PENDAHULUAN
1
indikator persalinan caesaria 5–15% untuk setiap negara, jika tidak sesuai indikasi
operasi caesaria dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada ibu dan
bayi. Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2010, tingkat persalinan caesar di
Indonesia 15,3% Sampel dari 20.591 ibu yang melahirkan dalam kurun waktu 5
tahun terakhir yang diwawancara di 33 provinsi.5
Anestesi obstetri sangat dibutuhkan dan merupakan bagian yang menarik
dari sub spesialisasi anestesi. Penggunaan dan penerimaan yang luas dari anestesi
persalinan telah menjadikan anestesi obstetri merupakan bagian yang penting
dari praktek anesthesia.Teknik anestesi spinal pada section caesaria mempunyai
banyak keuntungan seperti onset cepat, risiko terhadap bayi minimal, serta
pencegahan dan penyulit anestesi sudah diketahui dengan baik6.
Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu
peningkatan produksi eritropoeietin, akibatnya volume plasma bertambah dan sel
darah merah meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam
proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga
terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin akibat hemodilusi.4.
Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada ibu
hamil setelah perdarahan dan infeksi. Bagaimana suatu peristiwa kehamilan dapat
memicu atau memperberat hipertensi merupakan pertanyaan yang masih belum
memperoleh jawaban yang memuaskan. Angka kejadian Hipertensi dalam
Kehamilan kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan.9
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
C. Perubahan Kardiovaskular
3
Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan terhadapa
beberapa perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem kardiovaskular
terlihat pada awal trimester pertama, perubahan pada sistem kardiovaskular
berlanjut ke trimester kedua dan ketiga, ketika cardiac output meningkat kurang
lebih sebanyak 40 % daripada pada wanita yang tidak hamil. Cardiac output
meningkat dari minggu kelima kehamilan dan mencapai tingkat maksimum
sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah itu hanya mengalami sedikit peningkatan
sampai masa persalinan, kelahiran, dan masa post partum. Sekitar 50%
peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu kedelapan
kehamilan. Meskipun, peningkatan dari cardiac output dikarenakan adanya
peningkatan dari volume sekuncup dan denyut jantung, faktor paling penting
adalah volume sekuncup, dimana meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih
banyak daripada pada wanita tidak hamil. Perubahan denyut jantung sangat sulit
untuk dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat
pada minggu keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam denyut jantung
tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen
simpatis.5
Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus menjadi
penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu ke- 36 dan 38,
setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi kepala fetal menuju pelvis.
Penelitian mengenai cardiac output, diukur ketika pasien berada pada posisi
supine selama minggu terakhir kehamilan, menunjukkan bahwa ada penurunan
dibandingkan pada wanita yang tidak hamil, penurunan ini tidak diobservasi
ketika pasien berada dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi supine,
yang terjadi pada 10 % wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena yang
mengakibatkan terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan
kesadaran, dan pucat. Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini
mengakibatkan penurunan perfusi uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya
asfiksia pada fetus. Oleh karena itu, perpindahan posisi uterus dan perpindahan
posisi pelvis ke arah lateral harus dilakukan secara rutin selama trimester kedua
dan ketiga dari kehamilan.5
4
Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung
dalam dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran
radiologis dan deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T pada
elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya
murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-bagi. Suara jantung tiga juga
dapat terdengar. Beberapa pasien juga terlihat mengalami efusi perikardial kecil
dan asimptomatik.5
Implikasi Klinis:
Peningkatan curah jantung mungkin tidak dapat ditoleransi oleh wanita
hamil dengan penyakit katup jantung (misalnya stenosis aorta, stenosis mitral)
atau penyakit jantung koroner. Dekompensasio jantung berat dapat terjadi pada 24
minggu kehamilan, selama persalinan, dan segera setelah melahirkan.6
D. Perubahan Hematologi
Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan
sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin- angiotensin,
menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan dari total body water
menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah meningkat sampai 45 % dimana
volume sel darah merah hanya meningkat sampai 30%. Perbedaan peningkatan ini
dapat menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan
hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%. Bagaimanapun, transpor
oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu
memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah jantung, peningkatan
PaO2, dan pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi oxyhemoglobin.7
Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang
memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat
proses persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII, hanya
faktor XI yang mungkin mengalami penurunan. Fibrinolisis secara cepat dapat
diobservasi kemudian pada trimester ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi,
leukositosis dan penurunan dari jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin saja
terjadi selama trimester ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat
dan zat besi mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak
5
terpenuhi. Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi viral.7
Implikasi Klinis:
Peningkatan volume darah m empunyai beberapa fungsi penting yaitu
untuk memenuhi kebutuhan akibat pembesaran uterus dan unit feto-plasenta,
mengisi reservoir vena, melindungi ibu dari perdarahan akibat melahirkan, dan
karena ibu menjadi hipercoagulabel selama proses kehamilan. Keadaan ini
berlangsung sampai 8 minggu setelah melahirkan.6
6
mereka yang mengalami perubahan pada closing volume lebih awal sebagai
akibat dari merokok, obesitas, atau skoliosis dapat mengalami hambatan jalan
nafas awal dengan kehamilan lanjut yang menyebabkan hipoksemia. Manuver
tredelenburg dan posisi supin juga dapat mengurangi hubungan abnormal antara
closing volume dan functional residual capacity. Volume residual dan functional
residual capacity kembali normal setelah proses persalinan.8
Implikasi Klinisnya:
7
G. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
8
Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali normal pada hari ketiga pasca
kelahiran. Perubahan kadar hormon maternal dan opioid endogen telah
dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi ketika diberikan dalam dosis
farmakologis, meningkat sekitar 20 kali lebih tinggi daripada normal pada masa
aterm dan kemungkinan berefek kecil dalam observasi. Peningkatan secara
signifikan kadar endorfin juga memegang peranan penting dalam masa persalinan
dan kelahiran. Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap
kedua jenis anestesi baik regional maupun general.
Dari awal periode pemasukan anestesi secara neuraxial, wanita hamil
membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal daripada wanita yang tidak hamil untuk
mencapai level dermatom sensorik yang diberikan. Minimum local analgesic
concentration (MLAC) digunakan dalam anestesi obstetrik untuk membandingkan
potensi relatif dari anestesi lokal dan MLAC didefinisikan sebagai median dari
konsentrasi analgesik efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi epidural dalam
periode awal persalinan. Obstruksi dari vena cava inferior karena pembesaran
uterus mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural dan meningkatkan
volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir kehamilan menghasilkan tiga
efek mayor : (1) penurunan volume cairan serebrospinal, (2) penurunan volume
potensial dari ruang epidural, (3) peningkatan tekanan ruang epidural. Dua efek
awal memicu penyebaran sefalad dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal
dan epidural, dimana efek yang terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam
insidensi lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural.5,9
Implikasi Klinisnya:
Dosis anestestika lokal harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas anestesi
lokal yang digunakan untuk spinal dan epidural analgesia terjadi sampai 36 jam
postpartum.6
9
peningkatan risiko terjadinya cedera punggung. Kemudian dapat berkontribusi
dalam insidensi nyeri punggung dalam kehamilan.5
Implikasi Klinis:
Relaksasi ligament dan jaringan kolagen dari columna vertebralis
merupakan sebab utama dari terjadinya lordosis selama kehamilan, yang
menyulitkan dilakukan spinal atau epidural analgesi.6
J. Sirkulasi Uteroplasental
Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan
dan perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi uteroplasental dapat
menjadi penyebab utama dalam retardasi pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika
menjadi parah dapat mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi
bergantung pada aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta.
Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan mencapai
nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.7
Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki
resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu masa
gestasi. Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi (pembuluh
darah dilatasi maksimal selama masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat
bergantung pada tekanan darah maternal dan curah jantung. Hasilnya, faktor yang
mempengaruhi perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek
berbahaya pada suplai darah fetus.9
Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana
hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi
aortocaval, dan blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang
meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus
vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status hipertensi mengakibatkan
gangguan pada aliran darah.5,7
10
2.2 Hipertensi Kehamilan
A. Pendahuluan
Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada
ibu hamil setelah perdarahan dan infeksi. Bagaimana suatu peristiwa kehamilan
dapat memicu atau memperberat hipertensi merupakan pertanyaan yang masih
belum memperoleh jawaban yang memuaskan. Angka kejadian Hipertensi dalam
Kehamilan kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan.9
11
dengan tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin
24 jam melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak
menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat
proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24
jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak
bisa saja tidak membuktikan adanya proteinuria yang berarti. 9
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi
adalah hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan
laboratorium yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan
fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain
itu, pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit
kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut. 9
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan
akibat nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan
kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum
hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk
mengakhiri kehamilan.
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang
memburuk, dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan
agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh
vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan
ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi
dan merupakan indikasi penyakit yang berat. Faktor lain yang
menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi jantung dengan
oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang nyata.
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas
abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak
ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus
dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan
berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat
berkembang dengan cepat menjadi berat.
12
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis
preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut
tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita
dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan
tekanan darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan
tekanan darah mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang.
Peningkatan tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan kejang
biasanya didahului nyeri kepala berat yang persisten atau gangguan
visual.
3. Eklampsi9
Eklampsi adalah kelainan akut pada preeklampsi dalam kehamilan,
persalinan, atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan
atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat).
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi
secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah
melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama
nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum.
Setelah perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum
dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru
melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48
jam postpartum (Chames dan kawan-kawan, 2002).
13
- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah
trombosit <100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau
proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
5. Hipertensi kronis9
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah
ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur
kehamilan < 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu pascasalin.
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita
hamil tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada
beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia
20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang
meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan
tanda awal terjadinya preeklamsi.
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan
dialami selama kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial
merupakan penyebab dari penyakit vaskular pada > 90% wanita hamil.
Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum lainnya. Pada
beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari
penyakit parenkim ginjal yang mendasari.
klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat dilihat pada tabel
2.3.
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre – hipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi stadium I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi stadium II ≥ 160 ≥ 100
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis
14
berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi murni, dan
hal ini cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan
hambatan dalam pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya hipertensi
sudah diperlihatkan pada Tabel 2.1 dan digunakan juga untuk
menggolongkan preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis tersebut.
C. Faktor Risiko
Faktor risiko pada preeklampsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Faktor risiko maternal :
- Kehamilan pertama
- Primipaternity
- Usia < 18 tahun atau > 35 tahun
- Riwayat preeklamsi
- Riwayat preeklamsi dalam keluarga
- Ras kulit hitam
- Obesitas (BMI ≥ 30)
- Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.
15
- Penyakit trofoblastik gestasional
- Triploidi.
16
Nyeri epigastrium
Eklampsia
Kejang yang tidak diakibatkan oleh sebab lain pada penderita
pre eklampsia.
Superimposed Preeklampsia ( pada hipertensi kronik )
Proteinuria “new onset” ≥ 300 mg / 24 jam pada penderita
hipertensi yang tidak menunjukkan adanya proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu atau
Peningkatan TD atau kadar proteinuria secara tiba tiba atau
trombositopenia < 100.000/mm3 pada penderita hipertensi dan
proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
Hipertensi Kronis
TD ≥ 140 / 90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum
kehamilan 20 minggu dan tidak terkait dengan penyakit
trofoblas gestasional
HT terdiagnosa pertama kali setelah kehamilan 20 minggu dan
menetap sampai > 12 minggu pasca persalinan. .
17
terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan preeklamsi
meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis
konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya.
Banyak wanita dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi
sebelumnya sehingga peningkatan tekanan darah secara akut bahkan
pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat menyebabkan
simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi.
Penatalaksanaan tidak mengganggu patofisiologi penyakit, tetapi dapat
memperlambat progresi penyakit dan menyediakan waktu bagi fetus
untuk mencapai maturitas. Preeklamsi kadang-kadang dapat sembuh
sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan kasus adalah memburuk
sejalan dengan waktu. 12
Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi
ibu, haruslah memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32 minggu.
Selain memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat
janin intra uterin, atau IUGR atau gangguan maternal seperti hipertensi
berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung trombosit yang rendah,
gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan
per vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari
penambahan stress akibat operasi.
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal.
Seleksi obat anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada
antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam
kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif
lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga
dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian
parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum
induksi persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau
lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg.Jenis-jenis
obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam
kehamilan : 12
1. Hidralazine
18
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara
langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan
cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi
oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena
dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme
oleh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol
mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih
dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-
20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah
diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan
perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama
kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan
angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian
perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah
dalam 95% kasus preeklamsi.
2. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan
penghambat α1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk
oral maupun intra vena. Labetalol diberikan secara intravena,
merupakan pemblok 1 dan non selektif β, dan digunakan juga
untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah
penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine
menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat
dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan
arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg
intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka
diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg,
selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal
kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol.
Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi
kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak
19
mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman
membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu
maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak
melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.
3. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat
ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke
sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di
jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan
resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis
10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin
merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah
utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut
penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan,
menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang
cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini,
nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut
jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial,
obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan
dalam kehamilan.
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat
infus 5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-
rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik
secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan
darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan
pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan.
Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang
baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak
direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon
terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium
nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa
efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2
20
menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5
menit. Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan darah dalam
hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan obat secara intra
vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek
samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan
merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi
dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi
untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus
mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai
vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan
anti hipertensi potensi sedang.
4. Metildopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat
anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk
janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa
menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat
ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral
α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil
dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2
perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan
sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang
berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan
dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis
awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak
plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek
maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan
disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah
sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat
ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi
untuk memberhentikan obat ini.
5. Klonidin
21
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai
dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara
incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah
menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8
jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga,
tetapi cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap
latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi.
Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang
dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang
belum ada penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti
metildopa.
6. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat
ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas
pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload.
Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung,
curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat
ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi
obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan,
absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang.
Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit
pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak
dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan
pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak
ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat
sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker.
7. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga
curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan
22
resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel
otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi
plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume
intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat
preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu,
diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah
karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan
menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian
furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana
terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene
dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat
meningkatkan risiko defek janin.
8. Penghambat ACE
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim
yang mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2
(vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai
tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin
vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator
poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.
OBAT REKOMENDASI
Hydralazin Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah
tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan
darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam).
Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM
Labetalol Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal,
beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan
mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada
wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif
Nifedipine Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu.
Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam
terapi hipertensi
23
Sodium Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon
nitroprussid terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25
µg/kg/menit sampai dosis maksimal 5µg/kg/menit. Fetal sianida
terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam.
Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi
24
- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar
dalam susu ibu daripada plasma ibu.
- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama
terdapat pada ACE inhibitor.
-
2.3 PENATALAKSANAAN ANESTESI
25
ASA V : Pasien yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk hidup.
Keuntungan :
· Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin dapat
dicegah/dikurangi.
· Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam persalinan.
· Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi umum)
26
· Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia regional
sudah siap. 9
Kerugian :
· Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
· Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
· Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi. (Post Dural Punction Headache/
PDPH)
· Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun,
sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat. 9
Kontraindikasi :
· Pasien menolak
· Insufisiensi utero-plasenta
· Syok hipovolemik
· Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi
· Sepsis
· Gangguan pembekuan
· Kelainan SSP tertentu 9
Teknik :
Pasang line infus dengan diameter besar, berikan 500-1000 cc cairan
kristaloid (Ringer Laktat).
15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida
Observasi tanda vital
Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk membungkuk,
dilakukan punksi antara vertebra L3-L4 dengan jarum/trokard. Ruang
epidural dicapai dengan perasaan “hilangnya tahanan” pada saat jarum
menembus ligamentum flavum.
Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk, dilakukan
punksi antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan
jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum flavum (hilang tahanan),
tusukan diteruskan sampai menembus selaput duramater, mencapai
27
ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya cairan
cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.
Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural /
subaraknoid.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi,
menggunakan jarum halus atau kapas.
Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah punksi
ditutup dengan kasa dan plester.
Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.9
Anestesi Umum
28
Tindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per abdominam /
sectio cesarea.
Indikasi :
· Gawat janin.
· Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional.
· Diperlukan keadaan relaksasi uterus.1,9
Keuntungan :
· Induksi cepat.
· Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
· Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.9
Kerugian :
· Risiko aspirasi pada ibu lebih besar.
· Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat.
· Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan asidosis
pada janin.
· Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas dan
morbiditas maternal.9
Teknik :
Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-30 menit
sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien diposisikan dengan uterus
digeser / dimiringkan ke kiri.
Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau pasien
diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10 kali.
Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator siap,
dilakukan rapid-sequence induction dengan propofol 2 – 2.5 mg/kgBB
atau ketamine 1-2mg/kg dan 1,5 mg/kgBB suksinilkolin.
Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa
endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif.
O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin
diinjeksikan melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0%
sevofluran, 0.75% isofluran, atau 0.5% halotan, sampai janin dilahirkan,
untuk mencegah ibu bangun.
29
Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-obat
tersebut dapat menyebabkan atonia uteri.
setelah melahirkan bayi dan plasenta, 20 IU oksitosin didrip IV dan 0,2 mg
methergin IM/ dalam 100 ml normal salin di drip perlahan.
Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans
(N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik inhalasi yang
kuat juga dapat digunakan dengan konsentrasi rendah.
Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar.9
B. Pertimbangan Obat
Antara 15 dan 56 hari kehamilan, embrio manusia dikatakan paling rentan
terhadap efek teratogenik obat. Sejak tahun 1978, sebagian besar obat yang
digunakan dalam obat-obatan dan anestesi telah ditetapkan kode dalam Katalog
Swedia Specialities Farmasi Terdaftar ( Fass). Kode-kode ini panduan untuk
pilihan yang sesuai dari agen sehubungan dengan efek pada janin, plasenta dan
30
rahim-plasenta aliran darah, dan kemungkinan aborsi. Studi hasil dalam jumlah
besar perempuan yang menjalani operasi selama kehamilan menunjukkan tidak
ada peningkatan kelainan bawaan, tetapi risiko yang lebih besar dari pembatasan
aborsi, pertumbuhan dan berat badan lahir rendah. Studi ini menyimpulkan
bahwa masalah dihasilkan dari penyakit primer atau prosedur bedah itu sendiri
daripada paparan anestesi.8,11
Meskipun data yang tersedia tidak lengkap, penelitian menunjukkan
bahwa pemberian suatu analgesik, hipnotis opioid atau obat penenang tidak akan
memiliki efek merusak pada embrio atau perkembangan janin. Konsensus saat ini
adalah bahwa benzodiazepin tidak teratogenik dan dosis tunggal tampaknya
aman. Karena kekhawatiran tentang peningkatan risiko sumbing, penggunaan
biasa, terutama pada trimester pertama, mungkin harus dihindari.8
31
Aspirasi profilaksis dianjurkan dari awal trimester kedua. Kehamilan
berhubungan dengan persyaratan anestesi yang lebih rendah, meskipun
mekanisme ini tidak diketahui. Konsentrasi minimum alveolar (MAC) untuk
anestesi inhalasi berkurang sebesar 30% sedini 8-12 minggu kehamilan. Obat IV
yang menginduksi anestesi umum juga harus diberikan dalam dosis yang lebih
rendah.12
Kesejahteraan janin harus dinilai oleh USG atau Doppler sebelum dan
setelah anestesi dan pembedahan. Karena peningkatan risiko hipoksemia,
kesulitan dengan intubasi, aspirasi asam dan risiko bagi janin, anestesi regional
lebih dipilih dari anestesi umum jika keadaan memungkinkan.12
Kompresi Aortocaval adalah bahaya yang paling ditakutkan pada operasi
ibu hamil dengan usia gestasi lebih dari 20 minggu. Karena berat uterus dapat
mendesak vena inferior yang mengakibatkan penurunan aliran vena dan cardiac
output. Sehingga mengakibatkan penurunan aliran darah uterus-plasenta. Hal ini y
dapat terjadi pada bebepa wanita hamil dengan posisi telentang. Biasanya keadaan
ini dapat dikompensasi dengan vasokontriksi dan takikardi pada ekstremitas atas.
Efek ini dapat diperburuk oleh regional atau anestesi umum ketika mekanisme
kompensasi normal dilemahkan atau dihapuskan. Aortocaval kompresi dapat
dihindari dengan menggunakan posisi lateral. Hal ini juga dapat dikurangi dengan
perpindahan rahim melalui wedging atau perpindahan manual.12
Kehamilan berhubungan dengan keadaan hiperkoagulasi karena
peningkatan pro-koagulan faktor. Insiden komplikasi tromboembolik setidaknya
lima kali lebih besar selama kehamilan; tromboprofilaksis sangat penting.6,12
Pada usia kehamilan ini, melahirkan melalui operasi caesar sebelum
operasi utama adalah sering dianjurkan. Bila memungkinkan, operasi harus
ditunda 48 jam untuk memungkinkan terapi steroid untuk meningkatkan
pematangan paru janin. Mungkin lebih tepat untuk melahirkan bayi dengan
anestesi regional, kemudian dikonversi ke anestesi umum untuk operasi definitif.
Anestesi pasca persalinan harus disesuaikan dengan persyaratan bedah, dengan
32
tindakan pencegahan bahwa agen-agen volatil harus dihentikan atau digunakan
hanya dalam dosis kecil (<0,5 MAC) bersama dengan oxytocics untuk
meminimalkan risiko atonia uteri dan perdarahan.12
Bedah, stres dan anestesi dapat menekan laktasi, setidaknya untuk
sementara. Kebanyakan obat diekskresikan ke dalam ASI, namun, hanya sedikit
yang benar-benar dikontraindikasikan selama menyusui (zat radioaktif misalnya,
ergotamine, lithium, agen psikotropika.6
4. Pengawasan Post-operatif
Denyut jantung janin (DJJ) dan aktivitas uterus harus dipantau selama
pemulihan dari anestesi. Jika janin layak untuk persalinan prematur, konsultasi
dengan konsultan pediatric telah mennyarankan, jika perlu, pasien harus
dipindahkan ke rumah sakit dengan perawatan intensif neonatal unit. Analgesia
yang memadai harus diperoleh dengan sistemik atau opioid tulang belakang.
Anestesi regional lebih disukai karena opioid sistemik dapat mengurangi
variabilitas DJJ. Penggunaan rutin dan berkepanjangan nonsteroid obat
antiinflamasi sebaiknya dihindari karena efek janin potensial (misalnya, prematur
penutupan ductus arteriosus dan pengembangan oligohidramnion).
Acetaminophen aman untuk meresepkan dalam pengaturan ini. Mobilisasi awal
dan profilaksis trombosis vena harus harus diwaspadai pada pasien beresiko untuk
tromboemboli.11
33
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang peritoneum,
ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya
pembedahan. Pembedahan besar: 6 - 8 ml/KgBB, 4 - 6 ml/KgBB untuk
pembedahan sedang, dan 2 - 4 ml/KgBB untuk pembedahan
kecil.2Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi, untuk
perdarahan di bawah 20% dari volume darah total cukup diganti dengan
cairan infus yang komposisi elektrolitnya kira - kira sama dengan
komposisi elektrolit serum misalnya dengan cairan Ringer Laktat. Volume
darah wanita dewasa ialah 65 ml/KgBB. Koloid atau plasma ekspander
kalau diberikan secara intravena dapat bertahan lama di sirkulasi, koloid
dapat berupa gelatin (gelofusin).6
Sebaliknya, total cairan tubuh meningkat karena kebocoran kapiler
akibat aktivasi sel endotel. Ketidakseimbangan ini timbul sebagai gejala
edema perifer patologik, proteinuria, asites dan total cairan paru. Alasan-
alasan ini yang membuat penggantian kebutuhan cairan secara agresif
meningkatkan resiko terjadinya edema paru, terutama pada 72 jam
pertama post partum. Resiko ini dapat dihindari dengan pemberian cairan
secara bijaksana, yaitu dengan 500 ml hingga 1000 ml cairan kristaloid.
Suatu penilitian oleh Lucas, dkk pada tahun 2001 melaporkan tidak
adanya kejadian edema paru diantara wanita yang diberikan cairan
kristaloid terbatas, yaitu 500 cc sebagai cairan pre operatif.
BAB III
LAPORAN KASUS
34
Alamat : Sentani
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 81 kg
Tinggi Badan : 143 cm
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Status Maritas : Belum Menikah Sah
Ruangan : 30-05-2019
Tanggal MRS : 30-05-2019
Tanggal Operasi : 31-05-2019
No. RM : 46 01 30
3.2 Anamnesis
35
Pasien mengaku tidak ada riwayat alergi
f. Riwayat Anestesi dan Pembedahan Sebelumnya
Pasien belum perrnah dilakukan operasi
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4V5M6
Berat badan : 81 Kg
Tinggi badan : 143 cm
Tanda-tanda vital:
- Tekanan darah : 130/100 mmHg
- Nadi : 80 x/menit, reguler, kuat angkat, terisi penuh
- Respirasi : 20 x/menit
- Suhu Badan : 36 0C
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), suara
rhonki (-/-), suara wheezing (-/-)
36
: Palpasi : Tidak dilakukan evaluasi
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi
37
Hb 8,7 11,0 – 14,7 g/dl
Leukosit H 16,86 3,37-8,38 .103/uL
Trombosit 314 140-400 .103/uL
Hematokrit 28,9 35,2-46,7%
Eritrosit 4,47 3,69-5,46. 106/uL
Status Obstetri
Anak II : lintang
38
BJA II : 156x/m reguler
DIAGNOSA
Hari/Tanggal : 31-05-2019
Persiapan
: Inform consent (+), SIO (+), puasa (+)
Operasi
Makan/Minum
: -
Terakhir
BB/TB : 81Kg/143 cm
TTV di Ruang : Tekanan darah:130/100 mmHg; nadi: 80x/m, reguler, kuat
Operasi angkat, terisi penuh; respirasi: 20x / menit; suhu badan:36oC
(02-10-2018,
39
09.00 WIT)
SpO2 : 99%
Diagnosa Pra
: G1P0A0 Parturien aterm kala I Fase Laten dengan PEB
Bedah
Indikasi Pra
:
Bedah Sectio secarea
Airway:
Look : Jalan napas bebas
40
refleks cahaya (+/+)
B4 : BAK (+), produksi urin pre operasi 1000 cc, warna kuning
Inspeksi : Perut tampak cembung
Supel, nyeri tekan epigastrium (+),
Palpasi :
B5 : nyeri tekan hipokondrium kanan (+)
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi
Auskultasi : Bising usus (+) 4-5 kali/menit
41
Dilakukan tindakan aseptic dan antiseptic didaerah
abdomen dan seluruhnya
Dilakukan insisi pfannestiel
Setelah peritoneum dibuka tampak dinding anterior
uterus
Plika vesika uterine di potong melintang lau disisihkan
kebawah dengan hak besar
Jam 09.07 lahir bayi laki-laki, BB 3100 gr, PB 48 cm,
42
1.9 Terapi Cairan
43
2. Pergantian kehilangan cairan karena
penguapan selama operasi ;
Operasi kecil :4-6 ml x BB
Operasi sedang : 6-8 ml x BB
Operasi Besar : 8-10 ml x BB
Operasi sedang : 6x81 =486 hingga 8x81 = 648cc
Post
Kebutuhan cairan harian
Operasi
40 cc x 81 kg = 3240 cc / hari
44
B5 : abdomen datar, BU (+),
supel, nyeri tekan (+) nyeri
tekan luka operasi (+)
B6 : Edema (+) di ekstremitas
superior- inferior, Fraktur
(-),kekuatan otot ekstremitas
superior et inferior: 5
01-06- S : nyeri pada luka operasi, - IVFD RL 500cc + pitan 2amp /12 jam
2019 perdarahan (-) - Metronidazole 3x500mgr
O: - Injeksi ceftriaxone 2x1gr (IV)
B1 : airway bebas, nafas - Paracetamol 4x500mg
spontan, RR 20 x/mnt, suara - Injeksi Tramadol 3x100 mg
nafas vesikuler, rhonki -/-, - Injeksi Vit C 1x1 amp
wheezing -/-. - Injeksi ranitidine 2x50 mg
B2 : perfusi hangat, kering, - Observasi KU , TTV dan Perdarahan
merah, CRT <2’, TD 110/70
mmHg, nadi 98 x/mnt, kuat
angkat, regular.
B3 : kesadaran compos mentis,
GCS E4V5M6, pupil bulat
isokor, diameter ODS 3 mm.
B4 : terpasang DC, produksi
urin (+), warna kuning jernih.
B5 : abdomen datar, BU (+),
supel, nyeri tekan (+) nyeri
tekan luka operasi (+)
B6 : Edema (+) di ekstremitas
superior- inferior, Fraktur
(-),kekuatan otot ekstremitas
superior et inferior: 5
02-06- S : nyeri pada luka operasi (+) - Co- Amoxiclav 3x 625 mg (p.o)
2019 O: - Metergin 3x1 tab (p.o)
B1 : airway bebas, nafas - Sulfas ferosus 3x1 tab (p.o)
45
spontan, RR 20 x/mnt, suara
nafas vesikuler, rhonki -/-,
wheezing -/-.
B2 : perfusi hangat, kering,
merah, CRT <2’, TD
120/70mmHg, nadi 89x/mnt,
kuat angkat, regular.
B3 : kesadaran compos mentis,
GCS E4V5M6, pupil bulat
isokor, diameter ODS 3 mm.
B4 :, produksi urin (+), warna
kuning jernih.
B5 : abdomen datar, BU (+),
supel, nyeri tekan (+) nyeri
tekan luka operasi (+)
B6 : Edema (-) di ekstremitas
superior- inferior, Fraktur
(-),kekuatan otot ekstremitas
superior et inferior: 5
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang mengaku hamil 9 bulan, nyeri perut atas sampai tembus
tulang belakang, keluar lender dari kemaluan, darah (-), gerak rahim (+) orang
sakit mengaku hamil kembar, pusing (-), mual (-) , muntah (-).Riwayat penyakit
dahulu seperti asma, alergi obat, DM, hipertensi, penyakit jantung dan malaria
disangkal. Riwayat penyakit turunan pada keluarga seperti asma, alergi, DM dan
hipertensi disangkal.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital dan laboratorium, didapatkan hasil,
perfusi akral hangat kering merah, TD 130/100 mmHg, nadi 80x/ menit, respirasi
46
20x/ menit, Suhu Badan 36,7 º C, dan dari hasil pemeriksaan fisik tidak
didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses anestesi, pasien
digolongkan dalam kategori Mallampati 1. Hasil laboratorium didapatkan HB 8,7
g/dl. Leukosit: 16,86, trombosit 314.000, Protein dalam urin +2. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses
anestesi, yaitu tekanan darah pasien meningkat. pasien digolongkan dalam
kategori Mallampati1.
Dari kasus tersebut pasien didiagnosis G1P0A0 hamil 40-41 minggu,
dengan Preeklamsi Berat. Pada kasus ini PEB bisa didapatkan karena salah satu
faktor terjadinya adalah primigravida.
Penetapan PS ASA
Teori Kasus
47
dengan penyakit sitemik berat,
tidak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien
sekarat yang diperkirakan dengan
atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.
Teori Kasus
48
(termasuk seksio sesaria), anstesi
general dapat di lakukan jika
diantaranya ada penolakan pasien,
infeksi pada tempat suntikan,
hipovolemia, koagulopati, dan
peningkatan tekanan intrakanial,
Critical Point pada kasus: apa saja yang harus diperhatikan saat
preoperative, durante dan post operative?
49
List
B1 Airway bebas, Mallampati Pre-op : O2 nasal atau
score: I ; Durante-op : masker sesuai
Breathing: thorax simetris, ikut Aspirasi oleh isi saturasi O2, chin
gerak napas, RR:20x/m, lambung, lift, suction bila
palpasi: Vocal Fremitus D=S, Post-op : perlu, evaluasi
perkusi: sonor, suara napas kembali
vesikuler +/+, ronkhi-/-,
wheezing -/-
B2 Perfusi: hangat, kering, merah. Pre-op : Hipertensi, Resusitasi
Capilary Refill Time < 2 detik, kejang cairan,
BJ: I-II regular, murmur (-) Durante : Hipotensi, monitoring vital
gallop (-) Nadi : 92 x/m sign
Post-op : Hipotensi,
Takikardia -
Bradikardia
B3 Kesadaran Compos Mentis, Penurunan kesadaran, Observasi
GCS: (E4V5M6), riwayat kesadaran,
pingsan (-) tanda-tanda
TTIK
B4 Terpasang DC, produksi urin Retensi urin Rehidrasi,
(+), warna kuning Monitoring
produksi urin
B5 cembung, supel , BU (+) N, Pre-op : distensi Pemberian
BAB (+) N abdomen Ranitidin dan
Durante : Risiko Ondansentron
refluks
gastroesofageal saat
operasi.
Post-op : Risiko
refluks
gastroesofageal
setelah operasi.
B6 Akral hangat (+), edema (+), Posisikan pasien
50
fraktur (-), deformitas (-) dengan tepat
Gelofusal 500
Kebutuhan cairan per jam 135 cc – 168,75 cc / jam
51
45 cc
Untuk 45 menit = 135 – 168,75 cc/jam
60
Output:
= 101,25 cc – 126,6 cc/45 menit
Urin 100 cc
Replacement
Estimated Blood Volume (EBV): Perdarahan: ±
65xkgBb 460 cc
= 65x81 = 5265 cc
10% = 526.5 cc
20% = 1053 cc
30 % = 1579,5 cc
40 cc x 78 kg = 3120 cc / hari
52
polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan
onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar
intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan
seluruh ruang cairan ekstraseluler. Karena
kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah
isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya
digunakan. Cairan yang paling umum digunakan
adalah larutan Ringer laktat.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi tekhnik anestesi yang
akan digunakan
2. Pada pemeriksaan fisik pasien termasuk dalam PS ASA II, yaitu pasien
bedah dengan co-morbid obstetri hipertensi
3. Teknik anestesi yang baik pada pasien dinilai sudah tepat dengan
mempertimbangkan keselamatan dan kenyamanan pasien.
4. Critical point pada pasien adalah Aspirasi, hipotensi, mual muntah dan
resiko refluks gastroesofageal saat operasi.
5. Terapi cairan pre-operasi dan durante operasi di nilai sudah tepat sesuai
dengan kebutuhan cairan pasien.
5.2 Saran
53
Pada penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari
persiapan pre anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi,
terutama menyangkut resusitasi cairan pada pasien dengan regional yang
memiliki efek samping berupa perdarahan dan hipotensi.
DAFTAR PUSTAKA
Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R., 2007. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Walton NKD, Melachuri VK. 2006. Anaesthesia for non-obstetric surgery during
pregnancy. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 6 ( 2): 83-85
Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran (terjemahan). Edisi 9. Jakarta:
EGC; 1996. 1063-76, 1203-37.
54
nd
Morgan GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology. 2 ed. Stamford:A LANGE
medical book; 1996. 834.
Roisin NM, and David A. 2006. Anesthesia in pregnant patients for nonobstetric
surgery. J of Clin Anesth 18: 60–66
Goodman S. 2002 Anaesthesia for non obstetric surgery in the pregnant patient.
Semin Perinatol 26:136-45
Suardi, D. Kehamilan Kembar yang Tidak Terdiagnosis, Laporan Kasus. Bandung,
bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unpad- RSUP Dr. Hasan Sadikin.1999
Sastrawinata, S.Martaadisoebrata,J.Wirakusumah,FW et al. Obstetri Patologi ed 2.
Bandung, bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unpad- RSUP Dr. Hasan
Sadikin.2005
Mose C., J., hipertensi dalam krehamilan., Obstetri Patologi . Bandung, bagian/SMF
Obstetri dan Ginekologi FK Unpad- RSUP Dr. Hasan Sadikin.2013
55
56