Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Dosen Pengampuh:
Disusun Oleh:
Nama : HADIANI
NIM : L1C018031
Fakultas&Prodi : Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Prodi
Sosiologi
Semester : semester 5
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan tugas Sosiologi Pendidikan dengan tepat waktu.
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos
sebagai dosen pengampuh Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan yang telah memberikan
kesempatan untuk menyusun tugas ini, dan berbagai pihak yang telah membantu dalam
menyususn tugas ini. Saya menyadari bahwa tugas ini jauh dari kata sempurna, kritik dan
saran yang membangun tentu saya terima.
Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat kepada semua kalangan
masyarakat dan menambah wawasan bagi para pembaca yang hendak mendalami
pengetahuan tentang sosiologi pendidikan.
Nama: HADIANI
NIM: L1C018031
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
3
BAB I
4
pelaksanaan nilai-nilai (Driyakara, 1980:18). Dalam Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas tahun 2003) dinyatakan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengembalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Undang-Undang
Sisdiknas, 2003:2). Teori struktural fungsional melihat masyarakat sebagai sebuah
keseluruhan sistem yang bekerja untuk menciptakan tatanan dan stabilitas sosial. Teori ini
sering disebut juga perspektif fungsionalisme, dicetuskan oleh Emile Durkheim. Durkheim
banyak mengkaji tentang tatanan sosial dan bagaimana masyarakat dapat hidup
harmonis. Fungsionalisme fokus pada struktur sosial yang levelnya makro. Beberapa
tokoh sosiologi yang terpengaruh oleh teori fungsionalisme Durkheim diantaranya, Talcott
Parsons dan Robert K. Merton.
Teori fungsional adalah faham positivism yang berasumsi sesuatu dapat
diobservasikan dan diukur secara empiris (aliran ini di pengaruhi oleh ilmu-ilmu dalam dan
eksak). mereka berpendapat bahwa fakta sosial bersifat objektif yang efeknya dapat
diobservasi. Dan bukan sebagai tujuan praksis. Analisa teri funsional bertujuan untuk
menmukan hukum-hukum universal dan bukan mencari keunikan. Dengan demikian teori
fungsional berhadapan dengan cakupan populasi yang sangat luas, sehingga tidak
mungkin untuk mengambil secara keseluruhan sebagai sumber data. Untuk menkaji
secara realitas universal dapat diambil sejumlah sampel yang mewakili. Dengan kata lain
keterwkilan menjadi sangat penting. Kajian fungsional menekankan upaya menemukan
hubungan kausal dan korelasi antar fenomena, maka metode penelitian ini mengarah
kepada pemekaian tehnik kuantitatif. Dengan sendirinya, metode survey lebih
memungkinkan penelitian mencari penjelasan korelasi antar fenomena, dan juga metode
eksperimen menjadi penguji hubungan kausalitas antar fenomena. Kedua metode tersebut
menjadi popular di mata para eksponen teori structural fungsional.
Dalam penelitian survey maupun eksperimen, penelitian yang beroperasidalam
ranah pengetahuan nomotetik ini akan merasa sangat terbantu dengan dukungan simulasi
computer. Teknik reduksi data, pembuatan sekala, dan analisa static. Hal itu sangat
sangat diperlukan dalam penelitian kuantitatif baik dari survey maupun eksperimen yang
menghendaki pengukuran yang tepat. Dapat mengarah kepada temuan yang memiliki
validasi eksternal maupun internal, akurasi dan tingkat konstan nilai atau nilai reabilitas
5
yang tinggi. Teknis ini dilkukan dengan menentukan hipotesis terlebih dahulu, jika hal itu
dilakukan dilakukan dengan baik, maka penelitian structural funsional akan dapat
melakukan verivikasi data ked an dari lapangan.
Para penganut pandangan structural fungsional percaya bahwa pendidikan dapat
digunakan sebagai jembatan untuk menciptakan tertib sosial. Pendidikan dijadikan
sebagai media sosialisasi kepada generasi muda untuk mendapatkan pengetahuan,
perubahan perilaku dan penguasaan tata nilai yang diperlukan sebagai anggota
masyarakat.
Auguste Comte (1798-1857) yang dikenal sebagai bapak sosiologi yang
memelopori filsafat positivistic, berpendapat bahwa pengetahuan dan masyarakat dalam
proses transisi secara evolusi. Tugas sosiologi disini untuk memahami faktor-faktor yang
diperlukan dalam evolusi masyarakat. Semuanya itu nantinya bertujuan untuk
menciptakan tertib sosial yang baru. Pendidikan lah yang digunakan sebagai tempat untuk
mengembangkan tradisi pengetahuan positivistic, sehingga siswa dapat
berpikir positive sehingga segala sesuatu dapat dijelaskan dengan sebab-akibat.Evolusi
tertib social melalui tiga tahap yaitu; tahap teologis, tahap metafisik dan tahap ilmiah.
Comte percaya bahwa masyarakat selalu tumbuh melalui tiga tahap sesuai dengan tingkat
kompleksitas masyarakat.
Namun dalam perkembangannya perspektif structural fungsionalis mengalami
kemerosotan. Colomny (1990) menyimpulkan bahwa teori fungsional telah berubah
menjadi tradisi. Istilah Struktural Fungsional dalam teorinya menekankan pada keteraturan
(orde). Dalam teori ini, masyarakat dipandang sebagai suatu system social (social system)
yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Teori ini mempunyai asumsi bahwa setiap tatanan (struktur) dalam system sosial akan
berfungsi pada yang lain, sehingga bila fungsional yang tidak ada, maka struktur itu tidak
akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Semua tatanan adalah fungsional bagi
suatu masyarakat. Dalam arti demikian, maka teori ini cenderung memusatkan kajiannya
pada fungsi dari suatu fakta social (social fact) terhadap fakta social lain.
Masyarakat adalah suatu system yang secara keseluruhan terdiri dari bagian-
bagian yang saling tergantung. Keseluruhan system yang utuh menentukan bagian-
bagian. Artinya, bagian yang satu tidak dipahami secara parsial dan terpisah kecuali
dengan mempertahankan hubungan dengan system keseluruhan yang lebih luas.
6
• Bagian-bagian harus dipahami dalam kaitannya dengan fungsinya terhadap
keseimbangan sistem keseluruhan, sehingga bagian-bagian tersebut menunjukkan gejala
saling tergantung dan saling mendukung untuk memelihara keutuhan system.
• Tiap-tiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat
dan mantap, berintegrasi satu sama lain dengan baik. Orang lebih banyak bekerja sama
dari pada menentang, biarpun telah terjadi pergantian dari pemerintah yang lama ke yang
baru.
• Tiap-tiap masyarakat mempunyai fungsi dalam rangka mewujudkan ketahanan dan
kelestarian sistem. Hal ini karena dilatarbelakangi oleh suatu kesesuaian faham
(consensus) diantara anggotanya mengenai nilai-nilai tertentu.
Comte berpendapat bahwa sosiologi adalah studi tentang strata sosial (struktur)
dan dinamika sosial (proses/fungsi). Didalam membahas struktur masyarakat disebutkan
bahwa masyarakat adalah organisme hidup. Fungsionalisme Struktural tidak hanya
berlandaskan pada asumsi-asumsi tertentu tentang keteraturan masyarakat, tetapi juga
memantulkan asumsi-asumsi tertentu tantang hakikat manusia. Didalam fungsionalisme,
manusia diperlakukan sebagai abstraksi yang menduduki status dan peranan yang
membentuk lembaga-lembaga atau struktur-struktur sosial. Didalam perwujudannya yang
ekstrim, fungsionalisme struktural secara implisit memperlakukan manusia sebagai pelaku
yang memainkan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, sesuai dengan
norma-norma atau aturan-aturan masyarakat. Didalam tradisi pemikiran Durkheim untuk
menghindari reduksionisme (fenomena alamiah yang diciutkan dalam suatu hal yang lebih
kecil)
psikologis, para anggota masyarakat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh
norma-norma dan lembaga-lembaga yang memelihara norma-norma itu.
Parsons melihat masyarakat adalah sistem sosial yang dilihat secara total.
Bilamana sistem sosial sebagai sebuah sistem parsial, maka masyarakat itu dapat berupa
setiap jumlah dari sekian banyak sistem yang kecil-kecil, misalnya keluarga, sistem
pendidikan, dan lembaga-lembaga keagamaan.
Kita dapat menghubungkan individu dengan sistem sosial dan menganalisanya melalui
konsep status (struktur) dan peranan (fungsi). Status adalah kedudukan dalam sistem
sosial, seperti guru, ibu , atau presiden, dan peranan adalah perilaku yang diharapkan
atau perilaku normatif yang melekat pada status guru, ibu, atau presiden itu. Dengan kata
lain dalam sistem sosial, individu menduduki suatu tempat (status), dan bertindak
7
(peranan) sesuai dengan norma atau aturan-aturan yang dibuat oleh sistem. Misalnya,
status sebagai seorang suami mengandung peranan normatif yakni mencari nafkah yang
baik. Peranan sebagai suami adalah statusnya sebagai suami dari istri.
8
fungsionalisme, manusia diperlakukan sebagai abstaksi yang menduduki status dan
peranan yang membentuk lembaga-lembaga atau struktur sosial.
Didalam perwujudanya yang ekstrim, fungsionalisme struktural secara implisit
memperlakukan manusia sebagai pelaku yang memainkan ketentuan-ketentuan yang
telah dirancang sebelumnya, sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan masyarakat.
Di dalam tradisi pemikiran Durkheim untuk menghindari reduksionisme, yaitu fenomena
alamiah yang diciutkan dalam suatu hal yang lebih kecil (Dahlan, 2001:659). Psikologis
para nggota masyarakat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh norma-norma dan
lembaga-lembaga yang memelihara norma-norma itu (Poloma, 2007:43). Kita dapat
menghubungkan individu dengan sistem sosial dan menganalisisnya melalui konsep
status (stuktur) dan peran (fungsi). Status adalah kedudukan dalam sistem sosial (Poloma,
2007:171). Peran pendidikan dalam teori struktural fungsional antara lain adalah:
a) Pendidikan dalam peranan kelompok. Peranan kelompok yang ada diharapkan
dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhan sesorang, hal ini akan membiasakan
kebutuhan dan kepentingan serta mendekatkan harapan para anggota. Peristiwa
ini diharapkan dapt menjadikan suatu asosiasi atau lapiran, strata maupun struktur
masyarakat, baik secara kasta, golongan, statifikasi, kedaerahan, kelompok dan
lain sebagainya di lingkungan masyarakata tertentu.
b) Pendidikan dalam masyarakat.
9
Ada beberapa suku yang hidup dalam masayarakat tertentu, masing-masing dari
masayarakat itu menunjukkan dan merasakan adanya ikatan suatu geografis maupun
kebudayaan tertentu yang senada dan berlaku secara turun menurun serta para
anggotanya dilahirkan, dikembangkan dan bertahan dalam kelngsungan hidupnya
(viabilitas) persilangan-persilangan yang terjadi akan mewujudkan rasa kedaerahan.
Kelas-kelas sosial merasakan juga adanya ikatan, tujuan, tuntutan, gerakan maupun
jenjang, mereka akan mengadakan persilangan antara masing-masing keals dan akan
mewujudkan segmentasi maupun pembentukan bagian yang semakin besar, dalam hal ini
berbentuk lapisan masyarakat dan memupunyai pengaruh terhadap kelangsungan hidup
masyarakat.
Individu dalam masyarakat yang telah mencukupi umur haruslah bekerja sesuai
dengan bidang dan kemampuan masing-masing. Kenyataan ini menunjukkan interaksi
antar sesama yang mempunyai status pekerjaan yang sama atau mirip sehingga dapat
menimbulkan pertukaran pengalaman, penegetahuan, pikiran serta gagasan-gagasan
penting. Persilangan-persilangan status pekerja/pekerjaan akan melahirkan jenjang
pekerjaan yang lebih besar dalam masyarakat (Kreimers, 1984:33).
10
3. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat
4. Adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf
lainya, termasuk siswa)
5. Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai dengan tuntutan
IPTEK
6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek
akademik dan administrative, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan
dan atau perbaikan mutu
7. Adanya komunikasi dan dukungan insentif dan orang tua siswa dan masyarakat
lainya.
11
BAB II
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KONFLIK
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia
menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup,
terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai
kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis,
kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.
Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness)
dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap
terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong
terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum
proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis
dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat
mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan
konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan
selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah
mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga
melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga
membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini
menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan
subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan
sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam
masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial
disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu,
12
masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu
ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
13
Memutuskan hubungan antara organisasi atau struktur sekolah dan ekonomi
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa kelas bawah tidak akan
sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas, sebagai misal
pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah dimenegrti oleh klas
bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan. Kedua, dalam realitasnya
klas bawah tidak akan semudah memperoleh pendidikan dibading klas menengah yang
dengan gampang tanpa alih-alih taggung jawab lain dalam mempeolehnya. Ketiga,
realitas Negara bahwa segala pengetahuan ditentukan oleh penguasa, karenanya klas
proletar yang notabenya sebagai objek dari kebijakan mendapatkan keilmuan tidak sesuai
14
dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan bukan termasuk bukan bagain dari
keinginan siswa dan keahliannya.
15
BAB III
Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu
komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi
simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan
cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40). Interaksi simbolik
menurut perspektif interaksional, merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi
komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana,
perspektif ini sangat menonjolkan keagungan dan maha karya nilai individu diatas
pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di
dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya,
dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada
akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap
individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari
perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik. Teori interaksi simbolik
menekankan pada hubungan antara symbol dan interaksi, serta inti dari pandangan
pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini
yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep
sosiologi.
16
Implikasi dari teori interaksi simbolik dapat dijelaskan dari beberapa teori atau ilmu dan
metodologi berikut ini, antara lain: Teori Sosiologikal Modern (Modern Sociological Theory)
menurut Francis Abraham (1982) dalam Soeprapto (2007), dimana teori ini menjabarkan
interaksi simbolik sebagai perspektif yang bersifat sosial-psikologis. Teori sosiologikal
modern menekankan pada struktur sosial, bentuk konkret dari perilaku individu, bersifat
dugaan, pembentukan sifat-sifat batin, dan menekankan pada interaksi simbolik yang
memfokuskan diri pada hakekat interaksi. Teori sosiologikal modern juga mengamati pola-
pola yang dinamis dari suatu tindakan yang dilakukan oleh hubungan sosial, dan
menjadikan interaksi itu sebagai unit utama analisis, serta meletakkan sikap-sikap dari
individu yang diamati sebagai latar belakang analisis. Perspektif interaksional
(Interactionist perspective) merupakan salah satu implikasi lain dari interaksi simbolik,
dimana dalam mempelajari interaksi sosial yang ada perlu digunakan pendekatan tertentu,
yang lebih kita kenal sebagai perspektif interaksional (Hendariningrum. 2009). Perspektif
ini menekankan pada pendekatan untuk mempelajari lebih jauh dari interaksi sosial
masyarakat, dan mengacu dari penggunaan simbol-simbol yang pada akhirnya akan
dimaknai secara kesepakatan bersama oleh masyarakat dalam interaksi sosial mereka.
17
pada akhirnya berdampak pada konsep-konsep seperti I, Me, Self, Role, dan lain
sebagainya menjadi bias dan kabur (tidak jelas).
Ciri khas dari interaksi simbolik terletak pada penekanan manusia dalam proses saling
menterjemahkan, dan saling mendefinisikan tindakannya, tidak dibuat secara langsung
antara stimulus-response, tetapi didasari pada pemahaman makna yang diberikan
terhadap tindakan orang lain melalui penggunaan simbol-simbol, interpretasi, dan pada
akhirnya tiap individu tersebut akan berusaha saling memahami maksud dan tindakan
masingmasing, untuk mencapai kesepakatan bersama.
18
Seseorang memerlukan bahasa untuk berpikir dan berinteraksi secara simbolik. Bahasa
merupakan software untuk menjalankan mind. Penganut interaksionisme simbolik
menyatakan bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada
konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi
anggota komunitas. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah
bagian dari diri yang tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak
dalam the looking-glass dari reaksi orang lain. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi
simbolik yang terus menerus mulai dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan
seterusnya. Oleh karena itu, seseorang membutuhkan komunitas untuk mendapatkan
konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized other, yaitu berbagai hal (orang,
obyek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam
komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang individu. Baik manusia
dan struktur social dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif
jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional. Disisi ini
masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi,
namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah
sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang
selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka lebih mudah memahami
fenomena sosial melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori
interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertin
dak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang
lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.
19
behaviorisme psikologi. Teori Interaksonalisme simbolik ini merupakan sisi lain dari
pandangan yang melihat individu sebagai produk yang ditentukan oleh masyarakat.
Interaksonalisme simbolik berasal dari pemikiran Weberian, yang bertolak dari kegiatan
interpretif terhadap subjek individu.Teori interaksonalisme simbolik menggunakan
perspektif pendekatan fenomenologi yang menempatan bahwa kesadaran manusia dan
subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial.Interaksonalisme simbolik dalam
sosiologi berfokus pada individu, dengan demikian berusaha menganalisis interaksi antara
individu pada tataran mikro.Secara garis besar Interaksonalisme simbolik oleh Deddy
Mulyana (2001: 71-73), menjadi : Pertama, individu merespons suatu situasi khas yang
bernama situasi simbolik. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial karena makna
tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
20
BAB IV
Pada teori strukturasi, isu-isu yang menjadi perhatian utama adalah yang
berhubungan dengan hakikat tidakan sosial dan tindakan itu sendiri, bagaimana interaksi
itu dikonseptualisasikan dan hubungannya dengan lembaga-lembaga kemudian
memahami konotasi-konotasi praktis analisis sosial. Maksudnya, focus pada pembahasan
ini adalah usaha agency manusia sekaligus lembaga-lembaga sosial (Giddens, 2004:xx).
Menurut teori strukturasi, bukanlah pengalaman actor individual atau bentuk-bentuk
kesatuan sosial tertentu, melainkan praktik social yang diatur melintasi ruang dan waktu.
(Giddens, dalam Ritzer, 2003:507). Tampak sekali bahwa maksud dari teori strukturasi ini
adalah berusaha untuk mengintegrasikan antara agen dengan struktur. Hubungan mereka
bukanlah sebuah hubungan apa yang mempengaruhi apa maupun apa dipengaruhi apa.
Namun, strukturasi didasarkan pada proposisi bahwa struktur itu selalu membebaskan
dan mengekang (enabling dan constraining),begitu pula dengan agen, agensi dan
kekuasaan.
Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah proses mengambilkan dan meniru
beragam sistem sosial. Dengan kata lain, tindakan manusia adalah sebuah proses
memproduksi dan mereproduksi sistem-sistem sosial yang beraneka ragam. Interaksi
antar individu dapat menciptakan struktur yang memiliki range dari masyarakat yang lebih
besar dan institusi budaya yang lebih kecil yang masuk dalam hubungan individu itu
sendiri. Individu yang menjadi komunikator bertindak secara strategis berdasarkan pada
peraturan untuk meraih tujuan mereka dan tanpa sadar menciptakan struktur baru yang
21
mempengaruhi aksi selanjutnya. Hal ini karena pada saat individu itu bertindak dalam
rangka memenuhi kebutuhannya, tindakan tersebut menghasilkan konsekuensi yang tidak
diinginkan (unintended consequences) yang memapankan suatu struktur sosial dan
mempengaruhi tindakan individu itu selanjutnya.
Dalam penerapan konsep utama teori ini, lebih baik jika dimulai dengan
pembahasan tentang pembagian pembagian tentang pembagian pembagian yang telah
memisahkan fungsinalisme dan strutulisme di satu sisi dengan hermeutika dan sisi yang
lain dengan berbagai bentuk sosiologi interpretative. Fungsionalisme dan strukturalisme
memiliki beberapa kemiripan yang jelas, meski ada pertentanga yang menyolok di antara
kedua paham tersebut.
22
pencapaian tujuan pendidikan. Keunikan setiap anak didik sudah sepantasnya dipandang
sebagai sesuatu kelebihan yang dimiliki dalam upayanya menjadi seorang agen sosial.
Kesimpulan
Pendidikan dalam perspektif teori fungsional structural. Teori fungsional adalah faham
positivism yang berasumsi sesuatu dapat diobservasikan dan diukur secara empiris (aliran
ini di pengaruhi oleh ilmu-ilmu dalam dan eksak). mereka berpendapat bahwa fakta sosial
bersifat objektif yang efeknya dapat diobservasi. Dalam penelitian survey maupun
eksperimen, penelitian yang beroperasidalam ranah pengetahuan nomotetik ini akan
merasa sangat terbantu dengan dukungan simulasi computer. Gejala-gejala dan kondisi
pendidikan tidak pernah dapat dilepaskan dari sistem sosial. Dalam hal ini khususnya
pendidikan Islam dalam nilai-nilai sosial harus menciptakan hubungan yang interaktif dan
senantiasa menanamkan nilai-nilai sosial. Pengelompokan serta penggolongan yang
terdapat di masyarakat mempunyai peran, bentuk serta fungsi, konsep-konsep tersebut
yang di pakai landasan dalam teori struktural fungsional.. teori ini mempunyai ektrimisme
yang terintegrasi dalam semua even dalam sebuah tatanan fungsional.Pendidikan dalam
perspektif teori konflik. Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural
fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini
adalah pemikiran Karl Marx.Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak.
Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional. Teori konflik dan
implikasinya dalam pendidikan: Masyarakat Pendidikan Prioritas Kebijakan Strategi
Perencanaan, konflik dan eksploitasi, Kekuasan dan ketentuan untuk memelihara tertib
social, Pendidikan sebagai kepanjangan kekuatan kelompok dominan, Perjuangan terus
menerus antara kelompok dominan dan subordinat, Memutuskan hubungan antara
organisasi atau struktur sekolah dan ekonomi, Pendidikan tercipta terti social hirarkis,
Ubah struktur sekolah atau kerja masyarakat, Pengembangan kesadaran dan perlawanan
diajarkan di sekolah, Bebaskan kurikulum dari ideology dominas, Kembangka pendidikan
sebagai pembebasan.
23
hipotesis yang bisa diuji dan pemahaman yang minim. Ciri khas dari interaksi simbolik
terletak pada penekanan manusia dalam proses saling menterjemahkan, dan saling
mendefinisikan tindakannya, tidak dibuat secara langsung antara stimulus-response, tetapi
didasari pada pemahaman makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain melalui
penggunaan simbol-simbol, interpretasi, dan pada akhirnya tiap individu tersebut akan
berusaha saling memahami maksud dan tindakan masingmasing, untuk mencapai
kesepakatan bersama. Pendidikan dalam perspektif teori strukturalisasi, Teori strukturasi
berusaha mempelajari pandangan-pandangan dualisme antara obyektivisme dan
subyektivisme dalam teori sosial, namun harus dikonseptulisasikan kembali sebagai
dualitas-dualitas struktur. Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah proses
mengambilkan dan meniru beragam sistem sosial. Dengan kata lain, tindakan manusia
adalah sebuah proses memproduksi dan mereproduksi sistem-sistem sosial yang
beraneka ragam. Interaksi antar individu dapat menciptakan struktur yang memiliki range
dari masyarakat yang lebih besar dan institusi budaya yang lebih kecil yang masuk dalam
hubungan individu itu sendiri.
24
DAFTAR PUSTAKA
sosiologis.com/teori-struktural-fungsional
http://bayutrisnadi.blogspot.com/2014/04/pendidikan-dalam-perspektif-
struktural_7303.html
https://mananjumati.wordpress.com/2014/09/13/pengertian-sosiologi/
Web: cendekia.pusatbahasa.or.id
wikipedia.org/wiki/Teori_konflik
https://djauharul28.wordpress.com/2011/06/18/pendidikan-dalam-perspektif-struktural-
konflik/
https://sosiologiunsyiah2010.wordpress.com/2011/11/02/perspektif-struktural-konflik/
Core.ac.uk
e-journal.lainsalatiga.ac.id
http://repository.unair.ac.id/82944/1/Skripsi%20Gana%20Royana%20Putri.pdf
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/197007111994032-
SITI_NURBAYANI_K/Karya/teori_strukturasi_giddens.pdf
https://argyo.staff.uns.ac.id/2013/02/05/teori-strukturasi-dari-anthony-giddens/
25
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id
Kelas : SOSIOLOGI A
PERNYATAAN
Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni hasil
pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang lain, baik
dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki kesamaan
dengan tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang diberikan oleh
dosen pengasuh matakuliah ini.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan
bertanggung jawab.
Tanda tangan
26