Oleh:
Risman 1101758
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan peluang, aparatur negara dituntut
untuk dapat memberikan pelayanan yang sebaik – baiknya berorientasi pada kebutuhan dan
kepuasan penerima layanan, sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian layanan
baik berupa barang maupun jasa.
Pelaku pelayanan umum di Indonesia adalah aparatur negara sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat yang didalamnya terdapat kelompok yang dominan baik dalam hal peran layanannya
maupun dalam hal jumlah layanan yang diberikan oleh pemerintah untuk memenuhi kepentingan
umum, Drs Has Moenir (2006).
Salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara adalah palayanan publik. Pengembangan
penyelenggaraan pelayanan publik merupakan salah satu pilihan strategis untuk mengembangkan
pemerintah yang baik (good governance) di Indonesia. Hal ini disebabkan karena salah satu tolak
ukur penyelenggaraan good governance dapat dilihat dari terselenggaranya pelayanan publik
yang berkualitas dan berorientasi pada kepuasan Penyelenggara negara mempunyai peran yang
sangat menentukan terhadap keberhasilan pelaksanaan tugas umum pemerintah, serta
membangun tugas – tugas pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut dapat tercapai dengan
mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan aparatur negara yang berfungsi melayani secara
profesionalisme, berdayaguna, produktif, transparan, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme
serta mampu melaksanakan maupun mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).
Dalam konteks penerapan prinsip – prinsip good governance dalam pengelolaan pemerintahan
menjadi suatu tuntutan utama terhadap peningkatan kinerja pelayanan aparatur negara semakin
dirasakan dan penting, karena pelayanan yang baik dan prima akan berdampak pada terwujudnya
iklim usaha yang kondusif. Tugas pokok dan fungsi aparatur pemerintah semakin menjadi
sorotan masyarakat karena mendapatkan pelayanan yang baik adalah hak masyarakat, sedangkan
aparatur berkewajiban menyelenggarakan pelayanan secara prima, dengan prinsip – prinsip
pelayanan yang sederhana, cepat, tepat, tertib, murah, transparan dan tidak diskriminatif.
Masyarakat tidak hanya menuntut pelayanan publik yang lebih efisien, dan memuaskan, tetapi
juga menginginkan perilaku administrasi publik yang lebih responsive dan mencerminkan
kepatutan (fairness), keseimbangan etika dan kearifan / good judgment. Tuntutan yang gencar
dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah merupakan tuntutan yang wajar yang sudah
seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan – perubahan yang terarah
dengan semakin terwujudnya penyelenggaraan pemerintah yang baik.
Dalam pelayanan publik, masyarakat berharap untuk mendapatkan layanan yang berkualitas dan
memuaskan. Di lain pihak pemberi layanan juga mempunyai standar kualitas dalam memberikan
layanan. Untuk itu, sangat diperlukan pengelolaan pelayanan yang berorientasi kepada
pelanggan. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis dalam membuat makalah ini.
1.2.Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah:
1.3.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
b. Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Manajemen Pelayanan Publik (MPP) dengan guru
pembimbing Prof. Drs. Dasman Lanin, M.Pd, Ph.D.
BAB II
PEMBAHASAN
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai kegiatan pelayanan yang dilakukan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak – hak dasar setiap warga negara dan penduduk
atas suatu barang, jasa dan atas pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Pelayanan publik merupakan tanggung jawab
pemerintah baik pusat maupun daerah, permasalahan umum pelayanan publik antara lain terkait
dengan penerapan prinsip – prinsip good governance yang masih lemah seperti masih
terbatasnya partisipasi masyarakat, transparasi dan akuntabilitas baik dalam proses perencanaan,
pelaksanaan atau penyelenggaraan pelayanan maupun evaluasinya. Pelayanan publik merupakan
pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan
pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Dalam kamus
besar bahasa indonesia dijelaskan pelayanan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain
sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada
masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetap untuk melayani
masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998).
Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan
yang baik dan profesional. Gronsross dalam Agus Dwiyanto (2006, hal 15) memberikan definisi
pelayanan adalah sebagai suatu aktifitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang
terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal – hal lain
yang disediakan oleh purusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk memecahkan
permasalahan konsumen atau pelanggan.
Berdasarkan pendapat Gronroos ini, maka dapat diketahui ciri pokok dari pelayanan adalah
serangkaian aktivitas dari interaksi yang melibatkan karyawan atau peralatan yang disediakan
oleh instansi/ lembaga penyelenggara pelayanan dalam menyelesaikan masalah yang menerima
pelayanan.
Pada organisasi publik/ pemerintah keadaannya tidak jauh berbeda, bahwa kegiatan pelayanan
yang terjadi juga akibat adanya interaksi masyarakat/ publik dengan aparat pelayanan (birokrasi)
menggunakan peralatan yang disediakan oleh instansi, tetapi berkaitan dengan perwujudan dari
salah satu fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Pelayanan publik
(public service) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga
negara) dari suatu negara kesejahteraan (welfare state). Moenir (1992, hal 26 – 27) mengartikan
pelayanan umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan
landasan faktor material melalui sistem, prosedur, dan matode tertentu dalam usaha memenuhi
kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Sekelompok orang yang memberikan pelayanan
tersebut adalah aparat birokrasi pemerintah.
Kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi
dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Terjadi suatu perkembangan yang
sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari
empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam Widodo, 2001). Hal ini berarti
masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk
mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis
dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah.
“Saya pernah stress dan mengalami kecemasan yang luar biasa. Bermalam-malan seaya tidak
bisa tidur karena saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan sertifikasi tanah saya. Saya sangat
bodoh dan menyesal karena ketika saya menyerahkan berkas kepada karyawan BPN, saya tidak
meminta bukti penyerahan berkas itu. Saya sekarang tidak punya apa-apa lagi sebagai pegangan
untuk menanyakan kepada BPN. Bapak (suami) telah empat kali selama 9 bulan ini datang ke
BPN, tetapi selalu mendapat jawaban yang tidak memuaskan. Sedangkan ia sudah menunggu
dari jam 8-14. “pokoknya tunggu saja” kata petugas BPN. Bapak sudah tidak mau lagi datang ke
BPN.”
(dikutip dari Agus Dwiyanto, 2012. “pernyataan seorang Ibu rumah tangga FGD, 8 April 2000,
di PSKK UGM).
Pernyataan di atas hanyalah salah satu cerita dari segelintir kisah memilukan lainnya dari
penerapan pelayanan publik di Indonesia. Seringkali sangat sulit untuk memahami rasionalitas
dari prosedur pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Warga pengguna pelayanan
sering dihadapkan pada begitu banyak ketidakpastian pada saat mereka berinteraksi dengan
birokrasi. Warga tidak pernah mampu memperkirakan kapan urusannya dengan birokrasi
pelayanan dapat diselesaikan. Ketidakpastian tidak hanya berlaku untuk waktu, tetapi terjadi juga
dengan biaya layanan. biaya seringkali berbeda-beda tergantung pada banyak faktor yang tidak
sepenuhnya dapat dikendalikan oleh para penggunan layanan.
Keluhan warga pengguna layanan seringkali muncul bukan hanya karena ketidakpastian waktu
dan biaya tetapi juga karena cara pelayanan yang mereka terima seringkali melecehkan
martabatnya sebagai warga negara (Dwiyanto,dkk,2002). Para pejabat birokrasi yang menemui
mereka seringkali menganggap pengguna layanan sebagai klien yang memerlukan bantuan
sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya.
Berbagai kasus yang yang telah dipaparkan di atas, mengingatkan kita pada pentingnya sebuah
standar pelayanan serta pengelolaan pelayanan untuk tercapainya pelayanan yang tidak hanya
berorintasi pada prosedur, namun lebih berorientasi pad pelanggan (masyarakat).
Agus Dwiyanto: 2012 menjelaskan bahwa standar pelayanan sebaiknya mengatur hal-hal pokok
menyangkut berbagai unsur dari sistem pelayanan publik, seperti input, proses, dan output.
a. Standar Input
Dari sisi input, aspek yang penting untuk diatur adalah standar pembiayaan, sarana dan
prasarana, kompetensi aparat, dan kewenangan. Standar input penting karena variabilitas antar
daerah yang sangat tinggi dapat membuat sistem pelayanan publik gagal memenuhi standar
output terutama ketika kapasitas daerah lemah dalam menyediakan dana, sarana prassarana, dan
SDM yang mampu mendukung pemenuhan standar output pelayanan tersebut.
b. Standar Proses
Standar proses pelayanan mengatur tentang apa yang minimal harus dilakukan oleh birokrasi
pelayanan dalam melayani warganaya. Termasuk dalam standar proses pelayanan ini adalah
standar sikap dan perilaku petugas pelayanan ketika berhubungna dengan warga pengguna,
seperti aparat harus bersikap sopan, menghargai martabat warga, menolong, dan ramah.
Standar proses sebaiknya hanya mengatur tentang prinsip dasar dalam mengelolan pelayanan
publik. Standar tidak perlu mengatur proses pelayanan secara rinci dan terperangkap pada
kedetilan seperti yang terjadi dalam pembuatan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk
teknis (juknis) dalam berbagai birokrasi pemerintah.
c. Standar output
Dalam hal ini standar harus mampu mendeskripsikan output pelayanan yang dijanjikan kepada
masyarakat secara jelas, baik mencakup kualitas pelayanan ataupun kuantitasnya. Standar output
secara minimal harus diatur karena Indonesia memiliki variabilitas antar daerah sangat tinggi.
Standar ini harus menjadi jaminan Negara kepada warganya tentang kualitas dan kuantitas
minimal dari output pelayanan yang akan diterima oleh warga ketika mengakses pelayanan
publik. Pemerintah hanya perlu mengatur kuantitas dan kualitas minimal dari pelayanan agar
pemerintah dapat memberikan ruang dan peluang kepada daerah untuk mengembagkan
pelayanan sesuai dengan kepastiannya masing-masing. Daerah yang memiliki kapasitas lebih
tinggi tentu dapat menyelenggarakan layanan di atas standar minimal yang telah ditentukan
secara nasional.
Dengan menetapkan standar pelayanan yang jelas, sederhana, dan mudah dipahami, bukan hanya
oleh aparat birokrasi tetapi juga oleh warganya, maka mereka akan dapat menggunakan standar
pelayanan tersebut untuk memenuhi kebutuhan masing-masing.
Aparatur pemerintah yang mendapat kepercayaan untuk melayani masyarakat perlu menyadari
diri bahwa pada dirinya dituntut untuk memberikan pelayanan prima sebagai berikut :
2. Berwawasan futuris dan sistematis sehingga resiko yang bakal timbul akan diminimalisir.
c. Bersifat kreatif dan memotivasi diri untuk maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan
pelanggan.
Penerapan manajemen kualitas pelayanan yang berfokus pada pelanggan dapat berhasil apabila
sejak lebih awal dipahami hambatan-hambatan yang dihadapi dalam memberikan layanan. Salah
satu hambatan selama ini yang dihadapi adalah kurangnya kepedulian aparatur dalam
menerapkan sistem kualitas pelayanan yang berfokus pada pelanggan.
Kesadaran dan pemahaman aparatur yang mendalam terhadap permasalahan kualitas pelayanan
masyarakat sangat menentukan kinerja pelayanan yang berfokus pada pelanggan. Seiring hal
tersebut untuk memperbaiki kualitas pelayanan masyarakat, sangat penting untuk dipahami
dimensi¬dimensi yang harus diutamakan dalam peningkatan kualitas pelayanan. Gapersz (1997)
mengidentifikasi dimensi-dimensi pelayanan masyarakat yang berfokus pada pelanggan, adalah :
1. Ketapatan waktu pelayanan, yaitu berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu proses.
Akurasi pelayanan. berkaitan dengan reliabilitas pelayanan dan bebas dari kesalahan-kesalahan.
2. Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan dan
\pelanggan eksternal.
5. Variasi model pelayanan berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola-pola baru
pelayanan.
7. Atribut pendukung pelayanar lainnya. seperti lingkungan kebersihan. ruang tunggu fasilitas
musik, AC dan lain sebagainya.
Pelayanan masyarakat yang berfokus pada pelanggan adalah menempatkan masyarakat di atas
"kursi roda" yang harus didengar keinginan, harapan, kebutuhan dan keluhan-keluhannya.
Aparatur harus menggunakan segala kemampuan, dan semua indera yang dimilikinya untuk
memuaskan pelanggan/masyarakat yang dilayani.
Pelayanan masyarakat yang berfokus pelanggan tetap menempatkan aparatur pelayan sebagai
peran sentral dalam memuaskan kebutuhan pelanggan/masyarakat. Oleh karena itu, mental
model aparatur pemerintah selama ini yang cenderung dilayani harus diubah ke mental model
aparatur pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Dengan begitu anekdot masyarakat selama ini
dapat dihilangkan yang menyatakan; " Bila ada pilihan lain untuk memperoleh KTP selain dari
Kantor Kelurahan dan Kantor Kecamatan, maka saya akan memilih ke Supermaket, karena
pelayanan di Supermaket pegawainya ramah, selalu senyml menanyakan apa yang dapat dibantu.
Sebaliknya kalau warga masyarakat ke Kantor Kelurahan/ Kantor Kecamatan sang paradoksal
dengan apa yang tejadii di Supermaket. Komentar dari Aparatur kita; jika dapat dipersusah
mengapa harus dipermudah pelayanannya Sebaliknya, yang menjadi harapan masyarakat
aparatur pemerintah akan berkata “Jika dapat dipermudah pelayanannya, mengapa haruss
dipersusah".
Untuk itulah sangat diperlukan kualitas dalam pelayanan publik. Kualitas merupakan suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan. Kinerja pelayanan publik akan menyentuh masalah kualitas
layanan yang diberikan oleh organisasi publik pada masyarakat sebagai pelanggan. Kualitas
pelayanan umumnya berfokus pada masyarakat, sehingga produk pelayanan didesain, diproduksi
serta diberikan untuk memenuhi keinginan dan kepuasan pelanggan. Birokrasi publik harus dapat
memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat
waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti
meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya
sendiri
Dalam hal peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan berupa keputusan MenPAN (Menteri Pendayagunaan Aparatur) NomOr
63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik sebagai
penyempurnaan dari keputusan menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1995
tentang pedoman tata laksana pelayanan umum, bahwa pelayanan yang berkualitas hendaknya
sesuai dengan sendi – sendi pelayanan prima yaitu :
1) Kesederhanan, dalam arti bahwa prosedur / tata cara pelayanan diselenggarakan dengan :
a. Prosedur mudah
b. Pelayanan lancar
c. Pelayanan cepat
2) Kejelasan dan kepastian , dalam arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai :
a. Prosedur / tatacara
b. Persyaratan pelayanan
c. Pengetahuan petugas
3) Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan
a. Keamanan pelayanan
b. Kenyamanan pelayanan
c. Kemampuan petugas
d. Kepastian hukum
a. Waktu penyelesaian
b. Kepastian biaya
c. Akurasi sistem
a. Persyaratan ringan.
b. Kedisiplinan petugas
c. Kewajaran biaya pelayanan
6) Keadilan yang merata, dalam arti cakupan / jangkauan pelayanan umum diusahakan :
a. Informasi waktu
b. Kecepatan pelayanan
c. Realisasi waktu
Kualitas pelayanan pada masyarakat merupakan salah satu masalah yang mendapatkan perhatian
serius oleh aparatur pemerintah. Hal ini dibuktikan dalam keputusan MenPAN 81/93 yang
kemudian dipertegas dalam Inpres 1/95, kemudian disusul dengan surat edaran Menko –
Wasbang / PAN No. 56 / MK.WASPAN/ 6 / 98 yang ditujukan kepada seluruh Menteri Kabinet
Reformasi Pembangunan, Gubernur Bank Indonesia, para Gubernur KDH Tingkat I, para
pimpinan lembaga non departemen dan para bupati/ walikota KDH II untuk mengambil langkah
– langkah perbaikan kualitas pelayanan masyarakat.
Setiap warga Negara mempunyai hak untuk memonitor dan mengevaluasi kualitas palayanan
yang mereka terima, adalah sangat sulit untuk menilai kualitas suatu layanan tanpa
mempertimbangkan peran masyarakat sebagai penerima layanan dan aparat palaksana pelayanan
itu. Evaluasi yang berasal dari pengguna pelayanan merupakan elemen pertama dalam analisis
kualitas pelayanan publik elemen kedua adalah kemudahan suatu pelayanan dikenali baik
sebelum dalam proses atau setelah pelayanan itu diberikan.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Pelayanan masyarakat merupakan tugas utama yang harus dilakukan oleh aparatur pemerintah.
Oleh karena itu, kinerja aparat pemerintah harus diukur berdasarkan kualitas pelayanan
masyarakat yang diberikan terutama berkaitan dengan adanya kepastian hukum, ketepatan, cepat
waktu, keadilan transparansi, keamanan dan sejumlah indikator kepuasan lainnya.
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan agar para aparatur pemerintah dapat
menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik sebaik-baiknya, yang mana lebih berorientasi pada
pelanggan/masyarakat. Bukan hanya sekedar prosedur semata yang akhirnya malah menyulitkan
masyarakat. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menginspirasi.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto. 2012. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Drs. A.S, Moenir. 2006. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Dwiyanto, A, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: PSKK UGM.