Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH RADIKALISME DI

TINJAU DARI IDEOLOGI


PANCASILA

OLEH

ARRIZKY WIMAS P. A.

1920112069

SAX5

Program Studi Akutansi


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA
SURABAYA
(STIESIA)
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Indonesia dewasa ini dihadapkan dengan persoalan dan ancaman radikalisme,
terorisme dan separatisme yang kesemuanya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan
UUD NRI 1945. Radikalisme merupakan ancaman terhadap ketahanan ideologi. Apabila
Ideologi negara sudah tidak kokoh maka akan berdampak terhadap ketahanan nasional.
            Radikalisme dapat diartikan sebagai sikap atau paham yang secara ekstrim,
revolusioner dan militan untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang dianut
masyarakat. Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau kekerasan fisik.
Ideologi pemikiran, kampanye yang masif dan demonstrasi sikap yang berlawanan dan ingin
mengubah mainstream dapat digolongkan sebagai sikap radikal.
Melalui peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang kini tengah dihadapi oleh seluruh
lapisan masyarakat Indonesia. Meningkatnya radikalisme dalam agama di Indonesia menjadi
fenomena sekaligus bukti nyata yang tidak bisa begitu saja diabaikan ataupun dihilangkan.
Radikalisme keagamaan yang semakin meningkat di Indonesia ini ditandai dengan berbagai
aksi kekerasan dan teror. Aksi tersebut telah menyedot banyak potensi dan energi
kemanusiaan serta telah merenggut hak hidup orang banyak termasuk orang yang sama sekali
tidak mengerti mengenai permasalahan ini. Meski berbagai seminar dan dialog telah digelar
untuk mengupas persoalan ini yaitu mulai dari pencarian sebab hingga sampai pada
penawaran solusi, namun tidak juga kunjung memperlihatkan adanya suatu titik terang.
Fenomena tindak radikalisme dalam agama memang bisa dipahami secara beragam,
namun secara esensial, radikalisme agama umumnya memang selalu dikaitkan dengan
pertentangan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan kelompok agama tertentu
dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. Dengan demikian,
adanya pertentangan, pergesekan ataupun ketegangan, pada akhirnya menyebabkan konsep
dari radikalisme selalu saja dikonotasikan dengan kekerasan fisik. Apalagi realitas yang saat
ini telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat mendukung dan semakin
memperkuat munculnya pemahaman seperti itu.

B. Rumusan Masalah
Dari sekian banyak materi yang ada, dalam Makalah ini penyusun mencoba
menguraikan rumusan masalah mengenai:
1. Bagaimana sejarah radikalisme bisa terjadi di Indonesia?
2. Bagaimana implementasi nilai-nilai pancasila dalam menghadapi radikalisme?
3. Bagaimana pembentengan terhadap pemuda dari radikalisme?

C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pancasila dan untuk menambah pengetahuan tentang Tinjauan Ideologi Pancasila Terhadap
Radikalisme.
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Sejarah Radikalisme


a.  Definisi Radikalisme
Radikalisme itu adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan, meyakinkan
dengan satu tujuan yang dianggap benar tapi dengan menggunakan cara yang salah.
Radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang mengingikan perubahan
atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Namun, dalam
artian lain, esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan.
Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari perubahan itu
cenderung menggunakan kekerasan. Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan
yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan
keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan
sikap berdamai dan mencari perdamaian Islam tidak pernah membenarkan praktek
penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik.
Dawinsha mengemukakan defenisi radikalisme menyamakannya dengan teroris.
Tapi ia sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antara keduanya. Radikalisme
adalah kebijakan dan terorisme bagian dari kebijakan radikal tersebut. defenisi Dawinsha
lebih nyata bahwa radiklisme itu mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan
yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan
gagasan baru.
Makna yang terakhir ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman negatif dan
bahkan bisa menjadi berbahaya sebagai ekstrim kiri atau kanan.

b.      Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gerakan Radikalisme


Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja
tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya gerakan
radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah :
1. Faktor-faktor sosial-politik
Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada
gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaparah oleh Barat disebut sebagai
radikalisme Islam itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-
politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana
diungkapkan Azyumardi Azra bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam
konflik utara-selatan menjadi penopong utama munculnya radikalisme. Secara historis kita
dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan
seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri dengan
kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik. Dalam hal ini kaum
radikalisme memandang fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh
peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang
mendominasi.
           Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis
mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk mencapai tujuan
“mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut
memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama
dalam melihat fenomena historis. Karena dilihatnya terjadi banyak Islam dan Wacana …
[Syamsul Bakri] 7 penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas
Muslim maka terjadilah gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi
keagamaan.
2. Faktor emosi keagamaan
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen
keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang
tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan  sebagai faktor emosi
keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walalupun gerakan
radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama,
jihad dan mati syahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah
agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan
subjektif.
3. Faktor kultural.
Faktor ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatar belakangi munculnya
radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan
Musa Asy’ari 12 bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan
diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan
yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya
sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggab sebagai musuh
yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya
dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban
barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia yang telah
dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan muslim
sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas.
4. Faktor ideologis anti westernisme.
Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam
mengaplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi
penegakan syari’at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan
dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum
radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri
sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban
5. Faktor kebijakan pemerintah.
Ketidakmampuan pemerintahan di negara-negara Islam untuk bertindak
memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam
disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam
hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar
yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat
mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat. Di samping itu, faktor media massa
(pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi
dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers
memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian
“ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada
komunitas Muslim.
c.       Asal Kemunculan Radikalisme
Sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok fundamentalisme
dalam islam lebih di rujuk karena dua faktor, yaitu:
1.      Faktor internal
Faktor internal adalah adanya legitimasi teks keagamaan, dalam melakukan
“perlawanan” itu sering kali menggunakan legitimasi teks (baik teks keagamaan maupun
teks “cultural”) sebagai penopangnya. untuk kasus gerakan “ekstrimisme islam” yang
merebak hampir di seluruh kawasan islam (termasuk indonesia) juga menggunakan teks-
teks keislaman (Alquran, hadits dan classical sources kitab kuning) sebagai basis
legitimasi teologis, karena memang teks tersebut secara tekstual ada yang mendukung
terhadap sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini.
Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini mengalami frustasi yang
mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”negara islam
internasional” sehingga pelampiasannya dengan cara anarkis; mengebom fasilitas publik
dan terorisme. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah
faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk
kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai
faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama.
2.      Faktor eksternal
Faktor eksternal  terdiri dari beberapa sebab di antaranya :
1. Aspek ekonomi politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng dari
nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rezim di negara-negara islam gagal
menjalankan nilai-nilai idealistik islam. Rezim-rezim itu bukan menjadi pelayan
rakyat, sebaliknya berkuasa dengan sewenang-wenang bahkan menyengsarakan
rakyat. Penjajahan Barat yang serakah, menghancurkan serta sekuler justru datang
belakangan, terutama setelah ide kapitalisme global dan neokapitalisme menjadi
pemenang. Satu ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan untuk dijadikan
“pasar baru”. Industrialisasi dan ekonomisasi pasar baru yang dijalankan dengan
cara-cara berperang inilah yang sekarang  hingga melanggengkan kehadiran
fundamentalisme islam.
2. Aspek budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang mendominasi
kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai musuh besar yang
harus dihilangkan dari bumi.
3. Aspek sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan masalah
teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya radikalisme
di kalangan umat islam.

2.      Radikalisme ditinjau dari Nilai Pancasila


a.      Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menghadapi Radikalisme
Dalam masa orde baru, untuk menanamkan dan memasyarakatkan kesadaran akan
nilai-nilai Pancasila dibentuk satu badan yang bernama BP7.  Badan tersebut merupakan
penanggung jawab (leading sector) terhadap perumusan, aplikasi, sosialisasi,
internalisasi terhadap pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila, dalam
kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.
Saat ini Pancasila adalah ideologi yang terbuka., dan sedang diuji daya tahannya
terhadap gempuran, pengaruh dan ancaman ideologi-ideologi besar lainnya, seperti
liberalisme (yang menjunjung kebebasan dan persaingan), sosialisme (yang menekankan
harmoni), humanisme (yang menekankan kemanusiaan), nihilisme (yang menafikan
nilai-nilai luhur yang mapan), maupun ideologi yang berdimensi keagamaan.
Pancasila, sebagai ideologi terbuka pada dasarnya memiliki nilai-nilai universal
yang sama dengan ideologi lainnya, seperti keberadaban, penghormatan akan HAM,
kesejahteraan, perdamaian dan keadilan. Dalam era globalisasi, romantisme kesamaan
historis jaman lalu tidak lagi merupakan pengikat rasa kebersamaan yang kokoh.
Kepentingan akan tujuan yang akan dicapai lebih kuat pengaruhnya daripada kesamaan
latar kesejarahan. Karena itu, implementasi nilai-nilai Pancasila, agar tetap aktual
menghadapi ancaman radikalisme harus lebih ditekankan pada penyampaian tiga
message berikut :
a. Negara ini dibentuk berdasarkan kesepakatan dan kesetaraan, di mana di dalamnya
tidak boleh ada yang merasa sebagai pemegang saham utama, atau warga kelas satu.
b. Aturan main dalam bernegara telah disepakati, dan Negara memiliki kedaulatan
penuh untuk menertibkan anggota negaranya yang berusaha secara sistematis untuk
merubah tatanan, dengan cara-cara yang melawan hukum.
c.  Negara memberikan perlindungan, kesempatan, masa depan dan pengayoman
seimbang untuk meraih tujuan nasional masyarakat adil dan makmur, sejahtera,
aman, berkeadaban dan merdeka.
Nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 yang harus tetap diimplementasikan itu adalah :
 Kebangsaan dan persatuan 
 Kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia
 Ketuhanan dan toleransi
 Kejujuran dan ketaatan terhadap hukum dan peraturan
   Demokrasi dan kekeluargaan
Ketahanan Nasional merupakan suatu kondisi kehidupan nasional yang harus
diwujudkan dan dibina secara terus menerus secara sinergis dan dinamis mulai dari
pribadi, keluarga, lingkungan dan nasional yang bermodalkan keuletan dan ketangguhan
yang mengandung kemampuan pengembangan kekuatan nasional.
Salah satu unsur ketahanan nasional adalah Ketahanan Ideologi. Ketahanan Ideologi
perlu ditingkatkan dalam bentuk pengamalan Pancasila secara objektif dan subjektif,
Aktualisasi, adaptasi dan relevansi ideologi Pancasila terhadap nilai-nilai baru serta
Pengembangan dan penanaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam seluruh kehidupan
berbangsa, bermasyarakat.
b. Membentengi Pemuda Dari Radikalisme
Pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa depan negeri ini bertumpu
pada kualitas mereka. Namun ironisnya, kini tak sedikit kaum muda yang justru menjadi
pelaku terorisme. Serangkaian aksiterorisme mulai dari Bom Bali-1, Bom Gereja
Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton,hingga aksi penembakan Pos Polisi
Singosaren di Solo dan Bom di Beji dan Tambora, melibatkan pemuda. Sebut saja, Dani
Dwi Permana, salah satu pelaku Bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang saat itu
berusia 18 tahun dan baru lulus SMA.
Fakta di atas diperkuat oleh riset yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian (LaKIP). Dalam risetnya tentang radikalisme di kalangan siswa dan guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, pada Oktober 2010-Januari 2011, LaKIP
menemukan sedikitnya 48,9 persen siswa menyatakan bersedia terlibat dalam aksi
kekerasan terkait dengan agama dan moral. Rentannya pemuda terhadap aksi kekerasan
dan terorisme patut menjadi keprihatinan kita bersama. Banyak faktor yang menyebabkan
para pemuda terseret ke dalam tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya
pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat
kebangsaan, kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan
tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif.
Untuk membentengi para pemuda dan masyarakat umum dari radikalisme dan
terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggunakan upaya
pencegahan melalui kontra-radikalisasi (penangkalan ideologi). Hal ini dilakukan dengan
membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di daerah, Pelatihan anti
radikal-terorisme bagi ormas, Training of Trainer (ToT) bagi sivitas akademika perguruan
tinggi, serta sosialiasi kontra radikal terorisme siswa SMA di empat provinsi.
Ada beberapa hal yang patut dikedepankan dalam pencegahan terorisme di kalangan
pemuda :
1. Memperkuat pendidikan kewarganegaraan (civic education) dengan menanamkan
pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD
1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui pendidikan kewarganegaraan, para
pemuda didorong untuk menjunjung tinggi dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur
yang sejalan dengan kearifan lokal seperti toleransi antar-umat beragama, kebebasan
yang bertanggung jawab, gotong royong, kejujuran, dan cinta tanah air serta kepedulian
antar-warga masyarakat.
2. Mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitas baik di bidang
akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga.
3. Memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak
mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di
lingkungan sekolah dan para pemuka agama di masyarakat sangat penting.
4. Memberikan keteladanan kepada pemuda. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari para
penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh masyarakat, maka upaya yang
dilakukan akan sia-sia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Radikalisme itu adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan, meyakinkan
dengan satu tujuan yang dianggap benar tapi dengan menggunakan cara yang salah.
Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap
Agama dan Pancasila. Oleh karena itu, dibutuhkan pengimplementasian terhadap nilai-nilai
Pancasila dan pembentengan para pemuda dari radikalisme.
DAFTAR PUSTAKA

http://abdurrahman001.blogspot.co.id/2015/05/peran-sertaa-pancasila-untuk-mencegah.html
http://aribherzi020696.blogspot.co.id/2015/04/makalah-radikalisme.html
http://2beahumanbeing.blogspot.com/2012/06/makalah-radikalisme-pengertian-konsep.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme

Anda mungkin juga menyukai