Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

GIGITAN ULAR

Disusun Oleh :

NAMA : NENG HARTATI

NIM :433131490120026

KELOMPOK :5

PROGRAM STUDI NERS

STIKES KHARISMA KARAWANG

Jl. Pangkal Perjuangan Km. 1 By Pass Telp. (0267)412480 Karawang 41316


LAPORAN PENDAHULUAN

GIGITAN ULAR

A. Definisi
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa.
Racun binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang
berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada
manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadp suatu organ, beberapa
mempunyai efek pada hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat
membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat meningkatkan
keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari
bagaiman binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut ofensif yang
bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali mengandung faktor letal.
Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir predator, racun bersifat
kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan.
Bisa adalah suatu zat subtansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa
tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar
khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi
kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di
belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas suatu subtansi tunggal, tetapi
merupakan campuaran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas
enzimatik.

B. Etiologi
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan
Viperidae. Bisa ular dapat menyebebkan perubahan lokal, seperti edema dan
perdarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap
dilokasi pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae
tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam.
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam:
1. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun tehadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan
jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga
sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus
pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada
selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
2. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf
sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut
mati dengan tand-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan
hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi
susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susnan saraf pusat, seperti
pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah
melalui pembuluh limfe.
3. Bisa ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan
maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebakan kerusakan ginjal dan
hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
4. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Meerusak serat-serat otot jantung yang menibulkan kerusakan otot
jantung.
5. Bisa ular yang bersifat Cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardovaskuler.
6. Bisa ular yang bersifat Cytolitik
Zat ini yang akif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada
tempat gigitan.
7. Enzim-enzim
Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bia.

C. Patofisiologi
Bisa ular yang masuk kedalam tubuh, menimbulkan daya toksin.
Toksik tersebut menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu
berbagai system. Seperti, sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem
pernapasan.
Pada sgangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai
saraf yang berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan
oedem pada saluran pernapasan, sehingga menibulkan kesulitan untuk
bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik menggangu kerja pembuluh darah yang
dapat mengakibatkan hipotensi, sedangkan pada sistem pernapasan dapat
mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat
mengakibatkan gagal napas.
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Sifat bisa
tersebut :
1. Neurotoksin yang berakibat pada saraf perifer sentral. Berakibat fatal
karena paralise otot-otot lurik. Contoh ular dari keluarga elapidae.
2. Haemotoksin : berakibat haemolitik dengan zat antara : fosfolipase dan
enzim lainnya atau menyebabkan kloagulasi dengan mengaktifkan
protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah
merah karena toksin. Contoh ular dari keluarga viperidae.
3. Myotoksin : menyebabkan rhabdomyplisis yang sering berhubungan
dengan haemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan
ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot. Contoh : ular dari
keluarga hydropidae
4. Kardiotoksin : merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan
kerusakan jantung.
5. Cytoksin : dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktif lainnya yang
berakibat terganggunya kardiovaskuler.
6. Cytolytik : zat ini menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada
tempat patukan
7. Enzim-enzim : termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran
bisa.
D. Manifestasi Klinis
1. Tanda dan gejala yang umum ditemukan pada pasien gigitan ular:
a. Lokal sakit bukan gambaran umum
1) Edema
2) Nyeri tekan pada luka gigitan
3) Ekimosis (kulit kegelapan karena darah yang tertangkap di jaringan
bawah kulit)
b. Tanda-tanda bekas taring
c. Bengkak dan kemerahan, kadang-kadang bulae atau vasikular
d. Sakit kepala, enek, muntah
e. Rasa sakit pada otot-otot dinding perut
f. Demam, keringat dingin
2. Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular
berbisa, yaitu terjadi: Oedem (pembengkakan) pada tungkai di tandai
dengan 5P: Pain (nyeri), Pallor (muka pucat), Paresthesia (mati rasa),
Paralysis (kelumpuhan otot), Pulselesness (denyutan).
3. Gejala Klinik :
a. sakit kepala mendadak, muntah
b. panas
c. perubahan kepribadian atau mental
d. kesadaran menurun sampai koma
e. reflesk patologis positif
f. kadang-kadang parese, paralise, paraestesi, kaku kuduk, ataksia, retensi
urine.

E. Komplikasi dibagi atas :


1. saraf perifer :
a. mononeuritis, misal : parese N VII, N VI dan lain-lain.
b. poliretikuloneueritis (type landry / guiliam barre).
2. susunan saraf pusat :
a. Mielopati
b. Ensefalopati
c. Ensefalomyepati

F. Pengobatan
1. simptomatis
2. cortikosteroiid : IM, IV, intratekal

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaan kimia darah, hitung sel
darah lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protombin,
waktu tromboplastin parsial, hitung trombosist, urinalis, penentuan kadar gula
darah, BUN dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan
fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu pembekuan dan retraksi bekuan.

H. Penatalaksanaan
1. Prinsip penanganan pad korban gigitan ular
a. Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa
b. Menetralkan bisa
c. Mengobati komplikasi

2. Pertolongan pertama
Pertolongan pertam, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi
segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya
lakukan prinsip RIGT, yaitu:
a. R (Reassure): Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan
korban, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga
racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien
pingsan/panik karena kaget.
b. I (Immobilisation): Jangan menggerakan korban, perintahkan korba
untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan
medis tidak datang, lakukan teknik balut tekan (pressure-immobilistion)
pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure
immobilisation (balut tekan).
c. G (Get): Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
d. T (Tell the doctor): Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang
muncul pada korban.

3. Prosedur pressure immobilization (balut tekan)


a. Balut tekan pada kaki
1) Istirahatkan (immobilisasikan) korban
2) Keringkan sekitar luka gigitan
3) Gunakan pembalut elastis
4) Jaga luka lebih rendah dari jantung
5) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki
naik ke atas
6) Biarkan jari kaki jangan di balut
7) Jangan melepas celana atau baju korban
8) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai
menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang
tetap pink)
9) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki
b. Balut tekan pada tangan
1) Balut dari telapak tangan naik keatas. (jari tangan tidak dibalut)
2) Balut siku dan lengan dengan posisi ditekuk 900
3) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan
4) Pasang papan sebagai fiksasi
5) Gunakan mitela untuk menggendong tangan

4. Penatalaksanaan selanjutnya
a. ABU 2 flacon dalam NaCL diberikan per drip dalam waktu 30-40 menit
b. Heparin 20.000 unit per 24 jam
c. Monitor dieatese hemoragi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2
falcon ABU lagi. ABU maksimal diberikan 300 cc (1 falcon= 10 cc)
d. Bila da tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau
hipotensi berikan adrenalin 0,5 mg IM, hidrokortison 100 mg IV
e. Kalau perlu dilakukan hemodialise
f. Bila diathese hemorhagi membaik, tansfursi komponen
g. Observasi pasien minimal 1 x 24 jam
Catatan: Jika terjadi syok anafilaktik karena ABU, ABU harus
dimasukan secara cepat sambil diberi adrenalin
h. Pemberian ABU

I. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Gigitan Hewan


Pengkajian
1. Primary survey
a. Nilai tingkat kesadaran
Lakukan penilaian ABC :
1) A – airway:  kaji apakah ada muntah, perdarahan
2) B – breathing:  kaji kemampuan bernafas akibat kelumpuhan otot-
otot pernafasan
3) C – circulation      :   nilai denyut nadi dan perdarahan pada bekas
patukan, Hematuria, Hematemesis /hemoptisis
b. Intervensi primer
1) Bebaskan jalan nafas bila ada sumbatan, suction kalau perlu
2) Beri O2, bila perlu Intubasi
3) Kontrol perdarahan, toniquet dengan pita lebar untuk mencegah
aliran getah bening (Pita dilepaskan bila anti bisa telah diberikan).
Bila tidak ada anti bisa, transportasi secepatnya ke tempat
diberikannya anti bisa.
Catatan : tidak dianjurkan memasang tourniquet untuk arteriel
dan insisi luka
4) Pasang infus

2. Secondary survey dan Penanganan Lanjutan :


a. Penting menentukan diagnosa patukan ular berbisa
b. Bila ragu, observasi 24 jam. Kalau gejala keracunan bisa nyata, perlu
pemberian anti bisa.
c. Kolaborasi pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar
terdiri atas protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat
dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat polivalen, yang
mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular. Serum antibisa ini
hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang luas.
Bila alergi serum kuda :
- Adrenalin 0,5 mg/SC
- ABU IV pelan-pelan
d. Bila tanda-tanda laringospasme, bronchospasme, urtikaria hypotensi :
adrenalin 0,5 mg/IM, hydrokortison 100 mg/IV
e. Anti bisa diulang pemberiannya bila gejala-gejala tak menghilang atau
berkurang. Jangan terlambat dalam pemberian ABU, karena manfaat
akan berkurang.
f. Kaji Tingkat kesadaran
Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS)

Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi  endotoksin  
2. Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin
pada hipotalamus 
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh tak adekuat
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan dirumah
sakit/prosedur isolsi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian
atau kecacatan.

Intervensi Keperawatan
1. Pola  napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi  endotoksin
Intervensi :
a. Manajemen jalan napas
1) Observasi
 Monitor pola napas (Frekuensi, kedalaman, usaha napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2) Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thurst jika curiga trauma servikal)
 Posisikan semi fowler atau fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, Jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
 Berikan oksigen jika, perlu
3) Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontra indikasi
 Ajarkan teknik batuk efektif
4) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
b. Pemantauan respirasi
1) Observasi
 Moinitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
 Monitor kemampuan batuk efektik
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray toraks
2) Terapeutik
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
3) Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

2. Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada


hipotalamus 
Intervensi : 
a. Manajemen hipertermia
1) Observasi
 Identifikasi penyebab hipertermia
 Monitor suhu tubuh
 Monitor kadar elektrolit
 Monitor pengeluaran urine
 Monitor komplikasi akibat hipertermia
2) Terapeutik
 Sediakan lingkungan yang dingin
 longgarkan atau lepaskan pakaian
 Basahi dan kipasi permukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 ganti linen setiap hari atau lebih sring jika mengalami
hiperhidrosis (keringat berlebih)
 Lakukan pendinginan eksternal
 Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
 Berikan oksigen jika perlu
3) Edukasi
 Anjurkan tirah baring
4) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intra vena jika perlu
b. Pemantauan cairan
1) Observasi
 Monitor suhu tubuh tiap 2 jam jika perlu
 Monitor tekanan darah, frekuensi pernapasan dan nadi
 Monitor warna dan suhu kulit
 Monitor dan catat tanda dan gejala hipotermia dan hipertermia
2) Terapeutik
 Pasang alat pemantau suhu kontinu, jika perlu
 Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
 Gunakan mtras penghangat, selimut hangat, dan penghangat
ruangan untuk menaikan suhu tubuh jika perlu
 Gunakan kasur pendingin, water circulating blankets, ice pacek,
atau gel pad dan intravascular cooling catheterization untuk
menurunkan suhu tubuh
 Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien
3) Edukasi
 Jelaskan cara pencegahan heat exhaustion dan het stroke
4) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian anti piretik jika perlu

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh


tak  adekuat
Intervensi :
a. Manajemen imunisasi/vaksinisasi
1) Observasi
 Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat alergi
 Identifikasi kontraindikasi pemberian imunisasi (mis: reaksi
anafilaksis terhadap vaksin sebelumnya atau sakit parah dengan
atau tanpa demam)
 identifikasi status imunisasi setiap kunjungan kepelayanan
kesehatan
2) Terapeutik
 dokumentasikan informasi vaksinisasi (mis: nama produsen, tgl
kadaluarsa)
 jadwalkan imunisasi pada interfal waktu yang tepat
3) Edukasi
 jelaskan tujuan, manfaat, reaksi yang terjadi, jadwal,
efeksamping
 informasikan vaksinisasi untuk kejadian khusus (mis: rabies
tetanus)
b. pencegahan infeksi
1) Observasi
 monitor tanda dan gejala lokal dan sistemik
2) Terapeutik
 batasi jumlah pengunjung
 berikan perawatan kulit pada area edema
 cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
 pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
3) Edukasi
 jelaskan tanda dan gejala infeksi
 ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
 ajarkan cara memeriksa kondisi luka
 anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 anjurkan meningkatkan asupan cairan
4) Kolaborasi
 kolaborasi pemberian imunisasi jika perlu
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman
kematian atau kecacatan.
Intervensi:
a. Reduksi ansietas
1) Observasi
 identifikasi saat ansietas berubah (mis: kondisi, waktu,stresor)
 identifikasi kemampuan mengambil keputusan
 monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan non verbal)
2) Terapeutik
 ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
 temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika
memungkinkan
 pahami situasi yang membuat ansietas
 dengarkan dengan penuh perhatian gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
 tempatkan barang-barang pribadi yang memberikan
kenyamanan
 motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
 diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan
datang
3) Edukasi
 jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
 informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan,
dan prognosis
 anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu,
 anjurkan untuk melakukan kegiatan yang tidak kompetitif,
sesuai kebutuhan
 anjurkan mengungkapkan perasaan dan presepsi
 latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
 latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
 latih teknik relaksasi
4) Kolaborasi
 kolaborasi pemberian obat ansietas jika perlu
b. Terapi relaksasi
1) Observasi
 identifikasi penurunan tingkat energi, ketidak mampuan
berkonsentrasi, atau gejala lain yang mengganggu kemampuan
kongnitif
 identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan
 identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan teknik
sebelumnya
 periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan suhu
sebelum dan sesudah latihan
 monitor repon terhadap terapi relaksasi
2) Terapeutik
 ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan
pencahayaan suhu dan ruangan nyaman jika memungkinkan
 berikan informasi tertulis tentang persiapan dan prosedur teknik
relaksasi
 gunakan pakaian longgar
 gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama
 gunakan relaksasi sebagai setrategi penunjang dengan analgetik
atau tindakan medis lain, jika sesuai
3) Edukasi
 jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis relaksasi yang
tersedia (mis: musik, meditasi, nafas dalam, relaksasi otot
progresif)
 jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
 anjurkan mengambil posisi nyaman
 anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
 anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang dipilih
 demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (misalnya nafas
dalam, peregangan, atau imajinasi terbimbing)
Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan
tercapai atau tidak. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak
kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan,
serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
1. Menunjukan GDA dan frekuensi dalam batas normal dengan bunyi nafas
vesikuler
2. Tidak mengalami dispnea atau sianosis
3. Mendemontrasikan suhu dalam batas normal
4. Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
5. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Taufan. dkk. 2016. Teori Asuhan Keperawatan Gawat Darurat.


Yogyakarta : Nuha Medika

Krisanty, Paula. dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : CV.
Trans Info Media

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai