Anda di halaman 1dari 5

Tugas Matrikulasi Geografi Pembangunan dan Perencanaan Tataruang untuk Pembangunan

Berkelanjutan

Nama : Dhiffa Nabilla Rachma

No.peserta : 2002202372

Prodi :S2 Ilmu Lingkungan Minat MTPB

Dosen :Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc.

Tugas:

Buatlah sebuah review atas suatu berita yang menggambarkan ketidakpatuhan masyarakat
maupun pemerintah kepada peraturan tataruang yang berunjung pada situasu ketidakberlanjutan
dan/atau bencana alam maupun bencana social (minimal 700 kata)!

Review:

Sumber : https://sukabumiupdate.com/detail/sukabumi/peristiwa/63136-1745-WIB-Setahun-
Silam-33-Warga-Gerehong-Cisolok-Sukabumi-Tewas-Tertimbun-Longsor
Pada dasarnya, Sukabumi merupakan daerah yang rawan longsor, dan bencana itulah yang
paling sering terjadi, tanah longsor terjadi di daerah tersebut setiap tahun sejak 2010, Termasuk
daerah Cimapag ini, juga banyak dari daerah di Sukabumi yang berasal dari material gunung api
muda, di mana tanah hasil pelapukannya itu menjadi tanah yang gembur maka ia akan lebih
rentan terhadap longsoran gerakan tanah dibandingkan daerah-daerah yang tersusun oleh batuan-
batuan yang lebih padat. Sutopo dari

Daerah ini masuk zona merah yang rawan bencana. Terlebih lagi, masyarakatnya masih
banyak yang belum mendapat pengetahuan kebencaanaan.Selain itu pula, lereng yang
berkemiringan 30 derajat, tanah yang gembur. Tanah gembur itu kan mempunyai kuat geser
atau shear strength yang sangat rendah jadi mudah sekali kekuatannya hilang ketika terkena
penetrasi air hujan. Air hujan itu akan mudah menjenuhi lereng itu karena di situ ada zona-zona
air tanah yang terperangkap, yang mudah meningkatkan tekanan air pori dalam tanah,

Alih fungsi lahan dan pemakaian lahan untuk persawahan juga jadi penyebab terjadinya
longsor. Kondisi tanah yang hanya ditanami tanaman berusia singkat berupa tanaman pertanian
yang tak berakar kuat, Akibatnya, tanah tersebut tidak memiliki pegangan atau tidak ada
tumbuhan yang menahan tanah maka itulah yang juga jadi penyebab longsor.

Longsor yang terjadi di Sukabumi ini diawali oleh kemunculan hujan yang menimbulkan
keretakan pada tanah. Setelah terjadinya keretakan, maka mulailah terjadi kelongsoran
dari mahkota longsor, menerjang, dan terus menuruni perbukitan.

Data yang dihimpun selama 2018, kejadian bencana paling banyak terjadi adalah tanah
longsor dengan 353 kasus disusul dengan angin kencang. Sementara, untuk warga yang
terdampak bencana sebanyak 444 kepala keluarga (KK) atau sekitar 1.510 jiwa..

Salah satu bencana tanah longsor yang parah adalah tanah longsor pada tanggal 31
Desember 2018, di Kampung Cigarehong, Dusun Cimapag, Desa Sirnaresmi, Kecamatan
Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sebanyak 30 rumah dengan 32 kepala keluarga,
dengan 101 jiwa, juga lahan pertanian terdampak longsor. Di awal evakuasi, pada 1 Januari
2019, didapati 2 orang meninggal dunia, 3 luka-luka, 61 orang mengungsi, dan 41 lainnya belum
ditemukan. Perkembangan pada Sabtu, 5 Januari 2019, pada penanganan hari ke-6, Viva
mencatat dari Joshua Banjarnahor, Humas dan Protokoler Basarnas Jawa Barat bahwa korban
meninggal 31 orang, luka-luka tiga orang, yang selamat 64 orang. 2 orang dinyatakan
hilang/dalam pencarian. Sementara Kompas.com memberitakan pada 6 Januari 2019 di akhir
masa tahap tanggap darurat operasi pencarian mencatat bahwa 32 orang berhasil ditemukan
meninggal dunia dan 1 orang dinyatakan hilang, Kerugian yang ditimbulkan dari bencana tanah
longsor sebesar Rp649.000.000.

Sumber : https://eljabar.com/2020/08/13/periode-januari-juli-2020-bpdb-catat-116-
kejadian-bencana-di-kota-sukabumi/

Selama Priode Januari hingga Juli 2020, Badan Penaggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kota Sukabumi mencatat terjadi 116 kejadian bencana. Diantaranya longsor sebanyak 46
kejadian, angin puting beliung sebanyak 2, banjir 14, cuaca ekstrem 33, kebakaran 11, dan
gempa sebanyak 10 kejadian. Dari data tersebut bencana paling banyak terjadi adalah tanah
longsor, hal itu diakibatkan curah hujan di awal januari hingga maret cukup tinggi.

Sukabumi adalah daerah yang mempunyai lahan yang subur. Namun Namun material
penyusun merupakan tanah yang mudah menyerap air, sehingga rawan terjadi bencana longsor.
Oleh karena itu, seharusnya dijadikan hutan atau kawasan konservasi. Bukan sebagai tanah
budidaya. Karena ini akan berpotensi menimbulkan longsor. Sehingga relokasi adalah solusi
terbaik.

Relokasi yang dilakukan oleh pemerintah juga harus bisa menopang hidup warga di lokasi
tempat tinggal barunya, pemerintah harus memikirkan juga bagaimana mata pencahariannya,
kalau kita pindah 10 kilometer dari rumah, sangat tidak eferktif jika kalau harus tetap bekerja di
sana (lokasi awal), harus mengeluarkan uang sehari-hari untuk menuju lokasi. Disamping adanya
upaya relokasi yang dilakukan, tempat tinggal warga yang tinggal di daerah rawan harus
dirancang agar mampu bertahan dikala musibah datang. Implementasi penataan dan pemanfaatan
tata ruang, pengurangan risiko bencana harus menjadi pengarusutamaan dalam pembangunan
nasional dan pembangunan daerah, peringatan dini dan sosialisasi soal bahaya longsor harus
ditingkatkan, konservasi harus mengutamakan penanaman pohon berkara dalam dan mampu
menahan longsor.

Sumber : https://www.voaindonesia.com/a/bnpb-40-9-juta-warga-indonesia-tinggal-di-
daerah-rawan-longsor/4725859.html

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 40,9 juta jiwa tinggal di
daerah rawan longsor. Wilayah yang terdeteksi paling berpotensi terjadinya longsor ada di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Warga tersebut tinggal di daerah rawan yang
tersebar di dataran tinggi, mulai perbukitan hingga pegunungan. Total Penduduk yang tinggal di
daerah bahaya sedang sampai tinggi ini ada 40,9 juta jiwa. Upaya relokasi sangat tidak mungkin
karena warga sudah menetap di daerahnya sehingga enggan untuk direlokasi.

Warga yang tinggal di daerah rawan longsor perlu meningkatkan budaya sadar bencana,
baik yang bersifat struktural maupun nonstructural. Peringatan dini longsor, sosialisasi,
penegakan hokum dan lainnya harus ditingkatkan. Kemudian . Pada lembah-lembah perbukitan
perlu ditanami pohon produktif yang memiliki akar panjang dan sifatnya mengikat, seperti puspa
(Schima walichii), rasmala (Altingia excelsa), huru (Litsia chinensis), surian (Toona sureni
merr), bambu manggong (Gigantochloa manggang), kayu baros (Manglietia glauca bl),
sukun.dan durian. Penanaman ini merupakan upaya sistem bio-engineering. Bio-engineering  ini
memperkuat lereng dengan tanaman-tanaman, vegetasi-vegetasi yang satu memiliki nilai
ekonomi yang tinggi dan memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Fungsinya juga bisa
menahan longsor.

Penanganan bencana alam ini pemerintah dan warga perlu bersinergi bersama untuk dapat
mengatasi masalah ini dengan baik dan tepat. Kepatuhan dan kedisiplinan masyarakat
merupakan bentuk sinergitas yang diberikan oleh masyarakat. Begitu juga dengan antarlembaga
baik di pusat maupun di daerah sinergitas harus dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai