Anda di halaman 1dari 6

1.

Pembangunan politik haruslah didahulukan ketimbang pembangunan ekonomi karena


dengan praktik perpolitikan yang baik maka akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dalam suatu negara, pembangunan politik yang baik adalah syarat
berkembangnya pertumbuhan ekonomi yang baik pula. Tujuan pembangunan politik
terdari lima tujuan, yakni pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan, demokrasi,
stabilitas, dan otonomi nasional. Dalam analisis pembangunan politik terdapat
hubungan yang erat antara sistem teori dan stuktur-fungsional. Tidak bisa dipisahkan
antara penggunaan pendekatan fungsional tanpa menggunakan sebagian dari konsep
sistem politik. Di antara konsep-konsep yang penting ialah: stuktur, legimitasi, input
dan output, umpan balik, lingkungan, dan equilibrium. Dalam praktiknya
pembangunan politik untuk menunjang pembangunan ekonomi harus
berkesinambungan dan menyeluruh. Meliputi masyarakat sebagai kekuatan terbesar
dalam negara, organisasi kemasyarakatan atau LSM sebagai fungsi kontrol kepada
negara, lembaga negara itu sendiri sebagai pembuat kebijakan untuk pembangunan
ekonomi dan tentunya partai politik. Dalam pembangunan politik di khususnya negara
demokrasi seperti Indonesia ini yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah
perpolitikannya, partai politik adalah kuncinya. Partai politik merupakan lembaga
politik yang menyaring para warga negara atau masyarakat untuk menjadi para wakil
rakyat. Partai politik memiliki beberapa fungsi dalam sebuah negara, yaitu pendidikan
politik dan kaderisasi. Pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk
mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan
menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal
hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan tingkah laku
politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal itu dan bersamaan dengan itu
pulalah kebudayaan politik baru. Pendidikan politik menunjukan pada proses di mana
sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan
merupakan sarana bagi generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan
keyakinan politik pada generasi berikutnya. Penyelenggaraan pendidikan politik akan
erat kaitannya dengan bentuk pendidikan politik yang akan diterapkan di masyarakat
nantinya. Keberhasilan pendidikan politik tidak akan dapat tercapai jika tidak
dibarengi dengan usaha yang nyata di lapangan. Oleh karena itu, bentuk pendidikan
politik yang dipilih dapat menentukan keberhasilan dari adanya penyelenggaraan
pendidikan politik ini. Bentuk pendidikan politik dapat diselenggarakan antara lain
melalui:1. bahan bacaan seperti surat kabar, majalah, dan lain-lain bentuk publikasi
massa yang biasa membentuk pendapat umum;2. siaran radio dan televisi serta film
(audio visual media); 3. lembaga atau asosiasi dalam masyarakat seperti masjid atau
gereja tempat menyampaikan khotbah, dan juga lembaga pendidikan formal ataupun
iniformal. Sedangkan kaderisasi partai politik merupakan orang yang dididik untuk
melanjutkan tongkat estafet dari suatu partai atau organisasi. Recruitmen dalam
perpolitikan atau kaderisasi biasanya mencakup pemilihan, seleksi dan pengangkatan
seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam
sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. Namun dalam
kenyataanya, implementasi antara kaderisasi dan rekrutmen masih rancu dalam
perpolitikan nasional, dimana masih banyak partai yang sulit membedakan antara
keduanya Dalam proses kaderisasi, terdapat dua macam prosesnya, yaitu: kaderisasi
informal dan kaderisasi formal. Dalam kaderisasi informal, proses yang dilakukan
dapat dilihat dari proses kehidupan sehari-hari manusia di lingkungan masyarakat.
Hal ini dilihat dari kehidupan kanak-kanak hingga remaja dan dewasa sebagai proses
pembentukan jati diri, sehingga memiliki keunggulan dan mampu bersaing dalam
setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Selain itu pembangunan perpolitikan juga
tidak lepas dari orang-orang atau para wakil rakyat dalam pemerintahan yang
mengeluarkan peraturan. Para wakil rakyat tersebut haruslah memiliki moralitas yang
baik dan pro terhadap rakyat, jika para wakil rakyat atau para pemimpin
mementingkan diri sendiri atau organisasi dan partainya bukan tidak mungkin
peraturan yang mereka buat akan menguntungkan diri sendiri, organisasi atau partai
politiknya masing-masing dan tidak memberikan dampak positif bagi pembangunan
ekonomi dalam negara tersebut. Karena itu penting untuk membangun perpolitikan
dalam sebuah negara terlebih dahulu ketimbang pembangunan ekonominya.
Pembangunan ekonomi akan lebih maksimal jika perpolitikan dalam negara tersebut
telah mencapai titik tertentu yang menciptakan kondisi negara kondusif dan pro
rakyat.
2. Masalah dalam pembangunan politik dan pemerintahan di Indonesia yang saat ini
sangat terlihat adalah adanya ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-
lembaga tertinggi/tinggi negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif); belum
akomodatifnya konstitusi (UUD 1945) dan perundang-undangan yang ada terhadap
dinamika perubahan masyarakat; rentannya konflik, baik vertikal maupun horizontal;
menguatnya gejala disintegrasi bangsa yang sering kali mencari pembenaran dan
dukungan dari pihak luar negeri tertentu; serta merebaknya berbagai tindak kekerasan
dan aksi massa yang sering kali memaksakan kehendak. Selain itu, permasalahan lain
yang muncul sebagai akibat dari warisan sistem politik pada masa lalu adalah
ketidaknetralan serta keberpihakan pegawai negeri sipil (PNS) dan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terhadap
kepentingan penguasa; lemahnya pengawasan terhadap kinerja penyelenggara negara,
sehingga menjadi penyebab meluasnya tindakan KKN; belum terlaksananya prinsip-
prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance); lemahnya
kelembagaan dan ketatalaksanaan penyelenggaraan negara, dan lemahnya kapasitas
sumber daya manusia; serta belum memadainya sarana dan prasarana untuk
mendukung pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan. Berkenaan dengan
hubungan dan politik luar negeri, permasalahan pokok yang dihadapi adalah
kekurangsiapan Indonesia dalam mengantisipasi berbagai ekses globalisasi politik dan
ekonomi; dan lemahnya posisi tawar Indonesia dalam percaturan internasional. Di
samping itu, Indonesia belum mampu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi secara optimal guna memperkuat daya saing dalam menghadapi
tantangan global serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan
meningkatkan kesadaran politik rakyat. Selain itu Indonesia saat ini menghadapi
penyelenggaraan pilkada serentak yang akan dilaksanakan dalam masa pandemi ini.
Pemilihan umum secara langsung dan serentak akan Ada 270 daerah yang akan
menyelenggarakan Pemilihan Serentak tersebut –dengan rincian yaitu 9 provinsi, 224
kabupaten, dan 37 kota. Seperti biasanya, di awal penyelenggaraan pemilihan selalu
ada pro-kontra atau konflik gagasan politik di ruang publik. Pemerintah saat ini ngotot
akan melakukan pemilihan umum serentak tersebut sedangkan banyak pakar dan ahli
yang menyarankan untuk menunda pemilu serentak tersebut karena Indonesia dalam
kasus Covid-19 sedang mengalami kenaikan tiap harinya pada pada sebagian besar
wilayahnya. Ini dikhawatirkan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19 yang ada di
Indonesia. Dalam pembangunan pemerintahan di Indonesia, Indonesia saat ini
menekankan pada tiga hal. Yang pertama adalah infrastruktur, hal ini dapat dilihat
dari peringkat Indonesia di Global Competitiveness Index merangsek naik. Dari
peringkat 90 pada tahun 2011, menjadi peringkat 60 pada tahun 2016. Pembangunan
infrastruktur kemudian membuat harga bahan bakar minyak di Papua sudah setara
dengan di Pulau Jawa. Itu merupakan salah satu dampak positif dari keseriusan
pemerintah Indonesia, yang kedua adalah belanja untuk biaya pendidikan dan
kesehatan. Hal ini dilakukan demi meningkatkan kualitas human capital itu sendiri.
Sehingga pada akhirnya peningkatan infrastruktur bisa dimanfaatkan secara tepat
guna karena telah disokong oleh SDM yang baik pula. “Belanja pendidikan ada 20%
dari total anggaran negara,” jelas Sri Mulyani. Secara spesifik, ada 444 triliyun. Di
samping soal kesehatan, juga ada perihal kesehatan. Jika digabungkan dengan
pendidikan ada sekitar 550 triliyun untuk anggaran kesehatan. Dan yang ketida adalah
bantuan pemerintah langsung kepada masyarakat. Bantuan ini adalah bantuan yang
langsung dirasakan oleh masyarakat. Misalnya berupa uang bantuan modal, atau
bantuan berupa barang. Tujuannya untuk mengentaskan kemiskinan kepada
pemerintah. Sejauh ini, tiga fokus ini berdampak baik bagi perekonomian Indonesia.
Saat ini sendiri, dalam kuartal ketiga 2017, ekspor Indonesia telah meningkat hingga
17%. Serta pertumbuhan ekonomi, jika dibandingkan tahun lalu, telah naik. Dari
sebelumnya hanya 3,2% menjadi 2,7%, Secara keseluruhan, ekonomi Indonesia
tumbuh 5%. Dalam upaya peningkatan kehidupan yang demokratis di Indonesia
masih menemui kendala atau masalah dalam praktiknya. Praktik demokrasi di
Indonesia saat ini masih sekadar bekerja secara formal dan prosedural. Demokrasi
belumlah seiring sejalan dengan pluralisme dan toleransi. Agenda demokrasi dan
agenda pluralisme serta toleransi belum menjadi satu tarikan nafas. Demokrasi dalam
arti substansial belum menjadi realitas sehari-hari. Selain itu terdapat masalah lain
dalam praktik demokrasi di Indonesia, banyak masyarakat yang kecewa dengan
sistem demokrasi ini. Tidak semua wakil rakyat yang telah mereka tunjuk benar-benar
menjadi saluran aspirasi dan pendapat kaum sipil. Para wakil rakyat tersebut memang
menjadi jembatan, tetapi seringkali mereka menjadi jembatan bagi kelompok mereka
tersendiri demi tercapainya keinginan pribadi atau kelompok. Selain itu Masih banyak
terjadi ketimpangan dalam berbagai bidang antar penduduk di berbagai wilayah
Indonesia. Sebagai contoh, bidang pendidikan, pendidikan di Indonesia ini belum
benar-benar merata.  Para penduduk di kota-kota besar tentu mendapat lebih banyak
fasilitas yang dapat menunjang sistem pendidikan. Sedangkan para penduduk di
pelosok tentu memiliki fasilitas yang jauh lebih minim dibandingkan fasilitas yang
dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Selain itu terjadi permasalahan kondisi politik di
Indonesia tidak lama sebelum pandemi COVID-19 dapat dikatakan mengalami titik
balik bagi demokrasi yang semakin memburuk. Ini sebenarnya hanya kelanjutan dari
situasi yang secara umum tengah terjadi. Kondisi ini tercermin dari upaya pemerintah
menelurkan berbagai kebijakan kontroversial, yang kemudian ramai disoroti dan
dikritisi oleh masyarakat. Ketiga kebijakan itu adalah (1) Revisi UU KPK atau di
kalangan pegiat demokrasi dikenal sebagai UU pelemahan KPK; (2) UU KUHP, yang
membuka peluang intervensi kepentingan negara dalam ranah privat; dan (3) RUU
Cipta Kerja/Omnibus Law, yang dalam banyak aspeknya lebih memberikan
keuntungan kepada kaum pebisnis besar atau investor ketimbang pekerja/buruh.
Ketiga kebijakan itu juga sarat dengan upaya melakukan sentralisasi kekuasaan dan
intervensi negara, sehingga ruang publik (bahkan privat) maupun kewenangan
pemerintahan daerah menjadi tereduksi. Tidak itu saja, upaya-upaya pemberantasan
korupsi menjadi dalam pengawasan ketat pemerintah. Padahal pengawasan ketat
semacam itu adalah sebuah bencana untuk pelaksanaan pencegahan dan penindakan
korupsi berskala masif. Dengan melihat ekosistem politik seperti ini, tampak
penguatan peran negara menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari. Memang situasi
ini tidak selalu akan mengarah pada pemusnahan demokrasi, namun manakala itu
tidak sesuai takaran dan periode waktu yang dibatasi, maka akan berpotensi
melanggengkan kekuasaan menuju totaliter atau setidaknya, akan membawa pada
pelemahan demokrasi karena adanya tendensi pemerintahan yang terpusat dan
memunculkan para oportunis atau ligarki. Di tengah pandemi COVID-19 ini secara
substansi demokrasi memang tidak banyak perubahan. Pada dasarnya masih akan
menghadapi problematika demokrasi yang sama. Beberapa fenomena terakhir
cenderung mengkonfirmasi hal ini. Yang pertama masih terus lemahnya checks and
balances dari DPR. Kondisi semacam ini tampak telah menjadi natur DPR era Jokowi
yang pada umumnya kurang kritis dan sekadar menjadi pendukung penguasa. Yang
kedua, konsolidasi civil society yang tetap masih belum maksimal. Secara umum
kalangan ini masih terus bergulat dengan lingkungan yang tidak kondusif
para buzzer untuk saling serang dan juga membungkam kritik dan mencanangkan satu
versi kebenaran. Akibatnya, kalangan masyarakat umum tetap memainkan peran
pinggiran dan terabaikan. sinergi dan koordinasi internal pemerintahan yang tidak
berjalan dengan baik. Kondisi ini telah menimbulkan saling silang di jajaran
pemerintahan sendiri. Pemusatan kekuasaan dan birokrasi penentuan kebijakan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi efek dari situasi yang tidak
terkoordinasi dan tidak sinergis itu. Sentralisasi kebijakan ini kerap dipertanyakan,
mengingat PSBB harus dilakukan segera oleh kepala daerah tanpa harus menunggu
keputusan administratif yang memperpanjang rantai birokrasi. Apalagi kenyataannya,
kita sudah terlanjur lambat dalam merespon pandemi ini.

Anda mungkin juga menyukai