Anda di halaman 1dari 5

AGAMA ISLAM

RESUME

ANTARA KOMPILASI DAN NASKAH FIQIH

Dosen Pembimbing :

Mohammad Shindy, M.Pd.

Disusun oleh Kelompok 6 :

Adly Ridwan Hidayat 202046500854

Zein Hadi Schedar 202046500840

Muhammad Fadlan 202046500850

Aulia Fahrani 202046500857

Dhea Febriyanti 202046500835

Universitas Indraprasta PGRI

Fakultas Bahasa dan Seni

Desain Komunikasi Visual

2020
IV Antara Kompilasi dan Naskah Fiqih

Salah satu tujuan utama pembentukan kompilasi adalah untuk


menyatukan penalaran hukum yang digunakan oleh para hakim di pengadilan
agama di Indonesia guna mencapai kepastian hukum bagi umat Islam Indonesia
yang mengupayakan penyelesaian masalah kekeluargaan, hakim harus
mendasarkan penilaiannya pada kompilasi yang merupakan sistematisasi atau
rasionalisasi hukum materiil fiqh.

I Putusan Hukum: Bentuk dan Struktur

Rumusan standar yang ditetapkan oleh hakim di pengadilan agama


sebelum dan sesudah dikeluarkannya kompilasi. Biasanya diawali dengan
Bismillahirrahmanirrahim (Atas nama Tuhan Yang Maha Esa dan Penyayang),
diikuti dengan kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(Atas nama Keadilan yang dilandasi keilahian Tuhan Yang Maha Esa). Basmalah
digunakan untuk membuktikan karakter Islam dari pengadilan agama. Hukuman
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa adalah untuk
menegaskan tujuan praktik peradilan pengadilan, yaitu keadilan yang dijiwai oleh
nilai-nilai agama. Frasa ini merupakan asas pertama dari landasan ideologis
negara, yaitu Pancasila, dan tidak khas peradilan agama. Rumus ini diatur dalam
UU No. 1/1970 tentang sistem peradilan di Indonesia.

Uraian Perkara (masalah) yang dibawa ke pengadilan, terdiri dari


keterangan, permohonan dan kontra-pembelaan dari penggugat dan tergugat,
lengkap dengan keterangan atau keterangan saksi lalu penjelasan tentang
pertimbangan hukum. Hal ini didasarkan pada informasi yang diberikan oleh
kedua belah pihak, oleh persidangan itu sendiri, dan oleh argumentasi
berdasarkan hukum, teks (nass) Alquran dan Sunnah, atau dari kitab-kitab fiqh,
diikuti dengan keputusan hakim. Putusan diakhiri dengan menyatakan waktu,
hari, dan tanggal di mana keputusan itu dijatuhkan, termasuk nama hakim
panitera yang menangani kasus, dan juga tanda tangan mereka.

Ada dua jenis putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama:


penetapan (keputusan) dan putusan (putusan). Sebuah penetapan jatuh pada
saat hakim memutus perkara berdasarkan permohonan (petisi) dari satu pihak,
yang disebut pemohon atau penggugat.Karena penetapan tersebut hanya
berdasarkan permintaan dari satu pihak, maka penetapan tersebut secara
hukum hanya berlaku untuk penggugat dan tidak memiliki kekuatan eksekutorial.
Contoh yang sering ditemui yaitu permintaan keputusan tentang apakah
penggugat adalah ahli waris praepositus (pewaris) yang sudah meninggal atau
bukan, atau apakah orang itu adalah ahli waris dari orang tertentu atau bukan.
Putusan dikeluarkan ketika hakim memutus perkara atas dasar gugatan
(gugatan) yang melibatkan dua pihak, penggugat dan tergugat, putusan memiliki
karakter condemnatory dan executorial. Salah satu contohnya adalah
perselisihan tentang status hukum seseorang atau sekelompok orang dalam
warisan atau perceraian.

Perbedaan penilaian antara poligami dan perceraian, disebutkan bahwa


kasus poligami dan perceraian yang diprakarsai oleh seorang suami
dikategorikan sebagai kasus permohonan, dalam arti tidak mengandung unsur
perselisihan sehingga tidak melibatkan terdakwa. Namun, kemudian mereka
akan disidangkan berdasarkan tata cara perkara gugatan, di mana istri diberi hak
untuk membela diri dari tuduhan suaminya dan menentang niatnya untuk
bercerai atau melakukan perkawinan poligini. Kasus ini baik untuk perceraian
yang diprakarsai oleh suami maupun untuk poligini, dipandang sebagai wahyu
dari posisi bercabang yang diadopsi oleh para perumus UU dan kompilasi, dalam
mencapai reformasi dan kecenderungan yang masih melekat pada doktrin fikih.

Dalam memutus perkara para hakim di pengadilan agama menggunakan


alasan hukum untuk mendukung putusan mereka. Dengan merangkum informasi
yang diterima dari penggugat atau dari penggugat dan tergugat, dan keterangan
yang diberikan oleh para saksi. Sebelum kompilasi diterbitkan, biasanya
menyusun pertimbangan hukumnya dengan kutipan dari teks Alquran dan hadis
Nabi, serta pernyataan atau pendapat ulama yang diambil dari kitab fiqh. Hanya
satu atau dua referensi yang disebutkan. Jika menyertakan semua referensi,
maka urutan referensi mengikuti hierarki sumber. Teks Alquran ditempatkan
pada urutan pertama, diikuti oleh ucapan Nabi, dan pendapat ulama yang
berasal dari buku-buku fiqh. Sejak tahun 1974 sudah ada Undang-Undang
Perkawinan, dan sejak tahun 1977 sudah ada Peraturan Pemerintah tentang
Wakaf. namun tentang warisan, pemberian dan wasiyat sepenuhnya didasarkan
pada referensi seperti Alquran, Tradisi Nabi, dan buku-buku fiqh. Namun,
Penerapan UU Perkawinan dan Peraturan Pemerintah tentang wakaf tidak
sepenuhnya mengakhiri kutipan referensi seperti Alquran, Tradisi Nabi, dan buku
fiqh sehingga kadang mengabaikan UU pernikahan.

Hakim Muslim mengutip rujukan yang menimbang dalil dari Al-Qur'an,


hadits atau pendapat dalam buku fiqh. Para hakim biasanya menulis teks asli
dari setiap referensi - dari Alquran memasukkan referensi seperti bab dan ayat
yang relevan, hadist beserta nama-nama yang menyampaikan ucapan Nabi, dan
pernyataan ulama dari buku-buku fiqh beserta halaman. Pada Kasus warisan
biasanya lebih sering disajikan dengan kutipan dari teks Alquran dan hadits.
Pada kasus perkawinan, hakim di pengadilan agama cenderung mengutip buku-
buku fiqh.

II Perubahan dan Kontinuitas

Hasil penelitian pada tahun 2000 oleh Direktorat Pembinaan dan


Pengembangan Peradilan Agama (Ditbinbapera) menunjukkan bahwa kompilasi
telah banyak digunakan oleh hakim di Pengadilan Agama sebagai acuan dalam
pengambilan keputusannya. Menganalisis 484 putusan yang dikeluarkan pada
tahun 1996, 1997, dan 1998 dari berbagai pengadilan agama yang tersebar di
seluruh Indonesia, khususnya Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta,
disimpulkan pengadilan agama bahwa tingkat pertama, persentase putusan yang
menggunakan kompilasi sebagai acuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
yang tidak menggunakan kompilasi.
Penelitian tersebut menunjukan kompilasi belum sepenuhnya diterima sebagai
acuan oleh juri, tidak menunjukan secara spesifik mengapa kompilasi digunakan
sebagai referensi kurang di pengadilan agama banding daripada di pengadilan
agama tingkat pertama. Penelitian ini menyatakan kompilasi telah diterapkan
secara umum, dan bahwa tidak adanya kutipan pasal-pasal kompilasi di
sejumlah hakim bukan berarti hakim telah menyimpang dari ketentuan.

Penelitian juga dilakukan oleh Nuryamin Aini berfokus pada putusan


Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Aini menilai teks fiqh masih dianggap krusial
di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Meski mengamati penerapan
kompilasi, seperti yang dilakukan Kementerian Peradilan Agama, Aini tidak
melihat penggunaan kompilasi secara lebih komprehensif, karena ia tidak
mengamati dari perspektif penerapan isinya. Karena itu Aini tidak menjawab
mengapa dan dalam hal apa kompilasi tersebut belum diterapkan dengan baik.
Melihat lebih dalam ke penggunaan kompilasi oleh hakim pengadilan agama
dalam mencari pertimbangan hukum atas putusannya. Tidak hanya kutipan
terhadap kitab-kitab fiqh yang harus diperhatikan, tetapi juga menanyakan
apakah doktrin hukum dari kitab-kitab fiqh telah dipertahankan dalam menangani
kasus-kasus yang kompilasi menetapkan aturan yang berbeda, untuk temukan
apakah kompilasi telah diterapkan sepenuhnya atau belum.

Anda mungkin juga menyukai