Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang


menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan 1. Anastesi adalah
istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu “an” dan “esthesia”, dan
bersama-sama berarti “hilangnya rasa atau hilangnya sensasi”. Pada saat ini, bila
digunakan kata tunggal anastesi, berarti anastesi umum. Anastesi inhalasi, anastesi
intravena, anastesi intravaskular, anastesi perrektal adalah sub bagian dari anastesi
umum, dan kata “menerangkan” menunjukkan jalur masuknya obat ke dalam
tubuh untuk menghasilkan anastesi umum. Rees & Grey membagi komponen
anestesi menjadi tiga yaitu hipnotika (pasien kehilangan kesadaran), Anestesia
(pasien bebas nyeri), Relaksasi (pasien mengalami kelumpuhan otot rangka).
Anastesi lokal menunjukkan anastesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri
tanpa kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anastesi gabungan anastesi
umum dan anastesi local atau digunakan sedasi. Anastesi regional seringkali
digunakan sebagai sinonim anastesi lokal, lebih menunjukkan akibat blockade
saraf, pleksus, medulla spinalis yang jauh dari daerah yang dibuat tidak peka2.

Anastesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara


menyuntikkan obat anastesi lokal pada lokasi serat yang menginervasi regio
tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat
temporer3. Anastesi regional terbagi atas blok sentral (blok neuroaksial), yaitu
meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan. Blok
perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional
intravena1. Indikasi blok subarachnoid adalah bedah abdominal bawah dan
inguinal, anorektal dan genitalia eksterna, dan ekstremitas inferior3.

Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan


melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram4. WHO menetapkan

1
indikator persalinan caesaria 5–15% untuk setiap negara, jika tidak sesuai indikasi
operasi caesaria dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada ibu dan
bayi. Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2010, tingkat persalinan caesar di
Indonesia 15,3% Sampel dari 20.591 ibu yang melahirkan dalam kurun waktu 5
tahun terakhir yang diwawancara di 33 provinsi.5
Anestesi obstetri sangat dibutuhkan dan merupakan bagian yang menarik
dari sub spesialisasi anestesi. Penggunaan dan penerimaan yang luas dari anestesi
persalinan telah menjadikan anestesi obstetri merupakan bagian yang penting
dari praktek anesthesia.Teknik anestesi spinal pada section caesaria mempunyai
banyak keuntungan seperti onset cepat, risiko terhadap bayi minimal, serta
pencegahan dan penyulit anestesi sudah diketahui dengan baik6.
Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu
peningkatan produksi eritropoeietin, akibatnya volume plasma bertambah dan sel
darah merah meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam
proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga
terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin akibat hemodilusi.4.
Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada ibu
hamil setelah perdarahan dan infeksi. Bagaimana suatu peristiwa kehamilan dapat
memicu atau memperberat hipertensi merupakan pertanyaan yang masih belum
memperoleh jawaban yang memuaskan. Angka kejadian Hipertensi dalam
Kehamilan kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan.9

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1       Perubahan Fisiologis Ibu Hamil


A. PENDAHULUAN
Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem 
organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon dari 
korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan kompresi 
dari struktur sekitar uter us memegang peranan penting pada trimester kedua dan
ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki implikasi yang relevan bagi 
dokter anestesi untuk memberikan perawatan bagi pasien hamil. Perubahan yang
relevan meliputi perubahan fungsi hematologi, kardiovaskular, ventilasi,
metabolik, dan gastrointestinal.5

B. Berat Badan dan Komposisi


            Berat badan (BB) rata-rata meningkat selama kehamilan kira-kira 17%
dari BB sebelum hamil atau kira-kira 12 kg. Penambahan berat badan adalah
akibat dari peningkatan ukuran uterus dan isi uterus (uterus 1 kg, cairan amnion 1
kg, fetus dan plasenta 4 kg), peningkatan volume darah dan cairan interstitial
(masing-masing 2 kg), dan lemak serta protein baru kira-kira 4 kg. Penambahan
BB normal selama trimester pertama adalah 1-2 kg dan masing-masing 5-6 kg
pada trimester 2 dan 3.5
Implikasi Klinisnya:
Konsumsi oksigen meningkat sehingga harus diberikan oksigen sebelum
induksi anestesi umum. Penusukan spinal atau epidural anestesi menjadi lebih
sulit. Karena penambahan berat badan dan penambahan besar buah dada
kemungkinan menimbulkan kesulitan intubasi.6

C. Perubahan Kardiovaskular

3
Sistem kardiovaskular  beradaptasi selama masa kehamilan terhadapa
beberapa perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem kardiovaskular
terlihat pada awal trimester pertama, perubahan pada sistem kardiovaskular
berlanjut ke trimester kedua dan ketiga, ketika cardiac output  meningkat kurang
lebih sebanyak 40 % daripada pada wanita yang tidak hamil. Cardiac output 
meningkat dari minggu kelima kehamilan dan mencapai tingkat maksimum
sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah itu hanya mengalami sedikit peningkatan
sampai masa persalinan, kelahiran, dan masa post partum. Sekitar 50%
peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu kedelapan
kehamilan. Meskipun, peningkatan dari  cardiac output dikarenakan adanya
peningkatan dari volume sekuncup dan denyut jantung, faktor paling penting
adalah volume sekuncup, dimana meningkat sebanyak 20% sampai 50%  lebih
banyak daripada pada wanita tidak hamil. Perubahan denyut jantung sangat sulit
untuk dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat
pada minggu keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam denyut jantung
tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen
simpatis.5
Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus menjadi
penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu ke- 36 dan 38,
setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi kepala fetal menuju pelvis.
Penelitian mengenai cardiac output, diukur ketika pasien berada pada posisi
supine selama minggu terakhir kehamilan, menunjukkan bahwa ada penurunan
dibandingkan pada wanita yang tidak hamil, penurunan ini tidak diobservasi
ketika pasien berada dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi supine,
yang terjadi pada 10 % wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena yang
mengakibatkan terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan
kesadaran, dan pucat. Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini
mengakibatkan penurunan perfusi uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya
asfiksia pada fetus. Oleh karena itu, perpindahan posisi uterus dan perpindahan
posisi pelvis ke arah lateral harus dilakukan secara rutin selama trimester kedua
dan ketiga dari kehamilan.5

4
Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung
dalam dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran
radiologis dan deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T pada
elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya
murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-bagi. Suara jantung tiga juga
dapat terdengar. Beberapa pasien juga terlihat mengalami efusi perikardial kecil
dan asimptomatik.5
Implikasi Klinis:
Peningkatan curah jantung mungkin tidak dapat ditoleransi oleh wanita
hamil dengan penyakit katup jantung (misalnya stenosis aorta, stenosis mitral)
atau penyakit jantung koroner. Dekompensasio jantung berat dapat terjadi pada 24
minggu kehamilan, selama persalinan, dan segera setelah melahirkan.6

D. Perubahan Hematologi
Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan
sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin- angiotensin,
menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan dari  total body water 
menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah meningkat sampai 45 % dimana
volume sel darah merah hanya meningkat sampai 30%. Perbedaan peningkatan ini
dapat menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan
hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%. Bagaimanapun, transpor
oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu
memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah jantung, peningkatan
PaO2, dan  pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi oxyhemoglobin.7
Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang
memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat
proses persalinan.  Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII, hanya
faktor XI yang mungkin mengalami penurunan. Fibrinolisis secara cepat dapat
diobservasi kemudian pada trimester ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi,
leukositosis dan penurunan dari jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin saja
terjadi selama trimester ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat
dan zat besi mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak

5
terpenuhi. Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi viral.7
Implikasi Klinis:
Peningkatan volume darah m empunyai beberapa fungsi penting yaitu
untuk memenuhi kebutuhan akibat pembesaran uterus dan unit feto-plasenta,
mengisi reservoir vena, melindungi ibu dari perdarahan akibat melahirkan, dan
karena ibu menjadi hipercoagulabel selama proses kehamilan. Keadaan ini
berlangsung sampai 8 minggu setelah melahirkan.6

E. Perubahan Sistem Respirasi 


Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk mengoptimalkan
oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi perpindahan produk sisa CO2  dari
janin ke ibu.5
Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara progresif selam
masa kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang lebih kecil, laju pernafasan
meningkat. Pada aterm konsumsi oksigen akan meningkat sekitar 20-50% dan
ventilasi semenit meningkat hingga 50%. PaCO2 menurun sekitar 28-32mm Hg.
Alkalosis respiratorik dihindari melalui mekanisme kompensasi yaitu penurunan
konsentrasi plasma bikarbonat. Hiperventilasi juga dapat meningkatkan PaO2
secara perlahan. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi efek
hiperventilasi dalam afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan parsial
oksigen dimana hemoglobin mencapai setengah saturasi ketika berikatan dengan
oksigen meningkat dari 27 ke 30 mm Hg. hubungan antara masa akhir kehamilan
dengan peningkatan curah jantung memicu perfusi jaringan.7
Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran uterus dan
umumnya diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior dan transversal dari
cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory reserve volume, residual
volume,dan functional residual capacity menurun, mendekati akhir masa
kehamilan menurun sebanyak 20 % dibandingkan pada wanita yang tidak hamil.
Secara umum, ditemukan peningkatan dari inspiratory reserve volume sehingga
kapasitas paru total tidak mengalami perubahan. Pada sebagian ibu hamil,
penurunan  functional residual capacity tidak menyebabkan masalah, tetapi bagi

6
mereka yang mengalami perubahan pada closing volume lebih awal sebagai
akibat dari merokok, obesitas, atau skoliosis dapat mengalami hambatan jalan
nafas awal dengan kehamilan lanjut yang menyebabkan hipoksemia. Manuver
tredelenburg dan posisi supin juga dapat mengurangi hubungan abnormal antara
closing volume dan functional residual capacity.  Volume residual dan functional
residual capacity kembali normal setelah proses persalinan.8
Implikasi Klinisnya:

1. Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, serta adanya penurunan


MAC akan menyebabkan paturien lebih sensitive terhadap anestetika
inhalasi daripada wanita yang tidak hamil.
2. Disebabkan karena peningkatan edema, vaskularisasi, fragilitas membran
mukosa, harus dihindari intubasi nasal, dan digunakan pipa endotrakhea
yang lebih kecil daripada untuk wanita yang tidak hamil.6

F. Perubahan Sistem Renal

Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal pada


awal masa kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal umumnya
membesar. Peningkatan dari renin dan aldosterone mengakibatkan terjadinya
retensi sodium. Aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerulus meningkat
sebanyak 50% selama trimester pertama dan laju filtrasi glomerulus menurun
menuju ke batas normal pada trimester ketiga. Serum kreatinin dan Blood Urea
Nitrogen (BUN) mungkin menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL.
Penurunan threshold dari tubulus renal untuk glukosa dan asam amino umum dan
sering mengakibatkan glukosuria ringan(1-10g/dL) atau proteinuria (<300
mg/dL). Osmolalitas plasma menurun sekitar 8-10 mOsm/kg.5
Implikasi Klinis:
Kadar normal BUN dan kreatinin parturien 40% lebih rendah dari wanita
yang tidak hamil, maka bila BUN dan kreatinin sama seperti wanita yang tidak
hamil menunjukkan adanya fungsi ginjal yang abnormal.6

7
G. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal

Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama persalinan


menjadi topik yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan bahwa traktus
gastrointestinal mengalami perubahan anatomis dan fisiologis yang meningkatkan
resiko terjadinya aspirasi yang berhubungan dengan anestesi general.5
Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa
kehamilan. Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu
ketidakmampuan dari sfingter gastroesofagus. Peningkatan kadar progestron
menurunkan tonus dari sfingter gastroesofagus, dimana sekresi gastrin dari
plasenta menyebabkan hipersekresi asam lambung. Faktor tersebut menempatkan
wanita yang akan melahirkan pada resiko tinggi terjadinya regurgitasi dan aspirasi
pulmonal. Tekanan intragaster tetap tidak mengalami perubahan. Banyak
pendapat yang menyatakan mengenai pengosongan lambung. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa pengosongan lambung normal bertahan sampai masa
persalinan.  Di samping itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di
bawah 2.5 dan lebih dari 60% dari mereka memiliki volume lambung lebih dari
25mL. kedua faktor tersbut telah dihubungkan memiliki resiko terhadap terjadinya
aspirasi pneumonitis berat. Opioid dan antikolinergik menurunkan tekanan
sfingter esofagus bawah, dapat memfasilitasi terjadinya refluks gastroesofagus 
dan penundaan pengosongan lambung.  Efek fisiologis ini bersamaan dengan
ingesti makanan terakhir sebelum proses persalinan dan penundaan pengosongan
lambung mengakibatkan nyeri persalinan dan merupakan faktor predisposisi pada
ibu hamil akan terjadinya muntah dan mual.5
Implikasi Klinis:
Wanita hamil harus selalu dianggap lambung penuh tanpa melihat lama
puasa prabedah. Bila mungkin anestesi umum dihindari. Dianjurkan penggunaan
rutin antacid non-partikel. Perubahan gastrointestinal akan kembali dalam 6
minggu postpartum.6

H. Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer

Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama masa


kehamilan. Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua anestesi general.

8
Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali normal pada hari ketiga pasca
kelahiran. Perubahan  kadar hormon maternal dan opioid endogen telah
dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi ketika diberikan dalam dosis
farmakologis, meningkat sekitar 20 kali lebih tinggi daripada normal pada masa
aterm dan kemungkinan berefek kecil dalam observasi. Peningkatan secara
signifikan kadar endorfin juga memegang peranan penting dalam masa persalinan
dan kelahiran. Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap
kedua jenis anestesi baik regional maupun general.
Dari awal periode pemasukan anestesi secara neuraxial, wanita hamil
membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal daripada wanita yang tidak hamil untuk
mencapai level dermatom sensorik yang diberikan. Minimum local analgesic
concentration (MLAC) digunakan dalam anestesi obstetrik untuk membandingkan
potensi relatif dari anestesi lokal dan  MLAC  didefinisikan sebagai median dari
konsentrasi analgesik efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi epidural dalam
periode awal persalinan. Obstruksi dari vena cava inferior karena pembesaran
uterus mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural dan meningkatkan
volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir kehamilan menghasilkan tiga
efek mayor : (1) penurunan volume cairan serebrospinal, (2) penurunan volume
potensial dari ruang epidural, (3) peningkatan tekanan ruang epidural. Dua efek
awal memicu penyebaran sefalad dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal
dan epidural, dimana efek yang terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam
insidensi lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural.5,9

Implikasi Klinisnya:
Dosis anestestika lokal harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas anestesi
lokal yang digunakan untuk spinal dan epidural analgesia terjadi sampai 36 jam
postpartum.6

I. Perubahan Sistem Muskoloskeletal


Kenaikan  kadar relaksin selama masa kehamilan membantu persiapan
kelahiran dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi uterus, dan
relaksasi dari simfisis pubis dan sendi pelvik. Relaksasi ligamen menyebabkan

9
peningkatan risiko terjadinya cedera punggung. Kemudian dapat berkontribusi
dalam insidensi nyeri punggung dalam kehamilan.5

Implikasi Klinis:
Relaksasi ligament dan jaringan kolagen dari columna vertebralis
merupakan sebab utama dari terjadinya lordosis selama kehamilan, yang
menyulitkan dilakukan spinal atau epidural analgesi.6

J. Sirkulasi Uteroplasental 
Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan
dan perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi uteroplasental dapat
menjadi penyebab utama dalam retardasi pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika
menjadi parah dapat mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi
bergantung pada aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta.
Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan mencapai
nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.7
Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki
resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu masa
gestasi. Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi (pembuluh
darah dilatasi maksimal selama masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat
bergantung pada tekanan darah maternal dan curah jantung. Hasilnya, faktor yang
mempengaruhi perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek
berbahaya pada suplai darah fetus.9
Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana
hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi
aortocaval, dan blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang
meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus
vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status hipertensi mengakibatkan
gangguan pada aliran darah.5,7

10
2.2 Hipertensi Kehamilan

A. Pendahuluan
Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada
ibu hamil setelah perdarahan dan infeksi. Bagaimana suatu peristiwa kehamilan
dapat memicu atau memperberat hipertensi merupakan pertanyaan yang masih
belum memperoleh jawaban yang memuaskan. Angka kejadian Hipertensi dalam
Kehamilan kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan.9

B. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan


Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the
NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu : 9
1. Hipertensi gestasional9
Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan
darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya
selama kehamilan tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi
gestasional disebut juga transient hypertension jika preeklampsia tidak
berkembang dan tekanan darah telah kembali normal pada 12 minggu
postpartum. Apabila tekanan darah naik cukup tinggi selama setengah
kehamilan terakhir, hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun
proteinuria tidak pernah ditemukan. Seperti yang ditegaskan oleh
Chesley (1985), 10% eklamsi berkembang sebelum proteinuria yang
nyata diidentifikasi. Dengan demikian, jelas bahwa apabila tekanan
darah mulai naik, ibu dan janin menghadapi risiko yang meningkat.
Proteinuria adalah suatu tanda dari penyakit hipertensi yang memburuk,
terutama preeklampsia. Proteinuria yang nyata dan terus-menerus
meningkatkan risiko ibu dan janin. 9
2. Preeklampsi
preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuri akibat
kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan. Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan
Chesley (1985) menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan

11
dengan tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin
24 jam melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak
menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat
proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24
jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak
bisa saja tidak membuktikan adanya proteinuria yang berarti. 9
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi
adalah hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan
laboratorium yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan
fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain
itu, pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit
kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut. 9
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan
akibat nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan
kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum
hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk
mengakhiri kehamilan.
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang
memburuk, dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan
agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh
vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan
ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi
dan merupakan indikasi penyakit yang berat. Faktor lain yang
menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi jantung dengan
oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang nyata.
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas
abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak
ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus
dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan
berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat
berkembang dengan cepat menjadi berat.

12
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis
preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut
tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita
dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan
tekanan darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan
tekanan darah mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang.
Peningkatan tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan kejang
biasanya didahului nyeri kepala berat yang persisten atau gangguan
visual.

3. Eklampsi9
Eklampsi adalah kelainan akut pada preeklampsi dalam kehamilan,
persalinan, atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan
atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat).
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi
secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah
melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama
nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum.
Setelah perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum
dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru
melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48
jam postpartum (Chames dan kawan-kawan, 2002).

4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis


Hipertensi kronis yang diperberat oleh preeklampsi atau eklampsi
adalah preeklamsi atau eklamsi yang timbul pada hipertensi kronis dan
disebut juga Superimposed Preeclampsia.
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
- Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang
belum ada sebelum kehamilan 20 minggu.

13
- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah
trombosit <100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau
proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.

5. Hipertensi kronis9
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah
ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur
kehamilan < 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu pascasalin.
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita
hamil tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada
beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia
20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang
meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan
tanda awal terjadinya preeklamsi.
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan
dialami selama kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial
merupakan penyebab dari penyakit vaskular pada > 90% wanita hamil.
Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum lainnya. Pada
beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari
penyakit parenkim ginjal yang mendasari.

klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat dilihat pada tabel
2.3.
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre – hipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi stadium I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi stadium II ≥ 160 ≥ 100
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis

Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah


dapat meningkat sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu.
Jika disertai oleh proteinuria, maka preeklamsi yang mendasarinya dapat
didiagnosis. Preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis ini sering

14
berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi murni, dan
hal ini cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan
hambatan dalam pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya hipertensi
sudah diperlihatkan pada Tabel 2.1 dan digunakan juga untuk
menggolongkan preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis tersebut.

C. Faktor Risiko
Faktor risiko pada preeklampsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Faktor risiko maternal :
- Kehamilan pertama
- Primipaternity
- Usia < 18 tahun atau > 35 tahun
- Riwayat preeklamsi
- Riwayat preeklamsi dalam keluarga
- Ras kulit hitam
- Obesitas (BMI ≥ 30)
- Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.

2. Faktor risiko medikal maternal :


- Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis
seperti hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, faeokromositoma,
dan stenosis arteri renalis
- Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan
komplikasi mikrovaskular
- Penyakit ginjal
- Systemic Lupus Erythematosus
- Obesitas
- Trombofilia
- Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor >
trimester I.
3. Faktor risiko plasental atau fetal :
- Kehamilan multipel
- Hidrops fetalis

15
- Penyakit trofoblastik gestasional
- Triploidi.

D. Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan11


Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah istirahat ≥
140/90 mmHg. Kriteria edema pada preeclampsia sudah tidak digunakan
lagi oleh karena selain subjektif dan juga tidak mempengaruhi “out-come”
perinatal.
Diagnosis Hipertensi Dalam Kehamilan
 Hipertensi Gestasional
 Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg terjadi pertama kali dalam
kehamilan.
 Tidak terdapat Proteinuria
 Tekanan darah kembali normal dalam waktu < 12 minggu pasca
persalinan.
 Diagnosa akhir hanya dapat ditegakkan pasca persalinan.
 Dapat disertai dengan gejala PE Berat : nyeri epgastrium atau
trombositopenia.
 PE-Preeclampsia
KRITERIA MINIMUM
 TD ≥ 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
 Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ dispstick
PRE-EKLAMPSIA BERAT:
 TD ≥ 160/110 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
 Proteinuria 2.0 g/24 jam ≥ 2+ (dispstick)
 Serum Creatinine > 1.2 mg/dL (kecuali bila sebelumnya sudah
abnormal )
 Trombosit < 100.0000 / mm3
 Microangiopathic hemolysis ( increase LDH )
 Peningkatan ALT atau AST
 Nyeri kepala atau gangguan visual persisten

16
 Nyeri epigastrium
 Eklampsia
 Kejang yang tidak diakibatkan oleh sebab lain pada penderita
pre eklampsia.
 Superimposed Preeklampsia ( pada hipertensi kronik )
 Proteinuria “new onset” ≥ 300 mg / 24 jam pada penderita
hipertensi yang tidak menunjukkan adanya proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu atau
 Peningkatan TD atau kadar proteinuria secara tiba tiba atau
trombositopenia < 100.000/mm3 pada penderita hipertensi dan
proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
 Hipertensi Kronis
 TD ≥ 140 / 90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum
kehamilan 20 minggu dan tidak terkait dengan penyakit
trofoblas gestasional
 HT terdiagnosa pertama kali setelah kehamilan 20 minggu dan
menetap sampai > 12 minggu pasca persalinan. .

H. Pilihan obat anti hipertensi12


Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan
adalah menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti
hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang
banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan tentang
stabilnya aliran darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan
ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang
terpapar metil dopa saat dalam kandungan. 12
Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi
kronis, dengan insidensi sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed
preeklamsi meliputi insufisiensi ginjal, riwayat menderita hipertensi
selama 4 tahun atau lebih, dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya.
Pencegahan pada preeklamsi meliputi identifikasi wanita risiko tinggi,
deteksi dini secara klinis dan laboratorium, pengamatan intensif atau

17
terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan preeklamsi
meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis
konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya.
Banyak wanita dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi
sebelumnya sehingga peningkatan tekanan darah secara akut bahkan
pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat menyebabkan
simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi.
Penatalaksanaan tidak mengganggu patofisiologi penyakit, tetapi dapat
memperlambat progresi penyakit dan menyediakan waktu bagi fetus
untuk mencapai maturitas. Preeklamsi kadang-kadang dapat sembuh
sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan kasus adalah memburuk
sejalan dengan waktu. 12
Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi
ibu, haruslah memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32 minggu.
Selain memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat
janin intra uterin, atau IUGR atau gangguan maternal seperti hipertensi
berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung trombosit yang rendah,
gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan
per vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari
penambahan stress akibat operasi.
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal.
Seleksi obat anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada
antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam
kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif
lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga
dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian
parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum
induksi persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau
lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg.Jenis-jenis
obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam
kehamilan : 12
1. Hidralazine

18
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara
langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan
cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi
oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena
dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme
oleh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol
mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih
dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-
20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah
diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan
perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama
kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan
angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian
perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah
dalam 95% kasus preeklamsi.

2. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan
penghambat α1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk
oral maupun intra vena. Labetalol diberikan secara intravena,
merupakan pemblok 1 dan non selektif β, dan digunakan juga
untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah
penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine
menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat
dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan
arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg
intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka
diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg,
selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal
kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol.
Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi
kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak

19
mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman
membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu
maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak
melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.
3. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat
ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke
sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di
jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan
resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis
10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin
merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah
utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut
penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan,
menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang
cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini,
nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut
jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial,
obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan
dalam kehamilan.
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat
infus 5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-
rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik
secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan
darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan
pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan.
Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang
baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak
direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon
terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium
nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa
efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2

20
menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5
menit. Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan darah dalam
hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan obat secara intra
vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek
samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan
merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi
dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi
untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus
mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai
vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan
anti hipertensi potensi sedang.
4. Metildopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat
anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk
janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa
menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat
ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral
α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil
dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2
perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan
sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang
berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan
dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis
awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak
plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek
maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan
disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah
sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat
ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi
untuk memberhentikan obat ini.

5. Klonidin

21
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai
dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara
incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah
menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8
jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga,
tetapi cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap
latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi.
Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang
dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang
belum ada penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti
metildopa.
6. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat
ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas
pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload.
Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung,
curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat
ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi
obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan,
absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang.
Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit
pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak
dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan
pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak
ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat
sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker.

7. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga
curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan

22
resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel
otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi
plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume
intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat
preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu,
diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah
karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan
menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian
furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana
terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene
dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat
meningkatkan risiko defek janin.
8. Penghambat ACE
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim
yang mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2
(vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai
tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin
vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator
poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.

OBAT REKOMENDASI
Hydralazin Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah
tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan
darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam).
Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM
Labetalol Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal,
beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan
mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada
wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif
Nifedipine Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu.
Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam
terapi hipertensi

23
Sodium Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon
nitroprussid terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25
µg/kg/menit sampai dosis maksimal 5µg/kg/menit. Fetal sianida
terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam.
Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi

I. Efek Samping Obat


Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :
1. ACE inhibitor
Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan
disfungsi ginjal pada fetus yang mengakibatkan oligohidramnion dan
anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan dengan hipoplasia pulmoner,
pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada
tulang tengkorak.15
2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol
Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan
dengan pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang
tidak terkontrol dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan
penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas karena
beberapa obat telah digunakan bersama-sama atau karena
ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek dari
patofisiologi ibu atau efek dari obat.15
3. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal
seperti hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi,
hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga dapat menganggu
pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit,
trombositopeni, dan IUGR.13
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
- Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan
produksi ASI dan digunakan untuk mensupresi laktasi.
- Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat
plasma yang rendah ditemukan pada janin.

24
- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar
dalam susu ibu daripada plasma ibu.
- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama
terdapat pada ACE inhibitor.
-
2.3 PENATALAKSANAAN ANESTESI

1. Penatalaksanaan Anestesi Pada Kehamilan


Dalam rangka untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu dan janin,
adalah penting untuk mengingat perubahan fisiologis dan farmakologis yang
menjadi ciri tiga trimester kehamilan; perubahan ini dapat menimbulkan bahaya
bagi mereka berdua.  Dokter anestesi memiliki tujuan sebagai berikut:
 mengoptimalkan dan menjaga fungsi fisiologis normal pada ibu
 mengoptimalkan dan menjaga aliran darah utero-plasenta dan
pemberian oksigen
 menghindari efek obat yang tidak diinginkan pada janin9

2. Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi Obstetri Pada Kehamilan


Pasien yang akan mengalami anestesi dan pembedahan dapat
dikategorikan dalam beberapa kelas status fisik yang dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA):
ASA I : Pasien tanpa gangguan organik, fisiologik, biokemik maupun
psikiatrik. Proses patologis yang akan dilakukan operasi terbatas
lokalisasinya dan tidak akan menyebabkan gangguan sistemik.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang, yang
disebabkan baik oleh keadaan yang harus diobati dengan jalan
pembedahan maupun oleh proses patofisiologis.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik yang berat, apapun
penyebabnya.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
yang tidak selalu dapat dikoreksi dengan pembedahan. Contoh
pasien dengan dekompensasi jantung.

25
ASA V : Pasien yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk hidup.

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan


pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:3
1. Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang
punggung.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT
(activated partial thromboplastine time).
        
 Anestesi Regional
Pelaksanaan blok epidural / blok spinal bersifat spesialistik, sehingga
sebaiknya diserahkan kepada dokter ahli anastesia. Sebagai gambaran, berikut ini
dikemukakan beberapa hal tentang anastesia epidural atau spinal. Dalam
melakukan tindakan kecil pada obstetri dan ginekologi, seperti : penjahitan
kembali luka episiotomi, dilatasi dan kuretase, atau biopsi dianjurkan untuk
melakukan anastesia secara intravena (lebih mudah dan aman). Dinegara yang
sudah maju, kebanyakan kasus persalinannya memerlukan tindakan anastesia
lumbal, sakral, atau kaudal.9

Keuntungan :
·      Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin dapat
dicegah/dikurangi.
·      Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam persalinan.
·      Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi umum)

26
·      Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia regional
sudah siap. 9
Kerugian :
·      Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
·      Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
·      Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi. (Post Dural Punction Headache/
PDPH)
·      Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun,
sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat. 9
Kontraindikasi :
·      Pasien menolak
·      Insufisiensi utero-plasenta
·      Syok hipovolemik
·      Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi
·      Sepsis
·      Gangguan pembekuan
·      Kelainan SSP tertentu 9

Teknik :
 Pasang line infus dengan diameter besar, berikan 500-1000 cc cairan
kristaloid (Ringer Laktat).
 15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida
 Observasi tanda vital
 Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk membungkuk,
dilakukan punksi antara vertebra L3-L4 dengan jarum/trokard. Ruang
epidural dicapai dengan perasaan “hilangnya tahanan” pada saat jarum
menembus ligamentum flavum.
 Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk, dilakukan
punksi antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan
jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum flavum (hilang tahanan),
tusukan diteruskan sampai menembus selaput duramater, mencapai

27
ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya cairan
cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.
 Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural /
subaraknoid.
 Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi,
menggunakan jarum halus atau kapas.
 Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah punksi
ditutup dengan kasa dan plester.
 Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.9

Obat anestetik yang digunakan


Lidocain 1-5%, bupivacain 0.25-0.75%, atau chlorprocain 2-3% .Dosis
yang dipakai untuk anestesi epidural lebih tinggi daripada untuk anestesi spinal.10

Komplikasi yang mungkin terjadi


Jika terjadi injeksi subarachnoid yang tidak diketahui pada rencana anestesi
epidural dapat terjadi total spinal anesthesia, karena dosis yang dipakai lebih
tinggi. Gejala berupa nausea, hipotensi dan kehilangan kesadaran, dapat sampai
disertai henti napas dan henti jantung. Pasien harus diatur dalam posisi telentang /
supine, dengan uterus digeser ke kiri, dilakukan ventilasi O2 100% dengan mask
disertai penekanan tulang cricoid, kemudian dilakukan intubasi. Hipotensi
ditangani dengan memberikan cairan intravena dan ephedrine.6
Injeksi intravaskular ditandai dengan gangguan penglihatan, tinitus, dan
kehilangan kesadaran. Kadang terjadi juga serangan kejang. Harus dilakukan
intubasi pada pasien, menggunakan 1.0 – 1.5 mg/kgBB suksinilkolin, dan
dilakukan hiperventilasi untuk mengatasi asidosis metabolik.9
Komplikasi neurologik yang sering adalah rasa sakit kepala setelah punksi
dura. Terapi dengan istirahat baring total, hidrasi (>3 L/hari), analgesik, dan
pengikat / korset perut (abdominal binder).9

 Anestesi Umum

28
Tindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per abdominam /
sectio cesarea.
Indikasi :
·      Gawat janin.
·      Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional.
·      Diperlukan keadaan relaksasi uterus.1,9
Keuntungan :
·      Induksi cepat.
·      Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
·      Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.9
Kerugian :
·      Risiko aspirasi pada ibu lebih besar.
·      Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat.
·     Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan asidosis
pada janin.
·      Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas dan
morbiditas maternal.9
Teknik :
 Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-30 menit
sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien diposisikan dengan uterus
digeser / dimiringkan ke kiri.
 Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau pasien
diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10 kali.
 Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator siap,
dilakukan rapid-sequence induction dengan propofol 2 – 2.5 mg/kgBB
atau ketamine 1-2mg/kg  dan 1,5 mg/kgBB suksinilkolin.
 Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa
endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif.
 O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin
diinjeksikan melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0%
sevofluran, 0.75% isofluran, atau 0.5% halotan, sampai janin dilahirkan,
untuk mencegah ibu bangun.

29
 Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-obat
tersebut dapat menyebabkan atonia uteri.
 setelah melahirkan bayi dan plasenta, 20 IU oksitosin didrip IV dan 0,2 mg
methergin IM/ dalam 100 ml normal salin di drip perlahan.
 Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans
(N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik inhalasi yang
kuat juga dapat digunakan dengan konsentrasi rendah.
 Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar.9

3. Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi non Obstetri Pada


Kehamilan
A. Penilaian Pre-operatif
            Tindakan anestesi selama kehamilan perlu melibatkan hubungan dekat
dengan dokter kandungan dan termasuk penilaian USG dari janin selain itu juga
diperlukan konsultasi dengan Neonatologist. Selama penyelidikan radiologi,
paparan janin harus diminimalkan.  Hasil tes darah yang relevan harus tersedia.3,4
            Pra-pengobatan harus selalu menyertakan profilaksis aspirasi seperti
ranitidin sitrat, natrium dan metoclopramide.  Premedikasi anxiolysis (Misalnya,
midazolam 1 mg) mungkin diperlukan untuk cemas nifas, seperti katekolamin
tinggi dapat menurunkan rahim aliran darah. Analgesia harus diresepkan mana
yang tepat untuk menghindari efek merusak dari stres pada ibu dan janin.  Non-
steroid anti-inflamasi obat harus dihindari, karena risiko penutupan prematur
duktus arteriosus.  Namun, aspirin dosis rendah, bahkan ketika diminum secara
teratur, tampaknya aman dalam hal ini.4,11

B. Pertimbangan Obat
            Antara 15 dan 56 hari kehamilan, embrio manusia dikatakan paling rentan
terhadap efek teratogenik obat. Sejak tahun 1978, sebagian besar obat yang
digunakan dalam obat-obatan dan anestesi telah ditetapkan kode dalam Katalog
Swedia Specialities Farmasi Terdaftar ( Fass).  Kode-kode ini panduan untuk
pilihan yang sesuai dari agen sehubungan dengan efek pada janin, plasenta dan

30
rahim-plasenta aliran darah, dan kemungkinan aborsi.  Studi hasil dalam jumlah
besar perempuan yang menjalani operasi selama kehamilan menunjukkan tidak
ada peningkatan kelainan bawaan, tetapi risiko yang lebih besar dari pembatasan
aborsi, pertumbuhan dan berat badan lahir rendah.  Studi ini menyimpulkan
bahwa masalah dihasilkan dari penyakit primer atau prosedur bedah itu sendiri
daripada paparan anestesi.8,11
            Meskipun data yang tersedia tidak lengkap, penelitian menunjukkan
bahwa pemberian suatu analgesik, hipnotis opioid atau obat penenang tidak akan
memiliki efek merusak pada embrio atau perkembangan janin.  Konsensus saat ini
adalah bahwa benzodiazepin tidak teratogenik dan dosis tunggal tampaknya
aman.  Karena kekhawatiran tentang peningkatan risiko sumbing, penggunaan
biasa, terutama pada trimester pertama, mungkin harus dihindari.8

C.   Anestesi dan gestasi


            Operasi elektif sebaiknya tidak dilakukan sama sekali selama kehamilan. 
Operasi darurat harus melanjutkan tanpa memandang usia kehamilan dan tujuan
utama adalah untuk melestarikan kehidupan ibu.  Dimana layak, operasi sering
ditunda sampai trimester kedua untuk mengurangi resiko teratogenitas dan
keguguran, meskipun tidak ada bukti kuat untuk mendukung hal ini.6

Anestesi pada Trimester Pertama


             Setelah 6-8 minggu kehamilan, jantung, hemodinamik, pernafasan,
parameter metabolik dan farmakologis yang jauh berubah.  Dengan peningkatan
ventilasi menit dan konsumsi oksigen dan penurunan dalam cadangan oksigen
(penurunan kapasitas residu fungsional dan volume residu), wanita hamil menjadi
lebih cepat hypoxaemic. Oksigen harus selalu diberikan selama periode rentan
untuk mempertahankan oksigenasi.6,12
            Manajemen jalan napas oleh masker wajah, masker laring atau intubasi
trakea bisa secara teknis sulit karena diameter anteroposterior dinding dada
meningkat, pembesaran payudara, edema laring dan berat badan mempengaruhi
jaringan lunak leher.  Canul nasal harus dihindari dalam kehamilan karena
peningkatan vaskularisasi selaput lendir.  Penurunan konsentrasi cholinesterase
plasma sebanyak 30% secara teori menyebabkan succinylcholine, anestesi lokal
ester memiliki efek yang lebih lama. 12

31
            Aspirasi profilaksis dianjurkan dari awal trimester kedua. Kehamilan
berhubungan dengan persyaratan anestesi yang lebih rendah, meskipun
mekanisme ini tidak diketahui.  Konsentrasi minimum alveolar (MAC) untuk
anestesi inhalasi berkurang sebesar 30% sedini 8-12 minggu kehamilan.  Obat IV
yang menginduksi anestesi umum juga harus diberikan dalam dosis yang lebih
rendah.12
            Kesejahteraan janin harus dinilai oleh USG atau Doppler sebelum dan
setelah anestesi dan pembedahan.  Karena peningkatan risiko hipoksemia,
kesulitan dengan intubasi, aspirasi asam dan risiko bagi janin, anestesi regional
lebih dipilih dari anestesi umum jika keadaan memungkinkan.12

Anestesi pada trimester kedua

            Kompresi Aortocaval adalah bahaya yang paling ditakutkan pada operasi
ibu hamil dengan usia gestasi lebih dari 20 minggu. Karena berat uterus dapat
mendesak vena inferior yang mengakibatkan penurunan aliran vena dan cardiac
output. Sehingga mengakibatkan penurunan aliran darah uterus-plasenta. Hal ini y
dapat terjadi pada bebepa wanita hamil dengan posisi telentang. Biasanya keadaan
ini dapat dikompensasi dengan vasokontriksi dan takikardi pada ekstremitas atas. 
Efek ini dapat diperburuk oleh regional atau anestesi umum ketika mekanisme
kompensasi normal dilemahkan atau dihapuskan.  Aortocaval kompresi dapat
dihindari dengan menggunakan posisi lateral.  Hal ini juga dapat dikurangi dengan
perpindahan rahim melalui wedging atau perpindahan manual.12
            Kehamilan berhubungan dengan keadaan hiperkoagulasi karena
peningkatan pro-koagulan faktor.  Insiden komplikasi tromboembolik setidaknya
lima kali lebih besar selama kehamilan; tromboprofilaksis sangat penting.6,12

Anestesi untuk trimester ketiga

            Pada usia kehamilan ini, melahirkan melalui operasi caesar sebelum
operasi utama adalah sering dianjurkan.  Bila memungkinkan, operasi harus
ditunda 48 jam untuk memungkinkan terapi steroid untuk meningkatkan
pematangan paru janin.  Mungkin lebih tepat untuk melahirkan bayi dengan
anestesi regional, kemudian dikonversi ke anestesi umum untuk operasi definitif. 
Anestesi pasca persalinan harus disesuaikan dengan persyaratan bedah, dengan

32
tindakan pencegahan bahwa agen-agen volatil harus dihentikan atau digunakan
hanya dalam dosis kecil (<0,5 MAC) bersama dengan oxytocics untuk
meminimalkan risiko atonia uteri dan perdarahan.12
            Bedah, stres dan anestesi dapat menekan laktasi, setidaknya untuk
sementara.  Kebanyakan obat diekskresikan ke dalam ASI, namun, hanya sedikit
yang benar-benar dikontraindikasikan selama menyusui (zat radioaktif misalnya,
ergotamine, lithium, agen psikotropika.6

4. Pengawasan Post-operatif
            Denyut jantung janin (DJJ) dan aktivitas uterus harus dipantau selama
pemulihan dari anestesi. Jika janin layak untuk persalinan prematur, konsultasi
dengan konsultan pediatric telah mennyarankan, jika perlu, pasien harus
dipindahkan ke rumah sakit dengan perawatan intensif neonatal unit. Analgesia
yang memadai harus diperoleh dengan sistemik atau opioid tulang belakang.
Anestesi regional lebih disukai karena opioid sistemik dapat mengurangi
variabilitas DJJ. Penggunaan rutin dan berkepanjangan nonsteroid obat
antiinflamasi sebaiknya dihindari karena efek janin potensial (misalnya, prematur
penutupan ductus arteriosus dan pengembangan oligohidramnion).
Acetaminophen aman untuk meresepkan dalam pengaturan ini. Mobilisasi awal
dan profilaksis trombosis vena harus harus diwaspadai pada pasien beresiko untuk
tromboemboli.11

5. Terapi Cairan Pembedahan1,6


Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti milieu
interiur dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit)
atau koloid (plasma ekspander) secara intravena. Pembedahan dengan
anestesia memerlukan puasa sebelum dan sesudah pembedahan. Terapi
cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa
sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan
yang pindah ke rongga peritoneum dan ke luar tubuh. Cairan kristaloid
(elektrolit) digunakan sebagai cairan pemeliharaan bertujuan untuk
mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru dan keringat.6

33
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang peritoneum,
ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya
pembedahan. Pembedahan besar: 6 - 8 ml/KgBB, 4 - 6 ml/KgBB untuk
pembedahan sedang, dan 2 - 4 ml/KgBB untuk pembedahan
kecil.2Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi, untuk
perdarahan di bawah 20% dari volume darah total cukup diganti dengan
cairan infus yang komposisi elektrolitnya kira - kira sama dengan
komposisi elektrolit serum misalnya dengan cairan Ringer Laktat. Volume
darah wanita dewasa ialah 65 ml/KgBB. Koloid atau plasma ekspander
kalau diberikan secara intravena dapat bertahan lama di sirkulasi, koloid
dapat berupa gelatin (gelofusin).6
Sebaliknya, total cairan tubuh meningkat karena kebocoran kapiler
akibat aktivasi sel endotel. Ketidakseimbangan ini timbul sebagai gejala
edema perifer patologik, proteinuria, asites dan total cairan paru. Alasan-
alasan ini yang membuat penggantian kebutuhan cairan secara agresif
meningkatkan resiko terjadinya edema paru, terutama pada 72 jam
pertama post partum. Resiko ini dapat dihindari dengan pemberian cairan
secara bijaksana, yaitu dengan 500 ml hingga 1000 ml cairan kristaloid.
Suatu penilitian oleh Lucas, dkk pada tahun 2001 melaporkan tidak
adanya kejadian edema paru diantara wanita yang diberikan cairan
kristaloid terbatas, yaitu 500 cc sebagai cairan pre operatif.

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. S.J


Umur : 24 tahun (13-06-1994)

34
Alamat : Sentani
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 81 kg
Tinggi Badan : 143 cm
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Status Maritas : Belum Menikah Sah
Ruangan : 30-05-2019
Tanggal MRS : 30-05-2019
Tanggal Operasi : 31-05-2019
No. RM : 46 01 30

3.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 30 Mei 2019


a. Keluhan Utama
Mules-mules
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang mengaku hamil 9 bulan, nyeri perut atas sampai
tembus tulang belakang, keluar lender dari kemaluan, darah (+), gerak
perut (+) orang sakit mengaku hamil kembar, pusing (-), mual (-) ,
muntah (-), pasien mengaku tidak pernah mengontrol tekanan darah,
kehamilan sebelumnya, pasien juga mengaku tidak pernah menglami
tekanan darah tinggi.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat diabetes mellitus, (-), asma (-), dan penyakit jantung (-).
Riwayat hipertensi (-). Riwayat gastritis (-). Riwayat asam urat tinggi (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus (-), riwayat asma (-)
e. Riwayat Pengobatan dan Alergi

35
Pasien mengaku tidak ada riwayat alergi
f. Riwayat Anestesi dan Pembedahan Sebelumnya
Pasien belum perrnah dilakukan operasi
3.3 Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4V5M6
Berat badan : 81 Kg
Tinggi badan : 143 cm

Tanda-tanda vital:
- Tekanan darah : 130/100 mmHg
- Nadi : 80 x/menit, reguler, kuat angkat, terisi penuh
- Respirasi : 20 x/menit
- Suhu Badan : 36 0C

Kepala Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),


Pupil: bulat, isokor, diameter ODS: 3 mm,
Refleks cahaya (+/+)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)
:
Telinga : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)
Mulut : Deformitas (-)

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP (-)

Thoraks Paru : Inspeksi : Gerak dinding dada simetris,


retraksi dinding dada (-), jejas (-),
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra

Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), suara
rhonki (-/-), suara wheezing (-/-)

Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

36
: Palpasi : Tidak dilakukan evaluasi
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi

Auskultasi : Bunyi jantung I-II, reguler, murmur


(-), gallop (-)

Abdomen : Inspeksi : Tampak cembung, striae gravidarum (+)


Palpasi : Supel, nyeri tekn epigastrium (-), nyeri tekan
hipokandrium kanan (-), Fundus uteri 44cm
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi
Auskultasi : Bising usus (+), 4-5 kali/menit
Ekstremit : Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill Time< 2”,
as Edema (+) di ekstremitas inferior
Kekuatan otot di ekstremitas superior et inferior: 5

1.4 Pemeriksaan Laboratorium


Hasil Pemeriksaan Darah Rutin, Kimia darah dan Elektrolit darah
tanggal 30-05-2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

37
Hb 8,7 11,0 – 14,7 g/dl
Leukosit H 16,86 3,37-8,38 .103/uL
Trombosit 314 140-400 .103/uL
Hematokrit 28,9 35,2-46,7%
Eritrosit 4,47 3,69-5,46. 106/uL

Hasil pemeriksaan koagulasi tanggal 30-05-2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


PT 10,5 10,2-12,1 detik
APTT 26,4 24,8-34,4 detik

Hasil pemeriksaan urin 01-10-2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


pH 6.0 4.6-8.5
protein +2

Status Obstetri

Gravida 1, Partus 0, Abortus 0

Abdomen tampak membesar sesuai usia kehamilan, striae gravidarum (+)

Fundus uteri : 34cm

Letak Janin ; memanjang

Presentasi : anak I : kepala

Anak II : lintang

Denyut jantung janin : BJA I : 143x/m reguler

38
BJA II : 156x/m reguler

Inspekulo dan pemeriksaan dalam tidak dilakukan

DIAGNOSA

G1P0A0 hamil 40-41 minggu dengan PEB dan Anemia

3.5 Konsultasi Terkait

Konsultasi Bagian Anestesi


31-05-2019
Advice : Siapkan untuk operasi
Puasa
SIO
Siapkan darah
Acc Operasi

3.6 Penentuan PS ASA / Status Anestesi

 PS. ASA II : pasien dengan penyakit sistemik ringan-sedang, sehingga


aktivitas rutin terbatas

3.7 Persiapan Anestesi

Hari/Tanggal : 31-05-2019
Persiapan
: Inform consent (+), SIO (+), puasa (+)
Operasi
Makan/Minum
: -
Terakhir
BB/TB : 81Kg/143 cm
TTV di Ruang : Tekanan darah:130/100 mmHg; nadi: 80x/m, reguler, kuat
Operasi angkat, terisi penuh; respirasi: 20x / menit; suhu badan:36oC
(02-10-2018,

39
09.00 WIT)
SpO2 : 99%
Diagnosa Pra
: G1P0A0 Parturien aterm kala I Fase Laten dengan PEB
Bedah

Indikasi Pra
:
Bedah Sectio secarea

Airway:
Look : Jalan napas bebas

Feel : Terasa hembusan nafas pasien di pipi pemeriksa.


Terdengar hembusan napas pasien,
Listen :
Pasien bicara spontan.
Breathing:
B1 : Gerak dinding dada simetris, retraksi sela iga (-),
Inspeksi :
frekuensi napas: 20 kali/menit
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor.
Auskultasi Suara nafas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-),
:
suara wheezing (-/-).
Akral: teraba hangat, kering, warna: merah
Perfusi muda, Capillary Refill Time< 2”, TD:130/100
:
mmHg,
Nadi: 80x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh
Jantung:
B2 : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : tidak dilakukan evaluasi

Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi


Bunyi jantung I-II, regular, murmur (-), gallop
Auskultasi :
(-)
B3 : : Compos Mentis, GCS:E4V5M6 = 15,
Kesadaran Riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
Nyeri kepala (-), pandangan kabur (-),
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,

40
refleks cahaya (+/+)
B4 : BAK (+), produksi urin pre operasi 1000 cc, warna kuning
Inspeksi : Perut tampak cembung
Supel, nyeri tekan epigastrium (+),
Palpasi :
B5 : nyeri tekan hipokondrium kanan (+)
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi
Auskultasi : Bising usus (+) 4-5 kali/menit

Edema (+) di ekstremitas inferior, Fraktur (-),kekuatan otot


B6 :
ekstremitas superior et inferior: 5
Medikasi Pra Nifedipin (23.30)
:
Bedah RL+ MgSO4 (23.30) (08.00)

3.8 Laporan Durante Operasi

Ahli Anestesiologi : dr. D.W,Sp.An. KIC


Ahli Bedah : dr. D.H.U Sp.OG
Jenis Pembedahan : Sectio sesarea
Jenis Anestesi : Regional Anastesi –SAB
Anestesi dengan : Bupivacain 0,5%
Pasien diposisikan duduk
Identifikasi L3-L4
Aseptik dengan betadin dan alkohol
Teknik Anestesi :
Pungsi dengan spinocain G-27
Induksi bupivacain
Block (+)

41
 Dilakukan tindakan aseptic dan antiseptic didaerah
abdomen dan seluruhnya
 Dilakukan insisi pfannestiel
 Setelah peritoneum dibuka tampak dinding anterior
uterus
 Plika vesika uterine di potong melintang lau disisihkan
kebawah dengan hak besar
 Jam 09.07 lahir bayi laki-laki, BB 3100 gr, PB 48 cm,

Laporan Operasi APGAR 1:7 5:8. Disuntikkan oxytocin 1 amp + metergin


1 amp
 Dengan tarikan ringan pada tali pusat , plasenta lahir
lengkap pukul 09.09
 SBR dijahit 2
 Dijaht Lapis demi lapis
 Fascia dijahit engan vicril no 1

Pernafasan : Oksigen nasal


Posisi : Tidur terlentang (supine)
Pada tangan kiri terpasang IV line abocath 18 G dengan
Infus :
cairan Ringer Laktat 500 cc
Penyulit Pembedahan :
Obat yang digunakan :
Bupivacaine 0.5%
Efedrin 5 mg
Medikasi Durante
: Ranitidine 50 mg
Operasi
Ondansentron 4 mg
Antrain 1amp
Tanda-tanda vital
TD: 114/64 mmHg, Nadi 84x/m, reguler, kuat angkat,
pada akhir :
Suhu badan: 36,70C , Frekuensi napas: 22 x/m, SpO2: 100%
pembedahan

42
1.9 Terapi Cairan

Cairan yang Dibutuhkan Aktual


Pre BB: 81 Kg Input:
Operasi RL: 500 cc
- Kebutuhan cairan harian:

(40 – 50 cc /KgBB / hari) Output:


40 cc x 81 kg = 3240 cc / hari - Urine : ± 1000 cc

50 ccx 85 kg = 4050 cc / hari

Kebutuhan cairan harian :

3240 cc – 4050 cc / hari


- Kebutuan cairan per jam 1-2 ml x kgBB/jam
1 cc x 81kg = 81 cc/jam
2 cc x 81 kg = 162 cc/jam
Jadi, total = 85cc – 170 cc/jam

Durant 1. Maintenance Input:


e BB x 1-2 cc/kgBB/2jam - RL: 500 cc
Operasi 81 kg x1-2 cc/kgBB/2jam - Gelofusal: 500 cc
= 81cc –162 cc x(2 jam)
= 162 cc-324cc Outut:
2. Replacment : - Urin: ± 100 cc
a. Resusitasi Perdarahan selama operasi - Perdarahan: ± 460 cc
1. Estimate Blood Volume (EBV): 65 cc /
KgBB x BB = 65 cc/KgBB x 81Kg = 5265
cc
Estimate Blood Loss (EBL):
10 % =526,5cc
20% = 1053 cc
30% =1579,5cc

43
2. Pergantian kehilangan cairan karena
penguapan selama operasi ;
Operasi kecil :4-6 ml x BB
Operasi sedang : 6-8 ml x BB
Operasi Besar : 8-10 ml x BB
Operasi sedang : 6x81 =486 hingga 8x81 = 648cc

Post
Kebutuhan cairan harian
Operasi

40-50 cc/kgBB/hari x BB (kg)

40 cc x 81 kg = 3240 cc / hari

50 ccx 81kg = 4050 cc / hari

3.10 Follow Up Post Operatif

Tanggal Pemeriksaan Planning


31-05- S : lemas (+), nyeri pada luka - IVFD RL 500cc + pitan
2019 operasi (+) 2amp /12 jam
O: - Metronidazole 3x500mgr
B1 : airway bebas, nafas - Injeksi ceftriaxone 2x1gr
spontan, RR 20 x/mnt, suara (IV)
nafas vesikuler, rhonki -/-, - Paracetamol 4x500mg
wheezing -/-. - Injeksi Tramadol 3x100 mg
B2 : perfusi hangat, kering, - Injeksi Vit C 1x1 amp
merah, CRT <2’, TD 116/68 - Injeksi ranitidine 2x50 mg
mmHg, nadi 80 x/mnt, kuat - Lanjutkan protab pemberian MgSO4
angkat, regular. yang 6 gram
B3 : kesadaran compos mentis, - Transfusi Prc ; 230cc
GCS E4V5M6, pupil bulat - Observasi KU , TTV dan Perdarahan
isokor, diameter ODS 3 mm.
B4 : terpasang DC, produksi
urin (+), warna kuning jernih.

44
B5 : abdomen datar, BU (+),
supel, nyeri tekan (+) nyeri
tekan luka operasi (+)
B6 : Edema (+) di ekstremitas
superior- inferior, Fraktur
(-),kekuatan otot ekstremitas
superior et inferior: 5
01-06- S : nyeri pada luka operasi, - IVFD RL 500cc + pitan 2amp /12 jam
2019 perdarahan (-) - Metronidazole 3x500mgr
O: - Injeksi ceftriaxone 2x1gr (IV)
B1 : airway bebas, nafas - Paracetamol 4x500mg
spontan, RR 20 x/mnt, suara - Injeksi Tramadol 3x100 mg
nafas vesikuler, rhonki -/-, - Injeksi Vit C 1x1 amp
wheezing -/-. - Injeksi ranitidine 2x50 mg
B2 : perfusi hangat, kering, - Observasi KU , TTV dan Perdarahan
merah, CRT <2’, TD 110/70
mmHg, nadi 98 x/mnt, kuat
angkat, regular.
B3 : kesadaran compos mentis,
GCS E4V5M6, pupil bulat
isokor, diameter ODS 3 mm.
B4 : terpasang DC, produksi
urin (+), warna kuning jernih.
B5 : abdomen datar, BU (+),
supel, nyeri tekan (+) nyeri
tekan luka operasi (+)
B6 : Edema (+) di ekstremitas
superior- inferior, Fraktur
(-),kekuatan otot ekstremitas
superior et inferior: 5
02-06- S : nyeri pada luka operasi (+) - Co- Amoxiclav 3x 625 mg (p.o)
2019 O: - Metergin 3x1 tab (p.o)
B1 : airway bebas, nafas - Sulfas ferosus 3x1 tab (p.o)

45
spontan, RR 20 x/mnt, suara
nafas vesikuler, rhonki -/-,
wheezing -/-.
B2 : perfusi hangat, kering,
merah, CRT <2’, TD
120/70mmHg, nadi 89x/mnt,
kuat angkat, regular.
B3 : kesadaran compos mentis,
GCS E4V5M6, pupil bulat
isokor, diameter ODS 3 mm.
B4 :, produksi urin (+), warna
kuning jernih.
B5 : abdomen datar, BU (+),
supel, nyeri tekan (+) nyeri
tekan luka operasi (+)
B6 : Edema (-) di ekstremitas
superior- inferior, Fraktur
(-),kekuatan otot ekstremitas
superior et inferior: 5

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang mengaku hamil 9 bulan, nyeri perut atas sampai tembus
tulang belakang, keluar lender dari kemaluan, darah (-), gerak rahim (+) orang
sakit mengaku hamil kembar, pusing (-), mual (-) , muntah (-).Riwayat penyakit
dahulu seperti asma, alergi obat, DM, hipertensi, penyakit jantung dan malaria
disangkal. Riwayat penyakit turunan pada keluarga seperti asma, alergi, DM dan
hipertensi disangkal.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital dan laboratorium, didapatkan hasil,
perfusi akral hangat kering merah, TD 130/100 mmHg, nadi 80x/ menit, respirasi

46
20x/ menit, Suhu Badan 36,7 º C, dan dari hasil pemeriksaan fisik tidak
didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses anestesi, pasien
digolongkan dalam kategori Mallampati 1. Hasil laboratorium didapatkan HB 8,7
g/dl. Leukosit: 16,86, trombosit 314.000, Protein dalam urin +2. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses
anestesi, yaitu tekanan darah pasien meningkat. pasien digolongkan dalam
kategori Mallampati1.
Dari kasus tersebut pasien didiagnosis G1P0A0 hamil 40-41 minggu,
dengan Preeklamsi Berat. Pada kasus ini PEB bisa didapatkan karena salah satu
faktor terjadinya adalah primigravida.

Penetapan PS ASA

Physical Status : American Society of Anesthesiologist adalah pemeriksaan


fisik yang dilakukan untuk menentukan prognosis pada pasien sebelum dilakukan
tindakan anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui risiko apa yang bisa terjadi
pada pasien tersebut dan tindakan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal
tersebut.

Teori Kasus

Kelas I : Pasien sehat PS ASA ll


organik, fisiologik, psikiatrik, Pada kasus ini pasien tergolong PS ASA ll
biokimia. karena pasien memiliki penyakit sistemik,
Kelas II : Pasien dengan co-morbid obstetric dan hipertensi
dengan penyakit sistemik ringan yang merupakan penyakit sistemik ringan-
atau sedang. sedang.
Kelas III : Pasien
dengan penyakit sistemik berat,
sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien

47
dengan penyakit sitemik berat,
tidak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien
sekarat yang diperkirakan dengan
atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.

Hasil : Sudah tepat

 Penentuan Jenis Anestesi, Mengapa Regional anastesi spinal?

Teori Kasus

Anestesi spinal Pada pasien ini digunakan teknik


(subaraknoid) adalah anestesi Regional Anestesi (RA) dengan Sub
regional dengan tindakan Arakhnoid Block (SAB), yaitu pemberian
penyuntikan obat anestetik lokal obat anestesi lokal ke ruang
ke dalam ruang subaraknoid. subarakhnoid, sehingga pada pasien
Anestesi spinal/subaraknoid dipastikan tidak terdapat tanda-tanda
disebut juga sebagai blok spinal hipovolemia. Teknik ini sederhana,
intradural atau blok intratekal. cukup efektif
Anestesi spinal dihasilkan bila pada pasien juga tidak didapatkan gejala-
kita menyuntikkan obat analgesic gejala untuk dilakukan anastesi generall
lokal ke dalam ruang seperti tidak adanya penolakan pasien
subarachnoid di daerah antara dengan cara ini, nyeri kepala pada pasien
vertebra L2-L3 atau L3- L4 atau dan tidak adanya gangguan pembekuan
L4-L5. ). Anestesi spinal ini darah .
digunakan pada hampir semua
operasi abdomen bagian bawah

48
(termasuk seksio sesaria), anstesi
general dapat di lakukan jika
diantaranya ada penolakan pasien,
infeksi pada tempat suntikan,
hipovolemia, koagulopati, dan
peningkatan tekanan intrakanial,

Hasil : Sudah tepat

 Penentuan Obat Anestesi

Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan Bupivacaine yang


merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja
dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh.
Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh,
bersifat reversibel. Pada pasien ini juga dibrikan efedrin yang merupakan
golongan simpatomimetik non katekolamin. Pemberian efek efedrin yaitu
meningkatkan tekanan darah, dikarenakan pada anastesi spinal dapat
menyebabkan hipotensi pada pasien. Pada pasien ini terjadi hipotensi,
sehingga diberikan bolus ephedrin sebanyak 10mg secara intravena.
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 10 IU
dan metergin 0,2 mg . Pemberian oksitosin bertujuan untuk mencegah
perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk
mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5 menit.
Selain oksitosin, juga diberi metergin 2 ml . Mekanisme kerjanya merangsang
kontraksi otot uterus dengan cepat dan poten melalui reseptor adrenergik
sehingga menghentikan perdarahan uterus.

 Critical Point pada kasus: apa saja yang harus diperhatikan saat
preoperative, durante dan post operative?

Problem Actual Potensial Antisipasi

49
List
B1 Airway bebas, Mallampati Pre-op : O2 nasal atau
score: I ; Durante-op : masker sesuai
Breathing: thorax simetris, ikut Aspirasi oleh isi saturasi O2, chin
gerak napas, RR:20x/m, lambung, lift, suction bila
palpasi: Vocal Fremitus D=S, Post-op : perlu, evaluasi
perkusi: sonor, suara napas kembali
vesikuler +/+, ronkhi-/-,
wheezing -/-
B2 Perfusi: hangat, kering, merah. Pre-op : Hipertensi, Resusitasi
Capilary Refill Time < 2 detik, kejang cairan,
BJ: I-II regular, murmur (-) Durante : Hipotensi, monitoring vital
gallop (-) Nadi : 92 x/m sign
Post-op : Hipotensi,
Takikardia -
Bradikardia
B3 Kesadaran Compos Mentis, Penurunan kesadaran, Observasi
GCS: (E4V5M6), riwayat kesadaran,
pingsan (-) tanda-tanda
TTIK
B4 Terpasang DC, produksi urin Retensi urin Rehidrasi,
(+), warna kuning Monitoring
produksi urin
B5 cembung, supel , BU (+) N, Pre-op : distensi Pemberian
BAB (+) N abdomen Ranitidin dan
Durante : Risiko Ondansentron
refluks
gastroesofageal saat
operasi.
Post-op : Risiko
refluks
gastroesofageal
setelah operasi.
B6 Akral hangat (+), edema (+), Posisikan pasien

50
fraktur (-), deformitas (-) dengan tepat

 Terapi cairan pada pasien dengan BB 85 kg

Cairan yang Dibutuhkan Aktual

Pre Operasi BB: 85 kg  Input:

 Kebutuhan cairan harian: RL 500 cc

(40 – 50 cc /KgBB / hari)  Urin:1000


cc
40 cc x 81 kg = 3240 cc / hari

50 ccx 81 kg = 4050 cc / hari

Kebutuhan cairan harian :

3240 cc – 4050 cc / hari

 Kebutuhan cairan per jam

3240 cc : 24 jam = 135 cc / jam

4050 cc : 24 jam = 168,75 cc / jam

Kebutuhan cairan per jam ;

135 cc – 168,75 cc / jam

Durante Kebutuhan cairan durante operasi 45 menit (135  Input:


Operasi menit)
RL 500 cc
 Maintanance

Gelofusal 500
Kebutuhan cairan per jam 135 cc – 168,75 cc / jam

51
45 cc
Untuk 45 menit = 135 – 168,75 cc/jam
60
 Output:
= 101,25 cc – 126,6 cc/45 menit
Urin 100 cc
 Replacement
Estimated Blood Volume (EBV): Perdarahan: ±
65xkgBb 460 cc
= 65x81 = 5265 cc

Estimated Blood Loss (EBL):

Volume perdarahan : EBV x 100%

10% = 526.5 cc

20% = 1053 cc

30 % = 1579,5 cc

Post Operasi Kebutuhan cairan harian :

40-50 cc/kgBB/hari x BB (kg)

40 cc x 78 kg = 3120 cc / hari

50 ccx 78 kg =3900 cc / hari

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus


kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan
kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa,
sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat
high molecular weight seperti protein atau glukosa

52
polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan
onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar
intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan
seluruh ruang cairan ekstraseluler. Karena
kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah
isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya
digunakan. Cairan yang paling umum digunakan
adalah larutan Ringer laktat.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi tekhnik anestesi yang
akan digunakan
2. Pada pemeriksaan fisik pasien termasuk dalam PS ASA II, yaitu pasien
bedah dengan co-morbid obstetri hipertensi
3. Teknik anestesi yang baik pada pasien dinilai sudah tepat dengan
mempertimbangkan keselamatan dan kenyamanan pasien.
4. Critical point pada pasien adalah Aspirasi, hipotensi, mual muntah dan
resiko refluks gastroesofageal saat operasi.
5. Terapi cairan pre-operasi dan durante operasi di nilai sudah tepat sesuai
dengan kebutuhan cairan pasien.

5.2 Saran

53
Pada penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari
persiapan pre anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi,
terutama menyangkut resusitasi cairan pada pasien dengan regional yang
memiliki efek samping berupa perdarahan dan hipotensi.

DAFTAR PUSTAKA

Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R., 2007. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Li G, Huang MS, Lena S. 2009. Epidemiology of Anesthesia-related Mortality in the


United State, 1999-2005. Anesthesiology 110 (40): 759-765

Hool A. 2010. Anaesthesia In Pregnancy For Non-Obstetric Surgery. World


Federation of Societies of Anesthesiologist 185: 1-9

Walton NKD, Melachuri VK. 2006. Anaesthesia for non-obstetric surgery during
pregnancy. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain  6 ( 2): 83-85

Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran (terjemahan). Edisi 9. Jakarta:
EGC; 1996. 1063-76, 1203-37.

54
nd
Morgan GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology. 2 ed. Stamford:A LANGE
medical book; 1996. 834.

World Health Organization. Managing complications in pregnancy and childbirth.


Didapat dari : URL, : http://www.who.int. 2003 (diakses tanggal 12 Mei 2016)

Carvalho B. 2006. Nonobstetric Surgery During Pregnancy, IARS Review Course


Lectures.

Heazell A. and Clift J. 2008. Obstetrics For Anaesthetists. Cambridge University


Press. Cambridge

Koren G, Pastuszak A, Ito S. 1998. Drugs in pregnancy. N Engl J Med  338:1128-37

Roisin NM, and David A. 2006. Anesthesia in pregnant patients for nonobstetric
surgery. J of Clin Anesth 18: 60–66
Goodman S. 2002 Anaesthesia for non obstetric surgery in the pregnant patient.
Semin Perinatol  26:136-45
Suardi, D. Kehamilan Kembar yang Tidak Terdiagnosis, Laporan Kasus. Bandung,
bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unpad- RSUP Dr. Hasan Sadikin.1999
Sastrawinata, S.Martaadisoebrata,J.Wirakusumah,FW et al. Obstetri Patologi ed 2.
Bandung, bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unpad- RSUP Dr. Hasan
Sadikin.2005
Mose C., J., hipertensi dalam krehamilan., Obstetri Patologi . Bandung, bagian/SMF
Obstetri dan Ginekologi FK Unpad- RSUP Dr. Hasan Sadikin.2013

55
56

Anda mungkin juga menyukai