Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Epilepsi merupakan masalah neurologi utama. Angka kejadian epilepsi masih
tinggi terutama di negara berkembang. Terdapat sekitar 40-50 juta pasien epilepsi, 85
% di negara berkembang. Insidensi epilepsi di negara berkembang mencapai 50-70
kasus per 100.000 penduduk. Sedangkan prevalensinya antara 0,5-4%. Diperkirakan
prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, sekitar 6,3-10,2 per 1000
penduduk dengan rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1.000 penduduk.1,2
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang
sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan
oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara
paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi.3
Prognosis epilepsi (tergantung EEG dan penyakit neurologis yang mendasari)
dapat dibagi menjadi remisi spontan (20-30 %), remisi dengan obat-obatan (30-40%),
bergantung OAE (10-20 %) dan refrakter/intractable (20 %). Durasi pemberian OAE
(Obat Anti Epilepsi) tergantung pemeriksaan neurologis, penyebab kejang, dan EEG
(Electroencephalograph).4
Neonatal seizure merupakan keadaan emergensi pada neonatus, karena kejang
dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup
bayi atau dapat mengakibatkan sekuele di kemudian hari. Neonatal seizure
merupakan manifestasi disfungsi neurologis, dimana gambaran aktivitas EEG
paroksismal disertai dengan manifestasi klinis motorik, kadang disertai manifestasi
klinis otonomi termasuk efek respirasi, denyut jantung, dan tekanan darah.5
Insidensi epilepsi post neonatal setelah neonatal seizure dilaporkan sekitar 20-
50%. Data ini berdasarkan klinis kejang yang dikonfirmasi dengan EEG atau lebih
sering berdasarkan diagnosis klinis kejang. Penelitian Brunquell dkk melaporkan 21%
epilepsi post neonatal diantara 77 pasien dengan prevalensi lebih tinggi secara
bermakna pada kejang tipe subtle dan tonik general. Pada penelitian lain yang

1
menggunakan amplitude-integrated electroencephalography (aEEG) kontinu sebagai
alat monitor, neonatal seizure klinis dan subklinis diterapi, epilepsi post neonatal
terjadi sekitar 8,3% anak, baik bayi kurang bulan maupun cukup bulan. Insidensi
epilepsi post neonatal tergantung kematangan bayi dan etiologi yang mendasari.6
Karena permasalahan yang mungkin timbul tersebut, maka perlu pemantauan
yang lebih ketat pada pasien epilepsi. Pasien yang dijadikan subyek pemantauan
adalah anak dengan epilepsi dengan riwayat neonatal seizure yang rutin kontrol di
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito. Upaya preventif, kuratif maupun
rehabilitatif jangka panjang pada kasus ini perlu dilakukan untuk mencapai tumbuh
kembang yang optimal. Disamping itu sekuel ini berdampak pada keterbatasan gerak,
faktor risiko terjadinya kematian akibat kejang berulang, keputusasaan dan depresi
pada orang tua sehingga diperlukan upaya pendampingan medis.
Pada kasus panjang ini dipilih kasus seorang anak perempuan berumur 15 bulan
menderita epilepsi dengan riwayat neonatal seizure.

B. ALASAN PEMILIHAN KASUS INI


1. Permasalahan anak dengan epilepsi yang kompleks seperti nutrisi, gangguan
tumbuh kembang, imunisasi, psikososial merupakan tantangan yang perlu
ditangani dalam manajemen anak. Selain itu, pemberian obat antikejang juga
perlu selalu dimonitor dalam hal kepatuhan minum obat dan efek sampingnya.
2. Tempat tinggal pasien yang dekat sehingga memudahkan untuk melakukan
pemantauan
3. Orang tua pasien sangat kooperatif sehingga dengan edukasi dan motivasi yang
kuat diharapkan akan membantu anak mencapai pertumbuhan dan perkembangan
yang baik
Berdasarkan latar belakang tersebut pada pemantauan kasus longitudinal ini
dipilih kasus seorang pasien dengan riwayat neonatal seizure yang kemudian
menderita epilepsi dan Global Developmental Delay (GDD) untuk dilakukan
pemantauan selama 18 bulan sebagai kasus longitudinal.

2
C. TUJUAN
1. Mengikuti dan mengevaluasi outcome pasien epilepsi dengan riwayat neonatal
seizure
2. Mengidentifikasi dan mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi outcome,
untuk meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan morbiditas yang timbul

D. MANFAAT YANG DIHARAPKAN


1. Pasien:
a. Anak epilepsi dengan riwayat neonatal seizure mempunyai masalah yang
kompleks yaitu gangguan tumbuh kembang, masalah gizi, dan kontrol kejang
yang membutuhkan penanganan yang menyeluruh dan berkesinambungan.
Dengan pemantauan longitudinal pada pasien ini diharapkan kita mendapatkan
catatan perjalanan gangguan pada pasien ini.
b. Anak ini juga mengalami missed oportunity of immunization saat rawat inap
pertama, mengingat risiko yang besar bagi anak dengan kejang untuk
mengalami infeksi terutama infeksi SSP (Sistem Saraf Pusat) maka vaksinasi
akan sangat membantu memberikan prevensi primer pada anak ini.
c. Diharapkan dengan penanganan secara komprehensif dan pemantauan berkala
secara rutin yang baik, anak ini akan mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang paling optimal untuk dicapai oleh anak ini dengan
kelainan yang dimilikinya.
d. Pemberian obat topiramate pada anak dengan epilepsi membutuhkan
pengawasan akan efek terapi, interaksi dan efek samping obat.
e. Kepatuhan pasien untuk datang kontrol dan terapi (fisioterapi dan terapi
wicara) sesuai jadwal yang telah ditetapkan selama ini memudahkan untuk
melakukan pemantauan pasien ini.
f. Pasien membutuhkan terapi jangka panjang, sehingga dengan pemantauan
kasus longitudinal diharapkan dapat membantu kedisiplinan pasien dalam
menjalani terapi dan mencegah terjadinya drop out.
g. Dengan penanganan yang menyeluruh, berkala, dan berkesinambungan
diharapkan dapat meminimalisir dampak yang mungkin akan timbul sebagai

3
salah satu upaya preventif primer bagi pencegahan komorbid yang berat,
memberikan terapi dan rehabilitasi gangguan yang sudah timbul.
2. Keluarga
Agar keluarga dapat memahami keadaan pasien dan berperan dalam
penatalaksanaannya sehingga dapat dicapai tumbuh kembang secara optimal.
Perlu diberi pemahaman kepada orangtua dan keluarga bahwa epilepsi
memerlukan intervensi komprehensif yang lama. Epilepsi yang ditangani dengan
baik akan meningkatkan kualitas hidup anak. Perlu kesabaran dari orang tua dan
anggota keluarga lainnya dalam mendampingi anak dan untuk menjalani terapi.
Dengan dukungan dari orang tua dan keluarga, proses terapi dapat berjalan
dengan baik sehingga pasien disiplin dalam menjalankan terapi dan drop-out
dapat dihindari.
3. Peserta PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis)
a. Dengan mempelajari kasus ini, peserta PPDS lebih memahami perjalanan
klinis anak epilepsi, meningkatkan pengetahuan mengenai penatalaksanaan
epilepsi serta memahami cara preventif mencegah komorbid yang dapat
menurunkan kualitas hidup anak-anak tersebut, mengintervensi untuk tumbuh
kembang yang lebih optimal dan usaha preventif melalui kunjungan rumah.
Pada kasus ini terdapat beberapa monitoring yang harus dilakukan dengan
teratur dan berkala serta penatalaksanaan setiap masalah yang mungkin timbul
untuk segera dilakukan tindakan yang adekuat
b. Selain itu peserta PPDS dapat melakukan tata laksana secara menyeluruh dan
berkesinambungan dengan pendekatan yang sistematis, meningkatkan
ketrampilan dan kompetensi peserta PPDS untuk melatih manajemen pasien
secara komprehensif.
c. Dokter anak juga dituntut mampu memberikan penjelasan tentang kondisi
anak, pentingnya kepatuhan pengobatan, kemungkinan gangguan komorbid,
serta efek samping pengobatan jangka panjang. Dengan terus berlatih
berkomunikasi, kemampuan berkomunikasi dokter anak akan terus meningkat
yang sangat diperlukan dalam edukasi pasien dan orangtua.
4. Pasien epilepsi lainnya

4
Dapat menjadi masukan dalam usaha pencegahan dan deteksi dini epilepsi
serta memberikan perawatan yang terbaik pada pasien epilepsi. Penatalaksanaan
dan monitoring jangka panjang pada pasien ini diharapkan akan menjadi contoh
penatalaksanaan bagi penderita kejang lainnya demi mencapai tumbuh kembang
yang optimal dan meningkatkan kualitas hidup mereka
5. Rumah Sakit
Dengan penatalaksanaan yang menyeluruh, berkesinambungan dan
melibatkan bagian-bagian terkait dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
rumah sakit.

E. INFORMED CONSENT
Sebelum pemantauan jangka panjang dilakukan terhadap pasien, peneliti
memberikan penjelasan dan meminta persetujuan lisan dari orang tua pasien (proxy
consent lisan) pada bulan Agustus 2013 dan selanjutnya persetujuan tertulis dari orang
tua pasien (proxy consent tertulis) pada tanggal 12 Agustus 2013 seperti tertera pada
Lampiran 1.

5
BAB II
LAPORAN AKHIR KASUS PANJANG

A. IDENTITAS
Nama : An. NQA Nama ayah : Tn. AAS
Umur : 1 tahun 3 bulan Umur : 26 tahun
Jenis kelamin: Perempuan Pendidikan : SMA
Alamat : Mengger, Gunung Kidul, Pekerjaan : Karyawan swasta
Yogyakarta Nama ibu : Ny. S
Tanggal lahir: 19 September 2012 Umur : 26 tahun
No. CM : 01.60.58.xx Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga

B. LAPORAN KASUS SINGKAT


Seorang anak perempuan usia 1 tahun 3 bulan yang telah terdiagnosis epilepsi
terkontrol dengan riwayat neonatal seizure datang ke Poliklinik RSUP Dr. Sardjito.
Anak lahir spontan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wates, tidak ada asfiksia,
dikelola sebagai sepsis neonatorum, mendapat terapi antibiotik dan fototerapi. Dalam
perawatan RSUD Wates, anak pertama kali kejang saat usia 9 hari, kejang hampir
setiap hari. Anak dirawat di RSUD Wates selama 1 bulan dengan diagnosis neonatal
seizure et causa HIE (Hypoxic Ischemic Encephalopathy), kemudian dirujuk ke RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta.
Selama perawatan di bangsal anak RSUP Dr Sardjito, dilakukan pemeriksaan
serologi CMV (Cytomegalovirus) dan toksoplasmosis, CT (Computed Tomography)
Scan kepala dan EEG untuk pelacakan lebih lanjut penyebab kejang pada anak. Anak
dipulangkan setelah dirawat selama 13 hari dalam keadaan baik tanpa kejang, dengan
etiologi masih belum jelas. Anak diterapi dengan piridoksin per oral (sediaan iv tidak
tersedia) dosis 50-100 mg/kgBB/hari selama 1 minggu = 2 x 50 mg, kemudian
dilakukan evaluasi EEG. Jika klinis dan gambaran EEG membaik berarti berespon
baik, kemungkinan etiologinya adalah pyridoxine dependent epilepsy. Kemudian
dicek aviditas dan Ig (Imunoglobulin) G dan Ig M anti CMV dan anti toksoplasmosis

6
1 bulan kemudian, jika terjadi kenaikan titer 4 kali lipat baru diterapi. Untuk
sementara MRI (Magnetic Resonance Imaging) belum perlu dilakukan.
Anak telah mendapatkan imunisasi dasar di Puskesmas sesuai PPI (Program
Pengembangan Imunisasi) tetapi tidak sesuai IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia).
Anak belum pernah mendapatkan imunisasi ulangan (booster).
Asupan harian anak yaitu nasi + sayur + lauk (ikan/tempe/tahu) 3x sehari
ditambah dengan snack berupa makanan atau minuman ringan 3-4x sehari.
Anak tinggal serumah dengan ibu, saudara kembar, dan kakek nenek. Ayah
bekerja wiraswasta di Kalimantan, pulang tiap 3 bulan sekali. Kondisi sosial ekonomi
keluarga kurang.
Berdasarkan anamnesis keluarga, tidak terdapat anggota keluarga lainnya yang
memiliki kelainan seperti yang diderita oleh anak, tidak ditemukan adanya epilepsi
atau kejang demam di keluarga. Ada riwayat anemia pada ibu. Keluarga memelihara
kucing di rumah, ibu belum pernah diperiksa TORCH (Toxoplasma gondii, Rubella,
Cytomegalovirus, Herpes Simplex Virus and other diseases). Berikut silsilah
keluarga :

60 tahun 55 tahun 54 tahun 49 tahun

23 tahun 29 tahun 12 tahun

26 tahun 26 tahun

15 bulan

Keterangan: = Laki-laki = Perempuan


= Keguguran

Gambar 1. Skema Silsilah Keluarga

7
Saat kontrol pertama (usia 2 bulan) anak tidak kejang, berat badan meningkat.
Dilakukan EEG dengan hasil EEG abnormal irritatif epileptiform tersebar difus. Brain
mapping curiga fokus di sentral. Dibanding rekaman lama stasioner. Klinis dan
gambaran EEG tidak membaik berarti tidak berespon baik dengan pemberian
piridoksin, kemungkinan etiologinya pyridoxine dependent epilepsy bias disingkirkan.
Hasil IgG anti toxo evaluasi 39,7 tidak didapatkan adanya kenaikan titer sehingga
tidak diterapi sebagai toksoplasmosis. Anak dikelola sebagai epilepsi fokal secondary
general. Terapi saat itu topiramate 1-3 mg/kgBB/hari.

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Penunjang Sebelum Pemantauan


No. Pemerik Hasil Tgl/Umur Ket
saan
1. USG Tidak tampak hidrosefalus, suspek 19/10/2012
Kepala ensefalitis, tampak kalsifikasi multiple 1 bulan
parenkim otak
2. CT scan Kesan HIE derajat ringan, tidak tampak 20/10/2012
kepala tanda perdarahan dan infark, normosefal 1 bulan 1 hari
3. DR, Dalam batas normal 20/10/2012
GDS, 1 bulan 1 hari
elektrolit
4. Serologi IgM anti CMV 0,08 (<0,17 negatif) 22/10/2012
CMV IgG anti CMV 26 (> 6 positif) 1 bulan 3 hari
IgM anti toxo 0,04 (<0,55 negatif)
IgG anti toxo 171 (>8 positif)
Aviditas CMV 0,99 (>0,8 menyingkirkan
infeksi > 3 bulan)
5. Mata Tidak didapatkan korioretinitis 22/10/2012
1 bulan 3 hari
6. EEG Gambaran abnormal irritatif 23/10/2012
epileptiform terutama frontocentral 1 bulan 4 hari
bilateral yang menyebar difus dengan
brain mapping curiga fokus di sentral.
Mendukung kemungkinan idiopatic
generalized seizure
7. EEG Gambaran abnormal irritatif 7/11/2012
epileptiform tersebar difus. Brain 1 bulan 20 hari
mapping curiga fokus di sentral.
Dibanding rekaman lama stasioner.
8. EEG EEG sesuai klinis bangkitan umum, 13/11/2013 Bebas
apabila dibandingkan rekaman 1 tahun 2 bulan kejang 1
sebelumnya belum terdapat perubahan tahun
yang signifikan

8
Pada saat kontrol terakhir (usia 15 bulan) anak bebas kejang 1 tahun, makan
sehari-hari sama seperti makanan keluarga 3x1 porsi, berat badan 7,9 kg, belum dapat
berjalan, bicara 1-2 kata. Dilakukan EEG dengan hasil EEG abnormal epileptiform.
EEG sesuai klinis bangkitan umum, apabila dibandingkan rekaman sebelumnya
belum terdapat perubahan yang signifikan. Pasien diterapi dengan topiramate 1-3
mg/kgBB/hari. Pada awal pengamatan, dilakukan tes Denver II dengan hasil personal
sosial C1D0, motorik halus C0D0, bahasa C1D3, motorik kasar C1D1, kesimpulan
anak mengalami Global Developmental Delay (GDD).
Orang tua diedukasi tentang prognosis anak, penyakit yang diderita anak,
komorbid dan penyulit serta komplikasi penyakit yang sering menyertai, dan
pentingnya dukungan keluarga dalam memberikan intervensi dan stimulasi secara
kontinyu dan berkelanjutan bagi perbaikan tumbuh kembang anak ke depan.
Diberikan nasehat kepada keluarga pasien untuk memonitoring kejang dan tumbuh
kembang anak, serta kontrol teratur kepada dokter spesialis neurologi dan bagian lain
yang terkait dengan kondisi anak di masa mendatang. Evaluasi dan observasi tumbuh
kembang akan dilakukan secara berkelanjutan di Poli Tumbuh Kembang untuk
memantau respon terapi dan kemungkinan penyulit maupun komplikasi. Pemeriksaan
penunjang evaluasi akan dilakukan apabila secara klinis terdapat perburukan yang
cepat dan bila tidak terdapat kemajuan respon terapi yang signifikan dengan terapi
yang adekuat.
Diagnosis saat terakhir sebelum dimulai pengamatan :
- Focal Secondarily Generalized Epilepsy
- Riwayat neonatal seizure
- Global developmental delay
Terapi saat terakhir sebelum dimulai pengamatan yaitu topiramate dengan dosis 1
mg/kgbb/hari.

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. URAIAN PENYAKIT
1. Focal Secondarily Generalized Epilepsy
Epilepsi merupakan serangan kejang dua kali atau lebih yang tidak
diprovokasi dan terjadi dalam interval waktu lebih dari 24jam.7
Kata 'epilepsi' berasal dari bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti 'serangan'.
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang
muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat
lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara
paroksismal dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan
epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis
yang serupa dan berulang secara paroksismal.8
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan
cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut
sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan
sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom
(vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari
letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga
dikenallah bermacam jenis epilepsi.9
Epilepsi merupakan bangkitan kejang (seizure) berulang sebagai akibat
adanya gangguan fungsi otak secara intermiten. Disebabkan lepas muatan listrik
abnormal dan berlebihan. Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan
muatan listrik yang berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang
mengakibatkan gerakan yang berulang. Terjadinya depolarisasi pada syaraf akibat
masuknya natrium dan repolarisasi terjadi karena keluarnya kalium melalui
membaran sel. Untuk mempertahankan potensial membran memerlukan energi
yang berasal dari ATP (adenosine trifosfat) dan tergantung pada mekanisme
pompa yaitu keluarnya natrium dan masuknya kalium. Depolarisasi yang

10
berlebihan dapat terjadi karena gangguan produksi energi, peningkatan eksitasi
dibanding inhibisi neurotransmitter, penurunan relatif inhibisi dibanding eksitasi
neurotransmitter.10
Etiologi epilepsi dibedakan menjadi 3 yaitu simtomatik, idiopatik, dan
kriptogenik. Kebanyakan penyebab epilepsi tidak diketahui (68-70%). Pada
etiologi simtomatik (sekitar 30%), bangkitan epilepsi disebabkan oleh lesi
struktural di otak (fokus epileptogenik) misalnya skar, tumor, malformasi
kongenital, lesi desak ruang, trauma kepala, gangguan peredaran darah otak, dan
infeksi, dapat juga disebabkan oleh kelainan metabolik seperti hipoglikemia, atau
disebabkan oleh pengaruh toksik/racun seperti alkohol. Untuk etiologi idiopatik
(sekitar 70%), penyebab epileptic seizure tidak diketahui, tapi umumnya
melibatkan predisposisi genetik tanpa disertai lesi struktural. Sedangkan pada
etiologi kriptogenik, epileptic seizure dianggap simtomatik, meskipun
penyebabnya belum diketahui misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut
syndrome.11
Prevalensi epilepsi dari berbagai penelitian berkisar 1,5–31/1000 penduduk.
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data
hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain
dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia
sekitar 0,7-1,0%, yang berarti berjumlah 1,5-2 juta orang.12
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE (International
League Against Epilepsy) yaitu pada tahun 1981 dan tahun 1989. ILAE pada tahun
1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan
epilepsi) yaitu serangan parsial/fokal (bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus
yang terlokalisir di otak), serangan umum (bangkitan epileptik terjadi pada daerah
yang lebih luas pada kedua belahan otak) dan serangan yang tidak terklasifikasi
(sehubungan dengan data yang kurang lengkap).13

11
Tabel 2. KLASIFIKASI ILAE 1981 untuk Tipe Serangan Kejang/Bangkitan
Epilepsi
Focal Seizures A. Simple focal seizures (consciousness not impaired)
(previously known 1. With motor symptoms
as partial or local 2. With somatosensory or special sensory symptoms
seizures) 3. With autonomic symptoms
4. With psychic symptoms
B. Complex focal seizures (with impairment of
consciousness)
1. Beginning as simple focal seizures and
progressing to impairment of consciousness
 With no other features
 With features as in A.1-4
 With automatisms
2. With impairment of consciousness at onset
 With no other features
 With features as in A.1-4
 With automatisms
C. Focal seizures secondarily generalized
Generalized A. Absence seizures
Seizures B. Atypical absence seizures
(convulsive or C. Myoclonic seizures
nonconvulsive) D. Clonic seizures
E. Tonic seizures
F. Tonic-clonic seizures
G. Atonic seizures
Unclassified
Epileptic Seizures

Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989


adalah berkaitan dengan letak fokus, umum, berkaitan dengan letak fokus dan
umum (campuran), dan epilepsi yang berkaitan dengan situasi.13

12
Tabel 3. KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk Sindroma Epilepsi
Localization-related 1. Idiopathic (with age-related onset)
(focal, local, focal) 2. Symptomatic
epilepsies and 3. Unknown as to whether the syndrome is idiopathic or
syndromes symptomatic
Generalized 1. Idiopathic (with age-related onset-listed in order of age)
epilepsies and Benign neonatal familial convulsions
syndromes Benign neonatal convulsions
Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy (pyknolepsy)
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal (GTCS) seizures on awakening
Other generalized idiopathic epilepsies, if they do not
belong to one of the above syndromes, can still be
classified as generalized idiopathic epilepsies.
2. Cryptogenic or symptomatic (in order of age)
West syndrome (infantile spasms, Blitz-Nick-Salaam
Krampfe)
Lennox-Gastaut syndrome
Epilepsy with myoclonic-astatic seizures
Epilepsy with myoclonic absences
3. Symptomatic
 Nonspecific etiology
Early myoclonic encephalopathy
 Specific syndromes
Epileptic seizures may complicate many disease states.
Under this heading are included those diseases in
which seizures are a presenting or predominant
feature.
Epilepsies and 1. With both generalized and focal seizures
syndromes Neonatal seizures
undetermined Severe myoclonic epilepsy in infancy
whether focal of Epilepsy with continuous spike-waves during slow wave
generalized sleep
Acquired epileptic aphasia (Landau-Kleffner syndrome)
2. Without unequivocal generalized or focal features
Special syndromes Situation-related syndromes (Gelegenheitsanfalle)
 Febrile convulsions
 Isolated seizures or isolated status epilepticus
 Seizures occurring only when there is an acute metabolic
or toxic event due to, for example, alcohol, drugs,
 eclampsia, nonketogenic hyperglycemia, uremia

13
Kejang fokal yaitu kejang yang terjadi jika aktivasi dimulai dari daerah
tertentu dari otak. Epilepsi general merupakan salah satu tipe epilepsi yang
melibatkan kedua hemisfer serebral, dapat berupa primary generalized seizure
maupun diawali partial seizure yang kemudian meluas menjadi secondary
generalized seizure.14
Tujuan terapi epilepsi adalah untuk mengontrol atau mengurangi frekuensi
kejang dan memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan, dan
memungkinkan pasien dapat hidup dengan normal. Pasien yang menjalani terapi
ada yang dapat terbebas dari minum obat 2-4 tahun secara terus menerus, namun
ada juga yang sembuh secara alamiah setelah mencapai usia tertentu dan ada pula
yang harus minum OAE seumur hidup. Sasaran terapi epilepsi adalah
keseimbangan neurotransmiter GABA di otak.15
Tata laksana terapi epilepsi meliputi terapi non-farmakologi yaitu pembedahan
dan diet ketogenik dan terapi farmakologi yaitu terapi menggunakan OAE (Obat
Anti Epilepsi). Banyak variabel yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan
Obat Anti Epilepsi (OAE) pada pediatrik antara lain antara lain OAE-specific
variables (sindrom epilepsi spesifik, efikasi/ efektivitas, efek samping,
farmakokinetik, formulasi, dan sebagainya), patient specific variables (latar
belakang genetik, jenis kelamin, usia, komorbiditas, dan status sosial ekonomi),
dan nation specific variables (ketersediaan dan biaya OAE).16
Beberapa penelitian menunjukkan beberapa kemungkinan faktor prediktor
dari prognosis kejang, termasuk usia saat onset, jenis kelamin, etiologi, tipe
kejang, gambaran EEG, jumlah kejang saat terapi dan respon awal terhadap terapi.
Apabila prognosis epilepsi dibandingkan berdasarkan etiologi (sindrom epilepsy),
epilepsi general idiopatik memiliki prognosis lebih baik dibandingkan epilepsi
simptomatik ataupun kriptogenik.17,18
2. Riwayat neonatal seizure
Neonatal seizure adalah perubahan paroksimal dari fungsi neurologik
(misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf) yang
terjadi pada masa neonatus. Manifestasi disfungsi neurologis ditunjukkan dari
gambaran aktivitas EEG (electroencephalograph) disertai dengan manifestasi

14
klinis motorik. Kejang lama atau berulang berperan dalam perburukan kerusakan
otak.19
Kejang sering terjadi pada periode neonatus (28 hari pertama kehidupan).
Insidensi 1,5-3,5 per 1000 kelahiran hidup bayi aterm dan 10-130 per 1000
kelahiran hidup bayi preterm. Angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara
0,8-1,2 setiap 1000 neonatus per tahun, sekitar 1-5 % bayi pada bulan pertama
mengalami kejang. Insidensi meningkat pada bayi kurang bulan sebesar 20%
sedangkan pada bayi cukup bulan 1,4%. Sekitar 70-80% neonatus secara klinis
tidak tampak kejang, namun secara elektrografik masih mengalami kejang.20
Penyebab tersering neonatal seizure antara lain Hypoxic-Ischaemic
Encephalopathy (HIE), perdarahan intrakranial, infeksi SSP (Sistim Saraf Pusat),
stroke perinatal, metabolik, inborn errors of metabolism, drug withdrawal
syndromes, kongenital, benign idiopathic neonatal convulsions, benign familial
neonatal convulsions, dan idiopatik.21
Neonatal seizure diklasifikasikan berdasarkan klinis kejang antara lain subtle
(50%), tonik (5%), klonik (25%), mioklonik (20%), atau perilaku non-
paroksismal repetitif. Klasifikasi neonatal seizure berdasarkan gambaran EEG
antara lain epileptik dan non-epileptik. 22
Epilepsi dapat terjadi setelah kerusakan otak yang didapat pada masa prenatal,
perinatal maupun paska natal. Penelitian yang dilakukan oleh Eriksson dan
Koivikko diFinlandia, menemukan penyebab epilepsi pada anak-anak adalah
idiopatik (64%), prenatal (15%), perinatal (9%) dan postnatal (12%). Pada
intranatal asfiksia memegang peranan penting, di samping tindakan forsep dan
trauma.23
Komplikasi neonatal seizure antara lain kejang berulang, retardasi mental,
palsi serebral, atrofi serebri, hidrosefalus ex-vacuo, epilepsi,
kelenturan/spastisitas, kesulitan makan. Prognosis neonatal seizure tergantung
EEG dan penyakit neurologis yang mendasari. Jika latar belakang EEG normal,
prognosis neonatal seizure baik. Pada kelainan EEG yang berat menunjukkan
prognosis buruk; pasien tersebut sering memiliki palsi serebral dan
epilepsi. Timbulnya paku pada EEG dikaitkan dengan risiko 30% terkena epilepsi

15
dimasa depan. Meskipun mortalitas dan morbiditas neonatal seizure tinggi
(sekitar 15% dan 30%, satu-setengah dari neonatal seizure kembali normal atau
mendekati keadaan normal. Sepertiga dari korban berkembang menjadi epilepsi.24
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pisani dkk didapatkan bahwa risiko
terjadinya epilepsi pada masa anak-anak dengan riwayat neonatal seizures
mencapai lebih dari 50%, dibandingkan sebesar 0,5% untuk populasi anak secara
umum. Faktor prediktor terjadinya epilepsi antara lain tidak respon terhadap OAE
dimana diperkirakan kelainan serebral yang berat menyebabkan kejang yang sulit
diobati sehingga pada akhirnya menyebabkan epilepsi. Selain itu neonatal seizure
rekuren akan mengganggu neurogenesis di gyrus dentate dan menyebabkan
eksitabilitas neokortikal yang meningkatkan pembentukan kejang. Faktor
prediktor lainnya yaitu gelombang EEG latar yang abnormal berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya epilepsi (dengan RR 1,8) dan lamanya kejang, atau
terjadinys status epileptikus dengan hazard ratio 17.3. Adapun patofisiologi utama
terjadinya epilepsi paska neonatal seizure antara lain adanya kematian sel besar-
besaran sehingga menyebabkan proses epileptogenesis dan kejang berulang atau
berkepanjangan menganggu otak yang sedang berkembang di awal kehidupan
sehingga menimbulkan sirkuit epileptic neuronal.25
Penelitian Pisani dkk tentang sistim penilaian prognostik awal setelah
neonatal seizure tersebut juga menunjukkan bahwa dari 106 bayi baru lahir yang
mengalami neonatal seizure dan diikuti secara prospektif untuk usia
postconceptional 24 bulan, dapat diidentifikasi 6 faktor risiko independen untuk
hasil yang tidak diharapkan yaitu berat lahir, skor Apgar pada 1 menit,
pemeriksaan neurologis saat onset kejang, serebral ultrasonogram, kemanjuran
terapi antikonvulsan, dan adanya status epileptikus neonatal. Setiap variabel diberi
skor dari 0 sampai 3 untuk mewakili rentang dari normal sangat abnormal,
kemudian ditambahkan bersama-sama untuk menghasilkan nilai komposit total,
mulai dari 0 sampai 12. Nilai cutoff dari 4 atau lebih tinggi memberikan
sensitivitas terbesar dan spesifisitas untuk prediksi hasil neurologis yang buruk.25
Hasil penelitian Garfinkle dan Shevell untuk mengidentifikasi faktor-faktor
prognostik klinis untuk palsi serebral, keterlambatan perkembangan umum, dan

16
epilepsi pada bayi dengan neonatal seizure menunjukkan bahwa dari 120 bayi
yang mengalami neonatal seizure, 37 bayi (31%) menderita palsi serebral, 51 bayi
(43%) mengalami keterlambatan perkembangan umum, dan 38 bayi (32%)
menderita epilepsi.26
Penatalaksanaan neonatal seizure adalah untuk mencegah kerusakan otak
dengan cara ventilasi dan perfusi adekuat, koreksi gangguan metabolik bila ada,
dan pemberian obat anti kejang. Durasi pemberian antikejang tergantung
pemeriksaan neurologis, penyebab neonatal seizure, dan EEG.24
3. Global developmental delay
Definisi Global Developmental Delay atau keterlambatan perkembangan
umum adalah keadaan keterlambatan perkembangan yang bermakna pada 2 atau
lebih aspek perkembangan, yaitu motorik kasar-halus, bahasa-bicara, kognitif,
personal-sosial atau adanya hambatan dalam aktifitas harian.27
Komponen perkembangan yang diperiksa pada anak dengan GDD :27
 Komponen motorik (kemampuan motorik kasar seperti bangkit berdiri,
berguling, dan motorik halus seperti memilih benda kecil).
 Kemampuan berbicara dan bahasa (berbisik, meniru kata, menebak suara yang
didengar, berkomunikasi non verbal misalnya gesture, ekspresi wajah, kontak
mata).
 Kemampuan kognitif (kemampuan untuk mempelajari hal baru, menyaring
dan mengolah informasi, mengingat dan menyebutkan kembali, serta
memberikan alasan).
 Kemampuan sosial dan emosi (interaksi dengan orang lain dan perkembangan
sifat dan perasaan seseorang).
Terminologi keterlambatan perkembangan umum biasanya digunakan pada
anak dibawah usia 5 tahun. Terdapat beberapa faktor risiko dan etiologi
keterlambatan gangguan perkembangan umum, mulai dari faktor intrinsik seperti
genetik, metabolik, neurologik, maupun ekstrinsik seperti nutrisi dan stimulasi.
Untuk menentukan etiologi diperlukan anamnesis yang komprehensif tentang
faktor risiko dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan

17
sesuai dengan kemungkinan etiologi dari anamesis dan pemeriksaan fisik yang
didapat.28
Diperkirakan 5-10% anak mengalami masalah keterlambatan perkembangan.
Keterlambatan perkembangan umum merupakan bagian dari keterlambatan
perkembangan, dengan prevalensi sekitar 1-3 % anak usia 0-5 tahun.27
Epilepsi pada anak-anak dapat menimbulkan masalah yang sangat besar pada
kehidupan sosial-ekonomi keluarga, dan masalah tumbuh kembang anak yang
meliputi masalah neurobehavioural dan kognitif anak. Dampak epilepsi terhadap
perkembangan tergantung dari klasifikasi bangkitan epilepsi, usia awitan, etiologi,
faktor pencetus dan respon terhadap pengobatan. Insidensi epilepsi pada anak-
anak dengan keterlambatan perkembangan cukup tinggi, sekitar 10-20%.20
Kejang sering terjadi antara 1-5% pada neonatal yang merupakan satu periode
risiko bangkitan paling tinggi. Jika dibiarkan dan tidak segera ditangani, dapat
mengakibatkan kerusakan otak hingga kecacatan neurologi. Kejang berulang pada
neonatal mengakibatkan penurunan jumlah sel saraf meskipun tidak sampai
menimbulkan kematian sel. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa neonatal
seizure dapat menurunkan DNA, RNA, protein dan kolesterol otak. Sehingga
kejang berulang pada neonatal mempunyai efek yang berat pada perkembangan
otak.24

B. LUARAN
1. Perbaikan klinis penyakit
Prognosis epilepsi diantaranya 20-30% mengalami remisi spontan/terkontrol,
30-40% remisi dengan obat-obatan/tidak terkontrol, 10-20%
4
bergantung/dependent OAE, 20 % mengalami refrakter/intractable.
Epilepsi telah terkontrol adalah bebas serangan kejang/epileptik dalam
jangka waktu tertentu, minimal sekitar 6 bulan-1 tahun. Jika dalam 2 tahun
pengobatan penderita bebas kejang sama sekali, dapat dipertimbangkan
pengurangan dosis perlahan-lahan hingga bebas obat sama sekali.4
2. Progresifitas penyakit penyerta dapat dicegah

18
Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf
anak yang menimbulkan permasalahan. Progresifitas dan komplikasi berbagai
penyakit penyerta terkait epilepsi diharapkan terdeteksi sejak awal dan dapat
dicegah.Beberapa penyakit yang sering menjadi komorbiditas epilepsi adalah
nyeri kepala, depresi, ansietas, kesulitan belajar, gangguan tumbuh kembang, dan
menentukan kualitas hidup anak. Meskipun penjelasannya masih belum
memuaskan, adanya kemungkinan hubungan antara nyeri kepala dan epilepsi
sudah cukup lama diperdebatkan.3
3. Mortalitas dan morbiditas menurun
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pasien epilepsi memiliki risiko
kematian yang lebih tinggi, peningkatan risiko ini berkisar 1,6 sampai 4,1 kali
lebih tinggi dibanding populasi normal dan sering kali berkaitan dengan penyebab
dasar kejang, status epileptikus, bunuh diri, trauma, dan kematian tak-diharapkan
dalam epilepsi. Risiko kematian paling tinggi adalah pasien epilepsi yang disertai
defisit neurologi akibat penyakit kongenital. Kematian pasien epilepsi paling
sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya
bangkitan epilepsi. Mortalitas pada pasien dengan epilepsi kemungkinan besar
bisa terjadi bila epilepsi muncul dalam bentuk status epileptikus dikarenakan
kejang yang tidak terkontrol.3
4. Respon terapi baik
Respon terapi dibagi menjadi respon baik terhadap terapi dan respon tidak
baik. Respon baik terhadap terapi adalah berhentinya kejang dalam 6 bulan setelah
diberi pengobatan OAE.29
5. Efek samping farmakologi topiramate minimal atau bila terjadi dapat diatasi
Efek samping obat yang diamati adalah obat yang digunakan untuk terapi
epilepsi yaitu obat anti kejang atau OAE (Obat Anti Epilepsi). Evaluasi dilakukan
berdasar catatan orang tua dan pemeriksaan oleh dokter saat kontrol di rumah
sakit.
Karena epilepsi pada anak adalah focal secondarily generalized epilepsy,
topiramate efektif untuk mengontrol tipe kejang seperti ini. Efek samping obat
antiepilepsi yang mungkin terjadi karena topiramate antara lain sistim saraf pusat

19
(pusing 4-32%, ataxia 6-16%, somnolen 15-29%, gangguan psikomotor 3-21%,
cemas 9-19%, gangguan memori 2-14%, gangguan bicara 2-13%, fatigue 9-30%,
sulit konsentrasi 5-14%, depresi 9-13%, bingung 4-14%), efek metabolik dan
endokrin (penurunan serum bikarbonat), efek gastrointestinal (nausea 6-12%,
penurunan berat badan 8-13%, anorexia 4-24), neuromuskular & skeletal
(parestesia 1-19%), okular (nistagmus 10-11%, gangguan penglihatan <1-13%),
respirasi (infeksi saluran atas).15
6. Tumbuh kembang optimal
Gangguan perkembangan adalah terdapat dua aspek atau lebih gangguan
perkembangan yang berkaitan dengan patokan nilai (milestones) pada setiap aspek
perkembangan. Aspek perkembangan terdiri atas sosial personal, gerak halus
adaptif, bahasa, gerak kasar.27
Anak dengan epilepsi biasanya akan mendapat gangguan fungsi intelegensi,
pemahaman bahasa, gangguan fungsi kognitif. Kelainan neurologis
penyerta/komorbid adalah kondisi yang ditemukan bersamaan dengan onset
epilepsi, meliputi lumpuh otak, gangguan perkembangan atau perkembangan yang
terlambat, retardasi mental, maupun gangguan sikap dan perilaku seperti
hiperaktif, tantrum, ketidakstabilan emosi, ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder) dan gangguan belajar. Attention-Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan Pikiran/Hiperaktivitas (GPPH)
mempengaruhi anak-anak penderita epilepsi 3-5 kali lebih sering dibandingkan
anak-anak dalam populasi umum. Epilepsi juga lebih sering terjadi pada mereka
yang menderita autisme.28
Gangguan perkembangan yang menyertai anak epilepsi dapat disebabkan oleh
penyebab epilepsi itu sendiri, berupa kerusakan atau gangguan perkembangan
otak, dapat disebabkan oleh jenis epilepsinya atau karena pengobatannya.
Komorbid yang terkait dengan etiologi antara lain disabilitas intelektual dan
perkembangan terlambat. Sedangkan komorbiditas yang terkait dengan terapi
seperti hiperaktif, tantrum, ketidakstabilan emosi, gangguan fungsi hati serta
ketidakseimbangan elektrolit.28

20
Kajian literatur menunjukkan bahwa anak dengan palsi serebral sering disertai
beberapa penyakit penyerta, diantaranya epilepsi. Prevalensi epilepsi pada anak
dengan palsi serebral sekitar 15-55%.28
Gangguan kognitif dapat terjadi sebelum menderita epilepsi atau bersamaan
dengan epilepsi, karena gangguan itu sendiri (seperti inborn error metabolisme
error atau alkohol), akibat dari kejang atau karena pengobatan. Epilepsi terjadi
pada 11% orang dengan ketidakmampuan belajar tanpa palsi serebral, 48% orang
dengan ketidakmampuan belajar dan palsi serebral.28
Berbagai faktor penyebab gangguan kognitif pada epilepsi meliputi usia
terjadinya epilepsi, jenis serangan dan frekuensi epilepsi, penyebab epilepsi,
bagian otak yang terkena, stressor psikososial dan penggunaan obat-obatan lebih
dari obat epilepsi.28
7. Kualitas hidup baik
Luaran yang diharapkan pada psikologis anak adalah membaiknya kualitas
hidup anak yang dapat dinilai berdasarkan scoring PedsQL (Pediatric Quality of
Life).

C. FAKTOR PROGNOSTIK
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor
penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada 50-70% pasien
epilepsi, serangan dapat dicegah dengan obat, sedangkan 50% pada suatu waktu akan
dapat berhenti minum obat. Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi
serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis
pasien.4
1. Pertumbuhan
Semua bayi dan anak harus mendapatkan nutrisi yang adekuat untuk mencapai
pertumbuhan dan perkembangan optimal.
2. Status nutrisi
Pada pasien dengan epilepsi dapat terjadi gangguan nutrisi akibat penyakit
epilepsi itu sendiri yang berupa sulit cerna atau karena efek samping OAE (Obat
Anti Epilepsi). Bila pasien epilepsi mengalami serangan maka akan terjadi spasme

21
pada saluran pencernaan, terjadi kekakuan pada otot rahang sehingga pasien tidak
dapat mengunyah makanan dengan baik, hal ini dapat mengganggu status nutrisi
pasien, dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya malnutrisi pada pasien.
Malnutrisi dapat mempengaruhi perkembangan otak, sistem imun, pertumbuhan
dan perkembangan.9
3. Kepatuhan terapi
Kepatuhan terapi adalah kepatuhan pasien untuk mendapat pengobatan secara
rutin dan sesuai aturan pemakaian obat. Kepatuhan terapi meliputi kepatuhan
minum obat, kepatuhan menjalani rehabilitasi medis berupa fisioterapi dan terapi
wicara. Kalau pasien patuh terhadap terapi diharapkan kejang terkontrol,
intervensi berhasil. Bangkitan kejang dapat terjadi akibat tidak compliance minum
OAE.29
4. Keberhasilan terapi
Faktor prognostik kegagalan terapi epilepsi pada anak diantaranya terapi
epilepsi yang tidak segera, frekuensi serangan kejang sebelum terapi, status
epileptikus, adanya defisit neurologis, dan adanya kelainan neurologi penyerta.
Pemberian OAE tidak segera adalah pemberian OAE pertama kali setelah lebih
dari 2 kali episode serangan kejang. Kalau terapi epilepsy berhasil diharapkan
tidak terjadi gangguan yang lain sehingga kualitas hidup baik.29
5. Faktor penyebab epilepsi
Sindrom epilepsi simptomatik adalah sindrom epilepsi yang diketahui adanya
lesi struktural pada otak, misalnya tumor otak, pascatrauma, pasca ensefalitis,
anomali kongenital, hidrosefalus, iskemik/ infark, dan lain-lain. Sindrom epilepsi
idiopatik adalah epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui, tidak ada lesi
struktural pada otak. Epilepsi simtomatik adalah epilepsi yang paling jelek
prognosisnya dibandingkan penyebab lainnya.3
6. Jenis epilepsi
Jenis epilepsi adalah karakteristik bangkitan kejang berdasarkan International
League Against Epilepsy (ILAE) 1981. Pada penderita kejang umum lebih dari
80% bisa dikendalikan secara baik dengan pengobatan, tetapi pada penderita
kejang fokal persentase tersebut hanya mencapai 50%.2

22
7. Umur
Umur onset kejang adalah umur saat kejang tanpa provokasi pertama kali
terjadi. Onset umur muda adalah umur saat pertama kali kejang kurang dari 1
tahun. Makin muda umur onset kejang, prognosisnya makin buruk.29
8. Jumlah kejang yang terjadi dalam enam bulan pertama
Jumlah dan frekuensi serangan adalah jumlah dan frekuensi serangan kejang
sebelum pasien mendapat terapi OAE.29
9. Defisit neurologis
Defisit neurologis adalah kelainan fungsi neurologis yang menyertai epilepsi,
seperti mikrosefal, makrosefal, gambaran dismorfik, dan kelainan refleks
neurologis.29
10. Kelainan neurologis penyerta
Kelainan neurologis penyerta diantaranya gangguan perkembangan, palsi
serebral, retardasi mental, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas,
gangguan belajar.29

23
D. KERANGKA TEORETIS

Prenatal Genetik

Natal Lingkungan

Postnatal Pelayanan kesehatan

Riwayat neonatal
seizure

Penatalaksanaan Respon terapi

Focal Secondarily Bebas kejang


Generalized Epilepsy

ASUH
Pangan,Sandang,Papan
Jenis epilepsi Palsi serebral Imunisasi,Hygiene
Pengobatan
Etiologi epilepsi Gangguan kognitif Tumbuh
ASIH kembang
Gangguan perkembangan Kasih sayang optimal
Umur

ASAH
Pendidikan, Bermain

Masalah Komplikasi & komorbid Pemantauan Prognosis

Gambar 2. Kerangka teoretis epilepsi

24
E. KERANGKA KONSEPTUAL

Focal Secondarily OAE


Generalized Epilepsy Monitor ESO Epilepsi terkontrol
Pendampingan orang tua Patuh minum obat
ESO tidak ada

Riwayat neonatal seizure

Fisioterapi Tumbuh kembang optimal


Global developmental Terapi wicara
delay

Pengaturan Diet Status Gizi Normal


Status gizi baik Konsultasi Gizi Monitor BB/TB secara
teratur

Booster (DPT, Polio, Hib)


Imunisasi Imunisasi lengkap

Penilaian Rumah Sehat Edukasi Evaluasi Rumah Sehat

Masalah Intervensi 18 bulan Luaran dan Monitoring

Gambar 3. Kerangka konsep penatalaksanaan epilepsi dengan berbagai komorbid

25
BAB IV
PEMANTAUAN DAN TINDAKAN

A. PEMANTAUAN DAN TINDAKAN


Manajemen optimal pada epilepsi memerlukan pendekatan multidisiplin dan
interdisiplin yang berfokus pada intervensi dan pemantauan yang bersifat antisipatif
dan preventif. Pasien diikuti secara prospektif selama 18 bulan (Januari 2014 – Juni
2015) sejak seminar proposal kasus panjang. Pasien diharapkan kontrol secara teratur
ke poli Tumbuh Kembang, Neurologi, dan Nutrisi Anak RSUP Dr Sardjito untuk
pemeriksaan klinis, pemberian OAE, fisioterapi dan terapi wicara, serta konsultasi
nutrisi.
Pada awal pemantauan, pasien diberikan terapi topiramate 1mg/kgbb/hari.
Sedangkan aspek terapi, yang dipantau adalah efek samping obat yaitu mual, muntah,
tremor, dan kenaikan berat badan. Selain itu juga dipantau diet dan status gizi anak.

Tabel 4. Time Table Pelaksanaan Pemantauan

No Kegiatan Rencana Realisasi


pelaksanaan
1 Pembuatan proposal Agustus – Oktober Agustus –
2013 Desember 2013
2 Seminar proposal November 2013 15 Januari 2014
3 Pelaksanaan pemantauan 1 Desember 2013 15 Januari 2014 s/d
s/d 31 Mei 2015 15 Juni 2015
4 Pengolahan hasil Mei – Juni 2015 Agustus 2016
5 Ujian akhir longitudinal case Juli 2015 Maret 2017

26
B. IDENTIFIKASI VARIABEL DAN INTERVENSI
Outcome yang dinilai antara lain kesembuhan, kekambuhan, pertumbuhan,
perkembangan, status gizi, efek samping obat, komplikasi, masalah psikologis, dan
kualitas hidup anak. Target yang ingin dicapai adalah status gizi anak tetap dalam
kondisi gizi baik, perkembangan normal sesuai umur, anak sembuh dari epilepsi, anak
terhindar dari infeksi komorbid epilepsi dan komplikasinya, tidak ada efek samping
obat (ESO) yang timbul. Diharapkan dengan adanya intervensi dari dokter maka
prognosis dan kualitas hidup anak bisa menjadi lebih baik serta angka harapan hidup
bisa mencapai sesuai harapan.
1. Luaran Pemantauan
a. Epilepsi terkontrol
 Definisi operasional : Bebas serangan kejang/epileptik dalam jangka
waktu tertentu, minimal > 6 bulan.
 Cara pengukuran : Klinis (frekuensi kejang, tipe kejang dan durasi kejang)
dan alat elektroensefalografi (EEG).
 Waktu pengukuran : Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan tiap
kunjungan ke poliklinik tiap bulan dan saat kunjungan rumah atau melalui
telepon bila sewaktu-waktu ada keluhan.
 Pengukur : Peneliti
 Intervensi : Edukasi kepada anak dan orangtua tentang bahaya serangan
yang muncul, pengenalan dini gejala diatas, sehingga dapat segera
ditangani dengan cepat.
 Target : Tidak ada serangan kejang/epilepsi berulang
 Kondisi sebelum pengamatan : Bebas kejang 1 tahun
b. Respon pengobatan
 Definisi operasional : Respon terapi epilepsi ditandai dengan epilepsi yang
terkontrol secara klinis, tanpa efek samping obat, dengan pemberian OAE
dalam dosis terapi. Jika dalam 3 tahun pengobatan penderita bebas kejang
sama sekali, maka dapat dipertimbangkan pengurangan dosis perlahan-
lahan hingga bebas obat sama sekali (tappering-off).

27
 Cara pengukuran : Anamnesis keluhan, pemeriksaan fisik dan penunjang
sesuai protokol, secara klinis bebas serangan kejang/epilepsi selama 2
tahun pengobatan. EEG evaluasi normal.
 Waktu pengukuran : Tiga tahun bebas serangan kejang/epilepsi. Klinis
setiap bulan dan atau setiap kunjungan rumah serta orang tua mencatat
dalam buku harian, evaluasi EEG setiap 12 bulan untuk menilai respon
pengobatan yang sudah diberikan
 Pengukur : Peneliti
 Intervensi : Pasien disarankan kontrol ke Poli Neurologi Anak RSUP Dr.
Sardjito secara teratur untuk pemberian OAE (topiramate). Pada awal
pemantauan pasien diberikan topiramate dengan dosis 1 mg/KgBB/hari.
Orang tua diedukasi untuk memperhatikan adanya bangkitan kejang
selama pengobatan dan efek samping yang muncul.
 Target : Tidak ada serangan kejang/epilepsi berulang dan deteksi dini efek
samping pengobatan.
 Kondisi sebelum pengamatan : Respon pengobatan cukup baik, bebas
kejang 1 tahun.
2. Faktor prognostik
a. Rehospitalisasi/rehospitalisasi (rawat inap ulang)
 Definisi operasional : Rawat inap kembali yang terjadi pada masa
pengamatan dengan indikasi akibat kondisi atau keadaan yang
berhubungan dengan sekuel neurologis yaitu kejang, status epileptikus.
 Cara pengukuran : Menanyakan kepada keluarga pasien, melakukan
pengamatan langsung kejadian rehospitalisasi dan menelusuri berdasarkan
rekam medis
 Pengukur : Peneliti
 Waktu pengukuran : Selama periode pengamatan
 Intervensi : Orang tua diedukasi tentang kebersihan badan, termasuk
mencuci tangan, untuk mencegah penyakit infeksi. Orang tua juga

28
diedukasi untuk mengawasi anak terutama saat kejang sehingga terhindar
dari trauma.
 Target : Tidak terjadi kesakitan, komplikasi dari penyakit dan trauma
sehingga tidak memerlukan perawatan kembali di rumah sakit.
 Kondisi sebelum pengamatan : Tidak ada rehospitalisasi

b. Pertumbuhan
 Definisi operasional : Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik
(anatomi) dan struktur tubuh dalam arti sebagian atau seluruhnya karena
adanya multiplikasi (bertambah banyak) sel-sel dan juga karena bertambah
besarnya sel. Perubahan ukuran fisik (anatomis) dan struktural sebagai
akibat multiplikasi sel atau pertumbuhan substansi interseluler. Penilaian
laju pertumbuhan berdasarkan pengukuran antropometri (berat badan dan
tinggi badan), hasil pengukuran kemudian diplotkan berdasarkan panduan
growth chart WHO 2006.
 Cara pengukuran : Indikator pertumbuhan yang dinilai adalah berat badan
(dalam kilogram) dan tinggi badan (dalam centimeter). Penimbangan berat
badan anak dengan timbangan, satuan pengukuran dalam kilogram.
Tinggi badan dengan alat pengukur tinggi badan yang menyatu dengan
timbangan berat badan, satuan pengukuran dalam sentimeter. Berat badan
menurut umur (BB/U) berdasarkan kurva WHO (2006) dan dinyatakan
sebagai normal jika z score >-2 SD, BB kurang (underweight) jika -3 < z
score < -2 SD, dan BB sangat kurang (severely underweight) jika z score
<-3 SD. Tinggi badan menurut umur (TB/U) berdasarkan kurva WHO
(2006) dan dinyatakan sebagai normal jika z score >-2 SD, perawakan
pendek (stunted) jika -3 < z score < -2 SD, dan perawakan sangat pendek
(severely stunted) jika z score <-3 SD.
 Waktu pengukuran : Setiap bulan atau setiap kunjungan
 Pengukur : Peneliti
 Intervensi : Pengukuran BB, TB, dan IMT tiap bulan atau setiap kali
kunjungan, asupan nutrisi sesuai RDA, evaluasi diet dan konsultasi dengan

29
ahli gizi. Rekomendasi pemberian makanan diberikan dalam buku harian
anak. Rencana diet pada pasien ini adalah energi 100kcal/kgbb/hari
(kcal/hari), protein 1g/kgbb/hari (g/hari), cairan 1000ml/hari).
 Target : Pertumbuhan sesuai usia
 Kondisi sebelum pengamatan : Pertumbuhan sesuai usia dimana BB/U -
0,18 SD (normal weight) dan TB/U -0,84 SD (normal height)l
c. Status gizi
 Definisi operasional : Ukuran keseimbangan antara jumlah energi yang
masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan dari tubuh sesuai
dengan kebutuhan individu. Status gizi merupakan status kesehatan yang
dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien,
didasarkan pada data antropometri serta biokimia dan riwayat diit.
 Cara pengukuran : Indikator status gizi yang dipergunakan untuk anak di
bawah umur 5 tahun adalah Berat badan (BB) terhadap tinggi badan (TB)
menurut kurva WHO (2006). Status gizi dinyatakan sebagai gizi baik jika
z score >-2 SD, gizi kurang jika -3 < z score < -2 SD, dan gizi buruk jika z
score <-3 SD. Digunakan juga kurva lingkar lengan atas terhadap umur
menurut WHO karena terdapat hidrosefalus pada paasien dengan
parameter gizi baik jika z score >-2 SD, gizi kurang jika -3 < z score < -2
SD dan gizi buruk jika z score < -3 SD
 Waktu pengukuran : Setiap bulan
 Pengukur : Peneliti
 Intervensi : Diberikan pengetahuan nutrisi seperti panduan untuk
pengaturan menu seimbang sesuai dengan Recommended Dietary
Allowances (RDA).
 Target : Status gizi baik
 Kondisi saat sebelum pengamatan : Gizi baik
d. Perkembangan
 Definisi operasional : Perkembangan adalah proses yang berlangsung
sejak konsepsi, lahir dan sesudahnya, dimana badan, otak, kemampuan

30
dan tingkah laku pada masa usia dini, anak-anak, dan dewasa menjadi
lebih kompleks dan berlanjut dengan kematangan sepanjang hidup
 Cara pengukuran : Denver II, yang perlu diperhatikan adalah dalam
melakukan skrining ini perlu dipastikan usia anak. Pada anak dengan
riwayat kelahiran kurang bulan harus dilakukan koreksi umur, sampai
anak berusia dua tahun. Setelah ditentukan usianya dibuat/diplot garis usia
pada formulir Denver II. Interprestasi pemeriksaan ini yaitu normal bila
tidak ada keterlambatan atau paling banyak satu caution; suspek bila
didapatkan dua atau lebih caution dan atau 1 atau lebih keterlambatan. Dan
tidak dapat diuji bila ada penilaian menolak pada 1 atau lebih uji coba di
sebelah kiri garis umur atau menolak pada lebih dari 1 uji coba yang
ditembus umur pada daerah 75 – 90 %. Pada hasil suspek atau tidak dapat
diuji, uji dapat diulang 1 sampai 2 minggu kemudian. CAT-CLAMS
(capute scales) untuk menilai aspek-aspek perkembangan utama terutama
bahasa dan visual motor yang keduanya merupakan indikator fungsi
kognitif. Interprestasi nilai DQ sebagai berikut:
o Normal: kemampuan bahasa dan visual motornya > 85, dengan
demikian nilai full scale (composite) developmental quotient (FSDQ)
juga > 85
o Suspek: jika DQ pada satu atau kedua aspek < 85 tetapi > 75 (DQ=75-
85). anak-anak ini harus dipantau dengan ketat.
 Waktu pengukuran : Setiap 6 bulan
 Pengukur : Peneliti
 Target : Deteksi keterlambatan dini
 Intervensi : Rehabilitasi medis sesuai kondisi pasien
 Kondisi sebelum pengamatan : Global developmental delay
e. Status Imunisasi
 Definisi operasional : Pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang
pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh untuk
mendukung imunitas tubuh anak.

31
 Cara pengukuran : Anamnesis orangtua, melihat dan memonitor KMS /
kartu imunisasi
 Waktu pengukuran : Sesuai jadwal imunisasi PPI atau IDAI
 Pengukur : Peneliti
 Target : Vaksinasi selanjutnya lengkap sesuai rekomendasi PPI atau IDAI
 Intervensi : Edukasi vaksinasi lengkap sesuai rekomendasi PPI atau IDAI
 Kondisi sebelum pengamatan : Vaksinasi lengkap sesuai PPI
f. Efek samping obat
 Definisi operasional : Efek samping obat adalah suatu reaksi yang tidak
diharapkan dan berbahaya yang diakibatkan oleh suatu pengobatan. Efek
samping topiramate antara lain: kenaikan berat badan, sedasi, dan tremor.
 Cara pengukuran : Pemeriksaan klinis pasien, pencatatan di buku harian
oleh keluarga dan peneliti.
 Pengukur : Orangtua dan peneliti.
 Waktu pengukuran : Setiap bulan atau setiap kali ada keluhan.
 Intervensi : Edukasi orangtua agar segera melaporkan bila ada gejala efek
samping obat.
 Target : Tidak terjadi efek samping obat.
 Kondisi sebelum pengamatan : Tidak terjadi efek samping obat
g. Penilaian rumah sehat
 Definisi operasional : Penilaian rumah sehat sebagai upaya untuk dapat
meningkatkan hidup sehat baik dengan perilaku hidup sehat maupun
sanitasi lingkungan tempat tinggal berdasarkan kriteria rumah sehat
Depkes 2005.
 Cara pengukuran : Penilaian rumah sehat berdasarkan kriteria rumah sehat
dari Depkes 2005 dengan menilai kondisi sanitasi lingkungan dengan
kriteria rumah sehat dengan melakukan kunjungan rumah secara berkala.
Dikategorikan rumah sehat jika nilai totak 1068-1200, sedangkan rumah
tidak sehat jika nilai total <1068.
 Waktu pengukuran : Awal dan akhir pemantauan saat kunjungan rumah.

32
 Pengukur : Peneliti.
 Intervensi : Edukasi dan konseling perilaku hidup sehat dan sanitasi
lingkungan.
 Target : Memenuhi kriteria rumah sehat.
 Kondisi sebelum pengamatan : Belum memenuhi kriteria rumah sehat
h. Kepatuhan minum obat
 Definisi operasional : Taat minum obat adalah bila rutin meminum obat
sesuai anjuran dokter dan diukur dengan penghitungan sisa masing-masing
obat. Dikatakan tidak taat minum obat bila anak tidak mau minum obat
pada hari tersebut sampai dengan hari berikutnya sehingga anak tidak
minum obat selama 1 hari atau lebih padahal obat tersedia. Efek samping
obat adalah suatu reaksi yang tidak diharapkan dan berbahaya yang
diakibatkan oleh suatu pengobatan. Efek terapi topiramate untuk
mengontrol epilepsi didapatkan dengan pemberian dosis 0,5-3mg per hari.
 Cara pengukuran : Pemeriksaan klinis pasien, pencatatan di buku harian
oleh keluarga dan peneliti.
 Pengukur : Orangtua dan peneliti.
 Waktu pengukuran : Setiap bulan atau setiap kali ada keluhan.
 Intervensi : Edukasi orangtua agar segera melaporkan bila ada gejala efek
samping obat.
 Target : Patuh minum obat
 Kondisi sebelum pengamatan : Compliance pasien cukup baik
i. Kepatuhan fisioterapi dan terapi wicara
 Definisi operasional : Tingkat ketepatan perilaku mengikuti fisioterapi dan
terapi wicara.
 Cara pengukuran : Kepatuhan dinilai dengan metode penanggalan.
Dilakukan juga pencatatan di buku harian oleh keluarga dan peneliti.
 Pengukur : Orangtua dan peneliti.
 Waktu pengukuran : Penilaian kepatuhan setiap bulan, penilaian
pencapaian target evaluasi setiap 4-5 bulan.

33
 Intervensi : Mengingatkan orangtua untuk melakukan fisioterapi dan terapi
wicara serta mendampingi saat kontrol evaluasi.
 Target : Memperbaiki pergerakan motorik dan keseimbangan dan
memperbaiki gangguan bicara
 Kondisi sebelum pengamatan : Patuh fisioterapi dan terapi wicara

34
C. PEMANTAUAN
Tabel 5. Lembar Pemantauan dan Intervensi
No Parameter Instrumen Target Intervensi Evaluasi
1. Epilepsi terkontrol Klinis bebas kejang Tidak ada serangan Minum obat dan kontrol Klinis bebas kejang setelah
kejang/epilepsi berulang teratur tappering off
EEG
dengan penurunan dosis Tappering-off 6bulan EEG normal
bertahap
2. Rehospitalisasi Rawat inap Tidak terjadi kesakitan, Edukasi kebersihan badan, Evaluasi dan monitor tanda-
komplikasi dari mis mencuci tangan tanda infeksi tiap kali
penyakit dan trauma kunjungan
Catch-up imunisasi
3. Pertumbuhan dan BB, TB Pertumbuhan optimal, Diberikan pengetahuan nutrisi Monitor BB, TB, status gizi
status gizi status gizi baik seperti panduan untuk tiap bulan.
pengaturan menu seimbang
sesuai dengan Recommended
Daily Allowances (RDA)
4. Status Imunisasi Evaluasi jadwal Imunisasi lengkap Booster DPT, booster Polio, Sesuai jadwal imunisasi
imunisasi sesuai program IDAI vaksin pneumokokus mengutamakan prioritas dan
ekonomi
5. Efek samping obat Evaluasi check list Tidak terjadi efek Edukasi orangtua agar segera Monitor setiap bulan atau
samping obat melaporkan bila ada gejala setiap kali ada keluhan
efek samping obat
6. Penilaian rumah Kriteria rumah sehat Memenuhi kriteria Edukasi perilaku sehat dan Awal dan akhir pemantauan
sehat dari Depkes 2005 rumah sehat sanitasi lingkungan saat kunjungan rumah

35
D. PENGUMPULAN DATA

Tabel 6. Lembar Pengumpulan Data


No Variabel yang dinilai 2014 2015
Jan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
1 Evaluasi Klinis
a. Berat badan/ Tinggi Badan 8,3/73,0
b. Status gizi Normal
c. Pencapaian target kalori 1224kkal/hr
d. Konsultasi ahli gizi Ya
2 Monitor perkembangan Ya
3 Evaluasi neurologi
a. Kejang Ya
b. EEG Ya
4 Kepatuhan obat Ya
Efek samping obat
Mual Tidak
Muntah Tidak
Penurunan berat badan Tidak
Somnolen Tidak
5 Infeksi
a. Infeksi saluran pernapasan Tidak
b. Diare Tidak
c. Pneumonia Tidak
6 Fisioterapi Ya
Terapi wicara Ya
7 Imunisasi sesuai jadwal Ya
8 Kunjungan rumah Ya

36
BAB V
HASIL PEMANTAUAN LONGITUDINAL

A. LUARAN PEMANTAUAN
1. Epilepsi terkontrol
Pada awal pemantauan anak bebas kejang 1 tahun, mendapat terapi topiramate 1
mg/kgbb/hari. Selama pemantauan, hasil rekaman EEG ke4 (2 Oktober 2014)
menunjukkan EEG mendukung klinis bangkitan umum, dibandingkan rekaman
sebelumnya (13 November 2013) frekuensi dan amplitude gelombang epileptiform
membaik. Dengan terapi topiramate dosis 1 mg/kgbb/hari, kejang dapat terkontrol.
Pada akhir pemantauan dilakukan evaluasi EEG (rekaman EEG ke5, 25 Mei 2015)
dengan hasil dapat mendukung klinis bangkitan umum. Adakah pada bulan-bulan
terakhir manifestasi pemberatan gangguan tumbuh kembang? Saat ini anak telah
bebas kejang 2,5 tahun (kejang terakhir November 2012) dan OAE tetap dilanjutkan
dengan dosis tersebut di atas dikarenakan hasil evaluasi EEG belum membaik.

Tabel 7. Permasalahan berkaitan dengan epilepsi


No. Masalah Intervensi Hasil
1 2 Oktober 2014
EEG mendukung klinis Melanjutkan terapi Kejang terkontrol
bangkitan umum, topiramate 1 Bebas kejang 2 tahun
dibandingkan rekaman mg/kgbb/hari
sebelumnya (13 EEG abnormal
November 2013)
frekuensi dan amplitude
gelombang epileptiform
membaik
2 25 Mei 2015
EEG dapat mendukung Melanjutkan terapi Kejang terkontrol dengan
klinis bangkitan umum. topiramate 1 1 macam OAE.
Adakah pada bulan-bulan mg/kgbb/hari Bebas kejang 2,5 tahun
terakhir manifestasi Evaluasi perkembangan (Kejang terakhir
pemberatan gangguan November 2012)
tumbuh kembang?

37
Intervensi :
Melanjutkan topiramate dengan dosis 1 mg/kg/hari PO sampai 3 tahun bebas
kejang kemudian evaluasi EEG. Orang tua diedukasi tentang perlunya pemilihan jenis
OAE untuk mengontrol kejang anak, perlunya konrol di Poli Neurologi anak secara
rutin, dan pemantauan efek samping obat.
Interpretasi :
Kejang anak secara klinis merupakan kejang fokal. Kejang dapat dikontrol dengan
pemberian topiramate 1 mg/kgbb/hari. Orang tua telah diedukasi tentang pemantauan
efek samping obat.

2. Rehospitalisasi
Monitor masalah komorbid, yaitu penyakit infeksi ataupun trauma selalu
ditanyakan setiap kontrol dan orangtua diberikan edukasi bila ada keluhan segera
disampaikan kepada peneliti. Komorbid dideteksi dengan instrumen untuk
mengetahui gangguan komorbid. Masalah infeksi yang muncul selama pemantauan
adalah beberapa kali anak mengalami infeksi saluran pernapasan atas yang ditandai
batuk, pilek, dan demam dikarenakan kelelahan pada anak. Namun tidak ada
komplikasi didapatkan pada anak. Keluhan membaik setelah 3-5 hari.

Tabel 8. Masalah Komorbid Selama Pemantauan


Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

a. Infeksi - - - - - - - - - - - - - - + - - -
saluran
pernapasan
atas
b. Diare akut - - - - - - - - - - - - - - - - - -

c. Pneumonia - - - - - - - - - - - - - - - - - -

d. Trauma - - - - - - - - - - - - - - - - - -

e. Lain-lain - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Intervensi :
Edukasi kebersihan badan, termasuk mencuci tangan dan mandi, kepada orang tua.

38
Interpretasi :
Secara umum kekebalan tubuh anak baik. Selama pemantauan anak mengalami
infeksi saluran pernapasan atas, namun tidak terjadi komplikasi yang berat. Orang tua
telah cukup baik mengasuh anak dalam mencegah infeksi. Anak tidak mengalami
rehospitalisasi, baik karena epilepsi maupun infeksi yang mungkin bisa terjadi.

B. FAKTOR PROGNOSTIK
1. Pertumbuhan
Pemantauan pertumbuhan dilakukan setiap bulan pada saat pasien kontrol ke rumah
sakit. Pertumbuhan dinilai dengan melakukan pengukuran berat badan dan tinggi
badan. Hasil penilaian tersebut diplotkan ke dalam kurva pertumbuhan WHO.
1. Berat badan
Monitor berat badan berdasarkan usia (Z-score) selama pemantauan
berdasarkan kurva pertumbuhan WHO ditunjukkan pada Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Grafik berat badan terhadap usia (BB//U) berdasarkan WHO 2006

39
Gambar 5. Grafik penambahan berat badan pasien berdasarkan usia

Intervensi :
Pasien dimonitor berat badan setiap bulan saat anak kontrol ke poliklinik.
Interpretasi :
Pada awal pemantauan BB//U, pasien berumur 15 bulan dan memiliki berat
badan 8,3 kg. Berdasarkan kurva pertumbuhan WHO 2006 berdasarkan umur,
berat badan menurut umur berada pada -0,18 SD (normal weight). Selama 18
bulan pemantauan pasien mengalami peningkatan berat badan yang stabil. Pada
akhir pemantauan, pasien berumur 34 bulan, dengan berat badan 10,5 kg.
Berdasarkan kurva pertumbuhan WHO 2006 berdasarkan umur, berat badan
menurut umur berada pada -1,17 SD (normal weight). Penurunan berat badan
terjadi pada usia 2,5 tahun karena pasien menderita batuk pilek. Kepada orang tua
telah diberikan pengetahuan nutrisi seperti panduan untuk pengaturan menu
seimbang sesuai dengan RDA.

40
2. Tinggi badan
Monitor tinggi badan berdasarkan usia (Z-score) selama pemantauan
berdasarkan kurva pertumbuhan WHO ditunjukkan pada Gambar 6 di bawah ini.

Gambar 6. Grafik tinggi badan terhadap usia (TB//U) berdasarkan WHO 2006

Gambar 7. Grafik penambahan tinggi badan pasien berdasarkan usia

41
Intervensi :
Pasien dimonitor tinggi badan setiap bulan saat anak kontrol ke poliklinik.
Interpretasi:
Pada awal pemantauan, tinggi badan pasien 73,0 cm. Berdasarkan kurva
pertumbuhan WHO 2006 berdasarkan umur, tinggi badan pasien berada pada -
0,84 SD (normal height). Selama 18 bulan pemantauan tinggi badan anak
meningkat 12,8 cm (dari 73,0 cm menjadi 85,8 cm). Berdasarkan kurva
pertumbuhan WHO 2006 berdasarkan umur, tinggi badan menurut umur pada
akhir pemantauan berada pada -1,30 SD (normal height).
2. Status gizi
Kurva pertumbuhan berat badan terhadap tinggi badan pasien selama pemantauan
berdasarkan kurva pertumbuhan WHO ditunjukkan pada Gambar 7 di bawah ini.

Gambar 8. Grafik berat badan terhadap tinggi badan (BB//TB) berdasarkan WHO 2006

Intervensi :
Intervensi yang dilakukan adalah edukasi diet dengan gizi seimbang sesuai dengan
RDA. Pada pemeriksaan, yaitu saat pasien berumur 15 bulan, dengan berat badan
aktual 8,3 kg dan tinggi badan 73,0 cm, berat badan ideal pasien menurut kurva

42
pertumbuhan CDC 2000 adalah 12 kg. Perhitungan kebutuhan kalori, protein, dan
cairan berdasarkan RDA pada anak berumur 15 bulan adalah sebagai berikut:
- Kebutuhan kalori = 102 kkal/kgbb ideal/hari = 1224 kkal/hari
- Kebutuhan protein = 1,23 g/kgbb ideal/hari = 14,76 g/hari
- Kebutuhan cairan = 112 – 125 ml/kgbb/hari = 1344 - 1500 ml/hari
Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sesuai dengan perhitungan di atas, pasien
diberikan contoh daftar menu diet harian yang terdiri dari tiga kali makan utama dan
dua kali makan selingan (snack), ukuran rumah tangga, dan daftar bahan makanan
penukar dengan nilai gizi yang sama sehingga dapat saling menggantikan.
Interpretasi :
Status gizi dinilai dengan berat badan terhadap tinggi badan berdasarkan kurva
WHO (2006). Pada pemeriksaan pertama, pasien berumur 15 bulan, dengan berat
badan 8,3 kg, tinggi badan 73,0 cm. Berdasarkan kurva pertumbuhan WHO 2006
berdasarkan berat badan terhadap tinggi badan berada pada -0,62 SD (normal),
sehingga pasien berstatus gizi baik. Selama pemantauan 18 bulan, berat badan
terhadap tinggi badan selalu normal berada di antara -1 dan 0 SD. Pada akhir
pemantauan, pasien berumur 34 bulan, dengan berat badan 10,5 kg, tinggi badan 85,8
cm. Berdasarkan kurva pertumbuhan WHO 2006 berat badan per tinggi badan berada
pada -1,1 SD (normal).

Tabel 9. Varietas makanan untuk anak dengan kebutuhan kalori 1224 kkal/hari
Waktu Bahan makanan G
Pagi Nasi 100
Telur 50
Sayur 50
Minyak 7,5
Gula pasir 10
10.00 Kacang ijo 100
Siang Nasi 150
Tahu 100
Sayur 50
Pepaya 100
Minyak 7,5
16.00 Kacang ijo 50

43
Malam Nasi 100
Tempe/tahu 100
Sayur 50
Pisang 50
Minyak 7,5
Gula 10

Tabel 10. Kandungan nutrisi menu makan dengan kebutuhan kalori 1224 kkal/hari

Nilai gizi
Energi (kcal) 1224
Protein (g) 14,76
Lemak (g) 36,7
Karbohidrat (g) 100

3. Perkembangan
Untuk menilai respon pasien terhadap stimulasi perkembangan dilakukan uji
denver II. Pada pasien ini awalnya ditemukan global developmental delay saat mulai
pengamatan (usia 15 bulan). Hasil uji Denver II usia 15 bulan didapatkan personal
sosial (C=1, D=0), motorik halus (C=0, D=0), bahasa (C=1, D=3) dan motorik kasar
(C=1, D=1).

44
Gambar 9. Hasil Pemeriksaan Denver II Selesai Pengamatan

Intervensi :
Intervensi yang dilakukan adalah fisioterapi rutin untuk motorik kasar yang
dilakukan seminggu sekali oleh orang tuanya di klinik dekat rumah pasien dan terapi
wicara diRSUP DR Sardjito.
Interpretasi :
Selama pemantauan anak mengalami sedikit perbaikan. Pada akhir pengamatan
didapatkan hasil uji Denver II yaitu personal sosial (C=0, D=0), motorik halus (C=0,
D=0), bahasa (C=1, D=1) dan motorik kasar (C=0, D=0). Pasien mengalami
keterlambatan bicara.
4. Status Imunisasi
Imunisasi diberikan di RSUD Wates sesuai dengan jadwal yang diberikan oleh
PPI. Sebelum pengamatan anak belum pernah mendapatkan imunisasi booster,
imunisasi yang telah diberikan adalah hepatitis B, polio iv, BCG, DPT, dan campak.

45
Selama pemantauan dilakukan catch-up imunisasi, mencakup booster DPT, Hib,
polio, campak dan vaksin pneumokokus, seperti ditunjukkan pada gambar 9.

Gambar 10. Jadwal imunisasi menurut IDAI tahun 2014

Tabel 11. Pemberian Imunisasi pada Pasien selama Pemantauan

Umur pemberian vaksin


Jenis
Bulan Tahun
vaksin
0 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 10 12 18
BCG
Hep B
Polio
DTP
Campak
HIB
PCV
Influenza Diberikan setiap tahun
Varisela 1x
MMR
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Keterangan: diberikan sebelum pemantauan
diberikan selama pemantauan

46
Intervensi :
Pasien akan diberikan imunisasi sesuai rekomendasi IDAI 2014.
Interpretasi :
Selama pemantauan, imunisasi yang direkomendasikan IDAI 2014 tidak diberikan
pada kasus ini karena keterbatasan biaya.
5. Penilaian rumah sehat
Penilaian kondisi perumahan dilakukan sesuai dengan kriteria rumah sehat
menurut Pedoman Tenis Penilaian Rumah Sehat (Departemen Kesehatan RI, 2005)
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 12. Penilaian Rumah Sehat


No Penilaian Awal Pengamatan Akhir Pengamatan
(Januari 2014) (Juni 2015)
Deskripsi temuan Nilai Deskripsi temuan Nilai
Komponen rumah (bobot = 31)
1. Langit-langit Ada, bersih, tidak rawan 2 (62) Ada, bersih, tidak rawan 2 (62)
kecelakaan kecelakaan
2. Dinding Permanen (semen) 3 (93) Permanen (semen) 3 (93)

3. Lantai Tanah/plesteran yang retak 1 (31) Ubin 2 (62)


dan berdebu
4. Jendela kamar tidur Ada 1 (31) Ada 1 (31)
5. Jendela ruang keluarga Ada 1 (31) Ada 1 (31)
6. Ventilasi Ada, luas ventilasi >10% 2 (62) Ada luas ventilasi >10% 2 (62)
dari luas lantai dari luas lantai
7. Lubang asap dapur Ada, luas ventilasi <10% 1 (31) Ada, luas ventilasi <10% 1 (31)
dari luas lantai dapur dari luas lantai dapur

8. Pencahayaan Terang dan tidak silau, 2 (62) Terang dan tidak silau, 2 (62)
dapat membaca dengan dapat membaca dengan
normal normal
Sarana sanitasi (bobot = 25)
1. Sarana air bersih Ada (sumur) 3 (75) Ada (sumur) 3 (75)
2. Jamban Ada, leher angsa, septic 4 (100) Ada, leher angsa, septic 4 (100)
tank tank
3. Sarana pembuangan Ada, diresapkan dan tidak 3 (75) Ada, diresapkan dan tidak 3 (75)
limbah mencemari sumber air mencemari sumber air
(jarak >10m) (jarak >10m)
4. Sarana pembuangan Ada, tidak kedap air, tidak 1 (25) Ada, kedap air dan 3 (75)
sampah ada tutup bertutup
Perilaku penghuni (bobot = 44)
1. Membuka jendela Kadang-kadang 1 (44) Setiap hari 2 (88)
kamar tidur
2. Membuka jendela ruang Kadang-kadang 1 (44) Setiap hari 2 (88)
keluarga
3. Membersihkan rumah Setiap hari 2 (88) Setiap hari 2 (88)
dan halaman
4. Membuang tinja bayi Setiap hari ke jamban 2 (88) Setiap hari ke jamban 2 (88)
dan balita ke jamban
5. Membuang sampah Setiap hari ke tempat 2 (88) Setiap hari ke tempat 2 (88)

47
pada tempat sampah sampah sampah
TOTAL NILAI 1030 1149
Hasil penilaian rumah:
(1). Rumah sehat : 1068 – 1309; (2). Rumah tidak sehat : < 1068 (Depkes, 2005)
Intervensi :
- Selain edukasi kebersihan badan, kepada orang tua juga disarankan untuk
memperbaiki lantai rumah dan dapur. Selama pemantauan lantai rumah yang awalnya
berlantai tanah, diganti dengan ubin. Namun untuk perbaikan dapur belum dapat
dilakukan karena masalah biaya.
- Edukasi tentang tempat pembuangan sampah yang semula dengan ember besar saat
ini dengan tempat yang kedap air dan tertutup
- Edukasi tentang merubah perilaku sehari-haari seperti kebiasaan membuka jendela
kamar tidur dan ruang keluarga setiap hari. Rumah pasien sudah dilengkapi ventilasi
yang lebar sehingga cahaya matahari dan udara segar dapat bersirkulasi.
- Edukasi pasien tidak sering bermain disekitar dapur dengan tungku arang karena
polusi debu setelah memasak.
Interpretasi :
Pada saat pasien diambil sebagai kasus, kondisi rumah tidak sehat (total skor 1030).
Pada akhir pengamatan (bulan Juni 2015), kondisi tempat tinggal memenuhi kriteria
Rumah Sehat sesuai Depkes 2005 dengan total skor 1149.
6. Kepatuhan minum obat dan efek samping
Pada awal pemantauan, orangtua telah diberikan edukasi mengenai pentingnya
obat topiramate diberikan secara rutin dan efek sampingnya. Compliance minum obat
topiramate selama pemantauan ditunjukkan pada tabel 10.

Tabel 13. Kepatuhan dan efek samping topiramate


Bulan Topiramate Dosis Efek Samping
pemantauan harian
(mg/kg/hari) Mual Muntah Somnolen BB 

Januari 2014 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Februari 2014 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Maret 2014 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

April 2014 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Mei 2014 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Juni 2014 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

48
Juli 2014 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Agustus 2014 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

September 2014 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Oktober 2014 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

November 2014 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Desember 2014 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Januari 2015 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Februari 2015 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Maret 2015 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

April 2015 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Mei 2015 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Juni 2015 (+) 1 (-) (-) (-) (-)

Kepatuhan orangtua dalam memberikan obat terhadap pasien cukup baik. Tidak
terjadi efek samping akibat pengobatan topiramate.
7. Kepatuhan fisioterapi dan terapi wicara
Pada awal pemantauan,pasien rutin fisioterapi 2 kali dalam seminggu sampai
pasien bisa berjalan, setelah bisa berjalan rutin fisioterapi sebulan sekali. Terapi
wicara hanya dilakukan dibulan pertama pemantauan, setelah itu tidak dilakukan
dengan alasan jauh.

Tabel 14. Kepatuhan Fisoterapi dan TerapiWicara


Kepatuhan terapi
Bulan pemantauan
Fisioterapi Terapi Wicara

Januari 2014 (+) (+)

Februari 2014 (+) (-)

Maret 2014 (+) (-)

April 2014 (+) (-)

Mei 2014 (+) (-)

Juni 2014 (+) (-)

Juli 2014 (+) (-)

49
Agustus 2014 (+) (-)

September 2014 (+) (-)

Oktober 2014 (+) (-)

November 2014 (+) (-)

Desember 2014 (+) (-)

Januari 2015 (+) (-)

Februari 2015 (+) (-)

Maret 2015 (+) (-)

April 2015 (+) (-)

Mei 2015 (+) (-)

Juni (+) (-)

50
Tabel 15. Variabel yang Dinilai Selama Pengamatan dan Pencapaian Target Selesai Pengamatan
No Varibel yang dinilai Kondisi sebelum pengamatan Intervensi Target Kondisi selesai pengamatan
1. Epilepsi terkontrol Bebas kejang Edukasi Tidak ada serangan Klinis bebas kejang 2,5 tahun
EEG normal Pemeriksaan fisik dan kejang/epilepsi EEG belum ada perbaikan
penunjang sesuai indikasi berulang dengan
penurunan dosis
bertahap
2 Rehospitalisasi Tidak ada rehospitalisasi dan penyakit Edukasi kebersihan badan dan Tidak terjadi Tidak ada rehospitalisasi dan penyakit
komorbid lingkungan untuk pencegahan kesakitan, komplikasi komorbid
infeksi penyakit, trauma
3 Pertumbuhan BB/U -0,18 SD (normal weight) Monitor BB, TB setiap bulan Pertumbuhan sesuai BB/U -1,17 SD (normal weight)
TB/U -0,84 SD (normal height) usia TB/U -1,30 SD (normal height)
4 Status nutrisi BB/TB -0,62 SD (normal)  Pemenuhan gizi sesuai RDA, Status gizi baik BB/TB -1,1 SD (normal)
Status gizi baik konsultasi gizi Status gizi baik
 Pemantauan asupan gizi dan
pertumbuhan
5 Perkembangan Global developmental delay Pemantauan setiap 6 bulan Perkembangan Gangguan perkembangan bicara
Stimulasi dan fisioterapi optimal
6 Imunisasi Sesuai program pemerintah Imunisasi sesuai rekomendasi Imunisasi sesuai Imunisasi booster tidak dilakukan
Imunisasi booster dan program IDAI IDAI 2014 rekomendasi IDAI
belum dilakukan 2014
7 Kepatuhan minum obat Patuh minum obat Edukasi Peningkatan Anak patuh minum obat
kepatuhan
8 Efek samping obat Tidak terjadi efek samping obat Edukasi orangtua agar segera Tidak terjadi efek Tidak terjadi efek samping obat
melaporkan bila ada gejala samping obat
efek samping obat
9 Kepatuhan fisioterapi dan Rutin fisioterapi dan terapi wicara Edukasi Peningkatan Rutin fisioterapi
terapi wicara kepatuhan Terapi wicara berhenti
10 Penilaian rumah sehat Kriteria rumah sehat Depkes 2005: 1030 Edukasi perbaikan rumah, Memenuhi kriteria Skor rumah sehat: 1149 (memenuhi kriteria
(belum memenuhi kriteria rumah sehat) sanitasi dan konseling hidup rumah sehat rumah sehat)
sehat
Evaluasi kriteria rumah sehat
akhir pengamatan

51
BAB VI
PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN
Pasien adalah seorang anak perempuan berusia 1 tahun 3 bulan, terdiagnosis focal
secondarily generalized epilepsy, global developmental delay, missed opportunity of
immunization. Telah dilakukan pemantauan selama 18 bulan sejak bulan Januari 2014
hingga bulan Juni 2015. Beberapa pemantauan dilakukan antara lain luaran pemantauan
seperti pemantauan epilepsi terkontrol, rehospitalisasi. Sementara pemantauan terhadap
faktor prognosis yaitu pertumbuhan, perkembangan, status gizi, status imunisasi,
penilaian rumah sehat. kepatuhan minum obat dan monitor efek samping obat, kepatuhan
fisioterapi dan terapi wicara.
Patofisiologi terjadinya epilepsi adalah karena aktifitas listrik yang berlebihan pada
sebagian atau seluruh bagian otak sehingga terjadi bangkitan berulang. Seorang penderita
dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa
provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi
dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol.3
Diagnosis epilepsi ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, EEG atau keduanya.
Epilepsi adalah suatu kondisi neurologis yang ditandai oleh adanya kejadian kejang
berulang (kambuhan) yang bersifat spontan disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang,
abnormal, dan berlebihan dari neuron otak.8
Berdasarkan klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi,
diagnosis kasus ini adalah focal secondarily generalized epilepsy karena manifestasi
klinis yang muncul pada kasus ini adalah kejang fokal yang kemudian meluas menjadi
kejang umum, didukung oleh hasil pemeriksaan EEG yang menunjukkan gambaran
abnormal irritatif epileptiform tersebar difus.
Sebelum pemantauan anak telah menjalani terapi farmakologi dengan OAE. Pilihan
pertama pada kasus ini adalah asam valproate, tapi respon pengobatannya tidak baik
ditandai dengan masih adanya kejang setiap hari diawal pengobatan. Pasien bebas kejang
setelah obat diganti dengan topiramate. Saat ini epilepsi pada pasien dapat dikontrol
dengan topiramate dosis minimal 1 mg/kgbb/hari. Selama pemantauan tidak ada efek
samping terapi yang muncul. Efek samping topiramate yang harus dimonitor selama
pemantauan antara lain pusing, ataxia, somnolen gangguan psikomotor, cemas, gangguan

52
memori, gangguan bicara, fatigue, sulit konsentrasi, depresi, bingung, nausea, penurunan
berat badan, anorexia, parestesia, nistagmus, gangguan penglihatan, dan infeksi saluran
atas. Selama pengamatan compliance minum obat pasien juga baik sehingga tidak
disarankan untuk mengganti obat yang sekarang sedang dikonsumsi ataupun
mengkombinasikan dengan obat anti epilepsi lainnya.
Lama pemberian OAE pada kejang partial atau partial umum adalah 3 tahun bebas
kejang. Sedangkan pada kejang tipe absence sampai 2 tahun bebas kejang, pada kejang
umum tonik klonik adalah 2 tahun bebas kejang bila klinis dan EEG membaik serta 3
tahun bebas kejang bila EEG masih ada kelainan. Pada juvenile myoklonik OAE
diberikan seumur hidup.15
Terapi yang telah diberikan selama pemantauan dapat mengontrol serangan epilepsi
pada pasien dimana pasien bebas kejang selama 2,5 tahun. Terapi yang tepat dan edukasi
yang baik dapat meminimalkan masalah komorbid pada pasien dan memperbaiki kualitas
hidup pasien sampai dengan usia dewasa. Pada 50-70% pasien epilepsi, serangan dapat
dicegah dengan obat, sedangkan 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.
Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik dengan
pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis pasien.4
Faktor prognostik kegagalan terapi epilepsi pada anak diantaranya terapi epilepsi yang
tidak segera, frekuensi serangan kejang sebelum terapi, status epileptikus, adanya defisit
neurologis, dan adanya kelainan neurologi penyerta.4
Epilepsi tidak bisa disembuhkan, tetapi serangan epilepsi bisa dikontrol dengan
pengobatan pada sekitar 70% kasus. Genetik diyakini ikut terlibat dalam sebagian besar
kasus, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kembar identik, jika salah satu
menderita epilepsi, ada kemungkinan 50-60% kembar lainnya juga ikut menderita
epilepsi. Pada kembar non-identik, risikonya 15%. Risiko ini lebih besar pada penderita
dengan kejang umum daripada kejang fokal. Jika kedua kembar tersebut menderita
epilepsi, kebanyakan (70-90%) memiliki sindrom epilepsi yang sama. Kerabat dekat
lainnya dari penderita epilepsi memiliki risiko lima kali lebih besar dibandingkan mereka
yang tidak.30
Pasien ini merupakan anak kembar. Keduanya memiliki keluhan yang sama, jenis
kejang yang sama, pemeriksaan penunjang seperti CT Scan kepala dan EEG juga
menunjukkan hasil yang sama sehingga diduga ada keterlibatan faktor genetik pada kasus
ini walaupun hingga saat ini belum bisa dibuktikan. Kasus ini tidak bisa digolongkan ke
dalam salah satu sindrom epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1989.

53
Prognosis kasus ini tergantung oleh banyak faktor, termasuk usia saat onset, jenis
kelamin, jenis epilepsi, faktor penyebab/etiologi, saat pengobatan dimulai, ketaatan
minum obat, tipe kejang, gambaran EEG, jumlah kejang saat terapi dan respon awal
terhadap terapi. Pasien ini pertama kali kejang saat berusia 9 hari. Onset umur muda
adalah umur saat pertama kali kejang kurang dari 1 tahun dimana makin muda umur onset
kejang, prognosisnya makin buruk.
Berdasarkan etiologi (sindrom epilepsy), kasus ini merupakan epilepsi simtomatik
yang mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan epilepsi kriptogenik dan
idiopatik.
Pada pasien telah dilakukan EEG beberapa kali, yaitu sebelum pengamatan dimulai,
diawal pengamatan, dan di akhir pengamatan dimana secara umum menunjukkan adanya
gelombang epileptiform dan tidak ada perubahan/perbaikan yang signifikan. Berdasarkan
etiologi, kasus ini merupakan epilepsi simtomatik yang mempunyai prognosis paling
buruk dibandingkan kedua etiologi yang lain. Selain itu kejang pada pasien ini adalah
kejang fokal atau partial, dan diduga ada keterlibatan faktor genetik sehingga OAE tetap
dilanjutkan walaupun sudah bebas kejang lebih dari 3 tahun, apalagi didukung dengan
hasil EEG yang masih ada kelainan. Terdapat beberapa kasus pasien epilepsi simtomatik
yang diterapi dan bebas kejang 2 tahun kemudian dosis OAE diturunkan ternyata 4 kali
berisiko relaps.
Deteksi dini dan penanganan segera pada penyakit sangat penting pada tatalaksana
epilepsi. Pada kasus ini ditemukan komorbid berupa gangguan perkembangan dan
gangguan fungsi kognitif. Nilai IQ pasien diakhir pemantauan adalah 79 berdasarkan tes
IQ skala Stanford Binet, menunjukkan tingkat kecerdasan pasien sangat lambat. Untuk
mengoptimalkan kemampuan anak, sebaiknya mendapat pendidikan yang sesuai
kemampuannya. Pasien disekolahkan di PAUD. Orang tua menilai anak semangat,
menikmati bersekolah dan merasa tidak berbeda dengan anak yang lain.
Hasil pemantauan pertumbuhan menunjukkan peningkatan berat badan dan tinggi
badan yang normal pada pasien, demikian juga dengan status gizi pasien. Intervensi
nutrisi terhadap anak selama pemantauan dapat mempertahankan status gizi anak tetap
gizi baik. Gangguan pertumbuhan dan status gizi pada epilepsi dihubungkan dengan
feeding problem karena penyakit epilepsi itu sendiri atau karena efek samping dari obat
anti epilepsi yang dikonsumsi. Untuk mencegah kemungkinan malnutrisi pada pasien,
dilakukan edukasi mengenai diet dengan gizi seimbang sesuai dengan RDA. Pasien dan

54
orangtua diberikan contoh daftar menu makanan sehari, daftar bahan makanan penukar,
dan ukuran rumah tangga yang dapat diterapkan pada diet sehari-hari.
Imunisasi merupakan hak setiap anak Indonesia. Imunisasi bertujuan untuk mencegah
penyakit tertentu/ mengurangi beratnya penyakit pada individu. Pemenuhan imunisasi
yang lainnya menjadi fokus kami untuk tatalaksana kesehatan pasien secara holistik.
Sayangnya pada pasien kami hanya diberikan imunisasi dasar sesuai PPI, tidak
mendapatkan imunisasi ulangan (booster).
Keadaan rumah yang sesuai standar rumah sehat berguna untuk membantu
menciptakan keluarga yang sehat. Faktor yang diperhatikan adalah sirkulasi udara,
penerangan sinar yang memadai, air yang bersih, pembuangan limbah yang terkontrol dan
ruangan yang tidak tercemar. Hasil penilaian rumah sehat berdasarkan kriteria rumah
sehat dari Departemen Kesehatan 2005 menunjukkan adanya perbaikan skor dari kategori
rumah kurang sehat pada awal pemantauan menjadi rumah sehat pada akhir pemantauan.
Hal ini terjadi setelah keluarga mendapatkan edukasi mengenai pentingnya sanitasi rumah
dan lingkungannya, terjadi perbaikan perilaku penghuni rumah yang mengganti tempat
pembuangan sampah menjadi tertutup dan kedap air serta kebiasaan membuka ventilasi
kamar dan ruang keluarga. Lingkungan pasien kami sudah memenuhi kriteria rumah sehat
sehingga harapannya adalah pasien terhindar dari penyakit lain yang bisa muncul karena
lingkungan yang tidak sehat seperti pneumonia atau diare.
Oleh karena itu kepada orang tua perlu terus diberikan edukasi tentang kondisi anak,
rencana terapi, dan pentingnya terapi yang rutin dan terus-menerus.
Ada beberapa variabel yang berhasil mencapai target pemantauan, diantaranya
epilepsi terkontrol dan respon pengobatan baik dimana pasien bebas kejang 2,5 tahun dan
tidak terdapat efek samping pengobatan topiramate, kepatuhan minum obat baik,
pertumbuhan dan status gizi pasien baik, pasien tidak mengalami rehospitalisasi, tidak
terjadi komplikasi pada pasien, hasil penilaian rumah sehat mengalami perbaikan dari
rumah tidak sehat menjadi rumah sehat.
Kegagalan yang ada selama pemantauan antara lain status imunisasi yang diberikan
tidak sesuai target yang direkomendasikan IDAI 2014. Aspek perkembangan mengalami
sedikit perbaikan dimana pasien awalnya mengalami GDD (Global Developmental
Delay), sekarang mengalami gangguan perkembangan bicara setelah rutin menjalani
fisioterapi.

55
B. KONDISI PASIEN SEKARANG
Saat ini anak berusia 4 tahun dalam kondisi bebas kejang 4 tahun dan status gizi baik.
Terapi obat antiepilepsi (topiramate) masih tetap dilanjutkan saat ini karena epilepsi pada
pasien dimungkinkan karena faktor genetik sehingga pengobatan lebih lama. Hasil EEG
evaluasi juga tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan. Orang tua membawa anak
kontrol di Poli Neurologi Anak RSUP Dr. Sardjito setiap bulan. Salah satu kendala pada
pasien ini adalah keterlambatan perkembangan sejak awal terdiagnosis dan mulai terapi.
Anak tidak lagi menjalani terapi wicara untuk gangguan bicara yang dialaminya, oleh
orangtua anak disekolahkan di PAUD dekat rumah.
Dari hasil pemeriksaan perkembangan pasien saat kontrol terakhir, didapatkan bahwa
komunikasi dan motorik halus pasien belum optimal. Hasil tes fungsi adaptif berdasarkan
tes kematangan sosial (VSM) didapatkan usia mental 3 tahun 7 bulan, tidak sesuai
dengan usia kalender 4 tahun. Adapun hasil tes kognitif menunjukkan tingkat kecerdasan
pasien juga sangat lambat dimana skor IQ 79 (borderline, sangat lambat) berdasarkan tes
IQ skala Stanford Binet.

DIAGNOSIS AKHIR
 Epilepsi terkontrol (G40.0)
 Gangguan bicara (E66.0)
 Gangguan kognitif
 Missed opportunity of immunization

56

Anda mungkin juga menyukai