NIM : 18704042
KELAS : B
Untuk mengatasi permasalahan TB, diperlukan kerja sama lintas sektor karenaprevalensi/beban TB
disebabkan oleh multisektor seperti kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan disparitas
yang terlalu besar, masalah sosial penganguran dan belum semua masyarakat dapat mengakses layanan
TB khususnya di Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK).
Permasalahan tersebut memacu Kementerian Kesehatan untuk terus melakukan intensifikasi, akselerasi,
eketensifikasi dan inovasi melalui Strategi Nasional Penanggulangan TB antara lain : 1). Peningkatan
Akses layanan TOSS (Temukan Obati Sampai Sembuh) -TB bermutu melalui Peningkatan jejaring layanan
TB (public-private mix), penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat, penemuan intensif melalui
kolaborasi (TB-HIV, TB-DM, PAL, TB-KIA, dll) dan investigasi kontak, serta inovasi deteksi dini dengan
rapid tes TB,
2). Penguatan Kepemimpinan program dan dukungan sistem melalui advokasi dan fasilitasi dalam
perumusan Rencana Aksi Daerah Eliminasi TB dan Regulasi
4). Membangun kemitraan dan kemandirian program, serta 5. Pemanfaatan Informasi Strategis dan
Penelitian.
Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab utama kematian dimana sebagian besar infeksi terjadi
pada orang antara usia 15 dan 54 tahun yang merupakan usia paling produktif, hal ini menyebabkan
peningkatan beban sosial dan keuangan bagi keluarga pasien. Studi pada tahun 2013 The Economic
Burden of TB in Indonesia, memberikan gambaran bahwa peningkatan jumlah kasus memiliki dampak
yang besar pada beban ekonomi. Sebagai gambaran, pada tahun 2011 angka penemuan kasus TB adalah
72,7% dan TB MDR adalah 6,7% maka beban ekonomi yang diakibatkan adalah Rp.27,7 triliu, tetapi jika
angka penemuan kasus TB ditingkatkan menjadi 92,7% dan TB MDR 31,4% maka beban ekonomi
diturunkan menjadi Rp. 17,4 triliun. Dengan penambahan investasi untuk biaya pengobatan sebesar Rp.
455 miliar untuk peningkatan penemuan kasus maka akan didapat pengurangan beban ekonomi sebesar
Rp. 10,4 triliun, dan adanya penurunan jumlah kematian terkait TB akan berkurang sebesar 37%, dari
95.718 ke 59.876. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa langkah pencegahan penularan di masyarakat
harus menjadi prioritas utama dalam program Pengendalian TB.
Menurut Depkes RI (2006), TB Paru (tuberculosis) adalah penyakit menular yang langsung disebabkan
oleh kuman TB (Mycobaterium tuberculosa). Sebagian besar kuman TBC ini menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Myocobacterium
tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai
Batang Tahan Asam (BTA). Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuhmanusia melaui udara
pernapasan kedalam paru. Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya,
melalu sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran napas (bronchus) atau menyebar
langsung ke bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di
luar paru.
Menurut WHO, surveilans adalah proses pengumpulan,pengolahan, analisis, dan interpretasi data
secara sistematik dan terus menerusserta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk
dapatmengambil tindakan. Oleh karena itu perlu di kembangkan suatu definisi surveilans epidemiologi
yang lebih mengedepankan analisis atau kajianepidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi,
tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data.
Gambar dibawah ini menyajikan contoh penggunaan surveilans untuk memonitor performa dan
efektivitas program pengendalian TB. Perhatikan, dengan statistik deskriptif sederhana surveilans
mampu memberikan informasi tentang kinerja program TB yang meningkat dari tahun ke tahun,
baik jumlah kasus TB yang dideteksi, ketuntasan pengobatan kasus, maupun kesembuhan kasus.
Perhatikan pula peran penting data time-series dalam analisis data surveilans yang dikumpulkan
dari waktu ke waktu dengan interval sama.
Tujuan jangka panjang Penanggulangan Nasional TB adalah menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian penyakit TB dengan cara memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi
menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia.
Melihat dari manfaat Surveilans epidemiologi secara umum, maka manfaat surveilans epidemiologi
penyakit tbc yaitu:
1. Dapat diketahui distribusi penyakit tuberculosis menurut orang, tempat, waktu, dan kelompok
umur pada suatu daerah tertentu dimana dilakukannya surveilans.
2. Bagi pensurvei (puskesmas), sebagai bahan informasi penting mengenai suatu penyakit tuberkulosis
dan dapat digunakan untuk penentu kebijakan selanjutnya dalam langkah penanggulangan penyakit
tuberculosis tersebut.
3. Bagi masyarakat, surveilans epidemiologi tbc dapat dijadikan sebagai informasi dan sebagai bahan
masukan agar masyarakatlebih meningkatkan lagi kesehatanya.
IMPLEMENTASI
Indikator dalam survei TBC (survey tuberkulin, studi tentang kematian, pengkajian pelaksanaan DOTS di
RS), antara lain:
2. Deteksi kasus TB di antara orang-orang yang memiliki gejala-gejala melalui pemeriksaan dahak;
3. Enam hingga delapan bulan pengobatan teratur yang diawasi (termasuk pengamatan langsung untuk
pengkonsumsian obat setidaknya selama dua bulan pertama);
5. Sistem laporan untuk monitoring dan evaluasi perkembangan pengobatan dan program.
6. Memasukkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) sebagai penilaian akreditasi
rumah sakit;
7. Menggunakan 18 alat Gene Xpert sebagai Rapid Diagnostic TB untuk TB MDR dan TB HIV;
9. Melibatkan lintas sector Pemerintah dan asosiasi profesi untuk menjangkau seluruh kelompok
masyarakat;
12.Menyusun exit strategy agar tidak tergantung pada bantuan luar negeri; Menyepakati dengan PT
ASKES dan Jamsostek dalam penerapan standar pengobatan TB dan pembiayaan berbasis asuransi bagi
seluruh pasien TB.
Metode-Metode Survailens Epidemiologi TBC
Metodologi yang digunakan dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, termasuk modeling,
eksperimentasi, kuasi eksperimen, focus group discussion, in-depth interview dan lain-lain. Tidak ada
metode khusus yang digunakan.Dalam melakukan survei tuberkulosis, keterlibatan manajer dan
pelaksana program sangat diperlukan. Keberhasilan dalam surveidinilai dari seberapa besar
pemanfaatan hasil penelitian untuk perbaikan pelaksanaan program. Pengalaman menunjukkan bahwa
hasil survei akan dimanfaatkan, bila pelaksana program diikutsertakan sejak dari awal.
d) Memperkuat kapasitas manajer kesehatan dan petugas pelaksana program untuk melaksanakan
penelitian operasional guna mengatasi masalah
f) Memberikan akses kepada manajer atau petugas pelaksana program dari daerah lain untuk
menjadikan hasil penelitian sebagai bahan pembelajaran.
1. Sentinel surveillance merupakan sistem surveilans dimana laporan didapat dari populasi atau fasilitas
tertentu karena jumlah kasusnya sangata kecil dan jarang terjadi.
2. Laboratory-based reporting merupakan sistem surveilans dimana laporan didapat dari laboratorium
3. Passive surveillance merupakan sistem surveilans dimana laporan didapat tanpa
permohonan,intervensi, atau kontak oleh dinas kesehatan yang melakukan surveilans. Surveilans pasif
memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable
diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan
mudah untuk dilakukan.
· Informasi epidemiologi penyakit TBC terdistribusi kepada program terkait, pusat-pusat kajian, dan
pusat penelitian serta unit surveilans lain.
· Terkumpulnya data kesakitan, data laboratorium dan data KLB penyakit TBC di Puskesmas, Rumah
Sakit danLaboratorium, sebagai sumber data Surveilans Terpadu Penyakit
· Dapat mendistribusikan data kesakitan, data laboratorium serta data KLB penyakit TBC kepada unit
surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dan unit
surveilans Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan
· Terlaksananya pengolahan dan penyajian data penyakit dalam bentuk tabel, grafik, peta dan analisis
epidemiologi penyakit TBC lebih lanjut oleh Unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas
Kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM &PL Depkes
· Dapat mendistribusikan hasil pengolahan dan penyajian data penyakit beserta hasil analisis
epidemiologi lebih lanjut dan rekomendasi kepada program terkait di Puskesmas, Rumah Sakit,
Laboratorium, Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional, pusat-pusat riset, pusat-pusat kajian dan perguruan
tinggi serta sektor terkait lainnya
· Memantau kemampuan program TB untuk mendeteksi kasus, menjamin selesainya pengobatan dan
kesembuhan.
1. Pertama, ketidakakuratan data, terjadi karena pengisian formulir masih dilakukan secara manual
sehingga untuk mengisi seluruh formulir baik standar maupun buku bantu terdapat data yang sama
ditulis berulang kali, sehingga mudah menimbulkan kesalahan
2. Masalah ketidaklengkapan data, sebagai contoh data yang diisi dalam formulir pelaporan TB 01 tidak
lengkap sebelum pelaksanaan validasi sampling diambil 10 laporan TB 01 secara acak semuanya tidak
lengkap pengisiannya, dikarenakan petugas harus mengumpulkan data dari berbagai sumber untuk
melengkapi laporan TB 01
3. Validasi data memerlukan waktu lama, karena data dari Puskesmas, BP4, Rumah Sakit dan Puskesmas
harus disalin ulang oleh wasor TB kabupaten/kota untuk kepentingan pengisian data register kabupaten.
Supervisi ke UPK dilaksanakan setiap 3 bulan sekali dan setiap kali supervisi untuk validasi data pada
satu UPK dibutuhkan waktu lebih dari 2 jam sampai sehari penuh
4. Tidak dapat memberikan informasi bulanan tepat waktu, karena supervisi dilaksanakan setiap 3 bulan
sekali sementara propinsi menghendaki laporan bulanan. Dengan demikian laporan bulanan hanya
berupa laporan estimasi.
5. Banyak pasien yang tidak tercatat dalam program DOTS disebabkan karena pindah pengobatan dan
tidak terpantau bahkan tidak dilaporkan
7. Kesulitan jika ingin membuat laporan yang bervariasi dengan tampilan tabel, grafik maupun peta
karena harus menghitung secara manual. Terakhir kesulitan untuk mengambil keputusan klinis berkaitan
penegakan diagnosis TB karena kebutuhan data klinis belum ada dalam formulir TB standar, sehingga
perlu dikembangkan format laporan misalnya clinical pathway yang di kembangkan di Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta
1. Selama ini pelaksanaan surveilans masih bersifat vertikal, dan terpisah antar satu program dengan
program lainnya. Pemerintah pusat telah mengeluarkan Kepmenkes No.1116/SK/VIII/2003 yang
mengatur penyelenggaraan sistem surveilans. Kepmenkes ini menyebutkan agar dibentuk unit
surveilans dan unit pelaksana teknis surveilans serta dibentuk jejaring surveilans antara unitunit
tersebut. Pengamatan menunjukkan bahwa pelaksanaan Kepmenkes belum berjalan secara maksimal di
daerah. Belum ada Perda atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota yang merujuk ke Kepmenkes.
Surveilans saat ini banyak didanai pemerintah pusat. Dana masuk dalam anggaran pusat yang bersifat
program vertikal. Tidak ada dana untuk pengembangan surveilans di daerah. Akibatnya jarang sekali
dilakukan pencegahan sekunderprimer oleh pemerintah daerah. Respons oleh pemerintah pusat dari
kegiatan surveilans lebih banyak ke pencegahan tersier yang mempunyai risiko keterlambatan
2. Perlu penguatan sistem surveilans di daerah dengan cara penguatan kedudukan unit surveilans
dalam tatanan struktural dinkes dan optimalisasi anggaran, terutama dari APBD. Ada kemungkinan
pemerintah daerah merasa bahwa urusan surveilans adalah urusan pemerintah pusat, sehingga
pemerintah daerah tidak memprioritaskan program surveilans dan menganggap surveilans tidak terlalu
penting. Persepsi pemerintah daerah seperti ini yang menjadikan alokasi anggaran untuk pelaksanaan
kegiatan surveilans sangat rendah.
c. Permaslahan yang menjadi kekurangan dalam surveilens dilihat dari prosesnya meliputi:
1. Input, meliputi kurangnya sumber daya manusia, kurangnya peranan kelompok jabfung, minimnya
dukungan anggaran, dan tidak adanya dukungan dari Perda
2. Segi proses, dinyatakan bahwa jejaring surveilans selama ini tidak ada, belum ada konfirmasi kasus,
belum terjadi koordinasi lintas program apalagi lintas sektoral, respon selama ini hanya bersifat by case
3. Output, kelengkapan dan ketepatan data masih rendah, diseminasi buletin epidemiologi dan umpan
balik pun belum ada di semua daerah, hanya saja di beberapa daerah umpan balik dilakukan dengan
pertemuan bulanan dokter, atau ada pula yang memberi umpan balik dengan menyebarkan edaran ke
Puskesmas - Puskesmas.