DAERAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Nama : Ardanie Rifda Azhaar Semester : 3 (Gasal) NIM : 18417144019 Dosen Pengampu : Hardian Wahyu Widianto S.Sos., MPA. Kelas : Administrasi Publik B 2018 Tahun Ajaran : 2019/2020
DESENTRALISASI: LAMPU HIJAU MENUJU PELAYANAN PRIMA
Desentralisasi akan meningkatkan pelayanan publik di berbagai daerah Indonesia karena
memberikan pelayanan lebih efektif dan responsive serta pemerintah daerah memberikan solusi atas masalah di wilayahnya dan bertanggung jawab terkait pelayanan masyarakat. Dengan otonomi daerah atau penyerahan sebagian besar kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah, maka daerah akan lebih cepat dan efektif dalam merespon tuntutan-tuntutan masyarakat. Kewenangan daerah membuat peraturan daerah (perda) akan memperlancar dan meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas pemerintah dalam melayani masyarakat karena pemerintah daerahlah yang paling mengetahui potensi dan kondisi daerah serta kebutuhan masyarakatnya. Dengan demikian, pelayanan publik di berbagai daerah akan meningkat. Namun, ada pro dan kontra di kalangan masyarakat karena terdapat penyalahgunaan wewenang dan ketidakpedulian pemerintah terhadap wilayahnya. Sebagian pandangan menganggap desentralisasi tidak akan meningkatkan pelayanan publik karena terdapat penyalahgunaan wewenang dan ketidakpedulian pemerintah terhadap wilayahnya. Menurut Rosalinda dkk (2012), ada kelemahan serius yang harus dipertimbangkan dalam merancang program desentralisasi. Potensi bahaya ini yang seharusnya menjadi pertimbangan ketika memutuskan sistem desentralisasi yang dipilih, fungsi dan sektor apa yang harus desentralisasikan dan di level daerah mana kewenangan akan didesentralisasikan baik yang menyangkut aspek produksi, lindung, maupun konservasi. Pada awal pelaksanaan desentralisasi tertkait pengelolaan hutan di Indonesia, beberapa penelitian menyebutkan bahwa rata-rata luas kerusakan hutan meningkat dari 1,6 juta ha/tahun pada masa sebelum desentralisasi menjadi lebih dari 2,1 juta ha/tahun setelah era desentralisasi (Siswanto & Wardojo, 2006). Desentralisasi disalahgunakan oleh para kepala daerah untuk memberikan izin pembalakan hutan atau mengkonversi kawasan hutan menjadi penggunaan lain (Kartodihardjo & Jhamtani, 2006). Hasil penelitian (Ekawati, 2011; Ekawati et al., 2014) menunjukkan pemerintah kabupaten memiliki kinerja yang kurang baik dalam menjalankan sebagian besar kewenangan pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung yang didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat. Kinerja yang kurang baik tersebut diperkuat dengan data dari Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan (2008), Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (2012), dalam kurun waktu dari tahun 2003–2006 sampai 2009–2011 hutan produksi menempati angka deforestasi tertinggi dibandingkan dengan fungsi hutan lainnya. Hal tersebut menunjukan bahwa desentralisasi justru menimbulkan kerusakan sumber daya alam yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai destinasi wisata ataupun bahan baku kerajinan. Sebagian pandangan menganggap bahwa desentralisasi akan meningkatkan pelayanan publik. Dalam urusan di bidang pelayanan publik pemerintah daerah berwenang menyelenggarakan pelayanan publik terhadap masyarakat melalui sebuah Organisasi Penyelenggara yang dalam Pasal 8 UU No. 25 Tahun 2009 dijelaskan bahwa sebuah organisasi penyelenggara berkewajiban menyelenggarakan pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukan. Oleh karena itu melaui sebuah Satuan Organisasi Satuan Organisasi Perangkat Daerah (diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah) pemerintah dapat menyelenggarakan pelayanan publik secara langsung pada masyarakat. Dengan otonomi daerah atau penyerahan sebagian besar kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah, maka daerah akan lebih cepat dan efektif dalam merespon tuntutan-tuntutan masyarakat. Kewenangan daerah membuat peraturan daerah (Perda) akan memperlancar dan meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas pemerintah dalam melayani masyarakat, karena pemerintah daerahlah yang paling mengetahui potensi dan kondisi daerah serta kebutuhan masyarakatnya. Berdasarkan hasil penelitian Sulistya Ekawati (2017) terhadap desentralisasi di bidang kehutanan, pelayanan birokrat dalam pengurusan Rencana Kerja Usaha (RKU) pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) IUPHHK- HTI di masa desentralisasi jauh lebih baik daripada masa sentralisasi karena pengurusan RKU sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) Nomor 151/Kpts-II/2003 jo Peraturan Menteri Kehutanan (Permehut) Nomor P.62/Menhut-II/2008 menjadi kewenangan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Usaha Kehutanan atas nama Menteri Kehutanan. Birokrasi lebih pendek karena prosesnya tidak melalui Dinas Kehutanan Provinsi maupun Kabupaten. Pada masa sentralisasi, RKU disahkan oleh Kementerian Kehutanan setelah melalui pemeriksaan dan rekomendasi dari Dinas Kehutanan Provinsi. Dengan demikian, pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah mengalami peningkatan dibandingkan masa sentralisasi dan tuntutan-tuntutan masyarakat lebih cepat dan efektif direspon oleh pemerintah daerah. Di lain pihak dengan desentralisasi kewenangan pemerintahan beralih kepada daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan symbol adanya trust dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Ini akan dengan sendirinya mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Kalau dalam sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi ini mereka ditantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi (Soekarwo, 2003). Dengan kata lain, pemerintah daerah harus memiliki ide agar dapat memberikan solusi atas masalah di wilayahnya dan bertanggung jawab terkait pelayanan masyarakat. Pada kasus minimnya pasokan air bersih dari PDAM Tirtawening, sesungguhnya dimensi pertanggungjawaban bisa diterapkan oleh pemerintah dengan lebih tegas, misalnya dengan memberikan ganti rugi atau keringanan pembayaran tagihan sebagai bentuk sanksi bagi PDAM Tirtawening dan sebagai kompensasi bagi pengguna layanan. Apabila hal ini dilaksanakan, maka akan memacu organisasi public (PDAM) untuk melakukan lebih dari hanya sekadar menanggapi keluhan saja yang cenderung tampak sebagai sekadar rutinitas, melainkan menuntut kemampuan PDAM Tirtawening dalam merencanakan dengan lebih serius terkait penyediaan pasokan air yang memadai meskipun dalam kondisi cuaca kemarau. Pemerintah memiliki peran penting dalam mengatasi permasalahan masyarakat yang bersifat universal dan bertanggung jawab dalam mengawasi organisasi yang menyediakan jasa dan barang publik. Desentralisasi akan meningkatkan pelayanan publik di berbagai daerah Indonesia karena memberikan pelayanan lebih efektif dan responsive serta pemerintah daerah memberikan solusi atas masalah di wilayahnya dan bertanggung jawab terkait pelayanan masyarakat. Sebagian pandangan menganggap desentralisasi tidak akan meningkatkan pelayanan publik karena terdapat penyalahgunaan wewenang dan ketidakpedulian pemerintah terhadap wilayahnya, seperti disalahgunakan oleh para kepala daerah untuk memberikan izin pembalakan hutan atau mengkonversi kawasan hutan menjadi penggunaan lain. Sebagian pandangan lainnya menganggap bahwa desentralisasi akan meningkatkan pelayanan public karena desentralisasi memberikan pelayanan lebih efektif dan responsive serta akuntabilitas kepada masyarakat. Akan tetapi, bila penyalahgunaan wewenang dan ketidakpedulian pemerintah dibiarkan saja, akan menimbulkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta tidak ada perbedaan dengan masa sentralisasi. Oleh karena itu, pemerintah harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip good governance, yaitu tranparansi, akuntabilitas, responsiveness, efisiensi atau efektivitas, dan profesionalisme agar dapat memberikan pelayanan public yang prima terhadap masyarakat global tanpa diskriminasi. DAFTAR PUSTAKA
Ekawati, S. 2011. Kinerja pemerintah kabupaten dalam desentralisasi pengelolaan hutan
lindung: Studi kasus di tiga kabupaten dalam DAS Batanghari. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 8(2), 152–166. Ekawati, S. 2013. Evaluasi implementasi kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan produksi. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 10(3), 187 – 202. Ekawati, S. 2017. Benarkah Desentralisasi Meningkatkan Pelayanan Publik? (Studi Persepsi Perusahaan Kehutanan Terhadap Pelayanan Pemerintah Sebelum Dan Setelah Desentralisasi). Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 14(1), 80-84. Pratiwi, Dian Kus. 2014. Mekanisme Dan Implikasi Desentralisasi Pelayanan Publik Terhadap Wewenang Pemerintah Daerah Ditinjau dari Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Jurnal Yuridis. 1(1), 76-85. Rosalinda, E., Darusman, D., Suharjito, D., & Nurrochmat, D.R. 2012. Stakeholders analysis on the management of Danau Sentarum National Park Kapuas Hulu Regency, West Kalimantan. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 18(2), 78–85. Siswanto, W. & Wardojo, W. (2006). Desentralisasi sektor kehutanan: Pengalaman Indonesia. Dalam Colfer, C.J.P. dan Capistrano D. (Eds). Politik desentralisasi. hutan, kekuasaan dan rakyat. Bogor: CIFOR. Tshukudu, Theophilus Tebetso. 2014. Decentralization as a Strategy for improving Service delivery in the Botswana Public Service Sector. Journal of Public Administration and Governance. 4(2), 41-47. Wicaksono, Kristian Widya. 2015. Akuntabilitas Organisasi Sektor Publik. Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik. 19(1), 4-6.