitu abses
peritonsil,otitis media akut, mastoiditis akut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi ke tujuh. Jakarta:
FKUI. 2012
2. Johnson J.,T., et al., Bailey’s Head & Neck Surgery-Otolaryngology, 5th edition.
Newlands SD. 2014.
3. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
ECG, 1997.
4. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG.2000.
5. Bull PD. Lectures Note on Disease of the Ear, Nose, and Throat. Ninth Edition.
Blackwell Science : Sheffield. 2002.
6. Bhargava KB, Bhargava SK, Shah TM. A Short Textbook of ENT for Students and
Practitioners. Seventh Edition. Usha : Mumbai. 2005.
7. Perhati-kl. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tonsilitis. [online].
2018 [cited, 2019 Oktober 12]. Available from URL: http://perhati- kl.or.id/?
page_id=2333#
8. P., L. ,Dhingra., Shruti Dhingra. Diseases Of Ear, Nose And Throat & Head And
Neck Surgery. India: Elsevier.2014

Anda mungkin juga menyukai