Salah satu tujuan utama pembentukan kompilasi adalah untuk
menyatukan penalaran hukum yang digunakan oleh para hakim di pengadilan agama di Indonesia guna mencapai kepastian hukum bagi umat Islam Indonesia yang mengupayakan penyelesaian masalah kekeluargaan, hakim harus mendasarkan penilaiannya pada kompilasi yang merupakan sistematisasi atau rasionalisasi hukum materiil fiqh.
I Putusan Hukum: Bentuk dan Struktur
Rumusan standar yang ditetapkan oleh hakim di pengadilan agama
sebelum dan sesudah dikeluarkannya kompilasi. Biasanya diawali dengan Bismillahirrahmanirrahim (Atas nama Tuhan Yang Maha Esa dan Penyayang), diikuti dengan kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Atas nama Keadilan yang dilandasi keilahian Tuhan Yang Maha Esa). Basmalah digunakan untuk membuktikan karakter Islam dari pengadilan agama. Hukuman Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa adalah untuk menegaskan tujuan praktik peradilan pengadilan, yaitu keadilan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama. Frasa ini merupakan asas pertama dari landasan ideologis negara, yaitu Pancasila, dan tidak khas peradilan agama. Rumus ini diatur dalam UU No. 1/1970 tentang sistem peradilan di Indonesia.
Uraian Perkara (masalah) yang dibawa ke pengadilan, terdiri dari
keterangan, permohonan dan kontra-pembelaan dari penggugat dan tergugat, lengkap dengan keterangan atau keterangan saksi lalu penjelasan tentang pertimbangan hukum. Hal ini didasarkan pada informasi yang diberikan oleh kedua belah pihak, oleh persidangan itu sendiri, dan oleh argumentasi berdasarkan hukum, teks (nass) Alquran dan Sunnah, atau dari kitab-kitab fiqh, diikuti dengan keputusan hakim. Putusan diakhiri dengan menyatakan waktu, hari, dan tanggal di mana keputusan itu dijatuhkan, termasuk nama hakim panitera yang menangani kasus, dan juga tanda tangan mereka.
Ada dua jenis putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama:
penetapan (keputusan) dan putusan (putusan). Sebuah penetapan jatuh pada saat hakim memutus perkara berdasarkan permohonan (petisi) dari satu pihak, yang disebut pemohon atau penggugat.Karena penetapan tersebut hanya berdasarkan permintaan dari satu pihak, maka penetapan tersebut secara hukum hanya berlaku untuk penggugat dan tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Contoh yang sering ditemui yaitu permintaan keputusan tentang apakah penggugat adalah ahli waris praepositus (pewaris) yang sudah meninggal atau bukan, atau apakah orang itu adalah ahli waris dari orang tertentu atau bukan. Putusan dikeluarkan ketika hakim memutus perkara atas dasar gugatan (gugatan) yang melibatkan dua pihak, penggugat dan tergugat, putusan memiliki karakter condemnatory dan executorial. Salah satu contohnya adalah perselisihan tentang status hukum seseorang atau sekelompok orang dalam warisan atau perceraian.
Perbedaan penilaian antara poligami dan perceraian, disebutkan bahwa
kasus poligami dan perceraian yang diprakarsai oleh seorang suami dikategorikan sebagai kasus permohonan, dalam arti tidak mengandung unsur perselisihan sehingga tidak melibatkan terdakwa. Namun, kemudian mereka akan disidangkan berdasarkan tata cara perkara gugatan, di mana istri diberi hak untuk membela diri dari tuduhan suaminya dan menentang niatnya untuk bercerai atau melakukan perkawinan poligini. Kasus ini baik untuk perceraian yang diprakarsai oleh suami maupun untuk poligini, dipandang sebagai wahyu dari posisi bercabang yang diadopsi oleh para perumus UU dan kompilasi, dalam mencapai reformasi dan kecenderungan yang masih melekat pada doktrin fikih.
Dalam memutus perkara para hakim di pengadilan agama menggunakan
alasan hukum untuk mendukung putusan mereka. Dengan merangkum informasi yang diterima dari penggugat atau dari penggugat dan tergugat, dan keterangan yang diberikan oleh para saksi. Sebelum kompilasi diterbitkan, biasanya menyusun pertimbangan hukumnya dengan kutipan dari teks Alquran dan hadis Nabi, serta pernyataan atau pendapat ulama yang diambil dari kitab fiqh. Hanya satu atau dua referensi yang disebutkan. Jika menyertakan semua referensi, maka urutan referensi mengikuti hierarki sumber. Teks Alquran ditempatkan pada urutan pertama, diikuti oleh ucapan Nabi, dan pendapat ulama yang berasal dari buku-buku fiqh. Sejak tahun 1974 sudah ada Undang-Undang Perkawinan, dan sejak tahun 1977 sudah ada Peraturan Pemerintah tentang Wakaf. namun tentang warisan, pemberian dan wasiyat sepenuhnya didasarkan pada referensi seperti Alquran, Tradisi Nabi, dan buku-buku fiqh. Namun, Penerapan UU Perkawinan dan Peraturan Pemerintah tentang wakaf tidak sepenuhnya mengakhiri kutipan referensi seperti Alquran, Tradisi Nabi, dan buku fiqh sehingga kadang mengabaikan UU pernikahan.
Hakim Muslim mengutip rujukan yang menimbang dalil dari Al-Qur'an,
hadits atau pendapat dalam buku fiqh. Para hakim biasanya menulis teks asli dari setiap referensi - dari Alquran memasukkan referensi seperti bab dan ayat yang relevan, hadist beserta nama-nama yang menyampaikan ucapan Nabi, dan pernyataan ulama dari buku-buku fiqh beserta halaman. Pada Kasus warisan biasanya lebih sering disajikan dengan kutipan dari teks Alquran dan hadits. Pada kasus perkawinan, hakim di pengadilan agama cenderung mengutip buku- buku fiqh.
II Perubahan dan Kontinuitas
Hasil penelitian pada tahun 2000 oleh Direktorat Pembinaan dan
Pengembangan Peradilan Agama (Ditbinbapera) menunjukkan bahwa kompilasi telah banyak digunakan oleh hakim di Pengadilan Agama sebagai acuan dalam pengambilan keputusannya. Menganalisis 484 putusan yang dikeluarkan pada tahun 1996, 1997, dan 1998 dari berbagai pengadilan agama yang tersebar di seluruh Indonesia, khususnya Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta, disimpulkan pengadilan agama bahwa tingkat pertama, persentase putusan yang menggunakan kompilasi sebagai acuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak menggunakan kompilasi. Penelitian tersebut menunjukan kompilasi belum sepenuhnya diterima sebagai acuan oleh juri, tidak menunjukan secara spesifik mengapa kompilasi digunakan sebagai referensi kurang di pengadilan agama banding daripada di pengadilan agama tingkat pertama. Penelitian ini menyatakan kompilasi telah diterapkan secara umum, dan bahwa tidak adanya kutipan pasal-pasal kompilasi di sejumlah hakim bukan berarti hakim telah menyimpang dari ketentuan.
Penelitian juga dilakukan oleh Nuryamin Aini berfokus pada putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Aini menilai teks fiqh masih dianggap krusial di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Meski mengamati penerapan kompilasi, seperti yang dilakukan Kementerian Peradilan Agama, Aini tidak melihat penggunaan kompilasi secara lebih komprehensif, karena ia tidak mengamati dari perspektif penerapan isinya. Karena itu Aini tidak menjawab mengapa dan dalam hal apa kompilasi tersebut belum diterapkan dengan baik. Melihat lebih dalam ke penggunaan kompilasi oleh hakim pengadilan agama dalam mencari pertimbangan hukum atas putusannya. Tidak hanya kutipan terhadap kitab-kitab fiqh yang harus diperhatikan, tetapi juga menanyakan apakah doktrin hukum dari kitab-kitab fiqh telah dipertahankan dalam menangani kasus-kasus yang kompilasi menetapkan aturan yang berbeda, untuk temukan apakah kompilasi telah diterapkan sepenuhnya atau belum.