GIGITAN ULAR
Disusun Oleh :
NIM :433131490120026
KELOMPOK :5
GIGITAN ULAR
A. Definisi
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa.
Racun binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang
berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada
manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadp suatu organ, beberapa
mempunyai efek pada hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat
membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat meningkatkan
keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari
bagaiman binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut ofensif yang
bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali mengandung faktor letal.
Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir predator, racun bersifat
kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan.
Bisa adalah suatu zat subtansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa
tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar
khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi
kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di
belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas suatu subtansi tunggal, tetapi
merupakan campuaran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas
enzimatik.
B. Etiologi
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan
Viperidae. Bisa ular dapat menyebebkan perubahan lokal, seperti edema dan
perdarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap
dilokasi pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae
tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam.
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam:
1. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun tehadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan
jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga
sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada
selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
2. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf
sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut
mati dengan tand-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan
hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi
susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susnan saraf pusat, seperti
pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah
melalui pembuluh limfe.
3. Bisa ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan
maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebakan kerusakan ginjal dan
hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
4. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Meerusak serat-serat otot jantung yang menibulkan kerusakan otot
jantung.
5. Bisa ular yang bersifat Cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardovaskuler.
6. Bisa ular yang bersifat Cytolitik
Zat ini yang akif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada
tempat gigitan.
7. Enzim-enzim
Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bia.
C. Patofisiologi
Bisa ular yang masuk kedalam tubuh, menimbulkan daya toksin.
Toksik tersebut menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu
berbagai system. Seperti, sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem
pernapasan.
Pada sgangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai
saraf yang berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan
oedem pada saluran pernapasan, sehingga menibulkan kesulitan untuk
bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik menggangu kerja pembuluh darah yang
dapat mengakibatkan hipotensi, sedangkan pada sistem pernapasan dapat
mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat
mengakibatkan gagal napas.
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Sifat bisa
tersebut :
1. Neurotoksin yang berakibat pada saraf perifer sentral. Berakibat fatal
karena paralise otot-otot lurik. Contoh ular dari keluarga elapidae.
2. Haemotoksin : berakibat haemolitik dengan zat antara : fosfolipase dan
enzim lainnya atau menyebabkan kloagulasi dengan mengaktifkan
protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah
merah karena toksin. Contoh ular dari keluarga viperidae.
3. Myotoksin : menyebabkan rhabdomyplisis yang sering berhubungan
dengan haemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan
ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot. Contoh : ular dari
keluarga hydropidae
4. Kardiotoksin : merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan
kerusakan jantung.
5. Cytoksin : dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktif lainnya yang
berakibat terganggunya kardiovaskuler.
6. Cytolytik : zat ini menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada
tempat patukan
7. Enzim-enzim : termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran
bisa.
D. Manifestasi Klinis
1. Tanda dan gejala yang umum ditemukan pada pasien gigitan ular:
a. Lokal sakit bukan gambaran umum
1) Edema
2) Nyeri tekan pada luka gigitan
3) Ekimosis (kulit kegelapan karena darah yang tertangkap di jaringan
bawah kulit)
b. Tanda-tanda bekas taring
c. Bengkak dan kemerahan, kadang-kadang bulae atau vasikular
d. Sakit kepala, enek, muntah
e. Rasa sakit pada otot-otot dinding perut
f. Demam, keringat dingin
2. Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular
berbisa, yaitu terjadi: Oedem (pembengkakan) pada tungkai di tandai
dengan 5P: Pain (nyeri), Pallor (muka pucat), Paresthesia (mati rasa),
Paralysis (kelumpuhan otot), Pulselesness (denyutan).
3. Gejala Klinik :
a. sakit kepala mendadak, muntah
b. panas
c. perubahan kepribadian atau mental
d. kesadaran menurun sampai koma
e. reflesk patologis positif
f. kadang-kadang parese, paralise, paraestesi, kaku kuduk, ataksia, retensi
urine.
F. Pengobatan
1. simptomatis
2. cortikosteroiid : IM, IV, intratekal
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaan kimia darah, hitung sel
darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protombin,
waktu tromboplastin parsial, hitung trombosist, urinalis, penentuan kadar gula
darah, BUN dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan
fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan dan retraksi bekuan.
H. Penatalaksanaan
1. Prinsip penanganan pad korban gigitan ular
a. Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa
b. Menetralkan bisa
c. Mengobati komplikasi
2. Pertolongan pertama
Pertolongan pertam, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi
segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya
lakukan prinsip RIGT, yaitu:
a. R (Reassure): Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan
korban, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga
racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien
pingsan/panik karena kaget.
b. I (Immobilisation): Jangan menggerakan korban, perintahkan korba
untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan
medis tidak datang, lakukan teknik balut tekan (pressure-immobilistion)
pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure
immobilisation (balut tekan).
c. G (Get): Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
d. T (Tell the doctor): Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang
muncul pada korban.
4. Penatalaksanaan selanjutnya
a. ABU 2 flacon dalam NaCL diberikan per drip dalam waktu 30-40 menit
b. Heparin 20.000 unit per 24 jam
c. Monitor dieatese hemoragi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2
falcon ABU lagi. ABU maksimal diberikan 300 cc (1 falcon= 10 cc)
d. Bila da tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau
hipotensi berikan adrenalin 0,5 mg IM, hidrokortison 100 mg IV
e. Kalau perlu dilakukan hemodialise
f. Bila diathese hemorhagi membaik, tansfursi komponen
g. Observasi pasien minimal 1 x 24 jam
Catatan: Jika terjadi syok anafilaktik karena ABU, ABU harus
dimasukan secara cepat sambil diberi adrenalin
h. Pemberian ABU
Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin
2. Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin
pada hipotalamus
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh tak adekuat
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan dirumah
sakit/prosedur isolsi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian
atau kecacatan.
Intervensi Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin
Intervensi :
a. Manajemen jalan napas
1) Observasi
Monitor pola napas (Frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering)
Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2) Terapeutik
Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thurst jika curiga trauma servikal)
Posisikan semi fowler atau fowler
Berikan minum hangat
Lakukan fisioterapi dada, Jika perlu
Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
Berikan oksigen jika, perlu
3) Edukasi
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontra indikasi
Ajarkan teknik batuk efektif
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
b. Pemantauan respirasi
1) Observasi
Moinitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
Monitor kemampuan batuk efektik
Monitor adanya produksi sputum
Monitor adanya sumbatan jalan napas
Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
Auskultasi bunyi napas
Monitor saturasi oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil x-ray toraks
2) Terapeutik
Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
Dokumentasikan hasil pemantauan
3) Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Krisanty, Paula. dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : CV.
Trans Info Media
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia