Anda di halaman 1dari 4

I. Mengapa korupsi di Indonesia tidak bisa hilang ?

II. Mengapa hukum di Indonesia sangat terpuruk bila dbandingkan oleh negara – negara
lain ?
III. Dan mengapa kasus hukum di Indonesia masih dianggap belum menyentuh rasa
keadilan ?

I. Korupsi secara sederhana dipahami sebagai upaya menggunakan kemampuan campur


tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh,
uang atau kekayaan untuk kepentingan keuntungan dirinya (Haryatmoko 2011:123).
Korupsi terjadi karena penyalahgunaan kewenangan kekuasan tidak untuk
kepentingan bersama, melainkan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.

Penyalahgunaan kewenangan seringkali terjadi bukan saja karena sistem pengawasan


tidak berjalan, melainkan juga karena problema mentalitas kebudayaan yang
berhimpun dalam struktur birokrasi yang berjalan dalam pemerintahan. Mentalitas
tersebut tidak lain adalah kultur feodalistik dalam wajah pengelolaan birokrasi
pemerintahan. Meskipun sistem birokrasi dikelola secara rasional modern, tetapi
karena kultur yang berjalan masih tradisional berdasarkan warisan lalu, maka sistem
feodalisme menjadi tantangan yang tidak mudah untuk diurai dalam birokrasi modern
kita. Dalam wajah birokrasi yang demikian maka langgam birokrasi seringkali seperti
struktur dalam keluarga dengan sistem kekerabatan yang kuat. Tidak berlebihan jika
kemudian sistem kekerabatan dalam langgam birokrasi di negeri ini berpeluang
terjadinya fenomena birokrasi kolutif, koruptif, dan nepotif.

Upaya untuk meminimalisir terjadinya korupsi di Indonesia sudah banyak dilakukan.


Tidak saja melalui aspek yuridis formal, melainkan juga melalui berbagai kampanye
anti korupsi lewat posterposter dan famlet-famlet. Bahkan terbaru mulai
diselenggarakannya mata pelajaran Pendidikan Anti Korupsi di sekolah-sekolah
formal. Berbagai kegiatan ini menunjukkan bukti bahwa korupsi merupakan musuh
bersama yang dapat mengancam masa depan bangsa Indonesia ini. Sebagai musuh,
maka wajar jika korupsi harus selalu diperangi dan diberantas hingga ke akar-
akarnya.

Namun demikian, pendekatan di atas belum menunjukkan hasil yang memuaskan.


Buktinya berbagai tindakan korupsi tetap banyak terjadi. Hampir setiap hari kita
menyaksikan di telivisi atau membaca di media massa korupsi masih tetap terjadi,
dimanapun dan kapanpun. Setiap ada koruptor ditanggkap, meski itu dianggap
sebagai prestasi penegaka hukum, tapi dari sisi kebudayaan, hal ini merupakan sisi
tragis mentalitas korup yang tidak terbendung. Dalam konteks demikian, maka
korupsi merupakan tragedi moralitas kebudayaan yang sedang bermasalah. Ada suatu
kondisi dalam alam kebudayaan kita yang mendorong orang melakukan tindakan
korupsi. Begitu pula, ada kendalakendala kultural mengapa korupsi tetap begitu masif
terjadi, sehingga pemberantasan terhadap korupsi selalu tidak pernah tuntas.
Realitas demikian menunjukkan bahwa korupsi bukanlah sekedar persoalan hukum,
melainkan juga persoalan kebudayan. Penelitian ini –dalam banyak hal- merupakan
library research yang berusaha mengungkapkan hambatan kebudayaan dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia, meskipun dengan tidak mengabaikan realitas
empirik berupa persepsi dan kontsruksi publik terkait dengan problema korupsi di
Indonesia yang dilakukan dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini
diperlukan dalam rangka mengungkapkan keadaan yang sesungguhnya dari
masyarakat terkait dengan fenomena korupsi yang selama ini dipahami dan
dipersepsikan oleh publik.

II. Penegakan hukum diIndonesiamasih lemah. Itu terlihat dari tidak tercapainya tujuan
utama dari hukum diIndonesiaitu sendiri yaitu keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Sepertinya sangat sulit sekali memperoleh keadilan di negeri ini, padahal hukum yang
ada diIndonesiasudah disusun dengan sangat baik bila dijalankan dengan benar.
Namun kenyataan yang ada sekarang adalah hukum diIndonesiapelaksanaanya belum
sesuai dengan yang sebagaimana mestinya.
Ada dua faktor utama mengapa hukum diIndonesiabelum bisa berjalan dengan baik.
Pertama, para aparat hukum yang ada belum optimal menjalankan perannya sebagai
penegak hukum, terlihat dari kurang diamalkannya etika profesi yang ada oleh aparat
hukum tersebut.  Faktor yang kedua adalah kurangnya kesadaran dari masyarakat
akan pentingnya mentaati hukum, sehingga hukum bisa sesuai dengan fungsinya
yaitu mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada, terlihat dari
banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat mulai dari
hal yang kecil, seperti membuang sampah sembarangan, sampai hal yang besar,
seperti penggunaan formalin dalam produksi makanan, peredaran narkoba, dan lain-
lain.
Kedua faktor di atas berkaitan erat dan saling mendukung dalam menciptakan
lemahnya penegakan hukum diIndonesiayang salah satu efeknya adalah tindakan
amukmassa. Amukmassamuncul akibat dari ketidakpuasan masyarakat akan
lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat hukum di negara kita.
Melihat aparat hukum yang harusnya menjadi penegak hukum justru malah
melanggar hukum yang harus ditegakannya itu. Masyarakat pun jengah dengan
semua itu, sebagian yang berpikiran pendek malah bertindak anarki dan main hakim
sendiri, maka terjadilah amukmassayang bukannya menyelesaikan masalah, tapi
justru menambah masalah.
Permasalahan tersebut memerlukan solusi yang tepat agar tidak terjadi berlarut-larut
dan semakin parah. Yang pertama kali diperbaiki tentu adalah profesionalisme aparat
hukum dalam menjalankan amanah dari masyarakat sebagai penegak hukum yang
harus menjadi pedoman bagaimana perilaku seseorang yang taat hukum. Berikutnya
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mentaati hukum sehingga
hukum bisa berfungsi sebagaimana mestinya sebagai sarana pengendali sosial
sehingga dapat mewujudkan tujuan dari hukum itu sendiri yaitu mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyatIndonesia.

III. Saat ini Indonesia sedang dalam kondisi carut-marut, kondisi krisis di berbagai
bidang termasuk bidang hukum. Hukum yang diharapkan bisa memberikan keadilan
bagi masyarakat ternyata sebaliknya. Efektifitas penegakan hukum hanya berlaku
bagi masyarakat kecil yang melakukan kejahatan kecil. Sedangkan pelaku-pelaku
kejahatan besar seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang lazim disebut
penjahat berkerah putih (white collar crime) sangat sulit untuk disentuh. Dalam hal
ini memang diperlukan keberanian bagi masyarakat khususnya aparat penegak hukum
untuk melakukan terobosan-terobosan dalam menyelesaikan perkara tersebut
( Arianto, 2010 : 115). Hukum yang berlaku dalam masyarakat seperti ada
pembedaan dalam kelas-kelas sosial. Bagi masyarakat dalam stratifikasi sosial keatas
jelas mendapat perlakuan yang berbeda daripada masyarakat yang mempunyai
stratifikasi sosial kebawah. Masyarakat yang dalam keluarganya mempunyai
kedudukan atau jabatan lebih tinggi memiliki perlakuan yang istimewa atau
kehormatan tersendiri daripada masyarakat yang berasal dari latar belakang keluarga
kalangan biasa atau tidak mempunyai kedudukan atau jabatan posisi dalam
masyarakat. Artinya disini kedudukan hukum yang berlaku terdapat sebuah indikasi
bahwa perlakuan bagi pelanggar hukum dari aparat penegak hukum terjadi
ketidakadilan. Hukum tajam kebawah dan hukum tumpul keatas, fenomena tersebut
hampir terjadi di semua ranah penjuru tanah air di Indonesia.

Berangkat dari pemikiran bahwa tidak sedikit masyarakat, baik masyarakat terdidik
maupun masyarakat tidak terdidik, bahkan masyarakat yang sehari-harinya
menggeluti dunia hukum sekalipun khususnya di Indonesia, mereka yang masih
terheran-heran ketika mereka memahami hukum adalah sebagai panglima untuk
menjawab, memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu perkara atau kasus, ternyata
tidak sedikit peraturan-perundangan sebagai hukum tersebut menjadi mandul tidak
melahirkan apa yang diharapkan masyarakat itu sendiri (Utsman, 2013 : 241).
Harapan masyarakat terhadap hukum jauh dari keadaan atau keinginan dalam
penegakan hukum, hanya akan menambah sebuah kebimbangan di dalam masyarakat.

Hukum yang pada dasarnya dibuat untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian di
dalam masyarakat. Maka dari itu sistem dari sebuah hukum harus berjalan layaknya
sebuah rangkaian organ masyarakat harus saling melengkapi dan mempunyai
kesadaran yang tinggi dalam hukum yang berlaku. Paradigma yang memandang
hukum sebagai suatu sistem telah mendominasi pemikiran sebagian terbesar kalangan
hukum, baik para teoritisi maupun kalangan praktisinya sejak lahirnya negara modern
pada abad ke-17 hingga saat ini, yaitu paradigma yang menganggap hukum sebagai
suatu keteraturan (order) (Fadjar, 2013 : 1). Negara Indonesia yang notabenenya
adalah negara hukum, maka segala sesuatu yang berkenaan dengan pelanggaran
hukum atau tidak taat pada aturan hukum yang ada akan mendapatkan sanksi yang
tegas bagi pelakunya. Dianjurkan bagi siapa saja yang hidup sebagai warga
masyarakat yang hidup di bumi pertiwi ini agar dapat menciptakan keteraturan sosial
dengan baik yaitu menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Hukum harus ditegakkan
tanpa adanya tebang pilih dalam kasus hukum.

Dalam pandangan Weber, hukum adalah suatu tatanan yang bersifat memaksa karena
tegaknya tatanan hukum itu (berbeda dari tatanan-tatanan dan norma-norma sosial
lain yang bukan hukum) ditopang sepenuhnya oleh kekuatan pemaksa yang dimiliki
oleh negara. Weber membedakan berbagai sistem hukum atas dasar rasionalitas yang
substantif dan formal. Weber mengatakan bahwa memiliki rasionalitas yang
substantif tatkala substansi hukum itu memang terdiri atas aturan-aturan umum in
abstracto yang siap dideduksikan guna menghukumi berbagai kasus-kasus konkret.
Sebaliknya, hukum dikatakan tidak memiliki rasionalitas yang substantif jika setiap
perkara diselesaikan atas dasar kebijaksanaan- kebijaksanaan politik atau etika yang
unik dalam tatanannya. Bahkan mungkin juga diselesaikan secara emosional yang
sama sekali tidak bisa merujuk ke aturan-aturan umum yang secara objektif ada.
Sebaliknya, hukum bisa dikatakan memiliki rasionalitas yang formal (irasional) jika
hukum itu hanya diperoleh melalui ilham-ilham atau lewat bisikanbisikan wangsit
yang konon diterima oleh para pemuka karismatis sehingga kebenaran dan
kelaikannya tidak bisa diuji secara objektif (Wignjosoebroto, 2008 : 36-37). Dengan
demikian, manusia yang hidup dalam masyarakat mau tidak mau dalam tahap
perkembangan kehidupannya akan selalu dihadapkan terhadap sebuah aturan atau
hukum yang berlaku. Norma yang ada dalam masyarakat mencakup norma
kesopanan, kesusilaan, agama, dan hukum. Hal yang menjadi acuan dalam realitas
objektif masyarakat yang bersumber terciptanya aturan atau sanksi yang berlaku dari
Negara atau pemerintah adalah pada tataran hukum. Hukum bersifat tegas dan
memaksa manakala bertujuan agar dalam tatanan masyarakat tercipta ketertiban dan
kedamaian. Hukum yang ada dalam masyarakat yaitu hukum yang digunakan untuk
mengatur terhadap kasus-kasus yang rasionalitas, yaitu bersifat empiris bukan
spekulatif. Jika hukum ditegakkan dengan keadilan maka hukum akan dijunjung
tinggi di masyarakat. Hukum tidak memandang kelas-kelas sosial, kesadaran
masyarakat dalam berhukum yang akan menentukan terhadap jalannya penegakan
hukum di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai