Anda di halaman 1dari 10

Nama : Damentaria Br.

Perangin – angin
Npm :181214007
Kelas : 5A
Prodi : Pbsi
Mata kuliah: Psikolinguistik

Ringkasan dari sebuah jurnal membahas landasan neurologi pada bahasa

LANDASAN NEUROLOGIS PADA MANUSIA

Neurologi mempunyai kaitan erat dengan bahasa karena kemampuan manusia berbahasa
ternyata bukan hanya karena lingkungan tetapi karena kodrat neurologis yang dibawanya
sejak lahir. Betapa besar peranan otak kita di dalam pemerolehan, pemahaman, dan
pemakaian bahasa. Proses bahasa itu dimulai dari enkode semantik, enkode gramatika, dan
enkode fonologi, lalu dilanjutkan dengan dekode fonologi, dekode gramatikal, dan diakhiri
dengan dekode semantik bahkan pragmatik.

1. Evolusi Otak Manusia

Menurut KBBI (2005:311) evolusi adalah perubahan (pertumbuhan, perkembangan) secara


berangsur-angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit). Otak adalah alat sentral
supervisor dari sistem saraf yang mengatur dan mengkoordinasi sebagian besar gerakan,
perilaku, dan fungsi tubuh homeotasis seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan
tubuh dan suhu tubuh serta bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi, ingatan,
pembelajaran motorik dan segala bentuk pembelajaran atau fungsi lainnya. Jadi, evolusi otak
adalah perubahan secara perlahan fungsi otak baik itu dalam proses pengenalan, emosi,
ingatan, pembelajaran motorik yang merupakan perubahan sifat-sifat yang terwariskan dari
generasi sebelumnya yang berlangsung secara bertahap.

Manusia tumbuh kembang secara bertahap dari suatu bentuk ke bentuk yang lain selama
berjuta-juta tahun. Salah satu pertumbuhan yang telah diselidiki oleh para ahli palaeneurologi
menunjukkan bahwa evolusi otak dari primata Austrolopithecus sampai dengan manusia
masa kini telah berlangsung sekitar 3 juta tahun.

Jadi, otak manusia telah mengalami evolusi otak (perubahan secara perlahan fungsi otak) dari
yang sederhana menjadi yang paling rumit seperti sekarang.
2. Otak Manusia vs Otak Binatang

Manusia tentu berbeda dengan binatang, di samping perbedaan fisiknya, manusia dengan
binatang memiliki perbedaan pada otaknya. Menurut Dardjowidjojo (2012:202) volume otak
manusia memang lebih besar, tetapi yang memisahkan manusia dari kelompok binatang
khususnya dalam hal penggunaan bahasa bukanlah ukuran dan bobot otaknya. Manusia
berbeda dari binatang karena struktur dan organisasi otaknya berbeda sehingga fungsi dan
penggunaannya berbeda pula dalam hal bahasa. Dalam hal ini manusia memiliki kemampuan
yang lebih dengan makhluk yang lain terutama dalam hal berbahasa. Berikut perbedaan
antara otak manusia dengan otak hewan:

a. Otak Manusia

Otak merupakan pusat saraf untuk manusia. Otak menyedot 15% dari seluruh peredaran
darah ke jantung dan memerlukan 20% dari sumber daya metabolik manusia (Dardjowidjojo,
2012:203). Hal tersebut membuktikan bahwa otak manusia memerlukan perhatian yang lebih
dibandingkan organ yang lainnya. Dari segi ukurannya berat otak manusia adalah 1 sampai
1,5 kilogram dengan rata-rata 1330 gram menurut Halloway (Dardjowijdjojo, 2012:203).
Jadi, hal tersebut menunjukkan bahwa otak manusia berbeda dengan makhluk lainnya baik
dari segi fungsi maupun bentuknya.

Seluruh sistem saraf kita terdiri dari dua bagian utama: (a) tulang punggung yang terdiri dari
sederetan tulang punggung yang bersambung-sambungan (spinal cord) dan (b) otak. Otak itu
sendiri terdiri dari dua bagian. (i) batang otak (brain stem) dan (ii) korteks selebral (cerebral
cortex).  Tulang punggung badan korteks sereberal ini merupakan sistem sentral untuk
manusia (Dardjowidjojo, 2012:203). Jadi, antara tulang punggung dengan korteks sereberal
adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian sentral untuk
manusia, dan segala yang dilakukan manusia baik berupa kegiatan fisik maupun mental
dikendalikan oleh sistem saraf tersebut.

Batang otak terdiri dari bagian-bagian yang dinamakan medulla, pons, otak tengah,


dan cerebellum. Bagian-bagian ini terutama berkaitan dengan fungsi fisikal tubuh, termasuk
pernapasan, detak jantung, gerakan, refleks, pencernaan, dan pemunculan emosi menurut
Steinberg dkk (Dardjowidjojo, 2012:203). Menurut Dardjowidjojo (2012:203) korteks
selebral menangani fungsi-fungsi intelektual dan bahasa, korteks serebral manusia terdiri dari
dua bagian: hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Kedua hemisfer ini dihubungkan oleh sekitar
200 juta fiber yang dinamakan korpus kalosum. Jadi, antara hemisfer kiri dan kanan itu satu
kesatuan tetapi dipisahkan dengan korpus kalosum yang berfungsi sebagai penghubung dan
mengkoordinasikan hemisfer kiri dan hemisfer kanan.

Hemisfer kiri mengendalikan semua anggota badan yang ada di sebelah kanan,
termasuk muka bagian kanan. Sebaliknya hemisfer kanan mengontrol anggota badan dan
wajah sebelah kiri (Dardjowijojo, 2012:204). Jadi, antara hemisfer kiri dan kanan keduanya
saling mengontrol dalam hal pengontrolan gerak gerik dan tingkah laku manusia, sedangkan
korpus kalosum sebagai penghubung antara hemisfer kiri dan hemisfer kanan bertugas
mengintegrasi dan mengkoordinasikan apa yang dilakukan kedua hemisfer tersebut.
Waktu manusia dilahirkan belum ada pembagian tugas antara hemisfer. Namun,
menjelang anak mencapai umur sekitar 12 tahun terjadilah pembagian fungsi yang
dinamakan lateralisasi (Dardjowijojo, 2012:205). Menurut Chaer (2009:124) lateralisasi
merupakan belahan korteks dominan (hemisfer kiri) bertanggung jawab untuk mengatur
penyimpanan pemahaman dan produksi bahasa alamiah. Jadi, menurut pemakalah ketika
anak berusia di bawah 12 tahun ia cenderung menggunakan hemisfer kiri saja untuk
berbahasa tetapi setelah ia berusia 12 tahun hemisfer kiri dan kanannya berfungsi dan
bertanggung jawab dalam berbahasa.

Kaitannya dengan bahasa yang paling banyak berperan adalah hemisfer kiri menurut
Geschwind (Dardjowidjojo, 2012:206). Pada dasarnya hemisfer kiri dan hemisfer kanan
merupakan pantulan cermin yang keduanya saling berkaitan tidak dapat dipisahkan. Menurut
Dardjowidjojo (2012:206) hemisfer kiri terdiri dari empat daerah besar yang dinamakan:

 Lobe frontal (frontal lobe) yang bertugas mengurusi ikhwal yang berkaitan dengan
kognisi.
 Lobe temporal (temporal lobe) yang bertugas mengurusi hal-hal yang berkaitan
dengan pendengaran.
 Lobe osipital (occipital lobe) yang berfungsi menangani ikhwal penglihatan.
 Lobe parietal (parietal lobe) yang berfungsi mengurusi rasa somaestetik yakni, rasa
yang ada pada tangan, kaki, muka, dsb.

Pada semua lobe tersebut terdapat girus (gyrus) dan sulkus (sulcus). Girus adalah
semacam gunduk atau bukit dan lereng-lerengnya. Girus ini memiliki fungsi untuk
menghubungkan apa yang kita lihat dan apa yang kita pahami di daerah Wernicke, sedangkan
sulkus adalah seperti lembah, bagian yang masuk ke dalam. Menurut Dardjowidjojo daerah
broca terdapat pada lobe frontal. Pada dasarnya daerah ketika manusia berbicara memakai
hemisfer kiri. Hal ini dapat dibuktikan katika seorang ahli bedah saraf yang bernama Piere
Paul Broca menemukan seorang pasien yang mengalami gangguan dalam berbicara, ia hanya
dapat merespon dengan kata tan. Setelah ia meninggal kemudian Broca menelitinya dengan
melakukan operasi sehingga dokter tersebut menyimpulkan bahwa dalam berbicara yang
berperan adalah hemisfer kiri yang terdapat lobe frontal.

Daerah Wernicke terdapat di lobe temporal dan agak menjorok ke daerah parietal dan
bagian yang berkaitan dengan komprehensi. Hal ini dapat dibuktikan ketika seorang ahli dari
Jerman yang bernama Carl Wernicke memiliki pasien yang dapat berbicara lancar tetapi
maknanya tidak karuan, sehingga dapat disimpulkan komprehensinya sangat terganggu dan
hal tersebut terdapat pada wilayah lobe temporal dan agak menjorok ke daerah parietal.
Menurut Dardjowidjojo (2012:208) yang diproses di daerah Wernicke adalah pendengaran,
penglihatan, dan pemahaman yang ada kelompok fiber yang bertugas menghubungkan apa
yang kita lihat dengan apa yang kita dengar yang disebut fasikalus arkuat, sedangkan yang
diproses di daerah broca adalah proses pengujaran, pada daerah broca terdapat korteks motor
yang yang bertugas untuk mengendalikan alat-alat ujaran seperti lidah, rahang, bibir, gigi,
dan pita suara. Jadi, yang lebih condong dalam hal berbahasa adalah daerah broca sedangkan
untuk menunjang makna dalam berbahasa adalah daerah Wernicke.
b. Otak Hewan

Otak manusia dengan otak hewan berbeda, bukan hanya bentuknya saja yang berbeda tetapi
fungsinya juga berbeda. Menurut Dardjowidjojo (2012:208) pada makhluk seperti ikan, tikus,
dan burung, misalnya, korteks serebral dikatakan tidak tampak, padahal korteks inilah yang
sangat berkembang pada manusia. Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar otak manusia
digunakan untuk proses mental, termasuk proses kebahasaan, sedangkan binatang hanya
untuk kebutuhan fisik saja. Hal ini membuktikan perbedaan neurologis yang membuat
manusia dapat berbahasa sedangkan hewan tidak.

Manusia dapat berbahasa, sedangkan hewan tidak dapat berbahasa. Menurut Chaer
(2009:140) Bahasa dan berbahasa adalah dua hal yang berbeda. Hewan-hewan yang dilatih,
seperti dalam sirkus, memang mengerti bahasa karena dia dapat melakukan perbuatan yang
diperintahkan kepadanya. Namun, kemengertiannya itu sebenarnya bukanlah karena dia
mengerti bahasa, melainkan sebagai hasil dari respon-respon yang dikondisikan. Lain halnya
dengan burung beo dan burung nuri yang dapat berbicara, hal itu bukan karena burung
tersebut dapat berbicara melainkan burung tersebut memiliki alat artikulasi yang dapat
menirukan ujaran manusia yang didengar atau dilatih. Maka dapat disimpulkan hewan tidak
dapat berbahasa, burung nuri dan burung beo itu hanya dapat mengucapkan kalimat yang
pernah didengarnya saja dan tidak dapat berbicara dengan kalimat yang baru sebelum kalimat
itu didengarnya.

3. Kaitan otak dan bahasa

Berbicara tentang otak dan bahasa diantaranya Aristoteles pada tahun 384-322 SM telah
berbicara soal hati yang melakukan hal-hal yang kini kita ketahui dilakukan oleh otak. Dari
struktur serta organisasi otak manusia memegang peranan yang sangat penting dalam bahasa.
Apabila input-input yang masuk adalah dalam bentuk lisan maka bunyi akan ditanggapi di
lobe temporal khususnya oleh korteks primer pendengar (di sini input tadi diolah). Setelah
diterima, dicerna, dan diolah maka bunyi-bunyi bahasa tadi dikirim kedaerah wernicke untuk
diinterpretasikan dan di daerah inilah bunyi-bunyi tadi dipilah-pilah menjadi suku kata, frase,
klausa, dan akhirnya kalimat. Setelah itu akan muncul dua kemungkinan, yang pertama jika
masukan hanya sekedar informasi yang tidak perlu tanggapan maka masukan dapat disimpan
di memori karena suatu saat nanti masukan tersebut akan berguna untuk ke depannya.  Jadi,
menurut pemakalah masukan-masukan yang masuk akan melalui tahapan yang terdapat
dalam otak, selanjutnya akan tersimpan di memori.

Contoh kalimat:    Dia belum pulang.

Bunyi /d/ mempunyai fitur [+vois], di samping fitur-fitur lain seperti [+konsonatal],
[+anterior], [-bilabial], [+alveolar], [-nasal], maka korteks motor akan menyuruh pita suara
untuk bergetar 30 milidetik lebih awal. Hal ini dikarenakan pita suara letaknya paling jauh
dibandingkan dengan alat-alat penyuara yang lain. Bunyi /p/ pada kata pulang, pita suara
harus diperintahkan untuk bergetar paling awal 25 milidetik setelah bunyi /p/ itu diucapkan.
Ini untuk menjamin bahwa bunyi bilabial yang keluar itu benar-benar /p/, dan bukan /b/.
Perpindahan dari bunyi /d/ ke /i/ dan ke /a/ untuk kata dia juga memerlukan koordinasi yang
sangat akurat. Ujung lidah yang menempel pada daerah alveolar di mulut untuk bunyi /d/
yang harus dengan tepat berubah bentuk menjadi lengkung dan tinggi-depan untuk /i/,
misalnya, harus dikoordinasikan dengan rapi sekali sehingga hasilnya benar-benar
mencerminkan bunyi natif. Tanpa ketepatan ini maka pembicaraan akan kedengaran seperti
orang asing.

Bila input yang masuk dalam bentuk tulisan, maka jalur pemrosesannya agak berbeda,
masukannya tidak ditanggapi oleh korteks primer pendengaran, tetapi oleh korteks visual di
lobe osipital. Masukan ini tidak langsung dikirim kedaerah wernicke, tetapi harus melewati
girus angular yang mengkoordinasikan daerah pemahaman dengan daerah osipital. Setelah
tahap ini, input tadi dipahami oleh daerah wernicke untuk diinterpretasikan dengan cara
dikirim ke daerah broca untuk tanggapan verbal, sedangkan untuk tanggapan visual, maka
informasi dikirim ke daerah parietal untuk diproses visualisasinya. Jadi, menurut pemakalah
proses tulisan masuk melewati korteks visual di lobe osipital, melewati girus angular,
selanjutnya diinput oleh wernicke untuk diinterpretasikan.

4. Peran Hemisfer Kiri dan Hemisfer Kanan

Penelitian Wada (Dardjowidjojo, 2012:212) yang memasukkan cairan ke kedua hemisfer


menunjukkan bahwa bila hemisfer kiri yang ditidurkan maka terjadilah gangguan wicara.
Menurut pemakalah maksudnya di sini adalah jika cairan diteteskan ke hemisfer kiri, maka
hemisfer kiri akan terjadi gangguan dalam hal berbicara. Bila hemisfer kiri yang diambil
maka kemampuan berbahasa orang itu menurun dengan drastis, sedangkan bila yang diambil
hemisfer kanan, orang tersebut masih bisa berbahasa, meskipun tidak sempurna.

Otak kanan berfungsi dalam perkembangan EQ (Emotional Quotient), seperti hal persamaan,


khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik, dan warna. Daya ingat otak kanan
bersifat panjang (long term memory). Bila terjadi kerusakan otak kanan misalnya pada
penyakit stroke atau tumor otak, maka fungsi otak yang terganggu adalah kemampuan visual
dan emosi.

Otak kiri berfungsi sebagai pengendali IQ (Intelligence Quotient) seperti hal perbedaan,


angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan, dan logika. Daya ingat otak kiri bersifat jangka
pendek (short term memory). Bila terjadi kerusakan pada otak kiri maka akan terjadi
gangguan dalam hal fungsi berbicara, berbahasa dan matematika.

Walaupun keduanya mempunyai fungsi yang berbeda, tetapi setiap individu mempunyai
kecenderungan untuk mengunakan salah satu belahan yang dominan dalam menyelesaikan
masalah hidup dan pekerjaan. Setiap belahan otak saling mendominasi dalam aktivitas tetapi
keduanya terlibat dalam hampir semua proses pemikiran. Jadi, menurut pemakalah hemisfer
kanan dan hemisfer kiri sama-sama memiliki peran yang penting untuk melengkapi satu sama
lain.
5. Gangguan Wicara

Meskipun ukuran otak hanya maksimal 2% dari seluruh ukuran badan manusia, dia banyak
sekali menyedot energi diantaranya 15% dari seluruh aliran darah dan 20% dari sumber
metabolis tubuh. Apabila aliran darah pada otak tidak cukup atau ada penyempitan pembuluh
darah maka akan terjadinya kerusakan pada otak atau yang biasa dinamakan dengan stroke.

Stroke mempunyai berbagai akibat karena adanya kontrol silang dari hemisfer kiri dan
hemisfer kanan. Apabila stroke terdapat pada hemisfer kiri maka akan menyebabkan
gangguan pada belahan kanan dan sebaliknya. Biasanya kerusakan pada hemisfir kiri
mengakibatkan munculnya gangguan wicara. Gangguan wicara yang disebabkan oleh stroke
disebut dengan afasia (aphasia).

a) Macam-macam Afasia

Macam-macam afasia yang umum ditemukan oleh Kaplan (Dardjowidjojo, 2012:214)


sebagai berikut.

1) Afasia Broca

Kerusakan yang terjadi pada daerah broca karena daerah ini berdekatan dengan jalur korteks
motor sehingga alat-alat ujaran seperti bentuk mulut bisa terganggu, kadang-kadang mulut
bisa bencong, dan menyebabkan gangguan pada perencanaan dan pengungkapan ujaran,
sehingga kalimat yang yang diproduksi terpatah-patah.

2)  Afasia Wenicke

Jenis kerusakan ini ialah kerusakan bahasa yang disebabkan oleh kesulihatan dalam
memahami pendengaran, ini juga disebut sebagai sensory aphasia tetapi lebih sering disebut
sebagai   Wernicke’s aphasia. Orang yang terkena kerusakan ini sangat lancar dalam
berbicara, tetapi mereka sulit untuk membuat kata tersebut untuk memiliki makna yang
sebenarnya. Mereka kesulitan dalam menentukan kata-kata yang tepat (disebut juga
sebagai anomia).

3) Afasia Anomic

Kerusakan otak terjadi pada bagian depan dari lobe pariental atau pada batas antara lobe
pariental dengan lobe temporal. Sehingga penderita ini tidak mampu mengaitkan konsep dan
bunyi. Jadi bila pasien ini diminta untuk mengambil benda yang bernama gunting dia akan
bisa melakukannya. Akan tetapi, kalau kepadanya ditunjukan gunting,dia tidak dapat
mengatakan nama benda itu.

4) Afasia Global
Kerusakan yang terjadi tidak hanya satu daerah saja tetapi dibeberapa daerah yang lain,
kerusakan bisa menyebar dari daerah broca melewati korteks motor menuju lobe pariental
dan sampai ke daerah wernicke sehingga mengakibatkan gangguan fisikal dan verbal yang
sangat besar. Dari segi fisik penderita bisa lumpuh di sebelah kanan, mulut bisa moncong dan
lidah bisa menjadi tidak cukup fleksibel, dari segi verbal dia bisa sukar memahami ujaran
orang dan ujaran dia tidak mudah dimengerti orang karena kata-kata yang tidak jelas.

5) Afasia Konduksi

Kerusakan yang terjadi pada fiber-fiber yang ada pada fasikulus arkuat yang menghubungkan
lobe frontal dan lobe temporal, sehingga penderita ini tidak dapat mengulangi kata yang
diberikan padanya.

b) Akibat Lain dari Stroke

Stroke akan mengganggu segala hal yang berkaitan dengan bahasa, antara lain: (1) gangguan
wicara; (2) tidak dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu; (3) kehilangan ingatan; (4)
ketidakmampuan untuk mengenal wajah.

6. Hipotese Umur Kritis

Sebelum mencapai umur belasan bawah, sekitar umur 12 tahunan, anak mempunyai
kemampuan untuk memperoleh bahasa mana pun yang disajikan padanya secara natif. Hal ini
tampak terutama pada aksesnya. Gejala ini dinyatakan dalam hipotese yang bernama
Hipotesis Umur Kritis (Critical Age Hypothesis) yang diajukan oleh Lenneberg (1967) dalam
Dardjowidjojo (2012:218). Pada masa anak berumur 2-12 tahun, ia dapat memperoleh bahasa
mana pun dengan kemampuan seorang penutur asli. Misalnya ada keluarga Tionghoa yang
tinggal di Jawa kemudian mereka melahirkan anak, dan anak itu bergaul dengan anak Jakarta
sampai umur 2-12 tahun, anak itu pasti dapat berbahasa Indonesia Jakarta seperti anak Jakarta
lainnya. Begitu juga sebaliknya, anak Indonesia yang lahir dan besar di China dan bergaul
dengan orang-orang China maka anak Indonesia tersebut juga dapat berbahasa mandarin
dengan aksen China yang kental dan tidak kentara sebagai aksen asing.

Sebelum umur 12 tahun pada anak belum terjadi lateralisasi, yakni hemisfer kiri dan hemisfer
kanan belum “dipisah” untuk diberi tugas sendiri-sendiri, kedua-duanya masih lentur dan
masih dapat menerima tugas apapun (Dardjowidjojo, 2012:218). Hal tersebut menyebabkan
pada umur 12 tahun ke atas otak sudah tidak sefleksibel sebelumnya, sehingga untuk
mempelajari bahasa asing seperti penutur aslinya sudah berkurang. Misal ketika orang
dewasa belajar bahasa Inggris, meski ia telah menguasai bahasa Inggris dengan sempurna,
aksennya akan tetap terasa sebagai aksen asing. Selain itu hal tersebut juga menjadi penyebab
mengapa orang terkena stroke pada umur di bawah 12 tahun akan dapat pulih total dalam
memperoleh bahasa sedangkan orang dewasa akan kecil kemungkinannya untuk sembuh
total.
7. Kekidalan dan Kekananan

Kekidalan dan kekinanan bukanlah penyakit berbahaya yang harus diobati karena kidal bisa
terjadi akibat faktor genetik dan kebiasaan semenjak kecil. Menurut Dardjowidjojo
(2012:219) Manusia ada yang kidal (left-handed) dan ada yang kinan (right-handed).
Sementara itu, ada yang dapat menggunakan tangan kiri atau tangan kanannya secara imbang
yang disebut ambidekstrus (ambidextrous). Dalam hal ini ketika seseorang kidal berarti ia
lebih mendominasi menggunakan hemisfer kanan, sedangkan untuk kekinanan seseorang
cenderung menggunakan hemisfer kiri dalam berbahasa.

Banyak anggapan kalau kekidalan dan kekinanan mempengaruhi kemampuan intelektual


seseorang, tetapi anggapan tersebut tidak dibenarkan karena sampai sekarang belum ada
penelitian yang sudah mengungkapnya. Namun Lamn dan Epstein (Dardjowidjojo, 2012:220)
mengatakan bahwa kadar dominasi hemisfer kiri pada orang kidal yang tidak sekuat seperti
orang kinan membuat orang kidal mempunyai masalah dalam hal baca tulis. Jadi, menurut
pemakalah antara hemisfer kiri dan hemisfer kanan harus ada keseimbangan ketika kedua
hemisfer tersebut kerjanya tidak sesuai maka akan terjadi kesenjangan.

8. Otak Pria dan Otak Wanita

Menurut Steinberg dkk. (Darjdowidjojo, 2012:221) ada perbedaan antara otak pria dan otak
wanita dalam hal bentuknya, yakni hemisfer kiri pada wanita lebih tebal daripada hemisfer
kanan. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan kelas bahasa pada umumnya didominasi
oleh wanita. Jadi, menurut pemakalah kesimpulannya wanita memiliki hemisfer kiri yang
lebih tebal sehingga umumnya para wanita pandai berbahasa. Akan tetapi, temuan dari Philip
dkk. (Dardjowidjojo, 2012:221) menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan dalam
pemrosesan bahasa antara pria dan wanita, perbedaan ini hanya mengarah pada pengaruh
budaya daripada pengaruh genetik.

Menurut Chaer (2009:134) letak keunggulan otak wanita terbagi menjadi tiga yaitu:

1) Otak wanita lebih seimbang

Ukuran otak pria lebih besar, mempunyai fungsi lebih baik, lebih cerdas, dan memiliki
kelebihan lainnya bila dibandingkan dengan otak wanita, hal tersebut diungkapkan oleh
Awuy (Chaer, 2009:133). Namun, ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa lepas dari
soal ukuran, daerah tertentu otak wanita lebih kaya akan neuron dibandingkan dengan otak
pria. Maksud dari daerah tertentu dari pernyataan tersebut adalah hemisfer kiri pada wanita.
Oleh karena itu, wanita memiliki kemampuan verbal yang tinggi yang ternyata dapat dilacak
ke otaknya. Daerah otak wanita yang mengurus kemampuan kognitif tingkat tinggi lebih
banyak neuronnya dibandingkan dengan daerah yang sama dengan otak pria.

Penggunaan otak kiri dan otak kanan secara serentak membuat wanita dewasa lebih lincah
dalam soal verbal dibandingkan dengan pria. Di dalam tes terbukti dalam waktu yang sama
wanita dapat menyebutkan lebih banyak dari suatu huruf serta jauh lebih cepat dalam
mengingat huruf-huruf dibandingkan pria. Begitu juga bila wanita terserang stroke atau
cedera otak kemampuan berbahasanya tidak terlalu terganggu, kalaupun terganggu akan lebih
cepat pulih dibandingkan pria. Jadi, simpulannya adalah otak wanita lebih berkualitas
daripada otak pria.

2) Otak wanita lebih tajam

Menurut Chaer (2009:134) penglihatan wanita lebih tajam daripada pria, meski diakui bahwa
lebih banyak wanita yang lebih dulu memerlukan bantuan kacamata daripada pria.
Pendengaran wanita lebih tajam daripada pria. Maka tidak mengherankan jika pada malam
hari tangisan bayi biasanya membangunkan ibu, sementara sang ayah tetap terlelap dalam
tidurnya. Pendengaran wanita juga bisa mendengar lebih banyak ragam bunyi daripada pria.

Menginjak ke daya ingat, wanita juga lebih tajam ingatannya dibandingkan dengan pria. Baik
wanita maupun pria sama-sama akan mengalami penurunan daya ingat sesuai dengan
pertambahan usia. Namun, daya ingat wanita akan kosakata dan nama jenis jauh lebih awet
dibandingkan dengan pria karena otak wanita mempunyai cara unik dalam menyimpan
informasi ke dalam memorinya, yakni dengan cara menyangkutkan pada daerah emosi.

Perasaan wanita juga tajam, hal tersebut terbukti ketika wanita diminta untuk mengenang
pengalaman emosionalnya, wanita lebih responsif daripada pria. Ini juga menjadi bukti
mengapa wanita lebih banyak menderita depresi daripada pria. Jadi, simpulannya otak wanita
lebih tajam dalam berbagai hal, yakni penglihatan, pendengaran, daya ingat, dan perasaan.

3) Otak wanita lebih awet dan selektif

Otak pria mengerut lebih cepat daripada otak wanita. Menurut Ruben Gur (Chaer, 2009:136)
cara kerja otak pria dan wanita dari berbagai usia, jaringan otak pria menyusut tiga kali lebih
cepat daripada wanita. Ketika sama-sama muda memang otak pria lebih besar daripada otak
wanita, tetapi ketika keduanya mencapai usia empat puluh tahun, otak pria menyusut
(terutama pada bagian depan) sehingga besarnya sama dengan otak wanita. Penyusutan ini
membawa akibat perubahan yang nyata, yakni makin tua seorang pria daya ingatnya,
konsentrasinya, dan kesabarannya ikut menyusut. Penyusutan otak bagian depan pada wanita
tidak terlihat pada usia yang sama.

Otak wanita memiliki kemampuan untuk menyesuaikan kecepatan metabolisme otak


(pemakaian energi oleh otak) dengan umurnya, sedangkan kecepatan metabolisme pria
semakin boros energi dengan bertambahnya usia. Jadi, simpulannya otak wanita lebih awet
daripada otak pria, otak pria juga mengalami penyusutan dengan cepat.

9. Bahasa Sinyal

Bahasa sinyal sangat diperlukan bagi seorang tuna wicara dan tuna rungu. Hanya dengan
bahasa sinyal seorang tuna wicara dapat menyampaikan pesan yang ingin disampaikan.
Namun, tak semua orang mengerti mengenai bahasa sinyal, biasanya seorang tuna wicara
didampingi oleh seorang pendamping penerjemah yang berfungsi untuk menyampaikan
pesan kepada khalayak umum. Orang yang tidak bisa berkomunikasi secara lisan biasanya
menggunakan bahasa sinyal untuk berkomunikasi. Menurut Dardjowidjojo (2012:221)
bahasa sinyal mempergunakan tangan dan jari-jari untuk membentuk kata dan kalimat.
Bahasa sinyal itu ada beberapa macam yaitu bahasa sinyal Amerika dan Bahasa Sinyal
Inggris. Jadi, seorang tuna wicara akan menggunakan tangan dan jari-jarinya dengan cara
digerakkan untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Hemisfer kanan lebih unggul menangani tugas untuk desain dan pola-pola visual maka kita
mengharapkan hemisfer inilah yang mengurusi bahasa sinyal. Pengguna bahasa sinyal ada
yang memakai hemisfir kiri untuk bersinyal kalau hemisfir kanan rusak, pada umumnya tidak
terjadi gangguan dalam bersinyal. Tata bahasanya utuh dan tidak terbata-bata.

10. Metode Penelitian Otak

Dalam hal ini banyak sekali peneliti yang kemudian menyelidiki peranan otak dalam
memproduksi ujaran atau juga bagian-bagian manakah yang menghasilkan ujaran secara
verbal kemudian bahasa sinyal, dan juga hal-hal yang lainnya. Namun, menurut
Dardjowidjojo (2012:222) pada zamannya Broca dan Wernicke melakukan penelitian
mengenai otak manusia belum menggunakan alat-alat canggih, mereka melakukan operasi
setelah pasiennya meninggal dan melakukan operasi pemisahan hemisfer kiri dan kanan
untuk mengobati penyakit epilepsi ketika pasiennya masih hidup. Jadi, penelitian otak
sangatlah penting di samping untuk mengetahui peranan hemisfer kiri dan hemisfer kanan
penelitian otak juga berfungsi untuk mengetahui penyakit tertentu.

Anda mungkin juga menyukai