Anda di halaman 1dari 42

ASKEP PADA ANAK DENGAN MASALAH TROPIK DAN INFEKSI

DI SUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPERAWATAN ANAK

Dosen Pendamping : Aloysia Ispriantari, S.Kep.,Ners., M.Kep

Disusun Oleh :

1.Dilla Tri Puspita S 181130

2.Nur Wahyu 181152

3.Suci Sindi A.R 181172

POLITEKNIK KESEHATAN RS dr. SOEPRAOEN

PRODI KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas

makalah mata kuliah keperawatan anak

Melalui penugasan ini diharapkan para mahasiswa dapat memahami tentang

“asuhan keperawatan tentang penyakit tropic dan infeksi”

Kami menyadari bahwa sebagai mahasiswa yang pengetahuaannya masih

perlu banyak belajar dalam penulisan ini. Dalam penulisan makalah ini masih memiliki

kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan

kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berguna di masa

yang akan datang.

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tropis merupakan penyakit yang sering terjadi pada wilayah tropis dan

subtropis yang umumnya berupa infeksi tetapi juga berupa noninfeksi.

Menurut WHO penyakit tropis mencakup semua penyakit yang berada di

daerah tropis. Penyakit tropis merupakan salah satu bentuk penyakit yang sering

terjadi di daerah beriklim tropis dan subtropis, tidak hanya di Indonesia tapi hampir

semua negara berkembang penyakit tropis ini dapat mewabah dengan cepat dan

menjadi salah satu faktor morbiditas dan mortalitas, untuk mengurangi angka kematian

tersebut, perlu adanya penanggulangan guna menekan penyebarluasan penyakit

tropis yang semakin lama semakin naik.

Banyak faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit tropis adalah

lingkungan atau tempat tinggal yang kotor beberapa penyakit tropis dan infeksi yaitu

diare, tetanus, tifoid penyakit tropis jenis ini dapat disebabkan bakteri maupun virus.

Hasil penelitian menunjukkan diare merupakan penyebab utama kematian bayi

dan anak balita (anak usia 1 bulan - <5 bulan) di Indonesia (Riskesdes, 2007),

sedangkan tetanus WHO mencatat bahwa 787.000 bayi meninggal karena tetanus

neoonartum (NT) dan tifoid menurut WHO diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun

dan 600 ribu diantaranya berakhir dengan kematian demam tifoid ini merupakan

masalah global terutama di Negara dengan hygiene buruk. Penatalaksanaan penyakit

tropis dan infeksi dengan cara penggunaan air sumur, yang sehat dan imunisasi vaksin

serta meningkatkan sanitasi lingkungan.


1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana konsep medis dan asuhan keperawatan pada bayi dan anak dengan

penyakit tropik dan infeksi ?

1.3  Tujuan

1.1.1      Tujuan Umum

Agar mahasiswa dapat memahami konsep medis dan asuhan keperawatan

pada bayi dan anak dengan penyakit tropik dan infeksi ?

1.1.2      Tujuan Khusus

a.    Mengetahui konsep medis dan diagnosakeperawatan pada anak dengan

penyakit tropik dan infeksi Campak

b.    Mengetahui konsep medis dan diagnosa keperawatan pada anak dengan

penyakit tropik dan infeksi Difteri

c.    Mengetahui konsep medis dan diagnosa keperawatan pada anak dengan

penyakit tropik dan infeksi Tetanus

d. Mengetahui konsep medis dan diagnosa keperawatan pada anak dengan penyakit

tropik dan infeksi DHF

e. Mengetahui konsep medis dan diagnosa keperawatan pada anak dengan penyakit

tropik dan infeksi Thypoid

f. Mengetahui konsep medis dan diagnosa keperawatan pada anak dengan penyakit

tropik dan infeksi Polio


BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Campak

Penyakit Campak (Rubeola, Campak 9 hari, measles) adalah suatu

infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis

(peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini disebabkan

karena infeksi virus campak golongan Paramixovirus.

Penularan infeksi terjadi karena menghirup percikan ludah penderita campak.

Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum timbulnya ruam

kulit dan 4 hari setelah ruam kulit ada.

Sebelum vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah campak terjadi

setiap 2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia pra-sekolah dan anak-anak SD. Jika

seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya biasanya dia akan kebal

terhadap penyakit ini.

2.1.1 Etiologi

Campak, rubeola atau measles juga sebagai tampek, dabaken atau morbili

adalah penyakit infeksi yang menular atau infeksius sejak awal masa prodromal, yaitu

kisaran 4 hari pertama sejak munculnya ruam. Campak disebabkan

oleh paramiksovirus ( virus campak). Penularan terjadi melalui percikan ludah dari

hidung, mulut maupun tenggorokan penderita campak (air borne disease). Masa

inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul.

Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan

pasif pada seorang bayi yang lahir ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun).
Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah: - bayi berumur lebih dari 1 tahun -

bayi yang tidak mendapatkan imunisasi - remaja dan dewasa muda yang belum

mendapatkan imunisasi kedua.

2.1.2 Patofisiologi

Patofisiologi campak (measles) atau rubeola dimulai saat virus campak masuk ke

tubuh melalui mukosa saluran nafas atas atau kelenjar air mata. Infeksi awal dan

replikasi virus terjadi secara lokal pada sel epitel trakea dan bronkus.

 Fase viremia pertama terjadi setelah 2-4 hari setelah invasi, akibat replikasi dan

kolonisasi virus pada kelenjar limfe regional yang kemungkinan dibawa oleh makrofag

paru

 Fase viremia kedua terjadi setelah 5-7 hari setelah infeksi awal akibat

penyebaran virus pada seluruh sistem retikuloendotelial. Kolonisasi dan penyebaran

pada epitel dan kulit menyebabkan gejala batuk, pilek, mata merah (3 C’s: cough,

coryza, conjunctivitis) dan demam yang semakin tinggi. Gejala akan semakin

memberat sampai hari kesepuluh setelah infeksi virus dan mulai timbul ruam

makulopapular berwarna kemerahan. Ruam akan menjadi gelap pada masa

konvalesens diikuti dengan terjadinya proses deskuamasi dan hiperpigmentasi

Infeksi virus campak menyebabkan proses imunosupresi pada tubuh yang

ditandai dengan penurunan reaksi hipersensitivitas tipe lambat, penurunan produksi

interleukin (IL)-12 dan penurunan sistem limfoproliferatif antigen-spesifik yang bertahan

beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi. Hal ini yang menjadi faktor predisposisi

terjadinya infeksi oportunistik sekunder seperti bronkopneumonia dan ensefalitis yang

meningkatkan angka mortalitas pada anak. Jika virus mencapai paru-paru maka akan

membentuk infiltrat pada paru dan menyebabkan bronkopneumonia. Pada individu

dengan defisiensi imunitas selular, dapat terjadi giant cell pneumonia yang bersifat


fatal dan progresif. Jika virus mencapai otak dapat menyebabkan pembengkakan atau

edema pada otak dan jika bereplikasi pada susunan saraf pusat (SSP) maka dapat

menimbulkan gejala ensefalitis. Pada individu yang imunokompeten umumnya virus

dapat dieliminasi dan menimbulkan kekebalan seumur hidup.

2.1.3 D.Manifestasiklinis

Gejala mulai timbul dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, yaitu berupa:

 Panas badan

 Nyeri tenggorokan

 pilek Coryza

 Batuk ( Cough )

 Bercak Koplik

 Nyeri otot

 Mata merah ( conjuctivitis )

2-4 hari kemudian muncul bintik putih kecil di mulut bagian dalam (bintik Koplik).

Ruam (kemerahan di kulit) yang terasa agak gatal muncul 3-5 hari setelah timbulnya

gejala di atas. Ruam ini bisa berbentuk makula (ruam kemerahan yang mendatar)

maupun papula (ruam kemerahan yang menonjol). Pada awalnya ruam tampak di

wajah, yaitu di depan dan di bawah telinga serta di leher sebelah samping. Dalam

waktu 1-2 hari, ruam menyebar ke batang tubuh, lengan dan kaki, sedangkan ruam di

wajah mulai memudar.

Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat sakit, ruamnya meluas serta suhu

tubuhnya mencapai 40° Celsius. 3-5 hari kemudian suhu tubuhnya turun, penderita

mulai merasa baik dan ruam yang tersisa segera menghilang.


Demam, kecapaian, pilek, batuk dan mata yang radang dan merah selama

beberapa hari diikuti dengan ruam jerawat merah yang mulai pada muka dan merebak

ke tubuh dan ada selama 4 hari hingga 7 hari.

2.1.4 E.Pemeriksaan diagnostik

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan ruam kulit yang

khas.Pemeriksaan lain yang mungkin perlu dilakukan:

1. pemeriksaan darah, pemeriksaan darah tepi

2. pemeriksaan Ig M anti campak

3. Pemeriksaan komplikasi campak:

a. enteritis

b. Ensephalopati,

c. Bronkopneumoni

2.1.5 Penatalaksanaan medis (Narusalam, 2008)

1.Terapi

Tidak ada pengobatan khusus untuk campak. Anak sebaiknya menjalani

istirahat. Untuk menurunkan demam, diberikan asetaminofen atau ibuprofen. Jika

terjadi infeksi bakteri, diberikan antibiotik. Maka dari itu harus berjaga-jaga.

2.Pencegahan

Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin

biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak Jerman

(vaksin MMR/mumps, measles, rubella), disuntikkan pada otot paha atau lengan

atas.Jika hanya mengandung campak, vaksin diberikan pada umur 9 bulan. Dalam

bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15 bulan, dosis kedua diberikan
pada usia 4-6 tahun.Selain itu penderita juga harus disarankan untuk istirahat

minimal 10 hari dan makan makanan yang bergizi agar kekebalan tubuh meningkat.

Terdapat juga vaksin MMRV, suatu kombinasi vaksin MMR dan vaksin cacar

air (varicella). Dengan adanya kombinasi ini, maka tata laksana vaksinasi lebih

sederhana, karena jumlah penyuntikan lebih sedikit dan lebih murah. Tetapi untuk

anak-anak berusia 2 tahun atau kurang, vaksin MMRV lebih memiliki efek samping

dibandingkan pemberian vaksin MMR dan vaksin cacar air secara terpisah dalam

satu hari. Terjadi penambahan kejadian febrile seizures yang terjadi 7 hingga 10 hari

setelah vaksinasi, penambahan kejadian demam ringan dan penambahan kejadian

gatal-gatal seperti kena campak. Tetapi vaksinasi MMRV pada usia 4 sampai 6 tahun

tidak ada bukti penambahan kejadian febrile seizure dibandingkan pemberian vaksin

MMR dan vaksin cacar air secara terpisah.

2.1.6 Komplikasi

Pada anak yang sehat dan gizinya cukup, campak jarang berakibat serius.

Beberapa komplikasi yang bisa menyertai campak:

1. Infeksi bakteri: Pneumonia dan Infeksi telinga tengah

2. Kadang terjadi trombositopenia (penurunan jumlah trombosit), sehingga

penderita mudah memar dan mudah mengalami perdarahan

3. Ensefalitis (infeksi otak) terjadi pada 1 dari 1,000-2.000 kasus.

2.1.7.Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan infeksi virus morbili

2. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan

anoreksi
3. Gangguan Rasa nyaman berhubungan dengan rasa gatal

2.1.8 Contoh campak


3.1 Definisi Difteri

Difteri adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium

diphtheriae. Difteri ialah penyakit yang mengerikan di mana masa lalu telah

menyebabkan ribuan kematian, dan masih mewabah di daerah-daerah dunia yang

belum berkembang. Orang yang selamat dari penyakit ini menderita kelumpuhan otot-

otot tertentu dan kerusakan permanen pada jantung dan ginjal. Anak-anak yang

berumur satu sampai sepuluh tahun sangat peka terhadap penyakit ini.

3.1.1.Etiologi

Etiologi penyakit difteri adalah infeksi bakteri gram positif, Corynobacterium

diphtheria. C. diphtheria adalah bakteri basilus, nonmotil, tidak berspora dan tidak

berkapsul. Terdapat strain yang patogenik dan tidak patogenik. Kuman difteri dapat

menular melalui droplet respiratorik seperti dari batuk atau bersin atau kontak langsung

dengan sekret respiratorik, dari lesi kulit yang terinfeksi, dan dari barang-barang yang

sudah terkontaminasi oleh bakteri difteri. C. diphtheria bukan kuman yang sangat

invasif dan biasanya hanya menempati lapisan superfisial mukosa respiratorik dan lesi

kulit, dan dapat menyebabkan reaksi inflamasi ringan di jaringan lokal.

Penyakit difteri disebabkan terutama oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh C.

diphtheria. Toksin hanya diproduksi jika bakteri C. diphtheria diinfeksi oleh virus

spesifik (bakteriofag) yang membawa informasi genetik toksin. Terdapat

empat strain C. diphtheria, yaitu gravis, intermedius, mitis, dan belfanti. Semua strain

ini dapat memproduksi toksin dan menyebabkan penyakit difteri berat. Selain C.
diphtheria, spesies C. ulcerans juga dapat menyebabkan penyakit difteri, terutama

difteri pada kulit. C. ulcerans dapat tersebar melalui transmisi zoonotik ke manusia dan

banyak ditemukan pada komunitas yang banyak berhubungan dengan peternakan.

3.1.2.Patofisiologi

Menempelnya Corynobacterium diphtheria pada sel epitel mukosa merupakan

dasar patofisiologi difteri. Bakteri ini kemudian akan melepaskan eksotoksin dari

endosomnya yang menyebabkan reaksi inflamasi lokal diikuti pengrusakan jaringan

dan nekrosis.

1. Fragmen Toksin A dan B

Toksin terdiri atas dua macam protein, A dan B. Fragmen B berperan membuka

jalan bagi fragmen A untuk masuk ke dalam sel. Fragmen B akan menyebabkan

proses proteolisis melalui ikatan dengan reseptor pada permukaan sel host yang

rentan. Hal ini menyebabkan hancurnya lapisan membran lipid.Fragmen A kemudian

akan masuk melalui lapisan yang hancur tersebut. Fragmen ini akan menonaktifkan

faktor elongasi EF-2 pada sel yang akan menyebabkan terjadinya blok pada sintesis

protein sel yang akan berujung pada kematian sel. Proses ini menyebabkan

terbentuknya pseudomembran yang merupakan koagulasi nekrotik yang terdiri atas

fibrin, leukosit, eritrosit, sel epitel respiratorik yang mati, dan kuman. Destruksi

jaringan lokal menyebabkan toksin menyebar secara limfatik dan hematologik menuju

bagian lain tubuh, seperti miokardium, ginjal dan sistem saraf.


2. Perubahan Strain Corynobacterium diphtheria Nonpatogenik

Strain yang bersifat nonpatogenik pada dasarnya menimbulkan infeksi yang

tidak terlalu berbahaya, tetapi semenjak program vaksinasi berkembang, telah

dilaporkan kejadian strain patogenik C. diphtheria menyebabkan penyakit yang

invasif.

3.1.3 Manifestasiklinis

Gejala yang muncul ialah sakit tenggorokan, demam, sulit bernapas dan

menelan, mengeluarkan lendir dari mulut dan hidung, dan sangat lemah. Kelenjar

getah bening di leher membesar dan terasa sakit. Lapisan (membran) tebal terbentuk

menutupi belakang kerongkongan atau jika dibuangkan menutup saluran

pernapasan dan menyebabkan kekurangan oksigen dalam darah.

Onset gejala difteri respiratorik biasanya muncul setelah fase inkubasi sekitar 2-5

hari. Gejala biasanya umum dan tidak spesifik, sering menyerupai infeksi saluran

pernapasan akibat virus. Pasien difteri dapat memiliki keluhan sebagai berikut:

1. Rasa tidak nyaman di badan seperti nyeri kepala, nyeri tenggorokan, rasa

lemah atau malaise

2. demam dengan suhu 38 C atau lebih, tetapi jarang melebihi 39 C

3. Gejala pada kulit berupa sianosis dan pembengkakan kelenjar getah bening

servikal

4. Pseudomembran di saluran napas

5. Gangguan pernafasan dan bicara seperti sesak napas dan mengi serta suara

serak

6. Sekret hidung berbau busuk


3.1.4 Pemeriksaan diagnostik

a. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman

Corynebakterium difteri.

b. Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan

leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin.

Pada urin terdapat albuminuria ringan.

c. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau

bahnan di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood.

d. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena

hemolisis sel darah merah.

e. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit

peningkatan protein.

f. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu

pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung

antitoksin.

3.1.5 Penatalaksanaan medis 

Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG

yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya

sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan

spesifik. Pengobatan spesifik untuk difteri :

1. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan

sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.

2.    Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas

demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol

75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.


3.    Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat

membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu.

Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan

trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat

diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.

3.1.6 Komplikasi

Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun

organ lainnya:

1.      Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung

2.      Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak

terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu.

3.      Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan

4.      Kerusakan ginjal (nefritis).

3.1.7 Diagnosa Keperawatan

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sempit nafas

2. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pemasukan

nutrisi yang kurang

3.1.8 Contoh tanda difteri


4.1 Pengertian Tetanus

Tetanus neonatorum adalah merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang

bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya

kuman tetanus melalui luka tali pusat

Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi

berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang

mengeluarkan toksin (racun yang menyerang sistem saraf pusat).

4.1.1 Etiologi

1. Kuman Clostridium Tetani

2. Pemotongan tali pusat bayi menggunakan alat yang tidak bersih atau steril.

3.  Luka tali pusat kotor atau tdak bersih.

4. Ibu hamil tidak mendapat imunisasi TT(Tetanus Toksoid) lengkap.

4.1.2 Patofisiologi

Virus yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobit beruba menjadi

bentuk fegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toksin dalam jaringan yang anaerobit

ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan

oksigen jaringan akibat adanya pus, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat

diionisasi. Secara intra aksonal toksin disalurkan ke sel syaraf yang memakan waktu

sesuai dengan panjang aksonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan

elektrik dan fungsi sel syaraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sum-

sum tulang belakang toksin menjalar dari sel syaraf lower motorneuron keluksinafs dari

spinal inhibitorineurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada

inhibitoritransmiter dan menimbulkan kekakuan.


4.1.3Tanda dan Gejala

Masa inkubasi penyakit adalah 5-14 hari sehingga .Gejala dan tanda

tersebut biasanya muncul dalam waktu 5-10 hari setelah terinfeksi, tetapi bisa juga

timbul dalam waktu 2 hari atau 50 hari setelah terinfeksi.

Gejala yang paling umum terjadi adalah kekakuan pada rahang sehingga

penderita tidak dapat membuka mulut, dan menelan  serta bersamaan dengan

timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher, dan bahu atau punggung.

Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha.

Bisa juga dengan melihat gejala klinis atau yang lebih jelas lagi, seperti:

1.Mulut mencucu seperti mulut ikan (karpemound)

2.Bayi tiba-tiba panas.

3.Bayi yang semula dapat menetek menjadi sulit menetek karena kejang pada otot

faring (tenggorok dan rahang).

4.Mudah sekali kejang disertai sianosis (biru), kejang terutama apabila terkena cahaya,

suara dan sentuhan.

5.Kejang, otot kaku/spasm dengan kesadaran tak terganggu. Kejang pada otot-otot

wajah menyebabkan ekspresi penderita seperti menyeringai dengan kedua alis

yang terangkat. Kekakuan atau kejang pada otot-otot perut, leher, dan punggung

dapat menyebabkan kepala dan tumit penderita tertarik ke belakang, sedangkan

badannya melengkung ke depan (kaku duduk sampai opisthotonus) . Kejang pada

otot sfingter perut bagian bawah akan menyebabkan sembelit dan tertahannya air

kemih.

6. Dinding perut tegang (perut papan)

7. Trismus (kesukaran membuka mulut/mulut tertutup).


4.1.4 Penatalaksanaan

a. Pemberian saluran nafas agar tidak tersumbat dan harus dalam keadaan bersih.

b. Pakaian bayi dikendurkan/dibuka

c. Mengatasi kejang dengan cara memasukkan tongspatel atau sendok yang sudah

dibungkus kedalam mulut bayi agar tidak tergigit giginya dan untuk mencegah agar

lidah tidak jatuh kebelakang menutupi saluran pernafasan.

d. Ruangan dan lingkungan harus tenang

e. Bila tidak dalam keadaan kejang berikan ASI sedikit demi sedikit, ASI dengan

menggunakan pipet/diberikan personde (kalau bayi tidak mau menyusui).

f. Perawatan tali pusat dengan teknik aseptic dan antiseptic.

g. Selanjutnya rujuk kerumah sakit, beri pengertian pada keluarga bahwa anaknya

harus dirujuk ke RS

Penatalaksanaan Medis

1. Di berikan cairan melalui intravena

2. Obat ATS 10.000 untuk perhari di berkan selama 2hari berturut-turut dengan IM

untuk neonatus bisa di berikan IV apa bila tersedia dapat di berikan human tetanus

immununoglobulin(HTIG) 3000-6000IU.

3. Ampisilin 100mg/kg/BB hari di bagi 4dosis

4. Tali pusat dibersihkan atau dikompres dengan alkohol betadine 10%

5. Memberikan suntikan anti kejang, obat yang dipakai ialah kombinasi fenobarbital

dan largaktil. Fenobarbital dapat diberikan mula-mula 30-60 mg parenteral,

kemudian dilanjutkan dengan dosis maksimum 10 mg per hari. Largaktil dapat

diberikan bersama luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral, kemudian diteruskan


dengan dosis 6 x 2,5 mg setiap hari. Kombinasi yang lain ialah Kloralhidrat yang

diberikan lewat anus.

4.1.5 Pencegahan

1. Imunisasi aktif

2. Perawatan tali pusat yang baik

3. Pemberian toksoid tetanus pd ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ke3

4. Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril

4.1.6 Komplikasi

1. Bronkhopneumonia : infeksi yang terjadi pada bronkus dan jaringan paru.

2. Asfiksia: keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan

dan teratur.

3. Sepsis Neonatorum : infeksi bakteri berat yang menyebar keseluruh tubuh bayi

barulahir.

4.1.7 Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sputum

2. Hipertermi berhubungan dengan efek toksin

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kondisi lemah

4.1.8Contoh Tetanus Kejang


5.1 Pengertian DHF

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkanoleh virus

dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masukkedalam tubuh penderita

melalui gigitan nyamuk aedes aegypty(Nursalam, dkk. 2008)

  Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat padaanak dan

orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dannyeri sendi yang

disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yangtergolong arbo virus dan

masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitannyamuk aedes aegypty (betina)

(Hidayat, 2006).Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut

yangdisebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypty(Suriadi.

2010)DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (arbovirus)yang

masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti.

(Suryady,2001,hal 57)

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

denguehaemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh

virusdengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam

tubuhmelalui gigitan nyamuk aedes aegypty yang terdapat pada anakdan orang

dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendiyang disertai ruam

atau tanpa ruam.

5.1.1 Etiologi

Dengue haemoragic Fever (DHF) disebabkan oleh arbovirus(Arthopodborn

Virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk AedesAegepthy. Virus Nyamuk

aedes aegypti berbentuk batang, stabil pada suhu37 derajat Celcius


Adapun ciri-ciri nyamuk penyebar demam berdarah menurut(Nursalam ,2008)

adalah :

1. Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih

2. Hidup didalam dan sekitar rumah

3. Menggigit dan menghisap darah pada waktu siang hari.

4. Senang hinggap pada pakaian yang bergantung didalam kamar

5. Bersarang dan bertelur digenangan air jernih didalam dan sekitar rumahseperti

bak mandi, tempayan vas bunga.

5.1.2 Patofisiologi

Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes

aegyptydimana virus tersebut akan masuk ke dalam aliran darah, maka

terjadilahviremia (virus masuk ke dalam aliran darah). Kemudian akan

bereaksidengan antibody dan terbentuklah kompleks virus antibody yang

tinggiakibatnya terjadilah peningkatan permeabilitas pembuluh darah karenareaksi

imunologik. Virus yang masuk ke dalam pembuluh darah danmenyebabkan

peradangan pada pembuluh darah vaskuler atau terjadivaskulitis yang mana akan

menurunkan jumlah trombosit (trombositopenia)dan factor koagulasi merupakan

factor terjadi perdarahan hebat. Keadaanini mengkibatkan plasma merembes

(kebocoranplasma)keluardari pembuluh darah sehingga darah mengental, aliran d

arah menjadi lambat sehingga organ tubuh tidak cukup mendapatkan darah dan

terjadi hipoksia jaringan.Pada keadaan hipoksia akan terjadi metabolisme anaerob

, hipoksia danasidosis jaringan yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan dan

bilakerusakan jaringan semakin berat akan menimbulkan gangguan fungsiorgan

vital seperti jantung, paru-paru sehingga mengakibatkan hipotensi

,hemokonsentrasi , hipoproteinemia, efusi pleura, syok dan dapatmengakibatkan


kematian. Jika virus masuk ke dalam sistem gastrointestinalmaka tidak jarang

klien mengeluh mual, muntah dan anoreksia.Bila virus menyerang organ hepar,

maka virus dengue tersebut menganggusistem kerja hepar, dimana salah satunya

adalah tempat sintesis dan osidasilemak. Namun, karena hati terserang virus

dengue maka hati tidak dapatmemecahkan asam lemak tersebut menjadi bahan

keton, sehinggamenyebabkan pembesaran hepar atau hepatomegali, dimana

pembesaranhepar ini akan menekan abdomen dan menyebabkan distensi

abdomen. Bilavirus bereaksi dengan antbody maka mengaktivasi sistem koplemen

ataumelepaskan histamine dan merupakan mediator factor

meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah atau terjadinya demam

dimana dapatterjadi DHF dengan derajat I,II,III, dan IV

5.1.3 Manifestasiklinis

Menurut Nursalam, 2008 tanda dan gejala penyakit DHF antara lain

1.Demam tinggi selama 5–7 hari

2.Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi

3.Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis,hematoma.

4.Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.

5.Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.

6.Sakit kepala

7.Pembengkakan sekitar mata.

8.Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.

9.Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darahmenurun,

gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat danlemah)
5.1.4 Pemeriksaan diagnostic

1.Darah lengkap : hemokonsentrasi (hematokrit meningkat 20 % ataulebih),

trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)

2.Serologi : uji HI (hemoagutination inhibition test).

3.Rontgen thoraks : effusi pleura

5.1.5 Penatalaksanaan medis 

1.Terapi

a. DHF tanpa rejatanPada pasien dengan demam tinggi , anoreksia dan sering

muntahmenyebabkan pasien dehidrasi dan haus, beri pasien minum 1,5sampai 2

liter dalam 24 jam. Dapat diberikan teh manis, sirup, susudan bila mau lebih baik

diberikan oralit. Apabila hiperpireksiadiberikan obat anti piretik dan kompres air

biasa.Jika terjadi kejang, beri luminal atau anti konvulsan lainnya.

Luminal diberikan dengandosis anak umur kurang dari 1 tahun 50 mg/ IM , anak

lebih dari 1tahun 75 mg. Jika 15 menit kejang belum berhenti luminaldiberikan lagi

dengan dosis 3mg / kg BB. Anak diatas satu tahundiberikan 50 mg dan dibawah

satu tahun diberikan 30 mg, denganmemperhatikan adanya depresi fungsi vital.

b.Pasien yang mengalami rajatan (syok) harus segera dipasang infussebagai

pengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma.Cairan yang diberikan

biasanya Ringer Laktat. Jika pemberiancairan tersebut tidak ada respon maka

dapat diberikan plasma atau plasma akspander, banyaknya 20 sampai 30 ml/kg

BB.Pada pasien rajatan berat pemberian infus diguyur dengan caramembuka klem

infus tetapi biasanya vena-vena telah kolapssehingga kecepatan tetesan tidak

mencapai yang diharapkan, makauntuk mengatasinya dimasukkan cairan secara

paksa dengan spuitdimasukkan cairan sebanyak 200 ml, lalu diguyur.


5.1.6 Komplikasi

Adapun komplikasi dari penyakit Dengue Hemoragic Fever menurut( Hidayat

Alimul , 2008) diantaranya:

1. Ensepalopati Sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan

perdarahan dan kemungkinan dapat disebabkan oleh thrombosis pembuluh

darah keotak.

2. Syok(renjatan) Karena ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sehingga dapat

terjadisyok hipovolemik.

3. Efusi PleuraAdanya edema paru akibat pemberian cairan yang berlebihan

dengan tanda pasien akan mengalami distress pernafasan

4. Perdarahan intravaskuler menyeluruh.

5.1.7 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan anoreksia

2. Resiko tinggi terjadinya perdarahan berhubungan dengan trombositopenia

3. Resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan

tubuh akibat pendarahan

5.1.8 Contoh DHF


6.1.1 Definisi Thypoid

Demam Thypoid atau thypoid fever ialah suatu sindrom sistemik yang terutama

disebabkan oleh salmonella typhi. Demam tifoid merupakan jenis terbanyak dari

salmonelosis. Jenis lain dari demam enterik adalah demam paratifoid yang

disebabkan oleh S. Paratyphi A, S. Schottmuelleri (semula S. Paratyphi B), dan S.

Hirschfeldii (semula S. Paratyphi C). Demam tifoid memperlihatkan gejala lebih

berat dibandingkan demam enterik yang lain (Widagdo, 2011, hal: 197). Menurut

Ngastiyah (2005, hal: 236) Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah

penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan

demam lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan,dan gangguan

kesadaran.

Menurut Soedarto (2009, hal: 128) Penyakit infeksi usus yang disebut juga

sebagai Tifus abdominalis atau Typhoid Fever ini disebabkan oleh kuman

Salmonella typhiatauSalmonella paratyphi A, B, dan C. Demam tifoid merupakan

masalah kesehatan yang penting di Indonesia maupun di daerahdaerah tropis dan

subtropis di seluruh dunia.

Beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit demam tifoid atau

tifus abdominalis adalah suatu penyakit infeksi akut yang menyerang manusia

khususnya pada saluran pencernaan yaitu pada usus halus yang disebabkan oleh

kuman salmonella typhi yang masuk melalui makanan atau minuman yang

tercemar dan ditandai dengan demam berkepanjangan lebih dari satu minggu,

gangguan pada saluran pencernaan, dan lebih diperburuk dengan gangguan

penurunan kesadaran. B. Etiologi Menurut Widagdo (2011, hal: 197)


6.1.2 Etiologi

Salmonella typhi, termasuk genus Salmonella yang tergolong dalam famili

Enterobacteriaceae. Salmonella bersifat bergerak, berbentuk spora, tidak

berkapsul, gram (-). Tahan terhadap berbagai bahan kimia, tahan beberapa hari /

minggu pada suhu kamar, bahan limbah, bahan makanan kering, bahan farmasi,

dan tinja. Salmonella mati pada suhu 54,4º C dalam 1 jam atau 60º C dalam 15

menit. Salmonella mempunyai antigen O (somatik) adalah komponen dinding sel

dari lipopolisakarida yang stabil pada panas dan antigen H (flagelum) adalah

protein yang labil terhadap panas. Pada S. typhi, juga pada S. Dublin dan S.

hirschfeldii terdapat antigen Vi yaitu polisakarida kapsul.

6.1.3 Patofisiologi

Kuman masuk melalui mulut, sebagian kuman akan dimusnahkan dalam

lambung oleh asam lambung. Sebagian kuman lagi masuk ke usus halus, ke

jaringan limfoid dan berkembang biak menyerang usus halus. Kemudian kuman

masuk ke peredaran darah (bakterimia primer), dan mencapai sel-sel retikulo

endoteleal, hati, limpa dan organ lainnya.Proses ini terjadi dalam masa tunas dan

akan berakhir saat sel-sel retikulo endoteleal melepaskan kuman ke dalam

peredaran darah dan menimbulkan bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnya

kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh terutama limpa, usus, dan

kandung empedu (Suriadi &Yuliani, 2006, hal: 254).

Pada minggu pertama sakit, terjadi hiperplasia plaks player. Ini terjadi pada

kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu

ketiga terjadi ulserasi plaks player. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan

ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan,


bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan

limpa membesar. Gejala demam disebabkan oleh endotoksil, sedangkan gejala

pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus halus (Suriadi

&Yuliani, 2006, hal: 254).

6.1.4 Manifestasi Klinik

Menurut Ngastiyah (2005, hal: 237) Gambaran klinik demam tifoid pada anak

biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Penyakit ini masa tunasnya 10-20

hari, tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan. Sedangkan jika melalui

minuman yang terlama 30 hari. Selama masa inkubasi

mungkin ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,

nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan berkurang. Gambaran

klinik yang biasa ditemukan menurut Ngastiyah (2005, hal: 237) adalah:

1. Demam

Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris remiten

dan suhu tidak tinggi sekali. Selama seminggu pertama, suhu tubuh

berangsur-angsur naik setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan

meningkat lagi pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien

terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga, suhu berangsur-

angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga

2. Gangguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecahpecah

(ragaden), lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan

tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen dapat ditemukan

keadaan perut kembung (meteorismus), hati dan limpa membesar disertai


nyeri pada perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat

terjadi diare atau normal

3. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak dalam yaitu

apatis sampai samnolen, jarang terjadi sopor, koma atau gelisah kecuali

penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan pengobatan. Di samping

gejala tersebut mungkin terdapat gejala lainnya. Pada punggung dan

anggota gerak dapat ditemukan roseola yaitu bintik-bintik kemerahan karena

emboli basil dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama

yaitu demam. Kadang-kadang ditemukan pula bradikardi dan epitaksis pada

anak dewasa

4. Relaps

Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis,

akan tetapi berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu

kedua setelah suhu badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan.

Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ

yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin

terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan

dengan pembentukan jaringan fibrosis.

6.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Suriadi & Yuliani (2006, hal: 256) pemeriksaan penunjang demam

tifoid adalah:

1. Pemeriksaan darah tepi Leukopenia, limfositosis, aneosinofilia, anemia,

trombositopenia
2. Pemeriksaan sumsum tulang Menunjukkan gambaran hiperaktif sumsum

tulang

3. Biakan empedu Terdapat basil salmonella typhosa pada urin dan tinja.

Jika pada pemeriksaan selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan

hasil salmonella typhosa pada urin dan tinja, maka pasien dinyatakan

betul betul sembuh

4.Pemeriksaan widal Didapatkan titer terhadap antigen 0 adalah 1/200 atau

lebih,sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak

bermakna untuk menegakkan diagnosis karema titer H dapat tetap tinggi

setelah dilakukan imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh.

6.1.6Komplikasi

Menurut Widagdo (2011, hal: 220-221) Komplikasi dari demam tifoid dapat

digolongkan dalam intra dan ekstra intestinal.

1. Komplikasi intestinal diantaranya ialah :

a. Perdarahan Dapat terjadi pada 1-10 % kasus, terjadi setelah minggu

pertama dengan ditandai antara lain oleh suhu yang turun disertai dengan

peningkatan denyut nadi.

b. Perforasi usus Terjadi pada 0,5-3 % kasus, setelah minggu pertama

didahului oleh perdarahan berukuran sampai beberapa cm di bagian

distal ileum ditandai dengan nyeri abdomen yang kuat, muntah, dan

gejala peritonitis.

2. Komplikasi ekstraintestinal diantaranya ialah :

a. Sepsis Ditemukan adanya kuman usus yang bersifat aerobik

b. Hepatitis dan kholesistitis Ditandai dengan gangguan uji fungsi hati,

pada pemeriksaan amylase serum menunjukkan peningkatan sebagai


petunjuk adanya komplikasi pankreatitis

c. Pneumonia atau bronkhitis Sering ditemukan yaitu kira-kira sebanyak

10 %,umumnya disebabkan karena adanya superinfeksi selain oleh

salmonella

d. Miokarditis toksik Ditandai oleh adanya aritmia, blok sinoatrial, dan

perubahan segmen ST dan gelombang T, pada miokard dijumpai

Infiltrasi lemak dan nekrosis

e. Trombosis dan flebitis Jarang terjadi, komplikasi neurologis jarang

menimbulkan gejala residual yaitu termasuk tekanan intracranial

meningkat, thrombosis serebrum,ataksia serebelum akut, tuna

wicara, tuna rungu, mielitis tranversal, dan psikosis

f. Komplikasi lain Pernah dilaporkan ialah nekrosis sumsum tulang,

nefritis,sindrom nefrotik, meningitis, parotitis, orkitis, limfadenitis,

osteomilitis, dan artritis.

6.1.7.Penatalaksanaan

Pasien yang dirawat dengan diagnosis observasi tifus abdominalis

harus dianggap dan diperlakukan langsung sebagai pasien tifus abdominalis

dan diberikan pengobatan sebagai berikut :

1. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta

2. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang

lama,lemah, anoreksia, dan lain-lain

3.Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu setelah suhu normal

kembali (istirahat total), kemudian boleh duduk, jika tidak panas lagi boleh

berdiri kemudian berjalan di ruangan


4.Pemberian antibiotik Dengan tujuan menghentikan dan mencegah

penyebaran bakteri. Obat antibiotik yang sering digunakan adalah :

a. Chloramphenicol dengan dosis 50 mg/kg/24 jam per oral atau dengan

dosis 75mg/kg/24 jam melalui IV dibagi dalam 4 dosis. Chloramphenicol

dapat menyembuhkan lebih cepat tetapi relapse terjadi lebih cepat pula

dan obat tersebut dapat memberikan efek samping yang serius

b. Ampicillin dengan dosis 200 mg/kg/24 jam melalui IV dibagi dalam 6 dosis.

Kemampuan obat ini menurunkan demam lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol

c. Amoxicillin dengan dosis 100 mg/kg/24 jam per os dalam 3 dosis

d.Trimethroprim-sulfamethoxazole masing-masing dengan dosis 50

mgSMX/kg/24 jam per os dalam 2 dosis, merupakan pengobatan klinik

yang efisien 13 e.Kotrimoksazol dengan dosis 2x2 tablet (satu tablet

mengandung 400 mg sulfamethoxazole dan 800 mg trimethroprim.

Efektivitas obat ini hampir sama dengan chloramphenicol.

6.1.8 Diagnosa keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan menelan


6.1.7 Contoh thypoid

7.1 Definisi polio

Poliomyelitis adalah radang akut pada sumsum tulang belakang karena virus,

dengan gejala demam, sakit leher, sakit kepala, muntah, kaku tengkuk dan

punggung, sering kali menyerang tanduk depan zat kelabu sumsum belakang.

Poliomielitis adalah penyakit yang akut disebabkan oleh virus dengan

predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang belakang dan inti

motorik batang otak, dan akibat kerusakan bagian susunan saraf tersebut akan

terjadi kelumpuhan serta atropi otot.

Poliomielitis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus

polio dan biasanya menyerang anak-anak dengan gejala lumpuh layuh

akut (AFP=Acute Flaccid Paralysis).

Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralysis atau lumpuh yang

disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang

dinamakan poliovirus (PV), masuk ketubuh melalui mulut, menginfeksi saluran

usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat

menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralysis).

7.1.2 Etiologi
Virus poliomyelitis tergolong dalam enterovirus yang filtrabel, infeksi dapat terjadi

oleh satu atau lebih tipe tersebut yang dapat dibuktikan dengan ditemukan 3

macam zat anti dalam serum seorang pasien. Epidemik yang luas dan ganas

biasanya disebabkan oleh virus tipe 1, epidemik yang ringan oleh tipe 3, kadang-

kadang menyebabkan kasus yang sporadik.

Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun

dalam deep freezer. Dapat tahan terhadap banyak bahan kimia termasuk

sulfonamida, antibiotika, eter, fenol, dan gliserin. Virus dapat dimusnahkan

dengan cara pengeringan atau dengan pemberian zat oksidator yang kuat

seperti peroksida atau kalium permanganat. Reservoir alamiah satu-satunya

ialah manusia walaupun virus juga terdapat pada sampah atau lalat. Masa

inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang terdapat kasus dengan masa

inkubasi 3-35 hari.

7.1.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari poliomyelitis dapat berupa asimtomatis (silent

infection), poliomyelitis abortif, poliomyelitis non paralitik, dan poliomyelitis

paralitik, Poliomielitis yang terbagi menjadi empat bagian tersebut :

a.    Poliomielitis Asimtomatis

Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala karena daya tahan tubuh

cukup baik, maka tidak terdapat gejala klinik sama sekali.

b.    Poliomielitis Abortif
Timbul mendadak langsung beberapa jam sampai beberapa hari. Gejala berupa

infeksi virus seperti malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri

tenggorokan, konstipasi dan nyeri abdomen.

c.    Poliomielitis Non Paralitik

Gejala klinik hampir sama dengan poliomyelitis abortif , hanya nyeri kepala,

nausea dan muntah lebih hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari kadang-kadang diikuti

penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau masuk kedalam

fase ke-2 dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini dengan hipertonia, mungkin

disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.

d.   Poliomielitis Paralitik

Gejala sama pada poliomyelitis non paralitik disertai kelemahan satu atau lebih

kumpulan otot skelet atau kranial. Timbul paralysis akut pada bayi ditemukan

paralysis fesika urinaria dan antonia usus. Adapun bentuk-bentuk gejalanya

antara lain :

1)    Bentuk spinal

Gejala kelemahan/paralysis atau paresis otot leher, abdomen, tubuh, diafragma,

thorak dan terbanyak ekstremitas.

2)    Bentuk bulbar

Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak dengan atau tanpa gangguan

pusat vital yakni pernapasan dan sirkulasi.

3)    Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar.

4)    Kadang ensepalitik

Dapat disertai gejala delirium, kesadaran menurun, tremor dan kadang

kejang.Masa inkubasi poliomyelitis umumnya berlangsung selama 6-20 hari

dengan kisaran 3-35 hari. Respon terhadap infeksi virus polio sangat bervariasi

dan tingkatannya tergantung pada bentuk manifestasi klinisnya. Sekitar 95% dari

semua infeksi polio termasuk sub-klinis tanpa gejala atau asimtomatis.

7.1.4 Patofisiologi

Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah susunan saraf tertentu. Tidak

semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan

sekali dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah

timbul gejala. Polio akut disebabkan oleh asam ribonukleat kecil (RNA) virus dari

kelompok enterovirus dari keluarga picornavirus. Inti RNA beruntai tunggal

dikelilingi oleh protein kapsid tanpa amplop lipid, yang membuat virus polio tahan

terhadap pelarut lemak dan stabil pada pH rendah. Tiga antigen strain berbeda

diketahui, dengan tipe I akuntansi untuk 85% dari kasus penyakit lumpuh. Infeksi

dengan satu jenis tidak melindungi dari jenis lain, namun kekebalan untuk

masing-masing 3 strain adalah seumur hidup.

Enterovirus dari polio menginfeksi saluran usus manusia terutama melalui

jalur fecal-oral (tangan ke mulut). Virus-virus berkembang biak di mukosa saluran

pencernaan orofaringeal dan rendah selama 1-3 minggu pertama masa

inkubasi.. Virus dapat dikeluarkan dalam air liur dan kotoran selama periode ini,

menyebabkan sebagian besar host-to-host transmisi. Setelah fase awal


pencernaan, virus mengalir ke kelenjar getah bening leher dan mesenterika dan

kemudian ke dalam aliran darah Hanya 5% dari pasien yang terinfeksi memiliki

keterlibatan sistem saraf selektif setelah viremia. Hal ini diyakini bahwa replikasi

di situs extraneural viremia mempertahankan dan meningkatkan kemungkinan

bahwa virus akan memasuki sistem saraf.

Virus polio memasuki sistem saraf dengan baik melintasi penghalang darah-

otak atau dengan transportasi aksonal dari saraf perifer. Hal ini dapat

menyebabkan infeksi sistem saraf dengan melibatkan gyrus precentral,

thalamus, hipothalamus, motor inti batang otak dan sekitarnya formasi reticular,

inti vestibular dan cerebellum, dan neuron dari kolom anterior dan intermediat

sumsum tulang belakang. Sel-sel saraf mengalami khromatolisis pusat bersama

dengan reaksi inflamasi sedangkan perbanyakan virus mendahului timbulnya

kelumpuhan. Karena proses khromatolisis berlangsung lebih lanjut, kelumpuhan

otot atau bahkan atropi muncul bila kurang dari 10% dari neuron bertahan di

segmen kabel yang sesuai. Gliosis terjadi ketika inflamasi menyusup telah

mereda, tetapi neuron yang masih hidup yang paling menunjukkan pemulihan

penuh.

7.1.5 Komplikasi

Komplikasi yang paling berat adalah kelumpuhan yang menetap. Kelumpuhan

terjadi sebanyak kurang dari 1 dari setiap 100 kasus, tetapi kelemahan satu atau

beberapa otot, sering ditemukan. Kadang bagian dari otak yang berfungsi

mengatur pernafasan terserang polio, sehingga terjadi kelemahan atau

kelumpuhan pada otot dada. Beberapa penderita mengalami komplikasi 20-30

tahun setelah terserang polio. Keadaan ini disebut sindroma post-poliomielitis,


yang terdiri dari kelemahan otot yang progresif, yang seringkali menyebabkan

kelumpuhan. Selain itu ada juga komplikasinya yaitu: Hiperkalsuria, Melena,

Pelebaran lambung akut, Hipertensi ringan, Pneumonia, Ulkus dekubitus dan

emboli paru, Psikosis.

7.1.6 Pemeriksaan Diagnostik

a.    Pemeriksaan Laboratorium

1)   Pemeriksaan darah

Hitung darah lengkap (CBC), karena leukositosis mungkin ada.

2)   Cairan serebrospinal

Cairan cerebrospinal (CSF) tekanan dapat ditingkatkan. Pleositosis (neutrofil

dalam beberapa hari pertama, maka limfosit) dapat dicatat dalam CSF

selama periode sebelum timbulnya kelumpuhan pada polio akut. Kandungan

protein CSS mungkin meningkat sedikit dengan glukosa normal, kecuali

pada pasien dengan kelumpuhan berat, yang mungkin menunjukkan

peningkatan protein untuk 100-300 mg / dL selama beberapa minggu.

3)   Isolasi virus polio

Melakukan pemulihan virus dari tenggorokan mencuci, budaya tinja, biakan

darah, dan budaya CSF. Serta studi virus dalam spesimen tinja sangat

penting untuk diagnosis penyakit polio. Selain itu, juga dapat dengan cara

seperti di bawah ini :


a) Recover virus dari tenggorokan mencuci pada minggu pertama dan

budaya tinja dari 2-5 minggu pertama.

b) Dalam kasus yang jarang terjadi, virus dapat diisolasi dari CSF atau

serum, berbeda dengan penyakit lumpuh yang disebabkan oleh enterovirus

lainnya.

c) Tes ini memerlukan tambahan demonstrasi kenaikan 4 kali lipat titer

antibodi virus untuk membuat diagnosis spesifik

b.    Pemeriksaan Radiologi

Magnetic Resonance Imaging (MRI) mungkin menunjukkan lokalisasi

peradangan pada tanduk anterior sumsum tulang belakang.

7.1.7 Penatalaksanaan

a.    Poliomielitis Abortif

1)   Diberikan analgetik dan sedatif

2)   Diet adekuat

3)   Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari,sebaiknya dicegah

aktifitas yang berlebihan selama 2 bulan kemudian diperiksa neuroskeletal

secara teliti.

b. Poliomielitis Non Paralitik

1)   Sama seperti abortif

2)   Selain diberi analgetik dan sedatif dapat dikombinasikan dengan kompres

hangat selama 15–30 menit,setiap 2–4 jam.


c.    Poliomielitis Paralitik

1)   Perawatan dirumah sakit

2)   Istirahat total

3)   Selama fase akut kebersihan mulut dijaga

4)   Fisioterapi

5)   Akupuntur

6)   Interferon

Poliomielitis asimtomatis tidak perlu perawatan. Poliomielitis abortif diatasi

dengan istirahat 7 hari jika tidak terdapat gejala kelainan aktifitas dapat dimulai

lagi. Poliomielitis paralitik/non paralitik diatasi dengan istirahat mutlak paling

sedikit 2 minggu perlu pemgawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi

paralysis pernapasan. Selain itu, adapun penatalaksanaan pada fase akut pada

pasien dengan poliomyelitis, yaitu sebagai berikut:

a)    Analgetik untuk rasa nyeri otot.

b)    Lokal diberi pembalut hangat sebaiknya dipasang footboard (papan penahan

pada telapak kaki) agar kaki terletak pada sudut yang sesuai terhadap tungkai.

c)    Pada poliomielitis tipe bulbar kadang-kadang reflek menelan terganggu

sehingga dapat timbul bahaya pneumonia aspirasi dalam hal ini kepala anak

harus ditekan lebih rendah dan dimiringkan kesalah satu sisi.

d)   Sesudah fase akut, dapat dilakukan Kontraktur atropi dan attoni otot

dikurangi dengan fisioterapi. Tindakan ini dilakukan setelah 2 hari demam hilang
7.1.8 Diagnosa Keperawatan

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia

2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan

7.1.9 Contoh anak terkena Polio


BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Penyakit tropis merupakan

penyakit yang sering terjadi pada wilayah tropis dan subtropis yang umumnya berupa

infeksi tetapi juga berupa noninfeksi yang di sebabkan oleh bakteri virus jamur.

Penyakit ini merupakan penyakit yang banyak terjadi di daerah tropis dan sub

tropis. Penyebaran penyakit tropis di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan,

perubahan iklim, dan cuaca, untuk itu penangangan penyakit tropis dapat di lakukan

dengan cara selalu menjaga sanitasi lingkungan karena lingkungan merupakan elemt

penting agar kita bisa terhindar dari penyakit tropis sertra selalu menjaga kesehatan

dengan cara memakan makanaan yang bergizi agar saat terjadi perubahan cuaca

tubuh kita tidak akan lemah.

B.Saran

Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di dalam makala ini penyebaran

penyakit tropis sangat berhubungan erat dengan keadaan lingkungan kita. Oleh karean

itu kita harus selalu menjaga kebersihan lingkungan di sekitar kita.


Daftar pustaka

https : //www.alodokter.com/campak/pencegahan

https : //www.alodokter.com/difteri/pencegahan

https ://www.alodokter.com/tetanus/pencegahan

https ://www.alodokter.com/polio

https ://www.halodoc.com/kesehatan/demam-berdarah

https :id.m.wikipwdia.org/wiki/Demam_tifoid

https ://www.nerslicious.com (Standar diagnosis keperawatan Indonesia (SDKI)

Anda mungkin juga menyukai