Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HUKUM JUAL BELI (AL-BUYU’)


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur
Dalam Mata Kuliah Fiqih Muamalah II

Disusun oleh:
Kelompok 2

1. CLARISSA SHAFA SALSABILA : 1219084


2. AZIZAH NURHAYATI : 1219086
3. CANI LEFNETIA PUTRI : 1218002
4. SOHIBUL HIZBULLAH : 1218013

Dosen Pembimbing:
IRWIN SETIAWAN

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH-C


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN ) BUKITTINGGI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan atas kehadirat Allah YME. Salawat dan
salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW baserta
keluarga, sahabat, serta pengikutnya yang setia.
Alhamdulillah wasyukurillah, berkat rahmat allah dan taufik-Nya penyusun
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Jual Beli”. Makalah ini
dimaksud untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih Muamalah II di
jurusan Hukum Ekonomi Syariah pada Institut Agama Islam Negeri Bukittinggi.
Mengingat kemampuan penyusun yang masih terbatas, maka penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan-
kekurangan.oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran-saran dan kritikan
yang sifatnya membangun guna perbaikan dimasa yang akan datang dalam
penyusunan makalah selanjutnya.
Akhirnya penyusun mengharapkan agar makalah ini bermanfaat bagi semua
pihak bagi penyusun khususnya dan bagi penbaca pada umumnya.

Bukittinggi,10 Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI …………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………....
B. Rumusan Masalah………………………………………….……...
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN

A. Kaidah Fiqih Tentang Jual Beli......................................................


B. Macam-macam Jual Beli.................................................................
C. Jual Beli Saham dan Istishna’.........................................................
D. Jual Beli Buah yang ada di Pohon..................................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ……………………………………………………….
B. Saran.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan


seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah
dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan
muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan
suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek
kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan
antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa,
hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti
melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual
menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu
dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman
dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah
pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang
saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua
belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.

B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan Beberapa Kaidah Fiqih Tentang Jual Beli?
2. Sebutkan Macam-macam Jual Beli
3. Bagaimana Jual Beli Saham dan Istishna’
4. Bagaimana Jual Beli Buah yang ada di Pohon

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Beberapa Kaidah Fiqih Tentang Jual Beli?
2. Untuk Mengetahui Macam-macam Jual Beli
3. Untuk Mengetahui Jual Beli Saham dan Istishna’
4. Untuk Mengetahui tentang Jual Beli Buah yang ada di Pohon
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kaidah Fiqih tentang Jual Beli

Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’I yang menurut
etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan
secara bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba.i
dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-Syira
(beli).Dengan demikian, kata al-ba’I berarti jual, tetapi sekalius juga berarti
beli.1
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing
definisi sama.
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a) Ulama Sayyid Sabiq
Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas
dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat
dibenarkan.Yang dimaksud harta harta dalam definisi diatas yaitu segala yang
dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak
bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah
(pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (ma’dzun fih) agar
dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
b) Ulama hanafiyah
Iamendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan harta
lain melalui Cara yang khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah dengan kata-
kata tersebut adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling
memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli
c) Ulama Ibn Qudamah

1
Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus, 2005), juz 4
Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam
bentuk pemindahan milik dan pemilikan.Dalam definisi ini ditekankan kata
milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak
haus dimiliki seperti sewa menyewa.2
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu
perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha
di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan
syara’ dan disepakati.Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai
kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain :

a. Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar
menukar.
b. Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi
seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c. Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya
tidak sah untuk diperjualbelikan.
d. Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak
memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli
dengan kepemilikan abadi.

Dasar hukum jual beli


Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam al-quran dan sunah Rasulullah saw.
Terdapat beberapa ayat al-quran dan sunah Rasulullah saw, yang berbicara
tentang jual beli, antara lain :
A. Al-Quran
1. Allah berfirman Surah Al-Baqarah ayat 198
َ َّ ‫ع َر َٰفَت فَٱذْ ُك ُروا‬
‫ٱّلل عِّندَ ْٱل َم ْش َع ِّر ْٱل َح َر ِّام‬ ْ َ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَاح أَن ت َ ْبتَغُوا فَض ًْل ِّمن َّر ِّب ُك ْم ۚ فَإِّذَا أَف‬
َ ‫ضتُم ِّم ْن‬ َ ‫لَي‬
َ ‫ْس‬
َ‫َوٱذْ ُك ُروهُ َك َما َهدَ َٰى ُك ْم َو ِّإن ُكنتُم ِّمن قَ ْب ِّل ِّۦه لَمِّ نَ ٱلضَّالِّين‬

2
Ibid
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu”

B. Sunah Rasulullah saw


Hadist yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasulullah bersabda :
ِ‫ش َه َداء‬
ُّ ‫وال‬,
َ ِ‫ن‬
َ ‫صد ْيق ْي‬
َّ ‫وال‬,
َ ِ‫ن‬
َ ‫ع النَّبي ْي‬ َ ِ‫صد ْوقِ الأَم ْين‬
َِ ‫م‬ َّ ‫التَّاجرِ ال‬
“Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya disurga) dengan
para nabi,shadiqqin, dan syuhada”.3

B. Macam-macam Jual Beli

Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu:

A. Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:


1. Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad,
barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli.
2. Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini
harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat
akad berlangsung.
3. Jual beli benda yang tidak ada, Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan
dalam agama Islam.
B. Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
1. Dengan lisan, akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi
orang bisu dapat diganti dengan isyarat.
2. Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli
ini dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan
ini dibolehkan menurut syara’.

3
Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut : Daral-ma’rifah, 1975), hal.
56.
3. Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang
tanpa ijab kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah
bertuliskan label harganya. Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini
dilarang karena ijab kabul adalah rukun dan syarat jual beli, namun
sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi membolehkannya.
C. Dinjau dari segi hukumnya

Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan
rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur
ulama membaginya menjadi dua, yaitu:

1. Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.


2. Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan
rukunnya.

Sedangkan fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga,
yaitu:

1. Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya


2. Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli,
dan ini tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
a) Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli
janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
b) Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan
khamar.
c) Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan
syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
d) Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib
atau buku-buku bacaan porno.
e) Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya
haram, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada
induknya.
3. Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’
namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya.
Misalnya :
a) jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika
berlangsungnya akad.
b) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu
menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya
dengan harga murah
c) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan
dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
d) Jual beli barang rampasan atau curian.
e) Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.4

C. Jual Beli Saham dan Istishna’

Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual
beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum).
Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan
istisna’, yaitu:

1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad


berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat
akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
2. Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula,
sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen
sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak
bertanggung jawab.

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia


mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang
untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang

4
Ibid
yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan
pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku
di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.

A. SUBJEK
B. SALAM
C. ISTISHNA
D. ATURAN DAN KETERANGAN

Pokok Kontrak

a) Muslam Fiihi
b) Mashnu’
c) Barang di tangguhkan dengan spesifikasi.
d) Harga
e) Di bayar saat kontrak

Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa dikemudian hari


Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan
istishna’.
Sifat Kontrak

a) Mengikat secara asli (thabi’i)


b) Mengikat secara ikutan (taba’i)
c) Salam mengikat semua pihak sejak semula,

sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga


tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.

a) Kontrak Pararel
b) Salam Pararel
c) Istishna’ Pararel
Baik salam pararel maupun istishna’ pararel sah asalkan kedua kontrak secara
hukum adalah terpisah.

D. Jual Beli Buah yang ada di Pohon

Praktek jual beli sudah berkembang sedemikian rupa dengan berbagai cara
dan motif. Baik itu untuk meningkatkan keuntungan atau mencari kemudahan
dan sebagainya. Salah satu bentuk jual beli tersebut adalah membeli buah-
buahan yang masih di atas pohon. Praktek demikian marak karena berbagai
alasan, misalnya penjual sedang membatuhkan uang, sementara pembeli
berharap keuntungan lebih jika membeli buah yang masih dipohon.
Faktor saling membutuhkan menjadi motif jual beli buah-buahan yang masih
dipohon. Misalnya seseorang membeli jeruk yang masih di atas pohon dalam
waktu satu tahun dengan ketentuan akan mengambilnya 3 kali. Bolehkan yang
demikian dilakukan?
Sebenarnya praktek demikian bukanlah hal baru, namun sekarang marak
kembali dilakukan. Ketidaktahuan akan hukumnya juga menjadi faktor lain jual
beli yang demikian berkembang. Dalam sebuah riwayat dari Jabir disebutkan
sebagai berikut:

َ ُ ‫فَقِّي َل َما ت‬. ‫ش ِّق َح‬


ْ َ ‫ش ِّق ُح قَا َل تَحْ َمار َوت‬
‫صفَار َويُؤْ َك ُل‬ َ ‫نَ َهى النَّبِّى – صلى هللا عليه وسلم – أ َ ْن تُبَا‬
َ ُ ‫ع الث َّ َم َرة ُ َحتَّى ت‬
‫مِّ ْن َها‬

Artinya: “Nabi saw melarang dari dijualnya buah sampai tusyaqqih. Maka
dikatakan, apa tusyaqqih? Beliau bersabda: “memerah atau menghijau dan bisa
dimakan”. (HR. Bukhari)
Maksud dari hadits ini adalah ukuran kelayakan buah untuk dikonsumsi
atau telah nampak masak dan enak. Tentu saja ukuran layak dikonsumsi masing-
masing buah jelas berbeda. Bahkan hampir bisa dipastiakan bahwa tidak
mungkin buah dalam satu pohon langsung masak secara menyeluruh.
Lebih lanjut lagi mengenai persoalan ini, dalam riwayat lain Rsulullah
SAW menjelaskan demikian:
‫ش ْيئًا ل َِّم تَأْ ُخذُ َما َل أَخِّ يْكَ بِّغَي ِّْر َحق‬
َ ُ‫صابَتْهُ َجائِّ َحة فَلَ تَحِّ َّل لَكَ أ َ ْن ت َأ ْ ُخذَ مِّ ْنه‬
َ َ ‫إِّ ْن بِّعْتَ ِّألَخِّ يْكَ ت َْم ًرا فَأ‬.

Artinya: “Jika engkau menjual kurma kepada saudaramu (sesama muslim),


lalu kurma tersebut tertimpa musibah atau wabah, maka tidak halal bagimu
untuk mengambil (harga) darinya sedikit pun. Karena engkau tidak dibenarkan
mengambil harta saudaramu sendiri.” (HR. Muslim dan Ibu Jabir)
Ibnul Qayyim dalam kitab I’laa-mul Muwaqqi’iin, menjelaskan bahwa
maksud dilarangnya jual beli buah-buahan yang belum masak, yaitu agar tidak
terjadi kasus memakan harta si pembeli tanpa hak yang dibenarkan, karena
buah-buahan tersebut kemungkinan bisa rusak. Allah telah melarangnya dan
Allah pun menguatkan tujuan dari larangan ini dengan memberi pembelaan
kepada si pembeli yang barangnya rusak karena terkena musibah setelah
terjadinya jual beli yang dibolehkan. Semuanya ini dimaksudkan agar si pembeli
tidak merasa dizhalimi dan hartanya tidak dimakan tanpa adanya hak yang
dibenarkan.
Sementara itu dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj sebagai berikut:

‫غي ِّْر ِّه ال ُمتَّحِّ دُ َمعَهُ ن َْوعًا‬


َ ‫صل ُح‬ َ ‫صل َحهُ َوإِّ ْن بَدَا‬ َ ‫لح )فِّي ال ُك ِّل إِّ َّن بَ ْي َع الث َّ َم ِّر اَلَّذِّي لَ ْم يُ ْب ِّد‬
ِّ ‫ص‬ َّ ‫ُدو ال‬ ُ ‫( َوقِّي َل ب‬
َ ‫وز )البَ ْي ُع ِّأل َ َّن ا َ ْلعا َهةَ تُس ِّْرعُ إِّلَ ْيهُ حِّ ينَئِّذ ِّل‬
‫ض ْع ِّف ِّه‬ ُ ‫ش َج َرة ثابِّت َة ( َل يَ ُج‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ش َج ِّر ) َوه َُو‬ َ ‫َو َم َح ّل ( ُم ْنف َِّردًا‬
َّ ‫ع ْن ال‬
‫علَى ال َم ْن ِّع‬ ِّ ْ‫ط ِّع )ل ِّْل ُك ِّل َح ًال ل ِّْل َخبَ ِّر ال َمذ‬
ُ ‫كور فَإِّنَّهُ يَدُل ِّب َم ْن‬
َ ‫طوقِّ ِّه‬ ْ َ‫فِّيفُوتُ ِّبتَلَ ِّف ِّه الث َّ َمنَ ِّبغَي ِّْر ُمقا ِّبل ( ِّإ َّل ِّبش َْرطِّ الق‬
ْ ‫ُم‬
‫طلَقًا‬

“(Dan menjual buah-buahan sebelum ada yang matang) dari keseluruhannya,


jika buah yang belum matang tersebut dijual, walaupun buah lain yang sejenis
dan setempat sudah matang (tanpa disertai pohonnya), dan buah-buahan tersebut
masih di pohon yang hidup, (maka jual beli itu tidak boleh), karena saat belum
matang hama –bisa saja- akan menyerangnya, karena lemahnya, maka dengan
rusaknya buah, berarti uang pembayaran tersia-sia tanpa imbal balik, (kecuali
dengan syarat memetic semuanya) seketika, berdasarkan hadits yang telah
disebutkan. Sebab hadits tersebut dengan manthuq (redaksional)nya
menunjukkan larangan jual beli seperti itu secara mutlak.”

َ ُ‫ان أَ ْو يَ ْج َه ُل حالَه‬
‫ص َّح‬ ِّ ‫س َاوى فِّيه األ َ ْم َر‬ َ َ ‫طهُ أَ ْو يَت‬
َ ‫لح َوهُ َو مِّ َّما يَ ْند ُُر ا ْختِّل‬
ِّ ‫ص‬ َّ ‫( َولَ ْو بَ ْي َع ث َ َمر )أ َ ْو زَ ْرع بَ ْعدَ بُد ِّو ال‬
‫َّزان (كَتين‬ِّ ‫ْث َل َيت َ َمي‬ ُ ‫ق أَ ْو مِّ َّما ( َي ْغلِّبُ تُلحِّ قُهُ وا ْختِّلط حا ِّدثَة ِّب ْال َم ْو ُجو ِّد ) ِّب َحي‬ ِّ ‫طل‬ ْ ‫واْل‬
ِّ ْ ِّ‫واْلبْقاء‬ ْ َ‫ِّبش َْرطِّ الق‬
ِّ ْ ‫ط ِّع‬
ْ َ‫ط ال ُم ْشت َري )يُ ْعنَى أ َ َحدَ ال ُمت َعاقِّديْنَ َويوافِّقُهُ األُخ ََر (ق‬
‫ط َع ثَ َم ِّر ِّه )أَ ْو‬ َ ‫ص َّح إِّ َّل أ َ ْن يُ ْشت ََر‬ِّ َ‫َوقِّثاء ) َوبِّطيخ (لَ ْم ي‬
ُ ‫عه‬
َ ‫زَ ْر‬
“(Seandainya dijual buah-buahan) atau tanaman yang sudah matang, dan
termasuk buah-buahan atau tanaman yang jarang tercampur dengan yang lain,
atau bisa tercampur dan tidak, atau tidak diketahui keadaannya, maka
penjualannya sah dengan syarat dipetik, ditetapkan di pohon atau tanpa syarat
apapun, sedangkan buah-buahan atau tanaman yang (biasanya matangnya
beriringan, dan yang baru tercampur dengan yang sudah ada), sekira keduanya
tidak dapat dibedakan), (seperti buah tir, ketimun), dan semangka, (maka
penjualannya tidak sah, kecuali pembeli mensyaratkan) maksudnya salah satu
pihak yang bettransaksi dan pihak yang lain setuju (pemetik buah) atau
tanamannya.”

Berdasarkan berbagai sumber rujukan di atas maka pembelian tersebut


hukumnya tidak sah karena terdapat sebagian buah yang belum masak atau
belum layak. Maka dengan demikian sebaiknya kita menjauhi praktek jual beli
semacam ini dan melakukan sesuai ketentuan syariat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

jual beli itu diperbolehkan dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah
sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi
antara mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan.Ada juga
jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual beli yang
sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek
akad dan objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus
dipenuhi, dan itu semua telah dijelaskan di atas.Walaupun banyak perbedaan
pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan rukun dan syarat jual beli,
namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda hanyalah perumusannya
saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.

B. Saran

Semoga dengan pembuatan makalah ini senantiasa menambah wawasan


serta pengetahuan dan yang terpenting adalah menjadi motovasi,baik bagi
penyusun maupun rekan-rekan sekalian. Dengan penuh pengharapan kepada
Allah swt semoga makalah ini menjadi pembuka untuk mendapat kan ilmu
yang lebih banyak dan manfaat guna bekal untuk kehidupan yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

NasrunHaroen, 2007, “fiqhMuamalah”, Jakarta : Gaya Media Pratama.


SuhendiHendi, 1997, “FiqhMuamalah”,Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada.
Drs. GhufronIhsan. MA, 2008, “FiqhMuamalat”, Jakarta :Prenada Media Grup.

Anda mungkin juga menyukai