Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN CEDERA KEPALA RINGAN

DENGAN MASALAH KEPERAWATAN NYERI AKUT

DI UGD RSUD KANJURUHAN KEPANJEN

Oleh :

Dhigo Aulia Anwar (1810008)

Faizatul Kholisoh (1810011)

Ulfa Dewi Santika (1810035)

Yunafika Rahmawati (1810038)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM DIPLOMA III

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa pendarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusya kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau
benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
(Febriyanti, dkk, 2017).
Cedera kepala merupakan kasus penyebab kecacatan dan kematian yang
cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena
penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif. Cedera kepala
mempunyai dampak emosi, psikososial dan ekonomi yang cukup besar, dan
akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif
khususnya di negara berkembang (PERDOSSI, 2008).
Cedera kepala dapat mengakibatkan kelainan struktural atau fisiologis
pada fungsi otak oleh faktor eksternal yang diindikasikan sebagai onset baru
atau perburukan dari satu atau lebih gejala klinis meliputi kehilangan
kesadaran, kehilangan memori tepat setelah terjadinya trauma. Setelah
terjadinya trauma dapat juga mengakibatkan kelainan status mental
(kebingungan, disorientasi, dan pemikiran lambat), defisitneurologis
(kelemahan,kehilangan keseimbangan, perubahan penglihatan, praxis, paresis
atau plegia, kelainan sensoris dan afasia (Clarinta, 2016).
Kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab kematian kesepuluh di dunia
dengan jumlah kematian 1,21 juta (2,1%) sedangkan di negara berkembang
menjadi kematian ketujuh di dunia denganjumlah kematian 940.000 (2,4%)
(WHO, 2013). Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok
usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih di dominasi oleh kaum laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Insiden cedera kepala di Eropa pada tahun
2010 adalah 500 per 100.000 populasi (Miranda dkk, 2014). Kecelakaan
lalu lintas di dunia tahun 2008 telah merenggut satu juta orang setiap
tahunnya sampai sekarang dan dari 50 juta orang mengalami luka dengan
sebagian besar korbannya adalah pemakai jalan yang rentan seperti pejalan
kaki, pengendara sepeda motor, anak-anak, dan penumpang (Esther, 2014).
Data epidemiologis tentang cedera kepala di Indonesia hingga saat ini
belum tersedia, namun dari data yang ada dikatakan dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Data cedera kepala di Makassar khususnya di Rumah
Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2008 berjumlah 861 kasus, tahun
2006 berjumlah 817 kasus dan tahun 2008 berjumlah 1078 kasus. Sekitar
59% adalah cedera kepala ringan, 24% cedera kepala sedang dan 17% cedera
kepala berat. Pada penelitian lain, dalam kurung waktu 3 bulan (November
2011-April 2012) ditemukan 524 penderita cedera kepala, 103 diantaranya
mengalami delirium dan terdiri dari 27,2% merupakan cedera kepala sedang,
dan 72,8 % cedera kepala ringan (Lisnawati, 2012).
Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, jumlah data
yang dianalisis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur. Adapun
responden yang pernah mengalami cedera 84.774 orang dan tidak cedera
942.984. Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2% dan prevalensi angka
cedera kepala di sulawesi utara sebesar 8,3%. Prevalensi cedera tertinggi
berdasarkan karakteristik reponden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun
(11,7%),dan pada laki-laki (10,1%).
Pengelolaan cedera kepala yang baik harus melakukan ketepatan waktu
tanggap penanganan kasus cedera kepala. Peran perawat sebagai care giver
dalam mendokumentasikan asuhan keperawatan dan melakukan tindakan
keperawatan baik secara mandiri maupun berkolaborasi dengan tenaga medis
lain dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala. Hal ini sesuai dengan
teori Susanto (2012) peran perawat sebagai care giver atau pemberi asuhan
keperawatan yaitu perawat memberikan asuhan keperawatan professional
kepada pasien meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi hingga
evaluasi. Selain itu, perawat melakukan observasi yang kontinu terhadap
kondisi pasien, melakukan pendidikan kesehatan, memberikan informasi yang
terkait dengan kebutuhan pasien sehingga masalah pasien dapat teratasi.
Menjaga keamanan dan kenyamanan pasien ditujukan agar pasien terbebas
dari jatuh dan merasa aman serta nyaman sehingga dapat mendukung proses
penanganan pasien hal ini sesuai dengan fungsi independen perawat yaitu
merupakan fungsi mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, dimana
perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara mandiri dengan
keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia (Widyawati, 2012). Pengelolaan cedera kepala yang baik
dimulai dari tempat kejadian, selama transportasi, di instalasi gawat darurat,
hingga dilakukannya terapi definitif. Pengelolaan yang benar dan tepat akan
mempengaruhi outcome pasien. Tujuan utama pengelolaan cedera kepala
adalah mengoptimalkan pemulihan dari cedera kepala primer dan mencegah
cedera kepala sekunder. Proteksi otak adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan sel-sel otak yang di
akibatkan oleh keadaan iskemia. Iskemia otak adalah suatu gangguan
hemodinamik yang akan menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai ke
suatu tingkat yang akan menyebabkan kerusakan otak yang irreversibel.
Metode dasar dalam melakukan proteksi otak adalah dengan cara
membebaskan jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat (Safrizal dkk, 2013).
Masalah keperawatan yang muncul pada pasien kasus cedera kepala ringan
yang utama harus ditangani adalah masalah perfusi jaringan serebral yang
beresiko mengalami penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat menganggu
kesehatan (Nanda, 2012). Oksigen merupakan salah satu komponen gas dan
unsur vital dalam proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan
hidup seluruh sel tubuh. Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara
menghirup udara ruangan dalam setiap kali bernapas. Penyampaian oksigen ke
jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi sistem respirasi, kardiovaskuler, dan
keadaan hematologis. Adanya kekurangan oksigen ditandai dengan keadaan
hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan
bahkan dapat mengancam kehidupan (Anggraini dkk, 2014).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Pada Tn. A yang Mengalami Cedera
Kepala Ringan dengan nyeri akut di UGD RSUD Kepanjen

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1. Melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Tn. A yang mengalami
Cedera Kepala Ringan dengan Masalah Nyeri Akut di UGD
RSUD Kepanjen
2. Mendapatkan gambaran secara umum tentang Asuhan
Keperawatan pada Tn. A dengan Cedera Kepala Ringan
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. A yang mengalami
cedera kepala ringan dengan masalah nyeri akut
2. Menetapkan diagnosa keperawatan pada Tn. A yang mengalami
cedera kepala ringan dengan nyeri akut
3. Menyusun perecanaan keperawatan pada Tn. A yang mengalami
cedera kepala ringan dengan nyeri akut
4. Melakukan tindakan keperawatan pada Tn. A yang mengalami
cedera kepala ringan dengan masalah nyeri akut
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. A yang mengalami
cedera kepala ringan dengan masalah nyeri akut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa pendarahan intestinal dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau
benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
(Febriyanti, dkk, 2017). Cedera kepala adalah suatu trauma mekanik
terhadap kepala, baik secara langsung ataupun tidak langsung yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (Sudiharto dan Sartono,
2010).
Dari dua pengertian diatas dapat disimpulkan cedera kepala adalah suatu
gangguan traumatik dari fungsi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
pada kepala baik secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan
gangguan fungsi neurologis.

2.2 Klasifikasi
Menurut Padila (2013), cedera kepala dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan
Glasgow Coma Scale >12, tidak ada kelainan dalam CT-scan,
tidak ada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit.
Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilanghya
fungsi neurologis atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan
kerusakan lainnya. Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan
GCS: 15 (sadar penuh) tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing
dan nyeri kepala, hematoma, laseri dan abrasi.
2. Cedera Kepala Sedang
Glasgow Coma Scale 9 – 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam
CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Pasien mungkin
bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah
sederhana (GCS 9-13).
3. Cedera Kepala Berat
Glasgow Coma Scale < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit.
Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang
menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala terjadinya
cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila
patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan
dihentikan.

2.3 Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America (2013), penyebab utama
cedera kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas
sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19%,
disebabkan kekerasan sebanyak 11%, dan akibat ledakan di medan perang
merupakan penyebab utama cedera kepala.
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien
trauma kepala yaitu sebanyak 32,1% dan 29,8% per 100.000 populasi.
Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat
sebanyak 7,1% per 100.000 populasi di Amerika Serikat (Coronado, 2011).
Penyebab utama terjadinya trauma kepala antara lain:
1. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan Lalu Lintas adalah dimana sebuah kendaraan
bermotor bertabrakan dengan kendaraan yang lain atau benda lain.
Sehingga menyebabkan kerusakan atau cedera kepada pengguna jalan
raya (Rendi dan Margareth, 2012).
2. Jatuh
Jatuh didefinisikan sebagai (terlepas), turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih
digerakkan turun maupun sesudah sampai ke tanah. Menyatakan
bahwa jatuh secara tidak proporsional mempengaruhi kelompok usia
termuda dan tertua, lebih dari setengah (55%)antara anak-anak usia 0-
14 tahun disebabkan karena jatuh, lebih dari dua pertiga (81%) pada
orang dewasa berusia 65 tahun dan lebih tua disebabkan karena jatuh
(Rendi dan Margareth, 2012).
3. Kekerasan
Kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya
orang lain, menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain secara
paksaan (Padila, 2012).

2.4 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan cedera
kepala menurut Batticaca (2008) antara lain :
1. Deficit neurologis
2. Infeksi sistemik (pneumonia, septikemia)
3. Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventrikulitis,
abses otak)
4. Osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang menunjang berat
badan)
5. Epidural hematoma (EDH) adalah berkumpulnya darah di dalam ruang
epidural di antara tengkorak dan dura meter. Keadaan ini sering di
akibatkan karena terjadi fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri
meningeal tengah terputus atau rusak (laserasi) dimana arteri ini berada
diantara dura meter dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis
tulang temporal dan terjadi hemoragik sehingga menyebabkan penekanan
pada otak.
2.5 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik oksigen dan glukosa terpenuhi. Energi
yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
okidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan perfusi.
Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme
otak tidak boleh kurang dari 20mg%, karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 75% akan terjadi gejala-
gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik an aerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat hipoksia atau kerusakan otak dapat
terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme an aerob. Dalam keadaan
normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50-60 ml/menit/100gr. Jaringan
otak, yang merupakan 15% dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocordial, perubahan tekanan vaskuler dan uedem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan
distritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perubahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol
akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar (Tarwoto, 2012).
2.6 Pathway
Etiologi
(Kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, kecelakaan olahraga, pukulan)

Trauma kepala

Cedera jaringan otak

Kerusakan neuromuskuler
Px tampak gelisah Respon peradangan
Px bertanya-tanya Obstruksi trakeobronkial
Tegangan dura &
Ansietas Resti thd pola nafas tdk pembuluh darah
efektif

Nyeri akut
Hiperemi (pe volume darah, pe permeabilitas kapiler, vasodilatasi arterial

Nyeri kepala

TIK me Muntah proyektil Potensial pe TIK


Papil edema

Kejang Perubahan sensorik & Tk kesadaran me


Kekacauan mental dan motorik menurun

Resiko cedera Kerusakan persepsi/kognitif Kelemahan otot

Pe menurun Tdk mampu mencerna


 Disorientasi thd
kerusakan/tahanan
tempat/waktu & orang
Muntah proyektil
 Perub pola komunikasi
Tdk mampu
 Perub pola perilaku
bergerak sesuai tj Perubahan nutrisi <
 Propiosepsi
dr kebutuhan
Kerusakan mobilitas fisik
Perub persepsi
sensori Edema serebral Patologis otak Pe an vasokomiksi tbh

TDL sistemik/hipoksia
Kejang Darah lebih ke paru2

Penghentian TD oleh sol


Odema pulmunal
Perub perfusi jar serebral
2.7 Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
1. Penatalaksanaan di rumah sakit menurut Padila (2012), adalah:
a. Berikan infuse dengan cairan non osmotik (kecuali dextrose oleh
karena dexstrose cepat dimetabolisme menjadi H2O+CO2 sehingga
dapat menimbulkan edema serebri)
b. Diberikan analgesia atau antimuntah secara intravena
c. Berikan posisi kepala dengan sudut 15-45 derajat tanpa bantal kepala,
dan posisi netral, karena dengan posisi tersebut dari kaki dapat
meningkatkan dan memperlancar aliran balik vena kepala sehingga
mengurangi kongesti cerebrum dan mencegah penekanan pada syaraf
medula spinalis yang menambah TIK.
2. Penatalaksanaan menurut Tarwoto (2012), adalah :
a. Prinsip penatalaksanaan cedera kepala adalah memperbaiki perfusi
jaringan serebral, karena organ otak sangat sensitif terhadap kebutuhan
oksigen dan glukosa. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan
diperlukan keseimbangan antara suplay dan demand yaitu dengan
meningkatkan suplai oksigen dan glukosa otak. Untuk meningkatkan
suplai oksigen di otak dapat dilakukan melalui tindakan pemberian
oksigen atau dengan mengajarkan teknik nafas dalam,
mempertahankan tekanan darah dan kadar hemoglobin yang normal.
Sementara upaya untuk menurunkan kebutuhan oksigen otak dengan
cara menurunkan laju metabolisme otak seperti menghindari keadaan
kejang, stress, demam, suhu lingkungan yang panas, dan aktifitas yang
berlebihan.
b. Untuk menjaga kestabilan oksigen dan glukosa otak juga perlu
diperhatikan adalah tekanan intrakranial dengan cara mengontrol
cerebral blood flow (CBF) dan edema serebri. Keadaan cerebral blood
flow (CBF) ditentukan oleh berbagai faktor seperti tekanan darah
sistemik, cerebral metabolic rate (CMR). Pada keadaan hipertensi
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak, hal ini akan
menghambat oksigenasi otak. Demikian juga pada peningkatan
metabolisme akan mengurangi oksigenasi otak karena kebutuhan
oksigen meningkat. Disamping itu pemberian obat-obatan untuk
mengurangi edema serebral, memperbaiki metabolisme otak dan
mengurangi gejala seperti nyeri kepala sangat diperlukan.

2.8 Manifestasi Klinis


1. Komusio serebri:
a. Muntah tanpa nausea
b. Nyeri pada lokasi cidera
c. Muntah darah
d. Hilang energy
e. Pusing dan mata berkunang-kunang
f. Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang
g. Tidak ada deficit neurologi
h. Tidak ada ketidaknormalan pupil
i. Ingatan sementara hilang
j. Scalp tenderness
2. Kontusio serebri:
a. Perubahan tingkat kesadaran
b. Lemah dan paralisis tungkai
c. Kesulitan berbicara
d. Hilangnya ingatan sebelum dan pada saat trauma
e. Sakit kepala
f. Leher kaku
g. Perubahan dalam penglihatan
h. Tidak berespon baik rangsang verbal dan nyeri
i. Demam diatas 37oC
j. Peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi
k. Berkeringat banyak
l. Perubahan pupil (kontriksi, midpoint, tidak berespon terhadap
rangsangan cahaya)
m. Muntah
n. Otorhea
o. Tanda betle’s (ekimosis pada daerah frontal)
p. Flacit paralisis atau paresis bilateral
q. Kelumpuhan saraf cranial
r. GCS dibawah 7
s. Hemiparesis atau paralesis
t. Posisi dekortikasi
u. Rhinorrhea
v. Aktifitas kejang
w. Doll”s eyes

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Foto polos tengkorak (skull X-ray)
2. Angiografi serebral
3. Pemeriksaan MRI
4. CT Scan: indikasi ct scan berupa nyeri kepala atau muntah-muntah,
penurunan GCS lebih dari 1 poin, adanya laserasi fraktur tulang tengkorak,
dan adanya luka tembus akibat benda tajam atau peluru (Andra & Yessie,
2012).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subjektif atau objektif pada gangguan
sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,
lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang
perlu didapati adalah sebagai berikut :
1. Pengkajian primer
a. Airway
Kaji kepatenan jalan nafas, observasi adanya lidah jatuh, adanya benda
asing pada jalan nafas (bekas muntahan, darah, sekret yang tertahan),
adanya edema pada mulut, faring, laring, disfagia, suara stridor,
gurgling atau wheezing yang menandakan adanya masalah jalan
nafas.
b. Breathing
Kaji keefektifan pola nafas, respiratory rate, abnormalitas pernafasan,
bunyi nafas tambahan, penggunaan otot bantu nafas, adanya nafas
cuping hidung, saturasi oksigen.
c. Circulation
Kaji heart rate, tekanan darah, kekuatan nadi, capillary refill, akral,
suhu tubuh, warna kulit, kelembaban kulit, perdarahan eksternal jika
ada.
d. Disability
Berisi pengkajian kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS),
ukuran dan reaksi pupil.
e. Exposure
Berisi pengkajian terhadap suhu serta adanya injury atau kelainan lain,
kondisi lingkungan yang ada di sekitar pasien.
2. Pengkajian Sekunder
a. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis
kelamin, agama, alamat, golongan darah, hubungan pasien dengan
keluarga.
b. Riwayat kesehatan : tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) (<
15), muntah, dispnea atau takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau
tidak, lemah, luka pada kepala, akumulasi pada saluran nafas kejang.
c. Riwayat penyakit dahulu : haruslah diketahui dengan baik yang
berhubungan dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem
sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama
yang mempunyai penyakit keturunan atau menular.
d. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien atau keluarga
sebagai data subjektif. Data - data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa pasien.
3. Data Fokus
a. Breathing
Pengkajian breathing meliputi : pergerakan otot dada, pemakaian otot
bantu napas, frekuensi nadi tekanan dan irama nadi, suara tambahan,
batuk ada (produktif, tidak produktif) atau tidak, sputum (warna dan
konsistensi), pemakaian alat bantu napas.
b. Blood
Pengkajian blood meliputi : suara jantung, irama jantung, capillary
refill time (CRT), jugularis vena pressure (JVP), edema.
c. Brain
Pengkajian brain meliputi : pengkajian tingkat kesadaran (tingkat
keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan), pengkajian fungsi
serebral (status mental, fungsi intelektual, frontalis, hemisfer),
pengkajian saraf kranial, pemeriksaan kepala (raut muka, bibir, mata,
sclera, kornea, gerakan bola mata, reflek kornea, persepsi sensori).
d. Bladder
Pengkajian bladder meliputi : urin (jumlah, bau, warna), penggunaan
kateter, kesulitan BAK (oliguri,poliuri, dysuri, hematuri,nocturi).
e. Bowel
Pemeriksaan bowel meliputi : mukosa bibir, lidah, keadaan gigi, nyeri
telan, distensi abdomen, peristaltik usus, mual ,muntah, hematemesis,
melena, penggunaan NGT, diare, konstipasi, asites.
f. Bone
Pengkajian bone meliputi : turgor kulit, perdarahan kulit, ikterus,
akral, pergerakan sendi, fraktur, luka.
4. Pemeriksaan fisik
Aspek neurologis yang di kaji adalah : tingkat kesadaran, biasanya GCS
<15, disorentasi orang, tempat dan waktu, perubahan nilai tanda – tanda
vital, kaku kuduk, hemiparese.
5. Pemeriksaan penunjang
Menurut Price (2008) pemeriksaan penunjang pada pasien cedera kepala
adalah :
a. CT-Scan : CT-Scan berguna untuk mendiagnosis dan memantau lesi
intrakranial atau mengevaluasi dan menentukan luasnya cedera
neurologis. Radiogram dilakukan dengan komputer setiap interval 1
derajat dalam suatu busur sebesar 180 derajat. CT-Scan telah dapat
menggantikan echoensefalogrofi dan memiliki kemampuan diagnostic
yang jauh lengkap.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) : Digunakan sama seperti CT-
Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c. Cerebral Angiography : Menunjukkan anomali sirkulasi cerebral,
seperti perubahan pada jaringan otak sekunder menjadi uedem,
perdarahan dan trauma. Serial Elektroensefalografi (EEG) : Dapat
melihat perkembangan gelombang yang patologis.
d. SinarX-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang.
e. Brain system Auditory Evoked Response (BAER) : Mengoreksi batas
fungsi korteks dan otak kecil.
f. Possitron Emission Tomography (PET) : Mendeteksi perubahan
aktifitas metabolisme otak.
3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon
individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan yang aktual atau
potensial, dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, perawat secara
akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti
untuk menjaga, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah status
kesehatan pasien (Herdman, 2012). Perfusi jaringan serebral yang beresiko
mengalami penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat menganggu
kesehatan (Nanda, 2012). Oksigen merupakan salah satu komponen gas dan
unsur vital dalam proses metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan
hidup seluruh sel tubuh. Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara
menghirup udara ruangan dalam setiap kali bernapas. Penyampaian oksigen ke
jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi sistem respirasi, kardiovaskuler, dan
keadaan hematologis. Adanya kekurangan oksigen ditandai dengan keadaan
hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan
bahkan dapat mengancam kehidupan (Anggraini dkk, 2014).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan cedera kepala
ringan (Nanda, 2012) yaitu :
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan
tekanan intrakranial.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x3 jam diharapkan
pasien tidak menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial.
Kriteria hasil :
a. Tidak ada ortostatik hipertensi
b. Mencegah cedera
c. GCS dalam batas normal E5 M4 V6
d. Tanda – tanda vital dalam batas normal

Intervensi :

a. Kaji perubahan pasien dalam merespon stimulus


b. Monitor tekanan intrakranial dan respon neurologis
c. Monitor adanya nyeri kepala
d. Monitor tanda-tanda vital
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat
nafas di otak.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x3 jam diharapkan
pola napas efektif.
Kriteria hasil :
a. Tidak menggunakan alat bantu otot pernafasan
b. Tidak ada sianosis atau tidak ada tanda-tanda hipoksia 23
c. Menunjukkan jalan nafas yang normal
d. Tanda-tanda vital dalam rentang normal

Intervensi :

a. Pertahankan jalan nafas yang paten


b. Monitor respirasi dan status oksigen
c. Monitor tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, respiratory rate,
nadi, suhu.
d. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x3 jam diharapkan
nyeri dapat teratasi.
Kriteria hasil :
a. Pasien mampu mengenali nyeri
b. TTV dalam batas normal
c. Pasien mampu mengontrol nyeri
d. Tidak ada gangguan pola tidur

Intervensi :

a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif


b. Berikan posisi yang nyaman
c. Ajarkan tehnik non farmakologi (relaksasi nafas dalam)
d. Kolaborasi dengan dokter terkait pemberian analgesik untuk
mengurangi nyeri.

3.3 Implementasi
Implementasi keperawatan adalah melaksanakan tindakan keperawatan
berdasarkan asuhan keperawatan yang telah disusun. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam melaksanakan tindakan keperawatan yaitu mengamati
keadaan bio-psiko-sosio-spiritual pasien, sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan, mencuci tangan sebelum dan sesudah melaksanakan kegiatan
atau tindakan, menerapkan etika keperawatan serta mengutamakan
kenyamanan dan keselamatan pasien. Kegiatan yang dilakukan meliputi,
melihat data dasar, mempelajari rencana, menyesuaikan rencana,
menentukan kebutuhan bantuan, melaksanakan tindakan keperawatan sesuai
rencana yang telah disusun, analisa umpan balik, mengkomunikasikan hasil
asuhan keperawatan (Nursalam, 2008).

3.4 Evaluasi
Evaluasi adalah mengkaji respon pasien terhadap standart atau kriteria
yang ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai. Penulisan pada tahap
evaluasi proses keperawatan yaitu terdapat jam melakukan tindakan, data
perkembangan pasien yang mengacu pada tujuan, keputusan apakah tujuan
tercapai atau tidak, serta ada tanda atau paraf. Kegiatan yang dilakukan
meliputi menggunakan standart keperawatan yang tepat, mengumpulkan dan
mengorganisasi data, membandingkan dengan kriteria dan menyimpulkan
hasil yang kemudian ditulis dalam daftar masalah (Nursalam, 2008).

Anda mungkin juga menyukai