SKRIPSI
EKO ARIANTO
0806323920
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
JAKARTA
JUNI 2012
SKRIPSI
EKO ARIANTO
0806323920
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
JAKARTA
JUNI 2012
Tanggal :
ii
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal :
iii
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan bimbingan-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan
baik. Adapun judul yang penulis ketengahkan ialah “Hubungan antara Gizi
Kurang dengan Prevalensi Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Melitus tipe 2
di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Tahun 2010”. Penelitian ini disusun
untuk sidang memperoleh gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Dewasa ini, epidemi penyakit tidak menular muncul sebagai penyebab
kematian terbesar di Indonesia. Sementara itu, masalah penyakit menular belum
juga tuntas. Indonesia telah memasuki era epidemi diabetes melitus tipe 2
(DMT2) dan pada saat yang bersamaan juga menempati peringkat 5 penyumbang
kasus tuberkulosis paru (TBP) terbanyak di dunia. Pasien DMT2 rentan terkena
penyakit infeksi, salah satunya TBP. Nutrisi, terutama pada keadaan gizi kurang,
memainkan peran sentral pada sistem imunitas tubuh. Oleh karena fakta tersebut,
penulis bermaksud memberikan perhatian khusus pada masalah ini dengan
menyusun sebuah penelitian yang berfokus pada hubungan antara gizi kurang
sebagai faktor risiko kemunculan TBP pada pasien DMT2.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah
membantu penyusunan makalah ini, yaitu:
1. Profesor Rianto Setiabudi spesialis farmakologi klinik sebagai sosok
teladan yang telah banyak memberikan kesempatan kepada kami untuk
mengembangkan kemampuan diri sebagai peneliti dan telah
meluangkan banyak waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing
penelitian penulis.
2. Dokter Elisna spesialis pulmonologi sebagai dewan penguji yang telah
memberikan masukan berharga sebagai revisi untuk melengkapi
skripsi ini.
3. Departemen Farmakologi Klinik
4. Departemen Medical Research Unit
iv
Penulis
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : Juni 2012
Yang menyatakan
(Eko Arianto)
vi
Diabetes melitus dan gizi kurang secara terpisah dikatakan dapat meningkatkan
kejadian tuberkulosis. Studi potong lintang analitik ini bertujuan untuk
mengetahui adanya hubungan antara gizi kurang dengan prevalensi tuberkulosis
paru (TBP) pada pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Dari keseluruhan 462
pasien DMT2, 125 pasien (27.1%) di antaranya menderita TBP. Total pasien
DMT2 yang menderita gizi kurang sebesar 125 pasien (27.1%). Sementara itu,
dari keseluruhan pasien DMT2 yang menderita TBP, 78 pasien (62.4%) juga
menderita gizi kurang. Hasil uji chi-square menunjukkan adanya hubungan antara
gizi kurang dengan prevalensi TBP yang bermakna secara statistik (p <0.000).
Kata kunci:
Diaebetes melitus, tuberkulosis, gizi kurang
ABSTRACT
Keywords:
Diabetes mellitus, tuberculosis, undernutrition
vii
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
HALAMAN PERYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .............................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................x
1. PENDAHULUAN ...............................................................................................1
1. 1 Latar Belakang .......................................................................................1
1. 2 Rumusan Masalah ..................................................................................3
1. 3 Tujuan Penelitian ...................................................................................3
1.3.1 Tujuan Umum ..............................................................................3
1.3.2 Tujuan Khusus..............................................................................3
1. 4 Manfaat Penelitian .................................................................................3
1.4.1 Manfaat bagi Peneliti ...................................................................3
1.4.2 Manfaat bagi Perguruan tinggi .....................................................4
1.4.3 Manfaat bagi Pemerintah .............................................................4
1.4.4 Manfaat bagi Masyarakat .............................................................4
viii
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
2.5 Kerangka Konsep ................................................................................28
4. HASIL ...............................................................................................................35
4.1 Karakteristik Demografi .....................................................................35
4.2 Karakteristik Infeksi Paru pada Pasien DMT2 ...................................36
4.3 Gambaran Besar IMT .........................................................................37
4.4 Hubungan Antara IMT dengan Prevalensi TBP pada Pasien DMT2 .42
5. PEMBAHASAN ...............................................................................................45
5.1 Prevalensi TBP pada Pasien DMT2 dengan Infeksi Paru ...................45
5.2 Hubungan Gizi Kurang dengan Prevalensi TBP pada Pasien DMT2 .46
ix
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 2.8 Berbagai studi yang membuktikan hubungan DMT2 dan TBP .............24
Tabel 4.1. Hasil uji Chi square antara variabel gizi kurang dengan TBP ..............39
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.3. Persentase pasien DMT2 dengan TBP dan pasien DMT2 dengan
infeksi paru non TBP .............................................................................................32
Gambar 4.4. Sebaran IMT pada pasien DMT2 dengan garis normalitas ...............33
Gambar 4.5. Sebaran IMT berdasarkan kelompok dengan IMT <18.5 dan
kelompok dengan IMT >= 18.5 pada pasien DMT2 ..............................................34
Gambar 4.10. Sebaran IMT pada kasus DMT2 dengan infeksi paru TBP ............37
Gambar 4.11. Sebaran IMT pada kasus DMT2 dengan infeksi paru non TBP .....38
Gambar 4.12. Perbandingan sebaran IMT pada kelompok TBP dan non TBP .....38
xi
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini, Indonesia memasuki era epidemi diabetes melitus tipe 2 (DMT2).
Seiring dengan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM di seluruh
dunia, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan angka
diabetisi di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,8 juta pada
tahun 2030. Sepaham dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF)
memprediksi peningkatan diabetisi dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12
juta pada tahun 2030. Meskipun berbeda dalam hal besar angka, kedua
lembaga internasional tersebut memprediksi adanya peningkatan penderita
sebesar 2 sampai 3 kali lipat.1-4
Pasien penderita DMT2 rentan terkena infeksi. Selain itu, tingkat
keparahan infeksinya juga meningkat seiring dengan menurunnya sistem
imun. Pada systematic review oleh Jeon et al. tahun 2008, dijelaskan adanya
abnormalitas sistem imun pada pasien DMT2 berkaitan dengan kondisi
hiperglikemia dan terganggunya vaskularisasi sehingga mengurangi
kemampuan sel fagositik. Salah satu infeksi yang sering menyerang pasien
DMT2 adalah infeksi paru.5, 6
Tuberkulosis paru (TBP) masih menjadi masalah kesehatan serius
yang dihadapi dunia, termasuk Indonesia. Meski sudah ditetapkan sebagai
global emergency pada tahun 1992 oleh WHO, insidensi salah satu penyakit
infeksi tertua di dunia ini masih setinggi 9,4 juta kasus pada tahun 2009. Pada
saat yang bersamaan, jumlah penderita TBP sedunia sudah mencapai 14 juta
orang dengan angka kematian yang mencapai 1,68 juta jiwa. Sementara di
Indonesia pada tahun 2009 lebih dari 1.400 kasus TBP terdeteksi per hari
dengan angka kematian yang mencapai lebih dari 91 ribu jiwa per tahun.7-10
Hubungan antara prevalensi TBP pada pasien penderita DMT2 sudah
menarik perhatian para peneliti dunia bahkan sejak milenium pertama.
Penemuan pertama yang berhasil dicatat adalah penemuan dokter Susruta dari
India dan dokter Avicenna dari Uzbekistan pada tahun 600 AD menyatakan
bahwa, batuk seringkali terkait dengan diabetes.11, 12
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1.3 Hipotesis
Terdapat hubungan antara gizi kurang dengan prevalensi TBP pada pasien
DMT2.
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Memberikan informasi mengenai ada tidaknya hubungan antara
DMT2 dengan prevalensi TBP dan faktor status gizi.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat bagi Peneliti
1. Mengembangkan kemampuan peneliti dalam berpikir kritis dan
ilmiah terhadap masalah-masalah yang berkembang di masyarakat.
2. Melatih kemampuan peneliti mengolah data.
3. Menambah pengetahuan mengenai kondisi medis pasien DMT2
secara umum di Indonesia.
4. Mengetahui masalah infeksi paru yang diderita oleh pasien DMT2 di
Indonesia.
5. Mengetahui peran gizi dalam pencegahan infeksi paru pada pasien
DMT2.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
2.1.2. Klasifikasi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak normal menjadi kunci dari
berkembangnya DMT2. Penyakit DMT2 diawali dengan meningkatnya
resistensi insulin yang diikuti gangguan sekresi insulin. Kemudian,
penyakit DMT2 baru muncul ketika sekresi insulin tidak adekuat lagi
untuk menurunkan kadar gula darah. Sekresi insulin itu sendiri menjadi
tidak adekuat semata-mata karena meningkatnya resistensi terhadap
insulin endogen. Ada 3 karakteristik penyebab DMT2, yaitu resistensi
insulin, berkurangnya sekresi insulin, dan peningkatan glukosa hati.18
Universitas Indonesia
Ketika tubuh semakin resisten terhadap insulin, kadar gula darah yang
tinggi akan memaksa tubuh mensekresikan insulin secara terus menerus ke
dalam sirkulasi darah (hiperinsulinemia). Pada keadaan normal,
seharusnya hal ini dapat membuat glukosa dikonversi menjadi glikogen
dan kolesterol. Akan tetapi, pada pasien DM yang resisten terhadap
insulin, hal ini tidak terjadi dan sebaliknya ketiadaan respon terhadap
insulin mengakibatkan hati terus menerus memproduksi glukosa
(glukoneogenesis). Hal ini pada akhirnya akan berujung pada terjadinya
hiperglikemia. Produksi gula hati baru akan terus meningkat akibat
terjadinya ketidaknormalan sekresi insulin dan munculnya resistensi
insulin di otot rangka.18
Gejala klasik DMT2 dapat dilihat pada tabel 2.2. Selain gejala klasik yang
mudah diingat dengan abreviasi 3P (polifagia, polidipsia, dan poliuria)
terdapat pula beberapa gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien dan
mengarahkan diagnosis dokter pada DMT2.1
Universitas Indonesia
Polidipsia Kesemutan
Polifagia Gatal
Disfungsi Erektil
Pruritus Vulvae
Tes gula darah plasma sewaktu adalah cara yang paling mudah untuk
mendeteksi DMT2. Tes ini mengukur kadar glukosa darah pada waktu
tertentu. Jika terlihat gejala DMT2 dengan disertai kadar gula darah di atas
200 mg/dL atau lebih, dokter dapat menetapkan diagnosis DMT2. 1
Metode lain untuk mendiagnosis DMT2 adalah tes gula darah puasa.
Syarat untuk melakukan tes ini adalah dengan melakukan puasa terlebih
dahulu selama 8 – 10 jam. Jika terlihat gejala DMT2 dengan hasil tes
diatas 126 mg/dL, diagnosis DMT2 dapat ditetapkan.1
Metode yang ketiga adalah dengan menggunakan tes toleransi gula darah
oral. Sebelum melakukan tes, pasien harus melakukan puasa minimal 8
jam baru kemudian diukur tes gula darah puasanya. Selanjutnya, pasien
diberi glukosa sebanyak 75 gram yang dilarutkan dalam 250 mL air. Dua
jam setelah pemberian beban glukosa pasien kembali diukur kadar glukosa
darahnya. Diagnosis DMT2 dapat ditegakan apabila hasil kadar glukosa
darah setelah pemberian beban glukosa tersebut ≥200 mg/dL.1
Pada tahun 2006, PERKENI, ADA, European Association for the Study of
Diabetes (EASD) dan International Diabetes Federation (IDF) telah
menyetujui penggunaan HbA1c sebagai salah satu alat diagnosis DMT2.
Prinsip tes HbA1c adalah mengukur kadar glukosa yang berikatan dengan
hemoglobin. Pada penderita DMT2, hasil tes akan menunjukan angka
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Seperti yang dijelaskan oleh tabel 2.3, DMT2 dapat ditangani dengan
berbagai terapi. Namun, tidak semua penderita DMT2 memerlukan insulin
ataupun obat. Kebanyakan pasien yang baru terdiagnosis DMT2 cukup
melaksanakan metode diet dan aktifitas fisik. Untuk kebanyakan orang,
porsi makanan sehat dengan makanan rendah lemak dan aktivitas fisik
dapat membuat kadar gula darah mendekati normal. Sedangkan sebagian
orang lainnya memerlukan obat-obatan oral anti diabetes atau insulin
untuk menurunkan kadar gula darahnya. Perbedaan pemilihan cara
tatalaksana DMT2 dapat ditentukan berdasarkan hasil tes HbA1C seperti
yang digambarkan pada gambar 2.3.1, 21
Universitas Indonesia
Tuberkulosis paru, atau bisa disebut dengan TBP, adalah suatu penyakit
infeksi parenkim paru oleh bakteri basil tahan asam Mycobacterium
tuberculosis. TBP dapat menyebar dengan cepat melalui partikel udara
seperti batuk dan bersin. 24-26
2.2.2. Klasifikasi
Berdasarkan aktif atau tidak kuman TB, dapat digolongkan menjadi kasus
TBP aktif, yang merujuk pada suatu kondisi pasien yang sedang
menunjukkan gejala klinis TB dan TBP tidak aktif yang merujuk pada
kasus laten, bekas TB, ataupun kasus-kasus lain di mana pasien belum
atau sudah tidak menunjukkan gejala klinis. Aktif atau tidak aktif nya TBP
dapat juga ditentukan secara lebih objektif berdasarkan hasil foto rontgen
thorax.7
a. Kasus baru
TBP kasus baru merupakan pasien yang belum pernah berobat
menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT) atau pernah menggunakan
OAT dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien TBP yang telah dinyatakan sembuh setelah menjalani
pengobatan menggunakan OAT secara lengkap, namun berdasarkan
hasil pemeriksaan BTA kembali terdiagnosis TBP.
Universitas Indonesia
2.2.3. Patofisiologi
Infeksi dimulai dengan serangan pertama yang disebut TBP primer. TBP
primer terjadi ketika kuman yang masuk melalui udara pernapasan
menyerang paru bagian atas. Selanjutnya, tubuh akan membentuk
granuloma, yaitu situs infeksi yang terdiri dari sel radang, daerah abses,
dan kuman TBP. Penyembuhan total biasanya dapat terjadi setelah
granuloma itu mengalami proses fibrosis dan kalsifikasi.25
Manifestasi klinis TBP dapat bersifat lokal maupun sistemik. Oleh karena
itu, gejala klinis TBP dapat digolongkan menjadi gejala respiratorik dan
gejala sistemik. Gejala respiratorik terdiri dari:7, 19, 24
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.2.6. Tatalaksana
Pada tabel 2.4 hingga 2.5 adalah jenis OAT berikut dosis obat yang telah
ditetapkan baik secara internasional oleh WHO maupun nasional oleh
PDPI.7, 32
Universitas Indonesia
Kanamisin
Rifampisin
Kapreomisin
INH
Amikasin
Pirazinamid
Kuinolon
Etambutol
Sikloserin
Streptomisin
Etionamid
Protionamid
Para Amino Salisilat
8-12
Rifampisin
4-6
INH
20-30
Pirazinamid
15-20
Etambutol
15-18
Streptomisin
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Angka deteksi kasus TBP saat ini sudah mencapai 65% dengan
86% di antaranya berhasil disembuhkan. Seharusnya, dengan
pencapaian ini WHO memperkirakan terjadi penurunan insidens
TBP sebesar 5-10% per tahun. Namun, sejak 2004 data penelitian
di lapangan menunjukkan penurunan yang terjadi hanya sebesar
1% per tahun.13
Universitas Indonesia
Tabel 2.8 Berbagai studi yang membuktikan hubungan DMT2 dan TBP.13
Universitas Indonesia
2.4. Malnutrisi
2.4.1. Gizi Kurang di Indonesia
Universitas Indonesia
Terkait dengan hal itu, teori ilmu kedokteran saat ini sudah
menunjukan adanya hubungan antara faktor nutrisi dengan
berbagai penyakit infeksi.
Universitas Indonesia
Menurut sumber jurnal, ada dua hal penting yang mengaitkan TBP
dan nutrisi, yaitu:46
Protein-energy malnutrition
Micronutrients and immune deficiency (vitamin A, C, D, Zn,
dan Fe)
Universitas Indonesia
1. Jenis kelamin
2. Usia
3. Tingkat
sosioekonomi
Keterangan:
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Variabel Perancu
Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian utama dengan judul besar
“Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Prevalensi Tuberkulosis dan
Faktor-faktor yang Berhubungan”.
3.3.3. Sampel
Sampel penelitian ini dipilih dengan metode total sampling, yaitu
seluruh pasien DMT2 yang menderita infeksi paru dan memiliki rekam
medis di RSCM tahun 2010.
Universitas Indonesia
Sampel awal :
n n
Z 2PQ Z P1Q1 P 2Q 2 2
1 2
P 2 P1 2
Keterangan:
Zα = deviat baku alpha = 1,96; dengan α = 0,05
Zβ =deviat baku beta = 0,84
P1 = proporsi pasien DMT2 dengan TBP dan tidak gizi kurang = 0.27
ΔP = perbedaan proporsi minimal yang dianggap bermakna secara klinis
menurut peneliti = 0.10
P2 = proporsi pasien DMT2 dengan TBP dan menderita gizi kurang = 0.37
P = ½ (P1+P2) = 0.32
Berdasarkan peninjauan pustaka, didapatkan proporsi pasien DMT2
dengan TBP dan tidak gizi kurang sebanyak 27.1% (CI 95%)14. Oleh karena
itu, dapat diasumsikan P1 = 0,27 dan bila beda klinis yang dianggap penting
adalah 0,10, maka jumlah sampel yang diperlukan adalah 341 data penderita
TBP dan 341 data bukan penderita TBP.
Universitas Indonesia
3.6.2. Pengukuran
Pada penelitian ini, indeks massa tubuh akan dihitung dengan
menggunakan rumus:
Berat badan (Kilogram)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pembuatan proposal
penelitian dan
penentuan besar sampel
Pengumpulan dan penyortiran rekam medis pasien DMT2 penderita TBP dan
pasien DMT2 penderita infeksi paru non TB
(Rekam medis pasien RSCM tahun 2010)
Penyusunan Laporan
Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN DISKUSI
Jumlah data yang dianalisis adalah 462 buah rekam medis. Grafik 4.1
memberikan gambaran jenis kelamin sampel yang telah dianalisis. Jumlah
pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 247 pasien (53.5%),
sementara 215 pasien lainnya (46.5%) berjenis kelamin perempuan.
Sebaran usia pasien DMT2 yang dianalisis dapat dilihat pada gambar 4.2.
Dapat dilihat bahwa usia pasien bervariasi dari 20 tahun hingga 96 tahun
dengan proporsi paling banyak terdapat pada usia 40-60 tahun.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 4.3. Persentase pasien DMT2 dengan TBP dan pasien DMT2 dengan
infeksi paru non TBP
4.3. Gambaran Besar IMT
Besaran IMT pada pasien DMT2 cukup bervariasi. IMT terkecil tercatat
sebesar 12 dengan nilai IMT terbesar mencapai 38.60. Nilai IMT 17 memiliki
frekuensi pasien yang tertinggi. Berdasarkan pengujian normalitas data
dengan menggunakan rumus Kolmogorov-Smirnov, dapat disimpulkan data
IMT tersebar normal (sig. 0.200). Gambar 4.4 memberikan ilustrasi
persebaran IMT berikut dengan garis normalitas.
Universitas Indonesia
Gambar 4.4. Sebaran IMT pada pasien DMT2 dengan garis normalitas.
Berdasarkan pengelompokkan IMT gizi kurang (IMT <18.5) dan tidak gizi
kurang (IMT >= 18.5) dibuat gambar 4.5. Dari hasil tersebut, dapat terlihat
125 pasien (27.1%) memiliki IMT <18.5 dan 337 pasien (72.9%) memiliki
IMT >= 18.5. Gambar ini juga memperlihatkan kecenderungan pasien DMT2
memiliki berat badan berlebih.
Universitas Indonesia
Gambar 4.5. Sebaran IMT berdasarkan kelompok dengan IMT <18.5 dan
kelompok dengan IMT >= 18.5 pada pasien DMT2
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
4.4. Hubungan Antara IMT dengan Prevalensi TBP pada Pasien DMT2
Sebaran IMT pada kelompok DMT2 yang menderita infeksi paru TBP dan
pasien DMT2 yang menderita infeksi paru non TBP dapat dilihat pada
gambar 4.10, gambar 4.11, dan gambar 4.12. Pasien dengan infeksi TBP
memiliki rata-rata IMT sebesar 18.45 dan pasien dengan infeksi non TBP
memiliki rata-rata IMT sebesar 22.76.
Gambar 4.10. Sebaran IMT pada kasus DMT2 dengan infeksi paru TBP
Universitas Indonesia
Gambar 4.11. Sebaran IMT pada kasus DMT2 dengan infeksi paru non TBP
Gambar 4.12. Perbandingan sebaran gizi kurang pada kelompok TBP dan non
TBP.
Universitas Indonesia
Data ini memenuhi syarat untuk uji chi square karena tidak ada data yang
memiliki expected count kurang dari 5. Hasil analisa data dengan menggunakan
uji chi square dapat dilihat pada tabel 4.1. Nilai p yang 0.000 menunjukkan
terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara gizi kurang (IMT < 18.5)
dengan prevalensi TBP pada pasien DMT2.
Tabel 4.1. Hasil uji Chi square antara variabel gizi kurang dengan TBP.
TBP
Ya Tidak
n % n % Total p
Gizi Kurang Ya 78 62.4 47 13.9 125
0.000
(IMT <18.5) Tidak 47 37.6 290 86.1 337
Total 125 100 337 100 462
memberikan hasil 4.47. Hal ini berarti penderita DMT2 dengan gizi kurang (IMT
< 18.5) memiliki peluang 4 kali lebih besar untuk menderita TBP dibandingkan
dengan pasien DMT2 yang tidak menderita gizi kurang (IMT >= 18.5).
Nilai interval kepercayaan 95% (IK 95%) dihitung dengan menggunakan rumus:
memberikan rentang hasil IK 95% dari 4,269 sampai 4,679. Oleh karena nilai IK
95% tidak melewati angka 1, maka hasil perhitungan rasio prevalensi sah untuk
digunakan. Selain itu, rentang antara batas bawah dan batas atas IK 95% cukup
sempit, sehingga akurasi penelitian ini tergolong tinggi.
Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN
Pada gambar 4.3 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan pasien DMT2 dengan
infeksi paru, 27.1% di antaranya disebabkan oleh TBP. Dapat terlihat bahwa
lebih banyak pasien DMT2 yang menderita infeksi paru nonTBP (72.9%).
Dalam hal ini, hasil yang didapat pada penelitian ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya pemilihan tempat penelitian. Kemungkinan
besar ada kecenderungan pasien TBP tidak berobat ke RSCM, namun lebih
memilih untuk berobat ke pusat-pusat pelayanan tuberkulosis, seperti rumah
sakit Pusat Pencegahan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) atau ke tempat
pelayanan kesehatan tingkat primer seperti puskesmas dimana obat
tuberkulosis diberikan secara gratis. Sebagai pusat rujukan nasional, RSCM
selalu dipadati oleh pasien yang bukan hanya pasien TBP, oleh karena itu,
diperkirakan ada kecenderungan pasien TBP lebih memilih berobat ke
pelayanan kesehatan lain yang juga memberikan obat gratis namun dengan
jumlah pasiennya tidak sepadat RSCM.
Universitas Indonesia
5.2. Hubungan Gizi Kurang dengan Prevalensi TBP pada Pasien DMT2
Hasil yang didapatkan pada penelitian ini senada dengan penelitian lain
terkait hubungan antara gizi kurang dengan penyakit TBP. Shetty et al
melakukan penelitian multivariat di India Selatan pada tahun 2006 dan
menunjukkan jumlah kasus TBP yang lebih tinggi pada kelompok IMT <18,5
hingga 11 kali lipat.14 WHO, melalui penelitian Lonnroth pada tahun 2010
mengatakan kondisi malnutrisi meningkatkan risiko infeksi TBP hingga 3
kali lipat.13
Universitas Indonesia
pada perubahan metabolisme yang berujung pada wasting. Hal ini menjadi
kelemahan metode cross-sectional dibandingkan dengan metode
eksperimental, karena sulit untuk menentukan apakah pasien gizi kurang
menderita TBP, atau pasien TBP menderita gizi kurang.
Seperti yang dikatakan oleh Mario Raviglione, saat ini penurunan insidensi
TB di dunia kurang dari 1% per tahun. Angka ini jauh dari target yang
sebesar 5-10% per tahunnya. Diperkirakan, dengan angka insidensi yang
rendah, target MDGs 2015 nomor 6 poin 8 terkait eradikasi TB tidak akan
tercapai tepat waktu. Untuk meresponnya, dibentuklah rencana Global TB
Plan tahun 2011-2015 dengan tambahan target prevensi TB pada kelompok
dengan faktor risiko.13
Setelah diketahui bahwa gizi kurang memiliki pengaruh pada prevalensi TBP
di kalangan pasien DMT2, suatu upaya pencegahan TBP dapat disusun
Universitas Indonesia
dengan menjaga status gizi pasien DMT2. Memang saat ini masih terlalu dini
untuk menyimpulkan, namun berdasarkan studi yang dilakukan oleh peneliti,
ada indikasi bahwa kontrol IMT ≥ 18,5 pada pasien DMT2 dapat mencegah
kemunculan TBP. Diperlukan studi lanjutan dengan studi cohort untuk
membuktikan apakah kontrol status gizi dapat berpengaruh pada
berkurangnya insidensi TBP pada pasien DMT2. Dengan demikian, untuk
jangka panjang diharapkan kontrol status gizi dapat menurunkan angka
insidensi TBP di dunia.
Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Prevalensi tuberkulosis pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan infeksi
paru adalah sebesar 27%.
Terdapat hubungan yang bermakna antara gizi kurang dengan prevalensi
tuberkulosis paru pada pasien diabetes melitus tipe 2 (p <0.000).
6.2. Saran
Sebaiknya penelitian mengambil sampel di pusat-pusat pelayanan
kesehatan lain, agar hasil yang didapatkan lebih merepresentasikan
hubungan gizi buruk dengan prevalensi tuberkulosis paru pada pasien
diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
Untuk dapat membuktikan gizi kurang sebagai faktor risiko tuberkulosis
paru pada kasus diabetes melitus tipe 2 lebih baik desain studi yang
digunakan adalah kohort retrospektif.
Sebaiknya penggolongan status gizi juga mengikutsertakan gizi berlebih,
di samping gizi kurang untuk mempertajam hubungan yang ditemukan.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
21. Arianto E, Putra BE. Penggunaan Kayu Manis Sebagai Terapi Alternatif
Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2. 2009.
22. FKUI. Kapita Selekta Kedokteran. 1st ed. Jakarta: Media Aesculapius;
1999.
23. FKUI. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Jakarta: Lembaga Penerbit FKUI;
2002.
24. Arianto E, Fredy FC, Liwang F. Manfaat Metode Upper-Room Ultraviolet
Germicidal Irradiation (UVGI) Sebagai Upaya Pencegahan Penyebaran
Tuberkulosis di Indonesia. 2010.
25. Ward J, Ward N, Leach R, Wiener C. At A Glance: Sistem Respirasi. 2 ed.
Jakarta: Erlangga; 2008.
26. USAID. Introduction of Tuberculosis, History, and Transmission:
Department of Health Republic of South Africa.
27. Palomino JC, Leão SC, Ritacco V. Tuberculosis: From Basic Science to
Patient Care. Brazil: TuberculosisTextbook.com; 2007. Available from:
www.tuberculosistexbook.com.
28. Aditama T, Kamso S, Basri C, Surya A. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. In: RI KK, editor. 2 ed. Jakarta2006.
29. IUATLD. 40th World Conference on Lung Health. In: IUATLD, editor.
40th World Conference on Lung Health; Mexico. Mexico: IUATLD; 2009.
30. TBCTA. International Standards for Tuberculosis Care. San Francisco:
The Tuberculosis Coalition for Technical Asistance; 2006.
31. WHO. Global DOTS Expansion Plan2011 25 Mei 2012]: Available from:
http://www.who.int/tb/dots/expansion/en/index.html.
32. WHO. Treatment of Tuberculosis: Guidelines. Geneva: WHO; 2010.
Available from: www.who.int/tb.
33. Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus:
convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis2009;9(12):737-46.
34. Mboussa J, Monabeka H, Kombo M, Yokolo D, Yoka-Mbio A, Yala F.
Course of tuberculosis in diabetics. Rev Pneumol Clin2003;39:359.
35. Goswami R, Kochupillai N, editors. Endocrine implications on
tuberculosis. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd; 2001.
36. Sen T, Joshi SR, Udwadia ZF. Tuberculosis and Diabetes Mellitus:
Merging Epidemics. JAPI2009;57:399-404.
37. Mansoori D, Jamaati HR, Arami S, Zadsar M, Abbasian L, Esteghamati
AR, et al. Comparison of Lymphocyte Number and Their Subsets in Patients with
Diabetes Mellitus Type II, Tuberculosis and Concomitant TB and Diabetes.
Tanaffos2002;1(4):45-50.
38. Viardot A, Grey S, Mackay F, Chrisholm D. Potential anti-inflammatory
role of insulin via the preferential polarization of effector T cells toward a T
helper 2 phenotype. Endocrinology2007;148:346-53.
39. Stalenhoef J, Alisjahbana B, Nelwan E, Ven-Jongerkrijg Lvd, Ottenhoff T.
The role of interferon-gamma in the increased tuberculosis risk in type 2 diabetes
mellitus. Eur J Clin Microbiol Infect Dis2008;27:97-103.
40. Tsukaguchi K, Okamura H, Ikuno M, Kobayashi A, Fkuota A. The
relation between diabetes mellitus and IFN-gamma, IL-12 and IL-10 productions
by CD4+ alpha beta T cells and monocytes in patients with pulmonary
tuberculosis. Kekkaku1997;72:617-22.
Universitas Indonesia
41. ASPEN. Guidelines for the use of parenteral and enteral nutrition in adult
and pediatric patients. Journal of Parenteral and Enteral Nutrition2002;26(1).
42. Usfar A, Acha E, Martorell R, Hadi H, Thara R, Jus I. Expert meeting on
child growth and micronutrient deficiencies-new initiatives for developing
countries to achieve millennium development goals; executive summary report.
Asia Pac J Clin Nutr2009;18(3):462-9.
43. Indonesia: country profile and human development indicators [database on
the Internet]. UNDP. 2010 [cited 28 April 2011]. Available from:
http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/IDN.html.
44. Mahan L, Escott S. Krause's food and nutrition theraphy. 12 ed. USA:
Saunders; 2008.
45. Ulijaszek S, Kerr D. Anthropometric measurement error and the
assessment of nutritional status. British Journal of Nutrition1999;82(3):165-77.
46. NICUS. Tuberculosis and Nutrition2010: Available from:
http://www.sun.ac.za/nicus/.
47. Alisjahbana B, R Cv, Sahiratmadja E, Heijer Md, Maya A, Istriana E, et
al. Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis in Indonesia. Int J
Tuber Lung Dis2006;10(6):696-700.
Universitas Indonesia