Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

HEMODIALISA

OLEH

Hetty Shintia Kaawoan

711490120014

PROGRAM STUDI PROFESI NERS LANJUTAN

POLTEKKES KEMENKES MANADO

2020
LAPORAN PENDAHULUAN
HEMODIALISA

A. Definisi Hemodialisis
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh kumpulan zat sisa
metabolisme tubuh. Hemodialisis digunakan untuk pasien dengan tahap akhir
gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu
singkat (Nursalam, 2006).
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya
menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan
pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney
Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang
dilakukan HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD
persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisys jangka pendek (beberapa
hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir
atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang
atau permanen. Tujuan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat
nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan
(Suharyanto dan Madjid, 2009).
B. Tujuan Hemodialisis
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara
lain :
1. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-
sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa
metabolisme yang lain.
2. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.
4. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain.

C. Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD
kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
1. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
 Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5 mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
 Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
2. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt.
Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari
hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
 GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
 Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea dan muntah.
 Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
 Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
 Komplikasi metabolik yang refrakter
D. Kontra Indikasi Hemodialisis
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi
dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada
hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi.
Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer,
demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan
ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

E. Prinsip dan Cara Kerja Hemodialisis


1. Mekanisme Hemodialisis
Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan
kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer
merupakan lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi
ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja sebagai membran
semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan
dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam
cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner
& Suddarth, 2002).
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen:
 kompartemen darah
 kompartemen cairan pencuci (dialisat)
 ginjal buatan (dialiser).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu
larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan
ini dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran
semipermeabel (dialiser).
a. Difusi
Adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di dalam
darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat. Mekanisme difusi
bertujuan untuk membuang zat-zat terlarut dalam darah (blood
purification),
b. Osmosis
Adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu perbedaan
osmolitas dan dialisat
c. Ultrafiltrasi
Adalah proses berpindahnya zar dan air karena perbedaan hidrostatik di
dalam darah dan dialisat. Mekanisme ultrafiltrasi bertujuan untuk
mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh (volume control) (Roesli, 2006).

Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke
cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun
dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal.
Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan,
dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh
pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat
ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini
sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air
(Suharayanto dan Madjid, 2009).

2. Penggunaan antikoagulan dalam terapi hemodialisa


Selama proses hemodialisis, darah yang kontak dengan dialyzer dan selang
dapat menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini dapat mengganggu
kinerja dialyzer dan proses hemodialisis. Untuk mencegah terjadinya
pembekuan darah selama proses hemodialisis, maka perlu diberikan suatu
antikoagulan agar aliran darah dalam dialyzer dan selang tetap lancar.
Antikoagulan yang biasa digunakan untuk hemodialisa, yaitu :
a. Heparin
Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain karena
mudah diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk
disingkirkan oleh tubuh. Ada 3 tehnik pemberian heparin untuk
hemodialisa yang ditentukan oleh faktor kebutuhan pasien dan faktor
prosedur yang telah ditetapkan oleh rumah sakit yang menyediakan
hemodialisa, yaitu :
1) Routine continuous infusion (heparin rutin)
Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi tunggal 30-
50 U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa dimulai. Kemudian
dilanjutkan 750-1250 U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung.
Pemberian heparin dihentikan 1 jam sebelum hemodialisa selesai.

2) Routine repeated bolus


Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit sebelum
hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis injeksi tunggal
30-50 U/kg berulang-ulang sampai hemodialisa selesai.

3) Tight heparin (heparin minimal)


Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan
ringan sampai sedang. Dosis injeksi tunggal dan laju infus diberikan lebih
rendah daripada routine continuous infusion yaitu 10-20 U/kg, 2-3 menit
sebelum hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan 500 U/kg/jam selama
proses hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin dihentikan 1 jam
sebelum hemodialisa selesai.

b. Heparin-free dialysis (Saline)


Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan berat
atau tidak boleh menggunakan heparin. Untuk mengatasi hal tersebut
diberikan normal saline 100 ml dialirkan dalam selang yang berhubungan
dengan arteri setiap 15-30 menit sebelum hemodialisa. Heparin-free
dialysis sangat sulit untuk dipertahankan karena membutuhkan aliran
darah arteri yang baik (>250 ml/menit), dialyzer yang memiliki koefisiensi
ultrafiltrasi tinggi dan pengendalian ultra filtrasi yang baik.

c. Regional Citrate
Antikoagulan sitrat jarang digunakan, namun dapat digunakan untuk
menggantikan Heparin-free dialysis. Regional Citrate diberikan untuk
pasien yang sedang mengalami perdarahan, sedang dalam resiko tinggi
perdarahan atau pasien yang tidak boleh menerima heparin. Kalsium darah
adalah faktor yang memudahkan terjadinya pembekuan, maka dari itu
untuk mengencerkan darah tanpa menggunakan heparin adalah dengan
jalan mengurangi kadar ion kalsium dalam darah. Hal ini dapat dilakukan
dengan memberikan infuse trisodium sitrat dalam selang yang
berhubungan dengan arteri dan menggunakan cairan dialisat yang bebas
kalsium. Namun demikian, akan sangat berbahaya apabila darah yang
telah mengalami proses hemodialisis dan kembali ke tubuh pasien dengan
kadar kalsium yang rendah. Sehingga pada saat pemberian trisodium sitrat
dalam selang yang berhubungan dengan arteri sebaiknya juga diimbangi
dengan pemberian kalsium klorida dalam selang yang berhubungan
dengan vena (Swartzendruber et al., 2008)

3. Asupan makanan, cairan dan elektrolit selama proses hemodialisa


Asupan makanan pasien hemodialisa mengacu pada tingkat perburukan
fungsi ginjalnya. Sehingga, ada beberapa unsur yang harus dibatasi
konsumsinya yaitu, asupan protein dibatasi 1-1,2 g/kgBB/hari, asupan kalium
dibatasi 40-70 meq/hari, mengingat adanya penurunan fungsi sekresi kalium
dan ekskresi urea nitrogen oleh ginjal. Kemudian,jumlah kalori yang diberikan
30-35 kkal/kgBB/hari (Suwitra, 2006).
Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada
ditambah dengan insensible water loss, sekitar 200-250 cc/hari.Asupan natrium
dibatasi 40-120 meq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema.
Selain itu, apabila asupan natrium terlalu tinggi akan menimbulkan rasa haus
yang memicu pasien untuk terus minum,sehingga dapat menyebabkan volume
cairan menjadi overload yangmengarah pada retensi cairan. Asupan fosfat juga
harus 600-800mg/hari (Pastans dan Bailey, 1998).

4. Dosis hemodialisa dan kecukupan dosis hemodialisa


a) Dosis hemodialisa
Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali
seminggu dengan setiap hemodialisa selama 5 jam atau sebanyak 3 kali
seminggu dengan setiap hemodialisa selama 4 jam(Suwitra, 2006).
Lamanya hemodialisis berkaitan erat dengan efisiensi dan adekuasi
hemodialisis, sehingga lama hemodialisis juga dipengaruhioleh tingkat
uremia akibat progresivitas perburukan fungsi ginjalnya dan faktor-faktor
komorbiditasnya, serta kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat
(Swartzendruber et al., 2008). Namun demikian, semakin lama proses
hemodialisis, maka semakin lama darah berada diluar tubuh, sehingga
makin banyak antikoagulan yang dibutuhkan, dengan konsekuensi sering
timbulnya efek samping (Roesli, 2006).
Dosis waktu hemodialisis untuk 3 kali seminggu adalah 12 jam
sampai dengan 15 jam atau 5 jam setiap kali tindakan. Sedangkan target
Kt/Vyang harus dicapai adalah 1,2 dengan rasio reduksi ureum 65%
(NKFDOQI, 2006). Rekomendasi dari PERNEFRI (2003)
targetKt/Vadalah 1,2 untuk hemodialisis 3 kali seminggu selama 4 jam
setiap hemodialisis dan Kt/V 1,8 untuk hemodialisis 5 jam
setiaphemodialisis. RRU yang ideal adalah diatas 65% setiap kali tindakan
hemodialisis (PERNEFRI, 2003). Dosis hemodialisis yang
berdasarkantarget Kt/V bisa dihitung dengan rumus generasi kedua dari
rumusDaugirdas yaitu:
Kt/V =-Ln( R-0,008 x t ) + ( 4–3,5 x R ) x UF/W

Keterangan :
a. Ln adalah logaritma natural
b. R adalah BUN setelah hemodialisis dibagi BUN sebelum
hemodialysis
c. T adalah lama waktu hemodialysis
d. UF adalah jumlah ultrafiltrasi dalam liter
e. W adalah berat badan pasien setelah hemodialisis
Target dosis hemodialisis disamping dengan Kt/V dapat juga
dihitungberdasarkan RRU.

b) Kecukupan dosis hemodialisa


Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan disebut dengan adekuasi
hemodialisis. Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung urea reduction
ratio (URR) dan urea kinetic modeling (Kt/V). Nilai URR dihitung dengan
mencari nilai rasio antara kadar ureum pradialisis yang dikurangi kadar ureum
pasca dialisis dengan kadar ureum pasca dialisis. Kemudian, perhitungan nilai
Kt/V juga memerlukan kadar ureum pradialisis dan pascadialisis, berat badan
pradialisis dan pascadialisis dalam satuan kilogram, dan lama proses
hemodialisis dalam satuan jam. Pada hemodialisa dengan dosis 2 kali
seminggu, dialisis dianggap cukup bila nilai URR 65-70% dan nilai Kt/V 1,2-
1,4 (Swartzendruber et al., 2008).

5. Akses pada Sirkulasi Darah Pasien


Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula dan
femoralis, fistula dan tandur.
a) Kateter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat
dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara.
Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah
femoralis untuk pemakaian segera dan sementara.
b) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau
menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side
to side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula
tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang
sebelum siap digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberikan
kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula berdilatasi
dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan
ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup
banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer. Segmen vena
fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang
sudah didialisis.
c) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis,
sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh
arteri atau vena dari sapi, material Gore-tex (heterograft) atau tandur
vena safena dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila
pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula.

6. Sistem Kerja Dializer


Terdapat 2 (dua) tipe dasar dializer (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu :
a) Pararel plate dialyzer
Pararel plate dializer, terdiri dari dua lapisan selotan yang dijepit oleh dua
penyokong. Darah mengalir melalui lapisan-lapisan membran, dan cairan
dialisa dapat mengalir dalam arah yang sama seperti darah, atau dengan
daerah berlawanan.
b) Hollow Fiber atau capillary dialyzer
Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil, dan
cairan dialisa membasahi bagian luarnya. Aliran cairan dialisa berlawanan
dengan arah aliran darah. Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu
untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa. Bila sistem ini bekerja, darah
mengalir dari penderita melalui tabung plastik (jalur arteri), melalui dializer
hollow fiber dan kembali ke penderita melalui jalur vena.
Dialisat kemudian dimasukkan ke dalam dializer, dimana cairan
akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase.
Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi di sepanjang membrane
dialisis melalui proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi.
Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian rupa sehingga
mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar
memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal
ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-,
asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat, dan fosfat dapat berdifusi
dengan mudah dari darah ke dalam cairan dialisis karena unsur-unsur ini
tidak terdapat dalam cairan dialisis. Natrium asetat yang lebih tinggi
konsentrasinya dalam cairan dialisis, akan berdifusi ke dalam darah.
Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis penderita
uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh penderita menjadi bikarbonat.
Glikosa dalam konsentrasi yang rendah (200 mg/100 ml) ditambahkan ke
dalam bak dialisis untuk mencegah difusi glukosa ke dalam bak dialisis
yang dapat mengakibatkan kehilangan kalori.
Heparin secara terus menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui
infuse lambat untuk mencegah pembekuan. Bekuan darah dan gelembung
udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah
kembali ke aliran darah. Waktu yang dibutuhkan seseorang untuk
melakukan hemodialisa adalah tiga kali seminggu, dengan setiap kali
hemodialisa 3 sampai 5 jam.

F. Komplikasi Hemodialisis

Menurut Smeltzer (2002) komplikasi hemodialisis mencakup hal-hal sebagai


berikut :

1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.


2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi
jika udara memasuki sistem vaskuler pasien
3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini
memungkinkan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang
berat.
6. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.
7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

G. Nyeri Dada
Frekuensi nyeri dada saat hemodialisis adalah 2-5 % dari keseluruhan
hemodialisis (Holley, 2007). Lebih lanjut daurgirdas, 2008 menyebutkan
bahwa nyeri dada hebat saat hemodialisis ferekuensinya adalah 1-4%. Nyeri
dada saat hemodialisis dapat terjadi pada pasien akibat penurunan hematokrit
dan perubahan volume darah karena penarikan cairan (Kallenbach, et all,
2005). Perubahan dalam volume darah menyebabkan terjadinya penurunan
aliran darah miokard dan mengakibatkan berkurangnya oksigen miokard. Nyeri
dada juga bisa menyertai kompilkasi emboli udara dan hemolisis (Kallenbach,
et all, 2005, Thomas, 2003).

Nyeri dada akibat adanya ultrafiltrasi yang cepat dan volume tinggi dapat
menyebabkan penarikan cairan yang berlebihan dan cepat ke dalam dialiser
sehingga menyebabkan penurunan volume cairan, penurunan PCO2, elektrolit
dalam tubuh yang bersama dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh dapat
mengakibatkan hipovolemik dan dapat terjadi nyeri dada pada pasien dengan
CKD.
Nyeri dada saat hemodialisis dapat menimbulkan masalah keperawatan
penurunan curah jantung, gangguang rasa nyaman, dan intoleransi aktivitas.
Nyeri dada yang terjadi perlu dicegah dan diatasi perawat. Observasi monitor
volume darah dan hematokrit dapat mencegah resiko timbulnya nyeri dada.
Perawat dapat berkolaborasi memberikan nitroglisernin dan obat anti angina
untuk mengurangi nyeri dada (Kallenbach, et all, 2005). Pemberian oksigen,
menurunkan Ob dan TMP juga meringankan nyeri dada.
Daftar Pustaka

Sukanandar, E (2006). Gagal ginjal dan panduan terapi dialisis. Bandung: Pusat
Informasi Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
UNPAD/RS. DR. Hasan Sadikin

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II.
Jakarta.: Balai Penerbit FKUI

Yunie Armyati ( 2009 ) , Komplikasi Intradialisis. FIK . UI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai