Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Upaya pencapaian tujuan bernegara sangat memerlukan peran
pemerintahan yang baik, bersih dan melayani. Sebagai salah satu
prioritas, upaya ini dilakukan dengan penekanan pada pembangunan
aparat negara melalui pelaksanaan reformasi birokrasi yang berdasarkan
pada prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance).
Aparat pelaksana birokrasi pemerintahan di Indonesia tergabung dalam
satu wadah yaitu Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).
Indonesia sudah mengalami beberapa perubahan dalam sistem
pemerintahan. Pada periode pertama, Indonesia menganut sistem
demokrasi parlementer atau demokrasi liberal. Pada masa ini kabinet-
kabinet jatuh bangun hingga presiden mengeluarkan dekrit mengenai
pembubaran konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak
diberlakukannya UUDS 1950. Demokrasi liberal akhirnya diganti dengan
demokrasi terpimpin.
Demokrasi terpimpin berjalan semenjak mulai diberlakukannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada demokrasi terpimpin banyak terjadi
penyelewengan seperti Politik Bebas Aktif diganti Politik Nefo Oldefo dan
dominasi Presiden dalam pemerintahan. Tanggal 9 Febuari 1967/DPR-GR
memberhentikan Soekarno sebagai presiden dan berakhir masa
demokrasi terpimpin.
Pelantikan Soeharto sebagai presiden menandai dimulainya Orde
Baru. Pada masa ini sistem ketatanegaran dibangun yang berdasar UUD
1945. Praktek penyelenggaran birokrasi masa Orde Baru berujung pada
maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Turunnya Soeharto pada
tanggal 21 Mei 1998 dari jabatan presiden sebagai buah demonstrasi oleh
mahasiswa menandai akhir masa Orde Baru dan dimulainya masa Orde
Reformasi.

1
Pada masa orde Reformasi inilah terjadi perubahan mendasar tata
pemerintahan di Indonesia. Undang Undang Dasar 1945 mengalami
amandemen, diberlakukannya otonomi daerah dan struktur kelembagaan
negara mengalami perubahan. Rentetan perubahan rezim di Indonesia
sudah barang tentu mengubah paradigma, perilaku dan jiwa para aparat
birokrasi (KORPRI).
Dalam implementasinya, pelaksanaan reformasi birokrasi
difokuskan pada upaya penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan;
peningkatan kualitas sumber daya manusia yaitu aparat birokrasi agar
memiliki kinerja yang optimal dengan disertai upaya perbaikan tingkat
kesejahteraan; peningkatan kualitas pelayanan publik, baik pelayanan
dasar maupun pelayanan lainnya; dan pengembangan sistem
pengawasan dan pemeriksaan yang efektif, serta peningkatan
akuntabilitas kinerja birokrasi pemerintah. Hasil yang diharapkan adalah
terciptanya sosok dan perilaku birokrasi (yang dijalankan oleh KORPRI)
yang memiliki jiwa lebih profesional, bertanggung jawab, efisien dan
efektif, bersih, bebas korupsi kolusi nepotisme (KKN), dan dapat
memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat.
Salah satu agenda pembangunan nasional yaitu menciptakan tata
pemerintahan yang baik, bersih, dan melayani sebagai upaya untuk
mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) bukanlah
pekerjaan yang mudah. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih tinggi,
Indonesia dinyatakan sebagai negara yang gagal, dan sehari-hari media
massa menyuguhi kita tentang banyaknya korupsi yang dilakukan oleh
aparat birokrasi dari tingkat pusat hingga daerah yang adalah anggota
KORPRI. Dengan demikian terdapat masalah yang sangat penting dalam
membangun reformasi birokrasi yaitu “bagaimana mewujudkan
pemantapan jiwa Korps Pegawai Republik Indonesia guna mempercepat
reformasi birokrasi untuk mewujudkan good governance?”

2
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dikaji dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana memantapkan jiwa Korps Pegawai Republik Indonesia
guna mempercepat reformasi birokrasi melalui prinsip-prinsip good
governance?
2. Bagaimana pelaksanaan jiwa Korps Pegawai Republik Indonesia
guna mempercepat reformasi birokrasi melalui prinsip-prinsip good
governance?
3. Apa saja kendala pemantapan jiwa Korps Pegawai Republik
Indonesia guna mempercepat reformasi birokrasi melalui prinsip-
prinsip good governance?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai oleh tulisan ini adalah:
1. Mendeskripsikan pemantapkan jiwa Korps Pegawai Republik
Indonesia guna mempercepat reformasi birokrasi melalui prinsip-
prinsip good governance.
2. Mendeskripsikan pelaksanaan jiwa Korps Pegawai Republik Indonesia
guna mempercepat reformasi birokrasi melalui prinsip-prinsip good
governance.
3. Mendeskripsikan kendala pemantapan jiwa Korps Pegawai Republik
Indonesia guna mempercepat reformasi birokrasi melalui prinsip-
prinsip good governance.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang hendak dicapai oleh tulisan ini adalah:
1. Bagi anggota Korps Pegawai Republik Indonesia
Dapat menjadi acuan reformasi diri dalam melaksanakan tugas
sebagai aparat birokrasi dalam melakukan pelayanan publik guna
terwujudnya good governance.
2. Bagi organisasi Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI)

3
Dapat menjadi bahan kajian dalam upaya meningkatkan reformasi
peran serta anggotanya dan kelembagaan sebagai wadah aparat
birokrasi dan terwujudnya good governance.
3. Bagi Pemerintah
Dapat menjadi sumbangsih pemikiran dalam upaya reformasi
meningkatkan kinerja aparat birokrasi dan terwujudnya good
governance.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Memantapkan Jiwa Korps Pegawai Republik Indonesia Guna


Mempercepat Reformasi Birokrasi Melalui Prinsip-prinsip Good
Governance

Tata pemerintahan yang baik (good governance) merupakan


suatu konsep yang di pandang sebagai suatu aspek yang menekan pada 
peran manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas
kepada masyarakat, mendorong, meningkatkan, dan menciptakan
pengelolahan manajerial yang bersih serta bebas dari korupsi. Keinginan
pemerintah untuk melaksanakan good governance telah sering terucap di
kalangan pemimpin di berbagai forum. Sebagai pelaksana birokrasi,
Korpri harus yakin bahwa good governance adalah cara terbaik untuk
melakukan reformasi birokrasi yang dicita-citakan yaitu tercapainya Indeks
Tata Pemerintahan yang Baik (Good Public Governance Index).
1. Prinsip good governance menurut Lenvine
Pelayanan publik dalam negara demokrasi dengan meminjam
pendapat Lenvine harus memenuhi tiga indikator:
a). Responsivitas, yaitu daya tanggap penyedia layanan terhadap
harapan, keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan,
b). Responsibilitas, yaitu suatu ukuran yang menunjukkan seberapa
jauh proses pemberian layanan publik itu dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan
organisasi yang benar dan telah ditetapkan,
c). Akuntabilitas, yaitu suatu ukuran yang menunjukkan seberapa
besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan
kepentingan stakeholders dan norma-norma yang berkembang
dalam masyarakat.

5
2. Prinsip good governance menurut Kepmenpan 81/1995
Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Kepmenpan)
81/1995, menyebutkan bahwa kinerja organisasi publik dalam
memberikan pelayanan harus mengandung beberapa indikator,
seperti:
a) Kesederhanaan, yaitu prosedur atau tata cara pelayanan umum
harus didesain sedemikian rupa menjadi mudah, lancar, cepat,
tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
b) Kejelasan dan kepastian tentang tata cara, rincian biaya layanan
dan cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan,
dan unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung
jawab dalam memberikan pelayanan umum.
c) Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas
pada pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan.
d) Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan dapat mengetahui seluruh
informasi yang dibutuhkan secara mudah dan jelas (informasi tata
cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain).
e) Efisiensi, yaitu persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada
hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran
pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara
persyaratan dan produki layanan publik yang diberikan. Perlu
dicegah adanya pengulangan di dalam pemenuhan kelengkapan
persyaratan.
f) Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan ditetapkan
secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan
kemampuan pelanggan untuk membayar.
g) Keadilan yang merata, yaitu cakupan atau jangkauan pelayanan
umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang
merata dan diperlakukan secara adil.
h) Ketepatan waktu, yaitu agar pelaksanaan pelayanan umum dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

6
3. Prinsip good governance menurut Masyarakat Transparansi Indonesia
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) mengemukakan prinsip-
prinsip good governance sebagai berikut.
a) Partisipasi
Mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan,
yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Jalur komunikasinya meliputi pertemuan umum, temu wicara,
konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis maupun tidak
tertulis.
Instrumen dasarnya adalah peraturan yang menjamin hak untuk
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan.
Indikator ketercapaiannya adalah meningkatnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah, meningkatnya jumlah masyarakat
yang berpartisipasi dalam pembangunan daerah, meningkatnya
kuantitas dan kualitas masukan (kritik dan saran) untuk
pembangunan daerah dan terjadinya perubahan sikap masyarakat
menjadi lebih peduli terhadap setiap langkah pembangunan.
b) Penegakan hukum
Mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua
pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Pemerintah melalui aparat birokrasi (anggota KORPRI) harus
mendukung tegaknya supremasi hukum dengan melakukan
berbagai penyuluhan peraturan perundang-undangan dan
menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat yang adil dan tepat serta menghilangkan kebiasaan
yang dapat menimbulkan KKN.
Instrumen dasarnya adalah peraturan perundang-undangan yang
ada, dengan komitmen politik terhadap penegakan hukum maupun

7
keterpaduan dari sistem yuridis (kepolisian, pengadilan dan
kejaksaan).
Indikator ketercapaiannya adalah berkurangnya praktek KKN dan
pelanggaran hukum, meningkatnya proses penegakan hukum,
berlakunya nilai/norma di masyarakat (living law) dan adanya
kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum sebagai
pembela kebenaran.
c) Transparansi
Menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan
memadai.
Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya. Pemerintah perlu
mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur,
leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi
nasional/lokal.
Instrumen dasarnya adalah peraturan yang menjamin hak untuk
mendapatkan informasi.
Indikator ketercapaiannya adalah bertambahnya wawasan,
pengetahuan masyarakat dan meningkatnya terhadap
penyelenggaraan pemerintahan.
d) Kesetaraan
Memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat
untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Tujuannya untuk menjamin kepentingan pihak-pihak yang kurang
beruntung, seperti masyarakat miskin dan lemah, kaum minoritas,
dan kesetaraan terhadap wanita dalam lembaga eksekutif dan
legislatif.
Instrumen dasarnya adalah peraturan perundang-undangan yang
menjamin kesetaraan, dengan komitmen politik terhadap
penegakan dan perlindungan HAM.

8
Indikator ketercapaiannya adalah berkurangnya kasus diskriminasi,
adanya kesetaraan jender, dan meningkatnya pengisian jabatan
sesuai ketentuan.
e) Daya tanggap
Meningkatkan kepekaan jiwa para penyelenggara pemerintahan
terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali.
Pemerintah membangun jalur komunikasi untuk menampung
aspirasi masyarakat dalam hal penyusunan kebijakan. Ini dapat
berupa forum masyarakat, talk show, layanan hotline, prosedur
komplain.
Instrumen dasarnya adalah komitmen politik untuk menerima
aspirasi dan mengakomodasi kepentingan masyarakat. Instrumen
pendukungnya antara lain penyediaan fasilitas komunikasi, kotak
saran dan layanan hotline, prosedur dan fasilitas pengaduan dan
prosedur banding pada pengadilan.
Indikator ketercapaiannya adalah meningkatnya kepercayaan
masyarakat pada pemerintah, tumbuhnya kesadaraan masyarakat,
meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam
pembangunan dan berkurangnya jumlah pengaduan.
f) Wawasan ke depan
Membangun berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan
mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan,
sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab
terhadap kemajuan daerahnya.
Tujuannya untuk memberikan arah pembangunan secara umun
sehingga dapat membantu dalam penggunaan sumberdaya secara
lebih efektif. Instrumen dasarnya adalah komitmen politik pada
masa depan Indonesia secara umum dan masa depan daerah
secara khusus.
Indikator ketercapaiannya adalah adanya visi dan strategi yang
jelas dan mapan dengan kekuatan hukum yang sesuai, adanya
dukungan dari pelaku dalam pelaksanaan visi dan strategi dan

9
adanya kesesuaian dan konsistensi antara perencanaan dan
anggaran.
g) Akuntabilitas
Meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam
segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Seluruh pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus
memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil
kerja kepada masyarakat. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan
hasil audit harus dipublikasikan, dan apabila terdapat kesalahan
harus diberi sanksi.
Instrumen dasarnya adalah peraturan perundang-undangan yang
ada, dengan komitmen politik akan akuntabilitas maupun
mekanisme pertanggungjawan. Instrumen pendukungnya adalah
pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja
penyelenggara pemerintahan dan sistem pengawasan dengan
sanksi yang jelas dan tegas.
Indikator ketercapaiannya adalah meningkatnya kepercayaan dan
kepuasan masyarakat terhadap pemerintah, tumbuhnya kesadaran
masyarakat, meningkatnya keterwakilan berdasarkan pilihan dan
kepentingan masyarakat, dan berkurangnya kasus-kasus KKN.
h) Pengawasan
Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan
keterlibatan swasta dan masyarakat luas.
Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga berwenang perlu
memberi peluang bagi masyarakat dan organisasi masyarakat
untuk berpartisipasi aktif dalam pemantauan, evaluasi, dan
pengawasan kerja, sesuai bidangnya.
Instrumen dasarnya adalah peraturan perundangan-undangan
yang ada dengan disertai komitmen politik.
Indikator ketercapaiannya adalah meningkatnya masukan dari
masyarakat terhadap penyimpangan (kebocoran, pemborosan,

10
penyalahgunaan wewenang, dll.) melalui media massa dan
berkurangnya penyimpangan.
i) Efesiensi dan efektifitas
Menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan
mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan
bertanggungjawab.
Pelayanan masyarakat harus mengutamakan kepuasan
masyarakat, dan didukung mekanisme penganggaran serta
pengawasan yang rasional dan transparan. Desentralisasi
kewenangan layanan masyarakat sampai tingkat keluruhan/desa.
Instrumen dasarnya adalah komitmen politik sedangkan instrumen
pendukungnya adalah struktur pemerintahan yang sesuai
kepentingan pelayanan masyarakat, adanya standar-standar dan
indikator kinerja untuk menilai efektivitas pelayanan, pembukuan
keuangan yang memungkinkan diketahuinya satuan biaya, dan
adanya survei-survei kepuasaan konsumen.
Indikator ketercapaiannya adalah meningkatnya kesejahteraan dan
nilai tambah dari pelayanan masyarakat, berkurangnya
penyimpangan pembelanjaan, berkurangnya biaya operasional
pelayanan dan mendapatkan ISO pelayanan. Dilakukannya
swastanisasi dari pelayanan masyarakat.
j) Profesionalisme
Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan
agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan
biaya yang terjangkau.
Tujuannya adalah menciptakan birokrasi profesional yang dapat
efektif memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini perlu didukung
dengan mekanisme penerimaan staf yang efektif, sistem
pengembangan karir dan pengembangan staf yang efektif,
penilaian, promosi, dan penggajian staf yang wajar.
Instrumen dasarnya adalah komitmen politik sedangkan instrumen
pendukungnya adalah sistem pendidikan birokrat, penerimaan,

11
penempatan, evaluasi dan pola karir pegawai yang baik, standar-
standar dan indikator kinerja, sistem penghargaan, sistem sanksi
dan sistem pembangunan sumber daya manusia.
Indikator ketercapaiannya adalah meningkatnya kesejahteraan dan
nilai tambah dari pelayanan masyarakat, berkurangnya pengaduan
masyarakat, berkurang KKN, mendapatkan ISO pelayanan, dan
dilakukannya “fit and proper test” terhadap PNS.
Prinsip-prinsip yang telah dikemukakan di atas harus dimatangkan
dan dimantapkan sebagai jiwa seluruh anggota KORPRI dan jiwa
KORPRI sebagai lembaga yang mewadai aparat negara atau para pelaku
birokrasi. Kesadaran bahwa good governance sebagai prinsip yang harus
dimantapkan menuju tata pemerintahan yang baik yang mewujudkan
birokrasi yang baik, bersih, dan melayani sebagai wujud reformasi
birokrasi.

B. Pelaksanaan Jiwa Korps Pegawai Negeri Sipil Indonesia Guna


Mempercepat Reformasi Birokrasi Melalui Prinsip-prinsip Good
Governance

Pelaksanaan suatu konsep atau prinsip dalam kajiannya tentu


banyak muncul persoalan atau kritikan karena antara praktek dengan teori
kadangkala tidak sejalan. Dalam tataran teori baik tetapi ketika dalam
pelaksanaan teknis menjadi kurang sesuai, tidak efektif dan kurang
efisien. Unsur utama dalam good governance adalah birokrasi yang
efisien. Citra birokrasi di masyarakat umumnya terlihat kurang baik.
Secara sinis sering dikatakan bahwa motto sebagai jiwa birokrasi adalah
“Kalau bisa dibuat sulit untuk apa dimudahkan”. Birokrasi dikesankan
sebagai sebuah rantai yang amat panjang atau pos dari sebuah
perjalanan yang panjang. Di setiap pos mereka yang berurusan dengan
birokrasi harus mau berpayah-payah atau memberi sejumlah pelicin untuk
masuk ke pos berikutnya. Istilah umumnya adalah uang administrasi.
Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat karena kondisi inilah
yang secara empiris dirasakan oleh mereka, yaitu selalu ada uang

12
administrasi untuk menghadapi dan menyelesaikan birokrasi. Padahal
khittah dari birokrasi adalah adanya pembagian tugas yang jelas untuk
memudahkan pelayanan masyarakat. Bukan untuk mempersulit apalagi
menghambat masyarakat yang memiliki urusan.
Dalam era otonomi daerah, peran pengambil kebijakan untuk
mengontrol berjalannya birokrasi dengan baik amat dimungkinkan. Ini
berkait dengan wewenang yang dimiliki daerah seperti memiliki
kewenangan mengadakan rekrutmen birokrat (PNS).
Era otonomi daerah rembesanya dapat dirasakan dalam
pelaksananan sistem pemerintahan. Di samping membuka banyak
kesempatan untuk kondisi lebih baik, juga adalah kesempatan bagi
munculnya raja-raja kecil yang amat berkuasa. Raja kecil itu bisa berupa
pemerintah daerah, DPRD, partai politik, pengusaha atau bisa jadi
pemimpin informal. Yang jelas kekahawatiran munculnya pemimpin
informal ini adalah ketika hukum tak mampu menyentuh mereka bahkan
berada di tapak kaki mereka.
Sumbangan dari compang-campingnya kondisi hukum ini amat
besar terhadap keterpurukan bangsa Indonesia. Bagaimana sebuah
investasi dapat masuk bila tak ada kepastian hukum, besarnya uang
keamanan dan lain-lain. Birokrasi tidak dapat bersih bila setiap
pelanggaran tak pernah ditindaklanjuti dan malah menjadi habit. Artinya
unsur supremasi hukum menjadi prasyarat bagi unsur yang lain dalam
good governance.
Sudah bukan jamannya lagi penyelenggara negara menjadi
menara gading. Ia harus menjadi mitra yang tersentuh masyarakat.
Semangat dari otonomi daerah salah satunya adalah mendekatkan antara
pengambil kebijakan terhadap masyarakatnya. Penyelenggara daerah di
tingkat lokal dianggap mampu memahami dan mengartikulasikan berbagai
permasalahan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Tetapi
bukan berarti yang terjadi adalah sentralisme pemerintah daerah, karena
jiwa yang lain dari otonomi daerah adalah terberdayakannya masyarakat.
Political will dari penyelenggara pemerintahan daerah menjadi amat

13
penting dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Penyelenggara
pemerintahan daerah harus mau untuk dikontrol oleh masyarakat dan
masyarakat harus mau peduli terhadap permasalahan pemerintahan.
Dalam reformasi birokrasi, peranan pemimpin sangat strategis.
Keberhasilan birokrasi dalam menjalankan tugas-tugasnya sangat
ditentukan oleh kualitas pemimpinnya. Jika diidentifikasi secara umum
terdapat beberapa fenomena kepemimpinan pada birokrasi, di antaranya:
1. Pemimpin birokrasi dalam menjalankan roda birokrasi pada umumnya
belum digerakkan oleh visi dan misi. Akan tetapi, senantiasa masih
digerakkan oleh peraturan yang sangat kaku. Akibatnya, pemimpin
tidak dapat mengembangkan potensi organisasi, serta tidak mampu
menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan eksternal dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat.
2. Pemimpin birokrasi lebih mengandalkan kewenangan formal yang
dimilikinya. Kekuasaan menjadi kekuatan dalam menggerakkan
bawahan untuk memenuhi berbagai kepentingan pemimpin.
3. Rendahnya kompetensi pemimpin birokrasi. Hal ini terlihat dari pola
promosi dari birokrasi yang kurang mempertimbangkan kompetensi
pejabat yang akan ditempatkan pada suatu jabatan struktural.
Promosi dilakukan atas dasar kepangkatan, golongan dan ruang serta
hasil penilaian kinerja melalui DP-3. Indikator-indikator seperti ini tidak
memiliki basis penilaian yang rasional. Dasar kepangkatan dan
golongan hanya diukur dengan indikator formal berupa latar belakang
pendidikan dan lama bekerja.
4. Lemahnya akuntabilitas pemimpin birokrasi. Tidak adanya tranparansi
pertanggungjawaban publik atas apa yang telah dilakukan oleh
birokrasi. Seharusnya akuntabilitas ini penting dilakukan agar
masyarakat dapat memberikan koreksi dan kontrol terhadap kinerja
birokrasi.
Demikian juga halnya dengan sumberdaya manusia yang ada
dalam birokrasi. Keberadaan jumlah PNS sebagai anggota KORPRI dari
tahun ke tahun pertumbuhannya selalu mengalami peningkatan.

14
Rendahnya kualitas dan ketidaksesuaian kompetensi yang dimiliki
menjadi penghalang dalam mewujudkan good governance. Itulah realita
yang terjadi. Karena itu, kondisi birokrasi saat ini ditinjau dari aspek
kelembagaannya masih jauh dari kondisi ideal. Kelemahan ini secara
akumulatif telah mengakibatkan krisis kepercayaan terhadap birokrasi
oleh masyarakat sebagai pengguna jasa layanan.
Kecenderungan utama birokrasi lebih mengutamakan pendekatan
struktural daripada pendekatan fungsional dalam penyusunan organisasi.
Sehingga benturan dan tarik-menarik kewenangan menjadi sulit
dihindarkan. Begitu pula dengan besaran organisasi belum mengarah
pada proposional akan tugas dan fungsi birokrasi sebagai lembaga
pemberi layanan pada masyarakat.
Dalam pelaksaaan otonomi daerah pemerintahan selalu berupaya
untuk mewujudkan kondisi yang kondusif untuk tercapainya good local
governance. Upaya tersebut terlihat dengan dilakukanya penyempurnaan
berbagai peraturan perundangan yang ada misalnya, UU No. 17 Tahun
2003 tentang keuangan negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang
perbendaharaan Negara, UU No. 25 Tahun 2004 tentang sistem
perencanaan pembangunan nasional, UU No. 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
Dengan dikeluarkanya undang-undang di atas pada prinsipnya
memberikan peluang pada daerah untuk menyusun perencanaan
pembangunan secara otonom dan partisipatif agar pelaksanaan otonomi
daerah dapat berjalan dan berkembang serta terciptanya tata
pemerintahan daerah yang baik (good local governance).
Pendeknya, pelaksanaan reformasi birokrasi merupakan suatu
proses perubahan sosial dan kebudayaan. Dibutuhkan kesadaran jiwa
untuk berubah. Kesadaran bahwa reformasi birokrasi adalah mengubah
diri (anggota dan lembaga KORPRI) dan lembaga birokrasi sesuai dengan
peraturan dan norma yang telah disepakati. Yakin bahwa reformasi
birokrasi merupakan jalan menuju good governance. Dengan demikian

15
tata pemerintahan yang baik, bersih dan melayani terwujud karena
KORPRI mewujudkannya. Perilaku yang sesuai dengan perananya selaku
abdi negara dan masyarakat. Keseluruhan perilaku para anggota birokrasi
tercermin pada pelayanan pada seluruh masyarakat. Karena penerapan
prinsip fungsionalisasi, spesialisasi dan pembagian tugas, sudah barang
tentu menjadi bagian masyarakat suatu lembaga tertentu.

C. Kendala Pemantapan Jiwa Korps Pegawai Republik Indonesia


Guna Mempercepat Reformasi Birokrasi Melalui Prinsip-prinsip
Good Governance

Pelayanan publik (publik services) merupakan salah satu


perwujudan dari fungsi aparat negara sebagai abdi masyarakat dan
negara. Dalam pelaksanaan good governance masih dirasakan belum
terwujudnya reformasi birokrasi menuju tata pemerintahan yang baik,
bersih, dan melayani. Birokrasi yang berjalan masih banyak yang belum
efesien, masih membutuhkan waktu yang lama, masih berbelit belit,
ketika ada hubungan kekerabatan baru pelayanannya berkualitas, tidak
terjadi transparansi keuangan negara, bahkan akuntabilitas masih belum
baik. Karena itu, tidak terlalu mengejutkan jika Indonesia dikategorikan
sebagai suatu pemerintahan yang buruk (bad governance). Kesulitan
reformasi birokrasi disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu (1) warisan
sejarah (historical institutionalism) yang melingkupi birokrasi sejak masa
kemerdekaan hingga sekarang; (2) kuatnya intervensi politik atas
birokrasi; dan (3) melemahnya posisi tawar birokrasi terhadap partai
politik.
Media massa setiap hari memuat masih banyaknya terjadinya
korupsi di hampir semua birokrasi yang menandakan sistem tata
pemerintahan belum efektif. Di era otonomi terbukti terjadi korupsi di
daerah secara berjemaah, berbeda dengan rezim orde baru di mana
korupsi hanya di pusat. Artinya, seolah-olah otonomi daerah memberi
peluang pemindahan korupsi dari pusat kepada daerah. Korupsi telah
menjadi patologi birokrasi. Dengan kata lain, teramat penting untuk

16
mengupayakan agar para anggota KORPRI menghindari perilaku yang
tidak sesuai dengan perananya selaku abdi negara dan masyarakat.
Pemahaman tentang perilaku dalam kaitanya pada birokrasi, dikaji dari
sudut pandang etos kerja, kultur organisasi dan kultur sosial secara luas.
Banyaknya permasalahan birokrasi tersebut di atas, belum
sepenuhnya teratasi baik secara internal maupun eksternal.
Permasalahan internal birokrasi antara lain:
1. Pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan dan masih
banyaknya praktek KKN;
2. Rendahnya kinerja sumberdaya manusia dan kelembagaan aparatur;
3. Rendahnya efisiensi dan efektifitas kerja;
4. Rendahnya kualitas pelayanan umum;
5. Rendahnya kesejahteraan PNS; dan
6. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai
dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
Dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi
informasi (e-government) merupakan tantangan tersendiri dalam upaya
menciptakan pemerintahan yang bersih, baik dan melayani. Hal tersebut
terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan
faktor lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan cepat.
Makin derasnya arus informasi dari manca negara yang dapat
menimbulkan infiltrasi budaya dan terjadinya kesenjangan informasi dalam
masyarakat (digital divide). Perubahan-perubahan ini, membutuhkan
aparatur negara yang memiliki kemampuan pengetahuan dan
keterampilan yang handal untuk melakukan antisipasi, menggali potensi
dan cara baru dalam menghadapi tuntutan perubahan, baik sosial maupun
budaya.
Dalam aspek pengawasan dan akuntabilitas, berbagai
permasalahan utama yang dihadapi disebabkan oleh antara lain:
1. Masih rendahnya kompetensi sumberdaya manusia aparatur
pengawasan terutama di lingkungan pemerintah daerah;

17
2. Masih rendahnya tindak lanjut hasil pengawasan dan pemeriksaan
untuk perbaikan kinerja dan manajemen pemerintahan;
3. Belum adanya standar baku dan penerapan sistem penghargaan dan
sanksi kepada pejabat negara dan pegawai negeri; serta
4. Belum optimalnya penerapan pengendalian intern di lingkungan
instansi pemerintah;
5. Belum optimalnya sinergi antara kegiatan pengawasan internal dan
eksternal;
6. Belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan.
Selanjutnya, upaya mewujudkan reformasi birokrasi yang baik,
bersih dan melayani masih dihadapkan pula pada permasalahan
kelembagaan, yaitu antara lain:
1. Struktur organisasi pemerintah yang masih cenderung gemuk serta
belum dilandasi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang ada.
Akibatnya, banyak terjadi tumpang tindih tupoksi, baik dalam
lingkungan intansi tersebut maupun dengan instansi lainnya.
2. Implikasi kebijakan otonomi daerah, pada beberapa daerah
berkembang “egoisme kedaerahan dan politisasi” dalam pembinaan
PNS di daerah-daerah.

18
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Memantapkan jiwa Korp Pegawai Republik Indonesia guna
mempercepat reformasi birokrasi pada hakekatnya adalah upaya
membangun good governance atau tata pemerintahan yang baik dan
mencakup pula upaya membangun sistem nilai dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Hal penting bagi KORPRI sebagai abdi negara dan
masyarakat sekaligus pelaku birokrasi yang mampu mereformasi diri
adalah:
1. Anggota maupun kelembagan Korps Pegawai Republik Indonesia
harus mantap dengan dan menerapkan prinsip-prinsip good
governance guna mewujudkan reformasi birokrasi yang baik, bersih
dan melayani.
2. Dinamika pelaksanaan good governance oleh Korps Pegawai
Republik Indonesia dijiwai sebagai dinamika perubahan sosial dan
menjiwai dirinya sebagai agen perubahan.
3. Kendala yang dihadapi dalam memantapkan jiwa Korps Pegawai
Republik Indonesia guna mempercepat reformasi birokrasi menuju
good governance harus diwaspadai sebagai patologi kultural, sosial,
intern dan ekstern birokrasi.

B. Saran
Era globalisasi menuntut banyak perubahan di segala bidang, tidak
terkecuali Korps Pegawai Republik Indonesia yang berbenah diri
memantapkan jiwanya sebagai pelaku birokrasi mereformasi diri. Oleh
karena itu di sarankan:
1. Anggota Korps Pegawai Republik Indonesia adalah hamba Allah oleh
karena itu segala perbuatanya menjunjung tinggi Tuhannya dan
memuliakan manusia lain.

19
2. Terus menerus memantapkan jiwa dan dirinya sebagai anggota Korps
Pegawai Republik Indonesia yang terus menerus mereformasi dirinya
menjadi lebih baik sesuai standar peraturan dan norma yang berlaku.

20
DAFTAR RUJUKAN

Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui


Pelayanan   Publik. Jakarta: Gadjah Mada University Press.

Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Raja Wali
Press.

Widodo, Widodo. 2001. Good Governance, Akuntabilitas dan Kontrol


Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otoda. Jakarta: Insan
Cendikia.

Jurnal forum inovasi dan Capacity Building dan Good Governance


Refleksi Otoda. Vol 3:Juni/ diunduh Agustus 2012.

Sulistiyani, Ambar T. 2004. Memahami Good Governance dalam


Perspektif Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Penerbit Gava
Media.

LAN. 2003. Penyusunan Standard Pelayanan Publik. Jakarta: LAN.

Tjokrowinoto, Moeljarto. 2004. Birokrasi dalam Polemik. Malang: Penerbit


Pustaka Pelajar.

Utomo, Warsito. 2001. Reformasi Birokrasi. Hand-out, Program


Admnistrasi Negara, Program Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai