Anda di halaman 1dari 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342465347

ASUHAN KEPERAWATAN KONSTIPASI DENGAN PENDEKATAN 3S (SDKI, SLKI


DAN SIKI)

Book · March 2020

CITATIONS READS

0 3,928

1 author:

Wiwit Dwi Nurbadriyah


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kepanjen Malang
16 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Wiwit Dwi Nurbadriyah on 26 June 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ASUHAN KEPERAWATAN KONSTIPASI DENGAN PENDEKATAN 3S
(SDKI, SLKI DAN SIKI)

Penulis : Wiwit Dwi Nurbadriyah, M.Kep.

ISBN : 978-623-7743-71-2

Copyright © April 2020


Ukuran: 17.5 cm X 25 cm; Hal: vi + 76

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Pertama kali diterbitkan di Indonesia dalam Bahasa Indonesia
oleh Literasi Nusantara. Dilarang mengutip atau memperbanyak baik sebagian ataupun keseluruhan isi
buku dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Penata Isi : M. Rosyiful Aqli


Desainer Sampul : Ahmad Ariyanto

Cetakan I, April 2020

Diterbitkan pertama kali oleh Literasi Nusantara


Perum Paradiso Kav. A1 Junrejo - Batu
Telp : +6285887254603, +6285841411519
Email: penerbitlitnus@gmail.com
Web: www.penerbitlitnus.co.id
Anggota IKAPI No. 209/JTI/2018

Didistribusikan oleh CV. Literasi Nusantara Abadi


Jl. Sumedang No. 319, Cepokomulyo, Kepanjen, Malang. 65163
Telp : +6282233992061
Email: redaksiliterasinusantara@gmail.com
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT,


karena telah dapat menyelesaikan Buku “Asuhan Keperawatan
Konstipasi dengan Pendekatan 3S (SDKI, SLKI dan SIKI)” ini. Kami
ucapkan terimakasih kepada STIKes Kepanjen yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis dan Mahasiswa Prodi Keperawatan Program
Sarjana angkatan 2018 yang telah membantu terselesaikanya buku ini.
Buku “Asuhan Keperawatan Konstipasi dengan Pendekatan 3S
(SDKI, SLKI dan SIKI)” merupakan bagian dari ilmu asuhan
keperawatan sistem pencernaan dengan pendekatan 3S yaitu SDKI
(Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia), SLKI (Standart Luaran
keperawatan Indonesia) dan SIKI (Standart Intervensi Keperawatan
Indonesia).
Buku ini diharapkan dapat menambah referensi untuk
meningkatkan mutu pelayanan dalam melakukan asuhan keperawatan
pada klien, khususnya yang menderita gangguan sistem pencernaan.

Malang, April 2020

Penulis

iii
iv
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii
Daftar Isi v
 Pengertian Konstipasi 1
 Anatomi Fisiologi Defekasi 7
 Etiologi dan Patofisiologi Konstipasi 15
 Penyebab Konstipasi 23
 Tanda dan Gejala Konstipasi 29
 Pencegahan Konstipasi 37
 Komplikasi Konstipasi 45
 Penatalaksanaan Konstipasi 49
 Teori Asuhan Keperawatan 59
 SLKI (Standart Luaran Keperawatan Indonesia) 65
 SIKI (Standart Intervensi Keperawatan Indonesia) 69
Tentang Penulis 75

v
vi
PENGERTIAN KONSTIPASI

K onstipasi didefinisikan sebagai istilah dari suatu gejala (kebalikan


dari diare yang didefinisikan saat berat feses >200gram). Tersirat
dalam hal ini, fakta bahwa konstipasi adalah suatu gejala, bukan
diagnosis. Konstipasi dibedakan dari irritable bowel syndrome (IBS) dimana
nyeri abdomen tidak harus berhubungan dengan disfungsi usus. Hal ini
didefinisikan sebagi jumlah frekuensi feses yang jarang (<3 kali per
minggu), pengeluaran feses yang keras (>25% dalam satu waktu),
mengedan untuk mengosongkan rectum (>25% dalam satu waktu), atau
sensasi pengosongan yang tidak tuntas (>25% dalam satu waktu).
Dalam buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI)
konstipasi diartikan dengan penurunan defekasi normal yang disertai
pengeluaran feses sulit dan tidak tuntas serta feses kering dan banyak.
Konstipasi merupakan salah satu gejala yang paling sering dari keluhan
gastrointestinal. Diderita sekitar 25% dari populasi dalam satu waktu,
lebih sering terjadi pada wanita dan orang lanjut usia.
Pada awalnya penyebab konstipasi mungkin sederhana saja,
misalnya kurangnya konsumsi serat, tetapi karena tidak ditangani secara
memadai perjalanan kliniknya menjadi kronis, yang membuat frustasi
anak, orangtua dan juga dokter yang merawatnya. Di lain pihak, terdapat
kasus-kasus konstipasi akut yang memerlukan diagnosis etiologi segera
karena memerlukan tindakan yang segera pula. Ringkasnya, ada kasus

1
konstipasi ringan tetapi memerlukan penanganan yang adekuat, ada kasus
yang memerlukan diagnosis etiologi dan tindakan segera dan ada pula
kasus konstipasi kronis yang memerlukan kesabaran dan penanganan
yang cermat.
Pada anak pola defekasi yang normal umumnya dipandang sebagai
pertanda anak sehat. Terutama pada bulan-bulan pertama kehidupan bayi,
orang tua sangat menaruh perhatiannya pada frekuensi defekasi dan
karakteristik tinjanya. Adanya penyimpangan dari yang dianggap normal
pada anak, merangsang orang tua untuk membawa anaknya ke dokter.
Pada umunya orang tua khawatir bahwa tinja anaknya terlalu besar,
terlalu keras, nyeri waktu berhajat atau defekasinya terlalu jarang.
Kenyataanya konstipasi memang merupakan masalah yang biasa
ditemukan pada anak.
Dalam kepustakaan belum ada kesepakatan mengenai batasan
konstipasi. Rogers mendefinisikan konstipasi sebagai kesulitan melakukan
defekasi atau berkurangnya frekuensi defekasi atau melihat apakah
tinjanya keras atau tidak. Lewis dan Munir menambahkan bahwa
kesulitan defekasi terjadi menimbulkan nyeri dan distress pada anak,
sedangkan Abel mengatakan konstipasi sebagai perubahan dalam
frekuensi dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu
yang bersangkutan, yaitu frekuensi berhajat lebih jarang dan konsistensi
tinja lebih keras dari biasanya.
Definisi lain adalah frekuensi defekasi kurang dari tiga kali
perminggu. Steffen dan Loening Baucke mengatakan konstipasi sebagi
buang air besar kurang dari 3 kali per minggu atau riwayat buang air
besar dengan tinja yang banyak dan keras. Ketidakmampuan melakukan
evakuasi tinja secara sempurna, yang tercermin dari 3 aspek yaitu
berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja yang lebih keras dari
sebelumnya dan pada palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala) dengan
atau tidak disertai enkoptesis (kecepirit).
Salah satu yang harus diperhatikan pada usia lanjut adalah konsumsi
serat dan intake cairan setiap hari. Ini bertujuan agar lansia terhindar dari
terjadinya kanker kolon, wasir, hemoroid, dan konstipasi. Insiden
konstipasi puncaknya pada usia 60-70 tahun. Konstipasi merupakan
kondisi dimana feses mengeras sehingga susah dikeluarkan melalui anus,
dan menimbulkan rasa terganggu atau tidak nyaman pada rektum.

2
Konstipasi dapat terjadi pada semua lapisan usia, yang pada umumnya
ditandai dengan frekuensi BAB yang rendah (kurang dari 3 kali dalan satu
minggu) (Lilik, 2011).
Konstipasi masih dianggap remeh oleh masyarakat, mereka
menganggap kesulitan BAB bukan masalah besar, hanya akibat dari salah
makan atau kurang minum air sehingga disepelekan dan dianggap akan
sembuh dengan sendirinya. Angka kecukupan air untuk usia di atas 50
tahun keatas menurut AKG, tahun 2004 dalam Devi (2010) adalah 1,5-2
liter/hari. Konstipasi dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kurang
asupan serat, kurang asupan air, pengaruh obat yang dikonsumsi,
pengaruh dari penyakit yang diderita, hingga akibat kurang aktivitas fisik
(Brown, 2011). Konstipasi dapat menyebabkan kanker usus besar (colon
cancer) yang dapat berujung pada kematian (Brown. 2011). Prevelentif
konstipasi di Amerika Serikat tercatat 2-27% dengan 2,5 juta kunjungan ke
dokter, sementara di Beijing ditemukan kejadian konstipasi sebanyak
6,07%. Prevelensi konstipasi pada lansia di Indonesia adalah sebesar 3,8%
untuk usia 60-69 tahun dan 6,3% pada lansia diatas usia 70 tahun
(Kemenkes RI, 2013).
Lansia yang memakan makanan tinggi serat biasanya lebih jarang
yang mengalami konstipasi. Diet rendah serat juga memegang peranan
yang sangat penting untuk timbulnya konstipasi pada usia lanjut. Emosi
yang kuat dapat menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak
peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan system syaraf simpatis.
Stress juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi
hipertonik atau iritasi colon).
Usia lanjut yang dapat mempengaruhi proses pengosongan
lambung. Diantaranya adalah atony (berkurangnya tonus otot yang
normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada
melambatnya peristaltik dan mengerasnya feses sehingga memungkinkan
terjadinya konstipasi.
Rendah konsumsi gandum, serat, sayuran, buah-buahan, beras, dan
kalori dapat menjadi faktor resiko menuju konstipasi. Penelitian di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa konsumsi buah, sayuran, dan roti
telah meningkatkan kejadian konstipasi. Telah diusulkan bahwa kejadian
konstipasi meningkat karena pengolahan makanan secara modern yaitu
makanan cepat saji dengan serat yang rendah. Dalam survei epidemiologi

3
rendahnya asupan cairan pada orang dewasa juga diperkirakan
berhubungan dengan gejala konstipasi. Transit makanan yang yang
terganggu juga berhubungan dengan munculnya gejala konstipasi. Pada
hipokalemia terjadi disfungsi neuron yang dapat menurunkan stimulasi
asetilkolin pada otot usus halus sehingga transit feses yang melalui usus
yang menjadi lebih lama.
Depresi, gangguan fisiologis, dan kecemasan juga merupakan
beberapa hal yang berhubungan dengan kejadian konstipasi.
Hiperkalsemia juga merupakan penyebab terjadinya keterlambatan
konduksi pada persarafan ekstrinsik dan intrinsik usus. Hal ini terlihat
pada kuesioner penelitian di Jepang, 63% pasien hemodialisis mengeluh
konstipasi.
Konstipasi yang terjadi sesekali, mungkin tidak berdampak pada
gangguan sistem tubuh, namun bila konstipasi ini terjadi berulang dan
dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan beberapa komplikasi,
antara lain: hipertensi arterial, impaksi fekal, hemoroid, fisura ani serta
megakolon. Melihat banyaknya komplikasi yang dapat terjadi akibat
konstipasi, maka setiap individu harus menjaga keteraturan pola
defekasinya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
masalah konstipasi adalah dengan mengkonsumsi serat sesuai kebutuhan.
Secara fisiologis serat makanan didefenisikan sebagai karbohidrat yang
resisten terhadap hidrolisis oleh enzim pencernaan manusia (karena serat
tidak dapat dicerna) dan lignin.
Kejadian konstipasi meningkat seiring dengan peningkatan usia,
wanita dilaporkan lebih sering mengalami konstipasi dari pada laki-laki.
Amerika Serikat pada tahun 2006 lebih dari 4 juta penduduk mempunyai
keluhan sering konstipasi, hingga prevalensinya mencapai sekitar 2%,
dimana kebanyakan penderitanya adalah wanita, anak-anak dan orang
dewasa di atas usia 65 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Higgins dan Johanson, perhitungan prevalensi konstipasi di Amerika
Utara berkisar antara 1,9% - 27,2% dengan perbandingan antara wanita
dan pria sebesar 2,2:1.11 Studi di Beijing melaporkan angka kejadian
konstipasi pada kelompok usia 18-70 tahun sekitar 6,07% dengan rasio
antara pria dengan wanita 1:4.12 Berdasarkan data International US
Census Bereau pada tahun 2003 seperti yang dikutip oleh Sari (2009),
terdapat sebanyak 3.857.327 jiwa yang mengalami konstipasi di Indonesia.

4
Prevalensi konstipasi pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada
pria, meskipun tidak terpaut jauh. Perbandingan prevalensi konstipasi
pada wanita dan pria di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM)
yaitu sekitar 60:40, di RSCM dari sebanyak 2397 pasien dengan gangguan
saluran cerna, terdapat 216 orang yang mengalami konstipasi, 87 di
antaranya adalah pria, dan 129 wanita.14 Jika dikonversikan 7,2% pria
mengalami konstipasi, sementara pada wanita yaitu 10,8%.
Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi
konstipasi akibat kelainan struktural dan konstipasi fungsional. Konstipasi
akibat kelainan struktural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja,
sedangkan konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas
kolon atau anorektal. Konstipasi yang dikeluhkan oleh sebagian besar
pasien umumnya merupakan konstipasi fungsional. Pada awalnya
beberapa istilah pernah digunakan untuk menerangkan konstipasi
fungsional, seperti retensi tinja fungsional, konstipasi retentif atau
megakolon psikogenik. Istilah tersebut diberikan karena adanya usaha
anak untuk menahan buang air besar akibat adanya rasa takut untuk
berdefekasi. Retensi tinja fungsional umumnya mempunyai dua puncak
kejadian, yaitu pada saat latihan berhajat dan pada saat anak mulai
bersekolah.
Konstipasi fungsional dapat dikelompokkan menjadi bentuk primer
atau sekunder bergantung pada ada tidaknya penyebab yang
mendasarinya. Konstipasi fungsional primer ditegakkan bila penyebab
dasar konstipasi tidak dapat ditentukan. Keadaan ini ditemukan pada
sebagian besar pasien dengan konstipasi. Konstipasi fungsional sekunder
ditegakkan bila kita dapat menentukan penyebab dasar keluhan tersebut.
Penyakit sistemik dan efek samping pemakaian beberapa obat tertentu
merupakan penyebab konstipasi fungsional yang sering dilaporkan.
Klasifikasi lain yang perlu dibedakan pula adalah apakah keluhan tersebut
bersifat akut atau kronis. Konstipasi akut bila kejadian baru berlangsung
selama 1-4 minggu, sedangkan konstipasi kronis bila keluhan telah
berlangsung lebih dari 4 minggu.

5
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Asih Nila. Pengaruh Asupan Tinggi Serat dan Cairan Terhadap
Terjadinya Konstipasi pada Lansia. Cirebon, STIKes Cirebon
Bernie, Badriul. (2004). Konstipasi Fungsional, Vol. 6, No. 2.
Eva, Floria. (2015). Prevalensi Konstipasi dan Faktor Resiko Konstipasi
Pada Anak. Denpasar: Universitas Udayana Bali
Indah, Arina, Masrul. (2016), Jurnal Kesehatan Andalas : Hubungan
Konsumsi Serat dengan Pola Defekasi pada Mahasiswa Fakultas
Kedokteran. Padang, Universitas Andalas Padang
Juffrie, Mohammad, et all. (2010). Buku Ajar Gastroentrologi-Hepatologi.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Mirna. (2018), Skripsi : Hubungan Konsumsi Air Putih dengan Kejadian
Konstipasi pada Lansia di Dusun Sidorejo Desa Karas. Madiun,
STIKes Bhakti Husada Mulia Madiun
Oktavia Intan. (2014), Chronic Constipation With Hemorrhoid at Single
Man Because of Unhealthy Lifestyle, vol. 3 No. 1. Lampung,
Universitas Lampung.
Pokja, Tim. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan: Dewan pengurus pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai