Disusun oleh :
Endah Rahayu (10060313070)
Zainab Zahira A (10060313071)
Muhammad Farraz (10060313073)
Mega Elvira (10060313075)
Shofia Ainur R (10060313076)
Syifa Hamidah L (10060313077)
Geni Safitri (10060313078)
Widya Anggar K (10060313079)
Anindytha Rahmah (10060313157)
Kelompok/Shift : 4/D
Asisten Praktikum :, Imas Yumniati S.Farm
I. TUJUAN PERCOBAAN
Tujuan dari percobaan ini adalah mengetahui dan memahami prinsip dan
caramenentukan profil farmakokinetika sediaan oral pada tikus.
Selama fase absorbsi dari kurva kadar plasma-waktu, laju absorbsi obat lebih
besar dari laju eliminasi obat. Pada konsentrasi obat puncak dalam plasma, laju
absorbsi obat sama dengan laju eliminasi obat, dan tidak ada perubahan dalam jumlah
obat dalam tubuh. Segera setelah waktu absorbsi obat mencapai puncak, beberapa
obat masih berada pada site absorbsi. Laju eliminasi obat pada saat ini lebih cepat
daripada laju absorbsi obat. Ketika obat pada site absorbsi semakin berkurang, laju
absorbsi obat mendekati nol. Kurva kadar plasma-waktu kemudian hanya menyatakan
eliminasi obat dari tubuh, biasanya suatu proses order kesatu (Shargel, 2012 : 162).
•Model Abasorbis obat order nol
Absorbsi obat orde nol dari site pemberian kedalam plasma biasanya terjadi
bila obat diabsorbsi dengan suatu proses yang dapat jenuh atau digunakan suatu
sistem penghantaran pelepasan terkendali order nol. Pada model ini, obat dalam
saluran cerna diabsorbsi secara sistemik pada suatu laju yang konstan, k0. Obat secara
simultan dan segera dieliminasi dari tubuh dengan proses order kesatu yang
ditentukan oleh suatu tetapan laju order kesatu, k. Model ini analog dengan pemberian
obat dengan infusi intravena (Shargel, 2012 : 163).
•Model absorbsi obat order kesatu
Walau absorbsi order nol dapat terjadi, absorbsi biasanya dianggap merupakan
proses order kesatu. Model menganggap suatu masukan melintasi dinding usus oreder
kesatu dan eliminasi dari tubuh juga order kesatu. Model ini menerapkan absorbsi oral
obat dalam larutan atau bentuk sediaan melarut dengan cepat (pelepasan segera)
seperti tablet, kapsul, dan supositoria. Konsentrasi plasma maksimum setelah
pendosisan oral adalah Cmaks, dan waktu yang diperlukan untuk mencapai
konsentrasi maksimum adalah tmaks. tmaks tidak tergantung dosis dan bergantung
pada tetapan laju untuk absorbsi (ka) dan eliminasi (k). Pada Cmaks disebut
konsentrasi puncak, laju absorbsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Oleh karena
itu, laju perubahan konsentrasi sama dengan nol. Waktu untuk mencapai konsentrasi
obat maksimum, tmaks, hanya bergantung pada tetapan laju ka dan k (Shargel, 2012 :
165).
Dengan menganggap ka >> k, harga eksponensial kedua akan menjadi kecil
tidak bermakna terhadap waktu, oleh karena itu Penentuan tetapan laju absorbsi (ka)
dengan metode residual berdasarkan persamaan berikut :
ka . F . A0
log
V (ka−k )
Dapat digambarkan kurva kadar obat dalam darah terhadap waktu setelah
pemberian obat secara oral. Bila dilakukan ekstrapolasi pada fase linier dari kurva
eliminasi kea rah t=0 akan didapat intersep.
Ka
merupakan garis lurus dengan koefisien arah = - sehingga harga ka dapat
2,303
dihitung (Kusfadjarijati, 1988).
Parasetamol
Sifat Fisikokimia
Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida
Kelarutan : larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut dalam
etanol.
Indikasi
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri
sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan
sampai sedang.(Cranswick 2000).
Kontra Indikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap
obat ini. (Yulida 2009).
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup
yang mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai sediaan
kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis Parasetamol untuk dewasa
300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300
mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada
keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari (Mahar Mardjono, 2000).
Efek Samping
Yang paling umum adalah gangguan lambung, usus, kerusakan hati, ginjal dan
reaksi alergi kulit. efek samping ini terjadi terutama pada penggunaan jangka panjang
atau dalam dosis tinggi (Tjay & Rahardja, 2007).
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Spektrofotometri
A= k. b
A= k. c
Jika konsentrasi bertambah, jumlah molekul yang dilalui berkas sinar akan
bertambah, sehingga serapan juga bertambah. Kedua persamaan ini digabungkan
dalam hukum Lambert-Beer, maka diperoleh bahwa serapan berbanding lurus dengan
konsentrasi dan ketebalan lapisan:
A= k . c. b
Alat Bahan
Mikro pipet Darah Mencit
Alat sentrifugasi Mencit
Tabung sentrifuga NaOH
Timbangan Asam asetat
Metanol
b. ProsedurPercobaan
a. Pembuatan Kurva Baku Parasetamol
Larutan induk dibuat dengan cara, parasetamol sebanyak 10mg dilarutkan dalam 10 ml
NaOH 0,1N 10%
Tikus diberikan sediaan parasetamol secara oral masing-masing dengan dosis yang setara
500mg dosis manusia (terlebih dahulu dihitung penyesuaian dosis untuk tikus).
b) Larutan stok
Larutan stok = 10 ml, 100 ppm
V1 x C1 = V 2 x C2
10 x 100 = V2 x 1000
1000
V2 =
1000
V2 = 1 ml
c) Larutan seri
Diencerkan dari 100 ppm
V 1 x C1 = V 2 x C2
V1 x 100 ppm = 10 ml x 3 ppm
30
V1 =
100
V1 = 0,3 ml
V 1 x C1 = V 2 x C2
V1 x 100 ppm = 10 ml x 5 ppm
50
V1 =
100
V1 = 0,5 ml
V 1 x C1 = V 2 x C2
V1 x 100 ppm = 10 ml x 7 ppm
70
V1 =
100
V1 = 0,7 ml
V 1 x C1 = V 2 x C2
V1 x 100 ppm = 10 ml x 9 ppm
90
V1 =
100
V1 = 0,9 ml
V 1 x C1 = V 2 x C2
V1 x 100 ppm = 10 ml x 11 ppm
110
V1 =
100
V1 = 1,1 ml
c. Kurva baku parasetamol
3 ppm 0,174
5 ppm 0,292
7 ppm 0,406
9 ppm 0,521
11 ppm 0,616
Hasil pengamatan
Absorbansi sampel, Tikus 1
T Abs Abs X FP
Ln
Ceks Cres
T (menit) Cp (ppm) Ln Cp Ceks Ln Cres
(ppm) (ppm)
90 18,714 2,929 - - - -
T (menit) Ln Cp
90 2,929
120 2,417
Didapatkan nilai :
a = 4,465
b = -0,017
Nilai b = K
Jadi, K = 0,017 / menit
y =a+bx
y = 4,465 - 0,017 x
Ln Ceks = 4,465 - 0,017 t
Perhitungan C ekstrapolasi
t30 → Ln Ceks = 4,465 - 0,017 x
Ln Ceks = 4,465 - 0,017 (30)
Ln Ceks = 4,465 - 0,51
Ln Ceks = 3,955
Ceks = 52,195 ppm
T60 → Ln Ceks = 4,465 - 0,017 x
Ln Ceks = 4,465 - 0,017 (60)
Ln Ceks = 4,465 - 1,02
Ln Ceks = 3,445
Ceks = 31,343 ppm
Perhitungan Cresidual
Cres = | Ceks - Cp|
30’ Cres = | 24,357 – 52,195 |
= 27,839 ppm
60’ Cres = | 54,357 – 31,343 |
= 23,014 ppm
Persamaan fase absorbsi regresi antara t dengan ln Cres
T (menit) Ln Cres
30 3,326
60 3,136
Didapatkan nilai :
a = 3,516
b = - 0,0063
Nilai b = Ka
Jadi, Ka = 0,0063 / menit
y =a+bx
y = 3,516 - 0,0063 x
Parameter – parameter farmakokinetik
0,693
- T1/2 eliminasi =
k
0,693
¿ =40,765 menit
0,017
0,693
- T1/2 absorpsi =
ka
0,693
¿ =110 menit
0,0063
ka
ln( )
- Tmax = k
ka−k
0,0063
ln( )
= 0,017
=92,804 menit
0,0063−0,017
- Cp max = B . e-k.t – A . e-ka.t
= 86,921 . e -0,017 (92,804) – 33,649 . e -0,0063 (92,804)
= 86,921 . 0,206 – 33,649 . 0,557
= - 0,836 ppm
KURVA TIKUS 1
4.500
4.000
f(x) = − 0.02 x + 4.47
3.500 R² = 1
3.000 f(x) = − 0.01 x + 3.52 Linear ()
R² = 1 eliminasi
2.500 Linear (eliminasi)
Axis Title 2.000 distribusi
Linear (distribusi)
1.500 ekstrapolasi
1.000 Linear (ekstrapolasi)
0.500
0.000
20 40 60 80 100 120 140
Axis Title
T Abs Abs X FP
90 28,429 3,347 - - - -
T (menit) Ln Cp
90 3,347
120 1,872
Didapatkan nilai :
a = 7,772
b = -0,049
Nilai b = K
Jadi, K = 0,049 / menit
y =a+bx
y = -7,772 - 0,049 x
Ln Ceks = 7,772 – 0,049 t
Perthitungan C ekstrapolasi
t30 → Ln Ceks = 7,772 - 0,049 x
Ln Ceks = 7,772 - 0,049 (30)
Ln Ceks = 7,772 – 1,47
Ln Ceks = -6,302
Ceks = 545,662 ppm
T60 → Ln Ceks = 7,772 - 0,049 x
Ln Ceks = 7,772 - 0,049 (60)
Ln Ceks = 7,772 – 2,94
Ln Ceks = 4,832
Ceks = 125,462 ppm
Perhitungan Cresidual
Cres = | Ceks - Cp|
30’ Cres = | 3,429 – 545,662 |
= 545,233 ppm
60’ Cres = | 76,214 – 125.462 |
= 49,248 ppm
T (menit) Ln Cres
30 6,296
60 3,897
Didapatkan nilai :
a = 8,695
b = -0,079
Nilai b = Ka
Jadi, Ka = 0,079 / menit
y =a+bx
y = 8,695 - 0,079 x
Parameter – parameter farmakokinetik
0,693
- T1/2 eliminasi =
k
0,693
= =14,142 menit
0,049
0,693
- T1/2 absorpsi =
ka
0,693
= =8,772 menit
0,079
ka
ln(
)
- Tmax = k
ka−k
0,079
ln( )
= 0,049
=15,9menit
0,079−0,049
0,035
ln ( )
0,005
=64,867 menit
0,035−0,005
- Cp max = B . e-k.t – A . e-ka.t
= 2373,212 . e -0,049 (15,9) – 5972,973. e -0,0079 (15,9)
= 2373,212 . 0,459 – 5972,973 . 0,285
= - 612,993 ppm
KURVA TIKUS 2
7.000
0.000
20 40 60 80 100 120 140
Axis Title
VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan uji coba farmakokinetika sediaan oral dengan
menggunakan tikus sebagai hewan yang akan diberikan sediaan parasetamol secara oral.
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui serta memahami prinsip dan cara menentukan
profil farmakokinetika sediaan oral pada tikus. Ilmu biofarmasetik dan farmakokinetik obat
dan produk obat bermanfaat untuk memahami hubungan antara sifat – sifat fisiko kimia dari
produk obat dan efek farmakologik atau efek klinik (Shargel, 2005).
Studi biofarmasetika memerlukan penyelidikan berbagai faktor yang mempengaruhi
laju dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini berarti, biofarmasetika
melibatkan faktor – faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari suatu produk obat, laju
pelarutan dan akhirnya bioavailabilitas obat tersebut. Farmakokinetika mempelajari kinetika
Absorbsi obat, Distribusi, Metabolisme dan eliminasi (yakni ekskresi dan metabolisme)
uraian distribusi dan eliminasi obat sering diistilahkan sebagai disposisi obat (Shargel, 2005).
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol
digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui
resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002)
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak
dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 1-3 jam. Indeks terapi parasetamol antara
2-50 µg/ml. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui
urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian
diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis
normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada
dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.(Lusiana Darsono 2002)
Hal pertama yang dilakukan adalah tikus yang akan digunakan dipuasakan terlebih
dahulu selama kurang lebih 5 jam sebelum pemberian obat agar pengaruh makanan terhadap
proses farmakokinetik obat dapat dihindari misalnya seperti menurunkan absorbsi obat. Lalu
tikus yang digunakan ditimbang beratnya masing-masing, untuk tikus 1 beratnya 200 Gram
dan untuk tikus 2 beratnya 255 Gram yang kemudian tiap tikus diberikan sediaan parasetamol
secara oral masing-masing dengan dosis setara dengan 500 mg dosis manusia, dosis
parasetamol untuk orang dewasa dikonversi menjadi dosis untuk tikus karena untuk
menyesuaikan dengan organ tikus sehingga dalam dosis yang dikonversi memiliki kekuatan
yang setara dengan 500 mg parasetamol yang akhirnya dapat memberikan efek farmakologi
yang diinginkan yang serupa dengan efek pada manusia. Tikus 1 diberikan parasetamol
sebanyak 0,375 ml dan tikus 2 diberikan parasetamol sebanyak 0,478 ml.
Setelah diberikan sediaan parasetamol, diambil sampel darah dari vena bagian ekor
tikus sebanyak 1 ml dengan selang waktu 30 menit selama 2 jam setelah pemberian
parasetamol hal ini bertujuan untuk mengetahui waktu fase absorbsi dan eliminasi dari
sediaan parasetamol. Sampel darah selanjutnya disentifugasi menggunakan tabung
mikrosentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit, bertujuan untuk mendapatkan
supernatan yang mengandung obat. Bagian supernatan dipipet sebanyak 0,5 ml dan
diencerkan dengan 0,5 ml campuran methanol : asam asetat 1% (80:20) dalam tabung
sentrifugasi, kemudian disentrifugasi kembali pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit.
tujuan dari penambahan campuran methanol : asam asetat 1% (80:20) dengan supernatan
adalah untuk mengendapkan protein karena ditakutkan protein pada darah memiliki daerah
serapan pada saat dianalisis dengan spektrofometri ultra violet. Kemudian diambil 0,5 ml
supernatan dan ditambahkan 0,5 ml NaOH 0,1N 10% penambahan NaOH digunakan sebagai
pelarut yang digunakan sebagai kurva baku parasetamol. Lalu parasetamol dianalisis dengan
spektrofotometri Ultra Violet hal ini dilakukan karena parasetamol mempunyai gugus
kromofor. Gugus kromofor yaitu gugus yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi dan
pasangan electron bebas dan memiliki elektron valensi dengan tingkat eksitasi rendah.
Prinsip kerja spektrofotometer UV-Visible adalah interaksi yang terjadi antara energi
yang berupa sinar monokromatis dari sumber sinar dengan materi yang berupa molekul.
Setelah itu, tentukan kadar parasetamol dalam sampel dan tentutkan persamaan dan
parameter-parameter farmakokinetiknya.
Laju Eleminasi (K)
Laju eliminasi (K) adalah tetapan laju eliminasi orde kesatu dengan satuan waktu. Pada
umumnya obat induk atau obat yang aktif yang ditentukan dalam kompartemen vaskuler.
Penghilangan atau eliminasi obat induk secara total dari kompartemen dipengaruhi oleh metabolisme
(biotransformasi) dan ekskresi. Tetapan laju eliminasi menyatakan jumlah dari masing-masing proses
tersebut (Shargel et.al, 2005).
Konstanta eliminasi merupakan salah satu parameter metabolisme dan eliminasi obat.
Berdasarkan perhitungan, laju eleminasi pada tikus 1 adalah 0,017/ menit, sedangkan pada tikus 2
adalah 0,049/menit. Konstanta eleminasi berpengaruh pada waktu paruh eleminasi.
Parameter farmakokinetika yang ditentukan pada percobaan ini tidak valid baik pada
tikus 1 maupun pada tikus 2. Penentuan parameter farmakokinetika saling berhubungan satu
sama lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh
Kondisi tikus saat pengujian misalnya stress yang dapat mempengaruhi fungsi pencernaan
sehingga mempercepat proses absorbsi dan eleminasi, namun prosesnya tidak maksimal
waktu pengambilan sampel darah yang sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama
sehingga darah sudah mengendap menyebabkan data tidak valid,
nilai absorbansi yang baik adalah antara 0,2-0,8 sedangkan pada tikus 2 menghasilkan nilai
absorbansi kurang dari 0,2 sehingga data tidak valid.
Rentang absorbansi yang didapatkan pada tiap waktu yang peningkatan atau penurunannya
terlalu besar sehingga data tidak valid
Waktu sampling yang kurang panjang atau bervariasi menyebabkan rentang sampel terlalu
pendek dalam menentukan titik absorbsi dan eleminasi sehingga data yang dihasilkan tidak
valid.
Parameter paling menentukan adalah K dan Ka karena berhubungan dengan
penentuan waktu paruh eleminasi, waktu paruh absorbsi, serta waktu puncak yang
berhubungan dengan penentuan konsentrasi maksimal. Nilai K dan Ka didapatkan dari
persamaan regresi eleminasi dan absorbsi. Maka apabila terjadi kesalahan dalam penentuan
persamaan eleminasi dan absorbsi akan menghasilkan parameter farmakokinetika yang tidak
valid.
VII. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut, yaitu:
- Penentuan parameter farmakokinetika sediaan oral dilakukan dengan metode residual;
- Parameter farmakokinetika yang ditentukan adalah konstanta laju eliminasi (K),
konstanta laju absorpsi (Ka), waktu paruh eliminasi (T1/2 eliminasi), waktu paruh
absorpsi (T1/2 absorpsi), waktu puncak (Tmax), dan konsentrasi maksimum obat
dalam plasma (Cp max);
- Nilai parameter farmakokinetika yang dihasilkan untuk tikus 1 yaitu K = 0,017 /
Basset, J, et al. 1994. Buku Ajar Vogel; Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta : EGC
Cranswick, N dan Coghlan D. 2000. Paracetamol Efficacy and Safety in Children : the first
40 years. Victoria : Clinical Pharmacologist, Royal Children’s Hospital.
Day RA dan Underwood AL.1999. Analisis Kimia Kuantitatif edisi Kelima. Jakarta:
Erlangga.
Dachriyanus. 2004. Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi. Cetakan I.
Padang : Andalas University Press
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Depkes RI
Gunawan, A. 2009. Perbandingan Efek Analgesik antara Parasetamol dengan Kombinasi
Parasetamol dan Kafein pada Mencit. Jurnal Biomedika, Volume 1 No 1.
Khopkar SM. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.
Kusfadjarijati, Miria. (1988) Penentuan Parameter Farmakokinetika Dan Uji Efek
Hipoglikemik Tolbutamida Dosis Tunggal Dengan Menggunakan Data Darah
Pada Kelinci. Skripsi Thesis, Universitas Airlangga
Lusiana, Darsono. 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol. JKM.
Vol. 2. No. 1.
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2000. Susunan neuromuskular. Neurologi klinis dasar.
Jakarta: Dian Rakyat
Moffat. A. C. 1986. Clarke’s Isolation and Identification of Drugs. Edisi 2. London : The
Pharmaceutical Press
Nassar A.F, Hollenberg P.F., and Scatina J. 2009. Drug Metabolism Handbook Concepts And
Applications. Published by John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey. Hlm
588, 678 – 680.
Parfitt K. 1999. Martindale : The Complete Drug Reference. Edisi 32. Pharmaceutical Press.
Shargel, Leon,B.C.YU, Andrew.2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan,
Surabaya : Airlangga University Press
Shargel, L., Susanna Wu-Pong, Andrew B.C. Yu, alih bahasa Fasich, Budi Suprapti. 2012.
Biofarmasetika & Farmakokinetika Terapan Edisi Kelima.. Surabaya : Pusat
Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga.
Tjay dan K .Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting . Jakarta : PT Elex Media Komputindo
Yulida Nasution, Amelida. 2009. Penetapan Kadar Zat Aktif Parasetamol dalam Obat
Sediaan Oral dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi(KCKT),
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara,
Medan.