Anda di halaman 1dari 65

BAB 5

KEUANGAN NEGARA
BAB 5
KEUANGAN NEGARA

I. PENDAHULUAN

Keuangan negara adalah keseluruhan tatanan, perangkat,


kelembagaan, dan kebijaksanaan penganggaran negara yang
meliputi pendapatan dan belanja negara. Sumber-sumber
pendapatan negara dibedakan atas penerimaan dalam negeri dan
penerimaan pembangunan yang merupakan pinjaman dan bantuan
luar negeri. Penerimaan dalam negeri terdiri atas penerimaan
minyak bumi dan gas alam dan penerimaan di luar migas, yang
terutama bersumber dari penerimaan pajak. Anggaran belanja
negara terdiri atas pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan. Selisih antara penerimaan dalam negeri dan
pengeluaran rutin merupakan tabungan pemerintah. Dana yang
terkumpul melalui tabungan pemerintah dan penerimaan
pembangunan merupakan dana pembangunan pemerintah.

Kebijaksanaan keuangan negara, bersama-sama dengan


kebijaksanaan moneter dan neraca pembayaran merupakan

267
kebijaksanaan ekonomi makro yang penting dalam upaya mencapai
tujuan dan sasaran-sasaran pembangunan nasional. Pembangunan
nasional, sesuai dengan amanat Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) 1993, merupakan rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara. Melalui rangkaian upaya pembangunan
tersebut akan diwujudkan tujuan nasional, yaitu melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Kebijaksanaan keuangan negara senantiasa diarahkan pada


tercapainya sasaran pembangunan dalam Pembangunan Jangka
Panjang II (PJP II) seperti yang digariskan dalam GBHN 1993,
yaitu antara lain terciptanya perekonomian yang mandiri dan andal
sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, berdasarkan
demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 dengan peningkatan kemakmuran rakyat
yang makin merata, pertumbuhan yang cukup tinggi, dan stabilitas
nasional yang mantap. Perekonomian serupa itu bercirikan
industri yang kuat dan maju, pertanian yang tangguh, koperasi
yang sehat dan kuat, serta perdagangan yang maju dengan sistem
distribusi yang mantap. Selanjutnya, pembangunan perekono-
mian didorong oleh kemitraan usaha yang kukuh antara badan
usaha koperasi, negara, dan swasta. Pembangunan perekonomian
dilaksanakan dengan pendayagunaan sumber daya yang optimal,
yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, maju,
produktif, dan profesional, iklim usaha yang sehat, serta
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dan terpeliharanya
kelestarian fungsi lingkungan hidup.

268
GBHN 1993 mengamanatkan bahwa pembangunan nasional dalam
PJP II dilaksanakan secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah,
bertahap dan berlanjut untuk memacu peningkatan kemampuan
nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yangsejajar dan
sederajat dengan bangsa lain yang telah maju. Selanjutnya GBHN
1993 juga menggariskan bahwa pembangunan nasional yang
makin meluas dan kompleks dengan penerapan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang makin canggih memerlukan peningkatan
kemampuan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan
pengawasan dalam manajemen pembangunan nasional yang
terpadu, berpijak pada potensi, kekuatan efektif dan kemampuan
dalam negeri yang dilandasi disiplin, tanggung jawab, semangat
pengabdian, dan semangat pembangunan serta kemampuan
profesional yang tinggi.

Di samping itu, GBHN 1993 juga memberikan petunjuk


bahwa jasa, termasuk pelayanan infrastruktur dan jasa keuangan,
terus dikembangkan menuju terciptanya jaringan informasi,
perhubungan, perdagangan, dan pelayanan keuangan yang andal,
efisien, mampu mendukung industrialisasi, dan upaya pemerataan.
Selain itu, dana untuk pembiayaan pembangunan terutama digali
dari sumber kemampuan sendiri. Sumber dana luar negeri yang
masih diperlukan merupakan pelengkap, dengan prinsip
peningkatan kemandirian dalam pelaksanaan pembangunan dan
mencegah keterikatan serta campur tangan asing. Pembangunan
nasional pada dasarnya diselenggarakan oleh masyarakat bersama
pemerintah. Oleh karena itu, peranan masyarakat dalam
pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan
mendorong kesadaran, pemahaman, dan penghayatan bahwa
pembangunan adalah hak, kewajiban, dan tanggung jawab seluruh
rakyat.

GBHN 1993 juga mengamanatkan bahwa tabungan nasional


yang meliputi tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat perlu
ditingkatkan. Tabungan pemerintah ditingkatkan melalui pening-
katan penerimaan negara, terutama yang berasal dari sumber non
migas, diiringi dengan upaya untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pemanfaatan dana tersebut untuk mencapai sasaran
pembangunan. Semua upaya itu dilaksanakan dalam kerangka
kebijaksanaan fiskal yang tetap didasarkan pada prinsip anggaran

269
berimbang dan dinamis yang menjamin pemerataan
pembangunan yang meluas, pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi, dan stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis.

GBHN 1993 menggariskan agar dalam Rencana


Pembangunan Lima Tahun Keenam (Repelita VI) pembangunan
sektor keuangan ditingkatkan, diperluas, dan diarahkan untuk
memperbesar kemampuan sumber dana dalam negeri bagi
pembiayaan pembangunan nasional. Untuk menjaga kestabilan
ekonomi, prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis dilanjut-
kan. Sumber dana luar negeri berfungsi sebagai pelengkap yang
diperoleh dengan syarat lunak, tidak memberatkan perekonomian
dan tanpa ikatan politik dan digunakan untuk pembiayaan kegiatan
pembangunan yang produktif sesuai prioritas dan yang memberi-
kan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat serta
peranannya secara bertahap harus dikurangi.

Di samping itu, GBHN 1993 juga menegaskan bahwa dalam


Repelita VI peranan investasi modal asing terus didorong dan
potensi peran serta pihak asing perlu lebih dikembangkan
terutama melalui pasar modal dalam negeri. Pajak sebagai sumber
pendapatan negara yang penting ditingkatkan peranannya, terutama
pajak langsung, secara bertahap sesuai dengan kemampuan masya-
rakat dan dirasakan adil agar mampu meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk memenuhi kewajibannya dan mampu menunjang
kegiatan ekonomi. Upaya menghimpun dana masyarakat terus
ditingkatkan dan diarahkan untuk menyediakan dana bagi
pembangunan melalui lembaga keuangan yang efisien dan
dipercaya oleh masyarakat serta makin dapat menjangkau segenap
lapisan masyarakat di seluruh tanah air dengan menciptakan iklim
yang mendukung agar mampu meningkatkan peran aktif
masyarakat.

270
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan keuangan negara
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada seluruh asas
pembangunan nasional. Untuk itu seluruh sumber kekuatannasional,
baik yang efektif maupun potensial, didayagunakan dengan
memperhatikan seluruh faktor dominan yang dapat mempengaruhi
lancarnya pencapaian sasaran pembangunan, terutama manajemen
nasional sebagai mekanisme penyelenggaraan negara dan
pemerintahan.

Salah satu ciri demokrasi ekonomi yang menyangkut keuangan


negara adalah sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan
dengan permufakatan lembaga perwakilan rakyat, dan pengawasan
terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga perwakilan rakyat
pula. Di samping itu, hubungan antarlembaga pemerintahan dan
antara lembaga pemerintahan dengan lembaga negara lainnya
senantiasa dilandasi semangat kebersamaan, keterpaduan, dan
keterbukaan yang bertanggung jawab. Selanjutnya,
pembangunan keuangan negara sangat tergantung pada sumber
daya manusia yang mengelolanya. Oleh karena itu, potensi,
inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan
sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan
umum.

Pembangunan keuangan negara dalam PJP II dan Repelita VI


disusun dan diselenggarakan dengan berlandaskan pada arahan
GBHN 1993 seperti tersebut di atas.

II. KEBIJAKSANAAN KEUANGAN NEGARA DALAM


PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG PERTAMA

271
Perkembangan keuangan negara pada PJP I diawali dengan
kondisi tatanan, perangkat dan kelembagaan dengan daya guna dan
hasil guna yang rendah, seperti tercermin dari tidak adanya
tabungan pemerintah dalam tahun 1968. Dalam perkembangan
selanjutnya, walaupun pengeluaran rutin naik dengan cepat sejak
Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I),
penerimaan dalam negeri masih meningkat jauh lebih cepat,
sehingga tabungan pemerintah terus meningkat pula.
Tabunganpemerintah mulai dihasilkan dalam tahun 1969/70 sebesar
Rp27,2 miliar dan terus meningkat menjadi Rp7.301,3 miliar pada
tahun 1985/86, terutama sebagai akibat dari meningkatnya harga
minyak bumi sampai dengan tahun 1981/82 dan terus
meningkatnya penerimaan pajak sejak itu. Dalam tahun 1986/87
harga minyak bumi merosot dengan tajam sehingga tabungan
pemerintah menurun menjadi Rp2.581,3 miliar. Setelah itu
tabungan pemerintah berangsur-angsur naik lagi, dan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 1993/94
direncanakan sebesar Rp 15.674,1 miliar. Perkembangan
tabungan pemerintah secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 5 -
1.

Di sisi anggaran pendapatan, penerimaan dalam negeri selama


tahun 1970-an sampai dengan awal tahun 1980-an sangat dipenga-
ruhi oleh penerimaan migas, sebagai akibat meningkatnya harga
minyak bumi. Memasuki Repelita IV harga minyak bumi mulai
menunjukkan kecenderungan menurun sehingga upaya-upaya
diversifikasi sumber penerimaan negara makin ditingkatkan.
Diversifikasi dalam penerimaan sumber-sumber migas telah dilak-
sanakan sejak tahun 1977 dengan diusahakannya sumber dari gas
bumi. Pada awal Repelita IV, sebagai antisipasi terhadap semakin
menurunnya peranan penerimaan migas dan bantuan luar negeri
dalam pembiayaan pembangunan, telah dilakukan pembaruan
sistem perpajakan dengan prinsip kesederhanaan, kepastian dan
pemerataan. Jumlah jenis pajak disederhanakan dengan mengelom-
pokkan pajak pendapatan, pajak perseroan, menghitung pajak
orang (MPO) dan pajak bunga, dividen, dan royalti (PBDR)
menjadi pajak penghasilan, dan pajak penjualan, pajak penjualan
impor menjadi pajak pertambahan nilai, serta Ipeda, pajak
kekayaan menjadi pajak bumi dan bangunan.
272
Tujuan pembaruan perpajakan adalah meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan nasional. Prinsip menetapkan pajak sendiri, dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983, memberikan kepercayaan dan tanggungjawab besar kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri ke-
wajiban pajaknya. Prinsip tersebut ternyata telah membuahkanTABEL5-1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 1)
1968 -1903/94
(minim rupiah)

Akhir Akhir Akhir Akhir Repelita V


Uraian Repelita I Repelita II Repelita III Repelita IV 2)
1968 1973/74 1978/79 1983/84 1988/89 1989190 1990/91 1901/92 1992193 1993/94

A. Penerimaan dalam negeri 149,7 967.7 4.266,1 14.432,7 23.004.3 28.739,8 39.546.4 41.584,8 47.452.5 52.700.0

B. Pengeluaran rutin 149,7 713,3 2.743,7 8.411,8 20.739.0 24.331,1 29.997,7 30.227 ,8 34.031.2 37.094,0

C. Tabungan pemerintah 0,0 254,4 1.522.4 6.020,9 2.285,3 4.408,7 9.548,7 11.357,2 13.421,3 15.874,1

D. Dana bantuan luar negeri 57,9 203,9 1.035,5 3.882,4 9.990,7 9.429.3 9.904,8 10.409,1 10.715,7 9.553,1

1. Bantuan program 35,5 89,8 48,2 14,9 2.040,7 1.007,2 1.398.8 1.563,4 511,7 426,8

2. Bantuan proyek 22,4 114,1 987,3 3.887,5 7.950,0 8.422,1 8.507,8 8.845,7 10.204,0 9.126,3

E. Dana pembangunan 57,9 458,3 2.557.9 9.903,3 12.256,0 13.838,0 19.453,3 21.766,3 24.137,0 25.227,2

F. Pengeluaran pembangunan 57,9 450,9 2.555.6 9.899.2 12.250.7 13.834,3 19.452,0 21.764,2 24.134.8 25.227,2

G. Surplus (+)/Defisit (-) + 0,0 +7,4 +2,3 +4,1 +5,3 +3t7 +1,3 +2,1 +2.2 +0,0

Catatan : 1) Angka realisasi


2) APBN

273
hasil yang positif pada penerimaan pajak, sehingga penerimaan
nonmigas semakin berperan dibandingkan penerimaan migas sejak
tahun 1986/87. Perkembangan penerimaan migas dan nonmigas
tersebut secara terperinci terlihat pada Tabel 5 - 2.

Pelaksanaan kebijaksanaan perpajakan sejak Repelita IV


dipusatkan pada usaha-usaha untuk menyempurnakan mekanisme
pelaksanaan agar sistem perpajakan menjadi makin efektif,
sederhana dan adil. Hal ini dapat dilihat dari makin meningkatnya
jumlah wajib pajak dalam satu dasawarsa pelaksanaan pembaruan
perpajakan. Penerimaan pajak terutama bersumber dari tiga jenis
pajak yakni pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai
(PPN), dan pajak bumi dan bangunan (PBB). Sementara itu,
penerimaan bea masuk dan cukai juga temp merupakan komponen
yang penting dalam penerimaan pajak. Di samping itu, pening-
katan daya guna BUMN, sebagai unsur penerimaan bukan pajak,
terus dilakukan sehingga makin besar perannya dalam
pembiayaan pembangunan. Perkembangan penerimaan nonmigas
secara terperinci dapat dilihat pada Tabel5 - 3.

274
Kebijaksanaan di bidang PPh bertumpu pada ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak. Dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan tahun 1983 ditetapkan penyederhanaan lapisan tarif pajak dari
sepuluh lapisan menjadi tiga lapisan, yaitu 15 persen untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp10
juta, 25 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rpl0 juta sampai dengan Rp50 juta, dan 35 persen
untuk penghasilan kena pajak di atas Rp50 juta. Selain itu, mengingat perkembangan harga-harga umum
yang berkaitan dengan pendapatan riil masyarakat, serta sesuai dengan pasal 7 ayat 3 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983, maka berulang kali telah diadakan perubahan besarnya pendapatan tidak kena
pajak (PTKP), terakhir berdasarkan keputusan Menteri Keuangan Nomor 928 Tahun 1994. Berdasarkan
keputusan tersebut, PTKP seorang wajib pajak yang kawin dengan tiga anak adalah sebesar
Rp5.184.000,-. Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1991 ekstensifikasi wajib
pajakTABEL 5 - 2
REALISASI PENERIMAAN DALAM NEGERI 1)
1968 -1993/94
(miliar rupiah)

Akhir Akhir Akhir Akhir Repelita V


Jenis Penerimaan Repelita I Repelita II Repelita III Repelita IV 2)
1968 1973174 1978179 1983/84 1988/89 1989190 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94

1. Penerimaan minyak 33,3 382,2 2.308 ,7 9.520,2 9.527,0 11.252,1 17.711,9 15.039,1 15.330,4 15.127,6
bumi dan gas alam

a. Minyak bumi 33,3 382,2 2.308,7 8.484,9 8.326,3 9.502,0 14.577,5 12.481,3 12.095,0 11.807,3

b. Gas alam - - - 1.035,3 1.200,7 1.750,1 3.134,4 2.557,8 3235,4 3.320,3


2. Penerimaan di Iuar 116,4 585,5 1.957,4 4.912,5 13.477,3 17.487,7 21.834,5 26.545,7 32.122,1 37.641,4
minyak bumi dan
gas alam

Jumlah 149,7 967,7 4.266,1 14.432,7 23.004,3 28.739,8 39.546,4 41.584,8 47.452,5 52.769,0

Catatan : 1) Angka realisasi


2) APBN
TABEL5-3
276 REALISASI PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1)
1968 -1993/94
(miliar rupiah)

Akhir Akhir Akhir Akhir Repelita V


Janis Penerimaan Repelita I Repelita II Repelita III Repelita IV
1988 1973174 1978179 1983/84 1988/89 1989/90 1900/91 1991/92 1992/93 1993/94 2)

1. Pajak penghasilan 3) 25,3 140,3 617,2 1.932,3 3.949,4 5.487,7 8.755.3 9.580,4 11.912.8 14.848,5
2. Pajak pertambahan nilai 4) 15,2 105,3 346,6 830,6 4.505,3 5.836,7 7.462,7 8.926,1 10.714,4 11.682,8
3. Bea masuk 37,3 128,2 295,3 557,0 1.192,0 1.587,0 2.485,7 2.133,1 2.652,2 3.105,5
4. Cukai 16,8 81,7 252,9 773,2 1.389,9 1.478,8 1.917,3 2.222,8 2.380,8 2.498,2
5. Pajak ekspor 13,9 88,6 168,2 104,0 155,6 171,5 44,2 18,8 8,5 30,0
6. Pajak lainnya 3,4 11,6 19,8 51,5 292,1 275,5 243,5 302,8 359,9 383,8
7. Pajak bumi dan bangunan 5) - 20,0 68,0 144,9 424,2 590,4 811,0 874,6 1.100,6 1.320,1
8. Penerimaan bukan pajak 4,7 49,8 191,4 519,0 1.568,8 2.062,1 2.114,8 2.487,3 2.993,1 3.792,7

Jumlah 118,4 585,5 1.957,4 4.912,5 13.477,3 17.487,7 21.834,5 28.545,7 32.122,1 37.641,4

Catalan : 1) Angka tahunan 4) Sebelum tahun 1985/86 terdiri dari


2) APBN pajak penjualan dan pajak penjualan impor.
3) Sebelum Repelita IV terdiri dari pajak 5) Sebelum 1 Januari 1986 hanya merupakan penerimaan
pendapatan, pajak perseroan, menghitung Ipeda dan pajak kekayaan. Sejak pelaksanaan UU tentang
pajak orang (MPO), dan pajak atas dividen, PBB (1 Januari 1986), jumlah penerimaan ini menggantikan
bunga dan royalti (PDBR). Ipeda dan pajak kekayaan.
diarahkan pada upaya menjangkau potensi pajak yang belum
terealisir, seperti pajak penghasilan atas bunga deposito berjangka,
sertifikat Bank Indonesia, sertifikat deposito dan tabungan. Selain
itu, bagi wajib pajak perorangan yang seluruh penghasilannya
termasuk bunga dan diskonto dalam satu tahun pajak tidak
melebihi PTKP, atas pajak yang telah dipotong dapat diajukan
permohonan restitusi pajaknya. Selanjutnya, semua dividen saham
telah diberlakukan sebagai objek pajak, kecuali yang diterima oleh
badan usaha tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Demikian pula,
telah dikenakan PPh atas keuntungan yang diperoleh dari penjualan
saham (capital gain), yang mulai diberlakukan dalam tahun
anggaran 1993/94.

Di bidang pajak pertambahan nilai, sejak diberlakukan


Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
dalam rangka upaya intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan
PPN telah dilakukan penyempurnaan terhadap berbagai peraturan
pelaksanaannya yang senantiasa disesuaikan dengan perkembangan
perekonomian. PPN yang semula dipungut pada tingkat pabrikan
dan pedagang besar (grosir), melalui Peraturan Pemerintah Nomor
75 Tahun 1991 juga telah dipungut atas pedagang eceran besar
(PEB) yang peredaran brutonya mencapai Rp 1 miliar. Prinsip
kesederhanaan tarif PPN yang hanya mengenal tarif tunggal yaitu
sebesar 10 persen untuk PPN barang dan jasa, serta empat lapis
golongan tarif untuk pajak penjualan barang mewah yaitu sebesar
10 persen, 20 persen, 25 persen dan 35 persen telah ditetapkan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1993, telah
menyebabkan pelaksanaan PPN berjalan dengan lancar. Sebagai
hasil dari kebijaksanaan PPN, dalam tahun 1993/94 pajak
pertambahan nilai direncanakan sebesar Rp11.682,6 miliar yang
berarti jauh meningkat dibandingkan dengan Rp878 miliar pada
tahun 1984/85.

277
Perkembangan penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB)
menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat seiring dengan
peningkatan nilai jual objek pajak yang senantiasa disesuaikan
dengan perkembangan ekonomi. Sementara itu, dalam rangka
mengurangi beban PBB bagi golongan masyarakat yang berpeng-
hasilan rendah telah dilakukan penyesuaian terhadap batas nilai jual
bangunan tidak kena pajak dari sebesar Rp3,5 juta menjadi Rp7,0
juta, yang berlaku mulai 1 Januari 1992. Selanjutnya, untuk
memberikan kemudahan cara pembayaran PBB, sistem tempat
pembayaran (Sistep) terus dikembangkan dan diharapkan pada
tahun terakhir Repelita V sudah dilaksanakan secara nasional di
seluruh Dati II. Di samping itu dalam rangka lebih meningkatkan
mutu pelayanan kepada wajib pajak, kini sedang dikembangkan
sistem manajemen informasi objek pajak (Sismiop). Berbagai
kebijaksanaan di bidang pajak bumi dan bangunan tersebut telah
menyebabkan penerimaan PBB meningkat dari Rp180,6 miliar
pada tahun 1984/85 menjadi Rpl.100,6 miliar dalam tahun
1992/93, dan dalam APBN 1993/94 direncanakan Rpl.320,1
miliar.

Kebijaksanaan di bidang bea masuk mempunyai fungsi ganda,


sebagai penghimpun penerimaan negara dan sebagai alat kebijak-
sanaan ekonomi di bidang perdagangan luar negeri khususnya
melindungi industri dalam negeri baik yang menghasilkan barang-
barang untuk ekspor maupun barang konsumsi yang diperlukan
oleh masyarakat. Sejak 1 Januari 1989 telah dilakukan
penyempurnaan buku tarif bea masuk Indonesia yang beralih dari
sistem custom cooperation council nomenclature (CCCN) menjadi
harmonized system (HS). Di samping itu dalam rangka menunjang
kelancaran arus barang maka telah diterapkan Custom Fast Release
System (CFRS). Sementara itu, dalam rangka ikut menunjang
penciptaan iklim investasi yang semakin memikat, melalui paket
Juni 1991 telah dilakukan deregulasi di sektor riil, serta
pengurangan pengaturan hambatan nontarif. Berbagai
kebijaksanaan di bidang bea masuk tersebut telah meningkatkan
penerimaan bea masuk dari sebesar Rp57,7 miliar pada tahun
1969/70 menjadi sebesar Rp3.105,5 miliar dalam tahun 1993/94.

278
Sebagian besar penerimaan cukai berasal dari cukai tembakau
dan sebagian yang lain dari cukai gula, cukai bir, dan cukai alkohol
sulingan. Kebijaksanaan di bidang cukai selalu diselaraskan dengan
program pembangunan industri yang ditujukan untuk memperluas
kesempatan kerja dan berusaha dengan menyediakan barang dan
jasa yang bermutu serta harga yang bersaing di pasar dalam negeri
dan internasional. Dalam hal cukai gula, bir dan alkohol sulingan,
secara periodik telah dilakukan penyesuaian harga dasarnya.
Sejalan dengan pertumbuhan industri rokok, gula, dan bir,
penerimaan cukai telah meningkat dengan pesat dari Rp32,1 miliar
pada tahun 1969/70 dan diperkirakan mencapai Rp2.498,2 miliar
pada tahun 1993/94.

Sejalan dengan berbagai upaya untuk meningkatkan


penerimaan dalam negeri, khususnya penerimaan di luar migas,
penerimaan bukan pajak juga senantiasa meningkat. Upaya yang
telah dilakukan antara lain melalui penertiban administrasi dan
pemungutan berbagai penerimaan yang diterima oleh departemen
atau lembaga negara nondepartemen sehubungan dengan pelayanan
yang diberikan kepada masyarakat, serta melakukan daya guna
dalam pengoperasian badan usaha milik negara (BUMN). Sebagai
hasilnya, penerimaan bukan pajak telah meningkat pesat dari Rp4,7
miliar pada tahun 1968 menjadi Rp3.792,7 miliar pada tahun
1993/94.

Dengan berbagai langkah kebijaksanaan tersebut penerimaan


dalam negeri telah meningkat pesat dan sejak awal tahun 1980-
an ketergantungannya kepada minyak bumi terus berkurang.
Dalam tahun 1969/70 penerimaan dalam negeri baru berjumlah
Rp243,7 miliar, meningkat menjadi Rp52.769 miliar dalam APBN
tahun 1993/94 atau telah naik lebih dari 216 kali lipat selama
PJP I. Peningkatan tersebut diikuti oleh perubahan komposisinya.
Peranan penerimaan migas dalam penerimaan dalam negeri secara
keseluruhan meningkat dari 22,2 persen pada tahun 1968 menjadi
70,6 persen pada tahun 1981/82 karena adanya peningkatan
harga minyak. Namun setelah periode itu, harga minyak merosot

279
sehingga peranan penerimaan migas turun menjadi 48,3 persen dan
penerimaan nonmigas meningkat menjadi 51,7 persen pada tahun
1987/88. Dalam APBN 1993/94 peranan penerimaan nonmigas
menjadi 71,3 persen dan penerimaan migas 28,7 persen terhadap
penerimaan dalam negeri.

Peningkatan penerimaan dalam negeri yang pesat nampak


menonjol bila dibandingkan dengan penerimaan pembangunan atau
bantuan luar negeri. Apabila pada tahun 1968 seluruh dana
pembangunan berasal dari bantuan luar negeri, maka dalam APBN
tahun 1993/94 porsi dana pembangunan yang berasal dari dalam
negeri telah mencapai 62,1 persen sehingga porsi bantuan luar
negeri hanya sebesar 37,9 persen.

Di sisi anggaran belanja, kebijaksanaan pengeluaran rutin


selain untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan
kegiatan pemerintahan, peningkatan kualitas pelayanan aparatur
pemerintah kepada masyarakat, serta pemenuhan berbagai
kewajiban pemerintah, juga diselaraskan dengan upaya untuk
menghimpun tabungan pemerintah yang semakin besar bagi
pembiayaan pembangunan. Hal ini dilaksanakan dalam rangka
menunjang keberhasilan program pembangunan melalui
pengalokasian sumber-sumber dana yang tersedia secara lebih
terarah, efisien, dan mencapai sasaran. Pengeluaran rutin
terus mengalami peningkatan sehingga dalam tahun terakhir
Repelita V, direncanakan mencapai R p 3 7 . 0 9 4 , 9 miliar.
Perkembangan pengeluaran rutin secara terperinci dapat dilihat
pada Tabel 5 - 4.
Salah satu pos pengeluaran yang cukup besar dalam pengeluaran rutin adalah belanja pegawai,
yang sebagian besar digunakan bagi pembayaran gaji dan pensiun pegawai negeri sipil dan anggota
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Selain itu, belanja pegawai juga digunakan
untuk menampung TABEL 5 - 4
REALISASI PENGELUARAN RUTIN 1)
1968 - 1993/94
(miliar rupiah)
280
Akhir Akhir Akhir Akhir Repelita V
Janis Pengeluaran Repelita I Repelita II Repelita IIIRepelita IV
1968 1973174 1978179 1983/84 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 2)

1. Belanja pegawai 78,3 268,9 1.001,8 2.757,0 4.998,2 6.201,5 7.053,5 8.102.5 9.465.7 10.894,5

2. Belanja barang 29,1 110,1 4195 1.057,1 1.491,6 1.701,6 1.830,3 2.372.7 2.870,1 2.879,7
a. Dalam negeri 22,7 98,3 398,4 1.007,0 1.378,1 1.569,0 1.689,9 2.217,4 2.680,8 2.785,5
b. Luar negeri 6,4 11,8 21,1 50,1 113,5 132,6 160,4 155,3 189,3 194,2

3. Subsidi daerah otonom 3) 25,5 108,6 522,3 1.547.0 3.037,7 3.566,4 4.236,6 4.834,2 5.283,2 6.028,9
a. Belanja pegawai 4,6 10,3 22,1 41,5 2.778,6 3.338,1 3.961,4 4.519,8 4.906,3 5.651,3
b. Belanja nonpegawai 20,9 98,3 500,2 1.505,5 259,1 228,3 275,2 314,4 376,9 377,6

4. Bunga dan cicilan hutang 10,0 70,7 534,5 2.102,6 10.940,2 11.938,7 13.394,6 13.433,8 15.217.1 16.711,9
a. Dalam negeri 1,9 8,2 8,8 29,8 77,6 148,8 249,5 251,3 275,1 286,1
b. Luar negeri 8,1 62,5 525,7 2.072,8 10.862,6 11.789,9 13.145,1 13.182,5 14.942,0 16.425,8

5. Lain-lain 4) 6,8 155,0 5) 265,8 5) 948,1 271,3 922,9 3.482,7 1.484,4 1.195.1 479,9

Jumlah 149,7 713,3 2.743,7 8.411,8 20.739,0 24.331,1 29.997,7 30.227,6 34.031,2 37.094,9

Catatan : 1) Angka realisasi


2) APBN
3) Sampai dengan akhir Repelita III terdiri dari subsidi untuk Irian Jaya dan subsidi untuk daerah lainnya

281 4) Termasuk subsidi pangan


5) Termasuk subsidi BBM, kecuali pada tahun 1973/74
pengeluaran tunjangan beras, biaya makan dan lauk pauk, serta
lain-lain belanja pegawai yang berhubungan dengan pembiayaan
kegiatan aparatur pemerintah, baik di dalam maupun di luar
negeri. Dalam tahun anggaran 1993/94 belanja pegawai direncana-
kan mencapai Rpl0.894,5 miliar. Sebagian besar dari peningkatan
belanja pegawai tersebut digunakan untuk pembayaran gaji dan
pensiun yang semakin meningkat, sejalan dengan bertambahnya
jumlah pegawai, serta adanya kebijaksanaan pemberian tunjangan
perbaikan penghasilan (TPP) dan perbaikan struktur penggajian.
Selain itu, peningkatan pembayaran gaji dan pensiun juga diguna-
kan untuk menampung kenaikan gaji berkala, kenaikan pangkat
atau golongan dan tambahan berbagai tunjangan bagi pegawai
seperti tunjangan keluarga, tunjangan jabatan struktural, dan
tunjangan jabatan fungsional. Peningkatan belanja pegawai ini
berkaitan erat dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
aparatur pemerintah, mengingat peranannya yang sangat penting
dalam mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas umum
pemerintahan dan peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat.

Sementara itu, pos pengeluaran terbesar dalam pengeluaran


rutin sejak tahun 1986/87 adalah pembayaran bunga dan cicilan
pokok hutang. Pembayaran bunga dan cicilan hutang dalam tahun
kelima Repelita V diperkirakan mencapai Rp16.711,9 miliar atau
3,3 kali lipat lebih besar dari tahun 1986/87. Sebagian besar
pembayaran tersebut digunakan untuk melunasi kewajiban
terhadap pihak luar negeri sebesar Rp16.425,8 miliar.
Peningkatan tersebut, selain disebabkan oleh adanya penurunan
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan terjadinya apresiasi
mata uang yen Jepang dan mark Jerman serta beberapa mata uang
kuat dunia lainnya terhadap dollar Amerika, juga disebabkan oleh
makin besarnya jumlah utang luar negeri yang jatuh tempo. Selain
itu, peningkatan pembayaran bunga dan cicilan hutang juga
disebabkan oleh pelunasan kewajiban pembayaran terhadap pihak
lain di dalam negeri, yang diperkirakan mencapai Rp286,1 miliar
pada tahun kelima Repelita V , atau 3,7 kali lebih besar dibanding
tahun terakhir Repelita IV.

282
Dana pembangunan yang bersumber dari tabungan pemerintah
dan bantuan luar negeri meningkat dengan pesat sejak Repelita I
dan telah meningkatkan dan memperluas kegiatan
pembangunan. Dana pembangunan meningkat dari Rp57,9
miliar pada tahun 1968 menjadi Rp25.227,2 miliar dalam APBN
1993/94. Alokasi dana pembangunan tersebut selama PJP I
diprioritaskan pada lima sektor, yaitu (1) sektor perhubungan dan
pariwisata, (2) sektor pertambangan dan energi, (3) sektor
pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (4) sektor pertanian dan
pengairan, serta (5) sektor pembangunan daerah, desa, dan kota.

Berdasarkan jenis pembiayaannya, pengeluaran pembangunan


terdiri atas (a) pembiayaan rupiah yang sebagian besar berasal dari
dalam negeri berupa tabungan pemerintah, dan (b) bantuan
proyek. Pembiayaan investasi sektor pemerintah tersebut diupaya-
kan makin bersumber dari kemampuan dan kekuatan sendiri. Hal
ini mengisyaratkan betapa penting dan strategisnya peningkatan
sumber pembiayaan dari dalam negeri (pembiayaan rupiah).
Apabila pada tahun terakhir Repelita IV, peranan pembiayaan
rupiah dan bantuan proyek terhadap anggaran pembangunan
masing-masing adalah Rp4.300,7 miliar (35,1 persen) dan Rp7.950
miliar (64,9 persen), maka pada akhir Repelita V peranan tersebut
telah bergeser menjadi sebesar Rp16.100,9 miliar (63,8 persen),
dan sebesar Rp9.126,3 miliar (36,2 persen).

283
Selain digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan
sektoral melalui departemen atau lembaga, pengeluaran
pembangunan dalam rupiah juga dialokasikan bagi program
bantuan pembangunan daerah. Program tersebut dimaksudkan
sebagai usaha untuk menyebarluaskan dan memeratakan
pembangunan di daerah-daerah dalam rangka memperkecil
kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah, serta mendorong
prakarsa dan partisipasi masyarakat di daerah secara lebih nyata
dan bertanggung jawab dalam pembangunan. Program bantuan
pembangunan daerah yang diserahkan langsung oleh pemerintah
pusat kepada daerah hingga saat ini meliputibantuan
pembangunan desa (Inpres Desa), bantuan pembangunan Dati I
(Inpres Dati I), bantuan pembangunan Dati II (Inpres Dati II),
sedangkan beberapa Inpres yang lain tidak sepenuhnya menjadi
tanggung jawab daerah, yaitu bantuan pembangunan sekolah
dasar (Inpres SD), bantuan pembangunan kesehatan (Inpres
Kesehatan), bantuan pembangunan penghijauan dan reboisasi, ,
bantuan pembangunan peningkatan jalan, serta bantuan
pembangunan untuk pemugaran pasar. Agar lebih sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah, serta dalam rangka
meningkatkan otonomi daerah dalam pengelolaan keuangannya,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dari tiap
daerah diikutsertakan secara aktif dalam proses perumusan
program dan perencanaan proyek pembangunan daerah yang
bersangkutan. Di samping berbagai bentuk program bantuan
pembangunan daerah (program Inpres), kepada daerah juga
diberikan dana yang berasal dari bagi hasil penerimaan pajak bumi
dan bangunan (PBB). Dengan berbagai perkembangan tersebut,
maka jumlah anggaran pembangunan bagi daerah, yang
mencakup bantuan pembangunan daerah dan dana bagi hasil PBB,
telah meningkat dengan pesat dari Rp85,7 miliar pada tahun
1973/74 direncanakan menjadi sebesar Rp5.895,9 miliar pada
tahun 1993/94.

Selanjutnya untuk menghadapi gejala makin tingginya ketidak-


pastian yang menyertai perkembangan berbagai faktor-faktor
eksternal, telah diambil langkah-langkah untuk menyisihkan
sebagian kelebihan penerimaan negara dalam bentuk cadangan
anggaran pembangunan (CAP). Pembentukan CAP tersebut
dimaksudkan sebagai upaya berjaga-jaga untuk mengamankan
284
kesinambungan pembiayaan pembangunan dalam tahun anggaran
berikutnya terhadap kemungkinan tidak tercapainya penerimaan
migas atau bantuan luar negeri dari yang direncanakan. Dalam
tahun 1990/91 kelebihan penerimaan negara yang disisihkan
sebagai CAP adalah sebesar Rp2.000 miliar, sedangkan dalam
tahun 1991/92 CAP mencapai Rp l .500 miliar. Dengan demikian,
jumlah CAP dalam Repelita V secara keseluruhan mencapai
Rp3.500 miliar.
III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG
PEMBANGUNAN

Pembangunan yang meningkat memerlukan dana yang


semakin besar pula, baik yang berasal dari Pemerintah maupun
swasta. Dalam hubungannya dengan Pemerintah, penyediaan dana
pembangunan yang semakin besar dapat dicapai apabila tabungan
pemerintah meningkat, yang berarti penerimaan dalam negeri,
terutama pajak, harus tumbuh melebihi peningkatan pengeluaran
rutin. Selanjutnya, sebagai pelaksanaan dari prinsip anggaran
berimbang dan untuk mendukung terciptanya stabilitas ekonomi,
maka anggaran pengeluaran disesuaikan dengan perkiraan anggaran
penerimaan. Pengeluaran pembangunan diarahkan pada bidang-
bidang usaha yang mampu menunjang pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi.
Berbagai tantangan, kendala, dan peluang dalam melaksanakan
kebijaksanaan tersebut di atas diuraikan secara ringkas sebagai
berikut.

1. Tantangan

285
Kebutuhan pembiayaan pembangunan dalam PJP II akan terus
meningkat. Sementara itu, penerimaan negara yang berasal dari
penerimaan migas akan semakin menurun dalam PJP II, karena
semakin berkurangnya produksi minyak bumi. Harga minyak bumi
juga cenderung melemah akibat pasokan berlebih dari negara-
negara penghasil minyak bumi. Demikian juga, dengan penerimaan
dari pinjaman luar negeri terutama pinjaman dengan persyaratan
lunak akan semakin sulit diperoleh mengingat semakin banyak
negara berkembang lain yang membutuhkannya. Dengan
perekonomian Indonesia yang makin berkembang, negara dan
lembaga donor cenderung memberikan pinjaman dengan
persyaratan yang lebih berat. Selain itu, sesuai dengan prinsip
kemandirian yang ingin dicapai dalam PJP II, pembiayaan
pembangunan diupayakan berasal dari dalam negeri.Tantangan
yang dihadapi adalah meningkatkan penerimaan negara dari pajak
dalam rangka membangun perekonomian yang makin andal dan
mandiri.

Pajak dilaksanakan berdasarkan asas keadilan dan pemerataan.


Pajak yang tinggi dikenakan pada golongan masyarakat yang
berpenghasilan besar dan golongan masyarakat yang memiliki harta
yang besar, baik berupa harta tetap maupun harta lancar. Pajak
yang progresif tersebut diharapkan turut menciptakan dan memeli-
hara stabilitas ekonomi yang mantap, yaitu penerimaan yang tinggi
pada waktu ekonomi memanas dan penerimaan kecil pada waktu
resesi. Di sisi lain, peningkatan pemungutan pajak dapat
mengurangi insentif dunia usaha untuk menanamkan modal dan
insentif perorangan untuk meningkatkan pendapatannya. Dengan
demikian, tantangan yang dihadapi adalah menyerasikan fungsi-
fungsi pajak sebagai sarana pemerataan, pertumbuhan, dan
stabilitas ekonomi.

Peningkatan penerimaan pajak memerlukan dukungan


kesadaran masyarakat untuk membayar pajak secara jujur dan
benar sesuai dengan kaidah menetapkan pajak sendiri (self
assessment). Kelalaian dalam membayar pajak mengurangi
realisasi penerimaan negara yang selanjutnya dapat menghambat
tercapainya sasaran pembangunan nasional. Dengan demikian,
tantangan selanjutnya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat
bahwa membayar pajak adalah kewajiban sebagai warga negara
286
Indonesia dan hasilnya akan dinikmati melalui upaya
pembangunan.
Di samping pajak, penerimaan negara juga berasal dari penerimaan
bukan pajak. Peningkatan penerimaan bukan pajak, seperti
penerimaan dari laba BUMN dan penerimaan departemen atau
lembaga pemerintah nondepartemen, juga diperlukan untuk
memperkukuh penerimaan dalam negeri. Departemen dan lembaga
nondepartemen serta BUMN mempunyai potensi penerimaan yang
semakin besar sejalan dengan perkembangan ekonomi. Tantangan
lainnya dalam pembangunan sektor keuangan negara
adalahmeningkatkan peranan BUMN sebagai sumber penerimaan
negara yang makin penting.

Keberhasilan pengelolaan anggaran berimbang dan dinamis,


selain ditentukan oleh keberhasilan dalam penggalian dan
pengerahan secara optimal berbagai potensi penerimaan negara,
juga harus didukung dengan alokasi anggaran belanja negara yang
makin efisien, terarah dan terkendali. Anggaran belanja rutin untuk
membiayai belanja pegawai dan membayar cicilan hutang, serta
anggaran pembangunan untuk membiayai kegiatan sektoral dan
pembangunan daerah terus meningkat, sedangkan penerimaan
negara terbatas. Dengan demikian, tantangannya adalah senantiasa
menyerasikan alokasi anggaran belanja negara dengan anggaran
pendapatan negara yang tersedia.

Dalam pelaksanaan pembangunan masih sering terjadi saling


tumpang tindih atau tidak saling menunjang antarkegiatan
pembangunan sehingga manfaatnya tidak optimal bagi masyarakat.
Efisiensi investasi juga belum mencapai taraf optimal yang
disebabkan oleh kelambatan dalam pelaksanaan kegiatan
pembangunan dan kualitas hasil pembangunan yang kurang
memadai. Dengan demikian, tantangan berikutnya adalah
meningkatkan efisiensi dan koordinasi dalam pembangunan
mulai dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan dan
pengawasan, baik di tingkat pusat maupun di daerah.

287
Pengembangan dunia usaha yang kukuh dan andal serta adil dan
saling menunjang diperlukan untuk pembangunan yang mendapat
dukungan masyarakat dan berkesinambungan. Dunia usaha yang
kukuh terbentuk apabila usaha besar saling menunjang dengan
usaha menengah, kecil, dan koperasi yang selain jumlahnya
cukup besar juga dapat diandalkan. Pemerintah pusat dan daerah
melalui penggunaan anggaran belanja negara merupakan sumber
permintaan yang sangat besar akan barang dan jasa dunia usaha.
Dengan demikian, tantangannya adalah agar dunia usaha,
terutama usaha kecil, koperasi dan usaha menengah berpartisipasi
secara optimal dalam kegiatan pembangunan melaluipemanfaatan
atas anggaran belanja negara secara efektif dan efisien.

Salah satu hasil PJP I ialah meningkatnya kemampuan dunia


usaha yang tercermin antara lain dari peningkatan ekspor nonmigas
yang hampir semuanya dilaksanakan oleh usaha swasta serta
penerimaan pajak yang juga menunjukkan kemampuan usaha
swasta dalam memenuhi kewajiban kepada negara. Kemampuan
dunia usaha yang meningkat ini, juga makin meningkatkan
potensi peran swasta dalam pembangunan. Seiring dengan mening-
katnya pembangunan dalam PJP II, kebutuhan pembangunan
prasarana dan sarana masyarakat akan semakin meningkat, yang
tidak sepenuhnya dapat dibiayai dengan dana pemerintah. Oleh
sebab itu, peran serta masyarakat dalam pembangunan semakin
ditingkatkan. Dunia usaha diharapkan dapat berperan lebih besar
dalam membangun berbagai prasarana umum. Dengan demikian,
tantangannya adalah menciptakan iklim yang mendorong
peningkatan peran serta dunia usaha dalam pembangunan sehingga
dana pembangunan Pemerintah yang jumlahnya terbatas dapat
dimanfaatkan untuk menyediakan prasarana dasar yang tidak
mungkin dilakukan oleh dunia usaha.

2. Kendala

Dalam menjawab berbagai tantangan tersebut terdapat


kendala-kendala yang harus diatasi. Beberapa di antaranya adalah
seperti diuraikan berikut ini.

Pelaksanaan pajak langsung mensyaratkan adanya dukungan


basis data yang akurat dan senantiasa diperbarui. Basis data yang
288
baik meningkatkan kemampuan sistem administrasi perpajakan.
Kurangnya basis data yang baik dan andal merupakan kendala
dalam upaya meningkatkan penerimaan negara.

Untuk meningkatkan peran pajak langsung diperlukan


kesadaran masyarakat yang makin tinggi. Kesadaran masyarakat
yang masih rendah dalam melaporkan kondisi keuangan dengan
benar merupakan kendala peningkatan penerimaan negara.
Pembayaran cicilan hutang luar negeri merupakan salah satu
pos terbesar dalam pengeluaran rutin. Beban pembayaran hutang
masih akan meningkat dalam Repelita VI. Pembiayaan hutang luar
negeri yang meningkat merupakan kendala dalam meningkatkan
berbagai upaya pembangunan.

Di samping penerimaan pajak, Pemerintah juga mengharapkan


penerimaan dari BUMN. Namun efisiensi BUMN umumnya masih
rendah, karena berbagai masalah. Kinerja BUMN yang tidak
efisien merupakan kendala bagi peningkatan penerimaan negara.

3. Peluang

Selain kendala yang harus diatasi terdapat peluang-peluang


yang dapat dimanfaatkan. Hasil pembangunan selama PJP I
merupakan modal bagi pembangunan dalam PJP II.

Dalam hal penerimaan nonmigas, khususnya penerimaan pajak


masih mempunyai peluang yang besar untuk meningkat, terutama
jika dilihat dari rasio penerimaan pajak terhadap pendapatan
nasional yang lebih rendah dibanding negara berkembang lain.
Selain itu, rasio antara wajib pajak yang telah membayar pajak dan
wajib pajak yang tercatat baik untuk pajak penghasilan maupun
pajak pertambahan nilai masih belum memadai.

Perangkat perundang-undangan perpajakan yang tersedia


lengkap dan aparat pajak yang makin baik merupakan modal bagi
pengembangan pajak dalam PJP II. Peluang juga akan berasal dari
potensi pajak yang bertambah sejalan dengan naiknya pendapatan
masyarakat dan berkembangnya kegiatan dunia usaha.

Sistem pengawasan melekat yang telah dikembangkan selama


Repelita V merupakan modal untuk meningkatkan pemanfaatan
dana dan sumber daya secara hemat dan efektif.

289
Selain itu, upaya pembangunan yang makin terdesentralisasi
sesuai prinsip otonomi daerah yang nyata, serasi, dinamis, dan
bertanggung jawab merupakan peluang bagi peningkatan daya guna
kegiatan pembangunan.

Kemampuan dunia usaha yang makin andal memberikan


peluang bagi pemanfaatan anggaran belanja dalam berbagai
kegiatan pembangunan yang berdaya guna dan berhasil guna. Di
samping itu, kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana
pembangunan yang telah berkembang menjadi modal pula bagi
tercapainya efektivitas anggaran belanja.

Upaya pemerintah melakukan restrukturisasi BUMN akan


meningkatkan kinerja BUMN. Di samping itu, rencana untuk
memasarkan saham BUMN ke pasar modal juga akan memperkuat
kemampuan usaha BUMN. Dengan demikian, restrukturisasi
BUMN dalam upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas
merupakan peluang untuk meningkatkan penerimaan negara dari
BUMN.

IV. ARAHAN, SASARAN, DAN KEBIJAKSANAAN


PEMBANGUNAN

1. Arahan GBHN 1993

290
Pembangunan sektor keuangan dalam Repelita VI diarahkan pada
peningkatan kemampuan dan efisiensi keseluruhan tatanan,
perangkat, kelembagaan, dan kebijaksanaan keuangan dalam
menunjang kesinambungan pembangunan dan peningkatan
kemandirian bangsa melalui peningkatan kemampuan keuangan
yang makin andal, efisien, dan mampu memenuhi tuntutan
pembangunan, penciptaan suasana yang mendorong tumbuhnya
inisiatif dan kreativitas masyarakat, serta meluasnya peran serta
masyarakat dalam pembangunan dan melalui upaya untuk terus
meningkatkan tabungan nasional sebagai sumber
utamapembiayaan pembangunan. Kebijaksanaan keuangan negara,
moneter, dan neraca pembayaran dilaksanakan secara serasi dalam
rangka mendukung pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
yang makin meluas dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi dan stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis.
Kebijaksanaan keuangan negara harus mendukung dan
mengembangkan hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang
serasi dalam mencapai keseimbangan pembangunan antardaerah
yang mantap dan dinamis.

Kebijaksanaan keuangan negara tetap didasarkan pada


prinsip anggaran berimbang yang dinamis dengan memungkinkan
dibentuknya dana cadangan. Dana tersebut dibentuk pada masa
penerimaan negara melebihi yang direncanakan dan dapat
dimanfaatkan pada masa penerimaan negara kurang dari yang
direncanakan atau tidak cukup mendukung program yang telah
direncanakan dan/atau yang sangat mendesak sehingga terjamin
kesinambungan pembiayaan yang diiringi oleh stabilitas ekonomi
yang mantap. Penerimaan negara terus diupayakan peningkatannya
dengan menggali dan mengembangkan semua sumber penerimaan
yang berasal dari perpajakan dan sumber lainnya, dengan tetap
memperhatikan peningkatan kemampuan pembiayaan pembangunan
oleh masyarakat dan dunia usaha. Pengeluaran negara
direncanakan secara cermat berdasarkan prioritas yang tajam untuk
memberikan dampak yang sebesar-besarnya bagi pembangunan.
Tabungan pemerintah terus diupayakan peningkatannya dalam
rangka peningkatan tabungan nasional.

291
Pengembangan perangkat keuangan negara yang meliputi
perpajakan dan berbagai bentuk pendapatan negara lainnya
dilaksanakan berdasar asas keadilan dan pemerataan dengan
meningkatkan peran pajak langsung sehingga mampu berfungsi
sebagai alat untuk menunjang pembangunan dan meningkatkan
serta memeratakan kesejahteraan rakyat. Sistem dan prosedur
perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara terus
disempurnakan dan disederhanakan dengan memperhatikan
asaskeadilan, pemerataan, manfaat, dan kemampuan masyarakat
melalui peningkatan mutu pelayanan dan kualitas aparat yang
tercermin dalam peningkatan kejujuran, tanggung jawab dan
dedikasi serta melalui penyempurnaan sistem administrasi.

Kesadaran masyarakat membayar pajak secara jujur dan


bertanggung jawab terus ditingkatkan melalui motivasi,
penerangan, penyuluhan, pendidikan sejak dini, serta langkah
keteladanan. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak sebagai kewajiban warga negara perlu diimbangi dengan
peningkatan pelayanan aparatur negara kepada pembayar pajak,
disertai penerapan sanksi sesuai dengan peraturan perundang -
undangan yang berlaku. Perlu pula dicegah adanya pajak ganda
yang memberatkan kehidupan masyarakat banyak.

Penganggaran negara yang meliputi pendapatan dan belanja


negara perlu ditata dalam suatu sistem anggaran yang mampu
meningkatkan penyelenggaraan negara, baik tugas umum pemerin-
tahan maupun tugas pembangunan. Penganggaran rutin dan
pembangunan perlu lebih diserasikan serta dimantapkan menurut
perencanaan penganggaran yang berlanjut, bertahap, dan makin
meningkat dengan orientasi hasil guna yang maksimal.

Badan usaha milik negara terus ditingkatkan daya guna dan


produktivitasnya sehingga makin mampu berperan dalam
pembangunan dan ikut dalam membiayai pembangunan. Investasi
badan usaha milik negara dan sumber pembiayaannya dituangkan
dalam suatu rencana menyeluruh yang dirumuskan secara cermat
dan diserasikan dengan kebijaksanaan keuangan negara dan
moneter sehingga pengelolaan keseimbangan ekonomi makro
292
makin efektif.
Sumber dana dari luar negeri dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi
pembangunan nasional sebagai sumber pelengkap pembiayaan
pembangunan dan sebagai wahana alih teknologi yang efektif.
Penanaman modal asing terus didorong bagi kegiatan ekspor dan
kegiatan pembangunan yang belum mampu ditanggulangi dengan
modal dan kemampuan teknologi dalam negeri melalui
pengembangan iklim yang menarik, prosedur yang sederhana,
pelayanan yang lancar, sarana dan prasarana ekonomi yang
menunjang, serta peraturan yang konsisten sehingga memberi
jaminan kepastian berusaha dan keamanan investasi. Bantuan luar
negeri dan pinjaman luar negeri dimanfaatkan sepanjang tidak ada
ikatan politik, tidak memberatkan perekonomian dan digunakan
untuk membiayai kegiatan yang produktif sesuai dengan
prioritas dan memberikan dampak sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan rakyat.

2. Sasaran
Penyusunan APBN merupakan pencerminan dari kebijaksa-
naan keuangan negara. Perkiraan APBN Repelita VI berikut ini
disusun berdasarkan perkembangan keuangan negara selama
Repelita V dan sasaran yang hendak dicapai dalam Repelita VI.

APBN selama Repelita VI diperkirakan sebesar Rp443.528,6


miliar. Pada anggaran pendapatan penerimaan diperkirakan berasal
dari penerimaan dalam negeri sebesar Rp382.048,6 miliar dan
bantuan luar negeri sebesar Rp61.480 miliar. Sementara itu pada
anggaran belanja, pengeluaran rutin diperkirakan sebesar
Rp267.595,7 miliar dan pengeluaran pembangunan sebesar
Rp175.932,9 miliar. Ringkasan perkiraan rencana anggaran negara
selama Repelita VI dapat dilihat pada Tabel 5 - 5.

293
Perkiraan APBN selama Repelita VI tersebut didasarkan atas beberapa asumsi, antara lain laju pertumbuhan ekonomi nasional, laju
pertumbuhan inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, serta harga minyak di pasaran internasional. Pertumbuhan ekonomi yang
294 mempengaruhi sisi penerimaan negara meliputi pertumbuhan produksi sektor migas dan berbagai sektor nonmigas, pertumbuhan ekspor dan
impor. Di samping itu, peningkatan daya guna pemungutan tiap jenis perpajakan jugaTABEL5-5
RINGKASAN PERKIRAAN RENCANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
1994/95 -1998/99
(miliar rupiah)

Akhir Repelita VI
Uraian Repelita V *)
1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99 Jumlah

A. Penerimaan Dalam Negeri 52.769,0 59.737,1 66.747,9 74.032,5 84.239,9 97.291,2 382.048,6

B. Pengeluaran Rutin 37.094,9 42.350,8 47.677,1 51.837,0 58.580,9 67.149,9 267.595,7

C. Tabungan Pemerintah 15.674,1 17.386,3 19.070,8 22.195,5 25.659,0 30.141,3 114.452,9

D. Dana Bantuan Luar Negeri 9.553,1 10.012,0 11.356,0 12.327,9 13.417,6 14.366,5 61.480,0

1. Bantuan Program 426,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

2. Bantuan Proyek 9.126,3 10.012,0 11.356,0 12.327,9 13.417,6 14.366,5 61.480,0

E. Dana Pembangunan 25.227,2 27.398,3 30.426,8 34.523,4 39.076,6 44.507,8 175.932,9

F. Pengeluaran Pembangunan 25.227,2 27.398,3 30.426,8 34.523,4 39.076,6 44.507,8 175.932,9


Catatan : *) APBN 1993/94
diasumsikan dengan mempertimbangkan potensi yang seharusnya
dapat dicapai. Asumsi yang dipergunakan pada sisi pengeluaran,
antara lain, pertambahan jumlah pegawai negeri, perkembangan
beberapa jenis subsidi serta beberapa faktor lain yang mempenga-
ruhi perkembangan pengeluaran negara. Di samping itu, sasaran-
sasaran pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya, politik
dan pertahanan keamanan juga diperhitungkan.

Penerimaan dalam negeri diperkirakan meningkat dari


Rp59.737,1 miliar pada tahun pertama Repelita VI menjadi
Rp97.291,2 miliar pada tahun terakhir Repelita VI. Penerimaan
tersebut meliputi penerimaan minyak dan gas yang meningkat dari
Rp12.851,2 miliar pada tahun 1994/95 menjadi Rp15.210,3 miliar
pada tahun 1998/99, dan penerimaan di luar minyak bumi dan gas
alam yang meningkat dari Rp46.885,9 miliar menjadi
Rp82.080,9 miliar dalam periode yang sama. Perkiraan
penerimaan dalam negeri selama Repelita VI dapat dilihat
pada Tabel 5 - 6.

Dengan perkiraan tersebut di atas, peranan penerimaan migas


dalam anggaran penerimaan dalam negeri akan menurun dari 21,5
persen pada tahun 1994/95 menjadi 15,6 persen pada tahun
1998/99. Perkiraan penerimaan dari sektor minyak bumi dan gas
alam yang menurun tersebut didasarkan pada perkiraan konservatif
mengenai prospek perkembangan harga minyak di pasaran inter-
nasional serta produksi dan konsumsi minyak bumi di dalam
negeri. Sebaliknya, peranan penerimaan di luar migas akan
meningkat, yaitu dari 78,5 persen menjadi 84,4 persen. Selama
Repelita VI penerimaan di luar migas diperkirakan mencapai 81,4
persen dari penerimaan dalam negeri. Sebagian besar penerimaan
di luar migas tersebut berasal dari pajak. Persentase penerimaan
pajak terhadap produk nasional bruto nonmigas diperkirakan.
meningkat dari 13,1 persen pada tahun 1994/95 menjadi 15,6
persen pada tahun 1998/99.

295
296 TABEL 5 - 6
PERKIRAAN PENERIMAAN DALAM NEGERI
1994/95 -1998199
(miliar rupiah)

Akhir Repelita VI
Janis Sasaran Repelita V
1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99 Jumlah

1. Penerimaan minyak bumi 15.127 ,6 12.851,2 13.986,1 14.288,4 14.851,1 15.210,3 71.187,1

dan gas slam

a. Minyak bumi 11.807,3 9.504,0 10.276,0 10.416,3 10.339,1 10.515,5 51.050,9

b. Gas slam 3.320,3 3.347,2 3.710,1 3.872,1 4.512,0 4.694,8 20.136,2

2. Penerimaan di luar 37.641.4 46.885,9 52.761.8 59.744,1 69.388.8 82.080,9 310.861 ,5


minyak bumi dan gas alam

a. Pajak 33.848,7 40.074,4 46.632,4 53.800,8 62.964,7 75.185,1 278.857,4

b. Bukan Pajak 3.792,7 6.811,5 6.129,4 5.943,3 6.424,1 6.895,8 32.204,1

Catatan : APBN 1993/94


Perkiraan pengeluaran rutin disusun dengan beberapa asumsi
mengenai belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom,
dan pelunasan kembali pinjaman pemerintah. Pengeluaran rutin
diperkirakan meningkat dari Rp42.350,8 miliar pada tahun
1994/95 menjadi Rp67.149,9 miliar pada tahun 1998/99.

Berdasar perkiraan penerimaan dalam negeri dan


pengeluaran rutin, maka tabungan pemerintah diperkirakan
meningkat dari Rp17.386,3 miliar pada tahun 1994/95 menjadi
Rp30.141,3 miliar pada tahun 1998/99. Jumlah tabungan
pemerintah selama Repelita VI diperkirakan sebesar Rp114.452,9
miliar. Peranan tabungan pemerintah dalam pengeluaran
pembangunan menunjukkan peningkatan dari 62,1 persen pada
akhir Repelita V menjadi 67,7 persen pada akhir Repelita VI.

Tabungan pemerintah bersama dengan penerimaan


pembangunan yang berasal dari dana bantuan luar negeri
merupakan sumber dana pembangunan untuk membiayai
kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh negara.
Dana pembangunan tersebut diperkirakan meningkat dari
Rp27.398,3 miliar pada tahun pertama Repelita VI menjadi
Rp44.507,8 miliar pada tahun terakhir Repelita VI. Untuk seluruh
periode Repelita VI dana pembangunan diperkirakan berjumlah
Rp175.932,9 miliar.

3. Kebijaksanaan

a. Kebijaksanaan Umum

297
Kegiatan pembangunan yang terus meningkat dengan pesat
membutuhkan dana untuk investasi yang makin besar baik
bersumber dari pemerintah maupun dari masyarakat. Sesuai
amanat GBHN yang bertekad untuk memperbesar kemampuan
membangun atas kekuatan sendiri, sumber dana investasi
sebagian besar akan diupayakan dari dalam negeri. Peningkatan
penerimaan dalam negeri selain untuk mendukung peningkatan
lajupembangunan, juga diarahkan untuk semakin memperbaiki
struktur sumber pembiayaan negara dan memperkecil peranan
sumber dana yang berasal dari luar negeri.

Kebijaksanaan keuangan negara yang tercermin dalam


Anggaran Pendapatan, dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun
didasarkan pada prinsip anggaran berimbang dan dinamis dengan
kemungkinan dibentuknya dana cadangan. Pengertian berimbang
adalah bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara
mencerminkan keserasian antara penerimaan dan pengeluaran,
sedang pengertian dinamis adalah bahwa jumlah pendapatan dan
belanja negara diusahakan untuk terus meningkat guna memacu
laju pembangunan. Dana cadangan dibentuk pada masa penerimaan
negara melebihi yang direncanakan, dan dimanfaatkan pada masa
penerimaan negara kurang dari yang direncanakan atau tidak cukup
mendukung program yang telah direncanakan dan/atau yang sangat
mendesak, sehingga terjamin kesinambungan pembiayaan yang
disertai dengan stabilitas ekonomi yang mantap.

Kebijaksanaan umum keuangan negara dalam Repelita VI


secara terperinci diuraikan sebagai berikut ini.

1) Meningkatkan peran pajak

Peningkatan penerimaan dalam negeri akan dilakukan


seoptimal mungkin melalui perluasan sumber penerimaan negara
dari nonmigas. Sumber penerimaan terbesar nonmigas berasal dari
berbagai jenis pajak. Untuk meningkatkan peran pajak akan dilaku-
kan ekstensifikasi dan intensifikasi terhadap jenis-jenis pajak yang
realisasi dibanding dengan potensinya masih belum digali secara
optimal seperti PPh, PPN, dan PBB. Berbagai penerimaan bukan
pajak dan berbagai jenis retribusi perlu diupayakan secara optimal
298
pula, seperti retribusi atas pengelolaan hutan dan laut. Di samping
itu, peran pajak sebagai salah satu alat pengendali dan pengarah
ekonomi, serta pendorong upaya pemerataan dan keadilan akan
terus ditingkatkan.
2) Memanfaatkan pinjaman luar negeri

Meskipun upaya untuk meningkatkan tabungan pemerintah dan


investasi masyarakat makin ditingkatkan, pinjaman luar negeri
masih diperlukan sebagai pelengkap. Dana bantuan luar negeri
akan dimanfaatkan untuk pembangunan secara maksimal dengan
tetap memperhatikan batas-batas yang aman bagi kepentingan
nasional dan pembangunan. Hal penting yang diamanatkan oleh
GBHN adalah bahwa dana luar negeri diterima dengan tidak ada
ikatan politik, bersyarat lunak, dan dalam batas kemampuan negara
untuk membayar kembali.

3) Mengoptimalkan pengeluaran rutin

Kebijaksanaan pengeluaran rutin tetap dilandasi prinsip


peningkatan mutu dan daya guna pelayanan aparatur pemerintah,
serta pengoptimalisasian pemanfaatan aset negara dan hasil-hasil
pembangunan sebelumnya sesuai dengan fungsinya. Kebijaksanaan
ini juga dimaksudkan untuk mendorong peningkatan produksi
dalam negeri, dan memperluas lapangan kerja. Sehubungan dengan
itu pengendalian pengeluaran rutin diupayakan melalui
penyempurnaan pola pengeluaran yang terarah dan mencapai
sasaran. Selain itu, subsidi secara bertahap akan dikurangi
terutama bagi subsidi yang tidak diprioritaskan. Dalam rangka
meningkatkan taraf hidup, produktivitas dan efektivitas kerja,
maka kesejahteraan pegawai negeri akan ditingkatkan dengan
memperhatikan kemampuan keuangan negara.

4) Meningkatkan efektivitas pengeluaran pembangunan

299
Kebijaksanaan pengeluaran pembangunan diarahkan untuk
mendukung tercapainya sasaran-sasaran pembangunan, secara
efisien dan efektif. Pengeluaran pembangunan ditujukan pada
kegiatan-kegiatan yang memang tidak dapat dilaksanakan
dandibiayai sendiri oleh masyarakat dan dunia usaha. Kegiatan
pembangunan tersebut meliputi penyediaan sarana dan prasarana
dasar yang memiliki peran strategis dalam proses pembangunan
serta peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam upaya
pemerataan pembangunan. Selain itu, pengeluaran pembangunan
juga dimaksudkan menunjang kegiatan pembangunan yang dilaksa-
nakan masyarakat, seperti di sektor industri, pertanian, dan
berbagai sektor jasa. Peran dan tanggung jawab daerah dalam
pelaksanaan pembangunan juga akan ditingkatkan.

5) Meningkatkan pemerataan hasil-hasil


pembangunan

Seluruh sumber keuangan negara diarahkan penggunaannya


untuk kegiatan-kegiatan yang produktif dan dimanfaatkan secara
maksimal dan makin efisien dalam mendukung pembangunan
nasional di berbagai bidang dan sektor. Di samping itu, kebijaksa-
naan keuangan negara makin diarahkan pada peningkatan pemera-
taan pembangunan, baik antarsektor dan kegiatan, antardaerah
maupun antargolongan pendapatan. Pemerataan beban serta hasil
pembangunan secara lebih adil akan lebih menjamin rasa keadilan
masyarakat, memperkukuh solidaritas nasional dan solidaritas
sosial, dan menjamin pembangunan yang berkesinambungan.

b. Kebijaksanaan Penerimaan Negara

1) Mengembangkan perpajakan

300
Sumber penerimaan dalam negeri senantiasa didasarkan kepada
penerimaan perpajakan dengan memperhatikan peningkatan
kemampuan pembiayaan oleh masyarakat dan dunia usaha.
Pengembangan perpajakan dilaksanakan berdasar asas keadilan,
asas pemerataan, asas manfaat, dan kepastian hukum dengan
meningkatkan peran pajak langsung agar mampu berfungsi
sebagai alat penunjang pembangunan dan meningkatkan serta
memeratakan kesejahteraan rakyat. Sehubungan dengan
itupengembangan perpajakan diarahkan pada upaya meningkatkan
kemampuan pembangunan; memperkuat struktur dunia usaha
dengan mendukung berkembangnya pengusaha menengah, pengu-
saha kecil dan koperasi; mendorong pengembangan sumber daya
manusia dan teknologi; serta mengembangkan kegiatan ekonomi
secara makin merata. Selain itu, sistem dan prosedur perpajakan
terus disempurnakan dan disederhanakan melalui peningkatan mutu
pelayanan, kualitas aparat serta penyempurnaan sistem administrasi
perpajakan.

2) Meningkatkan kesadaran masyarakat membayar


pajak

Kesadaran masyarakat membayar pajak secara jujur dan


bertanggung jawab terus ditingkatkan melalui motivasi,
penerangan, penyuluhan, dan pendidikan sejak dini, serta langkah
keteladanan. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak sebagai kewajiban warga negara dibarengi dengan pening-
katan pelayanan aparatur negara kepada pembayar pajak, disertai
penerapan sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,
serta dicegah adanya pajak ganda yang memberatkan kehidupan
masyarakat banyak. Di samping itu, aspirasi masyarakat dalam
pemungutan pajak senantiasa diperhatikan.

3) Menyempurnakan sistem dan tata cara pelaksanaan


pajak penghasilan

301
Peranan PPh sebagai sumber penerimaan pajak yang terbesar
ditingkatkan melalui upaya pembebanan pajak yang lebih adil sesuai
kemampuan masing-masing anggota masyarakat dan sekaligus
menunjang upaya pemerataan, baik melalui ekstensifikasi maupun
intensifikasi pemungutan pajak terutama dari wajib pajak potensial
yang belum secara optimal tergali. Di pihak lain, iklim perpajakan
yang mendukung bagi pengembangan dunia usaha khususnya
investasi tetap akan dijaga dalam rangka peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Administrasi perpajakan yang meliputiberbagai sistem
prosedur dan tata cara pelaksanaan kewajiban dan hak wajib pajak
terus diperbaiki sehingga menjadi lebih efektif dan efisien serta
memberikan kemudahan bagi wajib pajak. Sementara itu, kualitas
pelayanan dan pengawasan yang efektif terhadap wajib pajak secara
keseluruhan makin ditingkatkan.

4) Meningkatkan penerimaan pajak pertambahan nilai

Peningkatan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan


pajak penjualan barang mewah, diupayakan melalui ekstensifikasi
wajib pajak, dengan memperbanyak pengusaha kena pajak dan
intensifikasi pemungutan pajak terutama dari sumber-sumber yang
potensial yang belum optimal tergali. Kebijaksanaan PPN
senantiasa diupayakan untuk dapat memperkecil dampak regresif
dalam pembebanannya, baik melalui penetapan klasifikasi barang-
barang mewah yang terkena pajak penjualan barang mewah
maupun mekanisme pembebasan atau pengecualian terhadap
barang dan jasa kebutuhan pokok masyarakat.

5) Meningkatkan penerimaan pajak bumi dan bangunan

Kebijaksanaan pajak bumi dan bangunan bertujuan meningkat-


kan penerimaan PBB sebagai salah satu sumber penerimaan yang
penting bagi pemerintah daerah. Ekstensifikasi dan intensifikasi
PBB senantiasa ditingkatkan melalui kerja sama dan koordinasi
dengan pemerintah daerah. Administrasi perpajakan yang meliputi
sistem dan prosedur pendataan, penilaian, pengenaan, penerimaan
dan penagihan serta pengajuan keberatan dan pengurangan terus
disempurnakan dengan menerapkan sistem manajemen informasi
302
obyek pajak. Nilai jual objek pajak dievaluasi dari waktu ke waktu
agar sesuai dengan perkembangan ekonomi. Di samping itu,
kualitas pelayanan dan pengawasan terhadap wajib pajak secara
keseluruhan akan semakin ditingkatkan, antara lain dengan
menerapkan sistem pelayanan satu tempat.
6) Meningkatkan penerimaan bea masuk

Bea masuk mempunyai peranan ganda sebagai sumber


penerimaan negara, dan sebagai alat untuk mengatur arus dan pola
impor barang agar mampu mendorong perkembangan industri
dalam negeri, peningkatan ekspor dan penciptaan lapangan kerja
yang semakin luas. Langkah-langkah kebijaksanaan bea masuk
dalam Repelita VI diarahkan untuk lebih mengoptimalkan
penerimaan bea masuk melalui ketepatan identifikasi barang,
ketepatan penetapan klasifikasi barang impor dan tarif sesuai
ketentuan yang berlaku dan peningkatan verifikasi serta audit. Di
samping itu, kebijaksanaan bea masuk senantiasa dikoordinasikan
dengan kebijaksanaan di bidang lain seperti bidang investasi,
perdagangan, industri, dan tenaga kerja.

7) Meningkatkan penerimaan cukai

Kebijaksanan cukai pada dasarnya masih dikaitkan dengan


program pembangunan industri yang ditujukan untuk memperluas
kesempatan kerja terutama di daerah. Penerimaan cukai masih
akan didominasi oleh cukai tembakau, dengan cukai bir dan
alkohol sulingan sebagai pelengkap penerimaan cukai.
Kebijaksanaan penyesuaian tarif cukai tembakau diarahkan untuk
mengenakan cukai yang lebih tinggi pada industri rokok yang tidak
padat karya. Untuk industri gula, penentuan tarif cukai gula
diselaraskan dengan pembangunan sektor pertanian yang utamanya
ditujukan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani
tebu.

8) Penerimaan pajak ekspor

303
Kebijaksanaan pajak ekspor berorientasi pada peningkatan ekspor
nonmigas, melalui pemberian kemudahan, terutama untuk sektor-
sektor yang memperluas lapangan kerja dan berusaha, dengan
tetap memperhatikan kelestarian sumber daya produksi dan
lingkungan hidup. Selain itu, kemudahan pajak ekspor
jugadiberikan untuk meningkatkan ekspor barang jadi atau
setengah jadi yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi. Dengan
demikian, penerimaan pajak ekspor sangat ditentukan oleh arah
program pengembangan industri yang bertujuan ekspor.

9) Penerimaan bea meterai dan lelang

Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak lainnya, bea


meterai akan semakin diefektifkan. Pengawasan dan kepatuhan
masyarakat dalam menggunakan meterai akan ditingkatkan melalui
kerja sama yang terpadu antarinstansi yang terkait. Sementara itu,
penertiban dan penyempurnaan pelaksanaan lelang akan terus
diupayakan sehingga bea lelang dapat dipungut secara lebih efektif.

10) Meningkatkan penerimaan bukan pajak

Penerimaan negara bukan pajak ditingkatkan antara lain


melalui penertiban pemungutan berbagai penerimaan departemen
dan lembaga negara nondepartemen serta melalui peningkatan daya
guna BUMN. Arah kebijaksanaan penerimaan bagian pemerintah
atas laba BUMN dalam Repelita VI adalah dengan meningkatkan
efisiensi dan produktivitasnya. Restrukturisasi BUMN akan terus
dilanjutkan untuk meningkatkan kesehatan BUMN dengan
mengubah status hukum BUMN ke arah yang lebih menunjang
pencapaian maksud dan tujuan perusahaan. Selain itu, juga
mengadakan kerja sama operasi atau kontrak manajemen dengan
pihak ketiga, konsolidasi atau merger, pemecahan badan usaha,
penjualan saham dan obligasi melalui pasar modal di dalam
maupun di luar negeri, penjualan saham secara langsung serta
pembentukan perusahaan patungan.

11) Pengelolaan pinjaman luar negeri


304
Kebijaksanaan pengelolaan pinjaman luar negeri tetap dilakukan
dengan berhati-hati. Di samping memperhatikan kegunaan dana
untuk proyek-proyek pembangunan sertameningkatkan efisiensi
penggunaannya, juga mempertimbangkan kemampuan untuk
membayar kembali pinjaman tersebut di masa yang akan datang.
Untuk menghindari beban pinjaman yang memberatkan senantiasa
dipertimbangkan dengan teliti jumlah pinjaman luar negeri yang
dianggap wajar dengan menitikberatkan pada pinjaman yang
bersyarat lunak, yaitu dengan tingkat suku bunga yang rendah
serta jangka waktu pengembalian dan masa tenggang yang
panjang.

c. Kebijaksanaan Pengeluaran Rutin

Kebijaksanaan anggaran belanja rutin dalam Repelita VI


diarahkan untuk mendukung kelancaran jalannya roda
pemerintahan secara optimal dan memperbesar terhimpunnya
tabungan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan
pembiayaan pembangunan nasional. Sejalan dengan kebijaksanaan
tersebut, pelaksanaan anggaran belanja rutin tetap dilaksanakan
secara terarah dan terkendali agar alokasi pembiayaan dalam negeri
dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, dan optimal. Sekalipun
demikian, kebijaksanaan dalam alokasi anggaran belanja rutin tetap
diselaraskan dengan kebutuhan pembiayaan nyata yang diperlukan
bagi kelancaran kegiatan operasional pemerintahan. Secara
terperinci kebijaksanaan tersebut diuraikan sebagai berikut.

1) Meningkatkan efektivitas alokasi pengeluaran rutin

305
Berpijak pada pokok-pokok kebijaksanaan tersebut, alokasi
anggaran belanja rutin dalam Repelita VI diprioritaskan untuk
memberi dukungan pembiayaan secara cukup dan memadai, baik
untuk pembiayaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pelayanan
kepada masyarakat, maupun untuk berbagai program
pembiayaan umum di luar kegiatan pembangunan. Berbagai
pembiayaan tersebut antara lain mencakup pembiayaan program
peningkatan daya guna dan hasil guna aparatur pemerintah, pelak-
sanaan kegiatan pengawasan, pemeliharaan dan pengamanan
berbagai aset negara dan hasil-hasil pembangunan,
sertapemenuhan kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang
dalam upaya menjaga kredibilitas dan kepercayaan dunia terhadap
perekonomian nasional.

2) Mengoptimalkan belanja pegawai

Salah satu unsur terbesar dalam pengeluaran rutin adalah biaya


gaji dan pensiun. Pengendalian biaya ini akan ditempuh dengan
menyerasikan laju pertambahan pegawai negeri dengan kebutuhan
pelayanan yang diharapkan masyarakat. Pertambahan pegawai
negeri dalam Repelita VI ditentukan dengan mempertimbangkan
kebutuhan, pembiayaan, alokasi penempatan dan peningkatan
kemampuan. Kebijaksanaan ini merupakan upaya meningkatkan
kinerja aparatur negara dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan kepada masyarakat. Dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan dan produktivitas pegawai, perbaikan penghasilan
pegawai senantiasa diupayakan, antara lain melalui pemberian
tunjangan lainnya, dengan memperhatikan kemampuan keuangan
negara dan kondisi perekonomian pada umumnya.

3) Mengendalikan belanja barang

Kebijaksanaan pengeluaran belanja barang tetap diarahkan


pada pengendalian pengeluaran sesuai dengan kebutuhan yang
diperlukan. Alokasi pengeluaran belanja ini tetap diprioritaskan
pada upaya peningkatan penggunaan produksi dalam negeri dengan
memberi kesempatan berusaha yang lebih besar kepada pengusaha
menengah, pengusaha kecil, dan koperasi, serta pengusaha daerah
atau setempat. Dalam kaitan dengan belanja pemeliharaan, kebijak-
306
sanaan pengeluaran belanja pemeliharaan diarahkan pada upaya
mengoptimalisasikan pemanfaatan aset negara dan hasil
pembangunan sebelumnya supaya dapat berfungsi dengan baik.

4) Membatasi subsidi
Sejalan dengan kebijaksanaan untuk meningkatkan daya guna
alokasi sumber-sumber keuangan negara secara lebih optimal,maka
dalam Repelita VI alokasi pembiayaan bagi subsidi akan semakin
dibatasi. Pemberian subsidi secara terus-menerus, selain dapat
mengakibatkan berbagai distorsi ekonomi berupa tidak terse-
lenggaranya kegiatan konsumsi dan produksi secara wajar, juga
mengakibatkan terhambatnya pemupukan tabungan pemerintah.

5) Meningkatkan kemajuan dan pemerataan


pembangunan daerah

Upaya meningkatkan pemerataan pembangunan ke seluruh


daerah ditempuh melalui kebijaksanaan bantuan keuangan kepada
pemerintah daerah (subsidi daerah otonom). Alokasi anggaran ini
ditujukan untuk membantu pemerintah daerah dalam membiayai
aparatur pemerintah daerah dan aparatur pemerintah pusat yang
ditempatkan di daerah, serta membantu pemerintah daerah dalam
menjalankan kegiatan operasional dan pemeliharaannya. Pening-
katan jumlah dan mutu pegawai yang diangkat dan diperbantukan
ke daerah-daerah, seperti guru SD Inpres, tenaga medis dan
paramedis puskesmas, tenaga penyuluh pertanian, dan juru
penerang diarahkan untuk menunjang upaya pemerataan
kesempatan memperoleh pelayanan kesehatan, dan pemerataan
informasi, yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Di samping itu, melalui berbagai bantuan yang
berkaitan dengan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan, program-program pembangunan baik sektoral
maupun regional diharapkan dapat berjalan dengan kualitas yang
makin baik, serta mampu mendukung upaya pemerintah daerah,
baik dalam meningkatkan pendapatan asli daerah maupun
kesejahteraan masyarakatnya.

d. Kebijaksanaan Pengeluaran Pembagunan

307
Titik berat PJP II diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi,
seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
didorong secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu
dengan pembangunan bidang-bidang lainnya dalamrangka
mencapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional, maka prioritas
Repelita VI adalah pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi
dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang
pembangunan lainnya dan peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang dikembangkan sebagai berikut.

(1) Penataan industri nasional yang menuju pada penguatan dan


pendalaman struktur industri, yang didukung kemampuan
teknologi yang makin meningkat; peningkatan ketangguhan
pertanian; pemantapan sistem dan kelembagaan koperasi;
penyempurnaan pola perdagangan, jasa dan sistem distribusi;
pemanfaatan secara optimal dan tepat guna faktor produksi
dan sumber daya ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknolo-
gi sebagai prasyarat terbentuknya masyarakat industri yang
menjamin peningkatan keadilan, kemakmuran, dan pemerataan
pendapatan serta kesejahteraan rakyat, sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila.

(2) Pembangunan sumber daya manusia agar makin meningkat


kualitasnya sehingga dapat mendukung pembangunan ekonomi
melalui peningkatan produktivitas dengan pendidikan nasional
yang makin merata dan bermutu, disertai peningkatan dan
perluasan pendidikan keahlian yang dibutuhkan berbagai
bidang pembangunan, serta pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang makin mantap.

Pembangunan bidang lainnya terus ditingkatkan selaras dan


serasi serta saling memperkuat dengan pembangunan bidang
ekonomi sehingga keseluruhan pembangunan nasional merupakan
satu kesatuan gerak dalam mewujudkan masyarakat maju,
mandiri, dan sejahtera. Pembangunan di bidang lain meliputi
bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan dan kebudayaan; bidang
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi; bidang hukum; bidang politik,
aparatur negara, penerangan, komunikasi, dan media massa;
308
bidang pertahanan keamanan.
GBHN 1993 mengamanatkan pula bahwa kebijaksanaan
pembangunan tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yaitu
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis. Ketiga unsur Trilogi Pembangunan tersebut saling
berkaitan dan perlu dikembangkan secara selaras, terpadu, dan
saling memperkuat.

Mengacu pada arah kebijaksanaan yang ditetapkan dalam


GBHN 1993, maka pengeluaran pembangunan dalam Repelita VI,
baik pembiayaan rupiah maupun bantuan proyek, mengikuti pokok-
pokok kebijaksanaan sebagai berikut:

1) Pengembangan sumber daya manusia

Dalam rangka menunjang upaya pengembangan sumber daya


manusia, sektor pendidikan, kesehatan dan agama dalam Repelita
VI akan memperoleh prioritas dalam pembangunan. Pemberian
prioritas anggaran pada sektor ini sebagai upaya mempercepat
peningkatan kualitas hidup manusia, terutama dalam mempersiap-
kan manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju,
tangguh, cerdas, serta sehat jasmani dan rohani. Salah satu
program pokok dalam rangka ini adalah Wajib Belajar Sembilan
Tabun yang akan dimulai pada tahun pertama Repelita VI.
Pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas
hidup manusia meliputi kegiatan di hampir semua sektor, seperti
kependudukan, tenaga kerja, hukum, aparatur negara, transmi-
grasi, perumahan dan permukiman, ilmu pengetahuan dan
teknologi, lingkungan hidup, kesejahteraan sosial, kebudayaan,
olahraga serta pembinaan anak dan remaja, pembinaan dan
pengembangan pemuda dan peranan wanita.

309
2) Pembangunan prasarana dan sarana ekonomi

Pembangunan sektor-sektor prioritas di bidang ekonomi


memerlukan dukungan prasarana dan sarana yang memadai. Oleh
karena itu, pembangunan sarana dan prasarana ekonomi akan tetap
merupakan prioritas dalam Repelita VI. Perhatian khusus diberikan
terutama untuk kawasan timur Indonesia, daerah dan pulau
terpencil, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya dalam
rangka memacu pembangunan di daerah tersebut. Pembangunan
prasarana dan sarana ekonomi meliputi transportasi, pos dan
telekomunikasi, pengairan, tenaga listrik, dan prasarana serta
sarana penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pembangunan prasarana dan sarana akan mendukung
pembangunan industri, pertanian, pertambangan, pariwisata dan
kegiatan produksi lainnya, serta sektor lainnya yang menyangkut
kesejahteraan rakyat banyak seperti transmigrasi, perumahan, dan
permukiman, pembangunan daerah dan sebagainya. Pembangunan
sarana ekonomi selain akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
juga mendukung upaya pemerataan.

3) Pembangunan daerah

Di samping untuk membiayai program-program pembangunan


sektoral, anggaran belanja pembangunan disediakan untuk
membantu pembangunan daerah, sehingga tercipta keserasian
antara pembangunan sektoral dengan pembangunan daerah.
Penyediaan anggaran pembangunan untuk mendukung
pembangunan daerah tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan
laju pertumbuhan ekonomi antardaerah yang lebih merata dan
mantap, serta diarahkan untuk mendorong prakarsa dan partisipasi
masyarakat di daerah dan secara khusus mempercepat upaya
mengentaskan penduduk dari kemiskinan. Bagian terbesar dari
anggaran pembangunan bagi daerah tersebut dialokasikan dalam
berbagai bentuk program Inpres.

310
Selain melalui program bantuan pembangunan daerah (program
Inpres), dalam rangka desentralisasi dan pemberianotonomi yang
lebih luas kepada daerah, hasil pajak bumi dan bangunan (PBB)
seluruhnya dikembalikan kepada pemerintah daerah, kecuali biaya
yang dibutuhkan untuk pemungutan, yang mekanismenya akan
terus disempurnakan.

Dalam rangka pembangunan daerah, perhatian khusus


diberikan kepada daerah transmigrasi, daerah terpencil, daerah
minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang
lainnya, yang disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah yang
bersangkutan.

Pembangunan kawasan timur Indonesia (KTI), sesuai dengan


arahan GBHN 1993 mendapatkan perhatian lebih besar dalam
Repelita VI. Pembangunan KTI dimaksudkan untuk membangun
kawasan yang rata-rata masih tertinggal dibanding kawasan lainnya
dengan memanfaatkan sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
Perhatian khusus diberikan pada pengembangan sumber daya
manusia antara lain melalui program-program pendidikan dan
kesehatan.

4) Peningkatan peran serta masyarakat

Sejalan dengan upaya menumbuhkan sikap kemandirian dan


peningkatan peran serta masyarakat, maka anggaran belanja
pembangunan diarahkan untuk menunjang berkembangnya potensi
masyarakat, termasuk dunia usaha. Dengan terbatasnya dana
pembangunan pemerintah, sasaran pembangunan hanya dapat
dicapai dengan memanfaatkan dana pembangunan untuk
membiayai kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara
efisien, efektif dan terarah. Kerja sama antara Pemerintah dan
swasta diupayakan saling mengisi, saling melengkapi, dan saling
menunjang.

Melalui berbagai kebijaksanaan keuangan negara termasuk


anggaran pembangunan didorong peningkatan kemampuan usaha
kecil dan menengah serta koperasi. Anggaran pembangunan

311
merupakan sumber permintaan yang sangat besar akan produksi
dan jasa dunia usaha. Pelaksanaan pembangunan diarahkan pada
upaya peningkatan penggunaan produksi dalam negeri dengan
memberi kesempatan berusaha yang lebih besar kepada pengusaha
menengah, pengusaha kecil, dan koperasi, serta pengusaha daerah
atau setempat.

5) Pengentasan penduduk dari kemiskinan

Selama PJP I, berbagai program pemerataan telah berhasil


mengurangi jumlah penduduk miskin dari sebanyak 54,2 juta jiwa
atau 40,1 persen terhadap total penduduk pada tahun 1976 menjadi
sekitar 27,2 juta jiwa atau 15,1 persen pada tahun 1990. Dalam
Repelita VI, upaya pengentasan kemiskinan akan ditingkatkan.
Untuk itu mulai tahun pertama Repelita VI kepada desa yang
tertinggal akan diberikan bantuan tambahan berupa Inpres Desa
Tertinggal (IDT). IDT dimaksudkan untuk membantu masyarakat
miskin di desa-desa yang tertinggal untuk mengatasi kemiskinan
dengan memberi bantuan modal kerja untuk dikembangkan sesuai
potensi desa dan masyarakat setempat agar dapat meningkatkan
pendapatan dan kemampuan ekonominya. Program pembangunan
prasarana dan sarana fisik perdesaan yang secara langsung
mendukung pengembangan usaha dan peningkatan kesejahteraan
serta mobilitas penduduk di desa tertinggal, seperti jalan desa,
jembatan desa, tambatan perahu, dan sarana air bersih, akan
dilakukan secara bertahap sesuai dengan prioritasnya, melalui
program tersendiri. Penduduk miskin di desa-desa dan daerah
lainnya tetap memperoleh perhatian dan ditangani secara sungguh-
sungguh melalui berbagai program baik sektoral maupun daerah
yang akan makin ditingkatkan dan makin diarahkan pada upaya
peningkatan taraf hidup rakyat pada umumnya dan golongan
berpendapatan rendah pada khususnya.

6) Efisiensi dan efektivitas pengeluaran pembangunan

312
Efisiensi dan efektivitas pengeluaran pembangunan akan terus
diupayakan dengan lebih mempertajam alokasi pemanfaatannya
danmeningkatkan mekanisme penggunaan anggaran serta
pengawasannya. Pemberian subsidi akan dibatasi dan secara
bertahap akan dihapuskan. Demikian pula, penyertaan modal
pemerintah pada BUMN akan dilakukan lebih selektif dan
terbatas. Anggaran pembangunan diupayakan agar senantiasa
terarah pada pencapaian sasaran dan digunakan dengan hemat dan
mencegah terjadinya kebocoran.

7) Kelestarian fungsi lingkungan hidup

Kegiatan pembangunan juga diarahkan untuk tercapainya


pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Agar
dapat mengembangkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan yang memadai untuk memberikan manfaat bagi
generasi masa kini maupun generasi masa depan maka terus
dilaksanakan pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya peranan
lingkungan hidup terus ditumbuhkembangkan melalui
penerangan dan pendidikan dalam dan luar sekolah, pemberian
rangsangan, penegakan hukum, dan peningkatan peran aktif
masyarakat. Di samping itu, inventarisasi, pemantauan, dan
penghitungan nilai sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta
pola tata ruang terus dikembangkan untuk menjaga keberlanjutan
pemanfaatannya.

V. PROGRAM

1. Program Peningkatan Penerimaan Negara

313
Program ini terutama diarahkan pada upaya pengembangan
perangkat keuangan negara, dan peningkatan koordinasi dengan
instansi-instansi terkait dalam rangka penggalian potensi
penerimaan negara baik antarsektor, antarregional maupun kerja
sama dengan negara-negara lain seperti dalam hal perpajakan dan
berbagai bentuk pendapatan negara lainnya. Sistem danprosedur
perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara terus
disempurnakan dan disederhanakan melalui peningkatan mutu
pelayanan dan kualitas aparat serta penyempurnaan sistem
administrasi. Kegiatan lain yang juga perlu dilakukan ialah
meningkatkan pengawasan dan menumbuhkan kesadaran
masyarakat membayar pajak secara jujur dan bertanggung jawab
misalnya melalui peningkatan penyidikan terhadap wajib pajak,
penerangan, penyuluhan, dan pendidikan.

Dalam program ini juga akan dilakukan kegiatan-kegiatan


yang menyangkut pengembangan hubungan keuangan antara pusat
dan daerah yang serasi, antara lain melalui pengkajian
efektivitas dan efisiensi bantuan pembiayaan daerah dan penggalian
sumber dana asli daerah.

2. Program Pembinaan Kekayaan Negara

Program ini bertolak dari kebijaksanaan sektor keuangan


bahwa penganggaran negara yang meliputi pendapatan dan belanja
negara perlu ditata dalam suatu sistem anggaran yang mampu
meningkatkan penyelenggaraan negara, baik tugas umum
pemerintahan maupun tugas pembangunan. Penganggaran rutin
dan pembangunan perlu lebih diserasikan serta dimantapkan
menurut perencanaan penganggaran yang berlanjut, bertahap, dan
makin meningkat dengan orientasi hasil guna yang maksimal.
Oleh karena itu, dalam program ini dilaksanakan kegiatan
penelitian dan pengembangan, seperti reklasifikasi anggaran
pendapatan dan belanja negara, penyusunan perhitungan anggaran,
penatausahaan pinjaman sektor pemerintah, perencanaan dan
pemantauan proyek-proyek, serta penyempurnaan administrasi
pinjaman luar negeri.

314
Program ini berorientasi pada pengawasan dan peningkatan daya
guna aset negara. Untuk ini perlu diupayakan administrasi
kekayaan milik negara yang semakin andal. Program ini juga
berorientasi pada upaya peningkatan daya guna dan
produktivitasBUMN, sebagai salah satu kekayaan negara. Investasi
BUMN dan sumber pembiayaannya perlu dituangkan dalam suatu
rencana menyeluruh yang dirumuskan secara cermat dan
diserasikan dengan kebijaksanaan keuangan negara dan moneter
sehingga pengelolaan keseimbangan ekonomi makro makin efektif.
Bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan berorientasi antara lain
pada penyempurnaan dan pengembangan BUMN, penatausahaan
pinjaman BUMN, dan penyempurnaan sistem keuangan BUMN.

VI. RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN


DALAM REPELITA VI

Program-program pembangunan Repelita VI dilaksanakan baik


oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Program pembangunan
oleh Pemerintah yang akan dibiayai dengan anggaran pembangunan
selama Repelita VI adalah sebesar Rp175.932.900,0 juta. Rencana
anggaran pembangunan untuk tahun pertama dan selama Repelita
VI menurut sektor dan subsektor dalam sistem APBN dapat dilihat
pada Tabel 5 - 7.

Program-program pembangunan dalam bidang keuangan


negara seperti diuraikan di atas dilaksanakan baik oleh Pemerintah
maupun oleh masyarakat. Dalam program-program tersebut, yang
merupakan program dalam bidang keuangan negara, yang akan
dibiayai dengan anggaran pembangunan selama Repelita VI
(1994/95 - 1998/99) adalah sebesar Rp49.000,0 juta. Rencana
anggaran pembangunan keuangan negara untuk tahun pertama dan
selama Repelita VI menurut sektor, sub sektor dan program dalam
sistem APBN dapat dilihat dalam Tabel 5 8.

315
Tabel 5—7

RENCANA PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR/SUB SEKTOR


Tahun Anggaran 1994/95 dan Repelita VI (1994/95 — 1998/99)

(dalam juta rupiah)

No. Sektor/Sub Sektor/Progam 1994/95 1994/95 — 1998/99


Kode

01 SEKTOR INDUSTRI 450.496.0 3.032.480.0


01.1 Sub Sektor Industri 450.496,0 3.032.480,0
02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 989.630.0 6.403.950.0
02.1 Sub Sektor Pertanian 956.340,0 6.157.650,0
02.2 Sub Sektor Kehutanan 33.290,0 246.300,0
03 SEKTOR PENGAIRAN 1.687.034.0 10.473.430.0
03.1 Sub Sektor Pengembangan Sumber Daya Air 780.133,0 4.456.580,0
03.2 Sub Sektor Irigasi 906.901,0 6.016.850,0
04 SEKTOR TENAGA KERJA 146.532.0 1.073.200.0
04.1 Sub Sektor Tenaga Kerja 146.532,0 1.073.200,0
05 SEKTOR PERDAGANGAN. PENGEMBANGAN USAHA
NASIONAL. KEUANGAN DAN KOPERASI 736250.0 5.036.150.0
05.1 Sub Sektor Perdagangan Dalam Negeri 16.800,0 116.590,0
05.2 Sub Sektor Perdagangan Luar Negeri 279.560,0 1.852.410,0
05.3 Sub Sektor Pengembangan Usaha Nasional 184.260,0 1.184.670,0
05.4 Sub Sektor Keuangan 120.750,0 879.680,0
05.5 Sub Sektor Koperasi dan Pengusaha Kecil 134.880,0 1.002.800,0
06 SEKTOR TRANSPORTASI. METEOROLOGI DAN GEOFISIKA 5225.515.0 33.054.190.0
06.1 Sub Sektor Prasarana Jalan 3.530.580,0 22.195.440,0
06.2 Sub Sektor Transportasi Darat 589.028,0 3.782.550,0
06.3 Sub Sektor Transportasi Laut 466.777,0 2.990.850,0
06.4 Sub Sektor Transportasi Udara 605.470,0 3.870.500,0
06.5 Sub Sektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan
Penyelamatan (SAR) 33.660,0 214.850,0
07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 3.581.922.0 21.779.530.0
07.1 Sub Sektor Pertambangan 67.870,0 439.840,0
07.2 Sub Sektor Energi 3.514.052,0 21.339.690,0
08 SEKTOR PARIWISATA. POS. DAN TELEKOMUNIKASI 721.850.0 4.778.570.0
08.1 Sub Sektor Pariwisata 48.730,0 325.380,0
08.2 Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi 673.120,0 4.453.190,0
09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI 5.504.326.0 34.227.530.0
09.1 Sub Sektor Pembangunan Daerah 4.547.891,0 28.069.880,0
09.2 Sub Sektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan 958.435,0 6.157.650,0
10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG 452.300.0 3254.750.0
10.1 Sub Sektor Lingkungan Hidup 356.880,0 2.639.000,0
102 Sub Sektor Tata Ruang 95.420,0 615.750,0

No. Sektor/Sub Sektor/Program 1994/95 1994/95 — 1998/99


Kode

11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL. KE-


PERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA
ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA 3.061.310.0 20.381.960.0
11.1 Sub Sektor Pendidikan 2.783.331,0 18.557.260,0
11.2 Sub Sektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 194.831,0 1.261.060,0
11.3 Sub Sektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa 52.750,0 338.460,0
11.4 Sub Sektor Pemuda dan Olah Raga 30,398,0 225.180,0
12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA 290.221,0 1.743.120.0
317
316
12.1 Sub Sektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 290.221,0 1.743.120,0
13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN. PE-
RANAN WANITA. ANAK DAN REMAJA 1.031.033,0 6.892.390.0
13.1 Sub Sektor Kesejahteraan Sosial 76.205,0 518.760,0
13.2 Sub Sektor Kesehatan 946.328,0 6.315.790,0
13.3 Sub Sektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja 8.500,0 57.840,0
14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN 887.922.0 5.740.600.0
14.1 Sub Sektor Perumahan dan Permukiman 840.300,0 5.441.510,0
14.2 Sub Sektor Penataan Kota dan Bangunan 47.622,0 299.090,0
15 SEKTOR AGAMA 121.870.0 1.055.540.0
15.1 Sub Sektor Pelayanan Kehidupan Beragarna 22.450,0 175.930,0
15.2 Sub Sektor Pembinaan Pendidikan Agama 99.420,0 879.610,0
16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI 529.805.0 3.627.050.0
16.1 Sub Sektor Teknik Produksi dan Teknologi 147.606,0 986.760,0
162 Sub Sektor Ilmu Pengetahuan Terapan dan Dasar 71.355,0 531.890,0
16.3 Sub Sektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi 107.207,0 733.780,0
16.4 Sub Sektor Kelautan 86.411,0 576.310,0
16.5 Sub Sektor Kedirgantaraan 28.850,0 188.120,0
16.6 Sub Sektor Sistem Informasi dan Statistik 88.376,0 610.190,0
17 SEKTOR HUKUM 111.365.0 814.400.0

17.1 Sub Sektor Pembinaan Hukum Nasional 14.148,0 91.960,0


17.2 Sub Sektor Pembinaan Aparatur Hukum 30.180,0 194.640,0
17.3 Sub Sektor Sarana dan Prasarana Hukum 67.037,0 527.800,0
18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN 556.991.0 3.613.260.0
18.1 Sub Sektor Aparatur Negara 520.054,0 3.373.690,0
182 Sub Sektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan
Pengawasan 36.937,0 239.570,0
19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENE-
RANGAN. KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA 157.335.0 1.036.250.0
19.1 Sub Sektor Politik 2.850,0 18.360,0
19.2 Sub Sektor Hubungan Luar Negeri 3.900,0 29.010,0
19.3 Sub Sektor Penerangan, Komunikasi dan Media Massa 150.585,0 988.880,0
20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 1.154.593.0 7.914.550,0
20.1 Sub Sektor Rakyat Terlatih dan Perlindungan Masyarakat 2.280,0 15.170,0
20.2 Sub Sektor ABRI 1.100.340,0 7.563.640,0
20.3 Sub Sektor Pendukung 51.973,0 335.740,0

JUMLAH 27.398.300,0 175.932.900,0


318 Tabel 5—8
RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN
KEUANGAN NEGARA
Tahun Anggaran 1994/95 dan Repelita VI (1994/95 — 1998/99)

(dalam juta rupiah)


No.
Kode Sektor/Sub Sektor/Program 1994/95 1994/95 — 1998/99

05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA


NASIONAL. KEUANGAN DAN KOPERASI
05.4 Sub Sektor Keuangan

05.4.01 Program Penerimaan Keuangan Negara 8.200,0 49.000,0

Anda mungkin juga menyukai