SYAMSUDDIN ARIF
Pusat Kajian Tinggi Islam, Sains dan Peradaban (CASIS)
Universiti Teknologi Malaysia (UTM)
Satu dari beberapa gagasan dahsyat yang muncul di zaman kita adalah gagasan Islamisasi
atau pengislaman ilmu (dalam arti luas, yakni: pengetahuan/knowledge, maupun dalam arti
khusus, yakni: pelbagai disiplin ilmu/sciences). Gagasan ini lahir dari sebuah kesadaran,
keprihatinan, dan pemikiran mendalam terhadap keadaan Umat Islam di zaman modern
yang menyaksikan penjajahan, penindasan, pembantaian, dan penghinaan di merata
tempat sejak beberapa ratus tahun terakhir. Manakala ramai tokoh cendekiawan Muslim
dengan lugu menerima modernisasi, sekularisasi, dan liberalisasi sebagai jalan keluar dari
keadaan buruk yang dialami Umat Islam, segelintir pemikir Muslim lainnya dengan tegas
dan bijak menolak modernisme, sekularisme dan liberalisme. Tidak sekadar menolak,
mereka juga menawarkan solusi jangka panjang melalui pendidikan. Termasuk di antara
mereka ini adalah Seyyed Hossein Nasr dari Iran, Syed Muhammad Naquib al-Attas di
Malaysia, dan almarhum Ismail Raji al-Faruqi (yang berasal dari Palestin) di Amerika.
Makalah ringkas ini akan mengulas gagasan Islamisasi ilmu yang mereka kemukakan dan
tanggapan, penerimaan, penolakan, pengamalan serta pengubahsuaian yang dilakukan
terhadapnya khasnya di Indonesia dan Malaysia.
Upaya Awal
Seruan kepada modernisasi sebagai solusi mula terdengar semenjak Napoleon Bonaparte
menginjakkan kakinya di bumi Mesir pada tahun 1798. Kejatuhan Dinasti Turki Usmani
menjadikan ramai orang Islam semakin mengagumi sains dan teknologi bangsa Eropa.
Setelah dikuasai Perancis, Mesir diperintah oleh Muḥammad ‘Alī Pāshā selama lebih dari
tiga dasawarsa (1805-1848). Ia mendirikan lembaga percetakan pertama (al-Maṭba‘ah al-
Amīriyyah) di Būlāq, menubuhkan beberapa sekolah teknik, dan mengutus lebih dari 400
sarjana ke Eropa untuk mempelajari pelbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di Turki pula Sultan Selim III (1761-1808) melakukan modernisasi di bidang militer dan
pendidikan melalui penerjemahan buku-buku Eropa, memasukkan pengajaran sains dan
teknologi modern ke dalam kurikulum sekolah dan menyewa guru-guru asing. Puncaknya
terjadi apabila Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) melakukan revolusi di Turki dengan
gagasan sekularisasinya. Semua itu dilakukan kononnya demi mengejar ketertinggalan
dan keterbelakangan yang begitu merisaukan, seperti diungkap dalam judul sebuah buku
terkenal: limādhā ta’akhkhara ’l-Muslimūm wa taqaddama ghayruhum? oleh Shakīb Amīr Arslān
(Kairo, 1930).
1
Sementara itu terdengar pula seruan kepada pembaharuan (tajdīd), yang dipahami
sebagai upaya menjawab tantangan zaman baru dengan cara memelihara warisan silam
yang masih boleh digunapakai dan membuang petuah-petuah yang tak lagi sesuai tetapi
juga menerima dan mengambil apa-apa yang elok dari zaman baru: al-muḥāfaẓah ‘alā al-
qadīm al-ṣāliḥ wa al-akhdhu bi al-jadīd al-aṣlaḥ. Berkenaan dengan sains modern, salah satu
tokoh yang bersikap terbuka dan cenderung mengaguminya ialah Jamāluddīn al-Afghānī
(1838-1897). Walaupun menentang imperialisme Eropa, beliau tidak melihat kontradiksi
antara Islam dan sains. Menurutnya, kaum Muslim mesti menguasai sains supaya dapat
melawan imperialisme Barat. Sains dan teknologi adalah alat belaka, sedang tujuan dan
kegunaannya diatur oleh agama. Islam menganjurkan pemikiran rasional dan mengecam
sikap mengekor (taqlīd). Dalam hal ini dianjurkannya pula kajian filsafat Islam yang telah
diketepikan. Seruan al-Afghānī diteruskan lagi oleh Muḥammad ‘Abduh (1849-1905) dan
murid beliau Muḥammad Rashīd Riḍā (1865-1935). ‘Abduh menyerukan perlunya ijtihād
baru untuk menafsirkan kembali ajaran Islam agar sesuai dengan Zeitsgeist dan karenanya
perlu mencontoh Barat dalam pengajaran dan pengembangan sains. Tokoh lainnya yang
mengusung modernisasi dalam arti westernisasi ialah Ṭāhā Ḥusayn (1889-1971). Seorang
cendekiawan sekular, ia dikenal sangat memuja kemajuan bangsa Eropa dalam sains dan
teknologi dan amat gigih berusaha menyingkirkan unsur agama dari bahasa, budaya dan
tamadun manusia.
Demikian pula di India. Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) menganjurkan Muslim
agar menguasai sains modern yang menurutnya telah terbukti berhasil membebaskan
masyarakat Eropa dari cengkeraman khurafat dan dominasi Gereja. Maka beliau merasa
perlu melenyapkan unsur-unsur supranatural yang tidak rasional dan tidak saintifik dari
penafsiran al-Qur’an. Di awal abad ke-20 muncul Muhammad Iqbal (1877-1938), salah
seorang Muslim pertama di anak benua India yang sempat mengkaji pemikiran Barat
modern dan mempunyai akses mendalam pada tradisi intelektual Islam. Dalam karyanya
The Reconstruction of Religious Thought in Islam (terbit pertama kali tahun 1930) ia bermaksud
mengungkapkan kembali pemikiran Islam dalam bahasa modern agar dapat dipahami
oleh generasi baru Muslim yang telah mengenyam pendidikan modern dan mengetahui
perkembangan sains dan filsafat Eropa abad ke-20 (dengan merujuk kepada Bergson dan
Nietzsche diantaranya). Manakala Ahmad Khan tampak bersikap apologetik karena mau
menunjukkan kesesuaian ajaran Islam dengan rasionalitas dan sains modern, Iqbal lebih
bijak dengan menerima sains modern sebagai alat tetapi bersikap kritikal terhadap nilai-
nilai epistemologi dan moral yang mendasarinya. Menurut Iqbal, kesesuaian antara Islam
dan sains modern tidak hanya pada sisi permukaan (untuk memberikan kesenangan dan
kebahagiaan kepada manusia dalam hidupnya), akan tetapi lebih daripada itu bertujuan
mencapai Hakikat. Jikalau sains sama dengan nalar dan agama dengan intuisi, maka kata
Iqbal: “Both are in need of each other for mutual rejuvenation. Both seek visions of the same Reality
which reveals itself to them in accordance with their function in life” (hlm. 2). Meskipun bertujuan
sama, sains hanya berurusan dengan struktur sesuatu, dan tak mampu berbicara tentang
Hakikat Akhir dari segala sesuatu yang memiliki struktur itu. Ini karena sains hanyalah
kumpulan pandangan yang sepotong-sepotong mengenai Hakikat. Demikianlah Iqbal
menembus ke dalam jantung persoalan.
Patut kita ingat bahwa pada zaman al-Afghānī, ‘Abduh, Ahmad Khan dan Iqbal,
hampir semua negara-negara Muslim telah dicerobohi dan ditaklukkan oleh kuasa-kuasa
Eropa. Perancis menduduki Mesir, Tunis, Aljazair, Marokko, Senegal dan wilayah lain di
sekitarnya, Inggris menguasai Sudan, India, Pakistan, dan Malaya, Spanyol menjajah
2
wilayah kesultanan Sulu (yang ditukar namanya menjadi Philippines), manakala Belanda
telah menancapkan kekuasaannya di kepulauan Indonesia. Sebelum kedatangan mereka,
anak-anak orang Islam belajar di kuttāb, madrasah, zāwiyah, surau, pondok, pesantren dan
sebagainya, tetapi lama kelamaan sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh penjajah
Perancis, Inggris, Spanyol, dan Belanda menggeser dan meminggirkan itu semua. Inilah
awal tumbuhnya dichotomy keilmuan yang telah memecah-belah Umat Islam di seluruh
dunia. Jumlah alumni sekolah-sekolah kolonial yang meningkat terus dan bertransformasi
menjadi sekolah kebangsaan dan universiti modern semakin menyuburkan lagi keasingan
(alienation) kaum Muslim kepada agamanya sendiri. Ramai yang mengalami krisis identiti,
tumbuh menjadi orang dewasa, sarjana, ilmuwan, profesional, tokoh masyarakat, bahkan
pemimpin politik yang kurang atau tidak mengerti sama sekali ajaran-ajaran Islam secara
menyeluruh dan relevansinya dengan bidang kehidupan mereka. Seperti ditegaskan oleh
William Montgomery Watt, bekas mahaguru di Universiti Edinburgh: “All Islamic countries
had a Western type educational system up to university level, and it is in this that most of the best brains of
the country receive their education…. One result of this process has been the creation of a new class of
western-educated people, most of whom do not accept the traditional Islamic worldview.”
Gagasan Islamisasi
Menyusul Sidang Antarabangsa Pendidikan Islam di Mekkah pada tahun 1977, dimana
hadir ramai tokoh ilmuwan dan cendekiawan Muslim dari seluruh dunia, lahir gagasan
baru tentang perlunya Islamisasi ilmu. Secara umum, gagasan ini bertolak dari observasi
bahwa sains dan ilmu manusia umumnya bukanlah neutral dan hampa nilai (science is not
value-free) –sebuah kesimpulan yang dinyatakan juga oleh pemikir Jerman abad ini Jürgen
Habermas dalam bukunya, Erkenntnis und Interesse (1968). Pandangan bahwasanya sains itu
neutral dan hampa nilai biasanya dipegang oleh para ilmuwan Barat yang kononnya
mau mencapai objektivitas maksimal, agar tidak memihak atau berat sebelah (biased). Ini
yang kemudian disangkal oleh Habermas dan ramai tokoh ilmuwan Muslim.
Tokoh yang paling depan dan gigih menekankan perlunya Islamisasi ilmu adalah
Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam tulisan monumental berjudul De-westernization of
Knowledge (1978). Ia melihat masalah terbesar umat Islam saat ini adalah masalah ilmu;
dan banyak masalah lainnya timbul akibat dari masalah ini. Menurut beliau, ilmu-ilmu
modern yang sekarang ini diajarkan di sekolah-sekolah dan institusi pengajian tinggi di
negara-negara Islam berasal dari Barat dan menayangkan visi intelektual dan psikologi
budaya serta peradaban Barat. Kebanyakan umat Islam yang belajar atau mengajar tidak
sadar bahwa ilmu-ilmu modern itu sesungguhnya: (i) mendaulat akal sebagai pedoman;
(ii) bersikap dualistik terhadap realiti dan kebenaran; (iii) mengutamakan pandangan
alam sekular; (4) menjunjung tinggi humanisme; dan (5) menjadikan drama dan tragedi
sebagai unsur-unsur pokok fitrah dan jatidiri manusia. Hal ini terjadi akibat Westernisasi
yang pada gilirannya melahirkan pelbagai pahaman dan pemikiran yang keliru seperti
skeptisisme, relativisme, agnostisme, atheisme, liberalisme, materialisme, dan sebagainya.
Pada tingkat yang lebih parah, Westernisasi ilmu bukan saja telah menceraikan manusia
dari Tuhannya, namun juga telah mengingkari Wahyu sebagai sumber ilmu.
Salah satu ciri khas al-Attas adalah ketelitiannya dalam menjelaskan istilah-istilah
kunci dalam Islam sehingga tidak membingungkan orang. Diterangkan dengan jitu,
misalnya, apa makna Islamisasi dalam konteks luas, yaitu “pembebasan manusia dari
tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional [yang bertentangan dengan Islam] dan
3
dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa .... dan pembebasan
manusia dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekular dan tidak adil terhadap
hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap
hakikat dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang sebenarnya, dan
berbuat tidak adil terhadapnya. Dalam lingkup pribadi, Islamisasi adalah pengakuan
terhadap Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin dan manusia teladan, lalu pada
tingkat kolektif, sosial, dan historis, ia berkaitan dengan perjuangan umat ke arah realisasi
kesempurnaan moralitas dan etika yang telah dicapai pada zaman Nabi saw. Kemudian
secara epistemologis, Islamisasi adalah pembebasan akal manusia dari keraguan (shakk),
prasangka (ẓann), dan argumentasi kosong (mirā’) menuju pencapaian keyakinan (yaqīn)
dan kebenaran (ḥaqq) mengenai hakikat-hakikat spiritual, rasional, dan material. Proses
pembebasan ini kendati pada awalnya bergantung pada pengetahuan ilmiah biasa tetapi
pada puncaknya selalu dibangun atas dan dibimbing oleh ilmu pengetahuan khas yang
disebut sebagai ma‘rifah (ilmu pengenalan). Bentuk ilmu pengetahuan khas ini melibatkan
ilmu farḍu ‘ayn yang sifatnya dinamis –meningkat sesuai dengan kemampuan spiritual dan
intelektual serta tanggung jawab sosial dan profesional orang yang bersangkutan. Adapun
bentuk pengetahuan ilmiah biasa itu melibatkan ilmu farḍu kifāyah, dimana Islamisasi
berarti pembersihan ilmu-ilmu tersebut dari segala tafsiran yang berdiri di atas ideologi,
makna-makna, dan ungkapan-ungkapan sekular.
Al-Attas juga menerangkan bahwa Islamisasi ilmu modern melibatkan dua proses
yang saling berkaitan, yaitu: (i) pemisahan unsur-unsur dan paham-paham pokok (key
elements and key concepts) yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat dari setiap
disiplin ilmu modern, khususnya ilmu-ilmu sosial kemanusiaan (humaniora). Meski begitu,
tegasnya, ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu terapan (applied sciences) pun perlu
diislamkan, khususnya dalam lingkup interpretasi fakta dan formulasi teori. Selanjutnya
ia katakana bahwa dalam menilai ilmu-ilmu tersebut kita mesti menguji secara kritis
metode-metode, konsep-konsep, teori-teori, dan simbol-simbol yang digunakan, aspek-
aspek empiris dan rasional serta aspek-aspek yang bersinggungan dengan nilai dan etika,
interpretasi mengenai asal-usul objek kajiannya, landasan epistemologi dan ontologinya,
pandangan mengenai eksistensi dan realitas, keseragaman alam semesta, dan rasionalitas
proses-proses alam, dan sebagainya. Kedua (ii), pemasukan unsur-unsur islami berupa
konsep-konsep kunci ke dalam setiap disiplin ilmu masa kini yang relevan. Dua tugas ini
sudah barang tentu menghendaki pemahaman mendalam mengenai bentuk, jiwa, dan
sifat-sifat Islam sebagai agama, kebudayaan, dan peradaban, juga mengenai kebudayaan
dan peradaban Barat. Termasuk konsep-konsep asasi Islam yang perlu dimasukkan ke
dalam tubuh ilmu apa pun yang dipelajari umat Islam adalah pemahaman mengenai
hakikat agama (dīn), manusia (insān), ilmu (‘ilm dan ma‘rifah), keadilan (‘adl), perilaku yang
benar (‘amal sebagai adab), dan semua istilah yang berkaitan dengan itu semua. Konsep
universitas (kulliyyah jāmi‘ah) juga ditekankan al-Attas sebagai implementasi semua konsep
itu yang menjadi bagian integral dari pandangan alam (worldview) Islam.
Gagasan Islamisasi bertambah popular setelah Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986)
giat menyiarkannya di pelbagai forum antarabangsa dan publikasi ilmiah. Ia menulis
buku Islamization of Knowledge (1982) dan tiga tahun sebelumnya menerbitkan makalah
berjudul “Islamizing the Social Sciences” (1979). Al-Faruqi sampai pada kesimpulan perlunya
Islamisasi setelah mengamati masalah umat. Dalam setiap bidang –politik, ekonomi, dan
budaya, orang Islam dikalahkan oleh kuasa Barat. Inti masalah ini, menurutnya, adalah
sistem pendidikan yang mengasingkan kaum Muslim dari agamanya sendiri dan men-
4
jauhkan mereka dari sejarah gemilang yang seharusnya menjadi sumber kebanggaannya.
Maka sistem pendidikan yang memisahkan antara ilmu agama (madrasah) dan ilmu non-
agama (sekolah, universitas) mesti dipadukan kembali. Pada tingkat ini pun Faruqi sudah
mulai membayangkan langkah praktis apa yang mesti dilakukan dari permulaan hingga
ke tingkat pendidikan tinggi.
Al-Faruqi menjelaskan makna Islamisasi pada tingkat konkretnya sebagai berikut:
“Islamisasi ilmu adalah islamisasi disiplin-disiplin ilmu, atau lebih tepatnya, memproduksi
buku-buku daras (textbooks) di universiti yang telah disusun semula menuruti visi Islam,
merangkumi sekitar 20 disiplin ilmu.” Pengertian sederhana, gamblang dan praktis inilah
yang dengan cepat memperolah tanggapan positif dan sokongan ramai kepada gagasan
Islamisasi itu, mulai dari mahasiswa dan akademisi hingga tokoh-tokoh politik Muslim di
Amerika dan Asia. Selanjutnya al-Faruqi secara terperinci menjabarkan projek Islamisasi
ilmunya dalam 12 langkah konkret. Pada garis besarnya, program itu diawali dengan dua
kerja yang berjalan paralel. Yaitu, penguasaan ilmu-ilmu yang berkembang di Barat, dan
pengembangan suatu sistem konseptual yang berpijak pada nilai-nilai tradisi keilmuan
Islam sebagai dasar pengembangan ilmu-ilmu yang diperlukan kaum Muslim dan kriteria
seleksi bagi ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Setelah kedua prasyarat ini dipenuhi, yang
mesti dilakukan berikutnya adalah penggabungan atau sintesis, yaitu mengembangkan
suatu ilmu Islami yang terhasil dari Islamisasi ilmu-ilmu modern plus pengembangannya
lebih lanjut dalam matriks konseptual Islami itu. Kerja berikutnya adalah menyebarkan
hasil-hasil upaya itu ke seluruh dunia Islam.
Dua perkara penting digarisbawahi di sini. Pertama, proses Islamisasi dikenakan
langsung terhadap disiplin-disiplin ilmu itu sendiri. Kedua, projek ini cukup pragmatis
dalam artian bertujuan menerapkannya untuk kepentingan umat Islam. Perkara kedua
ini diwujudkannya melalui penubuhan IIIT (International Institute of Islamic Thought) untuk
merancang kurikulum universiti yang dihasilkan oleh projek tersebut. Namun, program
yang tampak sederhana itu nyatanya menjadi rumit tatkala orang harus berhadapan
dengan disiplin-disiplin ilmu yang akan diislamkannya. Bagaimana kita menentukan isi
sebuah buku teks sudah sesuai dengan visi Islam atau belum? Walau bagaimanapun,
seruan Islamisasi al-Faruqi benar-benar mendapat pengikut yang amat banyak. Puluhan
buku yang telah diterbitkan IIIT telah mulai mencoba mengambil satu demi satu disiplin
yang dikembangkan di Barat dan memberikan inspirasi kepada generasi berikutnya.
Tak boleh dilupakan peran dan sumbangan Seyyed Hossein Nasr, ilmuwan asal
Iran kelahiran tahun 1933 yang kini menetap di Amerika. Nasr sependapat dengan para
pemikir lainnya bahwa ilmu-ilmu modern tidak neutral dan mengandung nilai-nilai ideo-
logi para penghasilnya. Sains modern dinilainya telah menjauh dari nilai-nilai spiritual
yang dikenal dalam tradisi agama-agama besar dunia. Nasr membangkitkan keperluan
pada scientia sacra atau sacred science untuk menunjukkan bahwa mestinya aspek kearifan
(wisdom) dalam keilmuan lebih diutamakan daripada aspek teknologi. Ia juga mengkritik
golongan modernis yang berusaha membina semula pemikiran Islam agar sesuai dengan
semangat zaman modern. Dengan begitu, katanya, kaum modernis justru telah merusak
tradisi intelektual Islam semata-mata agar dipandang maju dan sebanding dengan orang-
orang Barat modern, tanpa menyadari di balik kemodernan itu terdapat kemerosotan
yang amat nyata dari segi moral dan spiritual. Nasr melihat pesatnya perkembangan
teknologi modern dengan pesimisme. Disorotinya kerusakan lingkungan (eco-system) yang
terjadi mengerikan dalam beberapa dasawarsa terakhir akibat teknologi yang dirancang
semata-mata berpandukan nilai-nilai modern seperti efisiensi, efektiviti, utiliti dan seba-
5
gainya tanpa mempedulikan jalinan spiritual antara manusia dengan bumi dan makhluk-
makhluk lainnya.
Kembali ke persoalan Islamisasi, Nasr tatap menganjurkan umat Islam agar mem-
pelajari dan menguasai ilmu-ilmu modern untuk kemudian menyaringnya berdasarkan
kerangka pikir Islami: “In contrast to what many have said about our being opposed to the cultivation
of Western science, we have never advocated [that opposition.] Rather, our proposal has been to master in
the best manner modern science while criticizing its theoretical and philosophical bases and then through
the mastery of these sciences, to seek to Islamicize science by taking future steps within the Islamic world-
view and distinguishing what is based upon scientific “facts” from how that is interpreted philosophically
…” (Nasr, 1995: 82).
Dalam tempoh yang tidak terlalu lama, gagasan Islamisasi ilmu menjelma menjadi suatu
gerakan intelektual antarabangsa. Beberapa institusi pengajian tinggi telah didirikan atas
gagasan ini, yaitu: International Islamic University di Islamabad Pakistan (1980), Inter-
national Islamic University di Kuala Lumpur Malaysia (1983), International Islamic Uni-
versity di Chittagong Bangladesh (1992) dan International Institute of Islamic Thought
and Civilization (ISTAC) yang cukup dirasakan manfaat dan perannya di dunia Islam. Di
Aligarh, India, telah terbit Journal of Islamic Science yang diperuntukkan bagi pengkajian
masalah-masalah saintifik, kendati kurang berwibawa di kalangan akademik. Sementara
itu IIIT yang berdiri sejak 1981 telah menerbitkan jurnal American Journal of Islamic Social
Sciences (AJISS) dan mengupayakan penerjemahan buku-buku seputar Islamisasi ke dalam
bahasa-bahasa Muslim lain, termasuk bahasa Melayu-Indonesia.
Di Indonesia gagasan Islamisasi mengundang tanggapan beragam. Adalah para
mahasiswa yang belajar di Amerika tahun 1980an yang memperkenalkan gagasan ini
sepulangnya mereka ke Tanah Air. Bermula dengan sebuah Diskusi Panel Epistemologi
Islam yang diselenggarakan di Masjid Istiqlal pada 23 November 1985, wacana Islamisasi
ilmu segera bergulir dan berkembang di kampus-kampus besar. Hadir sebagai pemakalah
dalam acara tersebut tokoh-tokoh muda seperti A.M. Saefuddin (IPB Bogor), Armahedi
Mahzar (ITB Bandung), dan Jalaluddin Rakhmat (UNPAD Bandung), sedangkan dari
kalangan senior tampil Harun Nasution (saat itu Rektor IAIN Jakarta) yang –ini peliknya-
mewakili pandangan kontra dengan mengatakan bahwa tidak ada itu yang dinamakan
epistemologi Islam karena ilmu pengetahuan adalah netral. Ia juga menyatakan ketidak-
percayaannya pada gagasan al-Faruqi tentang Islamisasi ilmu. Namun begitu, gagasan
Islamisasi terus dibahas dalam banyak seminar dan jurnal-jurnal keislaman seperti Ulumul
Qur’an, yang pada edisi-edisi awal mengupas Islamisasi sebagai tema utamanya.
Di antara tokoh yang mengutarakan pandangannya mengenai isu ini dalam buku
adalah Ahmad Baiquni (mahaguru fisika di ITB). Bagi penulis Islam dan Ilmu Pengetahuan
Modern (1983) ini, berbicara tentang Islam dan sains berarti menunjukkan ada kesesuaian
ayat-ayat al-Qur’an dengan penemuan sains modern. Contohnya pandangan mutakhir
bahwa alam raya ini memuai (the expanding universe) yang sesuai dengan isyarat al-Qur’an.
Begitu pula Armahedi Mahzar yang dikenal lewat bukunya Integralisme (1983) dan Revolusi
Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami (2004), dimana ia meng-
kritik sains modern yang cenderung reduksionistik dan atomistik dalam menggambarkan
realiti. Berikutnya terbit buku Ahmad Moeflih Saefuddin berjudul Desekularisasi Pemikiran:
Landasan Islamisasi (1987) yang dengan tegas memberikan justifikasi untuk gagasan ini.
6
Tanggapan lain yang cukup menarik diberikan oleh Kuntowijoyo, sejarawan dari UGM
Yogyakarta. Dalam bukunya Paradigma Islam (1994) dan Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan
Etika (2005), ia mengusulkan perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada
al-Qur’an dan perlunya ilmuisasi Islam disamping Islamisasi ilmu. Maksudnya menjadikan
Islam dan ajarannya yang terkandung dalam al-Qur‘an sebagai suatu ilmu objektif agar
dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh alam (raḥmatan li ’l-‘ālamīn), tidak hanya untuk
umat Islam tetapi juga non-Muslim. Terakhir muncul Mulyadhi Kartanegara dari UIN
Jakarta yang menulis buku Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (2005), selaras dengan
cita-cita transformasi IAIN menjadi UIN demi mengupayakan integrasi ilmu dan agama
di Indonesia. Mulyadhi menyarankan agar integrasi ilmu dilakukan pada tiga tingkatan,
ontologikal, epistemologikal, dan metodologikal dengan tawḥīd sebagai konsep acuannya
dan waḥdat al-wujūd sebagai landasan integrasi objeknya.
Sesudah tiga puluh tahun gagasan Islamisasi dilontarkan kita menyaksikan banyak
pencapaian, disamping kegagalan-kegagalan dan sejumlah rintangan. Lahirnya pelbagai
institusi pendidikan Islam dan pesatnya wacana ekonomi Islam tak dapat dilepaskan dari
kegigihan dan ketulusan para pejuang Islamisasi dengan segala cara masing-masing dan
dengan segala keterbatasan dan kekurangannya. Adalah tugas generasi kini dan generasi
mendatang untuk meneruskan perjuangan mereka demi tegaknya agama Allah di muka
bumi ini. Meskipun banyak yang tidak setuju atau tidak suka dan mencemoohnya, pada
pandangan saya, kerja Islamisasi merupakan jihad intelektual yang tinggi nilainya apabila
didorong oleh niat ikhlas li-i‘lā’ kalimat Allah.
Daftar Rujukan
Abaza, Mona. Debates on Islam and Knowledge in Malaysia and Egypt. Routledge-Curzon,
London, 2002.
Acikgenc, Alparslan. Islamic Science: Towards A Definition. ISTAC, Kuala Lumpur, 1996.
al-Attas, Syed M. Naquib. Islam and Secularism. ABIM, Kuala Lumpur, 1978.
al-Faruqi, Ismail Raji. Islamization of Knowledge, IIIT, Washington D.C., 1982.
Barbour, Ian G. When Science Meets Religion , Harper, SanFransisco, 2000.
Dallal, Ahmad. “Islamic Paradigms for the Relationship between Science and Religion”,
dalam God, Life, and the Cosmos: Christian and Islamic Perspectives, ed. Ted Peters,
Muzaffar Iqbal dan S. Nomanul Haq. Aldershot, Ashgate, 2002, hlm. 197-222.
Iqbal, Muhammad. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. New ed. Institute of
Islamic Culture, Lahore, 1986.
Keddie, Nikki R. An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid
Jamaluddin al-Afghani. University of California Press, Los Angeles, 1983.
Nasr, Seyyed Hossein. The Need for Sacred Science. SUNY Press, Albany, New York,1993.
Stenberg, Leif. The Islamization of Science: Four Muslim Positions Developing an Islamic Modernity.
Lund Universitet, Lund, 1996.
7
8