ANXIETY DISORDERS
ROMBEL : 03/2018
DISUSUN OLEH :
Melania Laillita K. (1511418119)
Sarnia (1511418148)
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan takut dan kehati-
hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan (Davison,dkk 2004). Rasa
takut muncul jika terdapat ancaman yang jelas atau nyata, berasal dari lingkungan, dan tidak
menimbulkan konflik bagi individu. Sedangkan kecemasan muncul jika bahaya berasal dari
dalam diri, tidak jelas atau menyebabkan konflik bagi individu.
Setiap hari manusia dihadapkan pada berbagai situasi atau kejadian yang dapat
memicu munculnya kecemasan. Misalnya ujian mendadak, presentasi tugas, terlambat masuk
kelas, deadline pekerjaan, dan sebagainya. Sebenarnya kecemasan adalah reaksi yang wajar
yang dapat dialami oleh siapapun, sebagai respon terhadap situasi yang dianggap mengancam
atau membahayakan. Namun jika kecemasan tersebut berlebihan dan tidak sesuai dengan
proporsi ancamannya sehingga menyebabkan seseorang mengalami kecemasan atau rasa
takut yang berkepanjangan hingga mengganggu rutinitas sehari-hari, inilah yang disebut
dengan gangguan kecemasan (anxiety disorders).
Dimana gangguan kecemasan ini juga dapat menyebabkan seseorang menderita
Fobia. Kata Fobia diartikan sebagai suatu bentuk ketakutan akan sesuatu yang bersifat
irasional. Artinya, hal yang ditakutkan sebenarnya bukanlah selalu sesuatu yang benar-benar
menakutkan untuk banyak orang atau fenomena yang berlebihan yang disebut dengan
Specific Phobia. Fobia Spesifik (specific phobia) Adalah ketakutan berlebihan yang persisten
terhadap objek atau situasi tertentu yang tidak sesuai dengan bahaya yang sebenarnya
dimiliki objek atau situasi ini. Fobia dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya.
Setiap orang memiliki kemampuan untuk mengendalikan perasaan tidak menyenangkan atau
fobia, akan tetapi ada beberapa orang yang sulit untuk mengendalikan perasaan takut
tersebut. Penyebab orang yang tidak bisa mengendalikan rasa takut dapat disebabkan oleh
suatu keadaan yang sangat ekstrem seperti trauma.
Terdapat banyak jenis Specific Phobia salah satunya adalah fobia pada ketinggian
atau yang dikenal juga dengan sebutan Acrophobia. Orang yang mengalami fobia ketinggian
akan menghindari berada pada tempat-tempat dengan ketinggian tertentu. Otak dengan peka
menentukan posisi tubuh ketika sedang berada pada ketinggian yang mengakibatkan orang
tersebuat bereaksi ketakutan pada saat berada pada tempat yang tinggi. Rasa takut yang
berlebihan dapat merugikan diri sendiri. Ketakutan terhadap ketinggian dapat mempersulit
diri saat ingin melakukan hal-hal yang berhubungan dengan ketinggian dan hal ini pun dapat
membahayakan diri sendiri saat harus berada pada tempat-tempat yang tinggi.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan gangguan kecemasan atau anxiety disorders ?
2. Apa saja ciri-ciri dari gangguan kecemasan ?
3. Apakah ketakutan dan kecemasan berkaitan ?
4. Apakah yang dimaksud dengan specific phobia ?
5. Apa saja kriteria seseorang yang menderita specific phobia ?
6. Apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita specific phobia ?
7. Apakah yang dimaksud dengan achrophobia ?
8. Bagaimana tindakan assessment untuk acrophobia ?
9. Bagaimana treatment untuk achrophobia ?
10. Bagaimana kecemasan mempengaruhi fisiologis ?
11. Bagaimana studi kasus pada penderita acrophobia ?
12. Bagaimanakah dinamika permasalahan acrophobia ?
TUJUAN
1. Mengetahui apa yang dimaksud gangguan kecemasan atau anxiety disorders.
2. Mengetahui apa saja ciri-ciri gangguan kecemasan.
3. Mengetahui apa hubungan antara ketakutan dan kecemasan.
4. Mengetahui apa yang dimaksud specific phobia.
5. Mengetahui apa saja kriteria seorang yang menderita specific phobia.
6. Mengetahui apa saja yang menyebabkan seorang dapat menderita specific phobia.
7. Mengetahui apa yang dimaksud achrophobia.
8. Mengetahui bagaimana tindakan assessment untuk acrophobia.
9. Mengetahui bagaimana treatment untuk penderita acrophobia.
10. Mengetahui bagaimana kecemasan mempengaruhi fisiologis.
11. Mengetahui studi kasus pada penderita acrophobia.
12. Mengetahui bagaimana dinamika permasalahan acrophobia.
PEMBAHASAN
I. ANXIETY DISORDERS
Kecemasan adalah adalah kondisi umum dari ketakutan atau perasaan tidak
nyaman. Banyak hal yang harus dicemaskan, misalnya kesehatan, relasi sosial, ujian,
karir, kondisi lingkungan dan sebagaianya. Adalah normal, bahkan adaptif, untuk
sedikit cemas mengenai aspek-aspek hidup tersebut. Kecemasan bermanfaat bila hal
tersebut mendorong untuk melakukan pemeriksaan medis secara reguler atau
memotivasi untuk belajar menjelang ujian (Davidson, dkk (2006)).
Menurut DSM-5 kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman,
tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan
proporsi ancaman, atau sepertinya datang tanpa ada penyebabnya – yaitu bila bukan
merupakan respon terhadap perubahan lingkungan. Namun, bila seseorang mengalami
kecemasan atau rasa takut yang berkepanjangan hingga mengganggu rutinitas sehari-
hari, inilah yang disebut dengan gangguan kecemasan (anxiety disorders).
Dalam bukunya psikologi abnormal, Davidson, dkk (2005) mengungkapkan
anxiety disorders atau gangguan kecemasan termasuk gangguan yang berkaitan
dengan fitur-fitur yang berkaitan dengan ketakutan berlebihan dan terkait gangguan
perilaku. Ketakutan adalah respons emosional terhadap ancaman nyata atau yang akan
segera terjadi, sedangkan kecemasan adalah antisipasi ancaman di masa depan.
Meskipun keduanya saling berkaitan tapi mereka tetap berbeda, ketakutan lebih sering
dikaitkan dengan lonjakan gairah yang diperlukan untuk melawan atau melarikan diri,
memikirkan tentang bahaya langsung, dan perilaku melarikan diri. Sedangkan
kecemasan lebih sering dikaitkan dengan ketegangan otot dan kewaspadaan dalam
persiapan untuk menghadapi bahaya di masa depan dan perilaku yang berhati-hati
atau menghindar.
Terkadang tingkat ketakutan atau kecemasan akan berkurang dengan adanya
perilaku menghindar. Gangguan kecemasan (Anxiety disorders) ditandai dengan pola
perilaku yang terganggu di mana kecemasan adalah ciri yang paling menonjol.
a. Penyebab Acrophobia
Beberapa faktor yang diperkirakan dapat memicu timbulnya acrophobia pada
seseorang antara lain:
Pengalaman traumatis, terutama yang berkaitan dengan jatuh dari tempat yang
tinggi atau kecelakaan lainnya. Rasa takut pada ketinggian merupakan rasa takut
yang normal ditemukan pada manusia.
Namun, jika timbul pengalaman traumatis, rasa takut ini dapat berubah menjadi
berlebihan dan menimbulkan gangguan acrophobia. Rasa takut berlebihan ini juga
dapat muncul karena menyaksikan orang lain mengalami kecelakaan yang
berkaitan dengan ketinggian.
Faktor evolusi. Seperti dijelaskan sebelumnya, rasa takut pada ketinggian pada
dasarnya wajar dialami semua orang. Bahkan bayi dan anak kecil menunjukkan
rasa takut apabila terpapar pada ketinggian. Apabila mekanisme perlindungan ini
menjadi ekstrem, seseorang dapat mengalami acrophobia.
Mencontoh. Seseorang anak dengan orang tua yang mengalami acrophobia
cenderung lebih mudah untuk terkena acrophobia juga.
b. Gejala Acrophobia
Serangan panik saat berada pada ketinggian. Rasa panik ini biasanya disertai
dengan gejala bernafas cepat, ngos-ngosan, detak jantung yang tidak teratur,
berkeringat, rasa mual, gemetar, pingsan atau merasa pusing, dan sebagainya.
Rasa takut yang kuat saat mendaki, menuruni, atau berada pada ketinggian.
Rasa cemas yang muncul saat akan menuju tempat yang tinggi.
Timbul reaksi mendadak saat berada pada ketinggian, misalnya berlutut, mencari
sesuatu untuk dipegang, dan sebagainya.
Menghindari ketinggian (seseorang bisa menolak bekerja di gedung tinggi, atau
menolak bertemu teman yang tinggal di lantai apartemen tinggi, dan sebagainya).
Pada beberapa kasus juga bisa muncul serangan vertigo.
Menyadari ketakutan tersebut tidak relevan.
1. Daftar riwayat hidup, pada bagian ini difokuskan untuk memperoleh data mengenai
identitas subyek. Data yang akan diperoleh dapat berupa usia, tempat tinggal, identitas
orang tua, agama, latar belakang keluarga, riwayat tumbuh kembang anak, riwayat
kesehatan, dan sebagainya.
2. Observasi, pada bagian observasi ditunjukkan untuk melakukan pengamatan terhadap
kondisi dan perilaku-perilaku subyek selama wawancara dan tes psikologi yang
nantinya akan dilakukan.
3. Wawancara behavioral (behavioral interview) yaitu pemeriksaan yang dilakukan
dengan mengajukan pertanyaan untuk mengetahui lebih banyak tentang riwayat dan
aspek situasional dari perilaku bermasalah (Nevid, dkk, 2005)
4. Tes Psikologi, yaitu dengan menggunakan beberapa tes seperti Grafis, Wartegg, dan
TAT. Untuk tes Grafis yaitu untuk mengetahui gambaran pribadi subyek, sedangkan
untuk tes yang akan diambil adalah BAUM, DAP, dan HTP. Pada tes Wartegg yaitu
untuk mengetahui gambaran pribadi subyek. Dan tes TAT untuk mengungkap
dinamika kepribadian yang manifest dalam hubungan interpersonal.
IX. TREATMENT UNTUK ACROPHOBIA
1. Terapi Pemaparan
Terapi pemaparan ini dilakukan dengan membuat penderita acrophobia untuk terbiasa
dengan ketinggian. Dengan ini maka penderita acrophobia akan terbiasa dengan
ketinggian dan kecemasan akan ketinggian yang dialami akan berkurang.
2. Terapi Kognitif Perilaku
Seperti yang sudah diketahui kognitif berfungsi untuk memprogram semua perilaku
yang nantinya muncul pada tindakan fisiologis kita. Terapi ini dilakukan untuk
memprogram ulang apa yang terjadi dalam tubuh. Misalnya dengan menanyakan
mengapa ketakutan tersebut bisa muncul, ataupun dengan mengubah ketakutan yang
ada menjadi hal yang biasa. Cara-cara tadi membutuhkan terapis.
3. Menggunakan Obat Tertentu
Pada penggunaan obat ini bukan ditujukan untuk mengobati phobia, namun lebih
kepada gejala berlebihan yang ditimbulkan oleh acrophobia. Penderita acrophobia
bisa menggunakan Beta-blockers atau Benzodiazepines.
4. Menggunakan Virtual Reality (VR)
Dengan kemajuan teknologi yang ada, terapi juga mengalami kemajuan. Dengan
menggunakan perangkat VR, penderita bisa belajar menangani rasa takutnya tanpa
khawatir melukai dirinya sendiri. Pada terapi ini hampir sama dengan terapi
pemaparan, namun pada terapi VR dinilai lebih aman karena tidak langsung menuju
tempat yang tinggi.
Pada akhirnya, acrophobia berbeda dari fobia lain karena memiliki serangan
panik yang cenderung bereaksi lebih cepat dari pada fobia lain. Seperti saat ia berada
di tempat tinggi, ia mengalami serangan panik yang lebih cepat. Kondisi ini bisa
membuat langkah yang membahayakan bagi penderita acrophobia. Jika berada di
ketinggian adalah rutinitas yang harus dilakukan sehari-hari, penderita acrophobia
harus mendapatkan penanganan khusus untuk mengurangi gejala-gejala yang
ditimbulkan.
Menurut Spielberger kecemasan state adalah proses atau reaksi empiris yang
terjadi saat ini pada level intensitas tertentu. Ini dikarakteristikkan dengan perasaan
yang dirasakan secara sadar, subyektif mengenai kecemasan dan tekanan. Kecemasan
state menyebabkan reaksi perilaku langsung melalui mekanisme pertahanan dan
proses adaptif untuk menghindari situasi stress. Kecemasan trait diinterpretasikan
sebagai pengukuran perbedaan individu yang stabil dalam karakteristik kepribadian
yang relatif permanen (Spielberger, 1972). Kecemasan trait mengacu pada perbedaan
pandangan dalam menghadapi suatu kecemasan, relatif stabil dibanding kecemasan
state. Kecemasan trait langsung mempengaruhi penilaian kognitif seseorang, yang
berdampak pada bagaimana seorang individu memandang situasi stres[ CITATION Kar06
\l 1033 ]).
Neurologi membahas masalah kecemasan dan ketakutan melalui penelitian
kondisi sistem syaraf beserta reaksi impuls syaraf ketika seseorang mengalami
phobia. Beberapa bagian otak menjadi kunci dalam produksi rasa takut serta cemas
didalam penelusuran masalah phobia. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakaukan sebelumnya, dapat ditemukan peranan amygdala dan hippocampus ketika
manusia mengalami kecemasan atau ketakutan. Amygdala adalah bagian dalam otak
menusia dengan bentuk menyeruoai almond yang dipercaya berfungsi untuk
menghubungkan bagian penerimaan isayrat atau tanda-tanda dari panca indra dengan
bagian penafsiran isyarat pada otak manusia (National Institute of Mental Health 21-
22).
Amygdala mengirim perintah kewaspadaan pada seluruh bagian otak atas atas
kehadiran ancaman. Perintah dari amygdala kemudian mampu memicu rekasi berupa
rasa cemas serta takut yang berlebihan atas ancaman yang telah diprediksi terjadi
dalam pikiran kita. Kepekaan amygdala serta kecepatan tubuh dalam merespon
kecemasan yang ada berbeda dan bersifat genetis, misalnya meningkatnya tekanan
darah (Spielberger (1972)). Keadaan ini menunjukkan bahwa memori emosional
disimpan pada pusat amygdala jelas berperan dalam kecemasan serta ketakutan yang
berlebihan seperti jenis phobia khusus, yakni takut pada ketinggian (acrophobia).
Saat subyek SMA, sekolahnya terdiri dari dua lantai dan kelasnya berada di
lantai dua. Saat pertama kali menaiki tangga sekolah, ia baru menyadari bahwa ia
merasa takut saat menaiki tangga. Ia berpikir bahwa bila ia menaiki tangga yang
tinggi ini ia akan jatuh. Ia sama sekali tidak menunjukkan reaksi cemas seperti
psikosomatis dan ekspresi ketakutan. Subyek cenderung berdiri mematung dan sibuk
dengan pemikiran bahwa ia akan jatuh. Saat subyek kelas 2 SMA, ia mendapatkan
beasiswa mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika. Gedung sekolahnya
merupakan bangunan bertingkat dan ia mengalami kesulitan saat menuruni tangga
karena tangga tersebut tidak dilengkapi dengan pegangan. Subyek merasa tidak aman
apabila hanya berpegangan pada dinding dan saat itu tidak ada orang yang bisa ia
mintai bantuan untuk menolong menemaninya menuruni tangga. Setelah memastikan
beberapa lama bahwa tidak ada orang yang lewat maka subyek mengambil keputusan
menuruni anak tangga satu per satu dengan posisi duduk hingga seluruh anak tangga
berhasil ia lewati. Subyek baru menyadari bahwa ia benar-benar merasakan takut
terhadap ketinggian saat sedang mengikuti pelajaran yang membahas proses gravitasi.
Banyak usaha yang telah dilakukan oleh subyek untuk mengurangi rasa
takutnya yang berlebihan terhadap ketinggian, sehingga saat ini subyek mampu
mengidentifikasi ketakutan terhadap ketinggian yang kini masih ia rasakan adalah
pada saat ia harus menghadapi situasi ketinggian dengan obyek tangga tanpa
pegangan, tangga curam, tangga lipat dan permukaan tanah yang berbukit-bukit
curam. Rancangan intervensi yang akan diberikan yaitu dengan menggunakan
Asosiasi Bebas (untuk membantu subyek menyadari pengalaman masa lalu yang
menjadi sumber permasalahan bagi dirinya dan mampu memaafkan masa lalu dan
dirinya sendiri); Cognitive Behavior Therapy-Restrukturisasi Kognitif (agar Subyek
mampu mengidentifika-sikan pemikiran-pemikiran negatif pada dirinya yang muncul
ketika berada pada situasi ketinggian atau dihadapkan pada obyek tangga tanpa
pegangan, tangga curam dan tangga lipat serta menggantikannya dengan pemikiran
yang positif); Relaksasi (untuk membuat subyek merasa tenang mengatasi rasa
takutnya terhadap ketinggian); CBT: Exposure in vivo: Situational Exposure &
Flooding Exposure (untuk mengurangi atau menghilangkan ketakutan subyek
terhadap ketinggian); CBT: Exposure in vitro (untuk Membantu subyek mengurangi
atau menghilangkan ketakutan subyek terhadap obyek permukaan tanah yang tinggi
dan berbukit-bukit curam); Clientcentered therapy (untuk membantu subyek
menyadari, memahami dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul akibat
ketakutannya terhadap ketinggian. Pelaksanaan Intervensi berjalan dengan lancar
sesuai rancangan yang telah dibuat. Subjek sangat kooperatif menjalani setiap sesi
yang dijadwalkan.
Pada intervensi sesi pertama, subjek diminta melakukan relaksasi yaitu latihan
pernapasan dan relaksasi damai dengan media audio dan dikontrol melalui pemberian
instruksi. Kemudian dilanjutkan dengan asesi knseling. Subyek masih merasa bingung
dengan penyebab fobia ketinggian yang ia alami. Sesi kedua dilakukan di sebuah
restoran. Subjek melakukan latihan pernapasan kemudian dilanjutkan dengan
menuruni dan menaiki tangga tanpa pegangan mulai dari tangga yang memiliki lebar
paling sempit sampai yang paling lebar Pada sesi berikutnya, dengan konseling,
subyek mampu membahas apa yang dirasakan subyek saat itu, setelah sebelumnya
melaksanakan Exposure In vivo.
Hasil dari intervensi yang telah dilaksanakan yaitu Subyek merasakan adanya
perbedaan saat mencoba obyek yang ia hindari yaitu saat menuruni dan menaiki
tangga tanpa pegangan yang cukup curam dan dengan berbagai ukuran. Sebelumnya
ia cenderung menghindar, atau bila terpaksa harus menggunakan tangga ia menuruni
atau menaikinya dalam waktu yang lebih lama dari orang dewasa lain. Sekarang
subyek berani menaiki dan menuruni tangga dengan kecepatan yang sama dengan
orang lain, tanpa pemikiran bahwa ia akan jatuh.
REVIEW STUDI KASUS ACROPHOBIA
Judul Fobia Ketinggian (Acrophobia) Di UPTD Puskesmas Karangploso
Kabupaten Malang
( A Case Study)
Nama Jurnal Artikel Penelitian Publikasi Perpustakaan
Volume & Halaman -
Tahun 2018
Penulis Nirma Yullidya, S.Psi, M.Psi, Psikolog
Reviewer Melania Laillita K (1511418119) dan Sarnia (1511418148)
Tanggal 03 Oktober 2019
Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa
menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau sepertinya
datang tanpa ada penyebabnya – yaitu bila bukan merupakan respon terhadap perubahan
lingkungan. Namun, bila seseorang mengalami kecemasan atau rasa takut yang
berkepanjangan hingga mengganggu rutinitas sehari-hari, inilah yang disebut dengan
gangguan kecemasan (anxiety disorders). Anxiety disorders atau gangguan kecemasan
termasuk gangguan yang berkaitan dengan fitur-fitur yang berkaitan dengan ketakutan
berlebihan dan terkait gangguan perilaku.
Kecemasan dan ketakutan dalam penelusuran pustaka adalah berbeda namun saling
berhubungan dalam phobia. Takut atau fear adalah upaya menghindari objek atau situasi
yang menyeramkan dan akan menyakitkan lewat pengaturan tindakan. Motif tindakan
seseorang yang mengalami phobia bersifat spontan tanpa proses pertimbangan akibat
ketakutan luar biasa yang menjadi penyebab munculnya reaksi berlebihan. Cemas adalah
suatu upaya menghindari ancaman dari kecemasan yang tidak terpecahkan tanpa memerlukan
kehadiran objek atau situasi nyata. Namun, kecemasan muncul dari dalam diri manusia
bersamaan dengan keberadaannya didunia.
Adapun ciri-ciri gangguan kecemasan
a. Ciri fisik, yang meliputi : Kegelisahan, kecemasan, kegugupan, gemetar, sesak di
bagian perut atau dada, berkeringat hebat, telapak tangan berkeringat, kepala pusing
atau rasa ingin pingsan, mulut atau tenggorokan terasa kering, nafas tersengal-sengal,
jantung berdegup kencang, jari atau anggota tubuh terasa dingin dan mual.
b. Ciri perilaku, yang meliputi : Perilaku menghindar, Perilaku bergantung dan Perilaku
gelisah
c. Ciri kognitif, yang meliputi : Kekhawatiran, merasa takut atau cemas akan masa
depan, terlalu memikirkan atau sangat waspada dengan sensasi yang muncul di tubuh,
takut kehilangan kendali, memikirkan pikiran yang mengganggu secara terus-
menerus, memiliki pemikiran yang membingungkan, tidak mampu menghilangkan
pikiran-pikiran negatif, sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pemikirannya dan
berpikir bahwa segala sesuatunya menjadi tidak terkendali.
Kata fobia (phobia) berasal dari bahasa Yunani phobos, yang berarti ‘takut’.
Konsep rasa takut dan kecemasan sangat berhubungan. Ketakutan adalah kecemasan yang
dialami sebagai respons terhadap ancaman tertentu. Fobia adalah ketakutan akan sebuah
objek atau situasi yang tidak sepadan dengan ancaman yang dimilikinya.
Fobia Spesifik (specific phobia) Adalah ketakutan berlebih yang persisten
terhadap objek atau situasi tertentu yang tidak sesuai dengan bahaya yang sebenarnya
dimiliki objek atau situasi ini.
Berdasarkan DSM V dalam specific phobia ini memiliki beberapa kriteria, yaitu :
a. Menandai ketakutan atau kecemasan terhadap suatu objek atau situasi tertentu
(terbang, ketinggian, binatang, jarum suntik, darah).
b. Objek atau situasi fobia hampir selalu memancing ketakutan atau kecemasan tiba-tiba.
c. Objek atau situasi fobia secara aktif dihindari atau diatasi dengan ketakutan atau
kecemasan yang kuat.
d. Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan bahaya sebenarnya yang
ditimbulkan oleh objek atau situasi tertentu dan pada konteks kultur sosial.
e. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut, biasanya berlangsung
selama 6 bulan atau lebih.
f. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan gangguan-gangguan klinis
yang signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan, atau bidang penting lainnya.
g. Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh gejala dari gangguan mental
lainnya, seperti ketakutan, kecemasan, dan penghindaran terhadap situasi dibantu
dengan gejala seperti panik atau gejala ketidakmampuan lainnya (seperti pada
agorafobia); objek atau situasi yang berkaitan dengan obsesi (seperti pada gangguan
obsesif-kompulsif); ingatan atas suatu trauma (seperti pada gangguan stres pasca
trauma); pemisahan dari rumah atau kasih sayang seseorang (seperti pada gangguan
kecemasan pemisahan); atau pada situasi sosial (seperti pada gangguan kecemasan
sosial).
a. Terapi Pemaparan
b. Terapi Kognitif Perilaku
c. Menggunakan Obat Tertentu
d. Menggunakan Virtual Reality (VR)
Berikut merupakan reaksi fisiologis secara fisik yang akan muncul terhadap kecemasan :
Kardio vaskuler; Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut nadi
meningkat, tekanan nadi menurun, syock dan lain-lain.
Respirasi; napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik.
Kulit: perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh,
rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-gatal.
Gastro intestinal; Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di
epigastrium, nausea, diare.
Neuromuskuler; Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia,
tremor, kejang, , wajah tegang, gerakan lambat.
DAFTAR PUSTAKA
Elish M. Clerkin, M. W. (2009). Imagery and Fear Influence Height Perception. Anxiety Disord Journal.
J., B. B. (1997). In The Theater of Consciouness : The Workspace of The Mind. New York: Oxford
University Press.
Spielberger, D. C. (1972). Anxiety Current Trends in Theory and Research. New York: Academic Press
Inc.