Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASI DAN FARMAKOKINETIKA

FARMAKOKINETIKA SEDIAAN ORAL

Disusun oleh :
Endah Rahayu (10060313070)
Zainab Zahira A (10060313071)
Muhammad Farraz (10060313073)
Mega Elvira (10060313075)
Shofia Ainur R (10060313076)
Syifa Hamidah L (10060313077)
Geni Safitri (10060313078)
Widya Anggar K (10060313079)
Anindytha Rahmah (10060313157)
Kelompok/Shift : 4/D
Asisten Praktikum :, Imas Yumniati S.Farm

Tanggal Praktikum : Selasa,3 Januari 2017


Tanggal Pengumpulan : Selasa, 10 Januari 2016

LABORATORIUM TERPADU FARMASI UNIT E


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2016
PERCOBAAN III

FARMAKOKINETIKA SEDIAAN ORAL

I. TUJUAN PERCOBAAN

Tujuan dari percobaan ini adalah mengetahui dan memahami prinsip dan
caramenentukan profil farmakokinetika sediaan oral pada tikus.

II. PRINSIP PERCOBAAN

Prinsip dari perobaan ini adalah untuk menentukan parameter-parameter


farmakokinetik dari suatu obat dengan menggunakan data sampel darah yang diambil
dari ekor hewan uji yaitu tikus setelah pemberian oral dosis tunggal Parasetamol®
pada menit ke 30, 60, 90 dan 120. Penentuan parameter-parameter farmakokinetik
dilakukan dengan metode residual.

III. TEORI DASAR


Farmakokinetik Sediaan Oral
Rute penghantaran ekstravaskuler; terutama pendosisan oral, merupakan cara
pemberian obat yang penting dan populer. Tidak seperti pemberian intravena, obat
dimana obat diinjeksikan secara langsung ke dalam plasma, model farmakokinetika
dari pemberian obat ekstravaskular harus memperhitungkan absrbsi obat sistemik dari
site pemakaian, misalnya paru-paru, usus dan lain-lain, ke dalam plasma. Lebih lanjut
penghantaran obat ekstravaskular dirumitkan oleh variabel-variabel yang ada pada
site absrobsi, termasuk kemungkinan degradasi obat dan perbedaan inter dan
intrapasien yang bermakna dalam laju dan jumlah absorbs. Variabel-variabel absorbsi
dan metabolik dikarakterisasi dengan menggunakan metode farmakokinetika
(Shargel, 2012 : 161).
Absorbsi obat sistemik dari saluran cerna atau dari berbagai site ekstravaskuler
lain bergantung pada (1) sifat fisika kimia obat, (2) bentuk sediaan yang digunakan,
dan (3) anatomi dan fisiologi dari site absorbsi. Untuk pendosisan oral, faktor-faktor
seperti luas area saluran cerna, laju pengosongan lambung, motilitas saluran cerna,
dan aliran darah ke site absorbs semuanya mempengaruhi laju dan jumlah absorbs
obat. Dalam farmakokinetika, keseluruhan laju absorbsi obat dapat digambarkan baik
order ke satu atau order nol. Sebagian besar model farmakokinetika menganggap
absorbsi mengikuti order kesatu kecuali apabila anggapan absorbsi order nol
memperbaiki model secara bermakna atau telah teruji dengan percobaan (Shargel,
2012 : 161)
Laju perubahan obat dalam tubuh, dDb/dt, bergantung pada laju absorbsi dan
eliminasi obat. Laju akumulasi obat dalam tubuh pada berbagai waktu sama dengan
laju absorbsi obat dikurangi laju eliminasi obat, tanpa memperhatikan apakah absorbsi
merupakan order nol atau order kesatu (Shargel, 2012 : 162).
Suatu kurva kadar plasma-waktu menunjukkan proses laju absorbsi dan
eliminasi diberikan dalam gambar berikut:

Selama fase absorbsi dari kurva kadar plasma-waktu, laju absorbsi obat lebih
besar dari laju eliminasi obat. Pada konsentrasi obat puncak dalam plasma, laju
absorbsi obat sama dengan laju eliminasi obat, dan tidak ada perubahan dalam jumlah
obat dalam tubuh. Segera setelah waktu absorbsi obat mencapai puncak, beberapa
obat masih berada pada site absorbsi. Laju eliminasi obat pada saat ini lebih cepat
daripada laju absorbsi obat. Ketika obat pada site absorbsi semakin berkurang, laju
absorbsi obat mendekati nol. Kurva kadar plasma-waktu kemudian hanya menyatakan
eliminasi obat dari tubuh, biasanya suatu proses order kesatu (Shargel, 2012 : 162).
•Model Abasorbis obat order nol
Absorbsi obat orde nol dari site pemberian kedalam plasma biasanya terjadi
bila obat diabsorbsi dengan suatu proses yang dapat jenuh atau digunakan suatu
sistem penghantaran pelepasan terkendali order nol. Pada model ini, obat dalam
saluran cerna diabsorbsi secara sistemik pada suatu laju yang konstan, k0. Obat secara
simultan dan segera dieliminasi dari tubuh dengan proses order kesatu yang
ditentukan oleh suatu tetapan laju order kesatu, k. Model ini analog dengan pemberian
obat dengan infusi intravena (Shargel, 2012 : 163).
•Model absorbsi obat order kesatu
Walau absorbsi order nol dapat terjadi, absorbsi biasanya dianggap merupakan
proses order kesatu. Model menganggap suatu masukan melintasi dinding usus oreder
kesatu dan eliminasi dari tubuh juga order kesatu. Model ini menerapkan absorbsi oral
obat dalam larutan atau bentuk sediaan melarut dengan cepat (pelepasan segera)
seperti tablet, kapsul, dan supositoria. Konsentrasi plasma maksimum setelah
pendosisan oral adalah Cmaks, dan waktu yang diperlukan untuk mencapai
konsentrasi maksimum adalah tmaks. tmaks tidak tergantung dosis dan bergantung
pada tetapan laju untuk absorbsi (ka) dan eliminasi (k). Pada Cmaks disebut
konsentrasi puncak, laju absorbsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Oleh karena
itu, laju perubahan konsentrasi sama dengan nol. Waktu untuk mencapai konsentrasi
obat maksimum, tmaks, hanya bergantung pada tetapan laju ka dan k (Shargel, 2012 :
165).
Dengan menganggap ka >> k, harga eksponensial kedua akan menjadi kecil
tidak bermakna terhadap waktu, oleh karena itu Penentuan tetapan laju absorbsi (ka)
dengan metode residual berdasarkan persamaan berikut :
ka . F . A0
log
V (ka−k )
Dapat digambarkan kurva kadar obat dalam darah terhadap waktu setelah
pemberian obat secara oral. Bila dilakukan ekstrapolasi pada fase linier dari kurva
eliminasi kea rah t=0 akan didapat intersep.

Selanjutnya kadar residual (Cr) didapatkan dengan mengurangi kadar obat


dalam darah hasil ekstrapolasi dengan kadar obat sebenarnya dalam darah pada waktu
yang sama. Kemudian kurva log kadar residual (Cr) terhadap waktu (t) akan

Ka
merupakan garis lurus dengan koefisien arah = - sehingga harga ka dapat
2,303
dihitung (Kusfadjarijati, 1988).
Parasetamol

Sifat Fisikokimia

Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida

Berat Molekul : 151.16

Rumus Empiris : C8H9NO2

Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.

Kelarutan : larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut dalam
etanol.

Jarak lebur : Antara 168⁰ dan 172⁰.

(Dirjen POM, 1995)

Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat antipiretik dan analgesik


derivat para amino fenol yang sering digunakan dalam obat manusia. Parasetamol di
Indonesia tersedia sebagai obat bebas dan telah menggantikan penggunaan salisilat
sebagai antipiretik dan analgesik. Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan
efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893 (Parfitt, 1999).

Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan


siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam
arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih
kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik
yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai
efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol
hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol
tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini
menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan
blokade langsung prostaglandin (Gunawan, 2009).

Indikasi

Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri
sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan
sampai sedang.(Cranswick 2000).

Kontra Indikasi

Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap
obat ini. (Yulida 2009).

Sediaan dan Posologi

Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup
yang mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai sediaan
kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis Parasetamol untuk dewasa
300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300
mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada
keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari (Mahar Mardjono, 2000).

Efek Samping

Yang paling umum adalah gangguan lambung, usus, kerusakan hati, ginjal dan
reaksi alergi kulit. efek samping ini terjadi terutama pada penggunaan jangka panjang
atau dalam dosis tinggi (Tjay & Rahardja, 2007).

Farmakokinetik

Pada manusia parasetamol secara cepat diabsorbsi dari traktus gastrointestinal


dengan konsentrasi puncak di plasma terjadi 10 sampai 60 menit setelah pemberian
per oral. Parasetamol didistribusikan hampir ke semua jaringan tubuh. Pada
pemberian dosis terapeutik, parasetamol yang terikat di protein plasma dapat
dikatakan tidak ada, tetapi ikatan di protein plasma akan meningkat sejalan dengan
meningkatnya konsentrasi parasetamol yang diberikan. Waktu paruh eliminasi
parasetamol bervariasi dari 1 sampai 3 jam (Parfitt, 1999).
Parasetamol pada umumnya dimetabolis di hati dan diekskresikan di urin
sebagian besar dalam bentuk konjugat glukoronid dan sulfat, sedangkan kurang dari
5% diekskresikan tetap dalam bentuk parasetamol. Tiga jalur metabolisme
parasetamol yang telah diketahui adalah sebagai berikut: glukoronidasi, sulfatasi dan
N-hidroksilasi yang kemudian dikonjugasi gluthation sulfhydryl (GSH). Ketiga jalur
ini menghasilkan produk akhir yang inaktiv, non-toksik, dan umumnya dieksresikan
oleh ginjal. Produk metabolit N-acetyl-p-benzo-quinone imine (NAPQI) dalam
jumlah sedikit mampu diikat oleh glutation sehingga tidak bersifat toksik. Saat
parasetamol dikonsumsi secara berlebihan, glutation tubuh tidak akan cukup untuk
menginaktivasi racun dari NAPQI. Metabolit ini kemudian akan secara bebas bereaksi
dengan enzim-enzim penting dari hepar, sehingga hal ini akan merusak hepatosit. Hal
ini akan memacu terjadinya kerusakan hepar yang parah bahkan kematian karena
kegagalan kerja hati (Nassar et al, 2009 & Parfitt, 1999).

Farmakodinamik

Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu


menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan
suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti
salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan
Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat
biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung
tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan
keseimbangan asam basa (Mahar Mardjono, 2000).

Spektrofotometri

Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer.


Spektrometer berfungsi untuk menghasilkan sinar dengan panjang gelombang tertentu
dan fotometer berfungsi sebagai alat pengukur intensitas cahaya yang diabsorbsi
(Khopkar,2002). Keuntungan utama metode spektrofotometri yaitu dapat menetapkan
kadar suatu zat yang sangat kecil (Basset J,1994).

Spektrofotometri Ultraviolet adalah pengukuran panjang gelombang dan


intensitas sinar ultraviolet yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet memiliki
energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi
yang lebih tinggi. Spektroskopi ultraviolet biasanya digunakan untuk senyawa di
dalam larutan. Spektrum ultraviolet mempunyai pita yang lebar dan hanya sedikit
informasi tentang struktur yang biasa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi spektrum
ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di
dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur serapan pada panjang gelombang
tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Dachriyanus,2004)

Menurut hukum Lambert, serapan (A) berbanding lurus dengan ketebalan


lapisan (b) yang disinari :

A= k. b

Dengan bertambahnya ketebalan lapisan, serapan akan bertambah. Menurut


Hukum Beer, yang hanya berlaku untuk cahaya monokromatis dan larutan yang
sangat encer, serapan (A) dan konsentrasi (c) adalah proporsional:

A= k. c

Jika konsentrasi bertambah, jumlah molekul yang dilalui berkas sinar akan
bertambah, sehingga serapan juga bertambah. Kedua persamaan ini digabungkan
dalam hukum Lambert-Beer, maka diperoleh bahwa serapan berbanding lurus dengan
konsentrasi dan ketebalan lapisan:

A= k . c. b

Nilai tetapan (K ) dalam hukum Lambert-Beer tergantung pada sistem


konsentrasi mana yang digunakan. Bila c dalam gram perliter, tetapan tersebut disebut
dengan absorptivitas (a) dan bila dalam mol per liter tetapan tersebut adalah
absorbtivitas molar (∈) (Day and Underwood,1999)

Parasetamol secara struktur diketahui mempunyai gugus kromofor dan gugus


auksokrom yang menyebabkan senyawa ini dapat menyerap radiasi pada daerah
ultraviolet. Parasetamol mempunyai spektrum ultraviolet dalam suasana asam pada
panjang gelombang 245 nm dan dalam suasana basa pada panjang gelombang 257 nm
(Moffat, 1986).
IV. METODE PERCOBAAN
a. Alat dan Bahan

Alat Bahan
Mikro pipet Darah Mencit
Alat sentrifugasi Mencit
Tabung sentrifuga NaOH
Timbangan Asam asetat
Metanol
b. ProsedurPercobaan
a. Pembuatan Kurva Baku Parasetamol
Larutan induk dibuat dengan cara, parasetamol sebanyak 10mg dilarutkan dalam 10 ml
NaOH 0,1N 10%

Dibuat serangkaian larutan parasetamol dengan konsentrasi 3, 5, 7, 9, 11 ppm

Diukur absorbansinya pada panjang gelombang 247 nm.

b. Pemberian Obat pada Tikus


Tikus dipuasakan kurang lebih 5 jam sebelum pemberian obat agar pengaruh makanan
terhadap proses farmakokinetik obat dapat dihindari

Tikus diberikan sediaan parasetamol secara oral masing-masing dengan dosis yang setara
500mg dosis manusia (terlebih dahulu dihitung penyesuaian dosis untuk tikus).

c. Pengambilan Darah dan Penentuan Persamaan serta Parameter Farmakokinetik


Sampel darah diambil dari bagian ekor tikus masing-masing sebanyak 1 ml pada 30; 60;
90; dan 120 menit setelah pemberian obat

Sampel darah disentrifugasi menggunakan tabung mikrosentrifugasi pada kecepatan


4000 rpm selama 15 menit

Bagian supernatant diambil sebanyak 0,5 ml


Diencerkan dengan 0,5 ml campuran metanol : asam asetat 1% (80:20)

Disentrifugasi kembali pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit

Bagian supernatant diambil sebanyak 0,5 ml

Ditambahkan 0,5 ml NaoH 0,1N 10%

Kadar parasetamol dianalisis dengan spektrofotometri Uv-Vis

Dilakukan perhitungan untuk menentukan kadar parasetamol dalam sampel

Dilakukan penentuan persamaan dan parameter-parameter farmakokinetika.

V. PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN


1. Perhitugan dosis
Diketahui : - Dosis manusia = 500 mg
- Faktor konversi = 0,018
- Kekuatan sediaan = 120 mg/5 ml
a. Tikus 1, berat badan = 200 gram
Tikus 2, berat badan = 255 gram
Konversi dari bb manusia ke tikus = 500 x 0,018 = 9 mg / 200gr bb tikus
1) Dosis untuk tikus 1
Tikus 1 = 200 gram
200 gram
x 9 mg=9mg
200 gram BB
Volume pemberian untuk tikus 1
9 mg
x 5 ml=0,375 ml
120 mg
2) Dosis untuk tikus 2
Tikus 2 = 255 gram
255 gram
x 9 mg=11, 475mg
200 gram BB
Volume pemberian
11 , 475 mg
x 5 ml=0,478 ml
120 mg
b. Perhitungan pengenceran
a) Larutan induk parasetamol
10 mg 100 mg 1000 mg
x = = 1000 ppm
10 ml 100 ml 1000 ml

b) Larutan stok
Larutan stok = 10 ml, 100 ppm
V1 x C1 = V 2 x C2
10 x 100 = V2 x 1000
1000
V2 =
1000
V2 = 1 ml

c) Larutan seri
Diencerkan dari 100 ppm
 V 1 x C1 = V 2 x C2
V1 x 100 ppm = 10 ml x 3 ppm
30
V1 =
100
V1 = 0,3 ml
 V 1 x C1 = V 2 x C2
V1 x 100 ppm = 10 ml x 5 ppm
50
V1 =
100
V1 = 0,5 ml
 V 1 x C1 = V 2 x C2
V1 x 100 ppm = 10 ml x 7 ppm
70
V1 =
100
V1 = 0,7 ml
 V 1 x C1 = V 2 x C2
V1 x 100 ppm = 10 ml x 9 ppm
90
V1 =
100
V1 = 0,9 ml
 V 1 x C1 = V 2 x C2
V1 x 100 ppm = 10 ml x 11 ppm
110
V1 =
100
V1 = 1,1 ml
c. Kurva baku parasetamol

Konsentrasi (ppm) Absorbansi (A)

3 ppm 0,174

5 ppm 0,292

7 ppm 0,406

9 ppm 0,521

11 ppm 0,616

Hasil persamaan regresi :


a = 0,012
b = 0,056
r = 0,999
maka y = a + bx
y = 0,012 + 0,056 x

 Hasil pengamatan
Absorbansi sampel, Tikus 1

T Abs Abs X FP

30’ 0,344 0,344 x 4 = 1,376

60’ 0,764 0,764 x 4 = 3,056

90’ 0,265 0,265 x 4 = 1,06

120’ 0,160 0,160 x 4 = 0,64

30’ y = 0,012 + 0,056 x


1,376 = 0,012 + 0,056 x
1,364 = 0,056 x
x = 24, 357 ppm
60’ y = 0,012 + 0,056 x
3,056 = 0,012 + 0,056 x
3,044 = 0,056 x
x = 54, 357 ppm
90’ y = 0,012 + 0,056 x
1,06 = 0,012 + 0,056 x
1,048 = 0,056 x
x = 18,714 ppm
120’ y = 0,012 + 0,056 x
0,64 = 0,012 + 0,056 x
0,628 = 0,056 x
x = 11,214 ppm

Ln
Ceks Cres
T (menit) Cp (ppm) Ln Cp Ceks Ln Cres
(ppm) (ppm)

30 24,357 3,193 3,955 52,195 27,839 3,326

60 54,357 3,996 3,445 31,343 23,014 3,136

90 18,714 2,929 - - - -

120 11,214 2,417 - - - -

Persamaan fase eliminasi : regresi antara t dengan Ln Cp

T (menit) Ln Cp

90 2,929

120 2,417

Didapatkan nilai :
a = 4,465
b = -0,017
Nilai b = K
Jadi, K = 0,017 / menit
y =a+bx
y = 4,465 - 0,017 x
Ln Ceks = 4,465 - 0,017 t

Perhitungan C ekstrapolasi
t30 → Ln Ceks = 4,465 - 0,017 x
Ln Ceks = 4,465 - 0,017 (30)
Ln Ceks = 4,465 - 0,51
Ln Ceks = 3,955
Ceks = 52,195 ppm
T60 → Ln Ceks = 4,465 - 0,017 x
Ln Ceks = 4,465 - 0,017 (60)
Ln Ceks = 4,465 - 1,02
Ln Ceks = 3,445
Ceks = 31,343 ppm
Perhitungan Cresidual
Cres = | Ceks - Cp|
30’ Cres = | 24,357 – 52,195 |
= 27,839 ppm
60’ Cres = | 54,357 – 31,343 |
= 23,014 ppm
Persamaan fase absorbsi regresi antara t dengan ln Cres

T (menit) Ln Cres

30 3,326

60 3,136

Didapatkan nilai :
a = 3,516
b = - 0,0063
Nilai b = Ka
Jadi, Ka = 0,0063 / menit
y =a+bx
y = 3,516 - 0,0063 x
Parameter – parameter farmakokinetik
0,693
- T1/2 eliminasi =
k
0,693
¿ =40,765 menit
0,017
0,693
- T1/2 absorpsi =
ka
0,693
¿ =110 menit
0,0063
ka
ln( )
- Tmax = k
ka−k
0,0063
ln( )
= 0,017
=92,804 menit
0,0063−0,017
- Cp max = B . e-k.t – A . e-ka.t
= 86,921 . e -0,017 (92,804) – 33,649 . e -0,0063 (92,804)
= 86,921 . 0,206 – 33,649 . 0,557
= - 0,836 ppm
KURVA TIKUS 1
4.500
4.000
f(x) = − 0.02 x + 4.47
3.500 R² = 1
3.000 f(x) = − 0.01 x + 3.52 Linear ()
R² = 1 eliminasi
2.500 Linear (eliminasi)
Axis Title 2.000 distribusi
Linear (distribusi)
1.500 ekstrapolasi
1.000 Linear (ekstrapolasi)

0.500
0.000
20 40 60 80 100 120 140
Axis Title

Absorbansi sampel, Tikus 2

T Abs Abs X FP

30’ 0,051 0,051 x 4 = 0,204

60’ 1,070 1,070 x 4 = 4,28

90’ 0,401 0,401 x 4 = 1,604

120’ 0,094 0,094 x 4 = 0,374

30’ y = 0,012 + 0,056 x


0,204 = 0,012 + 0,056 x
0,192 = 0,056 x
x = 3,429 ppm
60’ y = 0,012 + 0,056 x
4,28 = 0,012 + 0,056 x
4,268 = 0,056 x
x = 76,214 ppm
90’ y = 0,012 + 0,056 x
1,604 = 0,012 + 0,056 x
1,592 = 0,056 x
x = 28,429 ppm
120’ y = 0,012 + 0,056 x
0,376 = 0,012 + 0,056 x
0,364 = 0,056 x
x = 6,5 ppm
Ln Ceks Ceks Cres
T (menit) Cp (ppm) Ln Cp Ln Cres
(ppm) (ppm)

30 3,429 1,232 6,302 545,233 542,602 6,296

60 76,214 4,337 4,832 125,452 49,248 3,897

90 28,429 3,347 - - - -

120 6,5 1,872 - - - -

Persamaan fase eliminasi : regresi antara t dengan Ln Cp

T (menit) Ln Cp

90 3,347

120 1,872

Didapatkan nilai :
a = 7,772
b = -0,049
Nilai b = K
Jadi, K = 0,049 / menit
y =a+bx
y = -7,772 - 0,049 x
Ln Ceks = 7,772 – 0,049 t

Perthitungan C ekstrapolasi
t30 → Ln Ceks = 7,772 - 0,049 x
Ln Ceks = 7,772 - 0,049 (30)
Ln Ceks = 7,772 – 1,47
Ln Ceks = -6,302
Ceks = 545,662 ppm
T60 → Ln Ceks = 7,772 - 0,049 x
Ln Ceks = 7,772 - 0,049 (60)
Ln Ceks = 7,772 – 2,94
Ln Ceks = 4,832
Ceks = 125,462 ppm

Perhitungan Cresidual
Cres = | Ceks - Cp|
30’ Cres = | 3,429 – 545,662 |
= 545,233 ppm
60’ Cres = | 76,214 – 125.462 |
= 49,248 ppm

Persamaan fase absorbsi regresi antara t dengan ln Cres

T (menit) Ln Cres

30 6,296

60 3,897

Didapatkan nilai :
a = 8,695
b = -0,079
Nilai b = Ka
Jadi, Ka = 0,079 / menit
y =a+bx
y = 8,695 - 0,079 x
Parameter – parameter farmakokinetik
0,693
- T1/2 eliminasi =
k
0,693
= =14,142 menit
0,049
0,693
- T1/2 absorpsi =
ka
0,693
= =8,772 menit
0,079

ka
ln(
)
- Tmax = k
ka−k
0,079
ln( )
= 0,049
=15,9menit
0,079−0,049
0,035
ln ( )
0,005
=64,867 menit
0,035−0,005
- Cp max = B . e-k.t – A . e-ka.t
= 2373,212 . e -0,049 (15,9) – 5972,973. e -0,0079 (15,9)
= 2373,212 . 0,459 – 5972,973 . 0,285
= - 612,993 ppm
KURVA TIKUS 2
7.000

6.000 0.05 x + 8.69


f(x) = − 0.08 7.77
R² = 1
5.000 Linear ()
ELIMINASI
4.000
Linear (ELIMINASI)
Axis Title DISTRIBUSI
3.000
Linear (DISTRIBUSI)
2.000 EKTRAPOLASI
Linear (EKTRAPOLASI)
1.000

0.000
20 40 60 80 100 120 140
Axis Title

VI. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan uji coba farmakokinetika sediaan oral dengan
menggunakan tikus sebagai hewan yang akan diberikan sediaan parasetamol secara oral.
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui serta memahami prinsip dan cara menentukan
profil farmakokinetika sediaan oral pada tikus. Ilmu biofarmasetik dan farmakokinetik obat
dan produk  obat bermanfaat untuk memahami hubungan antara sifat – sifat fisiko kimia dari
produk obat dan efek farmakologik atau efek klinik (Shargel, 2005).
Studi biofarmasetika memerlukan penyelidikan berbagai faktor yang mempengaruhi
laju dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini berarti, biofarmasetika
melibatkan faktor – faktor yang mempengaruhi pelepasan obat  dari suatu produk obat, laju
pelarutan dan akhirnya bioavailabilitas obat tersebut. Farmakokinetika mempelajari kinetika
Absorbsi obat, Distribusi, Metabolisme dan eliminasi (yakni ekskresi dan metabolisme)
uraian distribusi dan eliminasi obat sering diistilahkan sebagai disposisi obat (Shargel, 2005).
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol
digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui
resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002)
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak
dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 1-3 jam. Indeks terapi parasetamol antara
2-50 µg/ml. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui
urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian
diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis
normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada
dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.(Lusiana Darsono 2002)
Hal pertama yang dilakukan adalah tikus yang akan digunakan dipuasakan terlebih
dahulu selama kurang lebih 5 jam sebelum pemberian obat agar pengaruh makanan terhadap
proses farmakokinetik obat dapat dihindari misalnya seperti menurunkan absorbsi obat. Lalu
tikus yang digunakan ditimbang beratnya masing-masing, untuk tikus 1 beratnya 200 Gram
dan untuk tikus 2 beratnya 255 Gram yang kemudian tiap tikus diberikan sediaan parasetamol
secara oral masing-masing dengan dosis setara dengan 500 mg dosis manusia, dosis
parasetamol untuk orang dewasa dikonversi menjadi dosis untuk tikus karena untuk
menyesuaikan dengan organ tikus sehingga dalam dosis yang dikonversi memiliki kekuatan
yang setara dengan 500 mg parasetamol yang akhirnya dapat memberikan efek farmakologi
yang diinginkan yang serupa dengan efek pada manusia. Tikus 1 diberikan parasetamol
sebanyak 0,375 ml dan tikus 2 diberikan parasetamol sebanyak 0,478 ml.
Setelah diberikan sediaan parasetamol, diambil sampel darah dari vena bagian ekor
tikus sebanyak 1 ml dengan selang waktu 30 menit selama 2 jam setelah pemberian
parasetamol hal ini bertujuan untuk mengetahui waktu fase absorbsi dan eliminasi dari
sediaan parasetamol. Sampel darah selanjutnya disentifugasi menggunakan tabung
mikrosentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit, bertujuan untuk mendapatkan
supernatan yang mengandung obat. Bagian supernatan dipipet sebanyak 0,5 ml dan
diencerkan dengan 0,5 ml campuran methanol : asam asetat 1% (80:20) dalam tabung
sentrifugasi, kemudian disentrifugasi kembali pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit.
tujuan dari penambahan campuran methanol : asam asetat 1% (80:20) dengan supernatan
adalah untuk mengendapkan protein karena ditakutkan protein pada darah memiliki daerah
serapan pada saat dianalisis dengan spektrofometri ultra violet. Kemudian diambil 0,5 ml
supernatan dan ditambahkan 0,5 ml NaOH 0,1N 10% penambahan NaOH digunakan sebagai
pelarut yang digunakan sebagai kurva baku parasetamol. Lalu parasetamol dianalisis dengan
spektrofotometri Ultra Violet hal ini dilakukan karena parasetamol mempunyai gugus
kromofor. Gugus kromofor yaitu gugus yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi dan
pasangan electron bebas dan memiliki elektron valensi dengan tingkat eksitasi rendah.

Ikatan ganda antara dua atom yang memiliki


pasangan elektron bebas

Cincin benzene, ikatan rangkap yang


terkonjugasi

Prinsip kerja spektrofotometer UV-Visible adalah interaksi yang terjadi antara energi
yang berupa sinar monokromatis dari sumber sinar dengan materi yang berupa molekul.
Setelah itu, tentukan kadar parasetamol dalam sampel dan tentutkan persamaan dan
parameter-parameter farmakokinetiknya.
Laju Eleminasi (K)
Laju eliminasi (K) adalah tetapan laju eliminasi orde kesatu dengan satuan waktu. Pada
umumnya obat induk atau obat yang aktif yang ditentukan dalam kompartemen vaskuler.
Penghilangan atau eliminasi obat induk secara total dari kompartemen dipengaruhi oleh metabolisme
(biotransformasi) dan ekskresi. Tetapan laju eliminasi menyatakan jumlah dari masing-masing proses
tersebut (Shargel et.al, 2005).
Konstanta eliminasi merupakan salah satu parameter metabolisme dan eliminasi obat.
Berdasarkan perhitungan, laju eleminasi pada tikus 1 adalah 0,017/ menit, sedangkan pada tikus 2
adalah 0,049/menit. Konstanta eleminasi berpengaruh pada waktu paruh eleminasi.

Waktu paruh eleminasi (t1/2 eleminasi)


Waktu paruh eleminasi (t1/2 eleminasi) menyatakan waktu yang diperlukan oleh sejumlah obat
atau konsentrasi obat untuk berkurang menjadi separuhnya (Shargel et.al, 2005). Waktu paruh
merupakan ukuran bagaimana obat dieliminasi dari dalam tubuh, tidak tergantung pada dosis, tidak
tergantung pada cara pemberian obat, spesifik untuk setiap obat , dan merupakan faktor penentuan
dalam perhitungan dosis obat. Menurut Lusiana (2012), waktu paruh parasetamol adalah antara 1-3
jam. Berdasarkan perhitungan, waktu paruh eleminasi pada tikus 1 adalah 40,765 menit, sedangkan
pada tikus 2 adalah 14,143 menit yang menujukan bahwa dalam waktu tersebut konsentrasi obat
dalam tubuh masing-masing tikus tinggal setengahnya. Hasil tersebut tidak sesuai dengan literatur
(Lusiana, 2012) dimana waktu paruh pada pengujian jauh lebih cepat dibandingkan literatur.
ln 2
Berdasarkan persamaan K= 1 , nilai konstanta eleminasi berbanding terbalik dengan waktu
t
2
paruh eleminasi yang arinya semakin besar nilai konstanta eleminasi maka semakin singkat watru
paruh eleminasi, sehingga obat akan cepat tereleminasi dari tubuh begitu pula sebaliknya.

Laju Absorbsi (Ka)


Laju Absorbsi (Ka) adalah parameter yang mengambarkan laju absorbsi suatu obat, dimana
agar suatu obat diabsorbsi mula-mula obat harus larut dalam cairan pada tempat absorpsinya (Shargel
et.al, 2005). Niali ini juga akan berpengaruh pada penentuan waktu paruh absorbsi obat. Berdasarkan
perhitungan, laju absorbsi pada tikus 1 adalah 0,0063/ menit, sedangkan pada tikus 2 adalah
0,079/menit.
Waktu paruh absorbsi (t1/2 absorbsi)
Waktu paruh absorbsi (t1/2 absorbsi) menyatakan waktu yang diperlukan oleh sejumlah obat
atau konsentrasi obat untuk separuhnya diabsorbsi kedalam tubuh (Shargel et.al, 2005). Waktu paruh
absorbsi merupakan ukuran bagaimana obat diabsorbsi kedalam tubuh, dapat tergantung pada dosis,
tergantung pada cara pemberian obat, spesifik untuk setiap obat , dan merupakan juga faktor
penentuan dalam perhitungan dosis obat. Berdasarkan perhitungan, waktu paruh absorbsi pada tikus 1
adalah 110 menit, sedangkan pada tikus 2 adalah 8,772 menit yang menujukan bahwa dalam waktu
tersebut konsentrasi obat yang diabsorbsi kedalam tubuh masing-masing tikus. Perbedaan waktu
paruh absorbsi pada kedua tikus sangat jauh berbeda yang artinya salah satu atau keduan nilai tersebut
tidak valid atau tidak sesuai dengan hasil seharusnya. Waktu paruh absorbsi berhubungan dengan
waktu puncak dimana waktu paruh absorbsi harus lebih kecil dibandingkan waktu puncak.
ln 2
Berdasarkan persamaan Ka= 1 , nilai konstanta absorbsi berbanding terbalik dengan waktu
t
2
paruh absorbsi yang arinya semakin besar nilai konstanta absorbsi maka semakin singkat waktu paruh
absorbsi dan begitu pula sebaliknya. Sehingga obat akan cepat diabsorbsi ke dalam tubuh.

Waktu puncak (tmax)


Waktu puncak (tmax) adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai level obat
maksimum dalam darah (tmax) serta parameter ini menunjukan laju absorsi obat dari formulasi. Laju
absorbsi obat, menentukan waktu diperlukan untuk dicapai konsentrasi efektif minimum dan dengan
demikian untuk awal dari efek farmakologis yang dikehendaki (Shargel et.al, 2005). Menurut Lusiana
(2012), konsentrasi puncak dicapai dalam waktu 30-60 menit sedangkan berdasarkan perhitungan,
waktu puncak pada tikus 1 adalah 92,804 menit, sedangkan pada tikus 2 adalah 15,9 menit yang
menujukan bahwa dalam waktu tersebut konsentrasi obat didalam tubuh mencapai konsentrsi
maksimal. Hasil terbut tidak sesuai dengan literatur. Pada tikus 1 waktu puncak lebih lambat
sedangkan pada tikus 2 waktu puncak lebih cepat. Waktu puncak berhubungan dengan konstanta
eleminasi (K), konstanta absorbsi (Ka), dan secara tidak langsung juga berhubungan dengan waktu
paruh eleminasi (t1/2 eleminasi) dan absorbsi (t1/2 absorbsi).
Konsentrasi Puncak (Cpmax)
Konsentrasi puncak (Cpmax) adalah konsentrasi dari obat maksimum yang diamati dalam
plasma darah dan serum pemberian dosis obat. Jumlah obat biasanya dinyatakan dalam batasan
konsentrasinya sehubungan dengan volume spesifik dari darah, serum dan plasma (Shargel et.al,
2005). Konsentrasi puncak berada pada rentang konsentrasi efektif yaitu menurut Lusiana (2012),
konsentrasi efektif parasetamol berada pada rentang 2-50 µg/mL. Berdasarkan perhitungan,
konsentrasi puncak pada tikus 1 adalah -0,836 ppm, sedangkan pada tikus 2 adalah -612,992 ppm.
Nilai tersebut tidak sesuai literatur karena konsentrasi puncak yang didapatkan jauh lebih kecil
dibandingkan seharusnya bahkan cenderung tidak rasional karena nilainya minus.

Parameter farmakokinetika yang ditentukan pada percobaan ini tidak valid baik pada
tikus 1 maupun pada tikus 2. Penentuan parameter farmakokinetika saling berhubungan satu
sama lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh
 Kondisi tikus saat pengujian misalnya stress yang dapat mempengaruhi fungsi pencernaan
sehingga mempercepat proses absorbsi dan eleminasi, namun prosesnya tidak maksimal
 waktu pengambilan sampel darah yang sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama
sehingga darah sudah mengendap menyebabkan data tidak valid,
 nilai absorbansi yang baik adalah antara 0,2-0,8 sedangkan pada tikus 2 menghasilkan nilai
absorbansi kurang dari 0,2 sehingga data tidak valid.
 Rentang absorbansi yang didapatkan pada tiap waktu yang peningkatan atau penurunannya
terlalu besar sehingga data tidak valid
 Waktu sampling yang kurang panjang atau bervariasi menyebabkan rentang sampel terlalu
pendek dalam menentukan titik absorbsi dan eleminasi sehingga data yang dihasilkan tidak
valid.
Parameter paling menentukan adalah K dan Ka karena berhubungan dengan
penentuan waktu paruh eleminasi, waktu paruh absorbsi, serta waktu puncak yang
berhubungan dengan penentuan konsentrasi maksimal. Nilai K dan Ka didapatkan dari
persamaan regresi eleminasi dan absorbsi. Maka apabila terjadi kesalahan dalam penentuan
persamaan eleminasi dan absorbsi akan menghasilkan parameter farmakokinetika yang tidak
valid.
VII. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut, yaitu:
- Penentuan parameter farmakokinetika sediaan oral dilakukan dengan metode residual;
- Parameter farmakokinetika yang ditentukan adalah konstanta laju eliminasi (K),
konstanta laju absorpsi (Ka), waktu paruh eliminasi (T1/2 eliminasi), waktu paruh
absorpsi (T1/2 absorpsi), waktu puncak (Tmax), dan konsentrasi maksimum obat
dalam plasma (Cp max);
- Nilai parameter farmakokinetika yang dihasilkan untuk tikus 1 yaitu K = 0,017 /

menit; Ka = 0,0063 / menit; T1/2 eliminasi = ; T1/2

absorpsi= ;; Tmax = ; Cp max = -


0,836 ppm;
- Nilai parameter farmakokinetika yang dihasilkan untuk tikus 2 yaitu K = 0,049 /

menit; Ka = 0,079 / menit; T1/2 eliminasi = ; T1/2

absorpsi= ; Tmax = ; Cp max = -


612,993 ppm;
DAFTAR PUSTAKA

Basset, J, et al. 1994. Buku Ajar Vogel; Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta : EGC
Cranswick, N dan Coghlan D. 2000. Paracetamol Efficacy and Safety in Children : the first
40 years. Victoria : Clinical Pharmacologist, Royal Children’s Hospital.
Day RA dan Underwood AL.1999. Analisis Kimia Kuantitatif edisi Kelima. Jakarta:
Erlangga.
Dachriyanus. 2004. Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi. Cetakan I.
Padang : Andalas University Press
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Depkes RI
Gunawan, A. 2009. Perbandingan Efek Analgesik antara Parasetamol dengan Kombinasi
Parasetamol dan Kafein pada Mencit. Jurnal Biomedika, Volume 1 No 1.
Khopkar SM. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.
Kusfadjarijati, Miria. (1988) Penentuan Parameter Farmakokinetika Dan Uji Efek
Hipoglikemik Tolbutamida Dosis Tunggal Dengan Menggunakan Data Darah
Pada Kelinci. Skripsi Thesis, Universitas Airlangga
Lusiana, Darsono. 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol. JKM.
Vol. 2. No. 1.
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2000. Susunan neuromuskular. Neurologi klinis dasar.
Jakarta: Dian Rakyat
Moffat. A. C. 1986. Clarke’s Isolation and Identification of Drugs. Edisi 2. London : The
Pharmaceutical Press
Nassar A.F, Hollenberg P.F., and Scatina J. 2009. Drug Metabolism Handbook Concepts And
Applications. Published by John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey. Hlm
588, 678 – 680.
Parfitt K. 1999. Martindale : The Complete Drug Reference. Edisi 32. Pharmaceutical Press.
Shargel, Leon,B.C.YU, Andrew.2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan,
Surabaya : Airlangga University Press
Shargel, L., Susanna Wu-Pong, Andrew B.C. Yu, alih bahasa Fasich, Budi Suprapti. 2012.
Biofarmasetika & Farmakokinetika Terapan Edisi Kelima.. Surabaya : Pusat
Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga.
Tjay dan K .Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting . Jakarta : PT Elex Media Komputindo
Yulida Nasution, Amelida. 2009. Penetapan Kadar Zat Aktif Parasetamol dalam Obat
Sediaan Oral dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi(KCKT),
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Anda mungkin juga menyukai