Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis sampai saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
dunia. Di Indonesia menduduki peringkat ketiga di Indonesia setelah India dan tiongkok.
Tuberkulosis merupakan penyebab kematian tertinggi setelah penyakit jantung iskemik dan
penyakit serebrovaskuler. Berdasarkan global TB report 2018 diperkirakan di Indonesiapada
tahun 2017 terdapat 842.000 kasus TB baru (319 per 100.000 penduduk) dan kematian
karena TB sebesar 116.000 (44 per 100.000 penduduk) termasuk TB HIV positif. Angka
notifikasi Kasus / Case notification Rate (CNR) dari semua kasus di laporkan sebanyak 171
per 100.000 penduduk.15

Provinsi Jawa Timur pada tahun 2015 menempati ururan kedua di Indonesia
setelah jawa barat dalam jumlah penemuan penderita TB BTA + kasus baru. Angka
penemuan kasus baru BTA + sebanyak 23.183 penderita. Pada Tahun 2016, jumlah semua
3
kasus TB diobati sebanyak 47.478 kasus dari perkiraan jumlah kasus sebesar 123.414.

Terdapat lima kota di Jawa Timur yang memiliki kasus TB Paru tertinggi antara lain
Surabaya (4.739) kasus, Jember (3.128) kasus, Bojonegoro (2.287) kasus, Pamekasan (1.233)
kasus, dan Sidoarjo (918) kasus. 4

Tingginya angka kejadian TB di Indonesia, Indonesia mempunya starategi untuk


mengendalikan TB. Strategi tersebut di kenal dengan Directly Observed Treatments, Short-
course (DOTS). Komponen utama strategi DOTS adalah regimen kemoterapi anti TB standar
jangka pendek yang mengharuskan secara kontinu untuk mengkonsumsi obat kombinasi
seperti Isoniazid (H), Rifamopicin (R) Pyrazinamid (Z), Ethambutol (E) dan streptomicyn (S)
setiap hari selama 6-9 bulan. 5

Meskipun obat anti TB (OAT) memiliki kemampuan bakteriosid dan bakteriostatik


terhadap Mycobacterium tuberculosis, namun OAT juga menginduksi berbagai efek samping,
termasuk hepatotoksis, reaksi kulit, gastrointestinal dan gangguan neurologis. Drug Induced
Hepatis (DIH) tuberculosis merupakan salah satu efek samping utama yang penting dan
serius yang hampir mencapai angka 7% dibandingkan efek samping yang lain. Insiden DIH
dilaporkan bervariasi dari 2% hingga 28% berdasarkan populasi yang berbeda . Selain itu,
DIH dapat menurunkan efektivitas terapi TB, menyebabkan penurunan kepatuhan minum
obat, dan akan mengarah pada kegagalan terapi, timbulnya kekambuhan, dan timbulnya

1
resistensi obat. Keseluruhan dampak negatif tersebut secara signifikan akan mengganggu
pengendali epidemi kasus TB. 5

2
BAB II
Tinjauan Pustaka
1. Tuberkulosis Paru
1.1. Definisi
TB atau Tuberkulosisi adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis. TB juga di kenal dengan sebutan bakteri tahan asam
(BTA). Dengan gejala utama yaitu batuk berdahak lebih dari 2 minggu dan gejala
lainnya 2
TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri microbacterial
tuberculosis yang dapat menular melalui percikan dahak. Tuberkulosis adalah penyakit
menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB. Sebagian besar kuman TB
menyerang paru tetapi bisa juga organ tubuh lainnya. 15
Definisi kasus TB menurut kementrian nasional tahun 2016 terdiri dari dua, yaitu;
a) Pasien TB yang terkonfirmasi Bakteriologis: Adalah pasien TB yang
terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji biologinya (sputum dan
jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah: 15
1. Pasien TB paru BTA positif
2. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
3. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
4. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut di atas harus dicatat.
b) Pasien TB terdiagnosis secara Klinis Adalah pasien yang tidak memenuhi
kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB
aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk
dalam kelompok pasien ini adalah: 15
1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
2. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.

3
4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi
bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai
pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi
bakteriologis.
1.2. Etiologi
Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Mycobacterium tuberculois. Ukuran
dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dan bentuk dari bakteri
ini yaitu batang, tipis, lurus atau agak bengkok, bergranul, tidak mempunyai selubung
tetapi kuman ini mempunyai lapisan luar yang tebal yang terdiri dari lipoid (terutama
asam mikolat). Sifat dari bakteri ini agak istimewa,karena bakteri ini dapat bertahan
terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol sehingga sering disebut
dengan bakteri tahan asam (BTA). Selain itu bakteri ini juga tahan terhadap
suasana kering dan dingin. Bakteri ini dapat bertahan pada kondisi rumah atau
lingkungan yang lembab dan gelap bisa sampai berbulan-bulan namun bakteri ini
tidak tahan atau dapat mati apabila terkena sinar, matahari atau aliran udara 7

1.3. Patofisiologi 8
Paru merupakan portd’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman
TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi,
pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan
kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan

4
antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan
saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-
12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah
103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji
tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer
tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system
imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk
ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidaksesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal.
Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan
keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal
infeksi, akanmembesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat

5
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.Penyebaran hamatogen yang paling
sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult
hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan
sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya
dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang,
ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai
lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum
terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang
sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman
tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut
menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus
potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian,
bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi
dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-
lain.Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara
akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6
bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.

6
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.Tuberkulosis milier merupakan hasil
dari acute generalized hematogenic spreaddengan jumlah kuman yang besar. Semua
tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang
sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur
padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma. Bentuk
penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran
vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di
dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapatdibedakan
dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak,
yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik.
Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis
TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional)
dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik
sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik
biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami
resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan
dewasa muda. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling
banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya
terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.
1.4. Klasifikais TB15
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga
diklasifikasikan menurut:
1.4.1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :
a. Tuberkulosis paru : Adalah TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru.
Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

7
b. Tuberkulosis ekstraparu: Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru,
misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi,
selaput otak dan tulang. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau
mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang
mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Diagnosis TB
ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan secara bakteriologis
dengan ditemukannya Mycobacterium tuberculosis. Bila proses TB terdapat
dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan dengan organ yang terkena proses
TB terberat.
1.4.2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Pasien paru kasus baru : adalah pasien yang belum pernah
mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan
OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
1) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik
karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow
up. (Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien
setelah putus berobat /default).
4) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. Adalah
pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok 1) atau 2).
1.4.3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Pengelompokan
pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji Mycobacterium
tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:

8
a. Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah
satu jenis OAT lini pertama saja.
b. Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap
lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosisresistan
terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau
tanpa diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan
(Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
e. Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler) atau metode fenotip
(konvensional).
1.5. Manifestasi TB
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang dibagi menjadi 2
golongan yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru
maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).9
1) Gejala respiratori yaitu batuk ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak nafas dan nyeri
dada. Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical checkup bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2) Gejala sistemik yaitu demam, gejala sistemik lain adalah malaise, keringat
malam, anoreksia dan berat badan menurun.
3) Gejala TB ekstraparu yaitu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Pada pleuritis
TB terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.

9
1.6. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada TB paru kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur parupermulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan lobus posterior (S1 dan S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma dan mediastinum. 9

1.7. Pemeriksaan Penunjang15


1.7.1. Pemeriksaan Laboratorium
A. Pemeriksaan Bakteriologis
A.1. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi menegakkan diagnosis, juga dapat
menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak sewaktu
Pagi (SP) dan sewaktu Sewaktu (SS). 15
A.2. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein
Jensen) dan media cair Mycobacteria Grwoth Indicator Tube) untuk
identifikasi Mycobacterium tuberculosis (M.tb)15

A.3. Tes Cepat Mycobacterium


Pada tahun 2010 WHO merekomendasikan TCM sebagai awal untuk
diagnosis. TCM mendeteksi kasus secara dini, kasus BTA negatif terkait HIV
dan meningkatkan kapasitas lab untuk mendiagnosis MDR. 10

10
Hasil Interpretasai Tindak Lanjut

MTB Detected,  DNA MTB terdeteksi Lanjutkan sesuai dengan


rifampicin  Mutasi gen rpoB terdeteksi, alu diagnosis TB
resisten kemungkinan besar resisten resisten obat
terhadap rifampicin
MTB detected  DNA MTB terdeteksi Lanjutkan sesuai alur
Rifampicin  Mutasi gen rpoB / resisten diagnosis TB biasa
Resiten Not rifampicin tidak terdeteksi.
detected Kemungkinan besar
sensitif terhadap rifampicin
MTB detected,  DNA MTB terdeteksi Ulangi pemeriksaan
rif resistent  Mutasi gen rpoB / resisten scepatnya menggunakan
inderteminate rifampicin tidak dapat spesimen dahak baru
ditentukan karena sinyal dengan kualitas yang
penanda resisten tidak baik
cukup terdeteksi
MTB not  DNA MTB tidak terdeteksi
detected
Tabel.2.1. Inteprestasi Tes Cepat Mycobcterium 10
1.7.2. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
A.1. Foto thorax
Pemeriksaan Radiologi Tuberkulosis Paru. Bila digunakan dengan tepat,
foto thorax memegang peran penting sebagai pendeteksi TB paru dini.
Tuberkulosis sering kali didapatkan pada foto thorax yang awalnya diperiksa
untuk kepentingan medical check-up dan pemeriksaan untuk toleransi operasi.
Pada pasien dengan sputum BTA positif, foto thorax berperan penting dalam
menilai luas lesi serta komplikasi yang terjadi. Pada akhir pengobatan TB, foto
thorax berperan dalam penilaian sekuele di paru serta di pleura.
Ada beberapa gambaran radiologi thorax yang khas pada Tuberkulosis
paru. Pola kelainan tersebut yaitu kelainan di apek berupa infiltrat, ditemukan
kavitas atau ditemukannya nodul retikuler. Sensitivitas dan spesifisitas foto
thorax dalam mendiagnosis Tuberkulosis yaitu 86% dan 83% apabila ditemukan

11
ketiga pola kelainan diatas. Tuberkulosis paru minimal ditemukan 1 dari 3 pola
kelainan diatas. Gambaran klasik TB paru post primer yaitu kelainan di apek
disebabkan karena tekanan oksigen di apek paru lebih tinggi sehingga bakteri
berkembang lebih baik.
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis
dan pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan yang berat, bagian tengah lesi
akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di paru
yang disebut kavitas. Kavitas terdapat pada 19-50% kasus. Kavitas Tuberkulosis
biasanya berdinding tebal dan irreguler. Jarang dijumpai air-fluid level dan bila
ada air-fluid level dapat menunjukkan abses anaerob atau superinfeksi.
Penyebaran endobronkial bisa menimbulkan gambaran foto thorax yang berupa
kelainan noduler yang berkelompok pada lokasi tertentu paru. Setelah imunitas
selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi
secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi.
Efusi Tuberkulosis merupakan akibat dari reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap antigen-antigen Mycobacterium tuberculose di dalam rongga pleura.
Foto thorax menunjukkan efusi unilateral pada 95% kasus. Pada 50% kasus efusi
Tuberkulosis disertai infiltrat parenkim. 11
1.8. Diagnosis Tuberkulosis
Alur diagnosis TB dibagi sesuai dengan fasilitas yang tersedia: 15

12
Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan
ada riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien
dengan HIV (+) atau tidak diketahui dengan HIV (+)

Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan bakteriologis dengan mikroskop atau Tes Cepat
Molekuler (TCM)

Tidak memiliki akses untuk TCM TB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopik BTA Pemeriksaan TCM TB

(--) (+ + )
(+ -) MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg
Sensitive Indeterminate Resistance

Foto Terapi Antibiotika TB Terkonfirmasi Ulangi TB RR


Toraks Non OAT Bakteorologis Pemeriksaan TCM

Gambaran Tidak mendukung TB; Pengobatan TB Mulai pengobatan TB RO; Foto Toraks
Mendukung Bukan Tb; Cari Lini 1 Lakukan pemeriksaan (Mengikuti
TB kemungkinan penyebab biakan dan uji kepekaan alur yang
penyakit lain OAT Lini 1 dan Lini 2 sama dengan
alur pada hasil
pemeriksaan
mikrokopis
BTA negatif
Ada perbaikan Tidak ada (- -)
klinis perbaikan klinis,
ada faktor risiko
TB Terkonfirmasi TB dan atas
Klinis pertimbangan
Bukan TB; dokter
Cari TB RR; TB Pre; TB XDR
kemungkinan TB MDR XDR
penyebab
penyakit lain

TB Lanjutkan Pengobatan
Terkonfirmasi Pengobatan TB RO
Klinis TB RO dengan
paduan baru

Pengobatan
TB Lini 1

Bagan 2.1. alur diagnosis TB15

13
1.9. Penatalaksanaan
1.9.1. Tahapan Pemberia OAT
Pengobatan Tuberkulosis harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan: 15
Tahap Awal : Pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin
sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal
pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat
menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.
Tahap Lanjutan : pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman
yang masih ada salam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh
dan mencegah kekambuhan. durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Harus di berikan
setiap hari.
Jenis Sifat Efek Samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati, psikosis toksik, gangguang fungsi hati,
kejang
Rifampizin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrotestinal, urine
berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati,
goutartitis
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan
dan pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia,
agranulositosis, trombositopeni
Elambutol (E) Bakteriostatik Ganggua penglihatan, buta warna, neuritis penifer
Tabel.2.2. Obat Anti Tuberkulosis lni pertama 9

14
Tabel.2.3. Dosis obat OATl lini pertama 15
⃰ Pasien berusia diatas 60 tahun tidak mentoleransikan lebih dari 500-700 mg
perhari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10mg/kg pada pasien kelompok
usian ini. Pasien berat badan 50 kg tidak dapat mentoleransikan dosis lebih 500-700
mg perhari.15

Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya menurut Kemenkes RI (2016).
a. .Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
1) Pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis.
2) Pasien Tuberkulosis paru terdiagnosis klinis
3) Tuberkulosis ekstra paru.
Paduan OAT kategori 1 diberikan selama 6 bulan, dibagi menjadi 2 tahapan yaitu 2
bulan tahap awal 4 bulan tahap lanjutan.
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat
Tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
Badan
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 Kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38-54 Kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55-70 Kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
>71 Kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
Tabel.2.4. Dosis Panduan OAT KDT Kategori-1 : 2(RHZE) / 4 (HR) 3

15
Dosis per hari / kali
Jumlah
Tablet Tablet Tablet
Tahap Lama Kaplet hari/ kali
Isoniasid Pirazinami Etambutol
Pengobatan Pengobatan Rifampisin menelan
@ 300 d @ 250
@ 450 mgr obat
mgr @ 500 mgr mgr
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48
Tabel.2.5. Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 1 : 2 HRZE / 4H3R3

b. Kategori 2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang):
1) Pasien kambuh
2) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali
Badan RHZE (150/75/400/275) + S seminggu
RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutanol
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutanol
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin +42 tab Etambutanol
inj.
> 71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin (> do maks) + 5 tab Etambutanol
inj.
Tabel.2.6. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR) 3E3

16
Etambutol
Tablet
Tahap Lama Kaplet Tablet Tablet Tablet Jumlah hari/
Isonisid Streptomisin
pengobatan pengobata Rifampisin Pirazinamid @ 250 @ 400 kali menelan
@ 300 inj.
n @ 450 mg @ 500 mg mg mg obat
mg
Tahap Awal 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 5
(dosis 1 bulan 1 16 3 3 - -
harian 28
Tahap 5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
lanjutan
(dosis 3x
seminggu)
Tabel.2.7. Dosis Panduan OAT Kombipak Kat 2: 2HRZES / HRZE /5H3R3E315

1.9.2. Karateristik OAT Lini Pertama


1.9.2.1. Isoniazid

soniazid adalah salah satu obat pilihan untuk obat lini pertama tuberkulosis.
Fungsinya adalah untuk menghambat produksi dari asam mikolat, komponen
dinding sel penting pada bakteri. Asam mikolat ini menyebabkan bakteri menjadi
resisten terhadap kerusakan kimia dan dehidrasi, sehingga mencegah aktifitas
efektif dari antibiotik hidrofobik. Selain itu, asam mikolat membuat bakteri mampu
tumbuh didalam makrofag, bersembunyi dari sistem imun host. Oleh karena itu
sangat penting memilih asam mikolat sebagai target obat.

a. Mekanisme Obat

Mekanisme kerja utama dari isoniazid adalah dengan berfokus


pada pembentukan berbagai senyawa reaktif yaitu reactive oxygen
species(ROS).20Setelah isoniazid beredar dalam aliran darah, isoniazid akan
berdifusi secara pasif masuk ke dalam tubuh bakteri, yang mana bentuk
tidak aktif dari isoniazid akan diaktifkan oleh MnCl2 20dan enzim katalase-
peroksidase20,21. Enzim ini juga berfungsi untuk melawan kadar pH
rendah ketika terjadi proses oksidatf yang mengubah radikalbebas oksigen
menjadi H2O2di dalam fagosom.21Proses ini juga mengubah isoniazid
menjadi bentuk aktifnya, dimana bentuk aktifnya ini akan berikatan
dengan NADH di sisi aktif protein InhA. Kompleks ini akan mengahmbat
elongasi dari rantai terakhir asam lemak dan karenanya pembentukan asam

17
mikolat dan dinding sel pun terhambat, sehingga juga menyebabkan
deoksiribonucleotida acid (DNA) bakteri rusak, dan kemudian bakteri tersebut
akan mati.20,21Kerja dari isoniazid sangat penting di minggu pertama
pengobatan terutama pada bakteri yang cepat membelah. Pada bakteri
yang lambat tumbuh, obat ini bekerja sebagai bakterisida.

b. Metabolisme Kerja Obat

Isoniazid diabsorbsi di traktus gastrointestinal, setelah diminum


oral. Konsentrasi plasma tertinggi dicapai 1-2 jam setelah konsumsi. Jika
dikonsumsi bersama makanan, maka bioavailabilitasnya akan berkurang.
Sebagian besar beredar di dalam cairan, termasuk serebrospinal, kulit,
sputum, paru, saliva, dan otot. Metabolisme utamanya adalah mengalami
asetilasi di hepar, melewati beberapa proses dan diubah menjadi zat
aktif oleh enzim mikrosomal hepatik. Metabolit aktif ini dapat
menyebabkan hepatotoksisitas.

Isoniazid diekskresikan dalam bentuk utuh dan metabolit melalui


ginjal, dan juga lewat air susu ibu. Selain itu sebagian kecil diekskresi melalui
saliva, sputum, dan feses. Waktu paruh isoniazid bervariasi dari 1-4 jam pada
orang normal, dan memanjang pada gagal ginjal atau gagal hati

1.9.2.2. Rifampicin

Rifampisin adalah salah satu OAT yang paling efektif, bersama dengan
isoniazid, merupakan regimen dasar dari pengobatan tuberkulosis. Rifampisin ini
aktif melawan bakteri yang tumbuh dengan cepat maupun yang tumbuh
dengan lambat.

a. Mekanisme kerja obat


Rifampisin dapat dengan mudah berdifusi masuk menyebrangi
membran sel karena karakteristik lipofiliknya. Aktivitas bakterisidal obat
ini bergantung pada kemampuan obat ini untuk menghambat transkripsi
ribonucleotida acid (RNA).
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan berikatan pada beta subunit dari
RNA Polimerase (RNAP) yang bergantung pada DNA sehingga menghambat

18
transkripsi RNA. Komplek ikatan enzim dan obat ini menghambat inisiasi
pembentukan rantai RNA dan juga elongasinya.
b. Metabolisme Obat

Bioavailabilitas rifampisin diperkirakan mencapai 90-95% karena


bentuknya yang siap diabsorbsi lewat traktus gastrointestinal. Kadar plasma
tertinggi dari rifampisin dicapai setelah 2-4 jam sejak masuk lewat oral.
Konsumsinya bersama makanan akan memperlambat tetapi tidak menurunkan
absorbsi obat. Waktu paruh dari rifampisin adalah 1,5-5 jam dan memanjang pada
kerusakan hati.

Sekitar 60-90% obat berikatan dengan protein plasma dan


didistribusikan ke organ-organ dan cairan tubuh seperti ke paru, hepar,
empedu, dan urin. Dan sebanyak 60-80% obat ini dimetabolisme di hepar.
Sebagian kecil dari obat ini dimetabolisme menjadi formilrifampin yang
memiliki efek bakterisidal 10%. Sekitar 15-30% obat dikeluarkan melalui
ginjal dan hanya 7% dari obat ini yang dibuang lewat urin dalam bentuk
aslinya. Sekitar 60-65% dari obat ini dibuang melalui empedu dan feses.

1.9.2.3. Pyrazinamid

Pirazinamid adalah analog nikotamid yang penting diberikan sebagai OAT


lini pertama bersama isoniazid dan rifampisin untuk pengobatan
tuberkulosis. Pirazinamid membunuh 95% populasi dari mikroorganisme semi
dormant yang hanya aktif pada suasana asam.

a. Mekanisme Kerja

Pirazinamid bekerja secara bakteriostatik. Pirazinamid dalam bentuk


prodrug akan dikonversi menjadi asam pirazinoat oleh enzim piramidase
bakteri. Asam pirazinoat dan analognya 5-kloro-pirazinamid dapat
menghambat sintesis asam lemak dari bakteri.Pirazinamid mengganggu lalu lintas
energi dan transport di membran bakteri. Akumulasi dari asam pirazinoat di
dalam kondisi asam akan mengasamkan sitoplasma dan merusak sel bakteri.

Pirazinamid dapat diabsorbsi dengan baik di traktus gastrointestinal. Rata-


rata waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar maksimal di darah adalah
1,6 jam. Sedangkan waktu paruhnya adalah sekitar 10-20 jam.

19
Pirazinamid dapat didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan,
termasuk hepatobilier, paru, dan ginjal. Pirazinamid juga dapat masuk secara
sempurna ke dalam cairan serebrospinal. Volume total distribusi di tubuh obat ini
mencapai 1,57-1,84l/kg. Kadar obat yang berikatan dengan plasma rendah.
Pirazinamid ini dihidrolisa oleh enzim deamidase mikrosomal menjadi asam
pirazinoat, sebuah metabolit aktif, dan kemudian dihidroksilasi oleh enzim
xanthine oksidase menjadi asam 5-hidropirazinoat. Ekskresi pirazinamid
sebagian besar dalam bentuk metabolit. Dalam 72 jam, sekitar 3% dalam
bentuk pirazinamid yang tetap, 33% asam pirazinoat, dan 36% dalam bentuk
metabolit lain diekskresikan melalui urin.

1.9.2.4. Etambutol

Etambutol adalah agen antimycobacterial yang termasuk dalam


ethylaminobutan. Etambutol efektif bekerja melawan Mycobacterium tuberculosis
tetapi tidak efektif melawan jamur, virus, dan bakteri lain.

a. Mekanisme obat Etambutol


Etambutol bekerja sebagai bakteriostatik melawan bakteri
tuberkulosis dan bakteri yang resisten terhadap agen anti mycobacterial
lainnya. Mekanisme kerja dari etambutol adalah menghambat sintesis
metabolit penting dari metabolisme sel dan multiplikasi bakteri dengan
menghambat pembentukan asam mikolat dan dinding sel. Penghambatan
sintesis dinding sel dilakukan dengan menghambat arabinosyl transferases
yang terlibat dalam sintesis dinding sel. Hal ini kemudian mengakibatkan
permeabilitas dinding sel bakteri meningkat.
b. Metabolisme Obat
Etambutol dapat diabsrobsi dengan baik secara oral. Kadar dalam
plasma tertinggi dapat mencapai 4mg/l dan dicapai dalam 2-4 jam
setelah konsumsi sebanyak 15mg/kgBB. Volume distribusi dapat
mencapai 39% dan berikatan dengan protein plasma sebanyak 25%.
Distribusinya luas ke seluruh tubuh kecuali sistem saraf pusat.
Penggunaan bersama dengan makanan akan mempengaruhi
absorpsinya di traktus gastrointestinal. Kadar dalam darah pada anak-anak
lebih rendah dari pada orang dewasa. Metabolisme obat ini terjadi di hepar,

20
dimana obat ini diubah menjadi bentuk metabolit aldehida tidak aktif dan
asam karboksilat. Ekskresi dari etambutol sebanyak 50-70% melalui ginjal,
sehingga ekskresi obat ini akan lebih lambat pada orang dengan gangguan
ginjal.
1.9.2.5. Streptomisin
Streptomisin berasal dari isolasi Streptomyces griseus, dan
merupakan antibiotik pertama yang sukses digunakan melawan
tuberkulosis. Sayangnya resistensi terhadap streptomisi muncul tidak lama
setelah digunakan karena penggunaannya sebagai monoterapi. Antibiotik
ini termasuk ke dalam kelompok obat aminoglikosida. Penggunaan
streptomisin seringkali diganti dengan penggunaan etambutol, sebab
absorbsi oraldan toksisitas streptomisin lebih buruk daripada etambutol.
a. Mekanisme Kerja Obat

Streptomisin adalah aminoglikosida yang aktif melawan basil aktif


yang sedang tumbuh. Cara kerja dari antibiotik ini adalah dengan menghambat
inisiasi dari translasi untuk sintesis protein. Lebih spesifik, streptomisin
bekerja dengan mengikat subunit 30S dari ribosom pada protein ribosomal
S12 dan rantai rRNA 16 yang dikode gen rpsL dan rrs. Kedua kode gen yang
sering menimbulkan resistensi. Ikatan streptomisin inilah yang kemudian
menghambat pembentukan polipeptida sehingga proses translasi pun
terhambat.

b. Metabolisme Obat
Streptomisin tidak dapat diabsorbsi dengan baik oleh traktus
gastrointestinal, tetapi melalui jalur intramuskular, antibiotik ini dapat
berdifusi dengan baik ke dalam komponen ekstraseluler dari jaringan tubuh
dan mencapai konsentrasi untuk efek bakterisidalnya, terutama pada cavitas
tuberkulosis. Sebagian kecil normalnya masuk ke dalam cairan
serebrospinal, dan biasanya penetrasi ke cairan serebrospinal ini akan
meningkat jika terjadi inflamasi pada selaput otak.32Waktu paruh dari
antibiotik ini adalah 2-3 jam, yang biasanya akan memanjang pada bayi baru
lahir, orang tua, maupun pasien dengan gagal ginjal. Ekskresi dari
streptomisin dalam bentuk utuh dan dikeluarkan melalui urin.

21
2. Drug Induced Hepatis
2.1. Definisi
Drug Induced hepatis (DIH) TB menurut American thoracic Society dan
international DILI expert working group, TB DIH adalah kerusakan hepar akibat obat
anti tuberkulosis. 12
Baru-baru ini, dalam upaya untuk memberikan kriteria yang lebih seragam
untuk diagnosis gambaran klinis dan pelaporan dalam literatur ilmiah, international
DILI Expert Working Group mengusulkan definisi baru untuk kerusakan hati yang
disebabkan oleh obat: peningkatan ALT ≥ 5x ambang batas nilai normal atau
peningkatan nilai ALT ≥ 3 x ambang batas nilai normal dan peningkatan nilai
bersamaan ≥ 2 x ambang batas nilai normal atau peningkatan nilai ALP ≥ 2 x ambang
batas nilai normal dan peningkatan gamma-glutamyl-transferase (γ-GT) secara
bersamaa. 13
2.2. Etiologi
Sulit untuk memperkirakan kejadian hepatotoksisitas karena agen individu
karena mayoritas pasien menggunakan kombinasi obat selama terapi anti-TB.
Sementara isoniazid, rifampisin dan pirazinamid diketahui menyebabkan
hepatotoksisitas, etambutol dan streptomisin dianggap tidak hepatotoksik. Informasi
terkait hepatotoksisitas dari isoniazid (INH), rifampisin dan pirazinamid berasal dari
pengamatan yang dilakukan selama monoterapi untuk TB laten atau ketika obat ini
dikombinasikan dengan obat yang tampaknya tidak hepatotoksik. Penelitian lain di
mana rifampisin telah digunakan sendiri dalam profilaksis dalam pengobatan TB laten
telah menunjukkan risiko DIH yang relatif rendah karena rifampisin. 13
2.3. Faktor Risiko
TB DIH umumnya tidak dapat diprediksi dan terjadi pada sejumlah kecil
pasien, bahkan setelah pasien menerima dosis standar. Ada beberapa faktor yang
berperan dalam kerentanan pasien untuk mengembangkan DIH seperti usia, jenis
kelamin, indeks massa tubuh (BMI), dan genetik seperti status asetilator fenotip
NAT2. Prevalensi DIH jauh lebih tinggi di negara-negara berkembang karena
beberapa faktor seperti penyakit hati akut atau kronis, alkoholisme, kekurangan gizi,
penggunaan obat sembarangan, TB lanjut, dan penyakit kronis lain yang ada bersama.
Obat anti tuberkulosis dapat menyebabkan hepatotoksisitas mulai dari peningkatan

22
sementara enzim hati yang tidak bergejala hingga gagal hati akut. Mortalitas yang
dilaporkan dari DIH setelah pengembangan penyakit kuning bervariasi dari 4%
hingga 12%. Perlu dicatat bahwa frekuensi DIH di berbagai negara sangat bervariasi
dari 2% hingga 39%.13

2.4. Manifestasi klinis


Gejala hepatotoksik biasanya menyerupai gejala hepatitis lainnya
demam, mual, muntah dan anoreksia. Penanda dini dari hepatotoksik adalah
peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum yang terdiri dari SGOT/AST
yang disekresikan secara paralel dengan SGPT/ALT yang merupakan penanda
yang lebih spesifik untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar.13

2.5. . kriteria TB DIH


Kriteria Drug induced hepatis (DIH) menurut kishore adalahah :14
1. nilai fungsi hati dalam batas normal sebelum mendapatkan OAT
2. tidak mengkonsumsi alhokoh dan zat kimia lainnya minimal 10 hari sebelum
pengobatan TB di mulai
3. mendapatkan Rifampicin inh dan pirazinamid dalam dosis normal minimal 5 hari
sebelum ditemukan nilai fungsi hati yang abnormal
4. minum Obat anti tuberkulosis (OAT) kemudian trjadi peningkatan fungsi hati atau
terjadi peningkatan billirubin total > 1,5 mg/dL
5. tidak ada sebab lain yang jelas ketika nilai tes fungsi hati meningkat
6. ketika obat dihentikan nilai fungsi hati normal atau menurun dari nilai yang
sebelumnaya
2.6. Klasifikasi TB DIH
WHO mengklasifikasikan hepatotoksik menjadi 4 gradasi. Grade I
ditandai dengan peningkatan SGPT1,25-2,5 x normal, grade II SGPTmeningkat 2,6-
5 x normal, grade III SGPTmeningkat 5,1-10 x normal dan grade IV bila SGPT
meningkat >10 x normal. Selain disebabkan drug induced hepatitis (DIH) akibat
OAT, gangguan hepar pada penderita TB yang ditandai oleh kadar SGOT& SGPT
yang meningkat dapat disebabkan oleh TB hepatobiliar. TBhepatobilier merupakan
penyebaran dari fokal infeksi TB di paru-paru, diperkirakan terjadi hingga 80%

23
penderita TB paru. TB hepatobilier biasanya ditandai oleh kadar SGOT&
SGPTserum yang meningkat sebelum diberikan pengobatan tanpa disertai gejala-
gejala klinis hepatitis. 13

2.7. Hubungan Obat anti tuberkulosis dengan DIH


Obat Anti TB yang telah diketahui berdasarkan penelitian terkini
mempunyai kemungkinan sebagai DIH adalah Rifampisin, Isoniazide (INH)
pyrazinamid. Dari ke-3 OAT yang mempunyai efek samping hepatotoksik,
rifampisin merupakan merupakan OAT yang mempunyai efek hepatotoksik
paling kecil. Hal ini yang merupakan pertimbangan untuk meningkatkan dosis
rifampisin mengingat semakin meningkatnya kejadian MDR TB.
Rifampisin 85-90% di metabolisme di hati dan metaboli aktifnya
diekskresikan melalui urine dan saluran cerna, bekerja secara sinergis dengan
INH. Pada penderita dengan kelainan hepar akan ditemukan kadar rifampisin
serum yang lebih tinggi. Rifampisin akan menginduksi sistem enzim sitokrom
P-450 yang akan terus berlangsung hingga 7–14 hari setelah obat dihentikan. Efek
hepatotoksik dipengaruhi oleh dosis yang digunakan, dan proses metabolisme obat
dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, lingkungan dalam lambung dan
penyakit hepar.
Tinjauan molekuler yang memungkinkan untuk terjadinya hepatotoksik
pada penggunaan obat anti TB yaitu Rifampisin memiliki jalur utama dengan
mengubah deasetilasi menjadi deasetil rifampicin sehingga terpisah secara
hidrolisis menghasilkan 3-formil rifampisin. Rifampisin dapat menyebabkan
disfungsi hepatoseluler di awal pengobatan, dimana dapat terjadi tanpa
penghentian obat ini. Mekanisme rifampisin menginduksi hepatotoksik belum
diketahui dan tidak dapat diprediksi. Sampai sekarang belum diketahui adanya
metabolit toksik reaktif dari rifampisin. Rifampisin adalah induser kuat sistem
Sitokrom P-450 pada hati dan usus, yang dapat meningkatkan metabolisme dari
senyawa lain. Penggunaan kombinasi rifampisin dan INH telah
dihubungkan dengan peningkatan risiko hepatotoksik. Rifampisin menginduksi
hidrolasi INH, sehingga meningkatkan produksi hydrazine ketika dikombinasikan
dengan INH (terutama pada asetilator lambat) yang dapat lebih meningkatkan
toksisitas dari kombinasi tersebut. Rifampisin dapat menginduksi hepatotoksik
terkait dengan efek meningkatnya Sitokrom pada homeostasis kalsium. Hal

24
ini terjadi melalui stres oksidan, sehingga terjadi peningkatan peroksidasi lipid.
Ketika rifampisin dan isoniazid digunakan bersama-sama, rifampisin dapat
meningkatkan toksisitas isoniazid, karena asetil-isoniazid dari
isoniazid diubah menjadi hidrazin monoacetyl, yang dikatalisis oleh
Sitokroms. Obat anti TB kedua yang diduga juga dapat mengakibatkan hepatotoksik
adalah INH. Metabolisme utama INH adalah asetilasi oleh enzim n-
asetiltransferase 2 (NAT2) dan sitokrom 2E1 dan menghasilkan hepatotoksin.
Hidrazin merupakan penyebab hepatotoksisitas pada penggunaan INH.
Penelitian pada mikrosom liver tikus menunjukkan bahwa terbentuk radikal
NO2 selama proses metabolisme hidrazin secara oksidasi, yang kemungkinan
merupakan penyebab utama hepatotoksisitas. Penelitian menunjukkan bahwa
Drug Induced Hepatik (DIH) lebih mudah terjadi dan dapat menjadi parah pada
kelompok asetilator lambat. Pada asetilator lambat lebih banyak INH yang
tertinggal untuk dihidrolisis langsung menjadi hidrazin serta terakumulasi sebagai
asetil hidrazin yang berubah menjadi hidrazin.
Pirazinamid (PZA) mungkin memperlihatkan hepatotoksisitas yang
idiosinkratis dan tergantung dosis. Beberapa dekade yang lalu, dosis harian
pirazinamid sebanyak 40-50 mg/kg dapat menyebabkan hepatotoksik.
Pirazinamid bekerja dengan mengubah kadar nikotinamid acetil
dehydrogenase pada hati tikus, yang mungkin menghasilkan radikal bebas.
Cedera sel hati yang terjadi mungkin karena mekanisme obat yang sinergis
antara INH dengan PZA. Hal ini karena ada persamaan beberapa struktur
molekulnya. Pirazinamid mungkin menyebabkan reaksi hipersensitivitas
dengan eosinophilia dan cedera sel hati atau mungkin hepatitis granulomatous
2.8. Penatalaksanaan TB DIH
Penatalaksanaan TB DIH menurut Konsesnsus PDPI 15
Tatalaksana hepatitis Imbas obat :
1. Bila di temukan gejala klinis yaitu ikterik, gejala mual/muntah, maka OAT
dihentikan.
2. Bila ditemukan gejala klinis disertai peningkatan SGOT dan / SGPT ≥ 3 kali, maka
OAT dihentikan
3. Bila tidak ditemukan gejala klinis, OAT hentikan apabila billirubin > , atau SGOT,
SGPT ≥ 5 kali. Apabila SGOT, SGPT ≥ 3 kali, maka pengobatan dilanjutkan, dengan
pengawasan.

25
Cara pemberian OAT yang dianjurkan :
Hentikan OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ). Setelah itu, monitor gejala
klinis dan laboratorium. Bila gejala klinis dan laboratorium kembali normal
(billirubin, SGOT, SGPT) maka mulai diberikan rifampicin dosis naik perlahan
sampai dosis penuh, bila gejala klinis dan laboratorium normal, tambahkan INH
dengan dosis naik perlahan sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Pasuan
OAT dapat diberikan secara individual setelah melakukan

26
BAB III

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Ny. Misnari

Umur : 53 tahun

Alamat : Rang Perang Laok Proppo Pamekasan

Pekerjaan : Petani

Status perkawinan : menikah

Agama : islam

Tanggal MRS : 20-01-2020

No RM : 11818-2019

2. Anamnesa
Keluhan Utama : sesak
Riwayat Penyakit Sekarang : sesak sejak 2 minggu yang lalu. Sesak tidak di
pengaruhi aktivitas, tidak di pengaruhi cuaca dan
alergen. Sesak tidak di pengaruhi posisi tidur. Batuk
sejak 5 bulan yang lalu. Berdahak (+) berwarna bening.
Darah (-) Nanah (-). Mual sejak 1 minggu yang alu.
Muntah (-) nyeri luh hati (+) keringat dingin malam hari
(+) Berat badan menurun (+) nafsu makan menurun.

Riwayat Penyakit Dahulu : TB terdiagnosa 2 minggu yll (kasus baru), Asma (-),
Jantung (-), PPOK (-), penyakit kuning sebelumnya (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada keluarga yang sakit seperti ini, tidak ada
keluarga yang mengeluh batuk lama, Sirosis hepatis (-),
sakit kuning (-)
Riwayat Pengobatan : Obat Anti Tuberkulosis kategori 1 (FDC) 3 tablet

27
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Penyakit Sosial : merokok (-), 1 kali menikah. Tatto (-) . Riwayat
tranfusi darah (-) narkoba (-)
3. Pemeriksaan Fisik
Kedan Umum : sesak ringan
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 456
Tanda tanda Vital : TD : 120/80 N : 105 x/m reguler kuat
RR : 28 x/m S : 36,7 C
SpO2 : 93%
Kepala/Leher : anemis - / icterus - / cyanosis - / dyspnea –
Defiasi trakea (-), pembesaran Kelenjar Getah Bening(-)
pembesaran kelenjar thyroid (-)

Thorax :

Inspeksi : bentuk dada Normal, pegerakan dinding dada simetris,


penggunaan otot bantu nafas (+), ruang ICS normal.

Palpasi : trakea terletak di tengah, deviasi (-). Ictus cordis teraba


di ICS V Mid clavicla line sinistra, gerak nafas simetris.

Perkusi : sonor pada lapang pau dextra sinistra

Auskultas : s1/s2 tunggal murumur (-) gallop (-) Vesikuler ,

rhongki basah dan kasar , wheezing -/-


bronkofoni -/-

Abdomen

Inspeksi : Flat (+) distendead (-) skar(-) stoma(-) caput


medusa(-)

Auskultasi : Bising Usus (+) Normal, Bruit (-)

28
Palpasi : soefl, Nyeri tekan (+) pada epigastrum et
hypokondrium dextra et sinistra, tidak teraba massa.
Tidak teraba pembesaran organ (hepatomegaly,
splenomegaly)

Perkusi : tympani

Ekstremitas : Akral Hangat Kering Merah, Oedem (-)

4. Pemeriksaan Penunjang
4.1. Labortorium :

HB 12,8 g/dl L : 13-18 P : 11-16


LED 16 mm/jam L : 0-15 P : 0-20
leukosit 5.300 cmm 4.000-11.000
diffcount -/-/-/73/14/13
hematokrit 43% L 40-54% P : 34-47%
trombosit 425.000/cmm 150.000-450.000
SGOT 391 U/L P < 31 L < 37
SGPT 293 U/L P < 31 L < 40
Billirubin direk 1,63 mg/dL < 0,25
Billirubin total 1,89 mg/dL < 10,0
Gula Darah Sewaktu 153 mg/dL <125
TCM MTB detected
medium

29
4.2. Foto thorax :

Foto thorax PA :
Defiasi trakea. Tampak bercak infiltrat pada pada lapang paru dextra et sinistra apex
dan 1/3 medial. Tampak garis-garis fibrosis. Cor CTR < 50%

5. Diagnosis : TB Paru On therapy 2 minggu + Drug Induced Hepatis ec


OAT
6. Diagnosis Banding :
a. Hepatitis virus akut
b. Kholesititis
c. Pankreatitis
d. Asma
e. SOPT
f. PPOK

30
7. Terapi :
a. IGD : O2 nasal 4 lpm
Infus NaCl 0,9 % 14 tpm
Injeksi Omeprazole 40 mg
Konsul dr. Mukhlis, Sp.P

b. Advice dr. Mukhlis, Sp.P : O2 nasal 3 lpm


Infus NaCL 0,9% tpm
Injeksi Santagesik 3x 1000 mg
Inj omeprazole 1 x 40 mg
Curcuma 3x1 tablet
OAT STOP

8. Perkembangan Pasien :

31
22 januari 2020

S : sesak berkurang, mual (-) nyeri uluh hati (-)

O : KU : sesak ringan
BAB IV
T : 110/70
RESUME
N : 90 x/m Sesak sejak 2 minggu yang

RR : 24 x/m lalu. Sesak tidak di


pengaruhi aktivitas tidak di
S : 36 C
pengaruhi cuaca dan
a/i/c/d -/+/-/+ alergen. Sesak tidak di
pengaruhi posisi tidur.
thorax cor s1/s2 tunggal murmur (-) gallop (-)
Batuk sejak 5 bulan yang
pulmo vesi -+++ / - +++ rhongki +--/+-- wh -/- lalu. Berdahak (+) berwarna

abdomen flat BU (+) N nyeri tekan (-) soefl bening. Darah (-) Nanah (-).
Mual sejak 1 minggu yang
ekstremitas AHKM oedem (-)
alu. Muntah (-) nyeri luh hati (+)
A : TB Paru on terapi + DIH keringat dingin malam hari
(+) Berat badan menurun (+)
P : o2 nasal bila sesak
nafsu makan menurun.
Inf PZ 14 tpm Secara teori pasien TB on
Injeksi omeprazole 1x40 mg therapi+ drug induced
hepatis mempunyai gejala
Curcuma 3x1 tablet
klinis batuk lebih dari 2
OAT di stop minggu, kerigat dingin
malam berat badan turun
23 januari 2020
nafsu makan menurun serta
S : sesak (-), mual (-) nyeri uluh hati (-)
dengan keluhan tambahan
O : KU : cukup sesak. Sedangkan gangguan
hepatik secara teori mual
T : 110/70
muntah terkadan disertai
N : 88 x/m nyeri perut kanan atas dan

RR : 20 x/m jaundice atau ikterus.


Anamnesa TB di tegakkan.
S : 36 C
Pada pasien ini riwayat
a/i/c/d -/-/-/- mengkonsumsi obat TB 2

thorax cor s1/s2 tunggal murmur (-) gallop (-)

pulmo vesi -+++ / - +++ rhongki32+--/+-- wh -/-

abdomen flat BU (+) N nyeri tekan (-) soefl


minggu yang lalu. Keluhan hepatik di rasakan setelah pengobatan Tuberkulosis selama 2
minggu.

Pada pemeriksaan fisik di dapatkan pasien tampak sesak ringan denga tanda vital tensi
110/70 nadi 105 x/menit RR 28 x/m suhu 36 C SpO2 93%, skelra ikterik pada pemeriksaan
thorax di temukan rhogki basah kasar pada apex paru dextra dan sinistra. Pada abdomen di
temukan nyeri tekan epigastrium dan hypoondrium dextra. Pada pemeriksaan fisik sesua
dengan TB ontherapi dan Drug induced Hepatis. Dimana pada pasien TB paru juga bisa di
tandai denga RR karena sesak dan nadi meningkat. Selain itu rhongki pada apex paru juga
sebagai tanda diagnosis TB paru. Sklera ikterik dan nyeri tekan hypokondrium dextra sesua
dengan teori sign drug induced hepatis.

Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan oto


thorax. Pada pemeriksaan lab test TCM detected medium, dimana pasien ini postif
mycobacterium tuberculosa dan di lakukan pengobatan lini pertama sesuai alur diagnosis.
Selain itu, terdapat peningkatan test fungsi liver dimana nilai SGOT 391 (meningkat 12 kali
dari nilai normal) dan SGPT 293 (9 kali dari nilai normal) pada keadaan ini pasien drug
induced hepatis karena OAT grade IV. Pemeriksaan billirubin direct dan total untuk
mengetahui kerusakan hepar pada pre hepatik intra hepatik atau post hepatik. Pada
pemeriksaan foto thorax di dapatkan infiltrat dan garis fibrosis pada lapang paru dextra an
sinistra 1/3 apex. ada beberapa pemeriksaan yang belum dilakukan pada pasien ini. Yang
bertujuan untuk menyingkirkan differensial diagnosis. Seperti USG untuk mengetahui
apakan kelainan hepar pada pasien diakibatkan oleh obat anti tuberkulosis atau karena
kelainan hepar yang lain seperti sirosis hepatis, juga bisa menentukan karena cholesistitis
atau pankreatitis. Anti HAV untuk menyingkirkan hepatitis virus A. HbSAg untuk
menyingkirkan hepatitis virus B.

Terapi pada TB on therapi menurut PDPI yaitu penghentian Obat anti


tuberkulosissjika pasien ikterus atau di tandai dengan mual muntah, kelainan laboratorium
kenaikan billirubin meningkat lebih dari 2 mg/dL, SGOT SGPT meningkat lebih dari 5 kali.
Pasien ini memasuki kriteria untuk menghentikan pengobatan menurut PDPI. Sedangkan
menurut kemnterian kesehatan Indoenesia dengan gejala hepatoksik, hrus menghentikan
OAT. OAT yang dihentikan adalah yang bersifat hepatotoksik yaitu rifampicyn inh
piracynamid.

33
OAT dapat di lanjutkan menurut PDPI ketika klinis, billirubin, SGOT SGPT kembali normal.
Di mulai dengan desentisasi inh sampai dengan dosis maksimal lalu monitor. Apabila klinis
dan laboratorium normal setelah dosis inh maksimal lanjutkan desentissi rifampicin sampai
dengan dosis maksimal .

34
Daftar Psutaka
1. WHO, 2017. Global Tuberculosis Report 2017, Jenewa. Diakses 12 maret 2020
2. Kementerian Kesehatan RI, 2018. National Strategic Plan of Tuberculosis Control
2016-2020, Jakarta.
3. Kementerian Kesehatan RI, 2016. Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-2015, Jakarta.
4. Dwi Diah lestari. 2019. “Physical Environmental Factors and Its Association with the
Existence of Mycobacterium Tuberculosis: A Study in The Working Region of Perak
Timur Public Health Center” Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol 11 No 1. http://e-
journal.unair.ac.id/JKL . Diakses 12 Maret 2019
5. Rifa’i Ahmad. 2015.”Incidence and Clinical Features of Anti Tuberculosis Drug
Induced Liver Injury (ATLI) in Saiful Anwar Hospital Malang. http://jkb.ub.ac.id. Vil
28 No 3. Diakses 12 Maret 2019
6. Dinas Kesehatan Kota Riau. 2015. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Riau.
Media Center Dinas Kesehatan Riau. http://dinkesriau.net/berita-765-pedoman-teknis-
penilaian-rumahsehat.html . Diakses 12 maret 2020
7. Widoyono, 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasan. Jakarta: Erlangga
8. Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
9. Kementerian kesehatan RI. 2016. Pedoman Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta
10. Kemenkes RI. .2017. Petunjuk Teknis Pemeriksaan TB Menggunakan Tes
Cepat Molekuler. Jakarta
11. Madjawati Ana.2010. “Diagnostic Test for Chest Radiography in Clinical Lung
Tuberculose Patients” https://journal.umy.ac.id/index.php/mm/article/view/1582. Vol
10 No 2. Diakses 12 Maret 2020.
12. Iftikhar N,K ,et all.2015. antituberculosis drug-induced Liver Injur : “ An Ignored
fact, Asesment of Frequency, Patterns, Severity and Risk Factors.Open Journal of
Gastroenterology. Vol 5 No173-184.
13. Marroe G et al .2017. drug induced Liven Injury : the diagnosis is not easy but always
to keep mind. New Pubmed. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28379587. Vol 1
No 122-134.
14. Kishore PV et al. 2007. Drug Induced Hepatis with Anti tuberkular Chemoterapy :
challenges and Dificult in Treatment. Kathamandu University Medical Journal, Vol 5
No 18.
15. Perhimpunan Doketr Paru Indonesia. 2020. Penemuan Pengendalian TB di Indonesia.
Surabaya.
16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2014. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta. Kemenkes RI

35

Anda mungkin juga menyukai