Anda di halaman 1dari 45

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Post Partum

1. Pengertian

Masa nifas atau post partum adalah masa sesudah persalinan,

masa perubahan, pemulihan, penyembuhan dan pengembalian alat–

alat kandungan ke keadaan semula. Proses masa nifas berlangsung

selama enam minggu atau 40 hari (Jenny, 2006).

Post partum adalah masa pulih kembali, mulai dari bayi

sampai organ-organ reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum

hamil. Lama masa ini adalah 6 minggu atau 42 hari (Bobak, 2005).

Masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali, mulai

dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti

pra-hamil. Lama masa nifas yaitu 6-8 minggu. Atau masa post partum

nifas merupakan masa periode yang dimulai beberapa jam setelah

lahirnya plasenta sampai 6 minggu berikutnya (Sumiaty, 2011).

Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi

plasenta serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali

organ kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih 6

minggu (Nengah & Surinati, 2013).

9
10

2. Tahap Masa Post Partum

Tahapan yang terjadi pada masa nifas adalah :

a. Periode Immediate Post Partum

Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada

masa ini sering terdapat banyak masalah, misalnya perdarahan

karena atonia uteri.

b. Periode Eary Post Partum (24 jam-1 minggu)

Pada fase ini memastikan involusi uteri dalam keadaan normal,

tidak ada pendarahan, lokia tidak berbau busuk, tidak demam, ibu

cukup mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui

dengan baik.

c. Periode Late Post Partum (1 minggu-5 minggu)

Pada periode ini yang perlu dilakukan adalah tetap melakukan

perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta konseling KB

(Nengah & Surinati, 2013).

3. Perubahan Fisiologis Masa Nifas

a. Perubahan Uterus

Setelah kelahiran plasenta, uterus menjadi massa jaringan

yang hampir padat. Dinding belakang dan depan uterus yang tebal

saling menutup, yang menyebabkan rongga di bagian tengah

merata. Ukuran uterus akan tetap sama selama 2 hari pertama

setelah kelahiran, tetapi kemudian secara cepat ukurannya

berkurang oleh involusi (Reeder, 2011).


11

b. Lochea

Adalah cairan sekret yang berasal dari cavum uteri dan vagina

selama masa nifas. Lochea terbagi menjadi 4 jenis yaitu :

1) Lokia Rubra : berwarna merah karena berisi darah segar dan

sisa-sisa selaput ketuban, inilah lokia yang akan keluar selama

2 sampai 3 hari postpartum.

2) Lokia Sanguilenta : berwarna merah kuning berisi darah dan

lendir yang keluar pada hari ke-3 sampai ke-7 pasca

persalinan.

3) Lokia Serosa : Lochea ini berbentuk serum dan berwarna

merah jambu kemudian menjadi kuning. Cairan tidak berdarah

lagi pada hari ke-7 sampai hari ke-14 pasca persalinan.

4) Lokia Alba : dimulai dari hari ke-14 kemudian makin lama

makin sedikit hingga sama sekali berhenti sampai satu dua

minggu berikutnya. Bentuknya seperti cairan putih berbentuk

krim serta terdiri atas leukosit dan sel-sel desidua.

(Nengah & Surinati, 2013).

c. Perubahan Segmen Bawah

Ototnya tidak terlalu banyak sehingga tetap merupakan sub

organ pasif. Kontraksi dan retraksi otot uterus mengembalikan

segmen bawah rahim menjadi isthmus (Sumiaty, 2011).


12

d. Perubahan Serviks

Setelah 18 jam pasca partum, serviks memendek dan

konsistensinya menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula.

Ektoserviks terlihat memar dan ada sedikit laserasi kecil. Muara

serviks, yang berdilatasi 10 cm sewaktu melahirkan, menutup

secara bertahap. Muara serviks eksterna tidak akan berbentuk

lingkaran seperti sebelum melahirkan, tetapi terlihat memanjang

seperti celah (Bobak, 2005).

e. Perubahan Vagina dan Perineum

Vagina yang semula sangat teregang akan kembali segera

bertahap keukuran sebelum hamil, 6-8 minggu setelah bayi lahir.

Setelah persalinan perineum menjadi kendur karena teregang oleh

tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Pulihnya otot perineum

terjadi sekitar 5-6 minggu post partum (Sumiaty, 2011).

f. Perubahan Vesika Urinaria

Dapat mengalami gangguan fungsi akibat persalinan yang

lama atau akibat katererisasi sebelumnya. Dapat terjadi

disuria/distensi yang memerlukan penanganan lebih lanjut.

Distensi kandung kemih secara adekuat, tonus kandung kemih

biasanya akan pulih kembali dalam 5-7 hari setelah bayi lahir

(Sumiaty, 2011).
13

g. Perubahan Dasar Panggul

Dasar panggul akan mengalami pengenduran dan

memerlukan waktu untuk kembali normal. Kendurnya dasar

panggul disebabkan episiotomi yang tidak dijahit dengan baik,

persalinan yang lama atau bayi besar (Sumiaty, 2011).

h. Perubahan Sistem Pencernaan

Selama persalinan, motilitas dan absorpsi saluran cerna

menurun dan waktu pengosongan lambung menjadi lambat. Wanita

seringkali merasa mual dan memuntahkan makanan yang belum di

cerna setelah bersalin. Mual dan sendawa juga terjadi sebagai

respons refleks terhadap dilatasi serviks lengkap. Ibu dapat

mengalami diare pada awal persalinan (Bobak, 2005).

i. Perubahan Sistem Perkemihan

Pelvis ginjal dan ureter yang teregang dan berdilatasi

selama kehamilan kembali normal pada akhir minggu ke-4 setelah

melahirkan. Diuresis yang normal dimulai segera setelah bersalin

sampai hari ke-5 setelah persalinan. Jumlah urine yang keluar

dapat melebihi 3000 ml/harinya. Kandung kemih pada puerperium

mempunyai kapasitas yang meningkat secara relatif. Ureter dan

pelvis renalis yang mengalami distensi akan kembali normal pada

2-8 minggu setelah persalinan (Saleha, 2009).


14

j. Perubahan Sistem Muskuloskeletal

Stabilisasi sendi lengkap pada minggu ke-6 sampai ke-8

setelah wanita melahirkan. Akan tetapi, walaupun sendi kembali ke

keadaan normal sebelum hamil kaki wanita tidak mengalami

perubahan setelah melahirkan (Bobak, 2005).

k. Perubahan Sistem Endokrin

Sistem endokrin aktif selama persalinan. Awitan persalinan

dapat diakibatkan oleh penurunan kadar progesteron dan

peningkatan kadar esterogen, prostagalandin, dan oksitosin.

Metabolisme meningkat dan kadar glukosa darah menurun akibat

proses persalinan (Bobak, 2005).

l. Perubahan Dinding Abdomen

Dinding abdomen pulih sebagian dari peregangan yang

berlebihan, tetapi tetap lunak dan kendur selama beberapa waktu.

Kulit akhirnya kembali elastis. Striae menjadi samar karena

penampakannya berwarna perak. Tonus otot dinding abdomen

kembali dan secara bertahap kembali ke kondisi semula (Reeder,

2011).

m. Perubahan Payudara

1) Anatomi Payudara

Secara vertikal payudara terletak diantara kosta II dan

IV, secara horisontal mulai dari pinggir sternum sampai linea

aksilaris medialis. Kelenjar susu berada di jaringan sub kutan,


15

tepatnya diantara jaringan sub kutan superfisial dan profundus,

yang menutupi muskulus pectolaris mayor. Ukuran normal 10-

12 cm dengan beratnya pada wanita hamil adalah 200 gram,

pada wanita hamil aterm 400-600 gram dan pada masa laktasi

sekitar 600-800 gram. Bentuk dan ukuran payudara akan

bervariasi menurut aktifitas fungsionalnya. Payudara menjadi

besar saat hamil dan menyusui dan biasanya mengecil setelah

menopause (Ambarwati & Wulandari, 2009).

Gambar 1.1

Payudara Tampak Dari Sammping


Sumber : Ambarwati (2009)

Ada 3 bagian utama payudara, yaitu :

1. Korpus (badan)

Bagian yang membesar.


16

2. Areola

Areolla mamae (kalang payudara) letaknya mengelilingi

puting susu dan berwarna kegelapan yang disebabkan oleh

penipisan dan penimbunan pigmen pada kulitnya.

Perubahan warna ini tergantung dari corak kulit dan adanya

kehamilan.

3. Papilla (puting)

Puting susu terletak setinggi interkosta IV, tetapi berhubung

adanya variasi bentuk dan ukuran payudara maka letaknya

pun akan bervariasi pula. Pada tempat ini terdapat lubang-

lubang kecil yang merupakan muara dari duktus laktiferus,

ujung-ujung serat otot polos yang tersusun secara sirkuler

sehingga bila ada kontraksi maka duktus laktiferus akan

memadat dan menyebabkan puting susu ereksi, sedangkan

serat-serat otot yang longitudinal akan menarik kembali

puting susu tersebut (Ambarwati & Wulandari, 2009).

Ada empat macam bentuk puting yaitu bentuk yang

normal/umum, pendek/datar, panjang dan terbenam

(inverted). Namun bentuk-bentuk puting ini tidak terlalu

berpengaruh pada proses laktasi, yang penting adalah

bahwa puting susu dan areola dapat ditarik sehingga

membentuk tonjolan atau “dot” kedalam mulut bayi

(Ambarwati & Wulandari, 2009).


17

Gambar 1.2

Macam-macam Bentuk Puting Payudara


Sumber : Ambarwati (2009)

Struktur payudara terdiri dari tiga bagian, yaitu:

1. Kulit

2. Jaringan sub kutan (jaringan bawah kulit)

3. Corpus mammae, terdiri dari :

a. Parenkim merupakan suatu struktur yang terdiri dari

duktus laktiferus (duktus), duktulus (duktulli), lobus

dan alveolus.

b. Stroma (Ambarwati & Wulandari, 2009).

Setiap payudara terdiri dari 15 sampai 20 lobus dari

jaringan kelenjar. Jumlah lobus tidak berhubungan dengan

ukuran payudara. Setiap lobus terbuat dari ribuan kelenjar

kecil yang disebut alveoli atau acini. Kelenjar ini bersama-

sama membentuk sejumlah gumpalan, mirip buah anggur yang


18

merambat. Alveoli (alveolus dan acinus singular)

menghasilkan susu dan substansi lainnya selama masa

menyusui. Setiap bola memberikan makanan ke dalam

pembuluh tunggal lactiferous yang mengalirkannya keluar

melalui puting susu. Sebagai hasilnya terdapat 15-20 saluran

puting susu, mengakibatkan banyak lubang pada puting susu.

Dibelakang puting susu pembuluh lactiferous agak membesar

sampai membentuk penyimpanan kecil yang disebut lubang-

lubang lactiferous (Anggraini, 2010).

Gambar 1.3

Struktur Mikroskopis Payudara


Sumber : Ambarwati (2009)
19

2) Proses Terbentuknya ASI

a) Proses Pembentukan Laktogen

1. Laktogenesis I

Pada fase terakhir kehamilan, payudara wanita

memasuki fase laktogenesis I. Saat itu payudara

memproduksi kolostrum, yaitu berupa cairan kental

yang kekuningan. Pada saat itu, tingkat progesteron

yang tinggi mencegah produksi ASI yang sebenarnya.

Apabila ibu hamil mengeluarkan (bocor) kolostrum

sebelum bayinya lahir, hal ini bukan merupakan indikasi

sedikit atau banyaknya produksi ASI sebenarnya nanti.

2. Laktogenesis II

Saat melahirkan, keluarnya plasenta

menyebabkan turunnya tingkat hormon progesteron,

esterogen, dan HPL secara tiba-tiba, namun hormon

prolaktin tetap tinggi. Hal ini menyebabkan produksi

ASI besar-besaran yang dikenal dengan fase

laktogenesis II. Apabila payudara dirangsang, jumlah

prolaktin dalam darah akan meningkat dan mencapai

puncaknya dalam periode 45 menit, kemudian kembali

ke level sebelum rangsangan tiga jam kemudian.

Keluarnya hormon prolaktin menstimulasi sel didalam


20

alveoli untuk memproduksi ASI, dan hormon ini juga

keluar dalam ASI itu sendiri.

3. Laktogenesis III

Sistem kontrol hormon endokrin mengatur

produksi ASI selama kehamilan dan beberapa hari

pertama setelah melahirkan. Kebutuhan produksi ASI

mulai stabil, sistem kontrol oktokrin dimulai. Fase ini

dinamakan fase laktogenesis III. Pada tahap ini apabila

ASI tidak dikeluarkan, payudara akan memproduksi

ASI dengan banyak. Dengan demikian, produksi ASI

sangat dipengaruhi oleh seberapa sering dan seberapa

baik bayi mengisap, juga seberapa sering payudara

dikosongkan (Saleha, 2009).

b) Hormon Yang Mempengaruhi Pembentukan ASI

1. Progesteron : mempengaruhi pertumbuhan dan ukuran

alveoli. Kadar progesteron dan esterogen menurun

sesaat setelah melahirkan. Hal ini menstimulasi produksi

ASI secara besar-besaran.

2. Esterogen : menstimulasi sistem saluran ASI untuk

membesar. Kadar esterogen dalam tubuh menurun saat

melahirkan dan tetap rendah untuk beberapa bulan

selama tetap menyusui.


21

3. Prolaktin : berperan dalam membesarnya alveoli pada

masa kehamilan.

4. Oksitosin : mengencangkan otot halus dalam rahim pada

saat melahirkan dan setelahnya, seperti halnya juga

dalam orgasme. Setelah melahirkan, oksitosin juga

mengencangkan otot halus di sekitar alveoli untuk

memeras ASI menuju saluran susu. Oksitosin berperan

dalam proses turunnya susu.

5. Human placental lactogen (HPL) : sejak bulan kedua

kehamilan, plasenta mengeluarkan banyak HPL yang

berperan dalam pertumbuhan payudara, puting dan

areola sebelum melahirkan. Pada bulan kelima dan

keenam kehamilan, payudara siap memproduksi ASI.

Namun, ASI bisa juga diproduksi tanpa kehamilan

(induced lactasion) (Saleha, 2009).

c) Refleks Dalam Proses Laktasi

1. Refleks Prolaktin

Sewaktu bayi menyusu, ujung saraf peraba yang

terdapat pada puting susu terangsang. Rangsangan

tersebut oleh serabut afferent dibawa ke hipotalamus di

dasar otak, lalu memacu hipofise anterior untuk

mengeluarkan hormon prolaktin kedalam darah.

Melalui sirkulasi prolaktin memacu sel kelenjar


22

(alveoli) untuk memproduksi air susu. Jumlah prolaktin

yang disekresi dan jumlah susu yang diproduksi

berkaitan dengan stimulus isapan, yaitu frekuensi,

intensitas, dan lamanya bayi menghisap.

2. Refleks aliran (Let Down Reflex)

Rangsangan yang ditimbulkan oleh bayi saat

menyusu selain mempengaruhi hipofise anterior

mengeluarkan hormon prolaktin juga mempengaruhi

hipofise posterior mengeluarkan hormon oksitosin.

Dimana setelah oksitosin dilepas kedalam darah akan

mengacu otot-otot polos yang mengelilingi alveoli dan

duktulus berkonsentrasi sehingga memeras air susu dari

alveoli dan duktulus berkontraksi sehingga memeras air

susudari alveoli, duktulus, dan sinus menuju puting

susu. Refleks let down dapat dirasakan sebagai sensasi

kesemutan atau dapat juga ibu merasakan sensasi

apapun. Tanda-tanda lain dari let down adalah tetesan

pada payudara lain yang sedang dihisap oleh bayi.

Refleks ini dipengaruhi oleh kejiwaan ibu (Ambarwati

& Wulandari, 2009).

3) Perubahan Payudara Pasca Partum

Hingga hari kertiga pasca partum, efek prolaktin pada

payudara mulai bisa dirasakan pembuluh darah payudara


23

menjadi bengkak terisi darah, sehingga timbul rasa hangat,

bengkak, dan rasa sakit. Oksitosin merangsang refleks

mengalirkan sehingga menyebabkan ejeksi ASI melalui sinus

aktiferus payudara ke duktus yang terdapat pada puting. Ketika

ASI dialirkan karena isapan bayi, sel-sel ini terangsang untuk

menghasilkan ASI lebih banyak (Saleha, 2009).

n. Perubahan Hormon

Kadar esterogen dan progesteron menurun secara

mencolok setelah plasenta keluar seperti saat pra-hamil. Selama

kehamilan pembentukan gonodotrofin tertekan. Kadar FSH putih,

ke konsentrasi pra hamil dalam 3 minggu setelah persalinan, tetapi

pemulihan sekresi LH memelukan waktu lebih lama, bergantung

pada lama laktasi. Kadar oksitosin dan prolaktin juga bergantung

pada kinerja laktasi (Sumiaty, 2011).

o. Perubahan Tanda-Tanda Vital

a) Suhu tubuh

Pada 24 jam pertama setelah melahirkan, suhu tubuh mungkin

meningkat sedikit (38 C) sebagai respons terhadap stres

persalinan, terutama dehidrasi. Peningkatan suhu yang

menetap mungkin menandakan infeksi (Sumiaty, 2011).

b) Denyut Nadi

Nadi berkisar antara 60-80 denyutan per menit setelah partus

dan dapat terjadi bradikardia. Bila terdapat takikardia dan


24

suhu tubuh tidak panas mungkin ada pendarahan berlebihan

atau ada vitium kordis pada penderita (Saleha, 2009).

c) Pernapasan

Pernapasan akan sedikit meningkat setelah partus kemudian

kembali seperti keadaan semula (Saleha, 2009).

d) Tekanan Darah

Tekanan darah sedikit berubah atau menetap. Hipotensi

olrtolstatik, yang di indikasikan oleh rasa pusing dan seakan

ingin pingsan segera setelah berdiri, dapat timbul dalam 48 jam

pertama. Hal ini merupakan akibat pembengkakan limpa yang

terjadi setelah wanita melahirkan. Tekanan darah yang rendah

atau menurun bisa menunjukkan hipovolemik (Sumiaty, 2011).

p. Perubahan Sistem Kardiovaskuler

Volume darah awalnya menurun sebesar 1000 ml karena

kehilangan darah dan diuresis. Setelah pasca partum hari pertama,

volume meningkat 900 sampai 1200 ml sebagai akibat perpindahan

cairan ekstraselular ke dalam ruang intravaskuler (Sumiaty, 2011).

q. Sistem Gastrointestinal

Tonus dan motilitas gastrointestinal menurun selama

periode pascapartum. Tonus abdomen yang lembek disertai

penurunan motilitas dapat menimbulkan distensi gas 2 sampai 3

hari setelah melahirkan (Sumiaty, 2011).


25

r. Perubahan Sistem Ginjal

Selama persalinan, wanita dapat mengalami kesulitan untuk

berkemih secara spontan akibat berbagai alasan : edema jaringan

akibat tekanan bagian presentasi, rasa tidak nyaman, sedasi dan

rasa malu. Proteinuria +1 dapat dikatakan normal dan hasil ini

merupakan respons rusaknya jaringan otot akibat kerja fisik selama

persalinan (Bobak, 2005).

B. Asuhan Keperawatan Post Partum

Asuhan masa nifas adalah penatalaksanaan asuhan yang diberikan

pada pasien mulai dari saat setelah bayi sampai dengan kembalinya tubuh

dalam keadaan seperti sebelum hamil atau mendekati keadaan sebelum

hamil (Saleha, 2009).

1. Pengkajian

Pengkajian pada post partum dilakukan dengan mereviu kembali

catatan pada prenatal, melahirkan dan jumlah kelahiran. Penting

mengetahui faktor predisposisi, seperti perdarahan. Partus prematurus,

bayi besar, grand multipara, dan lain-lain (Novita, 2011).

a. Anamnesa

Tujuan anamnesa adalah mengumpulkan informasi tentang

riwayat kesehatan dan kehamilan untuk digunakan dalam proses

membuat keputusan klinis guna menentukan diagnosa dan

mengambangkan rencana asuhan yang sesuai (Erawati, 2011).


26

1) Riwayat Kesehatan

Hal yang perlu dikaji dalam riwayat kesehatan adalah :

a) Keluhan yang dirasakan ibu saat ini.

b) Adakah kesulitan atau gangguan dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari misalnya pola makan, buang air kecil

atau buang air besar, kebutuhan istirahat dan mobilisasi.

c) Riwayat persalinan ini meliputi adakah komplikasi, laserasi

atau episiotomi.

d) Obat atau suplemen yang dikonsumsi saat ini misalnya

tablet zat besi.

e) Perasaan ibu saat ini berkaitan dengan kelahiran bayi,

penerimaan terhadap peran baru sebagai orang tua termasuk

suasana hati yang dirasakan ibu sekarang, kecemasan dan

kekhawatiran.

f) Adakah kesulitan dalam pemberian ASI dan perawatan bayi

sehari-hari.

g) Bagaimana rencana menyusui nanti (ASI eksklusif atau

tidak ), rencana merawat bayi dirumah ( dilakukan ibu

sendiri atau dibantu orang tua atau mertua).

h) Bagaimana dukungan suami atau keluarga terhadap ibu.

i) Pengetahuan ibu tentang nifas.


27

2) Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah menilai kesehatan dan

kenyamanan fisik ibu dan bayinya untuk membuat keputusan

klinis guna menentukan diagnosa dan mengembangkan rencana

asuhan yang paling sesuai (Erawati, 2011).

a) Keadaan umum

b) Tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, suhu dan

pernafasan.

c) Payudara : pembesaran, puting susu (menonjol atau

mendatar), adakah nyeri dan lecet pada puting, ASI atau

kolostrum sudah keluar, adakah pembengkakan, radang

atau benjolan abnormal.

d) Abdomen : tinggi fundus uteri, kontraksi uterus, keadaan

jahitan, nanah, tanda-tanda, infeksi pada luka jahitan,

e) Kandung kemih kosong atau penuh.

f) Genetalia dan perineum pengeluaran lochea (jenis, warna,

jumlah dan bau), odema, peradangan, kebersihan perineum

dan hemmoroid pada anus (Suherni, 2008).

3) Pengkajian Fokus

Menurut Doenges (2001) :

a) Pengkajian data dasar klien

Tinjauan ulang catatan pre natal dan intra operatif dan

adanya indikasi untuk kelahiran caesarea.


28

b) Sirkulasi

Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira

600-800 ml.

c) Integritas Ego

Dapat menunjukkan labilitas emosional dan kegembiraan

sampai ketakutan, marah atau menarik diri klien/pasangan

dapat memiliki pertanyaan atau salah terima pesan dalam

pengalaman kelahiran mungkin mengekspresikan

ketidakmampuan untuk menghadapi situasi baru.

d) Eliminasi

Kateter urinarius indwelling tidak terpasang, urine jernih,

bau khas amoniak, bising usus tidak ada, samar/jelas.

e) Makanan/Cairan

Abdomen lunak dengan tidak ada distensi pada awal.

f) Neurosensori

Kerusakan gerakan dan sensasi dibawah tingkat anastesi

spinal Epidural.

g) Nyeri / Ketidaknyamanan

Mungkin mengeluh ketidaknyamanan dan berbagai sumber

misalnya trauma bedah /insisi, nyeri penyertai, distensi

kandung kemih/abdomen, efek-efek anatesi, mulut

mungkin kering.
29

h) Pernafasan

Bunyi paru jelas dan vesikuler.

i) Keamanan

Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda/kering dan

utuh. Jalur parenteral bila digunakan, paten dan insisi

bebas eritma, bengkak dan nyeri tekan.

j) Seksualitas

Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus aliran

lochea sedang dan bebas, bekuan berlebihan /banyak.

k) Pemerikssaan diagnostik

Jumlah darah lengkap Hb/Ht, mengkaji perubahan dan pra

operasi dan megevaluasi efek kehilangan darah pada

pembedahan.

l) Urinalisis

Kultur urine, darah vagina dan lochea, pemeriksaan

tambahan didasarkan pada kebutuhan individu.

2. Diagnosa

Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon

individu, keluaga dan masyarakat tentang masalah kesehatan, sebagai

dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan

keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat (Setiadi, 2012).

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada post partum sectio

caesarea adalah :
30

1) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma

pembedahan (Post SC) (Doenges, 2001).

2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (obstructive

duct) (Ujiningtyas, 2009).

3) Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan adanya

perdarahan atau kehilangan darah dalam pembedahan (Doenges,

2001).

4) Resiko infeksi berhubungan dengan kerentanan masuknya tubuh

terhadap bakteri sekunder pembedahan (Carpenito, 2006).

5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya insisi

pembedahan dan nyeri. (Doenges, 2001)

3. Intervensi

Rencana tindakan keperawatan merupakan serangkaian

tindakan yang dapat mencapai tujuan khusus. Perencanaan

keperawatan meliputi perumusan tujuan, tindakan, dan penilaian

rangkaian asuhan keperawatan pada klien berdasarkan analisis

pengkajian agar masalah kesehatan dan keperawatan klien dapat

diatasi (Bararah & Jauhar, 2013).

Rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan pada

masing-masing diagnosa adalah sebagai berikut :

1) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma

pembedahan (Post SC) (Doenges, 2001).

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri berkurang.


31

Kriteria hasil :

a. Klien mengungkapakan berkurangnya nyeri

b. Klien tampak rileks, mampu tidur/istirahat dengan tepat

Intervensi :

a. kaji skala nyeri

Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan dan

menentukan tindakan selanjutnya.

b. Berikan posisi yang nyaman

Rasional : untuk merilekskan otot dan meningkatkan

kenyamanan.

c. Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi

Rasional : mengalihkan perhatian dari sensasi nyeri dan

menurunkan distraksi tidak menyenangkan.

d. Kolaborasi pemberian analgesik

Rasional : menurunkan persepsi nyeri dan mempercepat proses

penyembuhan.

2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (obstructive

duct) (Ujiningtyas, 2009).

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri

berkurang.dan sekresi ASI lancar.

Kriteria hasil :

a. klien mengungkapkan skala nyeri berkurang,


32

b. klien mengungkapkan payudara tidak kenceng dan tidak teraba

keras.

Intervensi :

a. kaji skala nyeri

Rasional : untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan

individu.

b. Ajarkan tehnik breast care

Rasional merawat payudara dan memperlancar ASI

c. Berikan kompres hangat pada payudara

Rasional : membantu untuk meningkatkan pengosongan

dengan mudah secara refleks selama pemberian ASI.

d. Anjurkan menggunakan bra penyokong

Rasional : mengangkat payudara kedalam dan ke atas sehingga

mengakibatkan posisi lebih nyaman dan menurunkan kelelahan

otot (Wilkinson & dkk, 2011).

3) Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan adanya

perdarahan atau kehilangan darah dalam pembedahan (Doenges,

2001).

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan defisit volume

cairan dapat diminimalkan.

Kriteria hasil : membran mukosa lembab, kulit tidak kering, Hb :

12 gr.

Intervensi :
33

a. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran

Rasional : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam

mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan pengganti dan

menunjang intervensi

b. Berikan bantuan pengukuran berkemih sesuai kebutuhan, misal

: privasi, posisi duduk, air yang mengalir dalam bak,

mengalirkan air hangat diatas perineum

Rasional : meningkatkan, relaksasi, otot perineal dan

memudahkan upaya pengosongan.

c. Catat munculnya mual/muntah

Rasional : masa post op, semakin lama durasi anestesi semakin

besar resiko untuk mual. Mual yang lebih dari 3 hari post op

mungkin dihubungkan untuk mengontrol rasa sakit atau terapi

obat lain.

d. Periksa pembalut, banyaknya perdarahan

Rasional : perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada

hemoragi.

4) Resiko infeksi berhubungan dengan kerentanan masuknya tubuh

terhadap bakteri sekunder pembedahan (Doenges, 2001).

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan infeksi tidak

terjadi.

Kriteria hasil :
34

a. Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, kolor, dolor, tumor dan

fungsio laesa)

b. Tanda-tanda vital normal terutama suhu (36-37 C)

Intervensi :

a. Monitor tanda-tanda vital

Rasional : suhu yang menungkat dapat menunjukkan terjadinya

infeksi.

b. Kaji luka pada abdomen dan balutan

Rasional : mengidentifikasi apakah ada tanda-tanda infeksi

adanya pus.

c. Menjaga kebersihan sekitar luka dan lingkungan pasien, tehnik

rawat luka dengan antiseptic

Rasional : mencegah kontaminasi silang atau penyebaran

organisme infeksius.

d. Catat/pantau kadar Hb dan Ht

Rasional : resiko infeksi post partum dan penyembuhan buruk

meningkat bila kadar Hb rendah dan kehilangan darah

berlebihan.

e. Kolaborasi pemberian antibiotic

Rasional : mencegah terjadinya infeksi.

5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya insisi

pembedahan dan nyeri (Doenges, 2001).


35

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat

meningkatkan dan melakukan aktifitas sesuai kemampuan tanpa

disertai nyeri.

Kriteria hasil : klien dapat mengidentifikasikan faktor-faktor yang

menurunkan toleransi aktifitas.

Intervensi :

a. Kaji respon klien terhadap aktifitas

Rasional : untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada klien

dalam keluhan kelemahan, keletihan yang berkenaan dengan

aktifitas.

b. Catat tipe anestesi yang diberikan pada saat intra partus pada

waktu klien sadar.

Rasional : pengaruh anestesi yang diberikan pada saat intra

partus pada waktu klien sadar

c. Anjurkan klien untuk istirahat

Rasional : dengan istirahat dapat mempengaruhi aktifitas klien.

d. Bantu dalam pemenuhan aktifitas sehari-hari sesuai kebutuhan.

Rasional : memberikan rasa tenang dan aman pada klien.


36

C. Nyeri

1. Definisi Nyeri

Nyeri juga merupakan mekanisme protektif bagi tubuh, yang

timbul bila jaringan rusak dan menyebabkan individu tersebut

bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri tersebut (Istichomah, 2007).

Nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan

individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu

mengatakannya. Oleh karena itu keberadaan nyeri adalah berdasarkan

hanya pada laporan pasien bahwa itu ada (Smeltzer & Bare, 2002).

Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, rasa nyeri

timbul bila jaringan rusak dan hal ini akan menyebabkan individu

bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri (Adha, 2014).

Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang

tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan

yang telah atau akan terjadi yang digambarkan dengan kata-kata

kerusakan jaringan (Istichomah, 2007).

International Assosiation for Study of Pain mendefinisikan

nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang

tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang

bersifat aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-

kejadian dimana terjadi kerusakan (Adha, 2014).

Arthur C. Curton (1983) mengatakan bahwa nyeri merupakan

suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang


37

rusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk

menghilangkan rasa nyeri (Prasetyo, 2010).

2. Klasifikasi Nyeri

Menurut Carpenito (2000) berdasarkan penyebab, lama dan

munculnya nyeri dibedakan atas :

a. Nyeri Akut

Nyeri akut sebagai kumpulan pengalaman yang tidak

menyenangkan yang berkaitan dengan sensori, persepsi dan emosi

serta berkaitan dengan respon autonomic, psikologik, emosional

dan perilaku (Istichomah, 2007). Fungsi nyeri akut adalah untuk

memberi peringatan akan cedera atau penyakit yang akan datang.

Nyeri akut biasanya akan menghilang dengan atau tanpa

pengobatan setelah area yang rusak pulih kembali.

Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan) dan

terlokalisir. Nyeri akut terkadang disertai dengan gejala-gejala

seperti : peningkatan tekanan darah, peningkatan respirasi,

peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan dilatasi pupil

(Prasetyo, 2010).

b. Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah keadaan pengalaman nyeri yang

menetap selama beberapa bulan atau tahun setelah fase

penyembuhan dari suatu penyakit (Istichomah, 2007). Nyeri kronik

berlangsung lebih lama daripada nyeri akut, intensitasnya


38

bervariasi (ringan sampai berat) dan biasanya berlangsung lebih

dari 6 bulan dengan intensitas nyeri ringan sampai berat (Prasetyo,

2010).

Munculnya nyeri sangat berkaitan erat dengan reseptor dan

adanya rangsangan. Reseptor nyeri dapat memberikan respons

akibat adanya stimulasi/rangsangan yang ditransmisikan berupa

impuls-impuls nyeri ke sumsum tulang belakang oleh dua jenis

serabut, yaitu serabut A (delta) dan serabut lamban (serabut C).

Impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut delta A

mempunyai sifat inhibitor yang ditransmisikan ke serabut C.

impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang belakang pada

interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens yang paling

utama yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi nyeri

(Uliyah & Hidayat, 2008).

3. Alat Ukur Nyeri

a. Verbal Descriptor Scale (VRS)

VDS (Verbal Descriptor Scale) merupakan alat pengukuran

tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Berbentuk sebuah

garis yang terdiri dari 3-5 kata pendeskripsi yang tersusun dengan

jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini di ranking dari

tidak ada nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan. Alat ini

memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk


39

mendeskripsikan nyeri. Skala ini paling efektif digunakan saat

mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.

Gambar 3.1
Verbal Rating Scale / Skala deskriptif
Sumber : Andarmoyo (2013)

b. Numeric Rating Scale (NRS)

NRS (Numeric Rating Scale ) lebih digunakan sebagai

pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri

dengan menggunakan skala 1-10 dengan rentang tidak nyeri

sampai sangat nyeri.

Gambar 3.2
Verbal Descriptor Scale / Skala Numerik
Sumber : Andarmoyo (2013)

c. Visual Analog Scale (VAS)

VAS (Visual Analog Scale ) adalah alat ukur yang

digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus

meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan

level intensitas nyeri, ujung kiri diberi tanda tidak ada nyeri dan
40

ujung kanan diberi tanda nyeri hebat. Skala ini memberi klien

kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri karena

klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian daripada

dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Manurung & dkk,

2013).

Gambar 3.3
Visual Analog Scale / Skala Analog
Sumber : Andarmoyo (2013)

4. Penatalaksanaan Non Farmakologis Nyeri

a. Tehnik Relaksasi Nafas Dalam

Merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam

hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara

melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara

maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan.

Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, tehnik relaksasi nafas

dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan

oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Smeltzer & Bare (2002), tehnik relaksasi nafas

dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui

mekanisme yaitu :
41

1) Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami

spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin

sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan

meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami

spasme dan iskemik.

2) Tehnik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu

merangsang tubuh untuk melepaskan opioid endogen yaitu

endorphin dan enkefalin.

Pernyataan ini menyatakan bahwa penurunan nyeri oleh

teknik relaksasi nafas dalam disebabkan ketika seseorang

melakukan relaksasi nafas dalam untuk mengendalikan nyeri yang

dirasakan, maka tubuh akan meningkatkan komponen saraf

parasimpatik secara stimulan, maka ini menyebabkan terjadinya

penurunan kadar hormon kortisol dan adrenalin dalam tubuh yang

mempengaruhi tingkat stress seseorang sehingga dapat

meningkatkan konsentrasi dan membuat klien merasa tenang untuk

mengatur ritme pernafasan menjadi teratur. Hal ini akan

mendorong terjadinya peningkatan kadar PaCO2 dan akan

menurunkan kadar pH sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen

(O2) dalam darah (Henderson, 2006).


42

b. Distrraksi

Merupakan cara mengalihkan perhatian klien ke hal yang

lain sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri,

bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Prasetyo, 2010)

Sistem aktivasi retikular menghambat stimulus yang

menyakitkan jika seseorang menerima masukan sensori yang

cukup ataupun berlebihan. Stimulus sensori yang menyenangkan

menyebabkan pelepasan endokrin. Individu yang merasa bosan

atau di isolasi hanya memikirkan nyeri yang dirasakan sehingga ia

mempersepsikan nyeri tersebut dengan lebih akut. Distraksi

mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain dan dengan demikian

menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan

toleransi terhadap nyeri. Distraksi dapat bekerja memberi pengaruh

paling baik untuk jangka waktu yang singkat, untuk mengatasi

nyeri intensif hanya berlangsung beberapa menit misalnya selama

pelaksanaan prosedur invasif atau saat menunggu kerja analgesik.

c. Imajinasi terbimbing

Sebuah tehnik untuk mengkaji kekuatan pikiran saat sadar

maupun tidak sadar untuk menciptakan bayangan gambar yang

membawa ketenangan dan keheningan.

Imajinasi terbimbing merupakan suatu teknik yang

menuntut seseorang untuk membentuk sebuah bayangan/imajinasi

tentang hal-hal yang disukai. Imajinasi yang terbentuk tersebut


43

akan diterima sebagai rangsang oleh berbagai indra, kemudian

rangsangan tersebut akan dijalankan ke batang otak menuju sensor

thalamus. Di talamus rangsang diformat sesuai dengan bahasa

otak, sebagian kecil rangsangan itu ditransmisikan ke amigdala

dan hipokampus sekitarnya dan sebagian besar lagi dikirim ke

korteks serebri, di korteks serebri terjadi proses asosiasi

pengindraan dimana rangsangan di analisis, dipahami dan disusun

menjadi sesuatu yang nyata sehingga otak mengenali objek dan arti

kehadiran tersebut. Hipokampus berperan sebagai penentu sinyal

sensorik dianggap penting atau tidak sehingga jika hipokampus

memutuskan sinyal yang masuk adalah penting maka sinyal

tersebut akan disimpan sebagai ingatan. Hal-hal yang disukai

dianggap sebagai sinyal penting oleh hipokampus sehingga

diproses menjadi memori. Ketika terdapat rangsangan berupa

bayangan tentang hal-hal yang disukai tersebut, memori yang telah

tesimpan akan muncul kembali dan menimbulkan suatu persepsi

dari pengalaman sensasi yang sebenarnya, walaupun

pengaruh/akibat yang timbul hanyalah suatu memori dari suatu

sensasi (Guyton & Hall, 2008).

d. Kompres Dingin

Kompres dingin merupakan suatu terapi es yang dapat

menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitivitas nyeri


44

dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses

inflamasi.

Hal itu dikarenakan kompres dingin dapat mengurangi

aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi perdarahan edema

yang diperkirakan menimbulkan efek analgetik dengan

memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri

yang mencapai otak lebih sedikit (Price & Wilson, 2005).

Pemberian kompres dingin juga dipercaya dapat

meningkatkan pelepasan endorphin yang memblok transmisi

stimulus nyeri dan juga menstimulasi serabut saraf berdiameter

besar A-Beta sehingga menurunkan transmisi impuls nyeri melalui

serabut kecil A-Delta dan serabut saraf C. Tindakan kompres

dingin selain memberikan efek menurunkan sensasi nyeri juga

memberikan efek fisiologis seperti menurunkan respon inflamasi

jaringan, menurunkan aliran darah dan mengurangi edema

(Tamsuri, 2007).

e. Kompres Hangat

Kompres hangat merupakan salah satu metode non

farmakologi yang dianggap sangat efektif dalam menurunkan

nyeri atau spasme otot.

Panas dapat dialirkan melalui konduksi, konveksi dan

konversi. Nyeri akibat memar, spasme otot, dan arthritis berespon

baik terhadap peningkatan suhu karena dapat melebarkan


45

pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah lokal. Oleh karena

itu, peningkatan suhu yang disalurkan melalui kompres hangat

dapat meredakan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk

inflamasi, seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang

akan menimbulkan rasa nyeri lokal (Price & Wilson, 2005).

Pemberian kompres hangat juga menimbulkan efek hangat serta

efek stimulasi kutaneus berupa sentuhan. Efek ini dapat

menyebabkan terlepasnya endorphin, sehingga memblok transmisi

stimulus nyeri.

D. Nyeri Payudara

Nyeri payudara dapat diakibatkan karena berkumpulnya ASI pada

sistem duktus yang mengakibatkan terjadinya pembengkakan. Pada

permulaan masa post partum apabila bayi tidak menyusu dengan baik atau

kemudian apabila kelenjar-kelenjar tidak dikosongkan dengan sempurna,

terjadi pembendungan air susu sehingga terjadi pembengkakan payudara

(engorgement), payudara panas serta keras pada perabaan dan nyeri

(Prawirohardjo, 2005).

Sisa ASI terkumpul pada daerah duktus, hal ini dapat terjadi pada

hari ketiga atau keempat setelah melahirkan. Selain itu, penggunaan bra

yang ketat serta keadaan puting susu yang tidak bersih dapat menyebabkan

sumbatan pada duktus. Ketika air susu ibu (ASI) secara normal dihasilkan,

payudara menjadi sangat penuh, hal ini bersifat fisiologis dan dengan
46

pengisapan yang efektif dan pengeluaran ASI oleh bayi, rasa penuh

tersebut pulih dengan cepat. Namun dapat berkembang menjadi

bendungan, sehingga payudara terisi sangat penuh dengan ASI dan cairan

jaringan. Aliran vena limfatik tersumbat, aliran susu menjadi terhambat

dan tekanan pada saluran ASI dan alveoli meningkat, payudarapun

menjadi bengkak dan oedem (WHO,2003).

Pembengkakan pada payudara dapat menimbulkan komplikasi

sebagai berikut :

1. Infeksi Payudara

Infeksi payudara dapat timbul dikarenakan perawatan puting

susu yang buruk serta dikarenakan terjadinya pembengkakan payudara

(breast engorgement). Biasanya diikuti dengan tanda dan gejala daerah

hangat berwarna merah pada payudara. Pembengkakan yang keras

menunjukkan pembentukan abses. Bila diketahui sejak dini, misalnya

kurang dari 48 jam, dapat ditangani dengan antibiotik dan supresi

laktasi.

2. Pembendungan Air Susu

Bendungan ASI terjadi karena penyempitan duktus laktiferus

atau oleh kelenjar-kelenjar yang tidak dikosongkan dengan sempurna

atau karena kelainan pada puting susu. Keluhan adalah payudara

bengkak, keras, panas, nyeri. Penanganan sebaiknya dimulai selama

hamil dengan perawatan payudara untuk mencegah terjadinya

kelainan-kelainan.
47

3. Demam nifas

Wanita yang normal akan mengalami demam post partum

akibat pembendungan air susu. Lamanya panas yang terjadi berkisar 4

hingga 16 jam dan suhu tubuhnya berkisar 38 hingga 37°C. Insiden

dan intensitas pembendungan air susu serta panas yang menyertainya

lebih rendah jika diberikan pengobatan untuk menekan laktasi.

4. Mastitis

Mastitis adalah peradangan payudara yang dapat disertai atau

tidak disertai infeksi. Penyebabnya adalah karena payudara bengkak

yang tidak disusui secara adekuat. Puting lecet akan memudahkan

masuknya kuman dan terjadinya payudara bengkak sedangkan

penggunaan bra yang terlalu ketat mengakibatkan segmental

engorgement. Gejalanya adalah payudara bengkak, terasa nyeri pada

seluruh payudara, kemerahan pada payudara, payudara keras, badan

terasa panas. Penanganannya dapat diberikan kompres hangat basah

atau menyusui sesering mungkin. Bila tidak ada perubahan selama 12

jam maka diberikan antibiotik dan analgesik (Anggraini, 2010).

E. Kompres Hangat

1. Definisi

Kompres hangat adalah memberikan rasa hangat pada daerah

tertentu dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan

hangat pada bagian tubuh yang memerlukan (Istichomah, 2007).


48

Kompres hangat adalah memberikan rasa hangat kepada pasien

untuk mengurangi nyeri dengan menggunakan cairan yang berfungsi

untuk melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah

lokal (Bonde & dkk, 2014).

Kompres hangat dengan suhu 40,5-43°C merupakan salah satu

pilihan tindakan yang digunakan untuk mengurangi dan bahkan

mengatasi rasa nyeri (Potter & Perry, 2006). Kompres hangat

dianggap bermanfaat untuk memperbaiki sirkulasi darah, terutama

pada engorgement payudara post partum (Kusumastuti, 2008).

2. Tujuan Kompres Hangat

a. Melebarkan pembuluh darah dan memperbaiki peredaran darah di

dalam jaringan tersebut.

b. Pada otot, panas memiliki efek menurunkan ketegangan.

c. Meningkatkan sel darah putih secara total dan fenomena reaksi

peradangan serta adanya dilatasi pembuluh darah yang

mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah serta peningkatan

tekanan kapiler. Tekanan O2 dan CO2 di dalam darah akan

meningkat sedangkan pH darah akan mengalami penurunan

(Bonde & dkk, 2014).

3. Mekanisme Dalam Menurunkan Nyeri

Efek dari kompres hangat untuk meningkatkan aliran darah ke

bagian yang terinjuri (Istichomah, 2007). Kompres hangat dengan

suhu 40,5-43°C merupakan salah satu pilihan tindakan yang digunakan


49

untuk mengurangi dan bahkan mengatasi rasa nyeri (Potter & Perry,

2006).

Dalam penatalaksanaan nyeri salah satu tindakan non

farmakologis adalah berupa teknik distraksi, teknik relaksasi dan

teknik stimulasi kulit. Teknik stimulasi kulit yang digunakan adalah

pemberian kompres dingin ataupun kompres hangat. Manajemen non

framakologis lebih aman digunakan karena tidak menimbulkan efek

samping seperti obat-obatan karena terapi non farmakologis

menggunakan proses fisiologis sehingga dalam hal ini metode menarik

perhatian yang digunakan untuk mengatasi nyeri yaitu kompres hangat

dan dingin (Muttaqin, 2009).

Menurut Price & Wilson (2005) kompres hangat merupakan

salah satu metode non farmakologi yang dianggap sangat efektif dalam

menurunkan nyeri atau spasme otot. Peningkatan suhu yang disalurkan

melalui kompres hangat dapat meredakan nyeri dengan menyingkirkan

produk-produk inflamasi yang akan menimbulkan rasa nyeri (Gayatri,

2013).

Area pemberian kompres hangat dan dingin bisa menyebabkan

respon sistemik dan respon lokal. Stimulasi ini mengirimkan impuls-

impuls dari perifer ke hipotalamus yang kemudian menjadi sensasi

temperatur tubuh secara normal (Istichomah, 2007). Pemberian

kompres hangat dan dingin diberikan untuk mendukung tubuh

terhadap proses yang melibatkan perbaikan dan penyembuhan jaringan


50

(Istichomah, 2007). Kompres hangat dan dingin sama-sama terapi non

farmakologis yang efektif, mudah dan murah (Gayatri, 2013).

Nyeri dapat diatasi dengan melakukan berbagai alternatif, baik

secara farmakologis maupun non farmakologis. Secara farmakologis

dapat diatasi dengan menggunakan obat-obatan analgesik. Sedangkan

penatalaksanaan non farmakologis dilakukan dengan akupuntur,

tindakan distraksi, teknik nafas dalam, terapi musik, dan kompres

(kompres hangat dan dingin) (Gayatri, 2013).

Pemberian kompres hangat menimbulkan efek hangat serta

efek stimulasi kutaneus berupa sentuhan. Efek ini dapat menyebabkan

terlepasnya endorphin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri.

Cara kerjanya adalah rangsangan panas pada daerah lokal akan

merangsang reseptor bawah kulit dan mengaktifkan transmisi serabut

sensori A beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini juga

menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta A berdiameter

kecil. Keadaan demikian menimbulkan gerbang siap menutup

transmisi impuls nyeri (Potter & Perry, 2006). Kompres hangat juga

akan menghasilkan efek fisiologis untuk tubuh yaitu efek vasodilatasi,

peningkatan metabolisme sel dan merelaksasikan otot sehingga nyeri

yang dirasa berkurang (Potter & Perry, 2006). Ketika panas diterima

reseptor, impuls akan diteruskan menuju hipotalamus posterior

sehingga terjadi reaksi reflek penghambatan simpatis yang akan

membuat pembuluh darah berdilatasi (Guyton & Hall, 2008).


51

Kompres hangat dianggap bermanfaat untuk memperbaiki

sirkulasi darah, terutama pada engorgement payudara post partum

(Kusumastuti, 2008). Nyeri akibat pembengkakan payudara pada ibu

post partum dapat diberikan kompres hangat sebelum menyusui untuk

mengurangi rasa sakit (Depkes, 2001).

4. Prosedur Dalam Kompres Hangat

Instrumen yang digunakan adalah tiga buah handuk (2 handuk

kecil/waslap untuk kompres panas, satu handuk ukuran sedang untuk

menutup dan mengeringkan payudara yang sudah dikompres), air

yang bersuhu 41 C dalam waskom, termometer air dan stopwatch

(Nengah & Surinati, 2013).

Fase kerjanya :

A. Fase Orientasi

1. Mengucapkan salam

2. Memperkenalkan diri

3. Menjelaskan tujuan

4. Menjelaskan langkah dan prosedur

5. Meminta persetujuan dan kesiapan klien

6. Bawa alat-alat ke dekat klien.

B. Fase Kerja

1. Cuci tangan

2. Pasang sampiran
52

3. Bantu klien pada posisi nyaman dan tepat (posisi fowler jika

mampu)

4. Membuka baju bagian atas klien

5. Pasang handuk berukuran besar di bahu klien untuk menutup

bagian payudara.dan pasang peniti untuk menjepit kedua sisi

handuk.

6. Palpasi bagian payudara klien dimulai dari bagian atas dengan

arah memutar (dimulai dari payudara yang tidak sakit kemudian

baru palpasi bagian payudara yang terasa sakit, bila keduanya

terasa sakit maka palpasi dilakukan bergantian).

7. Cek adanya pengeluaran ASI dengan cara menekan bagian

sekitar areola mundur ke belakang kemudian di pencet

menggunakan metode c-finger, bila ASI tidak keluar maka

mulai melakukan kompres hangat.

8. Ambil waslap kemudian masukkan kedalam waskom berisi air

hangat (suhu 40-46°C) dan peras agar tidak terlalu basah.

9. Lakukan kompres hangat pada bagian payudara pasien secara

bergantian mulai dari pangkal payudara sampai ke puting susu

(bila kedua payudara bengkak maka kompres dilakukan

bersamaan, bila salah satunya yang bengkak maka dikompres

pada payudara yang bengkak saja bukan keduanya).

10. Perhatikan respons klien, adakah rasa tidak nyaman dan dalam

beberapa detik setelah waslap menempel pada kulit, angkat


53

waslap untuk mengkaji apakah terdapat kemerahan pada kulit

yang dikompres.

11. Jika klien mentoleransi kompres hangat tersebut, maka

lanjutkan prosedur

12. Lakukan perasat ini selama 15-30 menit

13. Keringkan payudara dengan handuk besar kemudian tutup

kembali baju klien

C. Fase Terminasi

1. Melakukan evaluasi tindakan

2. Merapikan kembali klien dan atur posisi klien kembali nyaman

3. Bereskan dan bersihkan kembali alat-alat untuk disimpan

kembali.

4. Berpamitan dengan klien

5. Mencuci tangan (Kusyati, 2006).

Anda mungkin juga menyukai