Anda di halaman 1dari 12

EFEKTIFITAS PROGRAM STRETCHING EXERCISE, KINESTHESIA EXERCISE DAN BALANCE

EXERCISE TUNGKAI BAWAH TERHADAP PENURUNAN NYERI DAN PENINGKATAN ROM PASIEN
OSTEOARTHRITIS

Safun Rahmanto

ABSTRAK

Osteoarthritis merupakan penyakit degeneratif yang sering dialami oleh lansia. Keberadaannya sering diikuti dengan
kelemahan otot, keterbatasan dalam bergerak, nyeri lokal dan pada akhirnya menurunkan kualitas hidup pasien OA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas program stretching exercise, kinesthesia exercise dan balance
exercise tungkai bawah dalam menurunkan nyeri dan meningkatkan ROM pasien OA. Penelitian ini menggunakan
desain true experiment dengan pre and post test with control group design. Pengambilan sampel didasarkan pada
prinsip penelitian eksperimen yaitu replikasi, randomisasi dan control of variance dengan rumus Pocock dimana
sampel yang digunakan bersifat kecil yaitu 15 sampel. Sampel dibagi menjadi 3 kelompok yang masing-masing
kelompok diberi program latihan yang berbeda. Program latihan dilaksanakan selama 3 kali dalam seminggu selama
3 minggu. Variabel yang diukur adalah intensitas nyeri dengan instrumen WOMAC, dan ROM dengan bantuan
goniometer. Hasil dianalisis dengan SPSS 16 menggunakan uji normalitas Shapiro Wilk, uji Paired T-Test dan One-
way Annova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stretching exercise efektif dalam menurunkan nyeri pasien OA
sebesar 5,2 ± 3,114 poin dengan nilai p 0,020 dan efektif pula dalam meningkatkan ROM sebesar 7 ± 4,472 dengan
nilai p 0,025. Kinesthesia exercise kurang efektif dalam menurunkan nyeri pasien OA karena hanya menurunkan
nyeri sebesar 0,8 ± 0,837 poin dengan nilai p 0,099 dan kurang efektif pula dalam meningkatkan ROM karena
hanya meningkatkan sebesar 1 ± 2,236 poin dengan nilai p 0,374. Balance exercise cukup efektif dalam
menurunkannyeri sebesar 3 ± 2,345 poin dengan nilai p 0,046, juga cukup efektif dalam meningkatkan ROM
sebesar 4 ± 2,236 poin dengan nilai p 0,016. Ketiga program latihan tersebut memberikan efektifitas yang berbeda
dalam menurunkan nyeri dan meningkatkan ROM dengan nilai p 0,034. Stretching exercise merupakan program
yang paling efektif sementara kinesthesia exercise merupakan program yang paling kurang efektif.

Kata kunci : osteoarthritis tungkai bawah, nyeri, ROM, stretching exercise, balance exercise, kinesthesia exercise.

PENDAHULUAN

Transisi demografi sebagai dampak dari pembangunan Indonesia di bidang kesehatan merupakan satu hal
yang tidak dapat dihindari. Perubahan ini terjadi salah satunya adalah semakin banyaknya warga lanjut usia (lansia)
karena meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH)1

Jumlah lanjut usia di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 7,18%. Sepuluh tahun kemudian jumlahnya
meningkat menjadi sekitar 9,77% 2. Pada tahun 2011 jumlah lansia sebanyak 18.312.055 jiwa dan pada tahun 2014
diestimasi akan meningkat menjadi 19.142.861 jiwa 3. Peningkatan ini tidak terlepas dari peningkatan angka
harapan hidup. Umur Harapan Hidup orang Indonesia diperkirakan mencapai 70 tahun atau lebih pada tahun 2015-
20201. Dengan semakin meningkatnya angka harapan hidup penduduk menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia
terus meningkat dari tahun ke tahun.

Peningkatan IPTEK disisi lain menimbulkan terjadinya transisi epidemiologi dimana terjadinya perubahan
pola penyakit dari penyakit infeksi menjadi penyakit degeneratif yang berhubungan dengan faktor gaya hidup dan
usia (penuaan). Menurut Stieglitz terdapat empat penyakit yang erat hubungannya dengan proses menua antara
lain adalah gangguan persendian, salah satunya adalah osteoartritis yang selanjutnya disingkat dengan OA 4.
Osteoartritis adalah penyakit kronis yang belum diketahui secara pasti penyebabnya, akan tetapi ditandai
dengan kehilangan tulang rawan sendi secara bertingkat 5. Kelainan utama pada OA adalah kerusakan rawan sendi,
dapat diikuti dengan penebalan tulang subkondral, pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen dan peradangan ringan
sinovium, sehingga sendi bersangkutan membentuk efusi 6.

Penyakit ini menyebabkan nyeri dan disabilitas pada penderita sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
Osteoartritis menempati urutan kedua setelah penyakit kardiovaskuler di dunia barat sebagai penyebab
ketidakmampuan fisik (seperti berjalan dan menaiki tangga) 7 .

Di Indonesia, OA merupakan penyakit reumatik yang paling banyak ditemui dibandingkan kasus penyakit
reumatik lainnya. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), penduduk yang mengalami gangguan OA di
Indonesia tercatat 8,1% dari total penduduk. Di Kabupaten Malang dan Kota Malang ditemukan prevalensi OA
sebesar 10% dan 13,5%.

Gejala yang paling umum dari OA adalah pada sendi lutut. Ketidakmampuan fisik yang diakibatkan oleh OA
pada sendi lutut menyebabkan gangguan aktifitas fisik sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup. Beberapa
gangguan yang terjadi adalah nyeri, keterbatasan gerak sendi, kelemahan otot dan koordinasi gerak yang buruk8.
Osteoarthritis pada lutut dan kelemahan otot merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan 9.

Penatalaksanaan OA biasanya terdiri dari terapi non obat (edukasi, latihan fisik, mengurangi berat badan
dan fisioterapi), terapi obat, terapi lokal dan tindakan bedah7. OARSI menyebutkan terdapat fakta-fakta mengenai
perbaiakan kondisi fisik pasien OA yang diberikan terapi latihan 10.

Terapi non obat yang bersifat terapi fisik atau latihan diberikan dengan tujuan penderita memiliki kemandirian
dalam melakukan aktivitas secara optimal dan tidak bergantung pada orang lain. Latihan yang diberikan bersifat
pengutan otot, memperluas lingkup gerak sendi dan latihan aerobik. Latihan ini diberikan pada semua pasien baik
yang belum mengalami tindakan pembedahan maupun yang pernah mengalami pembedahan 11.
Terapi latihan fisik dapat memberikan manfaat pada pasien baik secara langsung maupun tidak langsung12.
Manfaat yang didapat secara langsung adalah meningkatnya mobilitas sendi dan memperkuat otot yang menyokong
dan melindungi sendi, mengurangi nyeri dan kaku sendi. Latihan fisik teraput juga dapat mengurangi pembengkakan
Latihan peregangan (stretching) dan latihan untuk meningkatkan range of motion (ROM) secara aktif maupun
pasif memberikan manfaat dalam memperbaiki dan mempertahankan mobilitas sendi. Latihan fleksibilitas ditujukan
untung mengurangi kekakuan, meningkatkan mobilitas sendi, dan mencegah kontraktur jaringan lunak. Latihan ini
dapat dilakukan selama periode pemanasan atau tergabung dalam latihan ketahanan atau aktivitas aerobik 13.
Beberapa fakta menyebutkan bahwa kombinasi program latihan kinesthesia, latihan keseimbangan dan
ketangkasan atau biasa disebut dengan KBA (knee-stabilizing kinesthesia, balance and agility) dengan program
pengobatan latihan ketahanan atau resistance training exercise (RT) dapat mengurangi gejala OA lutut dan
meningkatkan fungsinya lebih cepat daripada hanya melakukan latiahan ketahanan (RT) saja 14, 15.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah stretching exercise, kinesthesia exercise, dan balance
exercise pada tungkai bawah efektif dalam menurunkan nyeri dan meningkatkan ROM pada pasien osteoarthritis di
PWRI Kota Kediri ?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efektivitas stretching exercise, kinesthesia exercise,
dan balance exercise pada tungkai bawah efektif dalam menurunkan nyeri dan meningkatkan ROM pasien
osteoarthritis.
Manfaat penelitian ini adalah (1) memberikan pengetahuan dan pengalaman ilmiah serta solusi pemecahan
masalah pengelolaan osteoarthritis dengan penanganan fisioterapi, (2) sebagai bahan referensi bagi mahasiswa
yang membutuhkan pengetahuan lebih terhadap penanganan dan intervensi fisioterapi pasien osteoarthritis tungkai
bawah, (3) memberikan pengetahuan di bidang kesehatan dan fisioterapi mengenai efektivitas stretching,
kinesthesia dan balance exercise pada tungkai bawah dalam menurunkan nyeri dan meningkatkan ROM pada
kasus osteoarthritis pada lansia, (4) menambah pengetahuan dan referensi mengenai program latihan yang efektif
untuk diintervensikan pada kasus osteoarthritis pada lansia.

MATERI DAN METODE


A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di cabang PWRI Kota Kediri. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juni 2013.
Desain penelitian ini adalah true eksperiment dengan pre and post test with control group design. Penelitian ini
dilakukan guna melihat perbedaan efektivitas stretching exercise, kinesthesia exercise dan balance exercise pada
tungkai bawah dalam menurunkan nyeri dan ROM pada lansia dengan osteoarthritis. Penilaian penurunan nyeri
diukur menggunakan skala WOMAC, sementara pengukuran ROM dilakukan dengan alat bantu goniometer.

B. Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah semua pengurus cabang PWRI Kota Kediri yang hadir pada saat
pertemuan rutin tanggal 6 Mei 2013 dan positif terdiagnosa osteoarthritis dengan melakukan tes diagnosa OA oleh
peneliti. Pengambilan sampel secara acak sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Berdasarkan rumus Pocock
sampel penelitian berjumlah 15 orang dan dibagi menajdi tiga kelompok perlakukan. Setiap kelompok perlakuan
terdiri dari 5 orang sampel.
Kelompok I
Kelompok perlakuan I diberikan program stretching exercise selama tiga minggu, dengan frekuensi tiga kali
dalam seminggu dan selama 15 – 20 menit setiap sesi.
Kelompok II
Kelompok perlakuan II diberikan program kinesthesia exercise selama tiga minggu, dengan frekuensi tiga
kali dalam seminggu dan selama 15 – 20 menit setiap sesi.
Kelompok III
Kelompok perlakuan III diberikan program balance exercise selama tiga minggu, dengan frekuensi tiga kali
seminggu dan selama 15 – 20 menit setiap sesi.

C. Cara Pengumpulan Data


Sebelum diberikan program latihan, kelompok I, kelompok II, dan kelompok III diukur tingkatan nyeri dan
jangkauan ROM nya. Pengukuran ROM dilakukan dengan menggunakan skala pengukuran nyeri WOMAC,
sementara ROM diukur dengan menggunakan alat bantu goniometer. Pengukuran awal ini berperan sebagai pre
test.
Program latihan pada masing-masing kelompok diberikan selama tiga minggu dengan frekuensi tiga kali
dalam seminggu. Setelah program berakhir, maka dilakukan lagi pengukuran nyeri dan ROM pada masing-masing
kelompok untuk mengetahui perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah program latihan diberikan. Pengukuran
akhir ini berperan sebagai post test.

Prosedur Pengukuran Nyeri


Pengamatan dilakukan secara langsung oleh peneliti dimana pasien mempraktekkan arahan-arahan
gerakan yang diberikan oleh peneliti. Peneliti menggunakan panduan pengukuran nyeri skala WOMAC. Jika pasien
mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan yang diarahkan peneliti, maka peneliti akan membantu pasien
dengan memberikan contoh gerakan maupun membantu pasien bergerak secara aktif.
WOMAC memiliki tiga komponen utama yang diobservasi secara visual yaitu komponen nyeri dengan lima
kriteria penilaian, komponen kekakuan dengan dua kriteria penilaian, dan fungsional fisik dengan 17 kriteria
penilaian.
Nilai diberikan berdasarkan skala intensitas nyeri 0 – 4 dimana 0 mewakili rasa tidak nyeri sama sekali
hingga yang tertinggi 4 untuk nyeri yang tidak tertahankan. Peneliti memberikan nilai berdasarkan pernyataan
pasien mengenai apa yang pasien rasakan. Perhitungan jumlah skor adalah sebagai berikut :
Total skor: total nilai WOMAC x 100%
96
Nilai minimal adalah 0 yang menggambarkan seluruh aktivitas yang dinilai tidak menimbulkan rasa sakit sama
sekali, dan nilai maksimal sebesar 96 yang menggambarkan seluruh aktivitas yang dinilai menimbulkan yang
sangat. Semakin besar skor WOMAC menggambarkan keadaan nyeri pasien yang tidak tertahankan.
Pengukuran ROM dengan alat bantu goniometer menggambarkan kemampuan jangkauan gerak pasien.
Nilai goniometer disajikan dalam bentuk derajat 0 - 360°. Semakin tinggi derajat jangkauan gerak pasien maka
semakin baik kemampuan jangkauan gerak pasien.

D. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 16 dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Analisa deskriptif untuk menyajikan data dengan bentuk tabel distribusi frekuensi untuk melihat gambaran
distribusi variabel penelitian yang diteliti. Data juga kemudian dinarasikan.
2. Uji normalitas dengan menggunakan Saphiro Wilk untuk menguji normalitas data hasil pengukuran nyeri dan
ROM masing-masing kelompok sebelum dan sesudah program latihan.
3. Untuk mengetahui perubahan keadaan pasien OA sebelum latihan dan sesudah latihan dilakukan Pengujian
data hasil pengukuran dengan uji Paired T-Test.
4. Untuk menguji efektivitas semua program latihan terhadap penurunan nyeri dan peningkatan ROM dilakukan
dengan uji Annova. Termasuk di dalamnya uji homogenitas.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Subyek
Tabel 1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Rentang Usia Jumlah %

60 – 65 7 46,7

66 – 70 2 13,3

71 – 74 6 40

Total 15 100

Sampel penelitian berjumlah 15 orang lansia anggota PWRI cabang Kota Kediri, yang kemudian dibagi
menjadi tiga kelompok berdasarkan jenis program latihan yang diberikan. Sampel lansia yang dilibatkan terdapat
pada golongan usia 60 – 74 tahun, dimana rata-rata berusia 67,5 tahun. Stieglitz dalam Nugroho (2008)4
menyebutkan bahwa OA merupakan salah satu penyakit yang berhubungan dengan proses menua. OA paling
sering menyerang mereka yang sudah lanjut usia terutama yang berusia di atas 50 tahun16. Studi yang dilakukan
oleh Felson (1995) tentang insiden dan riwayat alamiah OA pada lansia mengungkapkan bahwa 27% orang berusia
63 – 70 tahun memiliki bukti radiografik menderita OA lutut, yang meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun
atau lebih17.
Tabel 2 Karakter Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah %

Laki-laki 8 53,3

Perempuan 7 46,7

Total 15 100

Sampel penelitian terdiri dari 8 orang laki-laki dan 7 orang perempuan. Osteoarthritis merupakan
penyakit yang dapat menyerang baik pria maupun wanita (Kalim, 1996). Studi yang dilakukan oleh
Sharma (2004) membuktikan bahwa wanita terbukti memiliki resiko terserang OA lutut yang lebih tinggi
dibandingkan pria18. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2007) tentang faktor-faktor
risiko OA lutut membuktikan bahwa jenis kelamin perempuan tidak terbukti menjadi faktor risiko OA19.

Uji Normalitas Pengukuran Nyeri dan ROM


Tabel 3
Hasil Uji Normalitas Pengukuran Nyeri dan ROM Sebelum dan Sesudah Program Latihan
Shapiro-Wilk
Variabel Latihan
Mean Df p

Nyeri sebelum latihan Stretching 31,60 5 .855

Kinesthesia 30,60 5 .560

Balance 38,80 5 .814

Nyeri setelah latihan Stretching 26,40 5 .363

Kinesthesia 29,80 5 .129

Balance 35,80 5 .103

ROM sebelum latihan Stretching 134,00 5 .314


Kinesthesia 138,00 5 .814

Balance 137,00 5 .814

ROM setelah latihan Stretching 141,00 5 .314

Kinesthesia 139,00 5 .135

Balance 141,00 5 .314

Uji normalitas dengan uji Saphiro Wilk menghasilkan nilai probabilitas pengukuran nyeri dan
ROM baik saat kelompok responden belum diberikan latihan maupun sesudah diberikan latihan memiliki
nilai probabilitas (p) > α (0,05) . Berdasarkan dasar pengambilan keputusan untuk uji normalitas jika nilai
probabilitas lebih dari 0,05 (α) ( p > 0,05) maka data tersebut terdistribusi normal.

Perubahan Skala Nyeri pada Masing-masing Kelompok Sampel Setelah Diberikan Program Latihan

Tabel 4 Presentase Penurunan Nyeri pada Masing-masing Kelompok Sampel


Hasil Analisa

Rata-rata Nyeri Rata-rata Nyeri Selisih Penurunan Persentase


Kelpompok
Awal Akhir Nyeri Penurunan

(%)

I 31,6 26,4 5,2 16,46

II 30,6 29,8 0,8 2,61

III 38,8 35,8 3 7,73

Berdasarkan tabel 4. diketahui bahwa persentase rerata penurunan nyeri pasien osteoarthritis
pada sampel kelompok I lebih besar dibandingkan dengan kelompok II dan III. Persentase penurunan
nyeri kelompok I sebesar 16,46%.

Perubahan Skala ROM pada Masing-masing Kelompok Sampel Setelah Diberikan Program latihan
Tabel 5 Perubahan Skala ROM pada Masing-masing Kelompok Sampel
Hasil Analisa

Rata-rata ROM Selisih Persentase


Kelpompok
Rata-rata ROM Akhir Peningkatan ROM Peningkatan
Awal
(%)

I 134 141 7 5,22

II 138 139 1 0,72

III 137 141 4 2,92

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa presentase rata-rata peningkatan ROM pada kelompok I lebih besar
dibandingkan kelompok II dan III. Persentase peningkatan ROM kelompok I sebesar 5,22 %.

Efektifitas Stretching Exercise, Kinesthesia Exercise, dan Balance Exercise Tungkai Bawah dalam
Menurunkan Nyeri dan Meningkatkan ROM pada Pasien Osteoarthritis

Tabel 6 Selisih Hasil Pengukuran Penurunan Nyeri Setelah Diberikan Porgram Stretching Exercise,
Kinesthesia Exercise, dan Balance Exercise
Kelompok Rerata ± SD Homogenity P

I 5,2 ± 3,114

II 0,8 ± 0,837 0,143 0,034

III 3 ± 2,345

Uji perbandingan efektivitas dilakukan menggunakan uji One-way Annova dengan


membandingkan selisih hasil pengukuran penurunan nyeri dan peningkatan ROM setelah dilakukan
program latihan. Nilai homogenity of varians sebesar 0,143 dimana nilai ini lebih baesar dari nilai α (0,05)
yang artinya data hasil pengukuran nyeri adalah homogen pada masing-masing kelompok pasien. Nilai
probabilitas (p) adalah sebesar 0,034 dimana nilai ini lebih kecil dari nilai α (0,05). Meninjau dari dasar
pengambilan keputusan jika nilai p < α maka Ho ditolak, yang menggambarkan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna pada penurunan nyeri pada masing-masing kelompok yang diberikan program
latihan yang berbeda.
Tabel 7 Selisih Hasil Pengukuran Peningkatan ROM Setelah Diberikan Porgram Stretching Exercise,
Kinesthesia Exercise, dan Balance Exercise
Kelompok Rerata ± SD Homogenity P

I 7 ± 4,472

II 1 ± 2,236 0,117 0,039

III 3 ± 2,379

Berdasarkan hasil uji One-way Annova terhadap selisih hasil pengukuran ROM pada ke tiga
kelompok sampel, didapatkan hasil pengukuran dengan nilai homogenity of varians sebesar 0,117. Nilai
ini lebih besar dari 0,05 yang menggambarkan bahwa data hasil pengukuran dari ke tiga kelompok
memiliki varian yang sama atau homogen. Sementara itu, nilai probabilitas (p) adalah sebesar 0,039 yang
menyebutkan nilai ini lebih kecil dari nilai α (0,05) yang artinya terdapat perbedaan efektifitas antara ketiga
program latihan terhadap peningkatan ROM pada pasien osteoarthrtis tungkai bawah.
Perbedaan efektifitas masing-masing latihan terhadap penurunan nyeri dan peningkatan ROM
pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada tabel uji Pos-Hoc Test yang menyertai hasil uji One-way
Annova pada baris uji Benferroni dan Tukey HSD yang dapat menggambarkan variabel mana saja yang
berbeda.
1. Variabel Nyeri
a. Terdapat perbedaan efektifitas antara stretching exercise dan kinesthesia exercise dalam
menurunkan nyeri pasien OA tungkai bawah.
Nilai probabilitasnya adalah 0,027 dimana nilai ini lebih kecil dari nilai α (0,05). Nilai p < α
menggambarkan terdapatnya perbedaan yang bermakna antara penurunan nyeri kelompok I
(stretching exercise) dan kelompok II (kinesthesia exercise). Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa
penurunan nyeri kelompok I sebesar 16,46% sementara kelompok II sebesar 2,61%. Penurunan
nyeri kelompok I adalah lebih besar dari kelompok II sehingga stretching exercise lebih efektif
dalam menurunkan nyeri daripada kinesthesia exercise.
Setiap pasien dengan gejala yang menyertai sistem lokomotor, terutama gejala nyeri dan
atau terbatasnya gerak, dapat diuji dengan memperkirakan fungsi otot dan sendinya. Jika
pengujian menunjukkan sendi dapat berfungsi secara normal, tetapi menunjukkan adanya
pemendekan otot atau spasme otot, maka dapat dinyatakan penanganan berupa stretching
dibutuhkan20. Pada stretching otot dilatih untuk berkontraksi dalam waktu yang pendek kemudaian
relaksasi. Ini dilakukan berulang sehingga nantinya otot akan lebih mudah untuk distretching
dalam waktu yang lebih panjang 21.
Stretching merupakan jenis latihan penguluran yang dapat memperkuat dan
memperpanjang struktur kolagen. Stretching dapat dilakukan secara dinamis maupun pasif. Pada
stretching, otot dilatih untuk dapat berkontraksi optimal dan relaksasi sehingga otot menjadi lebih
fleksibel dan akan terbiasa untuk digunakan secara mekanis karena lebih fleksibel dan nyeri saat
beraktifitas dapat berkurang.
b. Tidak terdapat perbedaan efektifitas yang bermakna antara kinesthesia exercise dan balance
exercise dalam menurunkan nyeri pasien OA tungkai bawah.
Nilai probabilitasnya adalah sebesar 0,320 dimana nilai ini lebih besar daro nilai α (0,05).
Nilai p > α menggambarkan bahwa tidak terdapatnya perbedaan yang bermakna antara
kinesthesia exercise dan balance exercise dalam menurunkan nyeri. Berdasarkan tabel 6
diketahui bahwa penurunan nyeri kelompok II (kinesthesia exercise) sebesar 2,61% sementara
kelompok III (balance exercise) sebesar 7,73%. Penurunan nyeri kelompok III lebih besar
daripada kelompok II, akantetapi apabila dianalisa secara statistik, kedua angka ini tidak berbeda
secara bermakna.
Pada kasus OA lutut ditemukan bahwa kemampuan untuk merasakan posisi sendi
menurun, sementara Skinner dalam Lephart (1993) menyatakan bahwa kemampuan kinesthesia
menurun seiring bertambahnya usia. Pada kasus OA, kehilangan propriosepsi biasanya diiringi
dengan berkurangnya keseimbangan tubuh dari pasien22. Pasien OA biasanya mengalami
perasaan tidak stabil terutama pada kasus OA anggota gerak bawah. Ketidak seimbangan ini
dapat terjadi karena otot periartikular melemah karena sendi yang bersangkutan jarang
digerakkan, maupun karena otot periartikular harus bekerja keras untuk menggerakkan sendi saat
melakukan aktifitas.
Diracoglu (2005) menggambungkan kedua teknik latihan ini, latihan propriosepsi atau
kinesthesia exercise dan balance exercise pada sekelompok pasien OA untuk dinilai efektifitasnya
dibandingkan dengan kelompok yang diberikan latihan penguatan (strengthening exercise) pada
kasus OA menggunakan instrumen WOMAC dan SF-16. Hasil penelitiannya adalah kedua latihan
ini (kinesthesia dan balance exercise) efektif dalam meingkatkan fungsi fisik, menurunkan
keterbatasan gerak, dan meningkatkan vitalitas tubuh. Sementara itu, kedua latihan ini memiliki
efektifitas yang rendah dalam mengurangi nyeri karena memiliki peningkatan skor WOMAC yang
lebih rendah pada post exercise dibanding dengan kelompok strengthening exercise14.
Latihan kinesthesia akan efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien OA apabila
pada pelaksanaan programnya dikombinasikan dengan balance exercise. Hal ini dikarenakan
kedua latihan memiliki program gerak yang saling mendukung dan melengkapi.
c. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara balance exercise dan stretching exercise dalam
menurunkan nyeri pasien OA tungkai bawah.

Nilai probabilitasnya adalah sebesar 0,0320 dimana nilai ini lebih besar dari nilai α (0,05).
Nilai p > α menggambarkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara penurunan
nyeri pada kelompok III yang diberi balance exercise dengan kelompok I yang diberi stretching
exercise. Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa penurunan nyeri kelompok III adalah sebesar
7,73% sementara kelompok I sebesar 16,46%. Penurunan nyeri kelompol I lebih besar dibanding
kelompok III, akantetapi jika dianalisis menggunakan uji pasiftik kedua angka ini dianggap tidak
berbeda secara bermakna.
Hasil penelitian ini yang dilakukan oleh Kusnanto, Indrawati dan Mufidah (2007) juga
mengungkapkan bahwa latihan balance exercise yang dilakukan 3 kali seminggu selama 3
minggu dapat menimbulkan kontraksi otot pada lansia yang kemudian dapat
mengakibatkan peningkatan serat otot (hipertrofi), serat otot ini mengalami peningkatan
komponen sistem metabolisme fosfagen, termasuk ATP dan fosfokreatin sehingga dapat
meningkatkan kekuatan otot. Sehingga dengan meningkatnya kekuatan otot maka pembebanan
pada persendian akan berkurang sehingga dapat menurunkan intensitas nyeri.
Dibandingkan dengan stretching exercise, balance exercise dalam penelitian ini dilakukan
mandiri oleh responden (pasien OA) sehingga dibatasi oleh kemampuan responden dalam
melakukan gerakan-gerakan tertentu seperti berdiri pada satu kaki. Pada stretching exercise,
latihan ini dilakukan secara pasif, dimana peneliti yang dalam hal ini bertindak sebagai fisioterapis,
men-stretching tungkai bawah responden. Latihan ini dimulai dengan intensitas ringan dan
dilanjutkan pada intensitas optimal yang diinginkan. Pelaksanaan latihan dapat dikendalikan oleh
peneliti sehingga hasil yang diinginkan dapat optimal.

2. Variabel ROM
a. Terdapat perbedaan efektifitas stretching exercise terhadap kinestheisa exercise dalam
meningkatkan ROM pasien OA tungkai bawah.
Nilai probabilitasnya adalah 0,034 dimana nilai ini lebih kecil dari α (0,05). Nilai p < α
menggambarkan bahwa terdapat perbedaan efektifitas yang bermakna antara stretching exercise
dan kinesthesia exercise dalam meningkatkan ROM pasien OA. Berdasarkan tabel 7 diketahui
bahwa peningkatan ROM kelompok I sebesar 5,22% sementara kelompok II sebesar 2,72%.
Peningkatan ROM kelompok I lebih besar dibanding kelompok II.
Pada kasus OA seringkali diiringi dengan kelemahan otot serta pemendekan otot yang
mengakibatkan nyeri dan keterbatasan jangkauan gerak (ROM). Nyeri yang muncul akibat
keterbatasan ROM dapat menjadi peringatan mulai dibutuhkannya stretching exercise untuk
mengembalikan ROM secara penuh. Pada keadaan ini, stretching dibutuhkan untuk
meningkatkan mobilitas sendi, panjang otot dan fleksibilitas serta relaksasi otot21. Pada keadaan
ini, stretching menjadikan ROM lebih optimum dengan meningkatkan mobilitas sendi pada area
gerak yang dibutuhkan. Pada stretching yang aktif dilakukan dapat memperbaiki fungsi lokomotor
sistem. Perubahan yang terjadi adalah pada panjang otot dan tendon yang akan menyebabkan
perubahan anatomi, biokimia dan fisiologis, serta fungsi sendi dan metabolisme jaringan lunak23.
Program latihan ini dilakukan secara pasif dimana peneliti memegang kendali penuh
terhadap program latihan sehingga dapat dilaksanakan dengan optimal. Latihan ini dibatasi oleh
rasa sakit, dimana ketika responden mengalami sakit maka latihan akan dihentikan sementara
kemudian dilanjutkan lagi secara perlahan. Peregangan otot dilakukan hingga otot berkontraksi
optimal kemudian direlaksasi secara bertahap. Kontraksi dan relaksasi ini akan memberikan efek
pemanjangan otot secara perlahan sehingga jangkauan gerak akan meningkat seiring
pemanjangan otot yang distretching.

b. Tidak terdapat perbedaan efektifitas yang bermakna antara kinesthesia exercise dan balance
exercise dalam meningkatkan ROM pasien OA tungkai bawah.
Nilai probabilitas adalah sebesar 0,614 dimana nilai ini lebih besar dari α (0,05). Nilai p >
α menggambarkan tidak terdapatnya perbedaan efektifitas yang bermakna antara kinesthesia
exercise dan balance exercise dalam meningkatkan ROM pasien OA. Berdasarkan tabel 7
diketahui bahwa peningkatan ROM kelompok II sebesar 0,72% lebih kecil dibandingkan
peningkatan ROM kelompok III yaitu sebesar 2,92%. Peningkatan ROM kelompok III adalah lebih
besar dari kelompok II, namun jika dianalisis menggunakan uji pasiftik angka ini dianggap tidak
berbeda secara bermakna.
Individu dengan OA biasanya mengalami gangguan pada kemampuan jangkauan gerak
sehingga mereka mengalami keterbatasan dalam melakukan pergerakan terutama dalam
beraktivitas sehari-hari. Latihan ROM menjadi sangat penting untuk memperbaiki dan
mengembalikan luas jangkauan gerak pasien OA. Latihan ROM dapat berupa latihan peregangan,
latihan keseimbangan dan latihan propriosepsi (kinesthesia).
Latihan kinesthesia seringkali bukan latihan yang dilakukan secara mandiri. Artinya, dalam
pelaksanaan latihan ini selalu dikombinasikan dengan jenis latihan yang lain yang dirangkum
menjadi satu program latihan. Latihan ini biasanya dikombinasikan dengan latihan keseimbangan
(balance exercise) dan latihan ketangkasan (agility exercise) yang akhirnya dirangkum menjadi
latihan KBA (kinesthesia balance agility) exercise (Rogers, 2012).

c. Tidak terdapat perbedaan efektifitas yang bermakna antara balance exercise dan stretching
exercise dalam meningkatkan ROM pasien OA tungkai bawah.
Nilai probabilitasnya adalah sebesar 0,175 dimana nilai ini lebih besar dari nilai α (0,05).
Nilai p > α menggambarkan tidak terdapatnya perbedaan efektifitas yang bermakna antara
balance exercise dan stretching exercise dalam meningkatkan ROM pasien OA. Berdasarkan
tabel 7 diketahui bahwa peningkatan ROM kelompok III adalah sebesar 2,92% sementara
kelompok I adalah sebesar 5,22%. Peningkatan ROM kelompok III lebih kecil dibanding kelompok
I, namun jika dianalisis dengan uji statistik kedua angka ini tidak berbeda secara bermakna.
Latihan keseimbangan (balance exercise) adalah latihan khusus yang diajukan untuk
membantu meningkatkan kekekuatan otot pada anggota bawah (kaki) dan untuk meningkatkan
sistem vestibular/keseimbangan tubuh. Gerakan pada balance exercise hampir menyerupai
gerakan stretching jika dilakukan secara aktif. Pada balance exercise terdapat gerakan yang juga
bersifat meregangkan dan mengulur otot terutama anggota gerak bawah. Balance exercise pada
penelitian ini dilakukan secara mandiri oleh responden sehingga dibatasi oleh kemampuan
responden dalam menjaga keseimbangan dan rasa nyeri.
Balance exercise merupakan latihan yang jarang dilakukan secara sendiri. Biasanya
latihan ini menjadi salah satu latihan pada program latihan penanggulangan OA bersama latihan
kineshesia dan latihan ketangkasan atau biasa disebut KBA (kinesthesia-balance-agility) exercise.
Program latihan KBA didisain untuk menurunkan kerusakan proprioseptif dengan menggunakan
gerakan ketangkasan dan keseimbangan untuk mengaktifkan, menantang, dan mengadaptasi
sistem saraf proprioseptor. Penurunan defisiensi propriosepsi akan meningkatakn stabilitas
dinamis lutut dan mengembalikan fungsi aktifitas hidup sehari-hari (Rogers, 2012).

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa ketiga program latihan tersebut memberikan efektifitas yang berbeda dalam menurunkan nyeri dan
meningkatkan ROM pada pasien OA tungkai bawah dengan nilai p 0,034. Stretching exercise merupakan
program latihan yang paling efektif karena dapat menurunkan nyeri dan meningkatkan ROM dengan poin
yang paling tinggi yaitu sebesar 16,46% dan 5,22%, sementara itu kinesthesia exercise merupakan
program yang paling tidak efektif karena hanya menurunkan nyeri dan meningkatkan ROM dengan poin
yang paling rendah masing-masing yaitu sebesar 2,61% dan 0,72%.

Oleh karena itu, peneliti menyarankan (1) untuk menangani masalah osteoarthritis lutut pada
lansia dapat diterapkan pemberian stretching exercise dan balance exercise, (2) Dilakukan penelitian lebih
lanjut terhadap metode ini untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal dan dapat dijadikan masukan yang
bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi fisioterapi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Darmojo R.1999. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : Balai Penerbit FK – UI: 1 – 7
2. Badan Pusat Statistik, 2011. Data SP 2010 menurut Kelompok Umur. http://
www.bps.go.id/download_file/Data_SP2010_menurut_kelompok_umur.pdf diakses tanggal 8 Januari
2013
3. Kemenkes RI, 2011. Data Penduduk Sasaran Program Kesehatan 2011 – 2014. Jakarta : Pusat
Data dan Infomasi Kementrian Kesehatan RI
4. Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik Edisi 3. Jakarta : EGC
5. Murray C.J.L., dkk. 1996.The Global Burden of Disease. Geneva : World Health Organization : 1 – 3
6. Setiyohadi, Bambang. 2003.Osteoartritis Selayang Pandang. Dalam Temu Ilmiah Reumatologi.
Jakarta : 27 – 31
7. Haq, I., Murphy, E., & Drace, J. 2003. Osteoarthriti’s. Postgrad Med J. 79 : 377-83
8. Sharma L, Cahue S, Song J, dkk. 2003. Physical Functioning Over Three Years in Knee
Osteoarthritis: Role of Psychosocial, Local Mechanical, and NeuromuscularFfactors. Arthritis Rheum,
48:3359 –3370
9. Messier SP, dkk. 2002. Declines in Strength and Balance in Older Adults with Chronic Knee Pain: A
30-Month Longitudinal, Observational Study. Arthritis Rheum, 47:141–148
10. Zhang, W., dkk. 2010. OARSI Recommendations for Themanagement of Hip and Knee Osteoarthritis
Part III: Changes Inevidence Following Systematic Cumulative Update of Researchpublished
Through January 2009. Osteoarthritis and Cartilage 18, 476-499
11. Klippel John H., Dieppe Paul A., Brooks Peter, dkk.1994.Osteoarthritis. In : Rheumatology. United
Kingdom : Mosby – Year Book Europe Limited: 2.1 – 10.6
12. DiNubile, N.A. 1997. Osteoarthritis : How to Make Exercise Part of Your Treatment Plan. The
Physician & Sportmedicine, vol.25.no,7 : 1- 10
13. Lee, A., Wong, W., & Wong, S. 2005. Clinical Guidelines for Managing Lower-Limb Osteoarthritits in
Hongkong Primary Care Setting. Guidelines : 1 – 30
14. Diracoglu, Demirham. 2005. Effects of Kinesthesia adn Balance Exercise in Knee Osteoarthritis.
Journal of Clinical Rheumatology Vol 11
15. Fitzgerald, G., Childs, J., Ridge, T. and Irrgang, J. 2002. Agility and Perturbation Training for a
Physically Active Individual with Knee Osteoarthritis. Physical Therapy, 82: 372-382
16. Moll, J.M.H. 1992. Atlas Bantu Rematologi. Jakarta : Hipocrates
17. Felson, D.T. 1995. The Inciedent and Natural History of Knee Osteoarthritis in The Elderly : The
Framingham Osteoarthritis Study. Arthritis Rheum; 38 : 1134 – 1141.
18. Sharma, L, dkk. 2004. The Impact of Gender Varus – Valgus :axity in Knees with and Without
Osteoarthritis. Johns Hopkins Arthritis ACR Highlights on Osteoarthritis Epidemiologi.htm
19. Maharani. 2007. Faktor-faktor Resiko Osteoartritis Lutut. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro
20. Evjenth, O. 2003. Mucsle Stretching in Manual Theraphy : a Clinical Manual Therapy, Vol II. Sweden:
Alfa Rehab Center Promotion AB.
21. Ylinen, Jari. 2008. Stretching Theraphy for Sport and Manual Theraoies. England : Elsavier
22. Lephart, S.M. 1993. Reestablishing Proprioception, Kinesthesia, Joint Position Sense, and
Neuromuscular Control in Rehabilitation. In: Rehabilitation Techniques in Sports Medicine (2nd
edition). St. Louis, Missouri: Times Mirror Mosby College Publishing
23. Fransen, Marlene. 2001. Physical Therapy is Effective for Patients with Osteoarthritis of The Knee : a
Randomized Controlled Clinical Trial. The Journal of Rheumatology

Anda mungkin juga menyukai