KEUANGAN NEGARA
BAB 5
KEUANGAN NEGARA
I. PENDAHULUAN
267
kebijaksanaan ekonomi makro yang penting dalam upaya mencapai
tujuan dan sasaran-sasaran pembangunan nasional. Pembangunan
nasional, sesuai dengan amanat Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) 1993, merupakan rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara. Melalui rangkaian upaya pembangunan
tersebut akan diwujudkan tujuan nasional, yaitu melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
268
GBHN 1993 mengamanatkan bahwa pembangunan nasional dalam
PJP II dilaksanakan secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah,
bertahap dan berlanjut untuk memacu peningkatan kemampuan
nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yangsejajar dan
sederajat dengan bangsa lain yang telah maju. Selanjutnya GBHN
1993 juga menggariskan bahwa pembangunan nasional yang
makin meluas dan kompleks dengan penerapan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang makin canggih memerlukan peningkatan
kemampuan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan
pengawasan dalam manajemen pembangunan nasional yang
terpadu, berpijak pada potensi, kekuatan efektif dan kemampuan
dalam negeri yang dilandasi disiplin, tanggung jawab, semangat
pengabdian, dan semangat pembangunan serta kemampuan
profesional yang tinggi.
269
berimbang dan dinamis yang menjamin pemerataan
pembangunan yang meluas, pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi, dan stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis.
270
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan keuangan negara
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada seluruh asas
pembangunan nasional. Untuk itu seluruh sumber kekuatannasional,
baik yang efektif maupun potensial, didayagunakan dengan
memperhatikan seluruh faktor dominan yang dapat mempengaruhi
lancarnya pencapaian sasaran pembangunan, terutama manajemen
nasional sebagai mekanisme penyelenggaraan negara dan
pemerintahan.
271
Perkembangan keuangan negara pada PJP I diawali dengan
kondisi tatanan, perangkat dan kelembagaan dengan daya guna dan
hasil guna yang rendah, seperti tercermin dari tidak adanya
tabungan pemerintah dalam tahun 1968. Dalam perkembangan
selanjutnya, walaupun pengeluaran rutin naik dengan cepat sejak
Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I),
penerimaan dalam negeri masih meningkat jauh lebih cepat,
sehingga tabungan pemerintah terus meningkat pula.
Tabunganpemerintah mulai dihasilkan dalam tahun 1969/70 sebesar
Rp27,2 miliar dan terus meningkat menjadi Rp7.301,3 miliar pada
tahun 1985/86, terutama sebagai akibat dari meningkatnya harga
minyak bumi sampai dengan tahun 1981/82 dan terus
meningkatnya penerimaan pajak sejak itu. Dalam tahun 1986/87
harga minyak bumi merosot dengan tajam sehingga tabungan
pemerintah menurun menjadi Rp2.581,3 miliar. Setelah itu
tabungan pemerintah berangsur-angsur naik lagi, dan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 1993/94
direncanakan sebesar Rp 15.674,1 miliar. Perkembangan
tabungan pemerintah secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 5 -
1.
A. Penerimaan dalam negeri 149,7 967.7 4.266,1 14.432,7 23.004.3 28.739,8 39.546.4 41.584,8 47.452.5 52.700.0
B. Pengeluaran rutin 149,7 713,3 2.743,7 8.411,8 20.739.0 24.331,1 29.997,7 30.227 ,8 34.031.2 37.094,0
C. Tabungan pemerintah 0,0 254,4 1.522.4 6.020,9 2.285,3 4.408,7 9.548,7 11.357,2 13.421,3 15.874,1
D. Dana bantuan luar negeri 57,9 203,9 1.035,5 3.882,4 9.990,7 9.429.3 9.904,8 10.409,1 10.715,7 9.553,1
1. Bantuan program 35,5 89,8 48,2 14,9 2.040,7 1.007,2 1.398.8 1.563,4 511,7 426,8
2. Bantuan proyek 22,4 114,1 987,3 3.887,5 7.950,0 8.422,1 8.507,8 8.845,7 10.204,0 9.126,3
E. Dana pembangunan 57,9 458,3 2.557.9 9.903,3 12.256,0 13.838,0 19.453,3 21.766,3 24.137,0 25.227,2
F. Pengeluaran pembangunan 57,9 450,9 2.555.6 9.899.2 12.250.7 13.834,3 19.452,0 21.764,2 24.134.8 25.227,2
G. Surplus (+)/Defisit (-) + 0,0 +7,4 +2,3 +4,1 +5,3 +3t7 +1,3 +2,1 +2.2 +0,0
273
hasil yang positif pada penerimaan pajak, sehingga penerimaan
nonmigas semakin berperan dibandingkan penerimaan migas sejak
tahun 1986/87. Perkembangan penerimaan migas dan nonmigas
tersebut secara terperinci terlihat pada Tabel 5 - 2.
274
Kebijaksanaan di bidang PPh bertumpu pada ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak. Dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan tahun 1983 ditetapkan penyederhanaan lapisan tarif pajak dari
sepuluh lapisan menjadi tiga lapisan, yaitu 15 persen untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp10
juta, 25 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rpl0 juta sampai dengan Rp50 juta, dan 35 persen
untuk penghasilan kena pajak di atas Rp50 juta. Selain itu, mengingat perkembangan harga-harga umum
yang berkaitan dengan pendapatan riil masyarakat, serta sesuai dengan pasal 7 ayat 3 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983, maka berulang kali telah diadakan perubahan besarnya pendapatan tidak kena
pajak (PTKP), terakhir berdasarkan keputusan Menteri Keuangan Nomor 928 Tahun 1994. Berdasarkan
keputusan tersebut, PTKP seorang wajib pajak yang kawin dengan tiga anak adalah sebesar
Rp5.184.000,-. Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1991 ekstensifikasi wajib
pajakTABEL 5 - 2
REALISASI PENERIMAAN DALAM NEGERI 1)
1968 -1993/94
(miliar rupiah)
1. Penerimaan minyak 33,3 382,2 2.308 ,7 9.520,2 9.527,0 11.252,1 17.711,9 15.039,1 15.330,4 15.127,6
bumi dan gas alam
a. Minyak bumi 33,3 382,2 2.308,7 8.484,9 8.326,3 9.502,0 14.577,5 12.481,3 12.095,0 11.807,3
Jumlah 149,7 967,7 4.266,1 14.432,7 23.004,3 28.739,8 39.546,4 41.584,8 47.452,5 52.769,0
1. Pajak penghasilan 3) 25,3 140,3 617,2 1.932,3 3.949,4 5.487,7 8.755.3 9.580,4 11.912.8 14.848,5
2. Pajak pertambahan nilai 4) 15,2 105,3 346,6 830,6 4.505,3 5.836,7 7.462,7 8.926,1 10.714,4 11.682,8
3. Bea masuk 37,3 128,2 295,3 557,0 1.192,0 1.587,0 2.485,7 2.133,1 2.652,2 3.105,5
4. Cukai 16,8 81,7 252,9 773,2 1.389,9 1.478,8 1.917,3 2.222,8 2.380,8 2.498,2
5. Pajak ekspor 13,9 88,6 168,2 104,0 155,6 171,5 44,2 18,8 8,5 30,0
6. Pajak lainnya 3,4 11,6 19,8 51,5 292,1 275,5 243,5 302,8 359,9 383,8
7. Pajak bumi dan bangunan 5) - 20,0 68,0 144,9 424,2 590,4 811,0 874,6 1.100,6 1.320,1
8. Penerimaan bukan pajak 4,7 49,8 191,4 519,0 1.568,8 2.062,1 2.114,8 2.487,3 2.993,1 3.792,7
Jumlah 118,4 585,5 1.957,4 4.912,5 13.477,3 17.487,7 21.834,5 28.545,7 32.122,1 37.641,4
277
Perkembangan penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB)
menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat seiring dengan
peningkatan nilai jual objek pajak yang senantiasa disesuaikan
dengan perkembangan ekonomi. Sementara itu, dalam rangka
mengurangi beban PBB bagi golongan masyarakat yang berpeng-
hasilan rendah telah dilakukan penyesuaian terhadap batas nilai jual
bangunan tidak kena pajak dari sebesar Rp3,5 juta menjadi Rp7,0
juta, yang berlaku mulai 1 Januari 1992. Selanjutnya, untuk
memberikan kemudahan cara pembayaran PBB, sistem tempat
pembayaran (Sistep) terus dikembangkan dan diharapkan pada
tahun terakhir Repelita V sudah dilaksanakan secara nasional di
seluruh Dati II. Di samping itu dalam rangka lebih meningkatkan
mutu pelayanan kepada wajib pajak, kini sedang dikembangkan
sistem manajemen informasi objek pajak (Sismiop). Berbagai
kebijaksanaan di bidang pajak bumi dan bangunan tersebut telah
menyebabkan penerimaan PBB meningkat dari Rp180,6 miliar
pada tahun 1984/85 menjadi Rpl.100,6 miliar dalam tahun
1992/93, dan dalam APBN 1993/94 direncanakan Rpl.320,1
miliar.
278
Sebagian besar penerimaan cukai berasal dari cukai tembakau
dan sebagian yang lain dari cukai gula, cukai bir, dan cukai alkohol
sulingan. Kebijaksanaan di bidang cukai selalu diselaraskan dengan
program pembangunan industri yang ditujukan untuk memperluas
kesempatan kerja dan berusaha dengan menyediakan barang dan
jasa yang bermutu serta harga yang bersaing di pasar dalam negeri
dan internasional. Dalam hal cukai gula, bir dan alkohol sulingan,
secara periodik telah dilakukan penyesuaian harga dasarnya.
Sejalan dengan pertumbuhan industri rokok, gula, dan bir,
penerimaan cukai telah meningkat dengan pesat dari Rp32,1 miliar
pada tahun 1969/70 dan diperkirakan mencapai Rp2.498,2 miliar
pada tahun 1993/94.
279
sehingga peranan penerimaan migas turun menjadi 48,3 persen dan
penerimaan nonmigas meningkat menjadi 51,7 persen pada tahun
1987/88. Dalam APBN 1993/94 peranan penerimaan nonmigas
menjadi 71,3 persen dan penerimaan migas 28,7 persen terhadap
penerimaan dalam negeri.
1. Belanja pegawai 78,3 268,9 1.001,8 2.757,0 4.998,2 6.201,5 7.053,5 8.102.5 9.465.7 10.894,5
2. Belanja barang 29,1 110,1 4195 1.057,1 1.491,6 1.701,6 1.830,3 2.372.7 2.870,1 2.879,7
a. Dalam negeri 22,7 98,3 398,4 1.007,0 1.378,1 1.569,0 1.689,9 2.217,4 2.680,8 2.785,5
b. Luar negeri 6,4 11,8 21,1 50,1 113,5 132,6 160,4 155,3 189,3 194,2
3. Subsidi daerah otonom 3) 25,5 108,6 522,3 1.547.0 3.037,7 3.566,4 4.236,6 4.834,2 5.283,2 6.028,9
a. Belanja pegawai 4,6 10,3 22,1 41,5 2.778,6 3.338,1 3.961,4 4.519,8 4.906,3 5.651,3
b. Belanja nonpegawai 20,9 98,3 500,2 1.505,5 259,1 228,3 275,2 314,4 376,9 377,6
4. Bunga dan cicilan hutang 10,0 70,7 534,5 2.102,6 10.940,2 11.938,7 13.394,6 13.433,8 15.217.1 16.711,9
a. Dalam negeri 1,9 8,2 8,8 29,8 77,6 148,8 249,5 251,3 275,1 286,1
b. Luar negeri 8,1 62,5 525,7 2.072,8 10.862,6 11.789,9 13.145,1 13.182,5 14.942,0 16.425,8
5. Lain-lain 4) 6,8 155,0 5) 265,8 5) 948,1 271,3 922,9 3.482,7 1.484,4 1.195.1 479,9
Jumlah 149,7 713,3 2.743,7 8.411,8 20.739,0 24.331,1 29.997,7 30.227,6 34.031,2 37.094,9
282
Dana pembangunan yang bersumber dari tabungan pemerintah
dan bantuan luar negeri meningkat dengan pesat sejak Repelita I
dan telah meningkatkan dan memperluas kegiatan
pembangunan. Dana pembangunan meningkat dari Rp57,9
miliar pada tahun 1968 menjadi Rp25.227,2 miliar dalam APBN
1993/94. Alokasi dana pembangunan tersebut selama PJP I
diprioritaskan pada lima sektor, yaitu (1) sektor perhubungan dan
pariwisata, (2) sektor pertambangan dan energi, (3) sektor
pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (4) sektor pertanian dan
pengairan, serta (5) sektor pembangunan daerah, desa, dan kota.
283
Selain digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan
sektoral melalui departemen atau lembaga, pengeluaran
pembangunan dalam rupiah juga dialokasikan bagi program
bantuan pembangunan daerah. Program tersebut dimaksudkan
sebagai usaha untuk menyebarluaskan dan memeratakan
pembangunan di daerah-daerah dalam rangka memperkecil
kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah, serta mendorong
prakarsa dan partisipasi masyarakat di daerah secara lebih nyata
dan bertanggung jawab dalam pembangunan. Program bantuan
pembangunan daerah yang diserahkan langsung oleh pemerintah
pusat kepada daerah hingga saat ini meliputibantuan
pembangunan desa (Inpres Desa), bantuan pembangunan Dati I
(Inpres Dati I), bantuan pembangunan Dati II (Inpres Dati II),
sedangkan beberapa Inpres yang lain tidak sepenuhnya menjadi
tanggung jawab daerah, yaitu bantuan pembangunan sekolah
dasar (Inpres SD), bantuan pembangunan kesehatan (Inpres
Kesehatan), bantuan pembangunan penghijauan dan reboisasi, ,
bantuan pembangunan peningkatan jalan, serta bantuan
pembangunan untuk pemugaran pasar. Agar lebih sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah, serta dalam rangka
meningkatkan otonomi daerah dalam pengelolaan keuangannya,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dari tiap
daerah diikutsertakan secara aktif dalam proses perumusan
program dan perencanaan proyek pembangunan daerah yang
bersangkutan. Di samping berbagai bentuk program bantuan
pembangunan daerah (program Inpres), kepada daerah juga
diberikan dana yang berasal dari bagi hasil penerimaan pajak bumi
dan bangunan (PBB). Dengan berbagai perkembangan tersebut,
maka jumlah anggaran pembangunan bagi daerah, yang
mencakup bantuan pembangunan daerah dan dana bagi hasil PBB,
telah meningkat dengan pesat dari Rp85,7 miliar pada tahun
1973/74 direncanakan menjadi sebesar Rp5.895,9 miliar pada
tahun 1993/94.
1. Tantangan
285
Kebutuhan pembiayaan pembangunan dalam PJP II akan terus
meningkat. Sementara itu, penerimaan negara yang berasal dari
penerimaan migas akan semakin menurun dalam PJP II, karena
semakin berkurangnya produksi minyak bumi. Harga minyak bumi
juga cenderung melemah akibat pasokan berlebih dari negara-
negara penghasil minyak bumi. Demikian juga, dengan penerimaan
dari pinjaman luar negeri terutama pinjaman dengan persyaratan
lunak akan semakin sulit diperoleh mengingat semakin banyak
negara berkembang lain yang membutuhkannya. Dengan
perekonomian Indonesia yang makin berkembang, negara dan
lembaga donor cenderung memberikan pinjaman dengan
persyaratan yang lebih berat. Selain itu, sesuai dengan prinsip
kemandirian yang ingin dicapai dalam PJP II, pembiayaan
pembangunan diupayakan berasal dari dalam negeri.Tantangan
yang dihadapi adalah meningkatkan penerimaan negara dari pajak
dalam rangka membangun perekonomian yang makin andal dan
mandiri.
287
Pengembangan dunia usaha yang kukuh dan andal serta adil dan
saling menunjang diperlukan untuk pembangunan yang mendapat
dukungan masyarakat dan berkesinambungan. Dunia usaha yang
kukuh terbentuk apabila usaha besar saling menunjang dengan
usaha menengah, kecil, dan koperasi yang selain jumlahnya
cukup besar juga dapat diandalkan. Pemerintah pusat dan daerah
melalui penggunaan anggaran belanja negara merupakan sumber
permintaan yang sangat besar akan barang dan jasa dunia usaha.
Dengan demikian, tantangannya adalah agar dunia usaha,
terutama usaha kecil, koperasi dan usaha menengah berpartisipasi
secara optimal dalam kegiatan pembangunan melaluipemanfaatan
atas anggaran belanja negara secara efektif dan efisien.
2. Kendala
3. Peluang
289
Selain itu, upaya pembangunan yang makin terdesentralisasi
sesuai prinsip otonomi daerah yang nyata, serasi, dinamis, dan
bertanggung jawab merupakan peluang bagi peningkatan daya guna
kegiatan pembangunan.
290
Pembangunan sektor keuangan dalam Repelita VI diarahkan pada
peningkatan kemampuan dan efisiensi keseluruhan tatanan,
perangkat, kelembagaan, dan kebijaksanaan keuangan dalam
menunjang kesinambungan pembangunan dan peningkatan
kemandirian bangsa melalui peningkatan kemampuan keuangan
yang makin andal, efisien, dan mampu memenuhi tuntutan
pembangunan, penciptaan suasana yang mendorong tumbuhnya
inisiatif dan kreativitas masyarakat, serta meluasnya peran serta
masyarakat dalam pembangunan dan melalui upaya untuk terus
meningkatkan tabungan nasional sebagai sumber
utamapembiayaan pembangunan. Kebijaksanaan keuangan negara,
moneter, dan neraca pembayaran dilaksanakan secara serasi dalam
rangka mendukung pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
yang makin meluas dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi dan stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis.
Kebijaksanaan keuangan negara harus mendukung dan
mengembangkan hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang
serasi dalam mencapai keseimbangan pembangunan antardaerah
yang mantap dan dinamis.
291
Pengembangan perangkat keuangan negara yang meliputi
perpajakan dan berbagai bentuk pendapatan negara lainnya
dilaksanakan berdasar asas keadilan dan pemerataan dengan
meningkatkan peran pajak langsung sehingga mampu berfungsi
sebagai alat untuk menunjang pembangunan dan meningkatkan
serta memeratakan kesejahteraan rakyat. Sistem dan prosedur
perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara terus
disempurnakan dan disederhanakan dengan memperhatikan
asaskeadilan, pemerataan, manfaat, dan kemampuan masyarakat
melalui peningkatan mutu pelayanan dan kualitas aparat yang
tercermin dalam peningkatan kejujuran, tanggung jawab dan
dedikasi serta melalui penyempurnaan sistem administrasi.
2. Sasaran
Penyusunan APBN merupakan pencerminan dari kebijaksa-
naan keuangan negara. Perkiraan APBN Repelita VI berikut ini
disusun berdasarkan perkembangan keuangan negara selama
Repelita V dan sasaran yang hendak dicapai dalam Repelita VI.
293
Perkiraan APBN selama Repelita VI tersebut didasarkan atas beberapa asumsi, antara lain laju pertumbuhan ekonomi nasional, laju
pertumbuhan inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, serta harga minyak di pasaran internasional. Pertumbuhan ekonomi yang
294 mempengaruhi sisi penerimaan negara meliputi pertumbuhan produksi sektor migas dan berbagai sektor nonmigas, pertumbuhan ekspor dan
impor. Di samping itu, peningkatan daya guna pemungutan tiap jenis perpajakan jugaTABEL5-5
RINGKASAN PERKIRAAN RENCANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
1994/95 -1998/99
(miliar rupiah)
Akhir Repelita VI
Uraian Repelita V *)
1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99 Jumlah
A. Penerimaan Dalam Negeri 52.769,0 59.737,1 66.747,9 74.032,5 84.239,9 97.291,2 382.048,6
D. Dana Bantuan Luar Negeri 9.553,1 10.012,0 11.356,0 12.327,9 13.417,6 14.366,5 61.480,0
295
296 TABEL 5 - 6
PERKIRAAN PENERIMAAN DALAM NEGERI
1994/95 -1998199
(miliar rupiah)
Akhir Repelita VI
Janis Sasaran Repelita V
1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99 Jumlah
1. Penerimaan minyak bumi 15.127 ,6 12.851,2 13.986,1 14.288,4 14.851,1 15.210,3 71.187,1
3. Kebijaksanaan
a. Kebijaksanaan Umum
297
Kegiatan pembangunan yang terus meningkat dengan pesat
membutuhkan dana untuk investasi yang makin besar baik
bersumber dari pemerintah maupun dari masyarakat. Sesuai
amanat GBHN yang bertekad untuk memperbesar kemampuan
membangun atas kekuatan sendiri, sumber dana investasi
sebagian besar akan diupayakan dari dalam negeri. Peningkatan
penerimaan dalam negeri selain untuk mendukung peningkatan
lajupembangunan, juga diarahkan untuk semakin memperbaiki
struktur sumber pembiayaan negara dan memperkecil peranan
sumber dana yang berasal dari luar negeri.
299
Kebijaksanaan pengeluaran pembangunan diarahkan untuk
mendukung tercapainya sasaran-sasaran pembangunan, secara
efisien dan efektif. Pengeluaran pembangunan ditujukan pada
kegiatan-kegiatan yang memang tidak dapat dilaksanakan
dandibiayai sendiri oleh masyarakat dan dunia usaha. Kegiatan
pembangunan tersebut meliputi penyediaan sarana dan prasarana
dasar yang memiliki peran strategis dalam proses pembangunan
serta peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam upaya
pemerataan pembangunan. Selain itu, pengeluaran pembangunan
juga dimaksudkan menunjang kegiatan pembangunan yang dilaksa-
nakan masyarakat, seperti di sektor industri, pertanian, dan
berbagai sektor jasa. Peran dan tanggung jawab daerah dalam
pelaksanaan pembangunan juga akan ditingkatkan.
1) Mengembangkan perpajakan
300
Sumber penerimaan dalam negeri senantiasa didasarkan kepada
penerimaan perpajakan dengan memperhatikan peningkatan
kemampuan pembiayaan oleh masyarakat dan dunia usaha.
Pengembangan perpajakan dilaksanakan berdasar asas keadilan,
asas pemerataan, asas manfaat, dan kepastian hukum dengan
meningkatkan peran pajak langsung agar mampu berfungsi
sebagai alat penunjang pembangunan dan meningkatkan serta
memeratakan kesejahteraan rakyat. Sehubungan dengan
itupengembangan perpajakan diarahkan pada upaya meningkatkan
kemampuan pembangunan; memperkuat struktur dunia usaha
dengan mendukung berkembangnya pengusaha menengah, pengu-
saha kecil dan koperasi; mendorong pengembangan sumber daya
manusia dan teknologi; serta mengembangkan kegiatan ekonomi
secara makin merata. Selain itu, sistem dan prosedur perpajakan
terus disempurnakan dan disederhanakan melalui peningkatan mutu
pelayanan, kualitas aparat serta penyempurnaan sistem administrasi
perpajakan.
301
Peranan PPh sebagai sumber penerimaan pajak yang terbesar
ditingkatkan melalui upaya pembebanan pajak yang lebih adil sesuai
kemampuan masing-masing anggota masyarakat dan sekaligus
menunjang upaya pemerataan, baik melalui ekstensifikasi maupun
intensifikasi pemungutan pajak terutama dari wajib pajak potensial
yang belum secara optimal tergali. Di pihak lain, iklim perpajakan
yang mendukung bagi pengembangan dunia usaha khususnya
investasi tetap akan dijaga dalam rangka peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Administrasi perpajakan yang meliputiberbagai sistem
prosedur dan tata cara pelaksanaan kewajiban dan hak wajib pajak
terus diperbaiki sehingga menjadi lebih efektif dan efisien serta
memberikan kemudahan bagi wajib pajak. Sementara itu, kualitas
pelayanan dan pengawasan yang efektif terhadap wajib pajak secara
keseluruhan makin ditingkatkan.
303
Kebijaksanaan pajak ekspor berorientasi pada peningkatan ekspor
nonmigas, melalui pemberian kemudahan, terutama untuk sektor-
sektor yang memperluas lapangan kerja dan berusaha, dengan
tetap memperhatikan kelestarian sumber daya produksi dan
lingkungan hidup. Selain itu, kemudahan pajak ekspor
jugadiberikan untuk meningkatkan ekspor barang jadi atau
setengah jadi yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi. Dengan
demikian, penerimaan pajak ekspor sangat ditentukan oleh arah
program pengembangan industri yang bertujuan ekspor.
305
Berpijak pada pokok-pokok kebijaksanaan tersebut, alokasi
anggaran belanja rutin dalam Repelita VI diprioritaskan untuk
memberi dukungan pembiayaan secara cukup dan memadai, baik
untuk pembiayaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pelayanan
kepada masyarakat, maupun untuk berbagai program
pembiayaan umum di luar kegiatan pembangunan. Berbagai
pembiayaan tersebut antara lain mencakup pembiayaan program
peningkatan daya guna dan hasil guna aparatur pemerintah, pelak-
sanaan kegiatan pengawasan, pemeliharaan dan pengamanan
berbagai aset negara dan hasil-hasil pembangunan,
sertapemenuhan kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang
dalam upaya menjaga kredibilitas dan kepercayaan dunia terhadap
perekonomian nasional.
4) Membatasi subsidi
Sejalan dengan kebijaksanaan untuk meningkatkan daya guna
alokasi sumber-sumber keuangan negara secara lebih optimal,maka
dalam Repelita VI alokasi pembiayaan bagi subsidi akan semakin
dibatasi. Pemberian subsidi secara terus-menerus, selain dapat
mengakibatkan berbagai distorsi ekonomi berupa tidak terse-
lenggaranya kegiatan konsumsi dan produksi secara wajar, juga
mengakibatkan terhambatnya pemupukan tabungan pemerintah.
307
Titik berat PJP II diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi,
seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
didorong secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu
dengan pembangunan bidang-bidang lainnya dalamrangka
mencapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional, maka prioritas
Repelita VI adalah pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi
dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang
pembangunan lainnya dan peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang dikembangkan sebagai berikut.
309
2) Pembangunan prasarana dan sarana ekonomi
3) Pembangunan daerah
310
Selain melalui program bantuan pembangunan daerah (program
Inpres), dalam rangka desentralisasi dan pemberianotonomi yang
lebih luas kepada daerah, hasil pajak bumi dan bangunan (PBB)
seluruhnya dikembalikan kepada pemerintah daerah, kecuali biaya
yang dibutuhkan untuk pemungutan, yang mekanismenya akan
terus disempurnakan.
311
merupakan sumber permintaan yang sangat besar akan produksi
dan jasa dunia usaha. Pelaksanaan pembangunan diarahkan pada
upaya peningkatan penggunaan produksi dalam negeri dengan
memberi kesempatan berusaha yang lebih besar kepada pengusaha
menengah, pengusaha kecil, dan koperasi, serta pengusaha daerah
atau setempat.
312
Efisiensi dan efektivitas pengeluaran pembangunan akan terus
diupayakan dengan lebih mempertajam alokasi pemanfaatannya
danmeningkatkan mekanisme penggunaan anggaran serta
pengawasannya. Pemberian subsidi akan dibatasi dan secara
bertahap akan dihapuskan. Demikian pula, penyertaan modal
pemerintah pada BUMN akan dilakukan lebih selektif dan
terbatas. Anggaran pembangunan diupayakan agar senantiasa
terarah pada pencapaian sasaran dan digunakan dengan hemat dan
mencegah terjadinya kebocoran.
V. PROGRAM
313
Program ini terutama diarahkan pada upaya pengembangan
perangkat keuangan negara, dan peningkatan koordinasi dengan
instansi-instansi terkait dalam rangka penggalian potensi
penerimaan negara baik antarsektor, antarregional maupun kerja
sama dengan negara-negara lain seperti dalam hal perpajakan dan
berbagai bentuk pendapatan negara lainnya. Sistem danprosedur
perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara terus
disempurnakan dan disederhanakan melalui peningkatan mutu
pelayanan dan kualitas aparat serta penyempurnaan sistem
administrasi. Kegiatan lain yang juga perlu dilakukan ialah
meningkatkan pengawasan dan menumbuhkan kesadaran
masyarakat membayar pajak secara jujur dan bertanggung jawab
misalnya melalui peningkatan penyidikan terhadap wajib pajak,
penerangan, penyuluhan, dan pendidikan.
314
Program ini berorientasi pada pengawasan dan peningkatan daya
guna aset negara. Untuk ini perlu diupayakan administrasi
kekayaan milik negara yang semakin andal. Program ini juga
berorientasi pada upaya peningkatan daya guna dan
produktivitasBUMN, sebagai salah satu kekayaan negara. Investasi
BUMN dan sumber pembiayaannya perlu dituangkan dalam suatu
rencana menyeluruh yang dirumuskan secara cermat dan
diserasikan dengan kebijaksanaan keuangan negara dan moneter
sehingga pengelolaan keseimbangan ekonomi makro makin efektif.
Bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan berorientasi antara lain
pada penyempurnaan dan pengembangan BUMN, penatausahaan
pinjaman BUMN, dan penyempurnaan sistem keuangan BUMN.
315
Tabel 5—7