Pendidikan Dalam Perspektif Teori-Teori Fungsional Struktural, Teori Konflik, Teori Interaksionalisme Simbolik, Serta Teori Strukturasi
Pendidikan Dalam Perspektif Teori-Teori Fungsional Struktural, Teori Konflik, Teori Interaksionalisme Simbolik, Serta Teori Strukturasi
Dosen Pengampuh:
Disusun Oleh:
Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas
kuliah Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosial untuk mata kuliah Sosiologi Pendidikan ini.
Shalawat serta salam kepada Nabi agung Muhammad SAW yang syafaatnya kita nantikan di
hari akhir kelak.
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani,
S.Th.I., M.Sos sebagai dosen pengampuh Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan. Berkat
bimbingan beliaulah saya akhirnya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah sosiologi
pendidikan berjudul “Pendidikan dalam Perspektif Teori-Teori Fungsional Struktural,
Teori Konflik, Teori Interaksionisme Simbolik, serta Teori Strukturasi.”
Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat tambahan pengetahuan
dan pengalaman bagi pembacanya. Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam
penulisan tugas ini, maka kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dari
pembaca untuk perbaikan di masa mendatang.
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural 1
BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik 6
BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik 11
BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi 15
KESIMPULAN 17
ANALISIS KRITIS 18
DAFTAR PUSTAKA 19
LAMPIRAN 20
ii
BAB I
Dalam teori ini, masyarakat dilihat sebagai jaringan kelompok yang bekerjasama
secara terorganisir dan bekerja secara teratur, dan tiap bagian strukturnya saling
berhubungan, menurut norma dan teori yang berkembang (Purwanto, 2008:12.).
Pemikiran Struktural Fungsional sangat terpengaruh dengan pemikiran biologis yaitu
terdiri dari organ-organ yang mempunyai saling ketergantungan agar organisme
tersebut tetap dapat bertahan hidup.
Teori ini cenderung memusatkan kajianya pada fungsi dari suatu fakta sosial
(social fact) terhadap fakta sosial lain. Talcott Parson maupun Robert K Merton
dianggap sebagai structural fungsionalist perspektif (perspektif functionalism) karena
dua alasan, yaitu (1) menjelaskan hubungan fungtionalis dengan pendahulunya,
terutama Durkheim, Brown dan Malinowski; (2) tokoh aliran ini menyebutnya dengan
istilah fungsionalisme (Mere, 2007:90). Teori fungsional Struktural yang sering
disebut dengan teori integrasi atau teori konsensus yang dilahirkan oleh pemikir-
pemikir klasik, diantaranya Socrates, Plato, Augus Comte, Spencer, Emile Durkheim,
Robert K Merton dan Talcot Parson. Mereka membicarakan bagaimana perspektif
fungsionalisme memandang dan menganalisis phenomena sosial dan
kultural.Langkah-langkah utama dalam elaborasi teori sosial yang menghadang
aktor-aktor sosial yang meletakkan tantangan-tantangan yang dihadapi sistem-
sistem sosial bila ingin stabilitas sosial selalu terjaga.
Agar bertahan hidup, sistem harus menjalankan ke empat fungsinya tersebut : 1.
Adaptasi : sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar, ia
harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan
kebutuhan-kebutuhannya. 2. Pencapaian tujuan : sistem harus mendefinisikan dan
mencapai tujuantujuan utamanya. 3. Integrasi : sistem harus mengatur hubungan
bagian-bagian yang menjadi komponennya. Itu pun harus mengatur hubungan antar
ketiga imperatif fungsional tersebut (A,G,L) 4. Latensi (pemeliharaan pola). Sistem
harus melengkapi, memelihara, dan memperbaharui motivasi individu dan pola-pola
budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut. Parsons
mendesaian skema AGIL agar dapat di gunakan pada semua level sistem teoritisnya
(salah satu contoh dari hal ini dapat di baca dalam paulsen dan Feldman,1995). Dalam
pembahasan di bawah ini tentang ke empat sistem tindakan, kita akan menjabarkan
bagaimana parson menggunakan AGIL.
1
b.) Pandangan Para ahli dalam Teori Struktural Fungsional
Salah satu rekomendasi yang terkenal dari Parsons adalah tes untuk menyeleksi
siswa-siswa masuk perguruan tinggi dan tes untuk memasuki lapangan pekerjaan.
Untuk memasuki perguruan diperlukan tes prestasi. Sedangkan untuk memasuki
lapangan pekerjaan tertentu digunakan tes jabatan (accupational test). Secara umum
menganalisis bahwa para fungsionalis melihat adanya fungsi serta kontribusi yang
positif lembaga pendidikan dalam memelihara atau mempertahankan
keberlangsungan sistem sosial. Studi ini memfokuskan pada dua penganut perspektif
struktural fungsional yaitu, Emile Durkheim dan Talcott Parsons (Martono, 2010).
Pemikiran Durkheim dijabarkan dalam tiga kategori yaitu: (1) Pendidikan dan
Solidaritas sosial: Durkheim melihat bahwa fungsi utama pendidikan adalah
mentransmisikan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Tugas utama
masyarakat ialah mewujudkan individu menjadi satu kesatuan, dengan kata lain
adalah menciptakan solidaritas sosial. (2) Sekolah sebagai miniatur masyarakat.
2
Durkheim berpendapat bahwa pada masyarakat industri yang kompleks, sekolah
menyiapkan fungsi yang tidak dapat diberikan oleh institusi yang lain, seperti keluarga
atau kelompok sebaya. Sekolah menyediakan berbagai keterampilan yang dapat
dipelajari siswa. Pengalaman disekolah untuk berinteraksi dengan anggota masyarakat
secara keseluruhan. (3) Pendidikan dan pembagian kerja. Pendidikan yang berfungsi
memberikan keterampilan khusus bagi individu, fungsi ini merupakan bagian penting
dari masyarakat industri yang semakin kompleks dan menspesialisasikan pembagian
kerja.
Sedangkan pemikiran Talcott Parsons dalam menganalisis pendidikan juga
dijabarkan dalam tiga kategori yaitu: (1) Pendidikan dan nilai universal, sekolah
menurut Parson bertugas untuk mnanamkan nilai-nilai yang bersifat umum (universal)
yang harus dipelajari siswa agar ia dapat diterima menjadi bagian dari masyarakat. (2)
Pendidikan dan kesepakatan nilai, (3) Pendidikan dan seleksi sosial (Martono, 2010).
Damsar sorang guru besar ilmu sosial Universitas Andalas memaparkan teori strukural
fungsional berdasarkan pendapat Ralph Dahrendorf, yaitu: (a) setiap masyarakat terdiri
dari berbagai elemen yang terstruktur secara relatif, mantap dan stabil; (b)
elemen-elemen terstrukur tersebut terintegrasi dengan baik; (c) setiap elemen dalam
struktur memiliki fungsi, yaitu memberikan sumbangan pada bertahannya struktur itu
sebagai suatu sistem; (d) setiap struktur yang fungsional dilandaskan pada suatu
konsensus nilai diantara para anggotanya (Damsar, 2011).
Herbert Gans, tokoh lain struktural fungsional menilai kemiskinan fungsional dalam
suatu sosial sistem hanya saja perlu dipertanyakan: fungsionalnya bagi siapa? Sebab
bagi si miskin sendiri jelas disfungsional. Dalam sistem sosial di amerika serikat dilihat
oleh Gans adanya limabelas fungsi dari kemiskinan yang dapat diredusir menjadi
empat kriteria, masingmasing fungsi: ekonomi, sosial, cultural dan politik. Fungsi
ekonominyameliputi: 1) menyediakan tenaga untuk pekerjaan kotor dalam masyarakat.
2) menimbulkan dana-dana sosial (funds). 3) membuka lapangan kerja baru karena
dikehendaki oleh orang miskin. 4) pemanfaatan barang yang tak dimanfaatkan oleh
orang kaya. Fungsi sosial meliputi: 5) kemiskinan menguatkan norma-norma sosial
utama dalam masyarakat. 6) menimbulkan alturisme terutama terhadap orang-orang
miskin yang memerlukan santunan. 7) si kaya dapat merasakan kesusahan hidup
miskin tanpa perlu mengalaminya sendiri dengan membayangkan kehidupan si miskin.
8) orang miskin menyediakan ukuran kemajuan (rod) bagi kelas lain. 9) membantu
kelompok lain yang sedang berusaha sebagai anak tangganya. 10) kemiskinan
menyediakan alasan untuk munculnya kalangan orang kaya yang membantu orang
miskin dengan berbagai badan amal. Fungsi kultural dari kemiskinan meliputi: 11)
kemiskinan menyediakan tenaga fisik yang diperlukan untuk pembangunan monument-
monumen kebudayaan. 12) kultur orang miskin sering diterima pula oleh strata sosial
yang berada di atas mereka. Fungsi politik meliputi: 13) orang miskin berjasa sebagai
“kelompok gelisah” atau menjadi musuh bagi kelompok politik tertentu. 14) pokok isu
mengenai perubahan dan pertumbuhan dalam masyarakat (terutama di AS) selalu
diletakkan di atas masalah bagaimana membantu orang miskin
3
Gejala-gejala dan kondisi pendidikan tidak pernah dapat dilepaskan dari sistem
sosial. Dalam hal ini khususnya pendidikan Islam dalam nilai-nilai sosial harus
menciptakan hubungan yang interaktif dan senantiasa menanamkan nilai-nilai
sosial. Sedangkan dalam menerapkan nilai-nilai sosial dimasyarakat mengandung
cara-cara edukatif (Mujamil Qomar, 2013:111). Pengelompokan serta penggolongan
yang terdapat di masyarakat mempunyai peran, bentuk serta fungsi, konsep-
konsep tersebut yang di pakai landasan dalam teori struktural fungsional.. teori ini
mempunyai ektrimisme yang terintegrasi dalam semua even dalam sebuah tatanan
fungsional. Bagi suatu masyarakat, sehingga berimplikasi terhadap bentuk
kepaduan dalam setiap sendi-sendi struktur dalam wilayah fungsional masyarakat.
Pendidikan dalam era global saat ini juga mempunyai peran yang sangat besar
dalam membentuk struktur maupun startifikasi sosial.
Dalam perspektif teori struktural fungsional mempunyai relevansi dengan pemikiran
Emile Durkheim dan Weber, karena dua pakar sosiologi klasik ini terkenal dalam
bidang fungsional stryuktural. Kemudia fungsional strukural dipengaruhi oleh karya
dari Talcott Parson dan juga Merton, dua orang ahli sosiologi kontemporer yang
sangat terkenal. Teori Struktural Fungsional tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan
maupun masyarakat. Stratifikasi yang berada di masyarakat mempunyai fungsi.
Ekstrimisme teori ini adalah mendarah dagingnya asumsi bahwa semua even dalam
tatanan adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Berbicara tentang masyarakat maka
hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan “integrasi” --satu kesatuam yang utuh, padu
(Dahlan, 2001:264). Hal ini seperti yang telah dikemukakan Talcott Parsons dalam
pengertian Sosiologi Pendidikan, yang berarti bahwa struktur dalam masyarakat
mempunyai keterkaitan atau hubungan satu dengan yang lain. Pendidikan
khususnya, tidak bisa dipisahkan dengan struktur yang terbentuk oleh pendidikan itu
sendiri. Demikian pula, pendidikan meruipakan alat untuk mengembangkan kesadaran
diri sendiri dan kesadaran sosial (Wahyu, 2006:1).
Peran pendidikan dalam teori struktural fungsional antara lain adalah: (1)
Pendidikan dalam peranan kelompok. Peranan kelompok yang ada diharapkan
dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhan sesorang, hal ini akan membiasakan
kebutuhan dan kepentingan serta mendekatkan harapan para anggota. Peristiwa ini
diharapkan dapt menjadikan suatu asosiasi atau lapiran, strata maupun struktur
masyarakat, baik secara kasta, golongan, statifikasi, kedaerahan, kelompok dan
lain sebagainya di lingkungan masyarakata tertentu. Kelompok sosial tersebut dalam
menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif, rukun, damai, saling menghormati,
stabil, tertib, lancar dan sebagainya, maka pemimpinya dari masing-masing anggota
harus dapat bertindak dan dapat memainkan peranan-peranan antara lain: (a)
Dalam memainkan peranan kelompok tidak memaksakan peranan-peranan tersebut
kepada para anggota kelompok lainya, (b) Dalam memainkan peranan kelompok
harus bersama-sama dengan kelompok yang lain, jika kelompok-kelompok itu telah
membuat suatu kesepakatan bersama maupun perjanjian, maka dimungkinkan
4
kelompok itu menjadi kelompok yang besar dan mengharapkan adanya
perkembangan, (c) Tidak ada batasan peranan kelompok dan menyesuaikan
dengan penanaman sosial dalam melakukan interaksi maupun hubungan antar
kelompok dalam lingkungan masyarakat serta mengelola benturan dengan cara lebih
menghargai dan menghormati peranan sosial. (2) Pendidikan dalam Peranan
Masyarakat, yang terdiri dari: (a) Langkah-langkah yang harus ditempuh dan
dilakukan bagi seseorang yang mendapat peran dan tugas kepemimpinan, (b)
Menunjukkan perbuatan sebagai anggota anggota organisasi dari status kelompok/
perkumpulan maupun kelembagaan.
5
BAB II
Teori konflik berkembang sebagai counter terhadap fungsional struktural. Teori ini
menganggap bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok dan golongan yang
berbeda kepentingan. Teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa terjadinya class
struggle antara satu kelompok dengan kelompok lain karena adanya perbedaan
kepentingan maka akan melicinkan jalan terciptanya sebuah masyarakat (AlNadwi,
1983: 49-50 dan Rex, 1985: 150-155). Ini dikarenakan suatu masyarakat harus
memilih salah satu kelompok. Dari hasil persaingan perebutan kekuaasaan itu lahir
tatanan kelas masyarakat pemenang yang kemudian mampu membentuk tatanan
ekonomi dan peradaban yang maju dalam masyarakat. Secara sederhana dapat
dicontohkan dalam kelompok kecil misalnya keluarga, teori sosial konflik melihat
keluarga bukan sebagai bagian yang harmonis dan seimbang tetapi dianggap sebagai
bahagian dari sebuah sistem yang penuh dengan konflik (Megawangi, 1999: 91).
Suatu hal yang ironis diperlihatkan dari teori ini yaitu dianggapnya hubungan antara
suami dan isteri tidak ubahnya dengan penguasa dan yang dikuasai (Susan, 2009: 5).
Hal ini terkait dengan persaingan peran dan dominasi di dalam keluarga. Situasi konflik
yang terjadi di masyarakat atau di dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang
abnormal tetapi dianggap sebagai suatu proses secara alami menuju kepada
terjadinya suatu perubahan.
Teori Konflik Ralf Dahrendorf. Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa
setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta
konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan
kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam
masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki
kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam
mempertahankanketertibandalammasyarakat.
Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang
dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi
dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus. Teori konflik harus
menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat
sedangkan teori konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf,
masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh
ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam
masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.
6
Dahrendorf mengemukakan teorinya dengan melakukan kritik dan modifikasi atas
pemikiran Karl Marx, yang berasumsi bahwa kapitalisme, pemilikandan kontrol atas
sarana-sarana produksi berada di tangan individu-individu yang sama, yang sering
disebut kaum borjuis dan kaum proletariat.
Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua
wajah karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan, sehingga
asumsinya bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga
bisa memperlihatkan perpecahan dan konflik pada saat tertentu dan juga memberikan
kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan, karena masyarakat didasarkan pada
paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.
George Huaco. George Huaco (1986) mengaitkan pertumbuhan dan kemerosotan
fungsionalisme struktural dengan posisi masyarakat Amerika dalam tatanan dunia.
Ketika Amerika mencapai dominasi di dunia setelah tahun 1945, fungsionalisme
struktural mencapai hegemoni dalam sosiologi. Fungsionalisme struktural mendukung
posisi dominasi Amerika di dunia melalui dua cara. Pertama, pandangan struktural-
fungsional yang menyatakan bahwa setiap pola mempunyai konsekuensi yang
berperan dalam pelestarian dan bertahannya sistem yang lebih luas tak lebih dari
“sekadar merayakan kemenangan Amerika dan hegemoninya di dunia” (Huaco,
1986:52).
Kedua, teori struktural-fungsional yang menekankan pada keseimbangan
(perubahan terbaik adalah tak adanya perubahan) berkaitan erat dengan kepentingan
Amerika, kemudian berkaitan erat dengan kepentingan Amerika “kekaisaran terkaya
dan terkuat di dunia”. Kemerosotan dominasi Amerika di dunia pada 1970-an
bertepatan benar dengan hilangnya posisi dominan fungsionalisme struktural di dalam
teori sosiologi.3 Serangan terhadap fungsionalisme struktural beraneka ragam,
fungsionalisme struktural dituduh bersifat politik konservatif, tak mampumenjelaskan
perubahan sosial karena perhatiannya tertuju pada struktur statisdan tak mampu
menganalisis konflik sosial. Salah satu hasil dari kritik tersebut adalah upaya dari
sejumlah pemikir sosiologi untuk menanggulangi masalah fungsionalisme struktural
dengan menyatukan perhatian pada struktur dan padakonflik.
Pemikiran inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya teori konflik sebagaialternatif
terhadap teori struktural-fungsional. Sayangnya, teori konflik sering dilihat sebagai
cerminan dari fungsionalisme struktural dengan sedikit integritas intelektual di
dalamnya. Upaya penting pertama adalah karya Lewis Coser (1956) tentang fungsi
konflik sosial (Jaworski, 1991). Karya ini dengan jelas mencoba menerangkan konflik
sosial di dunia menurut kerangka pandangan struktural-fungsional. Meski bermanfaat
untuk melihat fungsi konflik, namun masih lebih banyak yang perlu dikaji tentang
konflik ketimbang menganalisis fungsi positifnya itu. Masalah terbesar yang dihadapi
oleh kebanyakan teori konflik adalah kekurangan landasan kuat dalam teori Marxian
-teori Marxian berkembang dengan baik di luar sosiologi dan seharusnya dapat
dijadikan landasan untuk mengembangkan teori sosiologi yang lebih baik tentang
konflik. Perkecualian disini adalah karya Ralf Dahrendorf. Akhirnya, teori konflik harus
dilihat sebagai perkembangan transisional dalam sejarah teori sosiologi, kegagalannya
karena tak cukup jauh mengikuti teori Marxian.
7
Karl Marx. Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat
untuk merebut aset-aset bernilai. Bentuk dari konflik sosial itu bisa bermacam-macam,
yakni konflik antara individu, kelompok, atau bangsa. Marx mengatakan bahwa
potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun
memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi
prestise/status dan kekuasaan politik. Munculnya sebuah konflik dikarenakan adanya
perbedaan dan keberagaman.
Dari pernyataan tersebut, maka diambil sebuah contoh yangmana terdapat di
negara Indonesia yang semakin lama menunjukkan adanya konflik dari setiap
tindakan-tindakan yang terjadi dan konflik tersebut terbagi secara horizontal dan
vertikal. Konflik horizontal adalah konflik yang berkembang di antara anggota
kelompok, sepertinya konflik yang berhubungan antara suku, agama, ras, dan antar
golongan. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan
juga negara atau pemerintahan. Umumnya konflik tersebut muncul karena masyarakat
tidak puas dengan kinerja pemerintahan, seperti konflik yang terjadi akhir-akhir ini yang
menuntut adanya sebuah kebijakan dari pemerintahan untuk menaikkan gajipara
buruh.
8
d.) Implikasi Teori Konflik dalam Pendidikan
9
e.) Konflik dalam Pendidikan
Konflik dapat berakibat posisit dan negatif. Konflik di dalam kelas bersifat positif
manakala terjadi persaingan yang sehat antarsiswa. Siswa saling berlomba untuk
menjadi yang terbaik. Mereka saling berlomba untuk menjadi juara satu. Ketika hal itu
yang terjadi, guru perlu membuat konflik agar terjadi persaingan siswa secara rasional
Konflik di kelas dalam arti negatif, akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat
dengan saling menjatuhkan antara siswa yang satu dengan lainnya. Menyontek adalah
salah satu contoh konflik yang tidak fair. Mengapa hal itu dikatakan tidak fair karena
siswa yang sudah belajar dengan baik, bisa jadi nilainya kalah dengan siswa yang
berhasil menyontek dan tidak terdeteksi oleh guru.
Konflik dapat diciptakan, dikelola, dan bahkan dicegah. Konflik negatif yang terjadi
di kelas dapat menjadi positif manakala guru mampu mengelola konflik dengan
baik. kemampuan guru dalam mengelola konflik menjadi tumpuhan manakala
menghendaki proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Ketika guru tidak
mampu mengelola konflik dengan baik, maka konflik yang terjadi antar siswa menjadi
kontra produktif, merusak, tidak konstruktif, dan merugikan semua pihak. Oleh kerana
itu, seluruh guru hendaknya mampu mengelola konflik yang terjadi di kelas dengan
baik.
10
BAB III
11
ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Undang-Undang RI No. 20
Tahun 2003).
Tujuan Pendidikan merupakan salah satu faktor yang terpenting di dalam
pendidikan, karena tujuan adalah merupakan salah satu arah yang hendak dicapai
atau yang hendak dituju oleh pendidikan. Begitu juga dengan penyelenggaraan
pendidikan yang tidak dapat dilepaskan dari sebuah tujuan yang hendak dicapaianya.
Tujuan pendidikan adalah meningkatkan derajat kemanusiaan manusia (Tafsir,
2006:47).
Self adalah fungsi dari bahasa. Seorang individu harus menjadi anggota suatu
komunitas sebelum kesadaran diri membentuknya. Self merupakan proses yang
berlangsung terus menerus yang mengkombinasikan “I” dan “Me”. Oleh karena itu,
dalam self terdiri dari dua bagian, yaitu “I” dan “Me”.
12
I – diri yang aktif, merupakan kecenderungan impulsif dari diri individu, bersifat
spontan, dan juga merupakan aspek dari eksistensi manusia yang tidak terorganisasi.
Me – merupakan diri yang menjadi objek renungan kita atau merupaka
gambaran diri yang dilihat melalui cermin diri dari reaksi yang diberikan oleh orang lain.
13
masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung
pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa Interaksionisme simbolik
adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.
Thought (Pemikiran) Premis ketiga Blumer adalah interaksionisme simbolik
menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation, Secara sederhana proses
menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika
berhadapan dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut.
Seseorang memerlukan bahasa untuk berpikir dan berinteraksi secara simbolik.
Bahasa merupakan software untuk menjalankan mind. Penganut interaksionisme
simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa pembicaraan tidak
akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus
menjadi anggota komunitas. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini
adalah bagian dari diri yang tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri
yang tampak dalam the looking-glass dari reaksi orang lain. Me hanya dapat dibentuk
melalui interaksi simbolik yang terus menerus mulai dari keluarga, teman bermain,
sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itu, seseorang membutuhkan komunitas untuk
mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized other, yaitu
berbagai hal (orang, obyek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir
dan berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri
seorang individu.
Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih
tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektifperspektif sosiologis yang
konvensional. Disisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi
yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan
mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang
dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah
selesai terbentuk sepenuhnya.
Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka lebih mudah
memahami fenomena sosial melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama
dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-
makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut
berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.
d.) Interaksionisme Simbolik dalam Pendidikan
Hubungan seorang guru dengan peserta didik. Dalam hubungan tersebut ada pola
yang telah diatur, peserta didik sebagai orang yang akan menerima informasi dan guru
sebagai orang yang akan melakukan transformasi pengetahuan. Guna mengetahui
keberhasilan peserta didiknya, ia harus melakukan penilaian. Pandangan peserta didik
terhadap dirinya dan teman-temannya dipengaruhi oleh penilaian guru yang
bersangkutan. Lalu diberilah label atas dasar interpretasi bahwa peseta didik yang
duduk dibangku depan berkelakuan baik, sopan, rajin, dan pintar. Peserta didik yang
duduk dibelakang sepertinya kurang pintar, tidak perhatianterhadap pelajarannya, dan
malas. Sehingga perhatian guru terhadap mereka yang diinterpretasikan subordinat
dalam prestasi belajar akan berbeda.padahal dapat saja kemampuan semua peserta
belajar di satu kelas tidak signifikan perbedaannya atau mirip. Oleh karena itu,
dibutuhkan interaksi langsung dengan melihat dari dekat, tidak sepintas, serta memberi
perlakuan sama yang mendorong peserta didik tersebut mempunyai progres akademik
yang positif sehingga interpretasinya benar dan sesuai dengan fakta lapangan.
14
BAB IV
Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi
15
b.) Aplikasi Teori Strukturasi
Kajian ini menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens yang di dalamnya
terdapat relasi dualitas struktur dan agen yang dipergunakan sebagai acuan guna
melandasi perubahan pendidikan pesantren. Konsep tersebut digunakan untuk
menjelaskan hubungan antara stakeholder pesantren Darussalam yang diposisikan
sebagai pelaku (agency) dengan struktur (structure) yang oleh Giddens
dikonseptualisasikan sebagai aturan (rules) dan sumber daya (resources). Struktur
dinyatakan oleh Giddens selain dapat membatasi atau mengekang (constraining),
dapat pula memberdayakan (enabling) pelaku. Pembatasan ataupun pemberdayaan
struktur tersebut dapat dilakukan oleh negara melalui kebijakan pendidikan nasional
dan pendidikan keagamaan (pesantren), yang kewenangannya melekat pada dirinya
(Ritzer dan Goodman, 2008: 505-546). Sebagaimana diungkapkan dalam teori
strukturasi, Giddens menyatakan bahwa ada hubungan antara pelaku dan struktur, di
mana hubungan antara keduanya berupa relasi dualitas.
Dalam hubungan dualitas, termaktub pengertian bahwa antara pelaku dan struktur
tidak terpisahkan. Di antara keduanya terjadi hubungan saling mempengaruhi.
Hubungan antara pelaku dengan struktur dapat dipahami melalui praktik sosial di mana
praktik sosial itu sendiri merupakan kejadian atau kebiasaan sehari-hari, hasil interaksi
antara struktur dan pelaku. Giddens menyatakan bahwa struktur merupakan aturan
(rules) dan sumber daya (resources) dapat terbentuk dari praktik sosial. di sisi lain,
pelaku yang merupakan aktor dapat pula mempengaruhi struktur, dalam arti tidak
harus selalu tunduk kepada struktur. Giddens menyebutkan bahwa ada tiga gugus
struktur yang harus dimilki oleh agen, yakni signifikasi (signification), dominasi
(domination), dan legitimasi (legitimation). Struktur signifikasi menunjuk pada
pemaknaan atau simbolik, penyebutan, dan wacana. Gugus struktur dominasi
menunjuk pada penguasaan baik atas orang maupun barang. Gugus struktur legitimasi
menunjuk pada peraturan normatif yang tampak pada aturan hukum. Ketiga gugus
struktur tersebut selain dapat membatasi, dapat pula memberdayakan pelaku (Priyono,
2002: 24-25).
16
Kesimpulan
17
Analisis Kritis
Masyarakat dan pendidikan adalah dua hal yang tidak bisa terlepas dan sangat
erat hubungannya, karena dengan ilmu yang di dapatkan dari pendidikanlah
masyarakat dapat terus berkembang dan bertahan hidup. Agar terus dapat
menyeimbangi perkembangan pada masyarakat, pendidikan itu sendiri juga perlu
berkembang, dengan mempelajari dan mengkaji setiap fenomena-fenomena dan
perkembangan yang ada di masyarakat.
Dengan adanya teori-teori dalam sosiologi, itu dapat mempermudah dalam
melihat perkembangan pada masyarakat dan dapat menilainya secara lebih kritis.
Teori dapat digunakan sesuai dengan fenomenanya, seperti teori konflik untuk menilai
fenomena yang melibatkan konflik, teori fungsional struktural untuk menilai fenomena
yang menyinggung struktur di dalam masyatakat, teori interaksionisme simbolik untuk
menilai fenomena yang berkaitan dengan makna atau nilai dari suatu objek yang
melibatkan sebuah interaksi, dan banyak teori lainnya. Dengan bantuan berbagai teori
tersebut akan memabntu memberikan penjelasan yang lebih relevan dan kritis
mengenai fenomena di dalam dunia pendidikan yang ada di masyarakat.
18
Daftar Pustaka
https://www.researchgate.net/publication/323909873_PENDIDIKAN_DALAM_PERSPEKTIF
_STRUKTURAL_FUNGSIONAL
https://dosensosiologi.com/6-teori-struktural-fungsional-menurut-para-ahli-dan-contohnya-
lengkap/
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/auladuna/article/view/882/852
http://sosiologipendidikn.blogspot.com/2013/09/pendidikan-dalam-perspektif-struktural.html
https://www.researchgate.net/publication/323911812_PENDIDIKAN_DALAM_PERSPEKTIF
_STRUKTURAL_KONFLIK
https://djauharul28.wordpress.com/2011/06/18/pendidikan-dalam-perspektif-struktural-konflik/
http://sosiologis.com/teori-interaksionisme-simbolik
https://ahmad-fathullah.blogspot.com/2019/03/bagaimana-pendidikan-dalam-perspektif_28.html
https://pakarkomunikasi.com/teori-interaksi-simbolik
http://repository.unair.ac.id/82944/1/Skripsi%20Gana%20Royana%20Putri.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/248748-strukturasi-perubahan-pendidikan-pesantr-
2dfebbde.pdf
http://blog.unnes.ac.id/annisafella97/2017/12/04/503/
19
. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM
Kelas : Sosiologi A
PERNYATAAN
Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni hasil
pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang lain, baik dari
sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki kesamaan dengan tulisan
rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang diberikan oleh dosen pengasuh
matakuliah ini.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan bertanggung
jawab.
Tanda Tangan :
20