Anda di halaman 1dari 24

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI-TEORI FUNGSIONAL

STRUKTURAL,TEORI KONFLIK,TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK,SERTA


TEORI STRUKTURASI

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata kuliah:sosiologi pendidikan

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani,S,Th.I.,M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Zul Ma’arij

NIM : L1C018113

Fakultas&Prodi : Fisipol&Sosiologi

Semester : 5 (Lima)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

UNIVERSITAS MATARAM

T.A.2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas


kesempatan untuk menyelesaikan tugas ini.Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan tugas sosiologi pendidikan yang mengangkat tema “pendidikan
dalam perspektif teori-teori fungsional structural,teori konflik,teori interaksionisme
simbolik,serta teori strukturasi”,penyusunan tugas ini sebagai pnggantidari
paelaksanaan ujian tengah semester yang terjadwalkan karena system perkuliahan
yang berbasis daring. Dengan segala kemampuan yang ada,penulis berusaha untuk
mengoptimalkan pengnyusunan tugas ini, walaupun dirasakan masih banyak
kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki oleh penulis untuk itu segala keritik dan
saran yang membangun guna memperbaiki tugas ini, penulis harapkan.

Akhir kata,semoga tugas ini bermanfaat,khususnya bagi saya pribadi untuk


meningkatkan pemahaman dan pengetahuan saya selaku sebagai mahasiswa dan
bagi pihak-pihak yang mau menjadikan bahan pembahasan,dan tentunya keritik dan
saranlah yang dapat membuat tugas ini menjadi sempurna.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr.Taufiq Ramdani,S.Th.I.,M.Sos


sebagai dosen pengampuh mata kuliah sosiologi pendidikan,semoga beliau selalu
dalam lindungan yang maha kuasa,serta selalu diberi kesehatan oleh ALLAH SWT.

Penyusun,Mataram,16 Oktober 2020

Zul Ma’arij

L1C018113
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

PENDAHULUAN iv

LATAR BELAKANG v

RUMUSAN MASALAH vi

BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Fungsional Struktural 1

BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik 2

BAB III.Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik 3

BAB IV. Pendidkan dalam Perspektif Teori Strukturasi 4

KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS 5

DAFTAR PUSTAKA 6

LAMPIRAN 7
BAB 1 Perspektif Dalam Teori Fungsional Struktural

A. Teori Fungsional Struktural

Teori struktural fungsional melihat masyarakat sebagai sebuah keseluruhan sistem yang
bekerja untuk menciptakan tatanan dan stabilitas sosial. Teori ini sering disebut juga perspektif
fungsionalisme, dicetuskan oleh Emile Durkheim. Durkheim banyak mengkaji tentang tatanan
sosial dan bagaimana masyarakat dapat hidup harmonis. Fungsionalisme fokus pada struktur
sosial yang levelnya makro. Beberapa tokoh sosiologi yang terpengaruh oleh teori
fungsionalisme Durkheim diantaranya, Talcott Parsons dan Robert K. Merton. Durkheim sendiri
melihat masyarakat sebagaimana organisme. Organisme tersusun atas beberapa komponen yang
memainkan peranannya masing-masing. Apabila masing-masing komponen bergerak sendiri,
organisme akan mengalami disfungsi atau gagal berfungsi. Teori struktural fungsional melihat
institusi atau lembaga sosial sebagai komponen dari sistem sosial. Masing-masing lembaga
didesain untuk menjalankan fungsinya.

Dalam kacamata fungsionalisme, institusi sosial akan eksis apabila berhasil


menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Bila tidak, institusi sosial akan lenyap dengan
sendirinya. Dalam sosiologi, beberapa institusi sosial yang dimaksud antara lain: keluarga,
pemerintah, ekonomi, media, agama, dan sebagainya. Jika institusi sosial tidak bekerja
sebagaimana mestinya, maka sistem sosial akan collapse dan perlu waktu lama untuk pulih
seperti semula. Kondisi pasca perang merupakan contoh dimana sistem sosial rusak dan gagal
berfungsi akibat perang. Pasca perang, ekonomi tidak berjalan, pemerintah mengalami
kekosongan kekuasaan, dan aspek lain kehidupan sosial bubar. Teori struktural fungsional
melihat ini sebagai destabilitas dan rusaknya sistem sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, kita
bisa melihat bagaimana teori struktural fungsional bekerja dalam sebuah sistem. Sebagai
contoh, pemerintah yang mendirikan sekolah dalam rangka menyelenggarakan pendidikan
untuk warganya. Murid-murid dipersiapkan untuk mengisi lapangan kerja dan posisi-posisi di
pemerintahan nantinya. Ketika bekerja, tibalah mereka untuk membayar pajak. Uang pajak
tersebut digunakan untuk membiayai pendidikan dan lainnya.

Pada perkembangannya, teori struktural fungsionalisme banyak dikritik. Kritik utama


yang sering disampaikan misalnya, fungsionalisme menjustifikasi status quo. Teori ini dianggap
melayani pihak yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaanya. Fungsionalisme tidak
mendorong individu atau kelompok untuk mengambil inisiatif melakukan perubahan sosial,
sekalipun kondisi sosial sedang dalam ketimpangan yang ekstrim. Masing-masing individu
hanya menjalankan perannya dalam sebuah struktur. Teori struktural fungsional memandu
setiap komponen masyarakat agar berfungsi sebagaimana mestinya.

B. Asumsi dasar
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya
dalam ilmu sosial pada abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional
yaitu August Comte, Émile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural
fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai
organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan
tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.
Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan
untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari
pemikiran Emile Durkheim, di mana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte
dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian
dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara
masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut
dengan requisite functionalism, di mana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer
dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam
kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah
sebuah kesatuan di mana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian
dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi
seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika
ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang
menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional.
Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu
membentuk berbagai perspektif fungsional modern.
Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max
Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah

 Visi substantif mengenai tindakan sosial dan


 Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran
Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional


Hingga pertengahan abad, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif
sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton di bawah
pengaruh tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai ahli teori yang paling mencolok di
jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang ia
gulirkan. Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah abad
sejak ia mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini
Parson membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya adalah teori
sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia
luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkret, tetapi kepada elemen-
elemen di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh
karenanya, teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari
kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan
yang menyertainya. Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat erat
pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini
terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi.
Sehingga yang di dapat adalah organisasi konsep dalam bentuk sistem analisis yang mencakup
persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris.
Sistem tindakan diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson
meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal
Atainment, Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memeninuhi empat
criteria ini. Dalam karya berikutnya, The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi
pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara
lain kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab
terhadap sistem sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri
menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit tindakan olehkarenaya melibatkan motivasi
dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan
motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.
Akhir dari analisis ini adalah visi metafisis yang besar oleh dunia yang telah menimpa eksistensi
manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk mengkategorisasikan dunia
kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran
menggunakan media tersebut. Analisis ini pada akhirnya lebih filosofis daripada sosiologis,
yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali
pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan
dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme
kearah marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi
structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang besar dan
mencakup seluruhnya sedangkan parson lebih terbatas dan menengah.
Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai tiga
postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh
Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain:

 Kesatuan fungsi masyarakat, seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standard
bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam
masyarakat, hal ini berarti sistem sosial yang ada pasti menunjukan tingginya level
integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat
kecil tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih besar.
 Fungsionalisme universal, seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal
ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh struktur, adat istiadat,
gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan
stuktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang
membuat individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional
menjadi bertentangan.
 Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun
juga merespresentasikan bagian bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini
berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn
Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional
yang ada di dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.
Argumentasi Merton dijelaskan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut
berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap
bahwa seharusnya postulat yang ada didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan
Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompok,
masyarakat dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah
terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.
Awalnya aliran fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara
keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi
dan kelompok. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range
theory. Merton mengemukakan bahwa para ahli sosiologi harus lebih maju lagi dalam
peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-
teori besar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai: Teori yang terletak di
antara hipotesis kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar selama penelitian
dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya mengembangkan uato teori terpadu yang
akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku social. Teori taraf
menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris.
Dia merupakan jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari
kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk
mempertanggungjawabkan apa yang diamati, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-
hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi
yang saling terhubung secara logis di mana kesatuan empiris bisa diperoleh.
The middle range theory adalah teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis
kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis
yang inklusif untuk mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini
memiliki berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan untuk panduan temuan-temuan
empiris, merupakan lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus
perilaku social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di
deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi ia cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk
digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang
sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, artinya apa
yang dia kritik terhadap fungsionalis merupakan jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa
yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil bangunan teori kemudian di
benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.
Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan
institusi dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis
hal itu, para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan
fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri
mendefinisikan fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan
adaptasi atau penyesuian, karena selalu ada konsekuensi positif. Tetapi, Merton menambahkan
konsekuensi dalam fakta sosial yang ada tidaklah positif tetapi ada negatifnya. Dari sini Merton
mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan
kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negative
pada bagian lain.Hal ini dapat dicontohkan, struktur masyarakat patriarki c memberkan
kontribusi positif bagi kaum laki-laki untuk memegang wewenang dalam keputusan
kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena
aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun, dilontarkan oleh Merton.
Merton mengemukakan nonfungsi sebagai konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut.
Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tetapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah dapat ditentukan
manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Untuk itu Merton
menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan
fungsi laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak
dikehendaki.Maka dalam stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten
dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur
disfungsional akan selalu ada. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa
pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten, menunjukan penjelasan
Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat
mengintegrasikan teori tindakan dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan
antara intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton
terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia
mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tetapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang
mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten telah
membuka kekauan bahwa fungsi selalu berada dalam daftar menu struktur. Merton pun
mengungkap bahwa tidak semua struktur sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi
beberapa sistem sosial dapat dihapuskan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia dapat
membuka jalan bagi perubahan sosial.
Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya
didefinisikan sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama
untuk seluruh anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan
sosial teratur dan memeprnagaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain.
Anomi terjadi jika ketika terdapat disjungsi ketat antara norma-norma dan tujuan cultural yang
terstruktur secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan
tersebut. Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm
menurut norma-norma normative . kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis perilaku
yang dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan
dengan demikian disjungsi antara kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi
disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kirits
tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini
aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu
berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis,
menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan
Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, di mana ada keteraturan maka
harus siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak
pada status di dalamnya tetapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir
dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan akibat berbagai factor.
Apapun alasannya anomi dalam struktur apalagi yang kaku akan cenderung lebih besar. Dari
sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur, akan tetapi terus membawa
kepribadian sebagai produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur
terhadap perilaku seseorang adalah merupakan tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu
tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku
Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana struktur sosial
memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga
mereka lebih, menunjukkan kelakuan non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton,
anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk
mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.
Dari berbagai penjabaran yang ada Pemahaman Merton membawa pada tantangan
untuk mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah ada. Hal ini terbukti dengan munculnya
fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah
bukti kedinamisan ilmu pengetahuan tak lepas dalam struktural fungsionalisme.

BAB II. Perspektif Dalam Teori Konflik


A. Teori Konflik
Konflik menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Manusia tidak akan pernah terlepas
dari konflik, karena manusia hidup bermasyarakat dan dalam bermasyarakat itu sendiri terdapat
struktur yang mengatur sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu tatanan masyarakat yang
kompleks. Selain itu, interaksi sosial yang terjadi dalam bermasyarakat juga menjadi pemicu
terjadinya konflik. Interaksi didalamnya juga diatur oleh struktur sosial yang mengatur perilaku
dan mempengaruhi personal seseorang atau bahkan membentuknya. Kesimpulannnya, interaksi
sosial yang diatur oleh struktur sosial akan menimbulkan konflik dan akan membentuk
personalitas manusia. Berdasarkan penjelasan singkat di atas, berikut akan di ulas mengenai
perspektif konfik secara ringkas dalam pandangan tokoh-tokoh sosiologi. Antara lain:

Karl Marx

Karl Marx memandang konflik sebagai sisi lain dari sudut pandang bidang ekonominya.
Hal ini nampak terlihat dari teori-teorinya, misal tentang nilai kerja. Menurut Marx, aplikasi
kerja manusia merupakan hasil transformasi dari seluruh sumber nilai (Collins, th-. 53). Selain
itu, dalam karyanya yang lain yakni Das Kapital, Marx menunjukan bahwa kapitalisme suatu
saat akan runtuh walaupun dengan berbagai cara melakukan produksi (Sindhunata, 1982: 41).
Masih dalam perspektif Marx memandang konflik, ia mengembangkan teori konflik dengan
beberapa konsepsi yakni konsepsi tentang kelas sosial, perubahan sosial, kekuasaan dan negara
dimana konsepsi-konsepsi tersebut saling berkesinambungan. Sebagaimana dalam masyarakat 
kapitalis, konflik selalu terjadi antara kaum yang memiliki dan menguasai alat-alat produksi dan
dengan yang tidak, yakni borjuis dan proletar.

Ketika borjuis dapat memiliki dan menguasai alat-alat produksi tentu ada legitimasi
atau tanda kepemilikan legal yang diberikan oleh negara, karena negara juga memiliki
kepentingan. Sehingga borjuis memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang akan
diproduksi. Menurut Marx, dalam konteks ini hukum lebih banyak berfihak pada kaum borjuis
dibanding proletar, baginya negara merupakan komite eksekutif kaum borjuis (Cuff & Payne,
1984: 92). Selain itu, terdapat stratifikasi antara kaum borjuis dan kaum proletar dan
terbentuklah kelas-kelas sosial yang mendukung terjadinya perubahan sistem sosial yang
menimbulkan konflik. Marx membagi kelas-kelas sosial tersebut antara lain kelas yang
memiliki kepentingan dan kelas yang ingin mengubah sistem sosial.

Max Weber

Lain halnya dengan Karl Marx, Weber lebih cenderung memandang fenomena konflik
berdasarkan pemikiran rasionalitas. Weber membagi rasionalitas dalam empat tipe antara lain:
pertama, rasionalitas praktis yakni lebih memandang dan menilai aktivitas sosial yang
berhubungan dengan kepentingan dirinya secara pragmatis dan egoistik. Kedua, rasionalitas
teoritis, yakni lebih memahami terlebih dahulu realitas yang ada. Ketiga, rasionalitas substansif,
yakni mengikut sertakan cara-cara untuk mencapai tujuan. Keempat, rasionalitas formal, yakni
mengkalkulasikan cara-cara untuk mencapai tujuan.
Selain dasar pemikiran rasionalitas, Weber juga mengkaji fenomena konflik dalam
kajian deterministik ekonomi dan stratifikasi sosial yang dibaginya menjadi kelas, status dan
partai. Dimana seluruhnya juga saling berpengaruh. Cuff & Payne (1984: 96), Weber
mengatakan bahwa posisi Marx lebih menekankan bahwa perubahan memerlukan tindakan
sosial. Dalam hal ini, Weber tergugah untuk menemukan tindakan apa yang paling tepat yang
dapat membawa perubahan. Dalam karyanya The Protestant Ethic and The Spirit of
Capitalism, ia mengkaji bagaimana awal kapitalisme terjadi dan berkembang pesat di negara
barat, yakni karena adanya ajaran Calvinisme.

Calvinisme merupakan ajaran dari agama Protestan yang mengajarkan umatnya untuk
selalu bekerja keras mencari uang dan berhemat serta hidup sederhana agar semakin dekat
dengan Tuhan atau menjadi pilihan Tuhan. Dengan kata lain, menumpuk harta agar dapat
memiliki dan menguasai alat-alat produksi sehingga ia dapat bekerja lebih efisien dan lebih
mendapatkan keuntungan. Dari sini lah, semangat kapitalis di negara-negara barat muncul dan
terus berkembang karena ide religius tersebut telah memotivasi individu-individu untuk
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Weber membuktikan bahwa perubahan
sosial tidak hanya didasari oleh konteks ekonomi saja, tetapi religiusitas juga dapat mendorong
perubahan.

Ralf Dahrendorf

Setelah membahas perspektif konflik Karl Marx dan Max Weber, perspektif konflik
yang selanjutnya adalah perspektif konflik dari Ralf Dahrendorf. Dahrendorf melalui 
karyanya Clas and Conflict Class in Industrial Society berupaya memodifikasi konsep teori
konflik Marx. Ia beranggapan bahwa konsep-konsep konflik Marx hanya berlaku pada saat
masyarakat kapitalis saja, tetapi tidak pada masyarakat pasca kapitalis atau ia meyebutnya
dengan masyarakat modern industrial. Menurut Dahrendorf, konflik pada masyarakat modern
industrial tidak hanya dalam konteks pemilik alat-alat produksi yang selalu disangkut-pautkan
Marx dengan ekonomi, politik dan sosial.

Modifikasi yang ia lakukan adalah dengan membangun pemahaman baru tentang


perubahan struktur sosial masyarakat pasca kapitalis antara lain, dekomposisi kapital,
dekomposisi pekerja, perkembangan kelas menengah baru, pertumbuhan mobilitas sosial dan
pertumbuhan persamaan. Kelima hal tersebut menjelaskan proses perubahan masyarakat
modern industrial tentang struktur kelas pekerja. Singkat kata, profesi-profesi yang muncul
dikalangan masyarakat modern industrial menjadi tergolong sebagai pekerja tanpa harus
memiliki alat-alat produksi. Hal ini yang menjadi kritik Dahrendorf tentang konsep-konsep
konflik Marx tidak berlaku lagi dalam masyarakat modern indusrtial karena para pekerja telah
menempatkan profesi-profesi mereka dan telah terlegitimasi.

Cuff & Payne (1984: 103) menyebutkan bahwa menurut Dahrendorf konflik yang
terjadi dalam kelompok-kelompok kepentingan harus dipahami terlebih dahulu. Konflik dalam
masyarakat pasca kapitalis telah terlembaga atau di ‘setting’. Menurutnya, konflik telah diatur
sedemikian rupa oleh kelompok yang memiliki kepentingan dan konflik tidak lagi merusak
sistem sosial. Kelompok kepentingan artinya kelompok yang saling terhubung satu sama lain
karena keterikatannya (Dahrendorf, 1986: 222). Selain itu, Dahrendorf mengatakan bahwa
dalam masyarakat pasca kapitalis terdapat dua jenis kelompok yang mempengaruhi
pembentukan kelas yakni kelompok potesial dan kelompok kepentingan, dan konflik hanya
muncul pada kedua kelompok tersebut (Dahrendorf, 1986: 305-306).

Demikian penjelasan singkat perspektif konflik dari tiga tokoh sosiologi diatas.
Dahrendorf dalam kritiknya terhadap konsep pemikiran Karl Marx seakan terlalu terburu-buru
dalam membangun pemahaman baru terhadap masyarakat industrial modern. Karena
kenyataannya kapitalis masih menguasai sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki modal
untuk usahanya atau tidak mampu untuk mencari pekerjaan apapun profesinya itu, profesi yang
dijadikan suatu pekerjaan sebelumnya juga memiliki proses yang panjang untuk mendapatkan
profesi tersebut. Sebagai contoh jika seorang anak miskin ingin menjadi seorang pilot atau
dokter atau guru atau yang lain sebagainya, maka ia harus terlebih dahulu meraih pendidikan
yang sesuai dan setara dengan profesi yang di inginkan tersebut. Oleh karena itu, bidang
ekonomi menjadi salah satu konsepsi konflik baik dalam masyarakat kapitalis maupun
masyarakat modern industrial sekalipun, karena saai ini yang namanya pekerjaan apapun
membutuhkan modal walau sekecil apapun.

Embrio Konflik dalam Kehidupan Sosial Dalam realitas kehidupan sosial, konflik
seringkali menyeruak sebagai hakikat yang dikonotasikan negatif. Terlepas dari asumsi yang
muncul ini hanya sebagai hipotesis dalam menganalisis fenomena sosial, namun tetap saja
eksistensi konflik masih juga didudukkan sebagai entitas yang memilukan bagi pribadi-pribadi
yang menganalisisnya dari linearitas sudut pandang. Tidak dapat dipungkiri, persepsi yang
mengemuka dari para pakar khususnya para sosiolog pun menguraikan probabilitas eksistensi
ini. Deskripsi tentang polemik sudut pandang dasar konflik tergambar melalui perspektif yang
dibangun Turner1 berikut:

Senada atas pernyataan Turner di atas, Wes Sharrock dalam Pip Jones2 menjelaskan
bahwa pandangan konflik di bangun atas dasar asumsi bahwa setiap masyarakat dapat
memberikan kehidupan baik luar biasa bagi sebagian orang tetapi hal ini biasanya hanya
mungkin karena kebanyakan orang tertindas ditekan. Oleh sebab itu, perbedaan kepentingan
dalam masyarakat sama pentingnya dengan kesepakatan atas aturan dan nilai-nilai, dan sebagian
besar masyarakat diorganisasi sedemikian sehingga masyarakat tersebut tidak hanya
memberikan manfaat lebih besar bagi sebagian warga berarti ketidaknyamanan bagi sebagian
warga lain yang tidak mendapatkan kemudahan Konseptualisasi dari konflik sebagaimana
dijelaskan oleh Turner di atas menunjukkan bahwa secara realistis konflik dapat saja
berimplikasi kepada ketidaknyamanan pada suatu perspektif, namun pada sisi lain hakikatnya
merupakan antitesis yang bisa menimbulkan solusi atas suatu problematika sosial. Banyak
usaha sejatinya diuraikan oleh para pemerhati studi atas konflik. Nilai-nilai yang bisa diungkap
sebagai kontribusi positif dari fenomena ini seutuhnya disampaikan guna menguatkan bahwa
tidak ada nilai absolut yang mengarah kepada aspek negatif kemunculan konflik dalam realitas
sosial. Para pemerhati teori konflik menurut Wallace dan Wolf3 berkeyakinan bahwa analisis
sosial yang mereka kembangkan tidak akan menjauhkan dari komitmen moral yang disepakati
oleh publik. Asumsi yang mereka bangun adalah eksistensi teori yang dikembangkan ditujukan
seutuhnya untuk menciptakan perubahan dan pencapaian terhadap realitas yang lebih baik.
Keyakinan mereka senantiasa dibangun bersandar kepada hakikat bahwa objektivitas
merupakan sebuah posibilitas semata. Ilmu sosial dalam pandangan mereka akan berjalan di
antara ruang dan waktu kerja seorang penulis yang senantiasa diperankan kepada dirinya fungsi-
fungsi sosial yang mengitari. Dalam perspektif lain dapat dijelaskan bahwa para pakar teori
konflik akan menolak paradigma keilmuan umum yang senantiasa mengukuhkan diri dan
paradigma yang dikembangkan sebagai satu-satunya objektivitas.
Pembahasan tentang akar konflik dalam kajian sosial tidak bisa dilepaskan dari
periodisasi kemunculan dinamika ini dalam kehidupan masyarakat Eropa. Sebagaimana catatan
Sanderson5 disebutkan bahwa sistem kehidupan ekonomi yang berlaku di Eropa Barat dari
sekitar runtuhnya Kekaisaran Romawi sampai datangnya kapitalisme modern, dikenal sebagai
feodalisme. Feodalisme merupakan ciri khas masyarakat Perancis, Jerman, dan Inggris.
Meskipun demikian, feodalisme juga terdapat di belahan lain di Eropa Barat. Unit dasar
produksi ekonomi dalam masa feodalisme adalah manor (suatu daerah tertentu biasanya
dikelilingi hutan, di dalamnya terdapat pemerintahan kecil yang dipimpin seorang bangsawan).
Manor dikelola oleh tuan tanah dan digarap oleh sejumlah petani. Rata-rata petani menggarap
sekitar 30 are yang sekaligus merupakan tanah tempat tinggal dan pertaniannya. Sedangkan
tanah yang dikuasai langsung oleh tuan tanah untuk kepentingannya sendiri disebut tanah
pribadi (demesne). Hubungan antara tuan tanah dan petani sangat tidak seimbang dan
merugikan petani. Petani harus bekerja pada tuan tanah di tanah pribadinya, sementara di lain
pihak petani juga harus membayar upeti. Misalnya, petani wajib memberikan hasil-hasil
pertanian tertentu dan membayar bea seperti bea penggunaan alat pemeras anggur, tungku
pemanas, atau penggil.

Sosiolog yang pertama kali menggunakan istilah interaksionisme simbolik adalah Herbert
Blumer. Ketika berkolaborasi menulis dengan koleganya George Herbert Mead di Universitas
Chicago, istilah interaksionisme simbolik dikembangkan. Mead kemudian menulis buku
berjudul Mind, Self, and Society yang membuat teori interaksionisme simbolik dikenal luas
dikalangan intelektual Amerika dan Eropa.

Teori interaksionisme simbolik menganalisis masyarakat berdasarkan makna subjektif yang


diciptakan individu sebagai basis perilaku dan tindakan sosialnya. Individu diasumsikan
bertindak lebih berdasarkan apa yang diyakininya, bukan berdasar pada apa yang secara objektif
benar. Apa yang diyakini benar merupakan produk konstruksi sosial yang telah
diinterpretasikan dalam konteks atau situasi yang spesifik. Hasil interpretasi ini disebut sebagai
definisi situasi.

Sebagai contoh, tindakan orang yang merokok. Fakta objektif yang ditunjukkan ilmu medis
menyatakan bahwa merokok berakibat buruk bagi organ tubuh. Namun sekelompok anak muda
memilih untuk merokok bukan karena mereka tidak tahu kebenaran objektif yang menjadi
resiko merokok, tetapi karena mereka meyakini bahwa merokok itu meningkatkan image positif
tentang dirinya setidaknya dilingkungan pergaulannya.

Mead memberi kontribusi untuk menjelaskan operasionalisasi teori ini melalui pembedaan
istilah ”I” (aku) dan ”me” (daku). ”Aku”, menurutnya adalah diri yang aktif berpikir, bernapas,
dan berperilaku dalam masyarakat. Sedangkan ”daku” merupakan diri sebagai hasil interpretasi
tentang apa yang dipikirkan orang lain tentang ”aku”. Ketika kita bertindak berdasarkan apa
yang dipikirkan orang lain tentang kita, maka ”aku” telah berganti ”daku”, seperti selfie di
Instagram yang dicontohkan di awal dan anak muda yang merokok karena image.
Blumer menuliskan tga prinsip utama teori interaksionisme simbolik. Pertama, kita
bertindak dan berperilaku berdasarkan makna yang kita interpretasikan dari perilaku atau
tindakan kita. Sebagai contoh, kita makan di cafe. Ketika duduk kita menginterpretasikan bahwa
diri kita adalah pelanggan sedangkan orang yang mendekati kita menawari menu adalah pelayan
cafe. Maka ketika ditanya mau makan apa, kita menjawab sebagaimana pelanggan ditanya
pelayan. Kedua, makna sosial merupakan hasil konstruksi sosial. Ketika kita berpikir sebagai
pelanggan, maka kita berperilaku dan bertindak sesuai peran kita sebagai pelanggan. Peran
sebagai pelanggan dan juga pelayan restoran, pemilik restoran dan sebagainya secara konstan
dikomunikasikan sehingga berlangsung dalam interaksi sosial. Proses interaksi sosial tersebut
menciptakan makna yang ajeg tentang apa itu pelanggan, bagaimana harus bertindak, apa itu
pelayan, bagaimana harus bertindak, dan sebagainya. Makna tentang bagaimana menjadi
pelanggan atau pelayan adalah produk konstruksi sosial. Ketiga, lanjutan dari sebelumnya,
penciptaan makna sosial dan pemahaman makna sosial merupakan proses interaktif yang terus
berlangsung. Makna sosial biasanya sudah eksis jauh sebelumnya. Proses interaksi bisa
melanggengkannya, mengubahnya perlahan, atau menggantinya secara radikal. Misalnya, ketika
pelayan menawarkan makanan, kita marah karena menunya nggak ada yang kita sukai. Lalu,
pelayan tersebut bingung kemudian menenangkan kita. Ketika bingung, pelayan tersebut sedang
memaknai ulang bagaimana bertindak sebagai pelayan ketika pelanggan tiba-tiba marah
sehingga menenangkan kita.

Teori interaksionisme simbolik melihat realitas sebagai konstruksi sosial yang dibentuk
melalui proses interaksi yang terus berlangsung. Teori ini sering digolongkan sebagai teori
mikro sosiologi karena ranah analisisnya sampai pada aspek individu.

Teori Interaksionisme Simbolik berusaha memahami fenomena sosial ini dengan mengkaji
bagaimana aparat tadi memahami simbol tanda larangan parkir tersebut. Tentu saja, kajian ini
akan menarik jika perilaku parkir di bawah tanda larangan parkir itu berulangkali terjadi; bukan
kejadian secara kebetulan atau karena kecelakaan. Tindakan repetisi seperti itu akan
memperkuat tentang adanya pemaknaan yang benar-benar telah bergeser di benak pelakunya
terhadap suatu simbol. Teori Interaksionisme Simbolik dalam konteks tulisan ini menunjukkan
bahwa perilaku “menyimpang” yang diperagakan oleh siapapun, jika dibiarkan (tanpa
dikoreksi) dalam kurun waktu tertentu akan menghadirkan mana simbolik baru. Tanda-tanda
lalu lintas menjadi hilang makna asalinya karena terkikis akibat interaksi sosial, yang bermula
dari aksi-aksi individual. Penciptaan budaya hukum yang sehat dalam skala yang luas (budaya
hukum eksternal) wajib juga dimotori oleh penegakan disiplin dalam budaya hukum para aparat
penegak hukum (budaya hukum internal). Dan, itu bisa disimbolkan dari perilaku sederhana
seperti dengan tidak memberikan contoh memarkir kendaraan di tempat yang terlarang.
BAB IV Perspektif Dalam Teori Strukturasi

A. Teori Strukturasi

Teori strukturasi adalah teori ilmu sosial tentang penciptaan dan reproduksi sistem sosial
yang berbasis pada analisis struktur dan agen (lihat struktur dan agen), tanpa memberi
keunggulan pada keduanya. Selanjutnya, dalam teori strukturisasi, baik analisis
mikro maupun makro semata sudah cukup. Teori ini diusulkan oleh sosiolog Anthony Giddens,
dan menuliskannya dalam buku The Constitution of Society.[1]Pada buku tersebut, dia
menguji fenomenologi, hermeneutika, dan praktik sosial pada persimpangan antara struktur dan
agen yang tak terpisahkan. Pendukungnya telah mengusulkan dan memperluas posisi seimbang
ini.[2] Meski teori ini telah menuai banyak kritik, namun teori ini tetap menjadi pilar teori
sosiologi kontemporer.

Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualism (pertentangan) dan mencoba
mencari likage atau pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional
dengan konstruksionismefenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang
dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan
naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang
secara mekanis, dan bukan suatu produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi Giddens juga
tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai
berakhir pada imperalisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakiri klaim-klaim keduanya
dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.

Giddens menyelesaikan debat antara dua teori yang menyatakan atau berpegang bahwa
tindakan manusia disebabkan oleh dorongan eksternal dengan mereka yang menganjurkan
tentang tujuan dari tindakan manusia Menurut Giddens, struktur bukan bersifat eksternal bagi
individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal. Terkait dengan
aspek internal ini Giddens menyandarkan pemaparannya pada diri seorang subjek yang
memiliki sifatnya yang otonom serta memiliki andil untuk mengontrol struktur itu sendiri.
Giddens (2011) memaparkan, struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint) namun
selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Hal ini tidak mencegah sifat-
sifat struktur system sosial untuk melebar masuk kedalam ruang dan waktu diluar kendali actor-
aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap kemungkinan bahwa teori-teori sistem sosial
para aktor yang dibantu ditetapkan kembali dalam aktivitasativitasnya bisa merealisasikan
sistem-sistem itu. Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-
tujuan mereka, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki unintended
consequences (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada
tindakan manusia selanjutnya. Manusia menurut teori ini yaitu agen pelaku bertujuan yang
memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu menguraikan alasan itu secara
berulangulang.

Tidak menutup kemungkinan alasan yang diuraikan oleh manusia secara berulang-ulang
tersebut memiliki tujuan-tujuan yang didasarkan atas apa yang hendak ia perlukan pada dimensi
ruang dan waktu yang berbeda-beda. Bisa dikatakan tindakan dari seorang agen tak jarang pula
untuk mempengaruhi struktur di mana mereka tengah menjalankan kiprahnya. Aktivitas-
aktivitas sosial manusia ini bersifat rekursif dengan tujuan agar aktivitas-aktivitas sosial itu
tidak dilaksanakan oleh pelaku-pelaku social tetapi diciptakan untuk mengekspresikan dirinya
sebagai aktor atau pelaku secara terus menerus dengan mendayagunakan seluruh sumberdaya
yang dimilikinya. Pada dan melalui akivitas-aktivitasnya, agen-agen mereproduksi kondisi-
kondisi yang memungkinkan dilakukannya aktivitas-aktivitas itu.Tindakan manusia diibaratkan
sebagai suatu arus perilaku yang terus menerus seperti kognisi, mendukung atau bahkan
mematahkan selama akal masih dianugerahkan padanya (Giddens, 2011:4).

Menurut Barker (2011) Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai


berikut: Pertama, pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara agen
memahami sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana
seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara
agen mencapai suatu keinginan.

Sekadar untuk menekankan saja bahwa teori strukturasi terpusat pada cara agen
memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan mereka sendiri. Aktivitas-
aktivitas manusia yang teratur tidak diwujudkan oleh aktor-aktor individual, melainkan terus-
menerus diciptakan dan diulang oleh mereka melalui cara mereka mengekspresikan diri sebagai
aktor. Jadi, di dalam dan melalui aktivitas, agen mereproduksi sejumlah kondisi yang
memungkinkan aktivitas-aktivitas semacam itu. Setelah dibentuk sebagai seorang key person
oleh sejumlah harapan dan praktik yang dipadukan dengan kesadaran bersama, setelah belajar
dan menginternalisasikan nilai serta aturan, maka kita bertindak sesuai dengan aturan-aturan itu,
mereproduksi aturan itu lagi. Di mana aturan yang mengikat tersebut kembali menjadikan
masyarakat di sekitarnya turut melembagakan kekangan walaupun pada akhirnya munculnya
kuasa mampu menembus peraturan yang mereka buat sendiri.

1. Mengklarifikasi Ranah Agen, Agensi

Konsep agensi umunya diasosiasikan dengan kebebasan, kehendak bebas, tindakan


kreativitas, orisinilitas dan kemungkinan perubahan melalui aksi agen bebas. Bagaimanapun
juga kita perlu membedakan antara istilah metafisis atau mistis agensi bebas di mana agen
membentuk dirinya sendiri (yaitu mewujudkan dirinya sendiri dari ketiadaan) dengan konsep
agensi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial dan diberdayakan oleh sumber daya sosial
yang disebarkan secara bervariasi, yang memunculkan berbagai tingkat kemampuan untuk
bertindak pada ruang-ruang tertentu.

Sebagai contoh, identitas suatu kaum terikat dengan struktur yang mewarnainya yang
didahului oleh hasil nilai dan diskursus sosial yang memungkinkannya melakukan aktivitas-
aktivitas tersebut sebagai seorang agen. Kemudian ada perbedaan antara konsepsi di mana
tindakan diciptakan oleh agen yang bebas karena tidak ditentukan dengan agensi sebagai suatu
kapasitas untuk bertindak yang dibentuk secara sosial. Kebebasan yang mengarah pada
kekuaasan subjektif dikaji secara khas. Pandangan bahwa agen itu bebas dalam arti tidak
ditentukan tidak dapat dipertahankan akrena dua alasan:

1. Terdiri dari apa saja tindakan manusia yang tidak ditentukan atau tidak dipengaruhi?
Tindakan seperti ini ialah sesuatu yang diciptakan secara spontan dari ketiadaan suatu
bentuk metafisis dan mistis ciptaan orisinal.
2. Subjek ditentukan, dipengaruhi dan diproduksi, oleh kekuatan sosial yang ada di luar
dirinya sendiri sebagai individu. Giddens menyebutnya sebagai Dualitas Struktur
(Barker, 2011: 191).

3.
2. Struktur, Strukturasi

1. Apa yang hendak kita bahas dalam sub bab ini ialah inti dari teori strukturasi yakni
konsep-konsep struktur, sistem dan dualitas struktur. Gagasan strukturasi (atau ‘struktur
sosial’) tentu saja sangat penting dalam tulisan-tulisan kebanyakan penulis fungsionalis
dan telah memberikan andilnya pada tradisi strukturalisme, namun tampaknya tidak ada
konsep yang paling cocok dengan tuntunan-tuntunan teori sosial. Para penulis
fungsionalisme dan para pengkritiknya telah memberikan memberikan perhatian besar
pada gagasan fungsi dibandingkan dengan gagasan struktur, dan dengan demikian
struktur lebih cenderung digunakan sebagai gagasan yang diterima begitu saja. Namun
tak diragukan lagi terdapat gagasan tentang bagaimana struktur biasanya dipahami oleh
kaum fungsionalis dan bahkan oleh mayoritas analis sosial-sebagao suatu ‘pemolaan’
hubungan atau fenomena-fenomena sosial. Kondisi ini kerap dianggap sebagai
pencitraan visual, yang sama dengan kerangka atau morfologis organisme atau
penyangga suatu bangunan. Konsepsi-konsepsi seperti itu berhubungan denga dualisme
subjek dan objek sosial.

2. Di sini struktur ternyata sebagai sesuatu yang bersifat eksternal bagi tindakan manusia,
sebagai sumber yang mengekang kekuasaan subjek yang disusun secara mandiri.
Sebagaimana yang dikonseptualisasikan dalam pemikiran strukturalis dan post-
strukturalis, gagasan struktur ternyata lebih menarik. Dalam hal ini struktur secara khas
dianggap bukan sebagai pembuat pola kehadiran seorang melainkan sebagai titik
simpang antara kehadiran dan ketidakhadiran. Kode-kode dasar harus disimpulkan dari
manifestasi-manifestasi yang merekat (Giddens, 2011: 20). Sehingga batas-batas antara
keduanya bisa diidentifikasi dengan jelas pada pembahasan selanjutnya.

Dua ide tentang struktur tersebut sekilas tampak tidak ada kaitannya satu sama lain, namun
nyatanya masing-masing berhubungan dengan aspek-aspek penting dari struktur hubungan-
hubungan sosial, aspek-aspek yang dalam teori strukturasi dapat dipahami dengan menganalisis
perbedaan antara konsep struktur dengan sistem. Dalam menganalisis hubungan-hubungan
sosial, kita harus mengakui dimensi sintagmatig, suatu pola hubungan sosial dalam ruang dan
waktu yang melibatkan urutan sebenarnya dari mode-mode pengembangan struktur yang secara
reikursif diimplikasikan dalam proses-proses reproduksi. Dalam tradisi strukturalis, biasanya
terdapat ketaksaan (ambiguity) perihal apakah struktur mengacu secara terbuka pada suatu
matriks transformasi di dalam seperangkat aturan-aturan transformasi yang menentukan matriks
tersebut. Paling  idak dari makna dasarnya, saya mempeelakukan matriks sebagai sesuatu yang
mengacu pada aturan-aturan dan sumber daya-sumber daya seperti itu.

Hanya saja tidak tepat bila menyebutnya sebagai aturan-aturan yang tertransformasi, sebab
semua aturan bersifat transformative. Oleh karena itu, struktur dalam analis sosial lebih
mengacu pada sifat-sifat struktur yang membuka kemungkinan pemberian batas-batas ruang dan
waktu dalam sistem-sistem sosial, sifat-sifat demikian memberi kemungkinan munculnya
praktek-praktek sosial serupa dalam berbagai rentang ruang dan waktu serta memberinya suatu
bentuk ‘sistematik’.

Menyatakan bahwa struktur merupakan urutan sesungguhnya dari suatu hubungan


tranformatif berarti bahwa sistem sosial, sebagai praktek sosial yang dereproduksi tidak
memiliki struktur namun memperlihatkan sifat-sifat struktual. Ia menunjukkan bahwa struktur
itu ada, sebagaimana keberadaan ruang dan waktu. Sifat-sifat struktural ini hanya muncul di
dalam berbagai tindakan isntan serta menjadi jejak-jejak memori yang memberi petunjuk akan
perilaku agen-agen manusia yang telah banyak memiliki pengetahuan. Pada gilirannya , kita
bisa saja menganggap bahwa sifat-sifat struktural tersebut sebagai sesuatu yang secara hirarki
diorganisasikan bedasarkan luasnya ruang dan waktu tempat pengorganisasian tindakan-
tindakan tersebut secara rekursif. Sifat-sifat struktural yang muncul dalam sebuah totalitas
reproduksi sosial demikian menurut Giddens disebut sebagai prinsip-prinsip struktural. Dengan
praktek-praktek sosial yang memiliki perluasan ruang waktu terbesar dalam totalitas seperti itu
bisa diacu sebagai institusi.
Dengan menggunakan aturan-aturan yang bersifat intensif, digunakanlah rumus yang
biasa digunakan sehari hari, yang masuk dalam pembangunan bentuk kehidupan sehari-hari.
Aturan-aturan bahasa memiliki sifat seperti ini. Begitu juga misalnya prosedur-prosedur yang
dimanfaatkan oleh aktor dalam mengorganisasikan giliran bicara dalam percakapan atau
interaksi. Prosedur-prosedur itu bisa diperbandingkan dengan aturan-aturan yang lebih abstrak
yakni hukum yang dikodifikasi paling berpengaruh untuk menata aktivitas sosial. Namun
kebanyakan prosedur yang tampak remeh dalam kehidupan sehari-hari memiliki pengaruh yang
lebih besar terhadap generalitas perilaku sosial. Kategori lainnya kurang lebih bersifat
pemaparan diri. Kebanyakan aturan yang diimplikasikan dalam produksi dan reproduksi ialah
praktek-praktek sosial hanya secara diam-diam dipahami oleh aktor-aktor, mereka mengetahui
cara terus melakukan sesuatu. Rumusan diskursif suatu aturan merupakan intepretasi atas aturan
itu, dan sebagaimana yang telah dikemukakan mungkin dengan sendirinya mengubah bentuk
penerapannya. Diantara aturan-aturan yang tidak dirumuskan secara diskursif namun di
komodifikasi secara formal, jenis kasusnya ialah kasus hukum. Hukum tentu saja mrupakan
salah satu jenis aturan sosial yang disertai kuat dan dalam masyarakat modern secara formal
telah ditetapkan tingkatan-tingkatan retribusinya (Giddens, 2011: 29-30).

Aturan yang muncul dalam interaksi sosial menjadi pedoman yang digunakan agen-agen
atau pelaku-pelaku untuk melakukan reproduksi hubungan-hubungan sosial yang melintasi
batasan waktu dan ruang. Aturan muncul dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Aturan sering dipikirkan dalam hubungan dengan permainan (games) atau sebgai
konsep yang diformalkan. Bahkan ia dikidifikasijan sebagai bentuk hukum yang secara
karakteristik menjadi pokok persoalan dari sebuah keragaman tentang permohonan
yang sunguh-sungguh.
2. Aturan sering diperlakukan tunggal, seolah-olah ia dapat dihubungkan dengan contoh-
contoh khusus atau bagian dari tindakan. Tetapi menjadi tidak benar jika dikenalkan
dengan analogi pada beroperasinya kehidupan sosial, yang makna praktikpraktik
dilanggengkan dalam kebersatuan dengan kerangka yang terorganisasi secara longgar.
3. Aturan tidak dapat dikonsepkan lepas dari sumber daya, yang menunjukkan cara
dengan jalan mana hubungan transformative benar-benar bergabung dengan reproduksi
dan produksi praktikpraktik sosial. Kemudian, sifat-sifat struktural menggambarkan
bentuk dominasi dan kekuasaan.
4. Aturan secara tidak langsung menjadi prosedur metodis interaksi sosial, seperti yang
telah dibuta oleh Garfinkel. Secara tipikal, aturan silang-menyilang dengan praktik-
praktik dalam kontekstualisasi pertemuan terkondisikan. Pertimbangan untuk tujuan
khusus yang Garfinkel identifikasi secara kronis dilibatkan dengan bukti terwakili dari
aturan. Ia penting untuk membentuk aturan-aturan itu. Harus ditambahkan bahwa setiap
agen social yang kompeten merupakan ahli teori sosial pada tingkatan kesadaran
diskursif dan ahli metodologis pada tingkatan kesadaran diskursif dan praktis.
5. Ada dua aspek aturan dan penting membedakannya secara konseptual, sejak sejumlah
penulis filosofis cenderung mengganggapnya sama. Pada satu sisi, aturan berhubungan
dengan aturan makna dan pada sisi lain pemberian sanksi cara bertingkah laku sosial
(Giddens, 1984:18).

6.
Kemudian, pembedaan struktur sebagai istilah umum dengan struktur dalam pengertian
jamak ialah keduanya berasal dari sifat struktural sistem sosial. Struktur mengacu tidak
hanya pada aturan-aturan yang disiratkan dalam produksi dan reproduksi sistem-sitem
sosial namun juga pada sumberdaya-sumberdaya. Ketika Giddens menjelaskan sumber
daya, ia menyatakan bahwa individu menciptakan masyarakat dengan tidak sekadar
melakukan garukan melalui cara yang sederhana, tetapi lebih dahulu menggambarkan
sumber-sumber yang telah ada sebelumnnya.Adapun tiga jenis sumber daya yang
dmaksudkan ialah:

a. Makna-makna (sesuatu yang diketahui, stok pengetahuan

b. Moral (sistem nilai)

c. Kekuasaan (pola-pola dominasi dan pembagian kepentingan.


KESIMPULAN DAN ANALISIS KRISIS

A.Kesimpulan

Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi dan dalil yang saling berhubungan yang
menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan
antarvariabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Labovitz dan Hagedorn
mendefinisikan teori sebagai ide pemikiran “pemikiran teoritis” yang mereka definisikan
sebagai “menentukan” bagaimana dan mengapa variabel-variabel dan pernyataan hubungan
dapat saling berhubungan

Pengertian Pendidikan  adalah sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran untuk peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pengertian Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf
hidup atau  untuk kemajuan lebih baik. Secara sederhana, Pengertian pendidikan adalah proses
pembelajaran bagi peserta didik untuk dapat mengerti, paham, dan membuat manusia lebih
kritis dalam berpikir.

B.ANALISIS

Sosiologi pendidikan merupakan salah satu mata kuliah yang  berusaha untuk
menganalisis aspek pendidikan dalam perspektif sosiologis. Sehingga, sebagai mahasiswa yang
juga calon sarjana sosial, diharapkan mampu dan memiliki kepekaan terhadap aspek sosial
pendidikan baik menyangkut hubungannya dengan agama, politik, budaya, ekonomi dan lain
sebagainya. Sebab, sebagai sebuah institusi, lembaga pendidikan juga berhubungan secara
timbal balik dengan lembaga-lembaga lainnya. Khususnya dalam masyarakat yang
diselenggarakan berbagai macam tingkat pendidikan yang sekaligus bertindak penyelenggara
pendidikan, biasanya muncul fenomena sosial pendidikan yang menarik untuk dianalisis. Untuk
itulah kehadiran mata kuliah Sosiologi Pendidikan ini dapat menjadi bekal akademis bagi calon
sarjana sosial dalam memahami realitas dunia khususnya dalam dunia pendidikan

1. Teori struktural fungsional adalah sebuah teori yang berisi sudut pandang yang
menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling
berkaitan. Cirinya adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat. Masyarakat sama
dengan organisme biologis, karena mempunyai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
agar masyarakat dapat melangsungkan hidupnya dan berfungsi dengan baik

2. Kesimpulannya adalah konflik yang terjadi dalam masyarakat disebabkan karena


adanya interaksi sosial yang telah dipengaruhi oleh struktur sosial dan terdapat
kepentingan-kepentingan kelompok masing-masing didalamnya serta didominasi oleh
pengaruh-pengaruh lain seperti ekonomi, sosial dan sebagainya. Konflik memang tidak
terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Disisi lain, keberadaan konflik seharusnya
memang ada, guna membangun kesatuan yang lebih kokoh dalam suatu kelompok.

3. Teori interaksionisme simbolik merupakan salah satu teori yang banyak digunakan
dalam penelitian sosiologi. Teori ini memiliki akar keterkaitan dari pemikiran Max
Weber yang mengatakan bahwa tindakan sosial yang dilakukan oleh individu didorong
oleh hasil pemaknaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya. Makna sosial diperoleh
melalui proses interpretasi dan komunikasi terhadap simbol-simbol di sekitarnya.

4. Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualism (pertentangan) dan mencoba
mencari likage atau pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur
fungsional dengan konstruksionismefenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori
pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak
pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur,
kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontengensi dari
aktivitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-
fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperalisme subjek. Oleh
karenanya ia ingin mengakiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan
kedua aliran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Abdullah Khozin. Analisis Fungsional Struktural dan Perubahan Sosial.


Surabaya: Alpha, 2007

Ahmadi, dadi. 2005.Intraksionisme Simbolik: Suatu Pengantar.MEDIATOR, Vol.9.


No.2.

A.M. Sardiman. 2008. “Interaksi Motivasi Belajar Mengajar”. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.

Agus Salim. 2008. “Pengantar Sosiologi Mikro”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dewi Wulandari. 2009. “Sosiologi Konsep dan Teori”. Bandung: Refika Aditama.

Zuldafrial. 2009. “Belajar Interaksi Belajar Mengajar”. Pontianak: STAIN Press


Pontianak.

Damsar, 2011. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana.

George, Ritzer, 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.

Ritzer, George., Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam,
Jakarta: Kencana.

Soekanto, Soerjono, 1988. Seri Pengenalan Sosiologi: Talcott Parsons,


FungsionalismeImperatif, Jakarta: Rajawali Press.

Suarni, Raisah & M. Sastrapratedja S.J., “Teori Strukturasi: Telaah Kritis terhadap
Pemikiran Anthony Giddens”, Sosiohumanika (Berkala Penelitian Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada), No. 15 (1), Januari 2002.

Priyono, B. Herry, Anthony Giddens: Suatu Pengantar, Kepustakaan Populer


Gramedia, Jakarta, 2002.

Durkheim, Emile, 1938, Rules of Sociological Method. Chicago: University of Chicago


Press.
LAMPIRAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


SEMESTER GANJIL TA. 2020/2021

Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan

Kelas : Sosiologi A 2028

Hari/tanggal : Jumat, 16 Oktober 2020

Nama Mhs : Zul Ma’arij

No. Mhs : L1C018113

PERNYATAAN

Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni
hasil pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang
lain, baik dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki
kesamaan dengan tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang
diberikan oleh dosen pengasuh matakuliah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan
bertanggung jawab.
Tanda Tangan

: Zul Ma’arij

Anda mungkin juga menyukai