Anda di halaman 1dari 28

1.Penanganan hipertensi pada penderita penyakit ginjal dan tipe obat anti-hipertensi.

- Bagan di atas merupakan tatalaksana hipertensi yang tertera pada Evidence-Based


Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adult Report From the Panel
Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).
- Hipertensi pada dewasa berusia lebih/sama dengan 18 tahun ditatalaksana dengan
implementasi gaya hidup, menentukan target tekanan darah, dan inisiasi medikasi
penurunan tekanan darah.
- Modifikasi gaya hidup yang direkomendasikan ialah : berhenti merokok, mengontrol
gula darah dan lipid, menjalani pola makan yang sehat (misalnya DASH diet),
mengurangi konsumsi natrium tidak lebih dari 2.400 mg/hari, dan melakukan aktivitas
fisik sedang 3-4 hari per minggu dengan lama aktivitas fisik 40 menit/kali.
- Tatalaksana tersebut dibagi berdasarkan usia, adanya komorbid, dan ras pasien.

1
- Pada pasien tanpa komorbid seperti diabetes atau CKD selanjutnya dibagi berdasarkan
usia. Usia lebih atau sama dengan 60 tahun, target tekanan darahnya ialah kurang dari
150/90 mmHg. Usia kurang dari 60 tahun, target tekanan darahnya ialah kurang dari
140/90 mmHg.
- Pasien dengan komorbid diabetes atau CKD diklasifikasikan menjadi pada pasien semua
usia dengan diabetes tanpa CKD dan pasien semua usia dan ras dengan/tanpa diabetes.
Pada pasien semua usia dengan diabetes tanpa CKD, target tekanan darahnya ialah
kurang dari 140/90 mmHg. Pada pasien semua usia dan ras dengan/tanpa diabetes,
target tekanan darahnya ialah kurang dari 140 mmHg.
- Pada pasien tanpa komorbid diabetes/CKD dan pasien semua usia dengan diabetes
tanpa CKD diklasifikasikan lagi berdasarkan ras untuk medikasi yang akan diberikan.
Pasien yang berkulit gelap (black) bisa diberikan medikasi golongan thiazide atau CCB,
sedangkan pasien yang berkulit lebih terang diberi medikasi golongan thiazide, ACEI,
ARB, atau CCB. Klasifikasi berdasarkan ras ini telah diteliti dengan tujuan agar medikasi
yang diberikan lebih efektif.
- Pada pasien semua usia dengan CKD dengan/tanpa diabetes, medikasi yang
direkomendasikan ialah ACEI atau ARB. Jika terapi tersebut berhasil mencapai target
tekanan darah maka terapi dapat dilanjutkan disertai dengan monitoring. Jika terapi
tidak berhasil, maka dapat dievaluasi dengan strategi lain.
- Ada beberapa strategi pengobatan hipertensi yang dapat diterapkan pada
pasien.Strategi A dengan inisiasi dengan satu obat dan dititrasi hingga dosis maksimum,
lalu ditambahkan obat kedua Strategi B dengan inisiasi dengan satu obat kemudian
ditambahkan obat kedua sebelum diberikannya dosis maksimal pada obat pertama.
Strategi C di mulai dengan pemberian dua obat pada waktu yang sama secara terpisah
atau kombinasi. Inisasi terapi kombinasi direkomendasikan jika tekanan darah lebi dari
20/10 mmHg.

2
- ACEI (ACE inhibitor) bekerja dengan menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II
sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Terjadi penghambatan
degradasi sehingga kadar bradikinin dalam darah dan menimbulkan vasodilatasi.
Vasodilatasi secara langsung memberi efek berupa penurunan tekanan darah dan
berkurangnya kadar aldosteron akan mengeksresi air dan natrium, dan meretensi
kalium.
- ACEI pada ginjal menyebabkan vasodilatasi arteri renalis dan meningkatkan aliran darah
pada ginjal yang akan memperbaiki filtrasi glomerulus. ACEI menimbulkan vasodilatasi
pada arteriola eferen lebih dominan dibanding arteriola aferen sehingga terjadi
penurunan tekanan intraglomerular, hal ini dimanfaatkan dalam mengurangi terjadinya
proteinuria pada nefropati diabetik dan menghambat progresivitas dari sindrom
nefrotik.
- Berbagai efek samping yang bisa timbul dari penggunaan ACEI : hipotensi, batuk kering,
hiperkalemia, rash dan gangguan pengencapan, efek teratogenik pada wanita hamil
selama trismester 2 dan 3, dan gagal ginjal akut.
- Gagal ginjal akut sebagai efek samping ACEI bersifat reversibel pada pasien dengan
stenosis arteri renalis bilateral atau unilateral di satu ginjal. Efek samping ini dapat
3
terjadi akibat tekanan filtrasi glomerulus semakin rendah menimbulkan kegagalan
filtrasi. ACEI dikontraindikasikan pada pasien dengan kelainan tersebut. Retensi kalium
sebagai akibat dari ACEI juga dapat memicu terjadinya hiperkalemia yang dapat
berhubungan dengan gangguan fungsi ginjal.
- JNC VIII merekomendasikan ACEI untuk terapi hipertensi dengan CKD, namun perlu
diperhatikan bahwa seseorang dengan hiperkalemia yang menggunakan ACEI dapat
memperberat kondisi tersebut. Pemantauan kadar kreatinin pada penderita dengan
obat tersebut diperlukan, jika terjadi peningkatan kadar kreatinin penggunaan ACEI
harus segera dihentikan.
- ARB atau angiotensin receptor blocker berkerja dengan menghambat reseptor
angiotensin II. Pemberian ARB akan menghambat semua efek angiotensin II seperti
vasokonstriksi, sekresi aldosteron, stimulasi saraf simpatis, dan lainnya. Efek yang
dihasilkan ARB mirip dengan ACEI, yang berbeda ialah ARB tidak mempengaruhi
metabolisme bradikinin. ARB lebih efektif dalam menurunkan tekanan darah jika kadar
renin tinggi seperti pada hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik. Efek samping
dari ARB yang bisa muncul antara lain hipotensi dan hiperkalemia. ARB
dikontraindikasikan pada wanita hamil pada trismester 2 dan 3, menyusui, dan
menderita stenosis arteri renalis.

- Tabel diatas merupakan rekomendasi dari United States Pharmacist 2012 mengenai
terapi hipertensi dengan riwayat CKD.

4
- Untuk diabetik CKD dengan/tanpa hipertensi dan non-diabetik CKD dengan hipertensi
dan proteinuria, lini pertama pengobatan yang direkomendasikan ialah ACEI atau ARB.
Hal ini sama dengan rekomendasi JNC 8. Lini kedua pengobatan direkomendasikan
golongan thiazid/loop diuretik, lini kedua/ketiga dengan golongan ND-CC8 (non-
dihidropiridin kalsium-channel blocker), dan lini keempat dengan golongan aldosteron
antagonis. Pemberian terapi dapat disesuaikan dengan strategi A, B dan C yang telah
dijelaskan. Perlu diperhatikan pula bahwa ACEI dan ARB tidak direkomendasikan
diberikan secara bersamaan karena bisa memperburuk fungsi ginjal.
- Pada penderita hipertensi dengan CKD non-diabetes tanpa proteinuria, belum ada
medikasi yang sepenuhnya efektif pada lini pertama . Pada lini kedua dapat diberikan
ACEI atau ARB atau CCB dan lini ketiga dapat diberikan antagonis aldosteron.
- Golongan diuretik bekerja dengan meningkatkan ekskresi dari natrium, air, dan klorida
yang akan menurunkan volume darah dan cairan ekstrasel. Hal ini diikuti dengan
penurunan curah jantung dan tekanan darah. Golongan diuretik misalnya thiazid dan
loop diuretik. Golongan thiazid bekerja dengan menghambat transpor bersama NA-Cl
pada tubulus distal ginjal sehingga ekskresi Na + dan Cl- meningkat. Golongan loop
diuretik bekerja pada lengkung henle asenden bagian epitel tebal dengan menghambat
kontransport Na+, K+, Cl- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Kerja dari loop
diuretik lebih cepat dan memiliki efek lebih kuat dari pada golongan thiazid, hal ini
menyebabkan golongan tersebut jarang digunakan sebagai antihipertensi kecuali pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gangguan fungsi jantung.. Efek samping dari
pemakaian thiazid ialah hiperkalsemia dan hiperkalsiuria, sedangkan efek samping
golongan loop diuretik ialah hiperkalsiuria dengan penurunan kadar kalsium dalam
darah.

5
-
- Golongan non-dihidrodipin calcium channel blocker (NB-CCB) merupakan antagonis
kalsium yang mampu menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah
dan miokard, serta memicu relaksasi arteriol. NB-CCB juga menunjukkan penurunan
signifikan proteinuria jika digunakan tunggal atau dikombinasikan dengan ACEI atau
ARB. Golongan ini juga terbukti efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang rendah
misalnya pada lansia. Efek samping yang dapat timbul ialah edema perifer dan
konstipasi.
Yang termasuk golongan NB-CCB ialah verapamil dan diltiazem.

6
- Golongan antagonis aldosteron menghambat peran dari aldosteron. Penggunaan
golongan ini mengurangi proteinuria jika dikombinasikan dengan ACEI atau ARB.
Antagonis aldosteron meretensi kalium sehingga meningkatkan risiko hiperkalemia,
mempertimbangkan hal ini perlu dilakukan pemeriksaan kadar kalium untuk
memastikan apakah pasien mengalami kelainan elektrolit. Hiperkalemia dapat terjadi
tanpa gejala sehingga pemantauan elektrolit diperlukan. Gejala hiperkalemia antara lain
aritmia jantung dan kelemahan otot. Jenis obat yang termasuk dalam golongan ini ialah
spironolakton dan eplerenon.
- Golongan renal inhibitor dapat diindikasikan sebagai monoterapi hipertensi atau
kombinasi terapi dengan valsartan walau tidak tertera pada tabel rekomendasi US
Pharmacist. Satu-satunya golongan renal inhibitor yang beredar di pasaran ialah
aliskiren. Golongan ini kontraindikasi jika digunakan bersama ACEI atau ARB pada pasien
dengan diabetes atau gangguan ginjal (GFR <60 mL/min), hal ini dikarenakan renal
inhibitor meningkatkan risiko terjadinya gangguan ginjal, hipotensi, hiperkalemia.
- Efek beta bloker terhadap progresi CKD dan proteinuria belum diketahui sepenuhnya.
Walaupun tidak termasuk dalam tabel rekomendasi US Pharmacist, golongan ini dapat
menjadi lini kedia atau ketiga terutama pada pasien hipertensi dengan penyakit arteri
koroner atau gagal jantung klinis.

7
SUMBER :

- Paul James, et al. 2014 Evidence-Based Gulideline for the Management of High Blood
Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint
National Committee (JNC 8).
Diakses melalui http://csc.cma.org.cn/attachment/2014315/1394884955972.pdf
- Buffet and Ricchetti. 2012. Chronic Kidney Disease and Hypertension : A Destructive
Combination. United States Pharmacist.
Diakses melalui https://www.uspharmacist.com/article/chronic-kidney-disease-and-
hypertension-a-destructive-combination-35118
- Gunawan, et al. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6 Seksi VI Obat Kardiovaskular Bab
21 Antihipertensi. Jakarta : Badan Penerbit FK UI.

8
2. Pengelompokan CKD berdasarkan GFR dan terapinya.
- Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan kondisi abnormalitas pada struktur atau fungsi
ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan dan mempengaruhi kesehatan penderita. CKD
dapat terjadi dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus dengan manifestasi :
kelainan patologis, ditemukannya tanda kelainan ginjal.
- Klasifikasi CKD berdasarkan penyebab, GFR (laju filtrasi ginjal), dan terjadinya
albuminuria.

- Evaluasi albuminuria diklasifikasikan dalam 3 tingkatan yaitu A1 jika albuminuria


normal/meningkat sedkit (<30 mg/g), A2 jika albuminuria meningkat sedang (30-300
mg/g), dan A3 jika albuminuria sangat meningkat (>300 mg/g). Hubungan GFR dan
albuminuria dapat menentukan prognosis dan risiko CKD.
- Grade 1 CKD ialah jika GFR lebih/sama dengan dari 90 ml/min/1,73 m 2 (GFR normal atau
meningkat). Jika albuminuria normal/meningkat sedikit maka prognosis cenderung
baik/risiko rendah, albuminuria meningkat sedang maka prognosis sedang/ risiko

9
sedang, dan albuminuria sangat meningkat maka risiko terjadi CKD tinggi/prognosis
buruk.
- Grade 2 CKD jika GFR 60-89 ml/min/1,73 m 2 (GFR sedikit menurun). Prognosis dari risiko
CKD stage 2 dihubungkan dengan albuminuria sama dengan CKD grade 1.
- Grade 3 CKD diklasifikasikan lagi menjadi grade 3a dan 3b. Grade 3a dengan GFR 45-59
ml/min/1,73 m2 (penurunan rendah hingga sedang), jika albuminuria normal/meningkat
sedikit maka prognosis sedang, albuminuria meningkat sedang maka risiko terjadi CKD
tinggi/prognosis buruk, dan albuminuria sangat meningkat maka risiko terjadinya CKD
sangat tinggi/prognosis sangat buruk. Grade 3b dengan GFR 30-44 ml/min/1,73 m 2
(penurunan sedang hingga tinggi), jika albuminuria ringan/meningkat sedikit maka risiko
terjadinya CKD tinggi/prognosis buruk, jika albuminuria meningkat sedang atau sangat
tunggi maka risiko terjadi CKD sangat tinggi/prognosis sangat buruk.
- Grade 4 CKD jika GFR 15-29 ml/min/1,73 m 2 (GFR sangat menurun/rendah) dan grade 5
CKD jika GFR <15 ml/min/1,73 m 2 (gagal ginjal/kidney failure). Pada grade 4 dan 5 pada
seluruh tingkatan albuminuria, prognosisnya sangat buruk.

- Penatalaksanaan CKD ialah sebagai berikut :

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasar (seperti DM, hipertensi, glomerulonefritis,


neoplasma dan lainnya).
b. Mencegah dan tatalaksana terhada kondisi komorbid, mengatasi berbagai faktor
komorbid seperti gangguan keseimbangan cairan, hipertensi tidak terkontrol, infeksi
saluran kemih, obstruksi saluran kemih, obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasar.
c. Menghambat prograsi/perburukan fungsi ginjal. Dalam hal ini penting untuk
mengurangi hiperfiltrasi glomerulus dengan pembatasan asupan protein dan fosfat
serta mencegah malnutrisi.

10
o Restriksi protein dan fosfat dilakukan berdasarkan GFR pasien.
o Jika GRF lebih dari 60 ml/menit maka restriksi protein dan fosfat tidak
direkomendasikan.
o Jika GFR 25-60 ml/menit maka asupan protein per hari dianjurkan 0,6-
0,8/kgBB dan fosfat dibatasi kurang dari/sama dengan 10 g.
o Jika GFR 5-25 ml/menit maka asupan protein per hari dianjurkan 0,6-
0,8/kgBB dengan tambahan 0,3 g asam amino esensial dan fosfat dibatasi
kurang dari/sama dengan 10 g.
o Jika GFR kurang dari 60 ml/menit maka asupan protein yang dianjurkan per
harinya ialah 0,8/kgBB dan fosfat dibatasi kurang dari/sama dengan 9 g.

Upaya lain dalam menghambat perburukan fungsi ginjal ialah melalui terapi
farmakologis bertujuan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan menurunkan
efek yang bisa terjadi pada kardiovaskular. Obat anti-hipertensi yang dapat
digunakan ialah golongan ACEI yang dari berbagai penelitian mampu
memperlambat perburukan fungsi dari ginjal.

d. Mencegah dan mengatasi efek pada kardiovaskular. 40-45% kasusu kematian


penderita CKD dikarenakan penyakit kardiovaskular. Upaya yang dapat dilakukan

11
ialah dengan pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi
kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
e. Mencegah dan mengatasi komplikasi :
o Pemberian eritropoetin pada komplikasi anemia.
o Mengatasi hiperfosfatemia (pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat
fosfat, atau pemberian kalsiun mementik) dan pemberian kalsitriol.
f. Renal replacement therapy, dilakukan pada grade 5 CKD. Terapi dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis, atau transplantasi ginjal.

- Tatalaksana terhadap CKD lebih tepatnya dilakukan berdasarkan grade penyakit :


o Grade 1 (GFR >/= 90)  terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi terjadinya
perburukan fungsi ginjal, dan menurunkan risiko kardiovaskular.
o Grade 2 (GFR 60-89)  menghambat perburukan fungsi ginjal.
o Grade 3 (GFR 30-59)  mencegah dan mengatasi komplikasi.
o Grade 4 (GFR 15-29)  persiapan untuk renal replacement therapy.
o Grade 5 (GFR <15)  segera renal replacement therapy.

- Berkaitan dengan terapi farmakologi pada CKD, Thiazid direkomendasikan untuk pasien
CKD grade 1-3 (GFR >/= 30 mL/min) karena efektif dalam penurunan tekanan darah dan
mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular. Loop diuretik direkomendasikan pada
pasien CKD grade 4-5 (GFR <30 ml/min) karena efektif dalam menurunkan volume
cairan ekstraseluler pada pasien dengan penurunan GFR yang signifikan.

12
- Tatalaksana lebih lanjut dideskripsikan melalui gambar diatas. Pada beberapa stage dan
albuminuria di butuhkan monitor lebih lanjut. Pada referral diperlukan rujukan pada
spesialis nefrologi untuk mendiskusikan lebih lanjut mengenai pengobatan pasien.
- Jika pasien tersebut G3a dengan A2 maka status pasien dapat disebut G3aA2.

SUMBER :

- Buku Ajar Penyakit Dalam PAPDI edisi IV Bab 283 mengenani Penyakit Ginjal Kronik.
- KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic
Kidney Disease by Official Journal of The International Society of Nephrology. Diakses
melalui :
https://kdigo.org/wp-content/uploads/2017/02/KDIGO_2012_CKD_GL.pdf
- Buffet and Ricchetti. 2012. Chronic Kidney Disease and Hypertension : A Destructive
Combination. United States Pharmacist.
Diakses melalui https://www.uspharmacist.com/article/chronic-kidney-disease-and-
hypertension-a-destructive-combination-35118

13
3.Perbedaan glumerulonefritis akut, sindrom nefrotik, dan sindrom nefritik.

Glomerulonefritis akut

- Glomerulonefritis akut merupakan gangguan/kelainan pada ginjal akibat proses


inflamasi/non-inflamasi akut yang terjadi di glomerulus mengakibatkan perubahan
permeabilitas, struktur, dan fungsi glomerulus. Pada pemeriksaan histopatologi terlihat
adanya sebukan sel radang akut yaitu neutrofil.
- Glomerulonefritis akut juga didefinisikan sebagai acute kidney injury dengan
karakteristik onset yang tiba-tiba, terjadinya edema, dan hipertensi yang memburuk.
- Etiologinya tidak diketahui secara pasti kecuali infeksi beta streptokokkus atau akibat
virus hepatitis C. Faktor presipitasi misalnya infeksi dan pengaruh obat atau pajanan
toksin yang menginisiasi terjadinya respon imun serupa.
- Patogenesis :
o Imunopatogenesis pada glomerulonefritis : proses imunologis diatur oleh berbagai
faktor imunogenetik yang menentukan bagaimana individu merespons. Ada dua
mekanisme yaitu circulating immune complex (CIC) dan terbentuknya deposit
komplek imun in-situ
o Pada Circulating immune complex (CIC), antigen eksogen memicu terbentuknya
antibodi spesifik membentuk kompleks imun pada sirkulasi. Kompleks imun akan
mengaktivasi sistem komplemen dan komplemen akan berikatan dengan kompleks
imun untuk membersihkan kompleks imun dari sirkulasi melalui reseptor C3b
sehingga kompleks imun terdegradasi. Namun keberadaan antigen menetap maka
bersihan kompleks imun terganggu dan akan menetap dalam sirkulasi. Kompleks
imun selanjutnya akan terdeposisi pada glomerulus melalui ikatannya dengan
reseptor Fc yang terdapat pada sel mesangial atau mengendap secara pasif pada
daerah mesangium atau ruang sub endotel. Aktivasi komplemen akan terus terjadi
setelah pengendapan kompleks imun tersebut.

14
o Pembentukan deposit kompleks imun dapat pula terjadi secara insitu apabila antibodi
secara langsung berikatan dengan antigen yang merupakan komponen dari membran
basal glomerulus atau antigen dari luar yang terjebak pada glomerulus.
o Selain kedua mekanisme tersebut glomerulonenfritis juga dapat dimediasi oleh
imunitas selular, yang mana sel T tersensitisasi oleh antigen eksogen dan endogen
yang terdapat pada glomerulus akan mengaktivasi makrofag dan menghasilkan reaksi
lokal hipersensitisasi tipe lambat.
o Kerusakan awal glomerulus disebabkan oleh proses inflamasi yang dipicu oleh
deposit kompleks imun dengan peran berbagai molekul adhesi dan sel inflamasi.
- Manifestasi klinis dari glomerulonefritis berupa kumpulan gejala atau sindrom klinis
antara lain kelainan pada urin yang asimptomatik, dengan/tanpa proteinuria, hematuria
makroskopis, secara mikroskopis ditemukan banyak eritrosit dismorfik (yang
menandakan berasal dari glomerulus), sindroma nefrotik, dan sindroma nefritik.

Sindroma Nefrotik

- Sindroma nefrotik merupakan sekumpulan gejala akibat gangguan/kelainan


glomerular yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif (>/= 3,5
g/hari), hipoalbuminemia (< 3,5 g/hari), hiperkolesterolemia, dan lipiduria.
- Pada sindroma nefrotik, fungsi ginjal biasanya normal namun ada kemungkinan
berkembang menjadi gagal ginjal yang progresif.
- Etiologi sindroma nefrotik antara lain : glomerulonefritis primer
(glumerulonefritis lesi minimal, membranosa, membranoproliferatif,
glomerulosklerosis fokal segmental, dan glomerulonefritis proliferatif lain) dan
sekunder (HIV, hepatitis B, hepatitis C, sifilism malaria, skistosoma, tuberkulosis,
lepra), keganasan (adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin,
mieloma multipel, dan karsinoma ginjal), penyakit jaringan ikat (SLE, RA, MCTD),
obat (NSAID, preparat emas, penisilamin, probenesid, merkuri, kaptopril,

15
heroin), toksin, kondisi lain seperti : DM, amiloidosis, pre-eklamsia, refluks
vesikoureter, dan sengatan lebah.
- Proteinuria pada sindroma nefrotik terjadi karena peningkatan filtrasi
makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus akibat kelainan podosit
glomerular. Proteinuria pada sindroma nefrotik ialah proteinuria glomerular.
- Hipoalbuminemia pada sindroma nefrotik terjadi karena proteinuria masif
dengan penurunan tekanan onkotik plasma.
- Edema terjadi melalui mekanisme underfilling dan overfilling. Mekanisme
underfilling didahului dengan proteinuria dan hipoalbuminemia dan mekanisme
overfilling diakibatkan defek primer tubulus yang mengakibatkan retensi
natrium.
- Hiperlipidemia merupakan respons akibat menurunnya tekanan onkotik plasma
yang menstimulasi transkripsi gen apoprotein B di hepar. Hal ini memicu sintesis
lipid dan peningkatan kadar kolesterol. Hiperlipidemia pada sindroma nefrotik
bersifat reversibel dan biasanya membaik dengan terapi farmakologi.

Sindroma Nefritik

- Sindroma nefritik merupakan sekumpulan gejala dan tanda seperti hematuria,


proteinuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara
akut.
- Penyebab dari sindroma nefritik akut ialah sebagai berikut :
a. Penyakit kompleks imun, seperti glomerulonefritis post-infeksi, SLE,
endokarditis bakterial subakut, hepatitis C, “shunt” nefritis, IgA
nefropati, dan membranoproliferatif glomerulonefritis.
b. Pauciimmune disease, seperti small vessel vasculitis syndrome dan
primary ANCA-associated glomerulonephritis.
c. Anti-GBM-associated disease.
- Patofisiologi : Terjadi kerusakan pada podosit dan membran basal glomerulus
yang dimediasi oleh sindroma nefrotik, selanjutnya akan terjadi sindroma nefritik
karena kerusakan endotelium renal akibat proses inflamasi. Proses inflamasi ini
16
dikarenakan vaskulitis, antibody-mediated damage, dan penyakit kompleks
imun.
- Manifestasi klinis sindroma nefritik :
o Glomerular hematuria dan piuria, akibat jejas yang terjadi.
o Proteinuria.
o Disfungsi/penurunan fungsi renal ditandai dengan peningkatan kreatinin
serum dan oligouria.
o Hipertensi dan edema akibat retensi air dan natrium.

Perbedaan glomerulonefritis akut, sindroma nefritik, dan sindroma neferotik ialah


glomerulonefritis akut merupakan penyebab bisa terjadinya sindroma nefritik atau nefrotik.
Sedangkan kedua sindrom lainnya merupakan sekumpulan gejala dengan kekhasan masing-
masing dan dapat disebabkan akibat proses inflamasi pada glomerulus, serta berbagai
penyebab lainnya. Secara spesifik berikut perbedaan sindroma nefrotik dan sindroma nefritik.

Variabel Sindroma nefrotik Sindroma nefritik


Karakteristik edema – hipoalbuminemia – mild edema – hipertensi –
proteinuria - hiperkolesterolemia hematuria – oligouria – azotemia –
tekanan vena jugularis tinggi
Onset Insidious Absurpt
Laju filtrasi Meningkat Menurun
glomerulus
Edema Edema masif, karena peningkatan Edema ringan, karena retensi air
tekanan hidrostatik dan penurunan dan garam, vaskulitis menyeluruh.
tekanan onkotik.
Tekanan darah Normal (hipovolemia) Hipertensi (hipervolemia)
Tekanan vena Normal Meningkat

17
jugularis
Lainnya Hiperkolesterolemia dan lipiduria, Demam – bilateral loin pain
hiperkoagulasi
URINALISIS
Volume Biasanya normal Cenderung rendah
Proteinuria >3,5 mg/hari Sangat rendah
Eritrosit/silinder Silinder hialin, protein Tamm- Protein Tamm-Horsfall, silinder
Horsfall eritrosit
DARAH
Protein Serum Rendah Biasanya normal
Natrium Normal Bisa meningkat
Urea/Kreatinin Awalnya normal, pada tahap lanjut Bisa meningkat
tinggi
SUMBER :

- Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI edisi VI Bab 271 mengenai Glomerulonefritis.
- Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI edisi VI Bab 272 mengenai Sindroma Nefrotik.
- Dr. Hossam Mowafy Internal Medicine Textbook (Part Nephrology).
- The Saint-Chopra Guide to Inpatient Medicine 4 th ed. Chapter Nephritic Syndrome by
Matthew and Pennathur. Oxford University Press.
https://oxfordmedicine.com/view/10.1093/med/9780190862800.001.0001/med-
9780190862800-chapter-39
- Nephrology Secrets 4th ed : Chapter 14 – Acute Glomerulonephritis and Rapidly
Progressive Glomerulonephritis by John Sedor. Elsevier.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B978032347871700023X

18
4.Infeksi saluran kemih dan terapinya (urethritis, sistitis)

- Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit akibat pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisme di saluran kemih (dari uretra hingga renal) dengan jumlah yang signifikan.
- Infeksi biasanya dari bakteri, yang tersering ialah E. coli. Bisa pula dikarenakan Proteus sp,
Klebsiella sp, Enterobacter sp, bakteri gram positif seperti Enterococcus sp, Staphylococcus
sp, Pseudomonas sp, Candida, Adenovirus, dan lainnya.
- Pada kondisi fisiologis, mikroorganisme akan dibilas dengan cepat melalui aliran urin dan
sifat anti-bakteri urinem serta pertahanan pada mukosa. Sel epitel kandung kemih mampu
mensekresi Il-6 dan Il-8 sebagai pertahanan jika terjadi infeksi. Pada intraoitus vagina dan
uretra bagian distal juga ditemui flora normal bakteri gram negatif yang tidak menyebabkan
ISK. Bila ada gangguan pada sistem pertahanan tersebut, maka mikroorganisme akan
berkolonisasi dan menginvasi saluran kemih.
- Faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan ISK ialah : berjenis kelamin perempuan
(karena uretra lebih pendek dan jarak antara uretra dan anus lebih dekat), aktif
berhubungan seksual, hamil, obstruksi saluran kemih, penggunaan kateter, dan penggunaan
antibiotik.
- Berdasarkan letak anatomisnya, ISK diklasifikasikan menjadi ISK atas dan ISK bawah. ISK atas
terdiri dari pielonefritis, prostatitis, abses intrarenal, dan abses perinefrik. ISK bawah terdiri
dari sistitis dan uretritis.
- Gejala dari ISK : demam, nyeri saat berkemih, frekuensi berkemih meningkat, urine berbau
menyengat, dan nyeri perut/pinggang.

19
- Pada pemeriksaan fisik bisa diperoleh peningkatan suhu tubuh/demam, nyeri tekan
suprasimfisis, nyeri ketuk kosto-vertebra, dan kemungkinan adanya kelainan pada organ
genitalia.
- Pemeriksaan penunjang awal pada suspek ISK ialah urinalisis, jika positif ISK akan ditemukan
leukosituria, hematuria, proteinuria, dan uji nitrit positif. Untuk diagnosis pasti bisa
dilakukan kultur urine. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi ialah USGm rontgen
abdomen, pielografi intravena.

Sistitis

- Sistitis merupakan inflamasi atau peradangan pada vesica urinaria yang terjadi secara akut
dan sering diakibatkan infeksi bakteri.
- Lebih sering dialami pada wanita yang mana 40% perempuan pernah mengalami infeksi ini,
hal ini dikarenakan ukuran uretra lebih pendek sehingga bakteri lebih mudah masuk ke
vesica urinaria.
- Sistitis lebih jarang ditemukan pada pria karena ukuran uretra yang lebih panjang dan jarak
dengan anus lebih jauh. Sistitis dikategorikan menjadi sistitis complicated dan
uncomplicated.
- Sistitis complicated merupakan infeksi vesica urinaria pada penderita imunosupresi dengan
risiko infeksi yang lebih tinggi dan risiko gagal terapi dengan antibiotik. Sistitis uncomplicated
merupakan infeksi vesica urinaria pada wanita yang tidak hamil atau individu dengan sistem
imun yang normal.
- Selain jenis kelamin, faktor risiko lainnya ialah wanita usia reproduktif yang aktif
berhubungan seksual ; penggunaan gel/krim sperm killing (spermacides) ; penggunaan alat
kontrasepsi diafragma ; wanita hamil ; memakai kateter ; penderita diabetes, multipel
sklerosis, penyakit berkaitan dengan saluran urologi ; kalkuli/batu vesica urinaria ; obstruksi
traktus urinaria ; insufisiensi renal ; dan defisiensi imun.
- Patogenesis terjadinya sistitis akut ialah sebagai berikut : Mikroorganisme akan masuk
melalui uretra dan terjadi kolonisasi mikroorganisme di mukosa periuretral, selanjutnya

20
mikroorganisme akan menuju vesica urinaria dan menyebabkan proses inflamasi.
Mikroorganisme memiliki faktor virulensi sehingga mampu menghindari proses imun dari
host dan terus menginvasi jaringan pada vesica urinaria. Berbagai proses ini memicu proses
inflamasi yang terlihat secara makroskopis dan mikroskopis, diikuti dengan manifestasi klinis
pada penderita.
- Pada insufisiensi renal, terjadi akumulasi toksin uremik yang menurunkan sistem pertahanan
host dan menyebabkan penurunan aliran darah renal, hal ini akan menimbulkan gangguan
clearance antimicrobial dan memicu terjadinya sistitis.
- Sistitis akut cenderung berulang pada wanita dan wanita menopause karena penurunan
estrogen diikuti penurunan mekanisme defense terhadap mikroorganisme.
- Gejala yang dialami penderita sistitis :
o Nyeri suprapubis atau bagian pinggang bawah dan demam
o Urin terlihat keruh dan berbau tidak sedap, pada 30% kasus dijumpai darah pada
urin, dan anyang-anyangan (polakisuri)
o Gejala iritasi saluran kemih bawah :
a. Frekuensi  sering berkemih
b. Urgensi  rasa tidak dapat menahan saat ingin berkemih
c. Nokturia  sering terbangun dimalam hari untuk berkemih
d. Inkontinensia  urine keluar tanpa kehendak
- Pada pemeriksaan fisik didapati demam dan nyeri tekan suprapubik.
- Terapi non-farmakologis pada penderita sistitis :
o Minum air yang banyak
o Menjaga kebersihan daerah uretra dan sekitarnya
o Mengganti kateter secara berkata pada pasien yang menggunakannya
- Terapi farmakologis sistitis ialah dengan antibiotik dan pemberian obat sesuai gejala
(simptomatik).
a. Sistitis akut non-complicated, pilihan antibiotik oral :
- Kotrimoksazol 2 x 960 mg (3 hari)
- Ciprofloksasin 2 x 500 mg (3 hari)

21
- Amoksisilin 3 x 500 mg (5 hari)
- Nitrofurantoin 2 x 100 mg (7 hari)
- Co-amoxiclav 2 x 625 mg (7 hari)
b. Sistitis akut rekurens pada perempuan, diperlukan antibiotik profilaksis :
- Nitrofurantoin 50 mg/hari
- Kotrimoksazol 240 mg/hari atau 3 kali seminggu
- Jika terjadi infeksi ditengah profilaksis, dapat diberikan Ciprofloksasin 125
mg/hari.

Uretritis
- Uretritis merupakan inflamasi/peradangan yang terjadi pada uretra.
- Uretritis biasanya terjadi akibat penyakit menular seksual, bisa pula karena cedera karena
pemakaian instrumen seperti kateter dan paparan terhadap zat iritatif misalnya antiseptik
atau spermicide.
- Ada dua kategori uretritis yaitu gonococcal dan non-gonoccocal uretritis.
- Gonococcal uretritis dikarenakan bakteri Neisseria gonorrheae yang ditularkan melalui
hubungan seksual.
- Non-gonococcal uretritis dikarenakan bakteri selain N. gonorrhea. Paling sering ialah akibat
infeksi Chlamydia trachomatis, bisa pula karena Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma
genitalium, dan Trichomonas vaginalis.
- Tidak semua uretritis dikarenakan trauma atau infeksi, bisa pula terjadi reactive arthritis
(Reiter’s syndrome) yaitu penyakit inflamasi dengan karakteristik : nyeri dan
pembengkakan pada sendi, konjungtivitis, dan steril uretritis.
o Gejala yang timbul akibat uretritis berupa gejala iritasi saluran kemih bawah :
a. Frekuensi  sering berkemih
b. Urgensi  rasa tidak dapat menahan saat ingin berkemih
c. Nokturia  sering terbangun dimalam hari untuk berkemih
d. Inkontinensia  urine keluar tanpa kehendak
e. Disuria  nyeri saat berkemih

22
f. Demam
- Pada pemeriksaan fisik bagian organ genitalia bisa terlihat uretra kemerahan.
- Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan urinalisis dan kultur urin.
- Terapi farmakologis berupa pemberian antibiotik dan sesuai simptom (gejala). Antibiotik
yang dapat diberikan :
o Pada gonococcal uretritis :
 Sefiksim 400 mg, dosis tunggal per oral.
 Kanamisin 2 g, dosis tunggal injeksi intramuskuler.
 Seftriakson 250 mg, dosis tunggal injeksi intramuskuler.
o Pada non-gonococcal uretritis :
 Azitromisin 1 g, dosis tunggal per oral.
 Doksisiklin 2 x 100 mg/hari per oral (7 hari).

SUMBER :

- Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pedoman Nasional


Penanganan Infeksi Menular Seksual.

- Colagne , Germany : Institute for Qualiry and Efficiency in Health Care. 2006.
Acute Cystitis : Overview. NCBI
Journal.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279403/

- Kumar V, Abbas AK, Aster JC. 2015. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease ninth edition. Philadelphia : Elsevier Sauders.
- Harvard Health Publishing. 2019. Urethritis.
https://www.health.harvard.edu/a_to_z/urethritis-a-to-z
- Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid 2 Bab 234 mengenai Infeksi Saluran
Kemih.

23
5.Infeksi ginjal (pielonefritis tanpa komplikasi).

Pielonefritis Akut Tanpa Kompikasi

- Kelainan ini mengacu pada proses inflamasi akut yang tidak melibatkan glomerulus (atau
hanya dapat terkena ditahap lanjut) dan paling sering disebabkan oleh infeksi bakteri, serta
paling mempengaruhi bagian pelvis renalis.
- Dikenal pula istilah nefritis tubulointerstisialis yang definisinya menyerupai pielonefritis
namun tidak disebabkan oleh infeksi bakteri.
- Pielonefritis akut didefinisikan sebagai radang
supuratif yang terjadi pada ginjal dan pelvis renalis
dikarenakan infeksi bakteri.
- Etiologi utama pielonefritis akut (>85%) ialah
infeksi bakteri gram negatif komensal dari traktus
digestivus (bakteri enterik). Bakteri tersering
penyebab pielonefritis akut ialah Escherichia coli.
Bakteri lain yang dapat menyebabkan pielonefritis
24
akut ialah Proteus, Klebsiella, Enterobacter, dan Pseudomonas. Berbagai mikroorganisme ini
dihubungkan pula dengan infeksi rekuren (berulang) pada seseorang dengan manipulasi atau
anomali kongenital saluran kemih. Bakteri lain yang tidak sering dijumpai pada pielonefritis
akut ialah staphylococcus dan streptococcus fecalis.
- Terdapat dua rute/jalur yang dilalui bakteri untuk mencapai ginjal yaitu melalui saluran
kemih bawah (infeksi asenden) dan melalui aliran darah (infeksi hematogen). Jalur yang
paling umum mencapai ginjal ialah infeksi asenden dari saluran kemih bawah.
- Pada urethra bagian distal (dan/atau introitus vagina), terjadi adhesi bakteri pada
permukaan mukosa diikuti dengan proses kolonisasi. Adhesi bakteri ini ditentukan secara
genetik pada urothelium dan bakteri, misalnya fimbrae bakteri yang mana terdapat bagian
protein bakteri yang akan berikatan dengan reseptor pada permukaan sel urothelium. Hal ini
menimbulkan kerentanan infeksi. Bakteri akan mencapai vesica urinaria dan mengalami
kolonisasi ekspansif. Jika terdapat disfungsi pada vesica urinaria atau obstruksi saluran
kemih, sistem pertahanan pada vesica urinaria tidak bisa bekerja dengan baik dan memicu
terjadinya pielonefritis. Dari urine statis terkontaminasi bakteri pada vesica urinaria, bakteri
akan terus bertumbuh tanpa mekanisme pembilasan dari proses miksi periodik yang optimal.
Bakteri selanjutnya naik ke ureter hingga mencapai pelvis renalis.
- Mekanisme yang penting untuk diketahui pada infeksi asenden pielonefritis akut ialah
refluks vesiko-ureter. Refluks ini dijumpai pada 20-40% anak-anak dengan infeksi saluran
kemih atas yang berhubungan dengan cacat kongenital akibat inkompetensi katup
vesicoureter. Refluks vesicoureter juga bisa didapat (acquired) pada orang dengan vesica
urinaria yang lemah akibat jejas medula spinalis atau disfungsi kandung kemih neurogenik
sekunder akibat diabetes. Refluks vesikoureter menyebabkan pengeluaran urine tidak tuntas
yang mendukung proses pertumbuhan bakteri. Selain itu, refluks vesiko ureter juga memicu
mekanisme terdorongnya urine terkontaminasi menuju pelvis renalis dan parenkim ginjal
melalui duktus yang terbuka diujung papil (refluks intrarenal).
- Infeksi hematogen pielonefritis akut terjadi melalui aliran darah yang berhubungan dengan
kondisi seperti berikut : septikemia, apendisitis, servisitis, endokarditis infektif.

25
- Berikut merupakan faktor risiko/predisposisi terjadinya pielonefritis akut : (1) Obstruksi
saluran kemih kongenital/didapat; (2) Pemasangan alat/instrumensasi pada saluran kemih,
misalnya pemasangan kateter yang tidak steril; (3) Refluks vesikoureter ; (4) Kehamilan, pada
4-6% wanita hamil mengalami bakteriuria dan 20-40% mengalami infeksi saluran kemih yang
simptomatik ; (5) Jenis kelamin dan usia. Wanita lebih berisiko mengalami hal ini karena
dekatnya jarak antara uretra dan rektum, ukuran uretra lebih pendek, dan rentan terjadi
trauma pada uretra saat koitus. Pada laki-laki, insidensinya meningkat seiring bertambahnya
usia akibat hiperplasia prostat yang menimbulkan obstruksi saluran kemih. Sangat jarang
pada laki-laki <50 tahun kecuali homoseeksual ; (6) Lesi renal yang telah ada sebelumnya,
yang mana terjadi fibrosis dan obstruksi intrarenal ; (7) Diabetes melitus, kerentanan infeksi
meningkat akibat disfungsi vesica urinaria neurogenik yang memicu kondisi stasis urine ; (8)
Imunosupresi dan imunodefisensi ; (9) Menderita HIV/AIDS ; (10) Koitus per rektal.
- Keluhan pasien yang menderita pielonefritis :
o Keluhan muncul tiba-tiba
o Demam dan menggigil
o Nyeri pinggang unilateral/bilateral
o Sering pula disertai gejala sistitis : frekuensi, nokturia, disuria, urgensi, dan nyeri
suprapubik.
o Kadang bisa disertai gejala gastrointestinal : mual, muntah, diare, dan nyeri perut.
- Manifestasi klinis pada pasien bervariasi dari yang ringan hingga menunjukkan tanda sepsis.
- Berikut tanda-tanda yang bisa ditemukan pada pemeriksaan fisik pielonefritis :
o Demam dengan suhu biasanya mencapai lebih dari 38,4oC
o Takikardia
o Nyeri ketok pada sudut kostovertebra unilateral/bilateral
o Ginjal sering tidak terpalpasi karena nyeri tekan dan spasme otot
o Bisa didapati nyeri tekan pada area suprapubik
o Disetensi abdomen
o Bising usus menurun
- Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah :
26
o Urinalisis (ditemukan piuria, silinder leukosit, hematuria, dan bakteriuria bermakna)
o Kultur urin dan tes sensitivitas-resistensi antibiotik, untuk mengetahui etiologi dan
pedoman dalam pemberian antibiotik.
o Pemeriksaan darah perifer (ditemukan dominasi neutrofil dan leukositosis)
o Kultur darah, pada kasus bakteriemia.
o Foto polos abdomen (BNO), untuk menyingkirkan adanya obstruksi disaluran kemih.
- Tatalaksana pielonefritis akut tanpa komplikasi :
o Antibiotik parentral
 Cetriaxone, cefipime, fluorokuinolon (ciprofloksasin dan levofloxasin).
 Dicurigai infeksi Enterococci : Ampisilin dikombinasikan dengan gentamisin,
ampicilin sublaktam, dan piperacilin tazobactam.
 Terapi parentral dapat diganti dengan oral setelah 24-48 jam dan dapat
diperpanjang jika gejala menetap.
o Antibiotik oral
 Antibiotik empiris awal : Fluorokuinolon (bakteri gram negatif), untuk dugaan
penyebab lain : Tripmetoprim-sulfametoxazome.
 Curiga infeksi Enterococci : Amoksisilin dapat diberikan sampai etiologi pasti
diperoleh.
 Terapi dapat diberi 7 hari untuk gejala klinis yang ringan dan sedang dengan
respons terapi baik.
 Pada kasus menetap dan berulang, kultur harus dilakukan. Diberi antibiotik
yang telah terbukti sensitif selama 7-14 hari. Penggunaan selanjutnya
disesuaikan dengan hasil tes sensitivitas-resistensi.
o Simptomatik, sesuai gejala seperti anti-emetik, analgesik-antipiretik.
- Indikasi rawat pada pasien jika ada tanda sepsis dan tidak mampu konsumsi antibiotik oral.
Antibiotik parentral pilihan : Seftriakson 1x1 g, atau Levofloksasin 4x500mg, Ciprofloxacin
2x400 mg 7-14 hari. Jika gejala yang timbul berat : Ciprofloxacin 2 x 250 mg selama 14 hari.
Jika gejala yang timbul ringan : Ciprofloxacin 2 x 250 mg selama 7 hari.
- Kriteria rujukan pasien dari fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama :
27
o Ditemukan tanda urosepsis pada pasien
o Tidak menunjukkan respons yang baik terhadap pengpbatan
o Ada kecurigaan gangguan urologi lain seperti striktur, tumor, atau urolitiasis.

SUMBER :
- Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid 2 Bab 234 mengenai Infeksi Saluran
Kemih.

- Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi I
(2017) oleh IDI halaman 382 mengenai Pielonefritis Tanpa Komplikasi.

- Kumar V, Abbas AK, Aster JC. 2015. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease ninth edition. Philadelphia : Elsevier Sauders.

28

Anda mungkin juga menyukai