Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif


disertai gatal yang pada umumnya terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada
keluarga atau penderita. Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
dan adanya riwayat atopik (dalam keluarga maupun sendiri).Berbagai faktor dapat
memicu Dermatitis Atopik, antara lain allergen makanan, alergen hirup, berbagai
bahan iritan, dan stres. Tetapi, seberapa besar peran alergen makanan dan alergen
hirup ini masih kontroversial. Meski pada pasien Dermatitis Atopik kerap
dijumpai peningkatan IgE spesifik terhadap kedua jenis alergen ini, tetapi tidak
selalu dijumpai korelasi dengan kondisi klinisnya. Hasil tes positif terhadap suatu
alergen, tidak selalu menyatakan alergen tersebut sebagai pemicu Dermatitis
Atopik, tetapi lebih menggambarkan bahwa pasien telah tersensitasi
terhadapnya.Secara umum, alergen makanan lebih berperan pada Dermatitis
Atopik usia dini. penyebab pasti dermatitis atopik sampai saat ini belum
diketahui, tetapi faktor keturunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya
penyakit.dimana diduga diturunkan secara autosomal resesif dan dominan.1
Dermatitis atopi adalah penyakit kulit yang umumnya sering dikaitkan
dengan gangguan lainnya, seperti rhinitis alergi dan asma,dan dermatitis atopic ini
Diduga merupakan awal dari Penyakit alergi yang meliputi asma dan penyakit
alergi lainnya.Kelainan ini terutama terjadi pada bayi dan anak, dan menghilang
pada 50% kasus pada saat remaja, tetapi ada juga yang menetap dan terus terjadi
hingga dewasa. 2,3
Dermatitis atopik umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat
dikontrol. Sebagian penderita mengalami perbaikan sesuai dengan bertambahnya
usia.Dalam penatalaksanaan penderita DA adalah menghindari atau sedikitnya
mengurangi faktor penyebab, misalnya eliminasi makanan, faktor inhalan, atau
faktor pencetus.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif dengan gejala gatal
dan berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan adanya riwayat
atopi dalam keluarga ataupun penderita. Atopi merupakan hipersensitivitas
abnormal untuk mempertahankan diri dari faktor lingkungan tanpa sensitisasi
yang jelas sebelumnya (contoh rinitis alergik atau asma).1

2.2 SINONIM

Istilah lain dermatitis atopik adalah ekzkema atopik, ekzema


konstitusional, ekzema fleksural, neurodermitis diseminata, prurigo besnier.1

2.3 EPIDEMIOLOGI

Kejadian dermatitis atopik menunjukkan kecenderungan yang terus


meningkat, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di negara
industri, angka kejadian dermatitis atopik yang tinggi.2
Di negara maju (amerika,eropa,jepang dan negara industri lain) Prevalensi
AD telah meningkat selama 30 tahun Terakir. Saat ini diperkirakan bahwa 10-
20% dari anak-anak dan 1-3% orang dewasa Menderita Dermatitis Actopic
dimana Penderita wanita lebih banyak menderita dermatitis atopi daripada pria
dengan rasio 1,3 : 1.4
Dermatitis atopik sering dimulai pada masa bayi awal (yang disebut awal-
awal dermatitis atopik). Sebanyak 45% dari semua kasus dermatitis atopik
dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% mulai pada tahun pertama, dan
85% dimulai sebelum usia 5 tahun. Lebih dari 50% anak yang terpengaruh dalam
2 tahun pertama kehidupan tidak memiliki tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka
menjadi peka selama terjadi dermatitis atopik.4 Sampai dengan 70% dari anak-

2
anak ini memiliki remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini juga dapat
dimulai pada orang dewasa (yang disebut dermatitis atopik onset lambat).,3

2.4 ETIOPATOGENESIS

Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi imunologik, yang
diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang. 1

 Faktor Genetik
Diperkirakan dermatitis atopik diturunkan secara dominan autosomal, resesif
autosomal, dan multifaktrial.
 Faktor Imunologik
Gangguan imunologik yang terjadi pada dermatitis atopik adalah adanya
peningkatan produksi IgE karena aktivitas limfosit T meningkat. Aktivitas
limfosit meningkat karena pengaruh dari IL4. Produksi IL4 dipengaruhi oleh
aktivitas sel T Helper. Sel TH2 akan merangsang sel B untuk memproduksi IgE.
IgE meningkat pada 80% penderita dermatitis atopic. Selain melalui reaksi
hipersensitifitas tipe I, IgE juga berperan sebagai penangkap antigen pada reaksi
IgE-Mediated delayed type hypersensitivity
Sel Langerhans (APC) menyerahkan antigen ke sel T dan menyebabkan sel T
menjadi aktif. Antigen akan berikatan dengan IgE yang menempel pada
permukaan membrane sel Langerhans.

2.5 MANIFESTASI KLINIS1


 Bentuk Infantil (2 bulan-2 tahun)

Terdapat eritema yang berbatas tegas, dapat disertai papul dan vesikel yang miliar
yang menjadi erosive, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi kedua
pipi,ekstremitas bagian fleksor dan ekstensor

3
 Bentuk anak (2-10 tahun)

Merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri (de novo). Lesi
kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul likenifikasi, dan sedikit
skuama. Letak kelainan pada fleksor, kelopak mata, leher dan jarang dimuka.

 Bentuk pada remaja dan dewasa


Lokasi lesi pada remaja adalah di lipatan siku/lutut, samping leher, dahi,
sekitar mata. Pada dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering
mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula berlokasi setempat
misalnya pada bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu atau
skalp. Kadang-kadang lesi meluas dan paling parah di daerah lipatan,
mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar
cenderung berkonfluens menjadi plak likenifikasi dan sedikit skuama. Bisa

4
didapati ekskoriasi dan eksudasi akibat garukan dan akhirnya menjadi
hiperpigmentasi. Pruritus adalah gejala subjektif yang paling dominan dan
terutama dirasakan pada malam hari.

2.6 DIAGNOSIS 1
Diagnosis D.A. didasarkan kriteria yang disusun oleh hanifin dan rajka

KRITERIA MAYOR
- pruritus
- dermatitis di muka atau ekstensor ada bayi dan anak
- dermatitis di fleksura pada dewasa
- dermatitis kronis atau residif
- riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

5
KRITERIA MINOR

- xerosis
- infeksi kulit (khususya oleh S.AUREUS dan virus herpes simpleks)
- dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- iktiosis/hiperliniar Palmaris/keratosis pilaris
- pitriasis alba
- dermatitis dI papilla mame
- white domographism dan delayed blanch response
- keilitis
- lipatan infra orbital dennie-morgan
- konjungtivitis berulang
- keratokonus
- katarak subkapsular anterior
- orbita menjadi gelap
- muka pucat atau eritem
- gatal bila berkeringat
- intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
- aksentuasi perifolikular
- hipersensitif terhadap makanan
- perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
- tes kulit alergi tipe dadakan positif
- kadar lgE di dalam serum meningkat
- awitan pada usia dini

Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu :

tiga kriteria mayor berupa :


- Riwayat atopi pada keluarga,
- Dermatitis di muka atau ekstensor,
- Pruritus.

6
Ditambah tiga kriteria minor :
- Xerosis/Iktiosis/hiperliniar palmaris,
- Aksentuasi perifolikular,
- Fisura belakang telinga,
- Skuama di skalp kronis.

2.7 DIAGNOSIS BANDING 2

Penyakit Gambaran klinis


Seboroik dermatitis Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada
Psoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nail
Neurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada
Contact dermatitis Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga
tidak ada
Skabies Papul, gatal sela jari, positif ditemukan tungau
Penyakit Sistemik Riwayat pemeriksaan fisik, Pemeriksaan fisik sesuai dengan
penyakit
Dermatitis herpetiforme Vesikel berkelompok di daerah lipatan
Dermatofita Plak dengan sentral healing, KOH negative
Immmunodefisiensi Riwayat infeksi berulang
disorder

2.8 Penatalaksanaan

PENGOBATAN TOPIKAL6
Hidrasi kulit. Kulit penderita DA. kering dan fungsi sawarnya berkurang,
mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan
iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya
krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya.
Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan

7
lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah
mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien
dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam. (Djuanda, 2011)
Pasien disarankan Mandi yang sering dengan menambahkan minyak
pengemulsi (1L ditambahkan ke air mandi hangat) selama 5-10 menit dapat
melembabkan kulit. Minyak akan mempertahankan air pada kulit dan mencegah
penguapan. Dokter juga menyarankan pasien untuk memakai emolien seperti
petrolatum atau Aquaphor ke seluruh tubuh saat kulit masih basah, untuk
menyegel kelembaban dan memungkinkan air untuk diserap melalui stratum
korneum. Salep menyebar dengan baik pada kulit yang basah. Bahan aktif harus
diterapkan sebelum emolien. Emolien yang lebih baru seperti Atopiclair dan
Mimyx telah dianjurkan karena memiliki hasil yang lebih unggul, tetapi bahan
tersebut mahal dan perlu evaluasi lebih lanjut.(Kim, 2015)
Kortikosteroid topikal. Pengobatan DA. dengan kortikosteroid topikal
adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun
demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan.
Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya
hidrokortison 1 %-1,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi
menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid
berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai di daerah
genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya
fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara
intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh;
sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah.
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,
misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus
1:5000. (Djuanda, 2011)
Hasil studi dari Belanda oleh Haeck dkk. menunjukkan bahwa penggunaan
kortikosteroid topikal untuk dermatitis atopik pada kelopak mata dan daerah
periorbital aman, namun masih dalam pengawasan karena dapat menginduksi
glaukoma atau katarak. (Kim, 2015)

8
Sebagai rejimen perawatan, bubuk hidrokortison 1,25% dalam Asam
Mantle digunakan sebagai emolien berbasis steroid terbukti efektif dan aman
untuk waktu yang lebih lama (misalnya bulan) untuk mencegah kemerahan akut
dengan penambahan steroid-kelas yang lebih tinggi untuk mengobati kemerahan
akut secara cepat. (Kim, 2015)

Imunomodulator topikal8
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat
diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa
0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam DA.
yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka
panjang dengan salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan
efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi
kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak
mata. (Djuanda, 2011)
Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin
yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil
fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat
mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomycestsuku-baensis,
walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-
drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin.
Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada
makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu
molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga
produksi sitokin TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat.
Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek
imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak
alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik,
tidak seperti takrolimus dan siklosporin.(Djuanda, 2011)
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari
2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati

9
untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut
berpotensi menimbulkan kanker kulit.(Djuanda, 2011)
Sementara klaim ini sedang diselidiki lebih lanjut, obat hanya digunakan
jika terdapat indikasi yaitu untuk dermatitis atopik pada orang yang lebih dari 2 y
dan hanya jika terapi lini pertama gagal.terapi ini jauh lebih mahal daripada
kortikosteroid dan seharusnya hanya digunakan sebagai terapi lini kedua. (Kim,
2015)
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi
pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk
salap hidrofilik, misainya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai
10 %, atau crude coal tar 1 % sampai 5%.(Djuanda, 2011)
Antihistamin. Pengobatan DA. dengan antihistamin topikal tidak
dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan
bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu),
dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila
dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif. (Djuanda,
2011)

PENGOBATAN SISTEMIK5

Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk


mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah,
diberikan berselang-seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering),
kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang
menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat
akan muncul kembali.(Djuanda, 2011)
Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa
gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena
itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya
hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan
doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade

10
reseptor histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam
hari pada orang dewasa.(Djuanda, 2011)
Anti-infeksi. Pada DA. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk
yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin,
sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi
pertama sefalosporin.(Djuanda, 2011)
Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid
dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari
selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari.(Djuanda, 2011)
Interferon. IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi
dan proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan
perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
Siklosporin. DA. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional
dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis
jangka pendek yang dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah
obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan
cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan
menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila
pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera
kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin
dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.
(Djuanda, 2011)

TERAPI SINAR (phototherapy)


Untuk DA. yang berat dan luas dapat digunakan PUVA
(photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau
Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih
baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil,
sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi
sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.(Djuanda, 2011)

11
- Terapi Non-farmakologis
Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap
individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor
tersebut. Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol,
astringen,pemutih, dll), menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin,
kelembaban tinggi.menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak
keringat, menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat
mencetuskan DA. Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah
TDR/agen infeksi, seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan
berbulu. Menghindarkan stres emosi, mengobati rasa gatal.
Berbagai makanan seperti susu, ikan, telur, kacang-kacangan yang dapat
mencetuskan DA harus diidentifikasi secara teliti melalui anamnesis dan
beberapa pemeriksaan khusus. Namun, eliminasi makanan esensial pada
bayi/anak harus berhati-hati karena dapat menyebabkan malnutrisi sehingga
sebaiknya diberi makanan pengganti. Mandi dengan air hangat teratur dua kali
sehari lalu dibilas dengan air biasa dan menggunakan pembersih yang lembut
dan tanpa bahan pewangi akan membersihkan kotoran dan keringat, juga
skuama yang merupakan medium yang baik untuk bakteri. Keadaan itu akan
meningkatkan penetrasi terapi topikal.
Hindari sabun atau pembersih kulityang mengandung
antiseptik/antibakteri yang digunakan rutin karena mempermudah resistensi,
kecuali bila ada infeksi sekunder. Dalam tiga menit setelah selesai mandi,
pasien seharusnya mengaplikasikan pelembab untuk memaksimalkan
penetrasinya. Salap hidrofilik dengan ceramiderichbarrier repair mixtures
akan memelihara kelembaban dan berfungsi sebagai sawar untuk bahan
antigen, iritan, patogen, dan mikroba. Hasil sebuah penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan pelembab akan mengurangi penggunaan kortikosteroid
hingga 50%. Sebuah penelitian pada 100 pasien DA dengan pelembab urea
5% atau losionurea 10% yang diaplikasikan topikal dua kali sehari efektif dan
aman untuk memperbaiki gejala DA derajat ringan sedang.

12
Hindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol atau yang kasar karena dapat
mengiritasi kulit. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari
kerusakan kulit (erosi, eksoriasi) akibat garukan. Gatal dikurangi dengan
emolien ataupun kompres basah. Balut basah (wet wrap dressing) dapat
diberikan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gatal, terutama untuk
lesi yang berat dan kronik atau yang refrakter terhadap pengobatan biasa.
Bahan pembalut (kasa balut) dapat diberi larutan kortikosteroid atau
mengoleskan krim kortikosteroid pada lesi kemudian dibalut basah dengan air
hangat dan ditutup dengan lapisan/baju kering di atasnya. Cara ini sebaiknya
dilakukan secara intermiten dan dalam waktu tidak lebih dari 2-3 minggu.
Balut basah dapat pula dilakukan dengan mengoleskan emolien saja di
bawahnya sehingga memberi rasa mendinginkan dan mengurangi gatal serta
berfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukan sehingga mempercepat
penyembuhan. Bila tidak disertai pelembab, balut basah dapat menambah
kekeringan kulit dan menyebabkan fisura. Penggunaan balut basah yang
berlebihan dapat menyebabkan maserasi sehingga memudahkan infeksi
sekunder.6

2.9 Prognosis
Sulit meramalkan prognosis DA. pada seseorang. Prognosis lebih buruk
bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan
pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus
menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan DA. yang diderita
sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%,
terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa
84% DA. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, DA. pada
anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65 % berkurang
gejalanya. Lebih dari separo DA. remaja yang telah diobati kambuh kembali
setelah dewasa.5

13
BAB III
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Putri Ayu Situmorang
Umur : 28 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Pekerjaan : Petani
Alamat : Jl. Medan no. 69

B. Anamnesis Pasien
a. Keluhan Utama : gatal di tangan kanan, tangan kiri,kaki kanan, kaki kiri, leher
dan wajah
b. Telaah : Os datang dengan keluhan gatal didaerah tangan kanan dan
tangan kiri yang telah dirasakan sejak 2 minggu yang lalu,

14
awalnya lesi berbentuk papul eritem, kemudian bertambah
banyak ke bagian kaki kanan, kaki kiri, leher dan wajah,
sebelumnya os sudah berobat ke puskesmas, dan diberikan
salep yang os sebutkan bergolongan azol, kemudian keluhan
papul eritem sudah berkurang, namun meninggalkan lesi
putih yang datar disertai dengan skuama. Os juga mengaku
sering bersin bersin di pagi hari
c. RPT :-
d. RPK :-
e. RPO : Tidak jelas.

Status Dermatologi
Ruam

Tangan kanan & kiri : skuama, makula hipopigmentasi

Wajah : skuama, makula hipopigmentasi, Ptiriosis Alba

Belakang telinga : skuama

Kaki kanan & kiri : skuma, makula hipopigmentasi

Leher : eritema, skuama

Diagnosa banding : 1.Dermatitis Atopik


2.Dermatitis Kontak Iritan
3.Dermatitis Kontak Alergi
Diagnosa sementara : Dermatitis Atopik

Gambar Ruam :

15
16
Terapi : - Cetirizine 10mg 1x1
- Hidrocotison cream II
- Carbamide carbonyl diamide II

17
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Resume
Seorang perempuan, bernama Putri Ayu Situmorang, usia 28 tahun, datang
dengan keluhan gatal di tangan kanan, tangan kiri, kaki kanan, kaki kiri, leher dan
wajah. Ruam yang dijumpai makula hipopigmentasi, eritem disertai dengan
skuama.

4.2 Diskusi
 Berdasarkan jenis kelamin pada kasus ini, yang mengalami adalah
perempuan, hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa penderita
wanita lebih banyak menderita dermatitis atopi daripada pria dengan rasio
1,3 : 1
 Berdasarkan usia pada kasus ini terjadi pada usia dewasa, hal ini sesuai
dengan teori yang menyebutkan dermatitis atopi dapat terjadi pada fase
infantil, anak, remaja, dan dewasa
 Berdasarkan kasus status dermatologi ditemukan eritema, skuama.
Berdasarkan dari keterangan di atas, maka keluhan yang dialami pasien
sesuai dengan manifestasi klinis dermatitis atopik
 Pada kasus ini juga ditemukan adannya pruritus, dermatitis di fleksura
pada dewasa, dermatitis kronis atau residif, yang pada teori sesuai dengan
kriteria mayor
 Berdasarkan kriteria minor, pada kasus ini juga ditemukan gejala seperti
xerosis, dermatitis non spesifik, muka pucat, dan bibir kering, dimana
gejala ini sesuai dengan teori
 Berdasarkan kasus, lokasi ruam terdapat di daerah wajah, tangan kanan
dan kiri, leher, kaki kanan dan kiri. Pada dermatitis atopik, tempat
predileksi lokasi lesi pada remaja hingga dewasa adalah di lipatan
siku/lutut, samping leher, dahi, sekitar mata. Pada dewasa, distribusi lesi
kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan,

18
dapat pula berlokasi setempat misalnya pada bibir (kering, pecah,
bersisik), vulva, puting susu atau skalp
 Berdasarkan pengobatan yang diberikan yaitu Cetirizine 10mg 1x1,
Hidrocortison cream dan carbamide carbonyl diamide cream (soft u derm).
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa penatalaksanaan
dermatitis atopik diberikan antihistamin (cetrizine 10mg) dan diberikan
kortikosteroid topikal (hidrocortison cream) dan carbamide carbonyl
diamide cream (soft u derm) untuk hidrasi kulit

19
BAB V

KESIMPULAN

1. Dermatitis Atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis, residif (berulang),


disertai gatal.
2. Kelainan Dermatitis atopi pada kasus ini terjadi pada dewasa
3. Faktor pencentus terjadinnya dermatitis atopi pada kasus ini adalah adannya
riwayat alergi.
4. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik dengan
gambaran klinis dari dermatitis atopik.
5. Pada pasien ini ditemukan ruam eritema, erosi, dan skuama pada daerah wajah
ditemukan pitiriasis alba.
6. Penatalaksanaan penderita DA pada kasus ini yang utama adalah hidrasi kulit.
7. Pengobatan DA pada kasus ini untuk menghilangkan gejala dan mencegah
kekambuhan.

20
Daftar Pustaka

1. Djuanda, S., dan Sri A., 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
2. Eichenfild et all. 2014. Guidelines of care for the management of atopic
dermatitis. American Academy of Dermatology Journal. 71:116-32
3. Harahap, M., Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates : Jakarta.2007
4. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin
Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.
5. National Institute of Occupational Safety Hazards (NIOSH), 2009.
Occupational and Environmental Exposure of Skin to Chemic.
6. Siregar, R. S., Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Ed 2., EGC :
Jakarta, 2008
7. Weekly epidemiological record. World Health Organization 2011; 86:
389-400.

21

Anda mungkin juga menyukai