Anda di halaman 1dari 2

Kamu ingat? Dulu waktu aku masih kecil, aku selalu suka saat bermain bersamamu.

Bahkan jika ada yang


bertanya, "siapa orang yang kamu sukai?" Aku selalu menjawab dirimulah orang yang paling aku sukai.
Yaah siapapun menganggap itu hanya celotehan anak kecil. Tak perlu dianggap.

Kita semakin bertumbuh. Perbedaan usia lima tahun membuat kita semakin canggung dari waktu ke
waktu. Bahkan saat aku umur 14 tahun kamu menjadi guruku di pengajian, aku gugup luar biasa.
Usahamu untuk terlihat biasa saja, membuatku semakin gugup. Selalu saja ada hal lucu yang terjadi
antara kita. Entah aku yang mendadak bodoh, atau kamu yang selalu curi-curi pandang ke arahku.

Kamu ingat? Saat aku berhasil mendapatkan nilai tertinggi saat ujian? Kamu dengan bangganya
mengatakan "dia muridku!" Dihadapan guru besar, para guru dan teman-teman yang lainnya. Aku
senang luar biasa. Ingin rasanya aku mengabadikan momen itu dalam bentuk digital, namun sayangnya
momen itu hanya ada di ingatanku. Aku tak bisa menunjukkan raut bahagiamu kepada yang aku
ceritakan. Kamu memandangiku dengan senyuman utuh. Aku tersenyum kepadamu dengan malu-malu.

Pulangnya, kamu mengejarku. Menyejajarkan langkah agar kita bisa berbincang sepanjang perjalanan.

"Kamu hebat, bisa mendapat nilai terbaik," katamu sambil menatapku. Aku tersenyum, menunduk malu.

"Alhamdulillah, makasih A udah ajarin aku. Aku bisa dapet nilai terbaik, berarti Aa sukses ngajarin aku."
Kamu tertawa, renyah sekali. Ingin rasanya ku bungkus suara tawamu, dan kubuka di kamar diam-diam
agar tak ada yang bisa mencuri dengar.

"Merendah untuk meroket, nih ceritanya..." Kamu tertawa lagi, "...makasih udah jadi murid terbaikku.
Makmum terbaikku. Semoga suatu saat nanti, kamu bisa menjadi makmum di cerita lain dalam
hidupku."

Aku senang bukan kepalang. Dia dengan tulus berterima kasih, aku bisa melihatnya. Matanya teduh
bercahaya, menusuk tajam kedalam kelopakku. Aku bisa merasakannya. Aku nyaman terperangkap
dalam retinanya. Aku tak bisa berkutik dikunci retinanya. Tatapan itu, sorot yang selalu terngiang sampai
sekarang.

Malam itu juga, kamu meminta izin untuk mencintaiku. "Apa boleh jika aku mencintaimu?"

Aku terkejut, tak kusangka kamu akan mengatakan itu. Aku menunduk, tersenyum. "Kenapa minta izin
dulu? Kalaupun aku melarangnya, jika perasaanmu sudah terlanjur ada kamu bisa apa?"

"Jadi aku gak boleh mencintai kamu?"

"Perasaanmu, milikmu. Aku gak punya hak menentukannya."

"Jadi, jawabannya boleh?" Katamu tak sabaran.

"Boleh saja, kan kamu yang nentuin," kataku gemas. Kamu tersenyum, manis sekali.

"Aku gak minta kamu buat punya perasaan yang sama kepadaku. Tapi kalau kamu mau, aku
mengizinkannya." Katamu sambil berlalu mendahuluiku.
Semenjak kejadian itu, kecanggungan diantara kita sedikit demi sedikit mencair. Kita jadi lebih sering
berkomunikasi, dan aku masih menjadi murid kebanggaanmu.

Anda mungkin juga menyukai