Disusun Oleh:
Disusun Oleh:
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..14
LAMPIRAN……………………………………………………………………………..15
iii
BAB I
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF FUNGSIONAL STRUKTURAL
1
kembali ke tatanan nilai sebelumnya tidak mungkin. Yang diperlukan saat itu adalah
membangun landasan baru yang dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Pikiran
melihat ke depan tersebut dikembangkan oleh Saint Simon (1760-1825). Mereka
mendorong agar pendidikan dapat melahirkan generasi yang dapat membantu
memecahkan masalah dan menciptakan keharmonisasian hidup.
Dari beberapa asumsi yang diungkapkan dari teori fungsional structural
tersebut, ada implikasi yang muncul yaitu menempatkan pendidikan sebagia institusi
sosial. Yang bersama dengan institusi lain menjalankan peran demi tercapainya
ekuilibrum. Pendidikan harus dapat memberi sumbangan yang dapat
mengintegrasikan diri dalam perubahan yang terjadi pada masyarakat.
Rekayasa elite pun juga berkembang dalam dunia pendidikan. Kebijakan,
kurikulum, pengembangan sumber daya dan prasarana dikendalikan secara terpusat
oleh elite. Pendidikan dijadikan media untuk sosialisasi niali-nilai kolektif. Pada tingkat
mikro proses pembelajaran menggunakan pendekatan behavioristik. Selain itu
pengetahuan dan pengalaman yang ingin diberikan kepada siswa bukanlah yang
antagonis, sehingga siswa mempunyai bekal untuk mengadopsinya dalam system
sosial masyarakat.
3. Pertanyaan yang diajukan
Pendidikan dalam presperktif fungsional harus dikembangkan berdasarkan
proporsi berikut. Pertama, susunan individu. Kedua, abstraksi dari individu. Ketiga
fenomena social hanya memiliki realitas dalam individu. Keempat, mengetahui perilaku
individu. Kelima, mengamalkan nilai-nilai yang ada di dalmnya.
Kajian sosiologi pendidikan dari prespektif fungsional difokuskan kepada
pendidikan sebagai realitas social, pendidikan dan struktur social, pendidikan sebagai
pranata social, hubungan pendidikan sebagai pranata social dengan pranata-pranata
social yang lain. fakta social disini dimaksudkan ke dalam kenyataan empiris. Di dalam
dunia pendidikan terdapat fakta social yang saling berjkaitan satu sama lain. selain
ketergantungan mereka bukan pda tataran individu melainkan pada level entitas atau
kelompok. Contoh entitas guru, kepala sekolah, komite sekolah, entitas siswa atau
orang tua dan seterusnya.
Menurut Emile Durkheim fakta social dibedakan menjadi dua , yakni : material
dan non-material. Material yang merupakan semua yang dapat dilihat seperti komite
sekolah , organisasi wali murid, dan lain lain. biasanya berbentuk komponen
perubahan morfologi masyarakat. Sedangkan yang bersifat non-material sesuatu yang
dianggap nyata namun masih abstrak seperti, kesadaran solidaritas, moralitas dan
2
lain-lain. Implikasi menurut Durkheim ini diimplikasikan untuk membaca pendidikan dan
didasarkan untuk menciptakan titik ekuilibrium pada dunia pendidikan. Sebagai dasar
dari penciptaan ekuilibrium tidak boleh mengunakan kekrasan dan paksaan. Bila
melalui hal tersebut sistem tersebut terjadi ketegangan yang akan mengalami
disfungsi. Keberadaan perilaku menympang dalam sebuah sistem, dipandang sebagi
bagian dari keberlang sungan dalam sebuah sistem.
4. Tokoh perspektif fungsional
1. Auguste Comte
2. Herbert Spencer
3. Charles Darwin
4. Emile Durkheim
5. Talccot Parsons
6. Robert K. Merton
5. Desain pembelajaran dalam perspektif fungsionalis
Ada tiga unsur dalam desain pembelajaran menurut penganut funsionalis,yang
pertama adalah kurikulum yang di angkat berdasarkan gagasan,konsep dan jenis
pengetahuan yang ada dalam masyarakat yang memiliki nilai-nilai budaya. Dengan
adanya nilai budaya yang terdapat dalam kurikulum yang kemudian di kembangkan
menjadi karakteristik. Yang kedua adalah peranan guru yang bertugas untuk
mengembangkan rasa tanggung jawab siswa ketika hidup dalam lingkungan
kelompoknya, mendorong untuk membangun kesetiaan terhadap cita-cita dan nilai-
nilai kelompok,berusaha mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi. Mengembangkan dan mematangkan skill siswa dengan keahlian yang di
perlukan masyarakat. Kaum fungsionalis menganggap murid sebagai kotak kosong
yang harus diisi oleh seorang guru,dalam hal ini proses pembelajaran masih berpusat
pada guru sebagai sumber informasi.
Di mata penganut fungsionalis pendidikan harus mengacu kepada nilai-nilai
kolektif yang di jadikan pengembangan tertib masyarakat. Prinsip moral yang ada di
masyarakat di angkat melalui kurikulum dan di terapkan di sekolah dengan tujuan
siswa mampu menjadi bagian untuk berperilaku baik demi terciptanya tatanan
masyarakat yang tertib dan berperilaku tidak menyimpang. Sekolah harus menjadi
institusi atau agen pencipta tertib social melalui siswa.
3
BAB II
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KONFLIK
4
Dalam teori konflik ini begitu jelas dominasi kaum Borjuis pemegang kendali
dan kebijakan, mereka dengan gampang memperoleh status sosial dalam masyarakat.
Sebagai contoh ditahun 90-an ada sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa
selama tahun 90-an kebelakang teryata pendidikan ditentukan o leh status ekonomi
para orangtua. Sehingga paling tidak fakta bahwa teori konflik berlaku di Indonesia.
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa klas bawah tidak akan
sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas, sebagai
missal pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah
dimenegrti oleh klas bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan.
Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak akan semudah memperoleh pendidikan
dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa alih-alih taggung jawab lain
dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara bahwa segala pengetahuan ditentukan
oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek dari kebijakan
mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan
bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan keahliannya.
5
BAB III
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK
6
simbolik yang berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini
kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang dan
sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar
(Siburian,http://blog.unila.ac. id/rone/mata-kuliah/interaksionisme-simbolik), yaitu:
Meaning (Makna) Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku
seseorang terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia
pahami tentang obyek atau orang tersebut. Languange (Bahasa) Seseorang
memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada
obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk
dari simbol. Oleh karena itu, teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme
simbolik. Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi
nama yang berguna untuk membedakan satu obyek, sifat, atau tindakan dengan
obyek, sifat, atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua
adalah Manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk
nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan adalah sebuah media penciptaan
makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah basis
terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui
sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa
Interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia. Thought
(Pemikiran) Premis ketiga Blumer adalah interaksionisme simbolik menjelaskan proses
berpikir sebagai inner conversation, Secara sederhana proses menjelaskan bahwa
seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah
situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Seseorang memerlukan bahasa
untuk berpikir dan berinteraksi secara simbolik. Bahasa merupakan software untuk
menjalankan mind. Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah
fungsi dari bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu
untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas. Dengan
mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka lebih mudah memahami
fenomena sosial melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori
interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna;
makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut
berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.
7
BAB IV
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI STRUKTURASI
8
memahami gejala dalam masyarakat kapitalis, perhatian strukturalis tidak terpusat
pada perilaku para pemodal atau konsumen, tetapi justru pada logika-internal kinerja
modal, dengan kata lain, strukturalisme adalah bentuk dualisme (Giddens, 2008: 335).
Dualisme ini juga ada pada perspektif post-strukturalis (Giddens, 1987: 348). Pemikir
penting post-strukturalis, Jasques Derrida misalnya, melihat perbedaan bukan hanya
menunjuk sesuatu, melainkan sebagai pembentuk identitas yang bahkan merupakan
hakikat sesuatu tersebut; atau dualisme yang ada pada fungsionalisme Talcott
Parsons.
Pada intinya teori strukturasi menekankan kembali pada prioritas logis dari
struktur (Priyono, 2002: 10). Anggapan struktur sebagai “batasan” bagi perilaku tidak
lebih merupakan strategi alternatif yang dipergunakan para praktisi dalam usahanya
memberikan rasionalitas teoritis. Para sosiologi interpretatif dan fenomenologis melihat
permasalahan batasan ini terfokus pada 'prosedur' yang dipergunakan oleh aktor-aktor
sosial dalam usaha menghasilkan dunia yang terstruktur. Struktur sosial tidak memiliki
eksistensi yang riil kecuali dalam benak para pelaku yang memberinya arti. Sudut
pandang ini menunjukkan penjelasan struktural hanya akan memiliki validitas sejauh
hal itu dialami secara subjektif. Struktur dengan demikian adalah sesuatu yang
dikatakan oleh para pelakunya.
Strukturasi adalah kondisi untuk menjelaskan bagaimana sebuah tatanan
relasi-relasi sosial terstruktur dalam hubungan dualitas (timbal balik) antara sang
pelaku dengan struktur (Ross dalam Beilharz, 2002: 22-23). Hubungan dualitas
struktur dalam reproduksi sosial dapat dipahami dengan adanya tiga tingkatan
kesadaran atau tiga dimensi internal dalam diri manusia, yaitu; kesadaran diskursif,
kesadaran praktis, dan kognisi/motivasi tak sadar. Giddens menawarkan konsep-
konsep ini sebagai pengganti triad psikoanalitis Sigmund Freud yakni ego, super-ego,
dan id (Giddens, 1984: 7). 'Motivasi tak sadar' mengacu pada keinginan atau
kebutuhan manusia yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukan tindakan itu
sendiri. 'Kesadaran diskursif' mengacu pada pengetahuan tindakan manusia yang bisa
direfleksikan dan dijelaskan secara rinci serta eksplisit.
Adapun 'kesadaran praktis' ialah pengetahuan tindakan manusia yang tidak
selalu bisa diurai atau dipertanyakan kembali. Fenomenologi melihat wilayah ini masuk
pada gugus pengetahuan yang sudah diandaikan (taken for granted knowledge) dan
merupakan sumber 'rasa aman ontologis' (Ontological security). Keamanan ontologis
ialah kepercayaan atau keyakinan bahwa alam dan sosial itu kondisinya seperti yang
tampak, termasuk parameter eksistensial dasar diri dan identitas sosial (Giddens,
9
1984: 375). Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami bagaimana
berbagai tindakan dan praktik sosial masyarakat lambat laun menjadi struktur, dan
bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/praktik sosial
masyarakat. Giddens menyebut tindakan dan praktik sosial itu sebagai 'dunia yang
sudah ditafisirkan' (Giddens, 1976: 166).
Reproduksi sosial berlangsung lewat keterulangan praktik sosial yang jarang
dipertanyakan lagi. Sebagai sebuah aturan dan sumberdaya, struktur memiliki tiga
gugus dimensi yaitu: Pertama, struktur penandaan (signification) yang menyangkut
skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Kedua, struktur penguasaan
atau dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik)
dan barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation)
yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum
(Giddens, 1984: 29). Pertama; bahwa untuk melakukan komunikasi, seseorang
membutuhkan sistem tanda dan bingkai interpretasi (tata simbol, wacana/ lembaga
bahasa), sehingga struktur signifikasi itu ada.
Aktor-aktor sosial, dalam perilaku kehidupan sehari-harinya, secara aktif
menghasilkan makna dalam tataran yang telah mereka beri makna; secara bersamaan
mereka dipengaruhi oleh cara dimana makna-makna tersebut telah menjadi dirutinkan
dan direproduksi. Hal yang dilakukan dan dikatakan masyarakat memiliki konsekuensi
bagi struktur sosial. Individu-individu menggerakkan sumber daya, ketrampilan dan
pengetahuan yang telah didapatkan dari interaksi sebelumnya.
Struktur adalah 'proses dialektika' dimana hal yang dilakukan oleh individu
adalah juga hal yang mereka bangun. Inilah essensi dari Imadah Thoyyibah 141
strukturasi. Strukturasi juga melibatkan interfusion (penggabungan) konsekuensi yang
diharapkan ataupun yang tidak diharapkan, hal yang dimaui dan dilakukan agen bisa
menghasilkan konsolidasi atas apa yang tidak diinginkan agen. Gagasan inilah yang
menunjukkan bahwa struktur adalah sumberdaya yang memberdayakan sekaligus
membatasi masyarakat. Kedua; untuk mendapatkan atau mempraktikkan kekuasaan,
seseorang membutuhkan mobilisasi dua struktur dominasi sebagai fasilitas. Pada
dimensi penguasaan, fasilitas ini terdiri dari sumberdaya alokatif (ekonomi) dan
otoritatif (politik). Sumberdaya alokatif mengacu pada kemampuan-kemampuan atau
bentuk-bentuk kapasitas transformatif yang memberikan komando atas barang-barang,
objekobjek atau fenomena material. Adapun sumberdaya otoritatif mengacu pada
jenis-jenis kapasitas transformatif yang menghasilkan perintah atas orang-orang atau
aktor-aktor. Istilah 'kekuasaan' harus dibedakan dengan istilah dominasi.
10
Dominasi mengacu pada asimetri hubungan pada dataran struktur, sedang
kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada dataran
pelaku (interaksi sosial). Karena itu kekuasaan selalu menyangkut kapasitas
transformatif, sebagaimana tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada
struktur dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung diantara pelaku yang
kongkret. Kekuasaan terbentuk dalam dan melalui reproduksi dua struktur/
sumberdaya dominasi (alokatif dan otoritatif). Meski demikian, menurut Giddens tidak
pernah mungkin terjadi penguasaan total atas orang entah dalam sistem totaliter,
otoriter, ataupun penjara karena adanya dialektika kontrol (the dialectic of control).
Artinya dalam penguasaan selalu terlibat relasi otonomi dan ketergantungan, baik pada
yang menguasai maupun pada yang dikuasai sekalipun dalam kadar yang minimal.
Ketiga; untuk memberlakukan sebuah sanksi, orang membutuhkan sarana legitimasi
berupa norma atau peraturan (tata hukum/lembaga hukum). Aspek legal (normatif)
dibutuhkan untuk memberikan rasa aman (ontological security) dan keabsahan atas
interaksi yang dilakukan oleh agen-agen sosial. Perubahan sosial tidak bisa ditempuh
dengan kontradiksi sistem, tetapi perubahan dapat ditempuh melalui koordinasi praktik
yang dilembagakan dalam sistem dan struktur sosial yang mengatasi ruang dan waktu.
Perubahan sosial dalam dimensi ketiga gugus strukturasi hanya bisa dirubah melalui
'derutinisasi' dalam kapasitas 'monitoring refleksif' atau mengambil jarak terhadap
unsurunsur yang melingkupinya baik secara personal maupun institusional (Giddens,
1984: 7).
11
KESIMPULAN
Para penganut pandangan structural fungsional percaya bahwa
pendidikan dapat digunakan sebagai jembatan untuk menciptakan tertib
sosial. Pendidikan dijadikan sebagai media sosialisasi kepada generasi
muda untuk mendapatkan pengetahuan, perubahan perilaku dan
penguasaan tata nilai yang diperlukan sebagai anggota masyarakat.
Teori konflik sangat berguna dalam rangka menjelaskan situasi yang
meliputi konflik, namun sedikit sekali mengaitkan dalam masalah
kurikulum dengan kapitalisme dan sedikit sekali data empirik yang bisa
dijadikan landasan klaim teoritik yang diajukan. Teori ini tidak dapat
menjelaskan sejumlah kenyataan yang terjadi di beberapa segmen
masyarakat yang ternyata bisa membangun sistem sosial yang harmoni
dan mengalami kesatuan yang begitu kuat. Menurut pengkritik teori ini
bahwa teori konflik hanya mengajak masyarakat besifat pesimistik.
Pandanganya bersifat deterministik yang seolah tidak ada ruang lagi
bagi individu untuk meretas kendala yang bersifat struktural. Teori
Interaksionisme Simbolik Inti pandangan pendekatan ini adalah individu.
Para ahli di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu
merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Ada tiga
premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia
bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari
interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan
disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.
Dalam teori ini tindakan yang dilakukan agen (manusia) secara sengaja
dan mampu mengungkapkan alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya
secara berulang-ulang untuk mencapai tujuan. Tindakan agen tersebut
dapat berakibat tindakan yang tidak disengaja dan berdampak kepada
tindakan agen selanjutnya. Teori dalam strukturasi mengacu pada suatu
cara bagaimana suatu struktur sosial diproduksi dan direproduksi
melalui praktik atau tindakan. Hal ini berarti, saat seseorang
berkomunikasi dengan orang lain, akan tercipta struktur dengan
hubungan individu yang lebih kecil, hal tersebut memberi jarak kepada
lembaga sosial budaya yang lebih besar.
12
ANALISIS KRITIS
1. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar
hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus
umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta
sosial, serta gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang
memaksa dalam masyarakat. Dalam pendidikan, suasana kondusif selalu harus dijaga
dan menghindari konflik dengan stake holders.
13
hanya memberi warna terhadap struktur sosial yang ada tetapi juga dapat merubah
struktur yang ada. Pendidikan mmiliki tujuan untuk membekali individu dengan
pengetahuan, keterampilan dn sikapsehingga mampu meningkatkan kualitas dirinya.
Pendidikan yang berkaitan erat dengan anak didik, tentusaja dapat dikategorikan
sbagai pencetak agen-agen sosial dimasa depan. Anak didik yang berperan sebagai
agen sosial perlu untuk dipersiapkan. Tugas keluarga. guru, pemerintah, dan
masyarakat berkewajiban untuk melancarkan proses pencapaian tujuan pendidikan.
Keunikan setiap anak didik sudah sepantasnya dipandang sebagai sesuatu kelebihan
yang dimiliki dalam upayanya menjadi agen sosial.
14
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer George. 2012, Teori-teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Post
Modern. Pustaka Belajar Celeban Timur. Edisi Kedelapan. Ritzer,
http://bayutrisnadi.blogspot.com/2014/04/pendidikan-dalam-perspektif-
struktural_7303.html
https://djauharul28.wordpress.com/2011/06/18/pendidikan-dalam-perspektif-
struktural-konflik/
file:///C:/Users/MATRIX%20COMPUTER/Downloads/18731-37824-1-SM.pdf
Soeprapto, http://www.averroes.or.id/research/teoriinteraksionisme-simbolik.html
15
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id
PERNYATAAN
Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni hasil
pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang lain,
baik dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki
kesamaan dengan tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang
diberikan oleh dosen pengasuh matakuliah ini.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan
bertanggung jawab.
Tanda Tangan:
WIWIK JULNIWATI
16