Anda di halaman 1dari 159

GEOLOGY OF PURWOKERTO AND SURROUNDING AREA,

RAWALO, BANYUMAS DISTRICT, CENTRAL JAVA


PROVINCE

Rezki Naufan Hendrawan


270110090030

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
JATINANGOR
2014
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT dan Nabi

Muhammad SAW atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

melaksanakan dan menyelesaikan pemetaan lanjut dengan judul “GEOLOGI

DAERAH PURWOKERTO DAN SEKITARYA KECAMATAN RAWALO

KABUPATEN BANYUMAS PROVINSI JAWA TENGAH”. Laporan ini berisi

bahasan mengenai kondisi Geologi daerah penelitian dengan mengedepankan 5

aspek utama dalam pemetaan yakni ilmu Geologi Struktur, Stratigrafi, Petrologi,

Sedimentologi dan Geomorfologi.

Ucapan rasa hormat, bangga dan terima kasih penulis ucapkan terutama

kepada orang tua tercinta serta seluruh keluarga penulis, yang tidak henti-hentinya

mendoakan dan memberi dukungan baik moril maupun materil sehingga penulis

bisa tetap semangat dan berjuang keras manggapai harapan dan cita-cita. Semoga

penulis bisa segera membanggakan dan membalas semua yang telah kalian

berikan selama ini.

Penulis juga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Prof.

Dr. Hendarmawan, Ir., M.Sc selaku dosen pembimbing dan Dekan Fakultas

Teknik Geologi Unpad dan Bombom T. Suganda,S.T, M.T., selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan masukan dan koreksi terhadap skripsi

penulis.

i
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang

banyak membantu dalam menyelesaikan pemetaan lanjut ini, yaitu:

1. Dr. Sc. Yoga Andriana Sendjadja, MSc. selaku Ketua Program Studi Teknik

Geologi, Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran.

2. Bapak Faisal Helmi S.T., M.T., selaku dosen yang telah memberikan masukan

dan bersedia diajukan pertanyaan yang begitu banyak oleh penulis dalam

masalah yang ada di pemetaan lanjut ini.

3. Hilman Agil Satria, Eka Prahara Samodra, Priyangga, Azka dan Bimo selaku

rekan penulis yang membantu penulis dalam pengambilan data dilapangan

selama kurang lebih 8 hari.

4. Bapak Aim Supangat beserta keluarga sebagai Kepala Desa Sawangan yang

telah memberikan fasilitas untuk menunjang kegiatan saat penulis berada di

lapangan.

5. Lutfi, Gian, Alam, Irfan, Azka, Rieza, Agnes, David, Hilman dan rekan-rekan

Pondok Septa yang telah memberikan banyak dukungan motivasi, tambahan

ilmu, dan diskusi ilmiah yang membantu dalam pencerahan ketika mengalami

kebingungan.

6. Rekan-rekan HMG UNPAD, khususnya angkatan 2009 sebagai wadah sharing

dan bertukar pengalaman, ketika sedang buntu untuk menyelesaikan Tugas

Akhir.

7. Setiap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang memberikan

inspirasi dalam hidup penulis.

ii
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. oleh

sebab itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dalam

penyempurnaan laporan pemetaan lanjut ini.

Akhir kata penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi

pembaca dan menjadi salah satu referensi bagi penelitian selanjutnya.

Jatinangor, April 2014

Rezki Naufan Hendrawan

iii
SARI
Daerah penelitian secara administratif termasuk ke Kecamatan Rawalo dan
Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Secara
geografis terletak pada kordinat 109ᵒ 8’ 33.702” BT - 109ᵒ 14’ 4.8984” BT dan 7ᵒ
25’ 54.1344” LS - 7ᵒ 31’ 21.81” LS.
Sebagian besar dari daerah penelitian berupa perbukitan dan pedataran
yang didominasi oleh batuan sedimen yang telah mengalami deformasi dan
mengalami perlipatan dan pensesaran. Berdasarkan aspek fisiografinya, daerah
penelitian termasuk ke dalam Zona Pegunungan Serayu Selatan.
Geomorfologi daerah penelitian dapat dibedakan menjadi empat satuan;
yaitu satuan pedataran aluvium, satuan pedataran sedimen landai, satuan
perbukitan sedimen agak curam, dan satuan perbukitan sedimen curam.
Berdasarkan aspek litostratigrafinya, daerah penelitian ini terbagi menjadi
lima satuan batuan, dengan urutan dari yang berumur paling tua sampai berumur
paling muda yaitu satuan Breksi berumur Miosen Tengah, satuan Batupasir Tufan
Karbonatan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir, satuan batupasir tufan
berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir, satuan batupasir berumur Miosen Akhir-
Pliosen Awal bagian bawah dan endapan aluvium berumur kuarter.
Dilihat dari hasil penafsiran data DEM dan data lapangan, dapat diketahui
struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian; yaitu sesar Ciandong,
sesar Mandirancan, Sesar Tambaknegara, Sesar Tipar, Sesar Jatisaba, Sesar
Pasanggrahan dan Sesar Kedungpasung. Terdapat tujuh lipatan berarah barat
timur dibagian tegah menuju selatan (Sinklin Jatisaba, Sinklin Sawangan Kidul,
Sinklin Tipar, Antiklin Karangcengis, Antiklin Karangendep, Antiklin
Gunungpayung, Antiklin penjogol dan Antiklin Tipar).
Sejarah geologi dimulai pada kala Miosen Tengah dimana satuan breksi
polimik terendapakan di daerah penelitian, pada kala itu daerah penelitian berada
pada lingkungan laut. Pada kala Miosen Tengah hingga Miosen Akhir, daerah
penelitian mengalami siklus transgresi dan mulai diendapkan Satuan Batupasir
Tufan dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan pada lingkungan laut di kipás laut
dalam dengan arus turbidit. Pada kala Miosen Akhir hingga Pliosen Awal muka
air laut mengalami penurunan dan terjadi pengendapan Satuan Batupasir (neritik
tengah-luar).
Periode pembentukan struktur geologi di daerah penelitian dimulai pada
kala Pliosen-Pleistosen dengan arah tegasan relatif utara-selatan yang membentuk
lipatan dan sesar yang memotong seluruh satuan batuan kecuali endapan aluvium.
Sumberdaya bahan galian golongan C daerah penelitian berupa batupasir sebagai
bahan bangunan dan pengeras jalan dan kebencanaan berupa longsor.

iv
ABSTRACT

Research area administratively belongs to Rawalo and South Purwokerto


district, Banyumas Regencies, Central Java Province. Geographically located in
coordinate 109ᵒ 8’ 33.702” East Longitude until 109ᵒ 14’ 4.8984” East Longitude
and 7ᵒ 25’ 54.1344”South Latitude until 7ᵒ 31’ 21.81”South Latitude.
Most of research area is hills and plain dominated by sedimentary rock.
Based on its physiography aspect, the research area belongs to Southern Serayu
Mountain Zone..
The geomorphology of the research area can be distinguished into four
units; those are alluvial plain, sedimentary plain unit, slightly steep sedimentary
hills unit and steep volcanic hills unit.
Based on its lithostratigraphy aspect, research area is divided into five
rock units, from oldest to youngest sequence those are Middle Miocene of
breccias unit, Middle Miocene-Late Miocene of Tuffaceous Sandstone Carbonate
unit, Middle Miocene-Late Miocene of tufaceous sandstone unit and Late
Miocene-Early Pliocene of sandstone unit and Quarternary of alluvium unit.
From the interpretation of DEM and field data, the geological structures
that developed in the research area could be seen; those are Ciandong Fault,
Mandirancan Fault, Karangendep Fault, Tambaknegara Fault, Tipar Fault,
Jatisaba Fault, Pasanggrahan Fault and Kedungpasung Fault. There are seven
fold trending west-east in the middle to southern (Jatisaba sincline, Sawangan
Kidul Sincline, Tipar Sincline, Karangcengis Anticline, Karangendep Anticline,
Gunungpayung Anticline, Penjogol Anticline and Tipar Anticline).
The geological history started from Middle Miocene where breccias unit was
deposited, the research area is expected located on marine environment. At
Middle-Late Miocene research area had been transgresive cycle start of
Tuffaceous Sandstone Carbonate and Tuffaceous Sandstone unit are deposite
located at sub-marine fan, then by Late Miocene-Early Miocene research area
sea level regressive so feldspatic sandstone occurred (middle-outer neritic)
The geological structures period started on Pliocene-Pleistocene with
north to south trend of stress, built some fold and fault to cross all unit of rock
except alluvium deposit. Mineral resource type C in study area is sandstone for
construction material and road,meanwhile for natural hazard identified is
avalanche.

v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
SARI ...................................................................................................................................iv
ABSTRACT ....................................................................................................................... v
DAFTAR ISI......................................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Latar belakang .......................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
1.3. Maksud, Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 3
1.4. Metode Pemetaan Geologi ....................................................................................... 4
1.4.1. Objek Penelitian ................................................................................................ 4
1.4.2. Alat-Alat yang Digunakan ................................................................................ 5
1.4.2.1. Tahap persiapan ......................................................................................... 5
1.4.2.2. Tahap Pengumpulan Data Lapangan ......................................................... 5
1.4.2.3. Tahap Pengerjaan Laboratorium ................................................................ 5
1.4.2.4. Tahap Pengerjaan Studio ........................................................................... 6
1.4.3. Langkah-Langkah Penelitian ............................................................................ 7
1.4.3.1. Tahap Persiapan ......................................................................................... 8
1.4.3.2. Tahap Pengumpulan Data Lapangan ......................................................... 9
1.4.3.3. Tahap Pekerjaan Laboratorium ................................................................ 10
1.4.3.4. Tahap Analisis Data ................................................................................. 11
1.4.3.4.1. Analisis Geomorfologi ...................................................................... 11
1.4.3.4.2. Analisis stratigrafi ............................................................................. 18
1.4.3.4.3. Analisis Struktur Geologi.................................................................. 30
1.4.3.4.4. Analisis Geologi Sejarah ................................................................... 36
1.4.3.5. Tahap Bimbingan dan Pelaporan ............................................................. 36
1.5. Geografi Umum ..................................................................................................... 36
1.6. Waktu Penelitian dan Kelancaran Kerja ................................................................ 37
BAB II KERANGKA..GEOLOGI..REGIONAL ......................................................... 39

vi
2.1. Geomorfologi ......................................................................................................... 39
2.2. Stratigrafi ............................................................................................................... 40
2.2.1. Formasi Halang ............................................................................................... 41
2.2.2. Anggota Breksi Formasi Halang ..................................................................... 42
2.2.3. Formasi Tapak ................................................................................................ 43
2.2.4. Endapan Lahar G. Slamet ............................................................................... 44
2.2.5. Aluvium .......................................................................................................... 44
2.3. Struktur Geologi..................................................................................................... 44
BAB III GEOLOGI ........................................................................................................ 47
3.1. Geomorfologi ......................................................................................................... 47
3.1.1. Morfografi ....................................................................................................... 49
3.1.1.1. Bentuk lahan ............................................................................................ 49
3.1.1.2. Bentuk Lembah ........................................................................................ 50
3.1.1.3. Pola Pengaliran ........................................................................................ 50
3.1.1.3.1. Pola Pengaliran Anastomatik ............................................................ 51
3.1.1.3.2. Pola Pengaliran Angulate .................................................................. 52
3.1.1.3.3. Pola Pengaliran Pinnate .................................................................... 52
3.1.1.3.4. Pola Pengaliran Sub-Trellis .............................................................. 52
3.1.1.3.5. Pola Pengaliran Sub-Denditrik.......................................................... 53
3.1.1.3.6. Pola Pengaliran Paralel ..................................................................... 53
3.1.2. Morfogenetik................................................................................................... 54
3.1.3. Morfometri ...................................................................................................... 55
3.1.4. Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian ......................................................... 56
3.1.4.1. Pedataran Aluvium................................................................................... 57
3.1.4.2. Pedataran Sedimen Landai ....................................................................... 57
3.1.4.3. Perbukitan Sedimen Agak Curam ............................................................ 58
3.1.4.4. Perbukitan Sedimen Curam ..................................................................... 59
3.2. Stratigrafi ............................................................................................................... 61
3.2.1. Satuan Breksi .................................................................................................. 63
3.2.2.1. Litologi dan Penyebarannya..................................................................... 63
3.2.2.2. Kisaran umur dan Lingkungan Pengendapan .......................................... 65

vii
3.2.2.3. Hubungan Stratigrafi ................................................................................ 66
3.2.2.4. Kesebandingan Regional.......................................................................... 67
3.2.2. Satuan Batupasir Tufan Karbonatan ............................................................... 68
3.2.1.1. Litologi dan Penyebarannya..................................................................... 68
3.2.1.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan......................................... 69
3.2.1.3. Hubungan Stratigrafi ................................................................................ 74
3.2.1.4. Kesebandingan Regional.......................................................................... 75
3.2.3. Satuan Batupasir Tufan ................................................................................... 76
3.2.1.1. Litologi dan Penyebarannya..................................................................... 76
3.2.1.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan......................................... 78
3.2.1.3. Hubungan Stratigrafi ................................................................................ 86
3.2.1.4. Kesebandingan Regional.......................................................................... 86
3.2.3. Satuan Batupasir ............................................................................................. 88
3.2.3.1. Litologi dan Penyebarannya..................................................................... 88
3.2.3.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan.......................................... 89
3.2.3.3. Hubungan Stratigrafi ................................................................................ 95
3.2.3.4. Kesebandingan Regional.......................................................................... 96
3.2.4. Endapan Aluvium ........................................................................................... 97
3.2.4.1. Litologi dan Penyebarannya..................................................................... 97
3.2.4.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan.......................................... 98
3.2.4.3. Hubungan Stratigrafi ................................................................................ 98
3.2.4.4. Kesebandingan Regional.......................................................................... 99
3.3. Struktur Geologi..................................................................................................... 99
3.3.1. Interpretasi Pola Kelurusan ........................................................................... 100
3.3.2. Struktur Lipatan ............................................................................................ 103
3.3.2.1. Sinklin Jatisaba ...................................................................................... 104
3.3.2.2. Antiklin Karangcengis ........................................................................... 104
3.3.2.3. Antiklin Karangendep ............................................................................ 105
3.3.2.4. Sinklin Sawangan Kidul......................................................................... 106
3.3.2.5. Antiklin G. Payung ................................................................................ 107
3.3.2.6. Sinklin Tipar .......................................................................................... 108

viii
3.3.2.7. Antiklin Tipar......................................................................................... 109
3.3.3. Struktur Kekar ............................................................................................... 110
3.3.4. Struktur Sesar ................................................................................................ 113
3.3.4.1. Sesar Naik Karangendep ........................................................................ 114
3.3.4.2. Sesar Naik Mandirancan ........................................................................ 115
3.3.4.3. Sesar Mendatar Dekstral Jatisaba........................................................... 117
3.3.4.4. Sesar Mendatar Dekstral Pasanggrahan ................................................. 119
3.3.4.5. Sesar Mendatar Sinstral Ciandong ......................................................... 121
3.3.4.6. Sesar Mendatar Sinistral Tipar ............................................................... 125
3.3.4.7. Sesar Mendatar Dekstral Kedungpasung ............................................... 127
3.3.4.8. Sesar Mendatar Dekstral Tambaknegara ............................................... 130
3.3.4.9. Sesar Mendatar Dekstral Serayu ............................................................ 132
3.4. Sejarah Geologi .................................................................................................... 134
3.5. Sumberdaya dan Kebencanaan Geologi .............................................................. 136
3.5.1. Potensi Sumber Daya Geologi ...................................................................... 136
3.5.2. Potensi Kebencanaan Geologi ...................................................................... 137
BAB IV RANGKUMAN............................................................................................... 138
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 142

ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Alur pengerjaan penelitian .............................................................................. 8
Gambar 1.2. Pola pengaliran menurut Howard (1967); A. Pola pengaliran dasar, B dan C
pola pengaliran modifikasi ................................................................................................ 13
Gambar 1.3. Diagram Blok pada sistem pengendapan Tidal Flat (Dalrymple et al. 1990
dalam Walker dan James, 1992) ....................................................................................... 22
Gambar 1.4. Karakteristik endapan sikuen Bouma (A) Sikuen Bouma dan interpretasi
faciesnya (Bouma dalam Mutti, 1999), (B) Karakteristik Endapan Turbdit dari Proximal
sampai Distal ( Bouma, 1962)........................................................................................... 24
Gambar 1.5. Facies pengendapan pada endapan turbidit (Mutti, 1999) ........................... 25
Gambar 1.6. Sikuen pengendapan endapan turbidit pada bagian proximal (inner fan)
sampai distal ( outer fan-basin plain) (Mutti,1999) ......................................................... 25
Gambar 1.7. Model Lingkungan Pengendapan berdasarkan pemodelan submarine fan
deposit (Walker,1992)....................................................................................................... 26
Gambar 1.8. Klasifikasi lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966)27
Gambar 1.9. Klasifikasi batuan beku berbutir kasar (kiri) dan batuan beku berbutir halus
(kanan), (Streckeisen, 1976) ............................................................................................. 28
Gambar 1.10. Klasifikasi batuan beku (Travis, 1955) ...................................................... 28
Gambar 1.11. Klasifikasi batupasir dan batulempung (Pettijohn, 1975 dalam Gillespie
dan Styles, 1999)............................................................................................................... 29
Gambar 1.12. Klasifikasi batuan Vulkaniklastik (Schmidt, 1981 dalam Gillespic dan
Styles, 1999) ..................................................................................................................... 29
Gambar 1.13. Klasifikasi tuff (Schmidt, 1981) ................................................................. 29
Gambar 1.14. Teori orientasi sesar (Anderson, 1951) ...................................................... 31
Gambar 1.15. Konsep sesar mendatar Moody & Hill (1959) ........................................... 32
Gambar 1.16. Klasifikasi Sesar (Rickard (1972) dalam Berkman (1976)) ....................... 34
Gambar 1.17. Hubungan Riedel Shear dari Harding (1973) dengan konsep Moody & Hill
(1959) ................................................................................................................................ 34
Gambar 1.18. Klasifikasi lipatan menurut Fleuty, 1964 .................................................. 35
Gambar 1.19. Peta administratif lokasi penelitian ............................................................ 37

x
Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Tengah modifikasi R.W. Van Bemmelen (1970) ............... 39
Gambar 2.2. Konfigurasi Struktur Pulau Jawa dikutip dari Situmorang, 1973 ................ 46

Gambar 3.1. Peta Pola Pengaliran Sungai Daerah Penelitian (Tanpa Skala) .................... 54
Gambar 3.2. Morfometri Daerah Penelitian (Tanpa Skala) .............................................. 56
Gambar 3.3. Pedataran Sedimen Landai (garis merah)..................................................... 58
Gambar 3.4. Perbukitan Sedimen Agak Curam (garis kuning)......................................... 59
Gambar 3.5. Perbukitan Sedimen Curam (garis merah) dan Pedataran Aluvium (garis
kuning) .............................................................................................................................. 60
Gambar 3.6. Kenampakan daerah penelitian dengan model 3D ....................................... 61
Gambar 3.7. Singkapan Breksi Dominasi Komponen pada stasiun ST.56 (A) Singkapan
sekala besar (B) dan (C) perbesaran dari singkapan skala besar....................................... 64
Gambar 3.8. Singkapan Breksi Dominasi matriks pada stasiun ST.54 (A) Singkapan skala
besar (B) perbesaran dari singkapan skala besar............................................................... 65
Gambar 3.9. Kontak antara Satuan Breksi dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan pada
stasiun ST.27 ..................................................................................................................... 67
Gambar 3.10. Singkapan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (A) dan perselingan antara
batupasir dan batulempung (B) ......................................................................................... 69
Gambar 3.11. Model lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan
dengan model Bouma (1962) ............................................................................................ 71
Gambar 3.12. Lingkungan pengendapan Batupasir Tufan Karbonatan (Walker, 1992)... 72
Gambar 3.13. Struktur sedimen (A) slump pada stasiun ST.44 (B) wavy pada stasiun
ST.45 ................................................................................................................................. 72
Gambar 3.14. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan menurut
klasifikasi lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966) .................... 74
Gambar 3.15. Kontak antara satuan batuan (A) Kontak satuan Breksi dan Satuan
Batupasir Tufan Karbonatan (B) Kontak Satuan Batupasir Tufan dan Batupasir Tufan
Karbonatan ........................................................................................................................ 75
Gambar 3.16. Singkapan Satuan Batupasir Tufan (A) batulempung pada stasiun ST.50
(B) batupasir halus ST.59 (C) batupasir kasar ST.06........................................................ 77
Gambar 3.17. Struktur sedimen (A) pebbly sandstone stasiun ST.06 (B) pasir massif
stasiun ST.15 ..................................................................................................................... 81

xi
Gambar 3.18. Model sekuen Bouma (1962) (Ta) Graded bedding perselingan batuan
stasiun ST.58 (Tb) parallel laminasi stasiun ST.49 (Tc) Ripple Mark stasiun ST.49 dan
(Te) Lempung massif stasiun ST.66 ................................................................................. 81
Gambar 3.19. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan dengan model
pengendapan Bouma, 1962 ............................................................................................... 82
Gambar 3.20. Lingkungan Pengendapan Batupasir Tufan (Walker, 1992) ...................... 84
Gambar 3.21. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan menurut klasifikasi
lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et. Al. (1966) .................................... 85
Gambar 3.22. Kontak antar satuan batuan (A) kontak Satuan Batupasir Tufan dan
SatuanBatupasir Tufan Karbonatan pada stasiun ST.38 dan (B) kontak Satuan Batupasir
Tufan dan Satuan Batupasir pada stasiun A13.................................................................. 86
Gambar 3.23. Singkapan Batupasir karbonatan stasiun A14 (A) Tubuh singkapan (B)
Batupasir halus (B) Batupasir kasar .................................................................................. 89
Gambar 3.24. Struktur sedimen pada Satuan Batupasir (A) dan (B) pebbly sandstone
pada stasiun ST.40 dan ST.41, (C) terdapat pecahan moluska pada stasiun ST.70 dan (D)
paralel laminasi stasiun ST.11 .......................................................................................... 92
Gambar 3.25. Diagram Blok pada sistem pengendapan Tidal Flat (Dalrymple et al. 1990
dalam Walker dan James, 1992) ....................................................................................... 93
Gambar 3.26. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan menurut klasifikasi
lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966) ...................................... 95
Gambar 3.27. Endapan Aluvium Kali Logawa ................................................................. 98
Gambar 3.28. Analisa Kelurusan Sungai (kiri) dan Analisa Kelurusan Kontur (kanan)
tanpa skala....................................................................................................................... 101
Gambar 3.29. Analisa Kelurusan DEM (tanpa skala) ..................................................... 102
Gambar 3.30. Diagram Roset kelurusan DEM (merah), kelurusan kontur (kuning) dan
kelurusan sungai (hijau) .................................................................................................. 102
Gambar 3.31. Stereonet Sinklin Jatisaba dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)
........................................................................................................................................ 104
Gambar 3.32. Stereonet Antiklin Karangcengis dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty,
1964) ............................................................................................................................... 105
Gambar 3.33. Stereonet Antiklin Karangendep dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty,
1964) ............................................................................................................................... 106

xii
Gambar 3.34. Foto perubahan kemiringan lapisan batuan sebagai indikasi Antiklin
Karangendep diantara stasiun ST.44 dan ST.45 ............................................................. 106
Gambar 3.35. Stereonet Sinklin Sawangan Kidul dan klasifikasi penamaan lipatan
(Fleuty, 1964).................................................................................................................. 107
Gambar 3.36. Stereonet Antiklin G.Payung dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty,
1964) ............................................................................................................................... 108
Gambar 3.37. Stereonet Antiklin Sidamulih dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty,
1964) ............................................................................................................................... 109
Gambar 3.38. Stereonet Antiklin Tipar dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)
........................................................................................................................................ 109
Gambar 3.39. Diagram Stereonet K1 (stasiun ST.44), K2 (stasiun ST.49) dan K3 (stasiun
ST.51) disertai dengan foto Kekar disetiap stasiun ......................................................... 111
Gambar 3.40. Diagram Stereonet K4 disertai dengan foto Kekar di stasiun ST.57........ 112
Gambar 3.41. Diagram Stereonet K5 disertai dengan foto Kekar di stasiun ST.35 ........ 113
Gambar 3.42. Diagram Stereonet OF9 disertai foto ofset dan cermin sesar pada stasiun
ST.57 ............................................................................................................................... 114
Gambar 3.43. Korelasi Sesar Karangendep dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan
sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 ................................................................... 115
Gambar 3.44. Diagram Stereonet OF12 disertai foto ofset dan cermin sesar pada stasiun
ST.25 ............................................................................................................................... 116
Gambar 3.45. Diagram Stereonet OF15 disertai foto ofset pada stasiun ST.29 ............. 116
Gambar 3.46. Korelasi Sesar Mandirancan dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan
sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 ................................................................... 117
Gambar 3.47. Diagram stereonet pada OF16 .................................................................. 118
Gambar 3.48. Korelasi Sesar Jatisaba dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar
berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan) ............................................................... 118
Gambar 3.49. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model
Moody & Hill, 1959 (kanan)........................................................................................... 119
Gambar 3.50. Diagram stereonet pada OF11 disertai foto pada stasiun A10 ................. 120
Gambar 3.51. Korelasi Sesar Pasanggrahan dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan
sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan) ...................................................... 120
Gambar 3.52. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model
Moody & Hill 1959 (kanan) ........................................................................................... 121

xiii
Gambar 3.53. Diagram stereonet dan foto pada OF2...................................................... 122
Gambar 3.54. Diagram stereonet dan foto pada OF3...................................................... 122
Gambar 3.55. Diagram stereonet dan foto ofset pada OF4 ............................................. 123
Gambar 3.56. Diagram stereonet dan foto pada OF5...................................................... 123
Gambar 3.57. Breksi Sesar pada Sesar Semanding......................................................... 123
Gambar 3.58. Korelasi Sesar Ciandong dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan
sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan) ...................................................... 124
Gambar 3.59. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model
Moody & Hill 1959 (kanan) ........................................................................................... 125
Gambar 3.60. Diagram stereonet dan foto cermin sesar pada OF7................................. 126
Gambar 3.61. Korelasi Sesar Tipar dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar
berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan) ............................................................... 127
Gambar 3. 62. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model
Moody & Hill 1959 (kanan) ........................................................................................... 127
Gambar 3.63. Diagram stereonet dan foto ofset pada OF6 ............................................. 128
Gambar 3.64. Korelasi Sesar Kedungpasung dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan
sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan) ...................................................... 128
Gambar 3.65. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model
Moody & Hill 1959 (kanan) ........................................................................................... 129
Gambar 3.66. Diagram stereonet pada OF10 .................................................................. 130
Gambar 3.67. Korelasi Sesar Tambaknegara dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan
sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan) ...................................................... 131
Gambar 3.68. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model
Moody & Hill 1959 (kanan) ........................................................................................... 132
Gambar 3.69. Kenampakan peta DEM dari Sesar Serayu .............................................. 133
Gambar 3.70. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model
Moody & Hill 1959 (kanan) ........................................................................................... 133
Gambar 3. 71. Tabel Sejarah Geologi Daerah Penelitian ............................................... 136
Gambar 3.72. Salah satu produsen batako didaerah penelitian ....................................... 137

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel.1.1. Hubungan kelas relief, Kemiringan lereng, dan Perbedaan Ketinggian (Van
Zuidam, 1985) ................................................................................................................... 16
Tabel 1.2. Hubungan Ketinggian Absolut dengan Morfografi (Van Zuidam, 1985)........ 17
Tabel 1.3. Satuan Bentuk Lahan dengan Morfogenetik (Van Zuidam, 1985) .................. 18
Tabel 1.4. Klasifikasi lipatan berdasarkan besar sudut interlimb (Fleuty, 1964).............. 35

Tabel 2.1. Kesebandingan Stratigrafi Regional Daerah Penelitian ................................... 44

Tabel 3.1. Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (sumber: Van Zuidam, 1985)
.......................................................................................................................................... 49
Tabel 3.2. Karakteristik umum geomorfologi daerah penelitian ..................................... 61
Tabel 3.3. Kesebandingan Satuan Breksi dengan Formasi Halang (Tmphb) ................... 67
Tabel 3.4. Zona kisaran Satuan Batupasir Tufan pada stasiun ST.46 berdasarkan
kandungan Foraminifera Planktonik (Bolli dan Saunders, 1989) ..................................... 70
Tabel 3.5. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan pada stasiun ST.46
berdasarkan kandungan foraminifera bentonik (Harris dan Baker, 2011) ........................ 73
Tabel 3.6. Kesebandingan Satuan Batupasir Tufan dengan Formasi Halang (Tmph) ...... 75
Tabel 3.7. Zona kisaran Satuan Batupasir tufan pada stasiun (A) ST.50, (B) ST.64 dan (C)
ST.51 berdsarkan kandungan Formanifera Plangtonik (Bolli dan Saunders, 1989) ......... 79
Tabel 3.8. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan pada stasiun (A) ST.50, (B)
ST.64 dan (C) ST.51 berdasarkan kandungan foraminifera bentonik (Harris dan Baker,
2011) ................................................................................................................................. 84
Tabel 3.9. Kesebandingan Satuan Batupasir Tufan dengan Formasi Halang (Tmph) ...... 86
Tabel 3.10. Zona kisaran Satuan Batupasir pada stasiun (A) ST.76 dan (B) ST.42
berdsarkan kandungan Formanifera Plangtonik (Bolli dan Saunders, 1989).................... 90
Tabel 3.11. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir pada stasiun (A) ST.76 dan (B)
ST.42 berdasarkan kandungan foraminifera bentonik (Harris dan Baker, 2011) ............. 94
Tabel 3.12. Kesebandingan Satuan Batupasir dengan Formasi Tapak (Tpt) .................... 96
Tabel 3.13. Kesebandingan Aluvium dengan Endapan Aluvium (Qa) ............................. 99

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Geologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi dan segala isinya.

Geologi sendiri mempunyai berbagai cabang disiplin ilmu lainnya. Untuk menjadi

sukses dibidangnya, seorang geologist harus mampu mengembangkan potensi diri

dan imajinasinya. Saat ini bidang ilmu geologi mulai memiliki peranan sangat

penting dikalangan masyarakat, khususnya informasi mengenai kondisi geologi

yang berkembang didaerah tersebut. Dari perkembangan dan kemajuan ilmu ini

akan mendorong para geologist untuk melakukan penelitian secara regional.

Dalam memahami ilmu geologi, seorang mahasiswa geologi tidak cukup

hanya dengan menerima materi kuliah dilingkungan kampus saja, namun

diperlukan pula aplikasinya dilapangan. Untuk menggabungkan kedua hal tersebut

maka dilakukanlah kegiatan penelitian atau pemetaan geologi. Melalui pemetaan

geologi kita dapat mengidentifikasi kondisi geologi di suatu daerah hingga

merekonstruksi kejadian geologi yang pernah terjadi di masa lampau pada daerah

tersebut.

Pemetaan geologi lanjut ini dilaksanakan di daerah Purwokerto, karena

daerah tersebut memiliki kondisi geologi yang menarik untuk dipelajari. Pemetaan

geologi lanjut ini ditunjang oleh teori-teori geologi yang selama ini diperoleh di

1
2

bangku kuliah serta data dan informasi lapangan serta litelatur sehingga

diharapkan dapat menjelaskan kondisi geologi daerah tersebut yang dituangkan

dalam bentuk peta geologi dan laporan.

Hasil penelitian lapangan dan pengolahan data-data lapangan ditunjang

dengan penguasaan ilmu yang diterima selama ini diharapkan dapat dimanfaatkan

untuk pembangunan daerah, khususnya Desa Sawangan, Kecamatan Rawalo,

Banyumas.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan geologi suatu daerah yang dibahas dalam penelitian

ini meliputi :

1. Bagaimana geomorfologi daerah penelitian dan apa proses-proses yang

mempengaruhinya ?

2. Bagaimana stratigrafi, variasi litologi, dan hubungan antar batuan di daerah

penelitian?

3. Bagaimana struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian ?

4. Bagaimana sejarah geologi pada daerah penelitian ?

5. Apa saja bahan galian yang dapat dimanfaatkan dan diolah di daerah

penelitian?
3

1.3. Maksud, Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari Pemetaan Geologi Lanjut ini adalah untuk mempelajari dan

mengungkap aspek-aspek geologi daerah penelitian, antara lain :

1. Aspek geomorfologi, yang meliputi unsur-unsur geomorfologi, proses-

proses geomorfologi yang telah dan sedang berlangsung, dan membuat

satuan-satuan geomorfologi berdasarkan unsur-unsurnya.

2. Aspek litologi, yaitu mendeskripsi karakteristik batuan, kemudian

mengelompokkan menjadi satuan-satuan batuan bernama berdasarkan

aturan sandi stratigrafi yang baku, menelusuri penyebarannya,

menganalisis umur, hubungan antar satuan, dan lingkungan

pengendapannya.

3. Aspek fisik dan karakter batuan, meliputi struktur sedimen, kandungan

fosil, kandungan mineral, ketebalan, serta kontak antara satuan batuan.

4. Aspek struktur geologi, meliputi jenis, waktu pembentukannya, serta

menelusuri hubungan kejadian dengan tektonik yang terjadi di daerah

penelitian.

5. Aspek sejarah geologi, yaitu untuk mengungkapkan sejarah geologi daerah

penelitian yang berlangsung mulai saat pembentukan daerah ini hingga

keadaan akhir yang ditemukan sekarang.

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan bekal

pengalaman bagi penulis sebelum terjun di tengah-tengah masyarakat sebagai

seorang ahli geologi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan juga dapat
4

memberikan informasi mengenai kondisi geologi pada daerah penelitian yang jika

dibutuhkan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menunjang

pembangunan dan pengembangan ilmu geologi pada daerah penelitian.

1.4. Metode Pemetaan Geologi

Pemetaan geologi merupakan suatu kegiatan untuk memetakan kondisi

geologi suatu daerah sehingga menghasilkan peta geologi yang bertujuan untuk

menyingkap sejarah dan proses geologi daerah penelitian yang bersangkutan.

1.4.1. Objek Penelitian

Objek penelitian pada suatu pemetaan geologi meliputi :

1. Geomorfologi, digunakan untuk penentuan proses geomorfologi, tingkat erosi,

pola pengaliran yang berkembang serta memperkirakan indikasi adanya

struktur geologi yang aktif di daerah pemetaan.

2. Litologi, meliputi seluruh jenis batuan beserta seluruh karakteristik fisik,

tekstur, dan struktur yang tersingkap di daerah pemetaan dan merupakan

batuan yang masih segar dan insitu, yaitu batuan yang belum mengalami

pelapukan dan perpindahan tempat.

3. Stratigrafi, yaitu meliputi perlapisan batuan dari batuan tertua sampai termuda

dengan menyertakan fosil sebagai salah astu aspek penunjang untuk

menentukan umur dan lingkungan pengendapan satuan batuan sedimen.

4. Struktur geologi dan indikasinya, yang dapat di gunakan untuk menentukan

pola tegasan dan gaya yang terjadi pada masa lampau, jenis struktur geologi
5

serta pola struktur geologi, yaitu sesar, kekar, dan perlipatan yang berkembang

pada darah pemetaan.

5. Geologi mineral ekonomi di daerah pemetaan, untuk memperkirakan bahan

galian yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya.

1.4.2. Alat-Alat yang Digunakan

1.4.2.1. Tahap persiapan

Pada tahap persiapan, dilakukan pembuatan peta dasar untuk melakukan

penandaan dari setiap stasiun pengamatan di lapangan. Peta dasar yang digunakan

adalah peta topografi dengan skala 1:25.000 hasil digitasi Peta Rupabumi Digital

Indonesia no. 1308-612 dan 1308-334 dengan skala 1:25.000.

1.4.2.2. Tahap Pengumpulan Data Lapangan

1. Alat-alat lapangan yang terdiri dari GPS, kompas geologi, palu geologi

terdiri atas palu beku dan palu sedimen, pita ukur 50m, komparator besar

butir dan mineral, loupe perbesaran 10x dan 20x, kamera, HCl 0,1 Normal,

kantong sample.

2. Alat-alat tulis yang terdiri dari ballpoint, pensil, pensil warna, spidol,

mistar, busur derajat, buku lapangan, lembar deskripsi dan papan kerja.

3. Alat-alat penunjang pekerjaan lapangan lainnya seperti ransel, daypack,

pakaian lapangan, sepatu lapangan, dan lain sebagainya.

1.4.2.3. Tahap Pengerjaan Laboratorium

Alat-alat yang digunakan untuk analisis mikrofosil adalah:


6

1. Lumpang besi dan mortar.

2. Jarum, kuas, tatakan sample, tempat fosil, lem.

3. Mikroskop binokuler perbesaran 10x, 20x dan 40x.

4. Alat-alat tulis dan gambar.

5. Kamera digital.

Alat-alat yang digunakan dalam petrografi sayatan tipis adalah:

1. Penyayat batuan (dimiliki dan dioperasikan oleh instansi).

2. Mikroskop polarisasi beserta komparator.

3. Diagram klasifikasi petrografi batuan.

4. Alat tulis dan alat gambar.

5. Kamera digital.

1.4.2.4. Tahap Pengerjaan Studio

Peralatan studio meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Peta Geologi Lembar Kebumen, Jawa (S. Asikin dkk, 1992) skala 1 :

100.000

2. Citra DEM SRTM.

3. Seperangkat komputer dan printer.

Adapun software yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. MapInfo Profesional 8.0 SCP, digunakan dalam penggambaran dan

modifikasi peta.

2. Global Mapper 10 termasuk paket citra DEM SRTM (Digital Elevation

Modelling Shuttle Radar Topography Mission) pulau jawa dengan resolusi


7

30 m, sebagai alat bantu kenampakan 3 dimensi dan untuk melihat

kenampakan indikasi struktur geologi yang berkembang di daerah

penelitian.

3. Dips 5.1 yang digunakan untuk menentukan nilai rata-rata dari kedudukan

dominan kumpulan data unsur-unsur struktur geologi, melalui

kenampakan diagram rosette dan proyeksi stereografinya.

4. Sofware pendukung seperti Corel Draw X3 yang digunakan untuk

pembuatan graphic log dan ilustrasi-ilustrasi yang diperlukan dalam

laporan, Microsoft Excel 2010 untuk pengolahan spredsheet atau data

numerik, Microsoft Word 2010 sebagai media pembuatan laporan,

Microsoft Power Point 2010 sebagai media pembuatan slide persentasi.

1.4.3. Langkah-Langkah Penelitian

Secara garis besar pelaksanaan pemetaan dibagi kedalam lima tahapan,

yaitu :

1. Tahap persiapan,

2. Tahap pengumpulan data lapangan,

3. Tahap pekerjaan laboratorium,

4. Tahap analisis data dan

5. Tahap bimbingan dan penyusunan laporan


8

Gambar 1.1 Alur pengerjaan penelitian

1.4.3.1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan dilakukan sebelum pekerjaan lapangan. Pada tahap

persiapan, kegiatan yang dilakukan adalah mengumpulkan informasi mengenai

daerah pemetaan yang berasal dari berbagai sumber sebagai referensi dan untuk

mengetahui lebih dalam mengenai kondisi geologi daerah yang akan dipetakan.

Persiapan sebelum melakukan pekerjaan lapangan meliputi :

1. Penentuan batas daerah penelitian berdasarkan koordinat yang telah

ditentukan sebelumnya
9

2. Pembuatan Peta Dasar, dari Peta Topografi skala 1:25.000.

3. Studi pustaka, yakni untuk mengetahui gambaran umum daerah penelitan

secara regional, yang mencakup fisiografi regional, stratigrafi regional,

geomorfologi regional, dan geologi struktur regional daerah penelitian.

4. Analisis kemiringan lereng dan pengelompokkan pola pengaliran daerah

penelitian.

5. Penafsiran Peta Topografi, analisa pola pengaliran sungai dan topografi

serta rencana lintasan.

6. Perizinan.

1.4.3.2. Tahap Pengumpulan Data Lapangan

Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam pelaksanaan penelitian di

lapangan, maka dilakukan metode-metode penelitian sebagai berikut :

1. Metode GPS

Metode ini dilakukan dengan cara plotting melalui alat bantu berupa GPS.

Koordinat yang didapat dari GPS ini diplot pada peta. Sehingga dengan

cara yang singkat didapatkan koordinat titik pengamatan yang didapatkan

dari satelit dengan jelas dan cepat.

2. Metode Orientasi Lapangan

Metode ini dilakukan dengan cara mencocokan kondisi alam sebenarnya

yang disesuaikan pada peta dan yang dapat diamati dari titik pengamatan

terhadap suatu objek yang jelas, seperti sungai, jalan, jembatan, gunung,

dan lain-lain.
10

Pengamatan yang dilakukan selama di lapangan antara lain :

 Plotting singkapan, untuk penempatan setiap lokasi pengamatan pada peta.

 Pengamatan terhadap singkapan batuan meliputi jenis, karakteristik fisik

secara megaskopis, pengukuran arah dan kemiringan perlapisan, ketebalan

lapisan dan struktur sedimen, sehingga dapat dikelompokkan menjadi satuan-

satuan batuan.

 Pengamatan terhadap indikasi yang dapat menunjukkan adanya perubahan

litologi dan struktur geologi.

 Pengambilan contoh batuan yang dianggap mewakili satuan-satuan batuan

untuk selanjutnya dianalisa di laboratorium.

 Penggambaran sketsa dan pengambilan foto.

 Pengukuran penampang stratigrafi pada lintasan yang tegak lurus arah

penyebaran batuan serta pada perubahan satuan batuan.

1.4.3.3. Tahap Pekerjaan Laboratorium

Pekerjaan laboratorium yang dilakukan pada penelitian kali ini dibagi

menjadi kegiatan di laboratorium Paleontologi dan Petrografi. Pengamatan di

laboratorium Paleontologi memungkinkan kita untuk mengetahui umur relatif

suatu satuan batuan diendapkan dan juga lingkungan pengendapannya. Batuan

yang dianalisa adalah batuan sedimen yang mengandung fosil. Kegiatan ini

terbagi menjadi dua tahap, yang pertama adalah picking atau pemisahan fosil dari

sedimen yang kemudian akan dideterminasi menggunakan mikroskop binokuler.


11

Sedangkan kegiatan laboratorium petrografi bertujuan untuk mendeskripsi

dan mengetahui jenis batuan berdasarkan sayatan tipis. Pada tahap ini juga

dilakukan pengerjaan studio merupakan tahap pengolahan data lapangan yang

meliputi analisis stratigrafi, analisis struktur geologi, dan analisis sejarah geologi

daerah penelitian. Kegiatan ini dilakukan secara bersamaan dengan tahap

pengerjaan laboratorium, sehingga hasil analisis paleontologi dapat diintegrasikan

menjadi rumusan pembahasan ke-tiga analisis di atas, disamping mengevaluasi

hasil analisis geomorfologi yang telah dilaksanakan pada tahap persiapan, juga

dengan menyusun peta tematik berupa peta pola jurus dan kemiringan perlapisan

batuan serta peta geologi. Keseluruhan dari kegiatan ini dapat dijadikan sebagai

pedoman pada tahap penyusunan laporan.

1.4.3.4. Tahap Analisis Data

Pada tahap ini dilakukan beberapa analisis data, antara lain analisis

geomorfologi, analisis stratigrafi, analisis geologi struktur, analisis paleontologi

dan analisis geologi sejarah.

1.4.3.4.1. Analisis Geomorfologi

Analisis geomorfologi dilakukan sebelum penelitian di lapangan, yaitu dengan

mengelompokkan daerah penelitian berdasarkan empat aspek utama geomorfologi

yakni aspek morfografi, morfometri, morfogenetik dan material penyusun yang

nantinya dikaitkan dengan litologi daerah penelitian.

Aspek morfografi adalah aspek yang memberikan gambaran tentang

bentuk permukaan bumi yang secara garis besar terdiri dari :


12

1. Bentuk lahan dataran, dengan kemiringan lereng 0%-2%, terdiri dari

bentuk lahan asal marin, fluvial, campuran (delta) dan bentuk lahan plato.

2. Bentuk lahan perbukitan, dengan kemiringan lereng 7%-20% dan

ketinggian 50-500 meter.

3. Bentuk lahan pegunungan, dengan kemiringan lereng lebih dari 20%-55%

dan ketinggian lebih dari 500-1000 meter.

4. Bentuk lahan gunung api, dengan kemiringan lereng 56%-140% dan

ketinggian lebih dari 1000 meter.

5. Lembah, terdiri atas lembah bentuk U, V tumpul dan V tajam.

6. Bentuk lereng, terdiri atas bentuk lereng cembung, lurus dan cekung.

7. Pola punggungan, terdiri dari pola punggungan paralel, berbelok dan

melingkar.

8. Pola pengaliran, merupakan kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di

suatu daerah yang alur pengalirannya tetap mengalir meski dipengaruhi

atau tidak dipengaruhi curah hujan (Howard, 1967).


13

Gambar 1.2. Pola pengaliran menurut Howard (1967); A. Pola pengaliran dasar, B dan C pola
pengaliran modifikasi

Berikut pola pengaliran dasar dan karakteristiknya menurut Van Zuidam

(1985), adalah sebagai berikut:

1. Dendritik, bentuk umum seperti daun, berkembang pada batuan dengan

kekerasan relatif sama, perlapisan batuan sedimen relatif datar serta tahan

akan pelapukan, dengan kemiringan landai.

2. Paralel, bentuk umum cenderung sejajar, berlereng sedang sampai agak

curam, terdapat pada perbukitan memanjang dipengaruhi perlipatan,

merupakan transisi pola dendritik dan trelis.

3. Trelis, bentuk memanjang sepanjang arah jurus perlapisan batuan

sedimen, induk sungainya seringkali membentuk lengkungan menganan


14

memotong kepanjangan dari alur jalur punggungannya. Batuan sedimen

dengan kemiringan atau terlipat, batuan volkanik serta batuan

metasedimen berderajat rendah dengan perbedaan pelapukan yang jelas.

Jenis pola pengalirannya berhadapan pada sisi sepanjang aliran subsekuen.

4. Rektangular, induk sungai dengan anak sungai memperlihatkan arah

lengkungan menganan, pengontrol struktur atau sesar yang memiliki sudut

kemiringan, tidak memiliki perulangan perlapisan batuan dan sering

memperlihatkan pola pengaliran yang tidak menerus.

5. Radial, bentuk menyebar dari satu pusat, biasanya terjadi pada kubah

intrusi, kerucut volkanik dan bukit yang berbentuk kerucut serta sisa-sisa

erosi. Memiliki dua sistem, sentrifugal dengan arah penyebaran keluar dari

pusat (berbentuk kubah) dan sentripetal dengan arah penyebaran menuju

pusat (cekungan).

6. Anular, bentuk seperti cincin yang disusun oleh anak-anak sungai,

sedangkan induk sungai memotong anak sungai hampir tegak lurus.

Mencirikan kubah dewasa yang sudah terpotong atau terkikis dimana

disusun perselingan batuan keras dan lunak.

7. Multibasinal, endapan permukaan berupa gumuk hasil longsoran dengan

perbedaan penggerusan atau perataan batuan dasar, merupakan daerah

gerakan tanah, vulkanisme, pelarutan gamping serta lelehan salju atau

permafrost.

8. Kontorted, terbentuk pada batuan metamorf dengan intrusi dike, vein

yang menunjukkan daerah yang relatif keras batuannya, anak sungai yang
15

lebih panjang ke arah lengkungan subsekuen, umumnya menunjukkan

kemiringan lapisan batuan metamorf dan merupakan pembeda antara

penunjaman antiklin dan sinklin.

9. Subdendritik, Umumnya struktural.

10. Pinnate, Tekstur batuan halus dan mudah tererosi.

11. Anastomatik, Dataran banjir, delta, atau rawa.

12. Dikhotomik, Kipas aluvial dan delta seperti penganyaman.

13. Subparalel, Lereng memanjang atau dikontrol oleh bentuk lahan

memanjang.

14. Kolinier, Kelurusan bentuk lahan bermaterial halus dan beting pasir.

15. Trellis Berbelok, perlipatan memanjang.

16. Trellis Sesar, Percabangan menyatu atau berpencar, sesar paralel.

17. Trellis Kekar, Sesar paralel dan atau kekar.

18. Angulate, Kekar dan sesar pada daerah berkemiringan.

19. Karst, Batugamping.

Aspek morfometri merupakan penilaian kuantitatif dari bentuk lahan, sehingga

didapatkan klasifikasi dengan angka-angka yang jelas.


16

Tabel.1.1. Hubungan kelas relief, Kemiringan lereng, dan Perbedaan Ketinggian (Van Zuidam,
1985)

Klasifikasi Kemiringan Beda Tinggi Warna


o
Persen (%) Derajat ( )
(m)
Datar 0–2 0–2 <5m Hijau
Agak Landai 2–7 2–4 5 – 25 m Hijau muda
Landai 7 – 15 4–8 25 -75 m Kuning
Agak Curam 15 – 30 8 – 16 75 – 200 m Jingga
Curam 30 -70 16 – 35 200 – 500 m Merah muda
Terjal 70 -140 35 – 55 500 – 1000 m Merah
Sangat Terjal > 140 > 55 > 1000 m Ungu

Untuk mendapatkan persentase kemiringan lereng seperti yang tercantum

dalam tabel digunakan rumus:

(n  1).Ic  100%
s
dx.sp

Keterangan:

s = kemiringan lereng (%)

Ic = interval kontur (cm)

dx = jarak tertinggi dengan jarak terendah (cm)

n = banyak nya kontur dalam grid 2cm x 2cm

sp = skala peta
17

Dalam morfometri juga terdapat ketinggian absolut yang diukur dari atas

permukaan laut.

Tabel 1.2. Hubungan Ketinggian Absolut dengan Morfografi (Van Zuidam, 1985)

Ketinggian Absolut (meter)


Unsur Morfografi

< 50
Dataran rendah
50 - 100 Dataran rendah pedalaman

100 - 200 Perbukitan rendah

200 - 500 Perbukitan

500 - 1.500 Perbukitan tinggi

1.500 - 3.000 Pegunungan

> 3.000 Pegunungan tinggi

Beberapa pembagian dan klasifikasi seperti yang telah disebutkan di atas

menjadi dasar dalam pembuatan peta geomorfologi daerah penelitian.

Aspek morfogenetik mempengaruhi kenampakan bentuk lahan pada muka

bumi, hal itu disebabkan oleh dua proses yakni: proses endogenik yaitu

merupakan proses yang dipengaruhi oleh kekuatan dari dalam kerak bumi dan

proses eksogenik yang merupakan proses yang dipengaruhi dari luar seperti iklim,

vegetasi, erosi, perbuatan manusia.


18

Salah satu hasil dari proses endogenik adalah struktur geologi, yang secara

luas meliputi kegiatan tektonik dan vulkanik dan merupakan faktor yang paling

berpengaruh terhadap evolusi bentuk lahan yang tampak sekarang.

Tabel 1.3. Satuan Bentuk Lahan dengan Morfogenetik (Van Zuidam, 1985)

Satuan Bentuk Lahan Warna

Satuan Bentuklahan Struktural

Satuan Bentuklahan Vulkanik

Satuan Bentuklahan Denudasional

Satuan Bentuklahan Marin (Laut)

Satuan Bentuklahan Sungai

Satuan Bentuklahan gletser

Satuan Bentuklahan Aeolian

Satuan Bentuklahan Karst

1.4.3.4.2. Analisis stratigrafi

Pembagian satuan batuan didasarkan pada satuan litostratigrafi tidak

resmi, yaitu penamaan satuan batuan yang berdasarkan pada ciri fisik batuan

yang dapat diamati di lapangan, yang meliputi jenis batuan, keseragaman gejala

litologi, dan posisi stratigrafinya (Sandi Stratigrafi Indonesia, pasal 6).

Sedangkan penentuan batas penyebarannya harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut :
19

1. Batas satuan litostratigrafi adalah bidang sentuh antara dua satuan yang

berlainan ciri fisik litologinya.

2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya atau

bila perubahan tersebut tidak nyata, maka batasnya merupakan bidang yang

diperkirakan kedudukannya.

3. Satuan-satuan yang berangsur berubah atau menjari peralihannya dapat

dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan sandi.

4. Penyebaran satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh kelanjutan

gejala-gejala litologi yang menjadi cirinya.

5. Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh batasan

cekungan pengendapan atau aspek geologi lainnya.

6. Batas-batas daerah hukum tidak boleh digunakan sebagai alasan berakhirnya

penyebaran lateral suatu satuan.

Penamaan satuan litostratigrafi didasarkan atas jenis litologi yang paling

dominan dalam satuan tersebut. Pengamatan terhadap litologi di lapangan

dilakukan secara megaskopis meliputi warna batuan, ukuran butir, kebundaran,

kemas, pemilahan, kekerasan, struktur sedimen, dan lain-lain.

Indikasi sentuh stratigrafi yang ditemukan di lapangan sangat berguna

untuk menentukan hubungan antara satuan batuan dengan satuan batuan lainnya.

Adapun dasar penentuan jenis stratigrafi adalah :

1. Perlapisan merupakan sifat dari batuan sedimen yang memperlihatkan

bidang-bidang yang sejajar yang diakibatkan oleh proses sedimentasi.


20

Perlapisan terbentuk karena adanya perubahan-perubahan pada proses

sedimentasi, seperti pasang surut, banjir, perbedaan temperatur.

2. Bidang perlapisan adalah suatu bidang yang merupakan perlapisan dan

dapat diwujudkan berupa amparan dari suatu mineral tertentu, besar butir

atau bidang sentuh yang tajam antara 2 macam batuan yang berbeda.

3. Lapisan adalah satuan stratigrafi terkecil yang tersusun hanya dari satu

macam batuan yang homogen dimana bagian atas dan bagian bawahnya

dibatasi oleh bidang perlapisan secara tajam, erosional, ataupun berangsur.

Batas satuan stratigrafi ditentukan sesuai dengan batas penyebaran ciri

satuan dan keseragaman secara lateral atau suatu lapisan tergantung dari jenis

litologi dan media pengendapan. Jadi kontak antar satuan batuan atau sentuh

stratigrafi dapat bersifat tajam ataupun berangsur. Ada dua macam hubungan

stratigrafi, yaitu :

1) Selaras : sedimentasi berlangsung menerus tanpa interupsi dari satuan

stratigrafi di bawah lapisan yang diatasnya.

2) Tidak selaras : terdapat empat jenis ketidakselarasan, yaitu :

1. Paraconfomity, dimana siklus sedimentasi tidak menerus atau terdapat

gap umur, sedangkan pola arah jurus dan kemiringan batuan relatif

sama.

2. Disconformity, dimana terjadi kontak erosional yang cukup berarti

antara dua satuan batuan.

3. Nonconformity, dimana terdapat kontak antara dua satuan batuan yang

berbeda genetik, seperti kontak antara batuan sedimen dengan batuan


21

beku, atau antara batuan sedimen dengan batuan metamorf, atau antara

batuan metamorf dengan batuan beku.

4. Angular Unconformity, dimana terdapat perbedaan pola arah jurus dan

kemiringan yang cukup signifikan antara dua satuan batuan.

Dalam menentukan lingkungan pengendapan daerah penelitian, penulis

menganalisis melalui karakteristik batuan yang didalamnya termasuk tekstur dan

struktur sedimen serta dibuatkan composite log (log gabungan) stasiun yang

disebandingkan dengan model pengendapan dari beberapa referensi. Referensi

yang digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan daerah penelitian

adalah menggunakan model dari endapan tidalflat Dalrymple (1990), facies

endapan turbidit Bouma (1962), Mutti (1999) dan model lingkungan pengendapan

laut dalam menurut Walker (1984).

Menurut Dalrymple dalam Walker (1992) Tidal flat merupakan

lingkungan yang terbentuk pada energy gelombang laut pasang surut dengan

amplitude yang besar, umumnya terjadi pada pantai dengan permukaan air yang

sangat besar/luas. Luas dari daerah tidal flat ini berkisar antara beberapa kilometer

sampai 25 km (Walker dan James, 1992). Pengendapan pada tidal channel

umumnya sangat dipengaruhi oleh arus pasang surut sendiri, sedangkan pada

daerah datar di sekitarnya (tidal flat), pengendapannya akan dipengaruhi pula oleh

aktivitas dari gelombang yang diakibatkan oleh air ataupun angin. Suksesi

endapan pada lingkungan tidal flat umumnya memperlihatkan sistem progradasi

dengan penghaluskan ke atas sebagai refleksi dari batupasir pada pasang surut
22

rendah (subtidal) ke lumpur pada pasang surut tinggi (supratidal dan intertidal

bagian atas). Berdasarkan pada elevasinya terhadap tinggi rendahnya pasang

surut, lingkungan tidal flat dapat dibagi menjadi tiga zona (Dalrymple dkk., 1990

dalam Walker dan James, 1992), yaitu Zona Subtidal, Zona Intertidal dan Zona

Supratidal.

Gambar 1.3. Diagram Blok pada sistem pengendapan Tidal Flat (Dalrymple et al. 1990 dalam
Walker dan James, 1992)

Menurut Bouma dalam Walker (1992), facies turbidit dikelompokan

menjadi facies Ta, Tb, Tc, Td dan Te (Gambar 1.6). Facies Ta dalam divisi

Bouma ditandai oleh endapan material yang berukuran kasar, dapat berkisar dari

pebble sampai boulder, ukuran butir tersebut berangsur semakin halus ke arah

atas, serta dicirikan oleh endapan tanpa struktur sedimen, pada facies ini

menandakan energi yang tinggi pada arus turbidit yang terbentuk. Facies Tb
23

merupakan endapan yang makin halus dari facies Ta , biasanya batupasir dengan

ukuran kasar sampai sedang yang ditandai oleh adanya struktur sedimen parallel

lamination. Facies Tc pada sikuen Bouma ditandai oleh struktur sedimen berupa

cross lamination dan kadang muncul struktur convolute. Facies Td merupakan

endapan diatas facies Tc denga karakteristik butiran lanau sampai lempung

dengan struktur sedimen parallel lamination. Facies Te merupakan facies terakhir

yang terbentuk dengan karakteristik berupa endapan yang didominasi oleh butiran

berukuran lempung yang menandakan endapan dengan pengendapan yang lambat

akibat berkurangnya pengaruh arus turbidit.

Selain mengetahuai karakteristik endapan turbidit dari struktur sedimen

dan pola litologi yang disebandingkan fengan sikuen Bouma, maka dengan

menganalisis facies yang berkembang dapat juga ditentukan bagian proximal,

medial atau distal dari suatu endapan turbidit laut dalam. Pada bagian Proximal,

sikuen Bouma yang dominan terbentuk berupa facies Ta-Tb, pada bagian medial

Ta-Te, sedangkan pada bagian distal seringkali dijumpai facies Tc-Te saja yang

terbentuk.
24

Gambar 1.4. Karakteristik endapan sikuen Bouma (A) Sikuen Bouma dan interpretasi faciesnya
(Bouma dalam Mutti, 1999), (B) Karakteristik Endapan Turbdit dari Proximal sampai Distal (
Bouma, 1962).
B)

Sedangkan Mutti (1999) dalam bukunya mengenai facies turbidit pengisi

cekungan mengungkapkan bahwa facies endapan turbidit dibagi menjadi empat

facies, yaitu A, B, C dan D. Pembagian facies tersebut didasarkan oleh besar arus

turbidit yang mempengaruhi terbentuknya endapan tersebut. Karakteristik facies

A memiliki ciri butir berukuran boulder sampai pebble. Facies B memiliki

karakteristik pebble sampai coarse sand. Facies C medium sand sampai fine sand.

Sedangkan facies D memiliki karakteristik ukuran butir fine sand sampai

lempung. Berdasarkan pembagian facies menurut Mutti, dapat memberikan

gambaran pengendapan endapan turbidit dari bagian proximal sampai distal.

Facies proximal biasanya diendapkan oleh facies A, berangsur ke arah distal

diendapkan facies D. Perubahan facies tersebut terjadi karena kuat arus turbidit
25

yang semakin melemah sehingga berhubungan dengan kemampuan arus dalam

membawa ukuran butir sedimen. Pada endapan yang berukuran kasar akan berada

pada daerah proximal sedangkan endapan halus berada pada bagian medial

sampai distal.

Gambar 1.5. Facies pengendapan pada endapan turbidit (Mutti, 1999)

Gambar 1.6. Sikuen pengendapan endapan turbidit pada bagian proximal (inner fan) sampai
distal ( outer fan-basin plain) (Mutti,1999)

Menurut Walker mengenai endapan kipas pada laut dalam, mengusulkan

bahwa kipas laut dalam terdiri dari tigabagian. Bagian pertama merupakan upper

fan, yaitu hanya terdiri dari satu channel yang besar dengan didominasi oleh
26

material kasar berkisar pebble-boulder. Bagian kedua merupakan middle fan, pada

bagian ini merupakan tempat pengendapan bagi lobe sebagai ujung dari channel-

channel yang terbentuk. Bagian ketiga merupakan lower fan, pada bagian ini

dicirikan oleh topografi yang relatif halus. Pada bagian lower fan, ditempati oleh

material halus hasil dari endapan suspense dan juga pada bagian ini tidak terdapat

sistem channel.

Gambar 1.7. Model Lingkungan Pengendapan berdasarkan pemodelan submarine fan deposit
(Walker,1992)

Penentuan umur masing-masing satuan batuan didasarkan atas kandungan

fosil foraminifera planktonik dan posisi stratigrafinya. Kisaran umur fosil

foraminifera planktonik merujuk kepada Blow (1969). Untuk penentuan

lingkungan pengendapan, didasarkan pada fasies yang meliputi textural

properties, structural properties, facies assosiation, dan facies succesion yang

juga didukung oleh keberadaan fosil foraminifera bentonik untuk mengetahui


27

kisaran kedalamannya yang ditentukan berdasarkan tabel kisaran kedalaman

menurut Phleger (1969).

Analisis Paleontologi ini dilakukan untuk menganalisa fosil yang didapat

di lapangan, untuk mengetahui umur dan batimetri pada sampel batuan yang

dianalisis dengan dikontrol posisi stratigrafi. Analisis fosil foraminifera kecil

tediri atas dua tahapan kerja, yaitu pemisahan fosil dari batuan dan identifikasi

fosil dengan menggunakan mikroskop binokuler, yang kemudian digunakan untuk

menentukan umur relatif dan lingkungan pengendapan batuan. Fosil foraminifera

planktonik dideterminasi untuk menentukan umur berdasarkan zonasi Blow, 1969

(dalam Postuma, 1971), dan fosil foraminifera bentonik untuk penentuan

lingkungan pengendapan menggunakan klasifikasi Tipsword et al., (1966) ; dan

van Hinte , (1978) dalam Van Marley (1991).

Gambar 1.8. Klasifikasi lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966)

Analisis Petrografi ini adalah membuat sayatan tipis untuk batuan yang

padu kemudian di teliti di bawah mikroskop polarisasi untuk mengethui


28

komposisi dan jenis mineral dari setiap batuan sehingga dapat ditentukan jenis

batuannya. Adapun klasifikasi batuan yang dipakai terlihat pada gambar 1.9

sampai gambar 1.13.

Gambar 1.9. Klasifikasi batuan beku berbutir kasar (kiri) dan batuan beku berbutir halus (kanan),
(Streckeisen, 1976)

Gambar 1.10. Klasifikasi batuan beku (Travis, 1955)


29

Gambar 1.11. Klasifikasi batupasir dan batulempung (Pettijohn, 1975 dalam Gillespie dan Styles,
1999)

Gambar 1.12. Klasifikasi batuan Vulkaniklastik (Schmidt, 1981 dalam Gillespic dan Styles, 1999)

Gambar 1.13. Klasifikasi tuff (Schmidt, 1981)


30

1.4.3.4.3. Analisis Struktur Geologi

Tahap pertama adalah inventarisasi data lapangan yang meliputi

pengukuran arah jurus dan kemiringan lapisan batuan, pengamatan terhadap

unsur-unsur struktur geologi yang ditemukan seperti cermin sesar, batuan sesar

dan indikasi struktur lainnya. Data yang diperoleh diplot dalam peta dasar.

Tahap berikutnya adalah interpretasi peta dasar berskala 1 : 25.000,

analisis ini diharapkan dapat memberikan petunjuk mengenai struktur yang

berkembang pada daerah pemetaan. Hal-hal yang diamati antara lain adalah

kelurusan sungai, kelurusan punggungan, belokan sungai yang tiba-tiba, gawir

dan lain sebagainya.

Adapun hal-hal yang perlu dicatat dalam mengamati singkapan untuk

analisis deskriptif dan kinematik struktur geologi adalah :

1. Lokasi dan Jenis singkapan, apakah berupa pergeseran batuan (offset

litologi), cermin sesar (slicken side), lipatan seret (drag fold), struktur

kekar, antiklin, sinklin, zona hancuran, bukit segitiga (triangular facet),

air terjun, kelurusan mata air panas.

2. Litologi setempat dengan pola indikasi strukur geologi yang variatif.

3. Luas dan geometri singkapan.

4. Pengukuran arah jurus dan kemiringan batuan.

5. Pengukuran arah jurus dan kemiringan bidang sesar.

6. Besarnya picth, pengukuran pitch yaitu sudut lancip antara arah jurus

dan gores garis sesar. Pada tahap akhir dilakukan rekonstruksi struktur

geologi berdasarkan hasil inventarisasi data lapangan yang telah


31

dilengkapi dengan data analisis peta topografi. Hasilnya ditampilkan

dalam bentuk peta pola jurus perlapisan batuan.

Data slicken side yang didapatkan di lapangan, kemudian diolah dengan

menggunakan stereogram untuk mengetahui arah tegasan relatifnya. Data

lapangan yang berupa data struktur geologi digunakan guna mengetahui tentang

mekanisme tektonik daerah pemetaan. Umur lipatan dan sesar ditentukan

berdasarkan umur satuan batuan penyusun daerah pemetaan yang terpengaruh

oleh stuktur yang berkembang dan didukung oleh data stratigrafi serta kontrol

oleh periode tektonik regional yang berpengaruh terhadap daerah pemetaan.

Moody & Hill (1959) mengemukakan bahwa sesar mendatar kemungkinan

adalah tipe sesar yang paling dominan terjadi pada kerak bumi. Moody & Hill

melakukan pembahasan ulang mengenai analisa sesar Anderson (1951) yang

memberikan pemahaman mekanika sesar, suatu dasar yang menjelaskan tentang

stress-stress yang membentuk satu set dari 3 sumbu yang saling tegak lurus.

Gambar 1.14. Teori orientasi sesar (Anderson, 1951)


32

Dalam sistem pergerakan sesar mendatar yang dikemukakan Moody &

Hill diawali dengan tegasan utama yang membentuk sesar mendatar berpasangan

(dekstral dan sinistral) dengan mengambil sudut geser dalam 30° sebagai nilai

rata-rata di modifikasi dari Hubbert (1951) dan Billings (1954). Menurut

McKinstry (1953) menuliskan “jika suatu gaya atau pergerakan akan

menghasilkan sesar utama, stress-stress pada batuan akan berhubungan dan

memiliki orientasi yang disebabkan pasangan bidang pecah baru yang

berhubungan satu sama lain untuk menyeimbangkan salah satu sudut tajam

dengan pergeseran utamanya.

Gambar 1.15. Konsep sesar mendatar Moody & Hill (1959)


33

Shear orde kedua akan terbentuk tipe yang sama dari pergerakan orde

pertama, dan orde ketiga akan terbentuk tipe yang sama dari pergerakan orde

kedua dan terus berulang, dengan arah pergerakan yang semakin banyak tiap orde

nya. Shear orde kedua dan lipatan seret adalah manifestasi atau perwujudan dari

reorientasi tegasan satu blok sesar atau satu blok diantara 2 sesar yang paralel.

Wicox, Harding dan Seely (1973) merekonstruksi percobaan dengan

lempung untuk mengevaluasi bentuk-bentuk struktur yang berkembang pada

lapisan sedimen diatas dudukan dengan sesar mendatar. Gabungan sesar-sesar

menghasilkan hubungan bentuk dengan sudut awal perpotongan sekitar 60°, dari 2

sesar tersebut salah satunya bergeser menyerupai zona sesar utama yang disebut

synthetic dan yang satunya bergeser berlawanan dari zona utama yang disebut

antithetic.

Hasil percobaan sesar ini menghasilkan geometri dan kinematik yang biasa

dikenal Riedel Shear, sesar mendatar syntethic adalah Riedel Shear (R-Shear) dan

membentuk sudut sekitar 15° dari garis utama. Susunan sesar itu adalah en

echelon yang berarti bahwa sesar tersebut parallel terhadap satu dan yang lainnya

disusun sepanjang garis tegasan umum. Sesar mendatar antithetic adalah

Conjugate Riedel Shear (R’-Shear) dan membentuk sudut yang besar sekitar 75°

dari garis sesar utama. Selanjutnya, berkembang bidang syntethic baru yang

dikenal P-Shear, dan membentuk sudut yang kecil sekitar 10° dari sesar utama.

Susunan-susunan dari R, R’ dan P adalah sebagai sesar minor, semua dapat

digunakan untuk interpretasi pergerakan dari garis sesar utama sebagai

keseluruhannya.
34

Gambar 1.16. Klasifikasi Sesar (Rickard (1972) dalam Berkman (1976))

Gambar 1.17. Hubungan Riedel Shear dari Harding (1973) dengan konsep Moody & Hill (1959)
35

Tabel 1.4. Klasifikasi lipatan berdasarkan besar sudut interlimb (Fleuty, 1964)

Sudut Interlimb Klasifikasi Lipatan

1800 - 1200 Gentle

1200 - 700 Open

700 - 300 Close

300 - 00 Tight

00 Isoclinal

Negatif Mushroom

Gambar 1.18. Klasifikasi lipatan menurut Fleuty, 1964


36

1.4.3.4.4. Analisis Geologi Sejarah

Analisis geologi sejarah merupakan penerapan penafsiran dari aspek

geologi berupa geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi. Hasil dari

pembahasan dari aspek tersebut disusun berdasarkan urutan kejadian dan waktu,

sehingga dapat diperkirakan proses sedimentasi, tektonik, dan erosi dalam kurun

waktu tersebut.

1.4.3.5. Tahap Bimbingan dan Pelaporan

Tahap bimbingan dan pelaporan merupakan tahap akhir dari penelitian ini. Pada

tahap ini dilakukan diskusi baik formal maupun non-formal kepada dosen

pembimbing 1 dan pembimbing 2 hingga tercapai penyelesaian mengenai

masalah-masalah yang dihadapi selama proses pengerjaan. Selain itu dilakukan

pula penyusunan laporan yang memuat seluruh data maupun analisis yang telah

dilakukan selama proses penelitian.

1.5. Geografi Umum

Secara administratif lokasi penelitian terletak di daerah Purwokerto dan sekitarnya

yang berada di kawasan Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Sedangkan secara geografis daerah penelitian ini terletak pada koordimat 109ᵒ 8’

33.702” BT - 109ᵒ 14’ 4.8984” BT dan 7ᵒ 25’ 54.1344” LS - 7ᵒ 31’ 21.81” LS.

Lokasi penelitian ini dapat dicapai dengan menggunakan angkotan umum bus

jurusan Bandung – Purwokerto dengan lama perjalanan kurang lebih 7 jam. Rata-
37

rata penduduk yang berada didaerah penelitian bermata pencaharian sebagai

petani dan berkebun.

Lokasi
penelitian

Gambar 1.19. Peta administratif lokasi penelitian

1.6. Waktu Penelitian dan Kelancaran Kerja

Waktu penelitian yang digunakan dimulai dari bulan Maret 2013 sampai

bulan Desember 2013. Penelitian ini memiliki lima tahap, yaitu tahap

pengumpulan data lapangan, tahap pekerjaan laboratorium, tahap analysis data

dan tahap pelaporan yang dilakukan lebih kurang dalam waktu 9 bulan. Selama

penelitian di lapangan, basecamp berada di Desa Sawangan karena daerah tersebut

merupakan salah satu pemukiman yang dapat menjangkau akses untuk

pengambilan data di lapangan. Dalam pelaksanaannya, penelitian terkendala oleh

waktu yang bertabrakan dengan pengerjaan Tugas Akhir di salah satu perusahaan
38

dan terkendala faktor fisik akibat kecelakaan peneliti yang memperpanjang waktu

penelitian yang telah ditentukan.


BAB II

KERANGKA..GEOLOGI..REGIONAL

2.1. Geomorfologi

Secara fisiografis daerah Jawa Tengah oleh Van Bemmellen (1949) dibagi

menjadi 6 (enam) zona fisiografi utama. Enam Fisiografi tersebut adalah :

1. Dataran Aluvial Jawa Utara

2. Zona Serayu Utara

3. Zona Depresi Jawa Tengah

4. Pegunungan Selatan Jawa

5. Pegunungan Serayu Selatan

Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Tengah modifikasi R.W. Van Bemmelen (1970)

39
40

Berdasarkan pembagian fisiografi menurut Van Bemmellen (1949) ini,

daerah penelitian merupakan bagian dari zona Pegunungan Serayu Selatan. Zona

Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah yang

membentuk kubah dan punggungan. Dibagian barat dari Pegunungan Serayu

Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk anticlinorium yang

berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua terbesar di Pulau Jawa, yaitu

daerah Luk Ulo, Kebumen.

2.2. Stratigrafi

Geologi daerah penelitian merupakan bagian dari peta geologi Lembar

Purwokerto – Tegal (Djuri dkk,. 1996), secara regional stratigrafi di daerah

penelitian terbagi menjadi beberapa formasi, yaitu satuan tertua adalah Formasi

Halang berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal, dengan tebal sekitar 800m.

Diatasnya menindih secara selaras Formasi Tapak yang tersusun oleh

batulempung secara dominan, kadang-kadang napal dan tidak berlapis atau

batugamping dengan sisipan batupasir, sedangkan Anggota batugamping yang

tersusun oleh lensa-lensa batu gamping berwarna kelabu kekuningan dan Anggota

breksi yang tersusun oleh breksi gunung api dan dibeberapa tempat terdapat urat

kalsit. Diatasnya menindih secara selaras Formasi Kalibiuk yang tersusun atas

batulempung dan terkadang napal kebiruan dengan kandungan fosil moluska.

Pada bagian tengah ditemukan sisipan lensa-lensa batupasir kehijauan dengan

kandungan moluska yang melimpah.


41

2.2.1. Formasi Halang

Perselingan batupasir, batulempung, napal dan tuf dengan sisipan breksi.

Bagian bawah terdiri dari breksi dan napal dengan sisipan batupasir dan

batulempung. Breksi, berwarna kelabu kehijauan; padat; komponen menyudut-

menyudut tanggung, kemas terbuka, terpilah sangat buruk, terdiri dari napal,

kepingan batulempung dan batupasir berukuran dari beberapa cm sampai 30cm;

massadasar batupasir atau batulempung gampingan. Napal, berwarna putih kelabu

sampai kuning kecoklatan; padat; bercampur tuf. Sisipan batupasir, berwarna

kuning kecoklatan; padat; berbutir sedang, menyudut tanggung; tebal lapisan

antara 5-10cm. Sisipan batulempung, berwarna kelabu kekuningan; padat.

Lebih keatas, terdapat perselingan antara batupasir dan napal dengan

sisipan batulempung, tuf dan kalkarenit. Batupasir, berwarna kelabu kekuningan;

berbutir halus sampai kasar, terpilah buruk, membundar tanggung – meyudut

tanggung; setempat tufan; padat; kesarangan sedang. Tebal lapisan antara 5-10cm,

tetapi ada juga yang mencapai 1m. Napal, berwarna putih kekuningan; tufan dan

repih (dapat diremas). Batas antara lapisan batupasir dan napal setempat tegas,

setempat berangsur. Sisipan batulempung, tuf dan kalkarenit berketabalan 5-

30cm. Setempat bagian ini berupa breksi, padat, berkomponen kepingan batuan

andesit, berukuran antara 1-30cm, terpilah buruk, menyudut-membundar

tanggung, semenya mengandung oksida besi.

Struktur sedimen yang dijumpai selain struktur nendatan (slump

structures) juga lapisan bersusun, perairan sejajar, konvolut, tikas beban dan tikas

sering (flute cast).


42

Foraminifera plangton dijumpai pada napal baik dibagian bawah maupun

dibagian atas formasi ini. Foraminifera plangtonik dibagian bawah menunjukan

umur N15-N16 atau akhir Miosen Tengah – awal Miosen Akhir (Safaruddin,

1982). Dibagian atas dijumpai foraminfera plangtonik yang menunjukan umur

N17-N18 atau Miosen Akhir – Pliosen Awal (Safaruddin, 1982). Dengan

demikian umur Formasi Halang adalah akhir Miosen Tengah sampai Pliosen

Awal (N15-N18). Berdasarkan temuan foraminifera bentos, seperti Gyroidina sp.

Dan Eponiodes sp. Disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan Formasi Halang

adalah Batial atas dengan kedalaman antara 200-500m (Safaruddin, 1982).

Simandjuntak dan Surono (1982) berpendapat bahwa lingkungan pengendapannya

adalah laut dangkal dan terbuka (neritik), sedangkan Haryono (1981)

menyimpulkannya sebagai endapan turbidit. Formasi Halang bersifat proksimal

(bagian bawah) dan distal (bagian atas), serta diendapkan dibagian dalam sampai

luar kipas dalam-laut (submarine-fan).

2.2.2. Anggota Breksi Formasi Halang

Breksi gunungapi dengan komponen basalt dan sebagian andesit,

massadasar berupa batupasir tuffan. Breksi, berwarna hitam kelabu; padat;

setempat berlapis sejajar dan lapisan bersusun. Komponen berukuran dari

beberapa puluh mm hingga 60cm, terpilah buruk, menyudut-menyudut tanggung,

kemas terbuka-tertutup, umumnya bersusunan basal dan hanya sebagian saja yang

andesit. Dibeberapa tempat, dibagian dasar satuan ini terdapat komponen

batugamping dan napal.


43

Basal, pada sayatan tipis tampak bertekstur porforitik halus dengan

fenokris piroksen, plagioklas dan mineral bijih; bermasadasar mikrolit plagioklas,

piroksen dan kaca. Sebagian mineral telah terubah menjadi klorit. Massadasar

batupasir tufan berukran pasir sedang sampai kasar, menyudut hingga membundar

tanggung. Secara mendatar, litologi satuan ini berupah menjadi konglomerat yang

berselingan dengan batupasir dan napal.

2.2.3. Formasi Tapak

Batupasir bersisipan napal dan breksi, mengandung cangkang moluska.

Batupasir, berwarna kelabu, kelabu tua sampai kelabu kehijauan; tidak begitu

padat; berlapis antara 50cm dan 2m; berbutir kasar-sedang, setempat mengandung

komponen berukuran kerikil. Komponen terdiri dari rombakan batuan gunungapi,

batulempung dan sedikit batugamping.

Bagian bawah satuan ini berupa batupasir berbutir kasar dengan sisipan

breksi; sedangkan bagian atas bersisipan batulempung, napal atau napal pasiran

yang bersifat tufan dan berwarna kelabu kehijauan.

Beberapa lapisan batupasir mengandung cangkang moluska; sedangkan

pada napal banyak ditemukan foraminifera kecil plangton, menunjukan umur

Pliosen Awal atau N19 (Yudha, 1982). Fosil bentos yang dijumpai adalah

Anomalia sp., Amphistegina sp,. Elphidium sp. dan Eponides sp. yang

menunjukan lingkungan pengendapan neritic dalam.


44

2.2.4. Endapan Lahar G. Slamet

Endapan Lahar G. Slamet tersusun atas lahar, dengan bongkahan batuan

gunungapi bersusun andesit-basal, bergaris tengah 10-50 cm, dihasilkan oleh G.

Slamet Tua. Sebenarnya meliputi daerah datar.

2.2.5. Aluvium

Aluvium tersusun oleh kerikil, pasir, lanau dan lempung, sebagai endapan

sungai dan pantai. Tanda titik-titik menunjukan undak sungai. Tebal hingga

150m.

Tabel 2.1. Kesebandingan Stratigrafi Regional Daerah Penelitian

2.3. Struktur Geologi

Pulau Jawa secara tektonik dipengaruhi oleh dua lempeng besar, yaitu

Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Indo-Australia dibagian selatan.

Pergerakan dinamis dari lempeng-lempeng ini menghasilkan perubahan tatanan

tektonik Jawa dari waktu ke waktu. Secara berurutan, rejim tektonik Jawa
45

mengalami perubahan yang dimulai dengan kompresi, kemudian mengalami

regangan dan kembali mengalami kompresi.

Pulunggono dan Martodjojo (1994) menjelaskan bahwa tektonik kompresi

terjadi pada Kapur Akhir-Eosen (80-52 juta tahun yang lalu), yang diakibatkan

oleh penunjaman berarah timurlaut-baratdaya dari lempeng Indo-Australia.

Tektonik Kompresi kembali terjadi pada kala Oligosen-Miosen Awal, akibat

terbentuknya jalur penunjaman baru di selatan Jawa. Pada Eosen Akhir-Miosen

Awal pusat kegiatan magma berada di Pegunungan Serayu Selatan. Kegiatan

magma yang lebih muda yang berumur Miosen Akhir-Pliosen bergeser ke utara

dengan dijumpai singkapan batuan volkanik di daerah Karangkobar, Banjarnegara

(Asikin, 1992). Pada kala Miosen Tengah-Pliosen Awal, posisi tektonik daerah

penelitian (cekungan banyumas) merupakan bagian dari cekungan depan busur.

Perlipatan di daerah ini umumnya mempengaruhi batuan Neogen Muda,

dengan arah utama hampir barat-timur. Beberapa sumbu lipatan yang arahnya

acak diduga merupakan lipatan seretan akibat sesar-sesar regional. Sesar Utama

berarah baratlaut-tenggara dan timurlaut-baratdaya, dengan gerakan miring. Sesar

lainnya berarah hampir utara selatan atau barat-timur. Sesar naik yang arahnya

barat-timur, dimana bongkah utara relatif sebagai hanging wall diduga sebagai

bagian dari sistem sesar naik busur belakang. Berdasarkan pola sebaran sesar dan

lipatannya, arah mampatan utama adalah utara selatan (Djurie dkk,. 1996).
46

Gambar 2.2. Konfigurasi Struktur Pulau Jawa dikutip dari Situmorang, 1973
BAB III

GEOLOGI

Pada bab ini dijelaskan hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi

aspek geomorfologi, aspek stratigrafi, aspek struktur geologi, aspek geologi

sejarah dan bahan galian yang berada pada daerah penelitian. Data yang dibahas

dalam bab ini berasal dari data-data yang terdapat dilapangan baik secara

langsung maupun hasil pengamatan laboratorium.

Keempat aspek yang telah disebutkan diatas akan saling berhubungan

untuk mendapatkan suatu kesimpulan mengenai keadaan geologi daerah

Purwokerto dan sekitarnya, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, Propinsi

Jawa Tengah.

3.1. Geomorfologi

Secara umum daerah penelitian memperlihatkan topografi pedataran

sampai perbukitan yang memiliki ketinggian berkisar antara 21-400 mdpl. Angka

ketinggian ini ditentukan berdasarkan nilai ketinggian yang terdapat didalam peta

topografi. Kenampakan diakibatkan oleh faktor yang mempengaruhinya, baik

material penyusun maupun proses geologi penyertanya.

Elevasi tertinggi pada daerah penelitian adalah dibagian tenggara, dengan

tinggi 400 mdpl yang terletak pada selatan Desa Mandirancan bagian tenggara

47
48

penelitian. Sementara itu elevasi terendah berada pada bagian tengah daerah

penelitian diantara Desa Kedungwuluh Lor dan Desa Kedungwuluh Kidul dengan

elevasi 21 mdpl.

Material penyusun didaerah penelitian terdiri dari alluvium, batupasir, dan

breksi. Alluvium menempati daerah pedataran di utara memanjang hingga selatan

searah mengikuti Kali Serayu dan pada bagian baratdaya tepatnya di Desa

Pesawahan. Batupasir menempati daerah pedataran sedimen, perbukitan sedimen

landau, perbukitan sedimen agak curam dan perbukitan sedimen curam yang

berada didaerah penelitian membentang dari barat ke timur. Breksi berada

didaerah perbukitan sedimen landai dan perbukitan sedimen agak curam berada

di tengah menuju ke selatan daerah penelitian.

Dalam kurun waktu geologi, daerah penelitian telah mengalami proses-

proses baik itu secara endogen maupun eksogen. Proses endogen yang terdapat di

daerah penelitian berupa deformasi oleh struktur geologi berupa lipatan dan sesar.

Sementara itu proses eksogen berupa proses-proses pelapukan, erosi dan

transportasi material hasil penghancuran baik akibat dari proses fisika, kimia dan

biologi. Hal ini teramati dilapangan berupa tersebarnya erosi material-material

oleh kikisan aliran sungai. Bentuk lahan yang bervariasi dari satu daerah terhadap

daerah lainnya serta bentuk parit pada lembahan merupakan hasil erosi yang

curam dan menjadi drainase bagi sungai-sungai intermiten.


49

3.1.1. Morfografi

3.1.1.1. Bentuk lahan

Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1985), daerah penelitian dapat

dikategorikan memiliki bentuk lahan dataran rendah sampai dengan perbukitan

agak curam dengan ketinggian antara 21-400 mdpl. Bentuk lahan dataran tersebar

dibagian utara dan baratdaya dan perbukitan tersebar dibagian tengah dari barat

memanjang ke timur dan tenggara.

Tabel 3.1. Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (sumber: Van Zuidam, 1985)

KETINGGIAN ABSOLUT UNSUR MORFOGRAFI

< 50 meter Dataran rendah

50 meter - 100 meter Dataran rendah pedalaman

100 meter - 200 meter Perbukitan rendah

200 meter - 500 meter Perbukitan

500 meter - 1.500 meter Perbukitan tinggi

1.500 meter - 3.000 meter Pegunungan

> 3.000 meter Pegunungan tinggi


50

3.1.1.2. Bentuk Lembah

Berdasarkan kenampakan topografi dan kenampakan dilapangan maka

lembah yang berkembang didaerah penelitian dapat dikategorikan sebagai lembah

U sampai V. Bentuk lembah ini berkembang baik sepanjang sungai-sungai utama

didaerah penelitian antara lain : Kali Serayu, Kali Logawa, Kalibening,

Kalikemajing, Kali tenggulun dan Kalilele.

3.1.1.3. Pola Pengaliran

Sungai-sungai yang mengalir pada daerah penelitian merupakan anak

sungai dari sungai besar Kali Serayu yang berada pada bagian tenggara dan Kali

Bleber yang berada pada bagian baratdaya. Mengalir dari utara-selatan daerah

penelitian, Kali Serayu memiliki beberapa percabangan anak sungai yaitu Kali

Leming, Kali Laogseb, Kali Bacin, Kali Tenggulun, Kalimenyawak, Kali

Banjaran dan Kali Logawa. Kali Tenggulun yang merupakan anak sungai dari

Kali Serayu, memiliki anak sungai yaitu kalibening dan kali kemajing pada daerah

tengah penelitian. Sedangkan Kali Bleber yang mengalir dari utara-selatan

memiliki dua anak sungai yaitu kalilele dan kalikulu pada bagian barat daerah

penelitian. Terdapat tiga anak sungai lain yaitu Kali Gending, Kali Jaro dan Kali

Tanjung dengan arah aliran dari utara ke selatan bermuara ke sungai besar yang

berada diluar lokasi daerah penelitian.

Berdasarkan hal tersebut, daerah penelitian ini terbagi atas dua belas

daerah aliran sungai (DAS) yakni DAS Kali Banjaran, DAS Kalikemajing, DAS

Kalibening, DAS Kali Bacin, DAS Kali Menyawak, DAS Kali Logawa dan DAS

Kali Banjaran yang merupakan anak sungai Kali Serayu serta DAS Kalilele dan
51

DAS Kalikulu yang merupakan anak sungai Kali Bleber dan DAS Kali Gending,

DAS Kali Jarod an DAS Kali Tanjung.

Berdasarkan topografi dan kenampakan di lapangan terhadap pola aliran

sungai dengan anak sungai tersebut yang kemudian dibandingkan dengan pola

pengaliran berdasarkan Howard (1967), maka pada daerah penelitian dapat dibagi

menjadi 6 (enam) pola pengaliran (Gambar 3.1), yaitu :

1. Anastomatik

2. Angulate

3. Pinnate

4. Sub-trellis

5. Sub-dendritik

6. Paralel

3.1.1.3.1. Pola Pengaliran Anastomatik

Pola pengaliran anastomatik dicirikan oleh jaringan saluran sungai yang

saling berkaitan, berawa-rawa dan danau kaki yang umum ditemukan dalam

daerah limpahan banjir.

Pola pengaliran ini berkembang dibagian timurlaut daerah penelitian yang

memanjang dari utara ke selatan pada Kali Serayu dan dibagian baratdaya

memanjang menuju selatan pada Kali Bleber yang total menempati 36.4% dari

daerah penelitian. Secara keseluruhan pola pengaliran ini didominasi oleh


52

endapan alluvium namun pada bagian utara bisa dijumpai singkapan jendela

berupa batupasir dan breksi.

3.1.1.3.2. Pola Pengaliran Angulate

Pola pengaliran Angulate dicirikan oleh sungai yang memiliki beberapa

anak cabang yang relatif menyerupai paralel namun lebih renggang dan cenderung

terdapat pada daerah yang landai. Pola pengaliran ini dapat mencirikin daerah

yang memiliki keterdapatan kekar atau sesar pada daerah yang miring.

Pola pengaliran ini berkembang dibagian tengah daerah penelitian pada

Kali Tenggulun. Pola pengaliran ini menempati sekitar 9.75% dari daerah

penelitian. Secara keseluruhan tersusun oleh litologi batupasir namun terdapat

beberapa sisipan batulempung dan breksi di beberapa titik singkapan.

3.1.1.3.3. Pola Pengaliran Pinnate

Pola pengaliran Pinnate dicirikan oleh jaringan sungai yang memanjang

dan cenderung tidak memiliki anak sungai dibagian yang cenderung datar. Pola

pengaliran ini berkembang dibagian utara daerah penelitian dengan aliran sungai

dari baratlaut menuju ke tenggara. Pola pengaliran yang memenuhi 11.94% dari

daerah penelitian ini tersusun oleh endapan alluvium.

3.1.1.3.4. Pola Pengaliran Sub-Trellis

Pola pengaliran Sub-Trellis dicikan oleh sungai yang berbentuk

menyerupai tangga dengan sudut yang relatif sama antara anak sungai dan sungai

besar. Pola pengaliran ini menandakan bentuk lahan memanjang dan sejajar.
53

Pola pengaliran ini memenuhi 8.79% dari daerah penelitian yang berada

pada bagian barat dengan aliran sungai dari barat menuju ke timur pada Kali

Kemajing. Secara keseluruhan tersusun oleh litologi batupasir.

3.1.1.3.5. Pola Pengaliran Sub-Denditrik

Pola pengaliran Sub-Denditrik dicirikan oleh bentuk dari sungai yang

membentuk percabangan menyebar seperti pohon rindang. Dikatakan Sub-

Denditrik dikarenakan sudut antar anak sungai lebih kecil dibandingkan pola

aliran Denditrik pada umumnya. Pola ini mencirikan bentuk lahan yang umumnya

terjadi secara struktural.

Pola Pengaliran ini memenuhi 28.8% daerah penelitian yang berada pada

bagian tengah ke selatan di perbukitan agak curam. Pola pengaliran yang terdapat

pada Kalibening, Kalilele, Kalilulu, Kali Gending dan Kali jaro memiliki arah

aliran sungai yang berbeda. DAS Kalibening mengalir dari selatan menuju utara

bermuara di Kali Tenggulun, sedangkan sisanya memiliki aliran sungai dari utara

menuju ke selatan bermuara di Kali Bleber. Secara keseluruhan tersusun oleh

litologi batupasir, batulempung dan breksi.

3.1.1.3.6. Pola Pengaliran Paralel

Pola pengaliran Paralel membentuk pola yang cenderung sejajar. Pola

pengaliran ini berada pada daerah perbukitan curam, terletak pada bagian tenggara

daerah penelitian. Pola pengaliran ini mencerminkan perbukitan tersebut

dipengaruhi oleh perlipatan atau proses struktur lainnya.


54

Keterangan :

A. Anastomatik

B. Angulate

C. Pinnate

D. Sub-Trellis

E. Sub-Dendritik

F. Paralel

Gambar 3.1. Peta Pola Pengaliran Sungai Daerah Penelitian (Tanpa Skala)

3.1.2. Morfogenetik

Dari hasil analisis peta topografi dan peta geologi berdasarkan

kenampakan di lapangan, morfografi daerah penelitian terbentuk akibat proses

eksogen (pelapukan dan erosi) dan proses endogen (struktural).

Tahap perubahan permukaan bumi yang disebabkan oleh proses eksogen

diawali dengan terjadinya proses pelapukan yang dipengaruhi oleh iklim dan

kemudian diikuti terjadinya proses erosi yang merubah kenampakan permukaan

bumi. Proses endogen yang dominan bekerja didaerah penelitian dipengaruhi oleh

struktural berupa kekar, perlipatan dan sesar (patahan).

Satuan bentuklahan menggunakan tabel klasifikasi bentuk lahan secara

morfogenenetik (Van Zuidam, 1985) terbagi menjadi satuan bentuk lahan


55

struktural dan bentuk lahan sungai. Bentuklahan sungai berada pada Pedataran

Alluvium dan bentuk lahan struktural berada pada Pedataran Sedimen Landai,

Perbukitan Sedimen Agak Curam dan Perbukitan Sedimen Curam yang dibentuk

oleh proses struktural.

3.1.3. Morfometri

Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1985), maka morfometri daerah

penelitian dibagi menjadi 5 bagian, yaitu : lereng datar, lereng sangat landai,

lereng landai, dan lereng agak curam.

 Lereng Datar (0°-2° / 0%-2%) tersebar dibagian timurlaut dan baratdaya

daerah penelitian menempati 32.46% daerah penelitian. Ditunjukan oleh

kotak berwarna biru tua.

 Lereng Sangat Landai (2°-3.4° / 2%-6%) tersebar dibagian utara dan barat

daerah penelitian dan menempati 21.77% daerah penelitian. Ditunjukan

oleh kotak berwarna hijau.

 Lereng Landai (5°-6.7° / 9%-11%) tersebar dibagian tengah dan beberapa

dibagian utara daerah penelitian menempati 21.71% daerah penelitian.

Ditunjukan oleh kotak berwarna kuning.

 Lereng Agak Curam (8.5°-10° / 15%-18%) tersebar dibagian utara tengah

dan selatan daerah penelitian, menempati 14.78% dari daerah penelitian.

Ditunjukan oleh kotak berwarna Jingga.


56

 Lereng Curam (11.7-19.6° / 21%-35%) tersebar dibagian tengah dan

tenggara daerah penelitian, menempati 9.28% dari daerah penelitian.

Ditunjukan oleh kotak berwarna merah muda.

Keterangan :

Datar

Sangat Landai

Landai

Agak Curam

Curam

Gambar 3.2. Morfometri Daerah Penelitian (Tanpa Skala)

3.1.4. Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian

Berdasarkan kondisi topografi, sifat litologi, struktur geologi yang

mengontrol dan berdasarkan analisis morfografi, morfogenetik serta ditunjang dari

morfometri, maka daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 (empat) satuan

geomorfologi (Van Zuidam, 1985), yaitu :

1. Satuan Geomorfologi pedataran aluvium

2. Satuan Geomorfologi pedataran sedimen landai

3. Satuan Geomorfologi perbukitan sedimen agak curam


57

4. Satuan Geomorfologi perbukitan sedimen curam

3.1.4.1. Pedataran Aluvium

Satuan ini merupakan pedataran dengan kemiringan lereng yang datar dan

sangat landai, penyebarannya berada disebelah utara, timur dan baratdaya daerah

penelitian. Luas penyebarannya sekitar 43.7% dari seluruh daerah penelitian.

Satuan ini merupakan pedataran dengan kemiringan lereng yang sangat landai,

satuan ini memiliki elevasi mencapai 100 mdpl dengan kemiringan lereng 0% -

2%.

Secara morfologi, satuan ini merupakan pedataran yang tersebar sepanjang

bagian utara, tengah, timur dan baratdaya dari penelitian dan memiliki sungai-

sungai berpola anastomatik dan pinnate. Lembahnya menandakan tingkat erosi

yang dewasa.

Menurut data morfogenetik, proses yang mempengaruhi satuan

geomorfologi ini adalah proses eksogen, dimana pelapukan dan erosi tingkat

lanjut lebih banyak mempengaruhi bentuk bentang alamnya. Litologi penyusun

satuan geomorfologi ini adalah alluvium.

3.1.4.2. Pedataran Sedimen Landai

Satuan ini merupakan pedataran dengan kemiringan lereng yang datar dan

sangat landai, berada disebalah barat, tenggara dan selatan daerah penelitian. Luas

penyebarannya 36.50% dari seluruh daerah penelitian. Satuan ini merupakan

pedataran dengan kemiringan lereng yang landai, memiliki elevasi dengan interval

50 – 100 mdpl dengan kemiringan lereng 2% - 12%.


58

Secara morfologi, satuan yang tersebar dengan interval 50-100 mdpl ini

memiliki sungai yang berpola Sub-trellis, Sub-dendritik dan angulate. Lembahnya

menandakan tingkat erosi yang berangsur ada bagian yang masih muda dan

bagian lainnya menandakan tingkat erosi yang dewasa.

Menurut aspek morfogenetik, proses mempengaruhi satuan geomorfologi

ini adalah proses eksogen dan endogen, dimana pelapukan dan erosi yang

berlangsung intesif serta produk morfologi yang diakibatkan oleh peristiwa

tektonik. Litologi penyusun dari satuan ini adalah batupasir, batupasir tufan,

batupasir tufan karbonatan dan breksi.

Gambar 3.3. Pedataran Sedimen Landai (garis merah)

3.1.4.3. Perbukitan Sedimen Agak Curam

Satuan ini merupakan perbukitan dengan kemiringan lereng yang agak

curam, satuan ini memiliki elevasi 100-200 mdpl dengan kemiringan lereng

14.8% - 17.8% . Penyebarannya berada di tengah dan timur daerah penelitian.

Luas penyebarannya sekitar 16.93% dari seluruh daerah penelitian.

Secara Morfologi, satuan ini berupa perbukitan yang tersebar didaerah

penelitian memanjang dari barat menuju tenggara, dan memiliki sungai-sungai

berpola angulate dan sub-dendritik. Lembahnya menandakan tingkat erosi yang


59

masih muda, walaupun ada sebagian daerah yang sudah mengalami tingkat erosi

yang dewasa.

Aspek morfogenetik menunjukan proses yang mempengaruhi satuan

geomorfologi ini adalah proses endogen dimana terjadi peristiwa tektonik yang

kompleks pada zona satuan ini sehingga menghasilkan morfologi yang cenderung

berada di daerah lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya. Litologi penyusun

satuan geomorfologi ini adalah batupasir, batupasir tufan, batupasir tufan

karbonatan dan breksi.

Gambar 3.4. Perbukitan Sedimen Agak Curam (garis kuning)

3.1.4.4. Perbukitan Sedimen Curam

Satuan ini merupakan perbukitan dengan kemiringan lereng yang curam,

memiliki elevasi 200 – 400 mdpl dengan kemiringan lereng 20.8% - 35.7%.

Penyebarannya berada di tengah dan tenggara daerah penelitian yang memiliki

luas penyebaran sekitar 2.87% dari seluruh daerah penelitian.

Secara Morfologi, satuan ini berupa perbukitan yang tersebar di tengah

dan tenggara, memiliki sungai-sungai berpola angulate, sub-dendritik dan paralel.

Lembahnya menandakan tingkat erosi yang masih muda.


60

Aspek morfogenetik menunjukan proses yang mempengaruhi satuan

geomorfologi adalah proses endogen dimana terjadi peristiwa tektonik yang

kompleks pada zona satuan ini berupa lipatan antiklin dan sinklin. Litologi

penyusun satuan geomorfologi ini adalah batupasir, batupasir tufan, batupasir

tufan karbonatan dan Breksi.

Gambar 3.5. Perbukitan Sedimen Curam (garis merah) dan Pedataran Aluvium (garis kuning)
61

Gambar 3.6. Kenampakan daerah penelitian dengan model 3D

Tabel 3.2. Karakteristik umum geomorfologi daerah penelitian

3.2. Stratigrafi

Satuan batuan merupakan tata nama satuan litostratigrafi tidak resmi, yang

digunakan dalam pembahasan stratigrafi daerah penelitian. Penamaan satuan

batuan ini berdasarkan pada ciri-ciri fisik batuan yang diamati dilapangan,
62

meliputi jenis batuan, keseragaman jenis batuan dan posisi stratigrafi antar batuan

yang ditunjang dengan analisa petrografi dari beberapa sampel batuan yang

memiliki ciri-ciri fisik sama atau berbeda yang mewakili setiap satuan.

Penentuan batas penyebaran satuan batuan didasarkan pada kontak antara

dua satuan yang berlainan ciri litologinya. Akan tetapi, pada beberapa satuan

batuan yang tidak ditemukan kontak perlapisannya karena tertutupi oleh tanah

akibat pelapukan yang intensif, maka batas penyebaran satuan ditentukan

berdasarkan pertimbangan topografi, kedudukan lapisan dan interpretasi geologi

dengan penarikan penampang serta kaidah hukum “V” pada beberapa stasiun

batuan yang diduga sebagai batas antar litologi.

Penentuan umur dan lingkungan pengendapan tiap satuan batuan

berdasarkan data yang didapat pada lapangan penelitian. Penentuan umur satuan

batuan pada lapangan penelitian mengacu pada prinsip stratigrafi yaitu superposisi

yang menyatakan bahwa lapisan batuan bagian atas memiliki umur yang lebih

muda dari lapisan batuan dibawahnya selama tidak ada pembalikan diketahui

dengan rekonstruksi penampang secara vertikal, ditunjang dengan keterdapatan

fosil foraminifera planktonik. Sedangkan penentuan lingkungan pengendapan

satuan batuan diinterpretasi dengan menggunakan data struktur sedimen pada

daerah penelitian dan rekonstruksi penampang stratigrafi terukur pada beberapa

satuan sebagai penciri urutan litologi ditunjang dengan data fosil foraminifera

bentonik dan PB ratio dengan data jumlah perbandingan foraminifera planktonik

dan bentonik. Kedua penentuan ini selanjutnya dikeralisakan dengan

kesebandingan hasil peneliti sebelumnya.


63

Berdasarkan hal tersebut, maka daerah penelitian dapat dibedakan menjadi

lima satuan batuan, dengan urutan dari tua ke muda sebagai berikut :

1. Satuan Breksi (Miosen Tengah)

2. Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Miosen Tengah-Miosen Akhir)

3. Satuan Batupasir Tufan (Miosen Tengah-Miosen Akhir)

4. Satuan Batupasir (Pliosen akhir)

5. Endapan Aluvium (Kwarter)

3.2.1. Satuan Breksi

3.2.2.1. Litologi dan Penyebarannya

Satuan ini secara keseluruhan tersusun oleh breksi polimik dengan

ketebalan 1-2m dan ukuran komponen berkisar 1-20cm tersebar dibagian selatan

dan tenggara daerah penelitian. Secara megaskopis Satuan Breksi ini memiliki

komponen berwarna lapuk hitam keabuan dan warna segarnya hitam. Ukuran

kristalnya profiritik berbentuk subhedral dengan derajat kristalisasi hypokristalin.

Sedangkan matriksnya merupakan batupasir berwarna lapuk coklat kehitaman dan

warna segar abu keputihan, mempunya ukuran pasir sedang-kasar, berbentuk

menyudut hingga menyudut tanggung, terpilah buruk, kemasnya terbuka,

permeabilitasnya baik dan tidak karbonatan.

Secara mikroskopis komponen breksi memiliki deskripsi sayatan berwarna

coklat tua transparan, ukuran kristal profiritik bentuk kristal subhedral-anhedral,


64

derajat kristalisasinya hypokristalin, keseragaman besar kristal inequigranular dan

keseragaman bentuk kristal allotriomorf. Komposisi penyusun batuan ini terdiri

dari butiran kuarsa, k-feldspar, plagioklas, piroksen dan mineral opak dengan

mikrolit plagioklas sebagai massa dasar. Sedangkan untuk sayatan batupasir

(matriks) berwarna kuning transparan, berbutir pasir halus-kasar, berbentuk

membundar tanggung-menyudut tanggung, kemas terbuka, terpilah buruk.

Mengandung material-material vulkanik lebih dari 10%. Terdiri dari butiran

kristal kuarsa, k-feldspar, piroksen, olivin, plagioklas, mineral opak, mineral

lempung, mineral karbonat, fragmen litik dan fragmen gelas. Jenis komponen

breksi ini berdasarkan klasifikasi Travis (1955) adalah porfiri andesite (Lampiran

1 kode conto: ST.37 komponen) dan Jenis matriks berdasarkan klasifikasi

Schimdt (1981) dalam Gylespic dan Styles (1999) adalah tuffaceous sandstone

(Lampiran 1 kode conto: ST.37 matriks).

Gambar 3.7. Singkapan Breksi Dominasi Komponen pada stasiun ST.56 (A) Singkapan sekala
besar (B) dan (C) perbesaran dari singkapan skala besar
65

Gambar 3.8. Singkapan Breksi Dominasi matriks pada stasiun ST.54 (A) Singkapan skala besar
(B) perbesaran dari singkapan skala besar

Satuan Breksi ini tersingkap pada bagian selatan dan tenggara daerah

penelitian. Penyebarannya meliputi Desa Sidamulih, Desa Tambaknegara dan

Desa Tumiyang. Secara keseluruhan penyebaran satuan ini memiliki luas sekitar

11.4% dari total luas daerah penelitian.

3.2.2.2. Kisaran umur dan Lingkungan Pengendapan

Kisaran umur dilakukan dengan merekonstruksi penampang vertikal dari

persebaran batuan dan ditunjang dengan foraminifera plangtonik untuk penentuan

umur relatif. Dari hasil pengamatan lapangan dan rekonstruksi penampang

geologi, Satuan Breksi ini diketahui berada dipaling bawah diantara satuan batuan

yang diinterpretasi, oleh karenanya dapat diketahui bahwa umur satuan ini ada

pada Miosen Tengah (setelah pengendapan Batupasir Tufan). Pada Satuan Breksi

ini tidak ditemukan data fosil, oleh karena itu berdasarkan kesebandingan dengan

Djurie dkk (1996) satuan ini sebanding dengan Anggota Breksi Formasi Halang

yang terendapkan pada Miosen Tengah.


66

Penentuan Lingkungan pengendapan satuan ini tidak dapat ditentukan

dengan data struktur sedimen ataupun foraminifera bentonik, hanya dapat

ditentukan dari rekonstruksi penampang stratigrafi terukur. Dengan

kesebandingan regional dapat ditentukan bahwa lingkungan pengendapannya

berada di neritic luar-bathyal atas dengan facies arus turbidit pada kipas dalam

laut. Mengacu pada peneliti terdahulu menyebutkan bahwa Anggota Breksi

Formasi Halang diendapkan pada lingkungan laut.

3.2.2.3. Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan posisi stratigrafi, Satuan Breksi berada dipaling bawah

dengan diatasnya adalah Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Batupasir Tufan

Karbonatan serta dibeberapa tempat ditemukan hubungan stratigrafi selaras

menjemari antara Batupasir Tufan Karbonatan berdasarkan rekonstruksi

penampang. Ditemukan kontak antara Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan

Satuan Breksi (Gambar 3.9).


67

Gambar 3.9. Kontak antara Satuan Breksi dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan pada stasiun
ST.27

3.2.2.4. Kesebandingan Regional

Berdasarkan ciri-ciri litostratigrafi yang meliputi karakteristik fisik batuan,

umur, lingkungan pengendapan dan stratigrafinya maka Satuan Breksi ini dapat

disebandingkan dengan Anggota breksi Formasi Halang.

Tabel 3.3. Kesebandingan Satuan Breksi dengan Formasi Halang (Tmphb)

Aspek Satuan Breksi Formasi Halang


Kesebandingan (Asikin dkk., 1992)

Litologi Satuan ini secara keseluruhan tersusun Breksi, berwarna kelabu, padat,
oleh breksi polimik dengan ketebalan 1- kompenen menyudut-menyudut
2m dan ukuran komponen berkisar 1- tanggung, kemas terbuka,
20cm. Satuan Breksi ini memiliki terpilah sangat buruk, terdiri
komponen berwarna lapuk hitam darinapal, kepingan
keabuan dan warna segarnya hitam. batulempung dan batupasir
Ukuran kristalnya profiritik berbentuk berukuran dari beberapa cm
subhedral dengan derajat kristalisasi sampai 30cm; massa dasar
68

hypokristalin. Sedangkan matriksnya batupasir atau batulempung


merupakan batupasir berwarna lapuk gampingan. Napal berwarna
coklat kehitaman dan warna segar abu putih kelabu sampai kuning
keputihan, mempunya ukuran pasir kecoklatan; padat; bercampur
sedang-kasar, berbentuk menyudut tuf.
hingga menyudut tanggung, terpilah
buruk, kemasnya terbuka,
permeabilitasnya baik dan tidak
karbonatan.
Posisi Stratigrafi Memiliki hubungan selaras dengan Berada ditengah-tengah dari
satuan Batupasir Tufan dan selaras Formasi Halang
dengan Satuan Batupasir.
Umur Miosen Tengah Miosen Tengah

Lingkungan Laut dengan facies arus turbidit pada Lingkungan pengendapan Laut
Pengendapan kipas dalam laut dalam

3.2.2. Satuan Batupasir Tufan Karbonatan

3.2.1.1. Litologi dan Penyebarannya

Satuan ini tersusun oleh litologi batupasir dan batulempung. Batupasir

berwarna lapuk coklat kehitaman dan warna segar abu keputihan dengan ukuran

butir halus-kasar, berbentuk membundar tanggung-menyudut tanggung, kemas

terbuka dengan permeabilitas baik, terpliah buruk dan karbonatan disertai dengan

keterdapatan material vulkanik. Batulempung yang berseling dengan litologi

batupasir memiliki warna lapuk coklat kehitaman, keras dan karbonatan. Pada

persebaran batuan dalam satuan Batupasir Tufan karbonatan terdapat struktur


69

sedimen paralel laminasi, slump dan wavy. Satuan ini tersebar di bagian tengah,

membentang sepanjang barat sampai timur daerah penelitian.

Batupasir memiliki deskripsi Sayatan berwarna kuning kecoklatan,

berbutir halus, bentuk butir membundar-membundar tanggung, kemas terbuka,

pemilahan baik. Batupasir ini memiliki nama Tuffaceous Sandstone (Schimdt,

1981) (lampiran petrografi kode conto ST.22 dan ST.62)

Gambar 3.10. Singkapan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (A) dan perselingan antara
batupasir dan batulempung (B)

Satuan Batupasir tufan ini tersingkap dibagian tengah daerah penelitian.

Penyebarannya meliputi Desa Tambaknegara, Desa Karangendep, Desa Sawangan

Kidul, Desa Karangmangu dan Desa Mandirancan. Penyebaran satuan ini

memiliki luas daerah sekitar 8.8% dari daerah penelitian.

3.2.1.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur dilakukan dengan menganalisis dari rekonstruksi

penampang. Sesuai penampang pada Peta Geologi (EF) yang sebelumnya telah

dibuat berpatokan data persebaran stasiun batuan pada Peta Kerangka, didapat

bahwa Satuan Batupasir Tufan Karbonatan berada dibawah Satuan Batupasir


70

Tufan (bertabrakan dibeberapa penarikan penampang) dan Satuan Batupasir, serta

berada diatas Satuan Breksi dari penampang. Selanjutnya, dilakukan analisis fosil

foraminifera plangtonik. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pada

kandungan fosil pada stasiun ST.46. Adapun fosil foraminifera plangtonik

yangditemukan pada stasiun ST.46 :

1. Globorotalia continuosa BLOW

2. Globigerinoides Subquadratus BRONNIMAN

3. Hastigerina siphonifera D’ORBIGNY

4. Globigerinoides trilobus immaturus LEROY

Tabel 3.4. Zona kisaran Satuan Batupasir Tufan pada stasiun ST.46 berdasarkan kandungan
Foraminifera Planktonik (Bolli dan Saunders, 1989)
ST.46

Berdasarkan kandungan fosil foraminifera plangtonik di atas, kisaran umur

satuan ini didapat interval umur berkisar antara N12-N13. Oleh karena itu dapat

dinterpretasikan bahwa proses pengendapan satuan batupasir tufan berlangsung

pada Miosen Tengah.

Penentuan lingkungan pengendapan dilakukan dengan menginterpretasi

model stratigrafi batuan dari penampang stratigrafi terukur dan keterdapatan


71

struktur sedimen pada Satuan Batupasir Tufan Karbonatan, ditunjang dengan

kisaran batimetri dari foraminifera bentonik.

Dengan keterdapatan struktur sedimen seperti yang telah disebutkan

sebelumnya,bahwa keterdapatan perselingan litologi dengan batuan yang berada

diatasnya (Satuan Batupasir Tufan), slump, paralel laminasi dan wavy, dan batuan

konglomeratik dan juga model penampang stratigrafi yang menghalus keatas dan

juga karbonatan menunjukan bahwa Satuan ini terendapkan dengan lingkungan

pengendapan laut.

Ditunjang dengan data Composite Log 1, lingkungan pengendapan ini

adalah laut dengan arus turbidit di mid fan disesuaikan dengan model submarine

fan deposit (Walker, 1992).

Gambar 3.11. Model lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dengan model
Bouma (1962)
72

Gambar 3.12. Lingkungan pengendapan Batupasir Tufan Karbonatan (Walker, 1992)

Gambar 3.13. Struktur sedimen (A) slump pada stasiun ST.44 (B) wavy pada stasiun ST.45
73

Penentuan lingkungan pengendapan ditunjang dengan melihat kisaran

kedalaman dari foraminifera bentonik. Adapun fosil foraminifera bentonik yang

ditemukan pada stasiun ST.46 adalah :

1. Euvigerina reineri BELLFORD

2. Bulimina ampliaperture CUSHMAN

3. Laevidentalina translucent PARR

4. Heterolepa ornanta CUSHMAN

Tabel 3.5. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan pada stasiun ST.46 berdasarkan
kandungan foraminifera bentonik (Harris dan Baker, 2011)
ST.46

Berdasarkan kandungan fosil foraminifera bentonik tersebut, maka

lingkungan pengendapan dari satuan batupasir tufan adalah lingkungan laut pada

kisaran batimetri bathyal atas hingga bathyal tengah (159,4 – 480 m). Dengan ini

disimpulkan bahwa Satuan Batupasir Tufan Karbonatan diendapkan pada

lingkungan laut tepatnya di slope di antara neritik luar – bathyal atas.


74

Gambar 3.14. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan menurut klasifikasi
lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966)

3.2.1.3. Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan posisi stratigrafi Satuan Batupasir Tufan Karbonatan selaras

dengan Satuan Batupasir Tufan, dibawah Satuan Batupasir dan berada dibagian

bagian atas dari Satuan Breksi. Ditemukan kontak interkalasi dengan Satuan

Batupasir Tufan dan Satuan Breksi (Gambar 3.15). yang mencirikan bahwa

Satuan Batupasir Tufan dengan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan memiliki

hubungan stratigrafi selaras menjemari.


75

Gambar 3.15. Kontak antara satuan batuan (A) Kontak satuan Breksi dan Satuan Batupasir Tufan
Karbonatan (B) Kontak Satuan Batupasir Tufan dan Batupasir Tufan Karbonatan

3.2.1.4. Kesebandingan Regional

Berdasarkan ciri-ciri litostratigrafi yang meliputi karakteristik fisik batuan,

umur, lingkungan pengendapan dan posisi stratigrafinya maka Satuan Batupasir

Tufan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Halang.

Tabel 3.6. Kesebandingan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dengan Formasi Halang (Tmph)

Aspek Satuan Batupasir Tufan Karbonatan Formasi Halang (Tmph)


Kesebandingan (Djurie dkk., 1996, S.Asikin
dkk., 1992)
Litologi Batupasir berwarna lapuk coklat Batupasir andesit konglomerat
kehitaman dan warna segar abu tufan dan napal bersisipan
keputihan dengan ukuran butir halus- batupasi terdapat perselingan
kasar, berbentuk membundar tanggung- antara batupasir dan napal
menyudut tanggung, kemas terbuka dengan sisipan batulempung, tuf
dengan permeabilitas baik, terpliah dan kalkarenit. Batupasir,
buruk dan karbonatan disertai dengan berwarna kelabu kekuningan;
keterdapatan material vulkanik. berbutir halus sampai kasar,
Batulempung yang berseling dengan terpilah buruk, membundar
litologi batupasir memiliki warna lapuk tanggung – meyudut tanggung;
coklat kehitaman, keras dan karbonatan setempat tufan; padat;
kesarangan sedang. Tebal
76

lapisan antara 5-10cm, tetapi ada


juga yang mencapai 1m.
Posisi Stratigrafi Memiliki hubungan selaras dengan Selaras menjemari dengan
Satuan Breksi, Batupasir Tufan, dan Formasi Tapak
Batupasir
Umur Miosen Tengah (N12-N13) Miosen Tengah - Pliosen Awal

Lingkungan Laut pada zona batimetri di Neritik luar Bathyal atas sampai kipas dalam
Pengendapan – Bathyal atas, pada bagian tengah laut (Haryono, 1981), Berfacies
kipas dalam laut dengan arus turbidit Turbidit (Mulhadiyono, 1973),
(159.4 - 480 m) Lingkungan laut dalam hingga
Zona Bathyal atas (Armandita
dkk., 2009)

3.2.3. Satuan Batupasir Tufan

3.2.1.1. Litologi dan Penyebarannya

Satuan ini tersusun dari batupasir dengan warna lapuk hitam kecoklatan

dan warna segar abu keputihan. Besar butirnya berupa pasir halus-kasar,

bentuknya menyudut tanggung hingga membundar tanggung, kemas terbuka,

terdapat beberapa bagian yang mudah dicukil dan bagian sisanya keras. Satuan ini

terdiri dari 3 litologi batulempung dengan warna lapuk abu kecoklatan dan warna

segar abu kehitaman, non karbonatan dan permeabilitas baik, batupasir halus dan

batupasir kasar dan tidak karbonatan. Pada persebaran batuan dalam satuan

Batupasir Tufan terdapat struktur sedimen wavy, perlapisan berangsur (graded),

ripple mark, parallel laminasi dan terdapat pebbly sandstone. Satuan ini tersebar
77

di bagian tengah menuju ke selatan, membentang sepanjang barat sampai timur

daerah penelitian.

Batupasir memiliki deskripsi sayatan berwarna kuning transparan,

berbutir sedang-kasar, bentuk butir menyudut-menyudut tanggung, kemas

terbuka, pemilahan buruk. Mengandung material-material vulkanik lebih dari 10

%. Terdiri dari butiran kristal kuarsa, k-feldspar, plagioklas, piroksen, mineral

opak, fragmen litik, dan fragmen gelas. (lampiran petrografi kode conto ST.06,

dan ST.51)

Gambar 3.16. Singkapan Satuan Batupasir Tufan (A) batulempung pada stasiun ST.50 (B)
batupasir halus ST.59 (C) batupasir kasar ST.06
78

Satuan Batupasir tufan ini tersingkap dibagian tengah sampai selatan

daerah penelitian. Penyebarannya meliputi Desa Tambaknegara, Desa

Karangendep, Desa Tumiyang dan Desa Sidamulih. Penyebaran satuan ini

memiliki luas daerah sekitar 17.9% dari daerah penelitian.

3.2.1.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur dilakukan dengan menganalisis rekonstruksi penampang.

Sesuai penampang pada Peta Geologi yang sebelumnya telah dibuat berpatokan

data persebaran stasiun batuan pada Peta Kerangka, didapat bahwa Satuan

Batupasir Tufan berada dibagian tengah diantara Satuan Breksi, Satuan Batupasir

Tufan Karbonatan dan Satuan Batupasir. Selanjutnya, dilakukan analisis fosil

foraminifera plangtonik. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pada

kandungan fosil pada stasiun ST.50, ST.64 dan ST.51 (berurut dari bagian paling

atas ke bawah) . Adapun fosil foraminifera plangtonik yangditemukan pada ketiga

stasiun yang telah disebutkan :

1. Globorotalia Mayeri CUSHMAN

2. Globigerinoides Subquadratus BRONNIMAN

3. Globoquadria Dehiscens CHAP, PAR, COLL

4. Shaeroidinllopsis Subdehiscens BLOW

5. Globorotalia Obesa BOLLI

6. Globoquadrina altispira CUSHMAN dan JARVIS


79

7. Globorotalia acostaensis BLOW

8. Spaerodinella subdehiscens BLOW

9. Globigerinoides immaturus LEROY

10. Globorotalia pseudomiocenia BOLLI dan BLOW

11. Globorotalia homerosa praehumerosa NATORI

12. Orbulina Suturalis BRONNIMANN

13. Spaerodinellopsis multiloba LEROY

14. Orbulina Universa D’ORBIGNY

Tabel 3.7. Zona kisaran Satuan Batupasir tufan pada stasiun (A) ST.50, (B) ST.64 dan (C) ST.51
berdsarkan kandungan Formanifera Plangtonik (Bolli dan Saunders, 1989)
80

Berdasarkan kandungan fosil foraminifera plangtonik di atas dengan

pengambilan sampel dari batuan yang ada dibagian atas, tengah dan bawah satuan,

maka kisaran umur satuan ini didapat interval umur berkisar antara N13-N19.

Oleh karena itu dapat dinterpretasikan bahwa proses pengendapan satuan

batupasir tufan berlangsung pada Miosen Tengah sampai Pliosen Awal.

Penentuan lingkungan pengendapan dilakukan dengan menginterpretasi

model stratigrafi batuan dari penampang stratigrafi terukur dan keterdapatan

struktur sedimen pada satuan batupasir tufan, ditunjang dengan kisaran batimetri

dari foraminifera bentonik.

Dengan keterdapatan struktur sedimen seperti yang telah disebutkan

sebelumnya, mengacu kepada model struktur sedimen Walker (1973) bahwa

keterdapatan perselingan litologi, pebbly sandstone, perlapisan massif,

keterdapatan model bouma sekuen, dan batuan konglomeratik dan juga model

penampang stratigrafi yang mengkasar keatas menunjukan bahwa daerah tersebut

terendapkan oleh arus turbidit yang berada pada slope atau kipas bawah laut.
81

Gambar 3.17. Struktur sedimen (A) pebbly sandstone stasiun ST.06 (B) pasir massif stasiun
ST.15

Gambar 3.18. Model sekuen Bouma (1962) (Ta) Graded bedding perselingan batuan stasiun
ST.58 (Tb) parallel laminasi stasiun ST.49 (Tc) Ripple Mark stasiun ST.49 dan (Te) Lempung
massif stasiun ST.66
82

Ditunjang dengan data Composite Log 1,4 dan 3, lingkungan pengendapan

satuan ini adalah laut dengan arus turbidit di upper hingga lower fan disesuaikan

dengan model submarine fan deposit (Walker, 1992).

Gambar 3.19. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan dengan model pengendapan
Bouma, 1962

Penentuan lingkungan pengendapan ditunjang dengan melihat kisaran

kedalaman dari foraminifera bentonik. Adapun fosil foraminifera bentonik yang

ditemukan pada stasiun ST.50, ST.64 dan ST.51 (berurutan dari posisi yang

paling atas ke yang paling bawah) adalah :

1. Spirillina aciculans CUSHMAN

2. Haplopragmoides canariensis CUSHMAN

3. Thurammina papillata BRADY


83

4. Martinotella nodulosa CUSHMAN

5. Stilostomella fistuca SCWARGER

6. Pseudolingulina milleto BRADY

7. Parafissurina lateralis CUSHMAN

8. Pseudonodosaria discrete REUSS

9. Patellina corrugate WILLIAMSON

10. Nodosaria timorensis LOEBLICH dan TAPPAN

11. Textularia paragglutinans ZHENG


84

Gambar 3.20. Lingkungan Pengendapan Batupasir Tufan (Walker, 1992)

Tabel 3.8. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan pada stasiun (A) ST.50, (B) ST.64
dan (C) ST.51 berdasarkan kandungan foraminifera bentonik (Harris dan Baker, 2011)
85

Berdasarkan kandungan fosil foraminifera bentonik tersebut, maka

lingkungan pengendapan dari satuan batupasir tufan adalah lingkungan laut pada

kisaran batimetri neritic luar hingga bathyal tengah (135 – 702 m). Dengan ini

disimpulkan bahwa satuan batupasir tufan diendapkan pada lingkungan laut

tepatnya di slope dengan arus turbidit dibagian awal kipas dalam laut tepatnya di

bathyal atas - tengah.

Gambar 3.21. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan menurut klasifikasi lingkungan
laut yang dikemukakan oleh Tipsword et. Al. (1966)
86

3.2.1.3. Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan posisi stratigrafi Satuan Batupasir Tufan berada dibagian atas

Satuan Breksi, dibagian bawah Satuan Batupasir dan sejajar dengan Satuan

Batupasir Tufan Karbonatan. Ditemukan kontak interkalasi Satuan Batupasir

Tufan dengan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan Satuan Batupasir.

mencirikan bahwa hubungan kedua satuan secara stratigrafi diendapkan selaras.

Gambar 3.22. Kontak antar satuan batuan (A) kontak Satuan Batupasir Tufan dan
SatuanBatupasir Tufan Karbonatan pada stasiun ST.38 dan (B) kontak Satuan Batupasir Tufan dan
Satuan Batupasir pada stasiun ST.13

3.2.1.4. Kesebandingan Regional

Berdasarkan ciri-ciri litostratigrafi yang meliputi karakteristik fisik batuan,

umur, lingkungan pengendapan dan posisi stratigrafinya maka Satuan Batupasir

Tufan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Halang.

Tabel 3.9. Kesebandingan Satuan Batupasir Tufan dengan Formasi Halang (Tmph)

Aspek Satuan Batupasir Tufan Formasi Halang (Tmph)


Kesebandingan (Djurie dkk., 1996, S.Asikin
dkk., 1992)
Litologi Batupasir dengan warna lapuk hitam Batupasir andesit konglomerat
kecoklatan dan warna segar abu tufan dan napal bersisipan
keputihan. Besar butirnya berupa pasir batupasi terdapat perselingan
87

halus-kasar, bentuknya menyudut antara batupasir dan napal


tanggung hingga membundar tanggung, dengan sisipan batulempung, tuf
kemas terbuka, terdapat beberapa dan kalkarenit. Batupasir,
bagian yang mudah dicukil dan bagian berwarna kelabu kekuningan;
sisanya keras. Satuan ini terdiri dari 3 berbutir halus sampai kasar,
litologi batulempung dengan warna terpilah buruk, membundar
lapuk abu kecoklatan dan warna segar tanggung – meyudut tanggung;
abu kehitaman, non karbonatan dan setempat tufan; padat;
permeabilitas baik, batupasir halus dan kesarangan sedang. Tebal
batupasir kasar dan tidak karbonatan. lapisan antara 5-10cm, tetapi ada
Pada persebaran batuan dalam satuan juga yang mencapai 1m.
Batupasir Tufan terdapat struktur
sedimen wavy, perlapisan berangsur
(graded), cross lamination, parallel
laminasi dan terdapat pebbly sandstone..
Posisi Stratigrafi Memiliki hubungan selaras dengan Selaras menjemari dengan
Satuan Breksi dan Satuan Batupasir Formasi Tapak
Umur Miosen Tengah - Pliosen Awal Miosen Tengah - Pliosen Awal
(N13-N19)
Lingkungan Di slope pada kipas dalam laut bagian Bathyal atas sampai kipas dalam
Pengendapan atas-bawah dengan facies turbidit di laut (Haryono, 1981), Berfacies
neritic luar-bathyal tengah. Turbidit (Mulhadiyono, 1973),
(135 – 702 m) Lingkungan laut dalam hingga
Zona Bathyal atas (Armandita
dkk., 2009)
88

3.2.3. Satuan Batupasir

3.2.3.1. Litologi dan Penyebarannya

Satuan ini tersusun oleh litologi batupasir yang berselingan dengan

batulempung. Batupasir berwarna lapuk abu kehitaman dan warna segar abu

keputhan memiliki ukuran butir pasir halus-kasar dengan bentuk butir membundar

-menyudut tanggung, memiliki kemas terbuka, permeabilitasnya sedang, terpilah

baik, dengan kekerasan yang kompak dan karbonatan yang terbagi dalam stasiun

batupasir kasar dan batupasir halus. Terdapat batulempung yang berseling dengan

batupasir dibeberapa stasiun memiliki warna lapuk abu kecoklatan dan warna

segar abu kehitaman, permeabilitasnya buruk, keras dan karbonatan. Pada

persebaran batuan dalam Satuan Batupasir terdapat struktur sedimen graded

bedding, paralel laminasi, terdapat pula pebbly sandstone dan pecahan moluska.

Batupasir dalam Satuan Batupasir memiliki deskripsi sayatan berwarna

kuning kecoklatan, berbutir pasir halus-sedang, bentuk butir membundar-

membundar tanggung, kemas terbuka dan pemilahan baik. Terdiri dari butiran

kristal kuarsa, k-feldspar, fragmen batupasir, mineral lempung, mineral karbonat

dan mineral opak. Jenis Batupasir ini menurut klasifikasi Pettijohn (1975) adalah

Feldspatic Wacke (lampiran petrografi kode conto: ST.41 dan ST.43).

Persebaran batuan pada Satuan Batupasir berada pada bagian barat,

baratlaut, utara menuju ke timur daerah penelitian. Terdapat batulempung yang

berseling dengan batupasir dibeberapa titik dan secara keseluruhan material

batupasir kasar berada dibawah material batupasir halus. Persebaran batuan ini
89

berada dibagian barat, baratlaut, utara menuju ke timur daerah penelitian yang

secara admistratif berada di Desa Mandirancan, Desa Patikraja, Desa

Karanganyar, Desa Jatisaba dan Desa Sawangan kidul. Mempunyai luas area

sekitar 19.9% dari luas daerah penelitian.

Gambar 3.23. Singkapan Batupasir karbonatan stasiun ST.14 (A) Tubuh singkapan (B) Batupasir
halus (B) Batupasir kasar

3.2.3.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur diketahui melalu rekonstruksi penampang vertikal dan

ditunjang dengan data foraminifera planktonik untuk mengatahui umur relatif

Satuan Batupasir. Seperti yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya, Satuan

Batupasir dalam penampang vertikal berada di atas Satuan Batupasir Tufan dan

Satuan Breksi dan dipastikan bahwa peristiwa pengendapan Satuan Batupasir

paling cepat diendapkan pada Pliosen Awal. Pengambilan sampel pada stasiun

ST.76 dan ST.42 (dari atas ke bawah) menunjukan keterdapatan fosil foraminifera

plangtonik sebagai berikut :

1. Orbulina Universa D’ORBIGNY


90

2. Globigerinoides Trilobus Immaturus LEROY

3. Hastigerina Siphofera BRADY

4. Globigerinoides Conglobatus BRADY

5. Pulleniatina Praecursor CUSHMAN

6. Orbulina Bilobata D’ORBIGNY

7. Globorotalia margaritae margaritae BOLLI dan BERMUDEZ

8. Globigerinoides ruber D’ORBIGNY

9. Spaerodinella seminulina SCHWARGER

10. Spaerodinellopsis sphaeroides LAMB

Tabel 3.10. Zona kisaran Satuan Batupasir pada stasiun (A) ST.76 dan (B) ST.42 berdsarkan
kandungan Formanifera Plangtonik (Bolli dan Saunders, 1989)

Berdasarkan kandung fosil foraminifera Plangtonik seperti yang

disebutkan di Tabel 3.10, kisaran umur Satuan Batupasir berkisar antara N18 –

N21. Dikorelasikan dengan interpretasi penampang vertikal, dapat diambil


91

kesimpulan bahwa proses pengendapan Satuan Batupasir berlangsung selama

kurun waktu Pliosen.

Penentuan Lingkungan Pengendapan dapat ditentukan dengan

menginterpretasi ciri litologi satuan batuan melalui penampang stratigrafi terukur

dihubungkan dengan referensi mengenai ciri khas litologi suatu lingkungan

pengendapan dan keterdapatan struktur sedimen dari persebaran batuan dalam

Satuan Batupasir ditunjang dengan kisaran kedalaman Foraminifera Bentonik

pada batuan didalam Satuan tersebut.

Mengacu kepada Diagram blok sistem pengendapan (Dalrymple dkk.,

1990 dalam Walker dan James, 1992) bahwa karakteristik susunan stratigrafi yang

menghalus keatas dan terdapat perselingan batupasir dan batulempung serta

struktur sedimen graded bedding, paralel laminasi, terdapat pula pebbly sandstone

dan pecahan moluska dan karbonatan pada Satuan Batupasir menunjukan bahwa

daerah tersebut terendapkan pada dan pecahan moluska pada stasiun ST.70

diinterpretasikan sebagai akibat dari energy yang kuat dari arus pasang surut zona

intertidal.
92

Gambar 3.24. Struktur sedimen pada Satuan Batupasir (A) dan (B) pebbly sandstone pada stasiun
ST.40 dan ST.41, (C) terdapat pecahan moluska pada stasiun ST.70 dan (D) paralel laminasi
stasiun ST.11

Ditunjang dengan data Composite Log 2 dan 3, lingkungan pengendapan

satuan ini adalah pada tidal flat yang dipengaruhi oleh zona pasang surut (terdapat

pecahan moluska) dan struktur sedimen penunjang dibagian intertidal (Walker,

1992).
93

Gambar 3.25. Diagram Blok pada sistem pengendapan Tidal Flat (Dalrymple et al. 1990 dalam
Walker dan James, 1992)

Penentuan lingkungan pengendapan ditunjang dengan melihat kisaran

kedalaman dari foraminifera bentonik. Adapun fosil foraminifera bentonik yang

ditemukan pada stasiun ST.76 dan ST.42 adalah :

1. Peneroplis pertusus FORSKAL

2. Lenticulina robulus pliocaenicus BRADY

3.Polysegmentina circanata BRADY

4. Opercullina ammonoides GRONOVIUS

5. Streblus gaimardii D’ORBIGNY

6. Heterolepa subhaidingeri PARR


94

7. Bucella frigida CUSHMAN

8. Nummulites veosus FICHTELL dan MOLL

9. Ammonia tepida CUSHMAN

Tabel 3.11. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir pada stasiun (A) ST.76 dan (B) ST.42
berdasarkan kandungan foraminifera bentonik (Harris dan Baker, 2011)
95

Gambar 3.26. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir menurut klasifikasi lingkungan laut
yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966)

Berdasarkan kandungan fosil foraminifera bentonik tersebut maka

lingkungan pengendapan dari Satuan Batupasir adalah lingkungan laut pada

kisaran batimetri neritik dalam - luar (18 – 180 m). Dengan ini disimpulkan

bahwa Satuan Batupasir diendapkan pada lingkungan laut di zona intertidal

dengan arus pasang surut di bagian neritik dalam - luar.

3.2.3.3. Hubungan Stratigrafi

Satuan Batupasir berada diatas Satuan Batupasir Tufan dan Satuan

Batupasir Tufan Karbonatan, dan berada dibawah endapan alluvium. Satuan

Batupasir merupakan satuan batuan yang memiliki umur paling muda dan

diendapkan secara selaras dengan satuan batuan yang berada dibawahnya.


96

3.2.3.4. Kesebandingan Regional

Berdasarkan ciri-ciri litostratigrafi yang meliputi karakteristik fisik batuan,

umur, lingkungan pengendapan dan posisi stratigrafinya maka Satuan Batupasir

dapat disebandingkan dengan Formasi Tapak.

Tabel 3.12. Kesebandingan Satuan Batupasir dengan Formasi Tapak (Tpt)

Aspek Satuan Batupasir Formasi Tapak (Tpt)


Kesebandingan (Djurie dkk., 1996, S.Asikin
dkk., 1992)
Litologi Batupasir berwarna lapuk abu Batupasir berbutir kasar
kehitaman dan warna segar abu berwarna kehijauan dan
keputhan memiliki ukuran butir pasir konglomerat, setempat breksi
halus-kasar dengan bentuk butir andesit. Dibagian atas terdiri
membundar -menyudut tanggung, dari batupasir gampingan dan
memiliki kemas terbuka, napal berwarna hijau yang
permeabilitasnya sedang, terpilah baik, mengandung kepingan moluska.
dengan kekerasan yang kompak dan Tebal sekitar 500m.
karbonatan yang terbagi dalam stasiun
batupasir kasar dan batupasir halus.
Terdapat batulempung yang berseling
dengan batupasir dibeberapa stasiun
memiliki warna lapuk abu kecoklatan
dan warna segar abu kehitaman,
permeabilitasnya buruk, keras dan
karbonatan. Pada persebaran batuan
dalam Satuan Batupasir terdapat
struktur sedimen graded bedding,
paralel laminasi, terdapat pula pebbly
sandstone dan pecahan moluska.
Posisi Stratigrafi Memiliki hubungan selaras dengan Selaras dengan Formasi
97

Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Kumbang dan Formasi Halang


Breksi
Umur Selama Pliosen (N18-N21) Pliosen Awal
Lingkungan lingkungan laut pada kisaran batimetri Lingkungan pengendapan laut
Pengendapan neritic dalam-luar (18 – 180 m). Dengan dangkal atau tidal flat.
ini disimpulkan bahwa Satuan Batupasir
diendapkan pada lingkungan laut di
zona intertidal dengan arus pasang surut
di bagian neritik.

3.2.4. Endapan Aluvium

3.2.4.1. Litologi dan Penyebarannya

Aluvium terdiri dari material lepas berupa lempung, pasir kerikil, kerakal

berukuran kerikil sampai bongkah yang merupakan hasil proses dari penggerusan

batuan yang telah ada sebelumnya yang berumur tua, kemudian diangkut melalui

media transportasi air dan diendapkan di tempat-tempat yang lebih rendah.

Endapan ini terletak dibagian utara dan baratdaya daerah penelitian.

Penyebarannya meliputi daerah Kali Serayu, Kali Logawa dan Desa Pesawahan

dan menempati sekitar 44% dari luas daerah penelitian. Endapan alluvium ini

berbatasan dengan Satuan Batupasir dibagian utara dan Satuan Batupasir Tufan

dan Satuan Breksi dibagian selatan daerah penelitian.

Satuan Aluvium terendapkan dengan tidak menerus atau terisolasi, hal

tersebut dikarekan alluvium terbentuk karena adanya proses tektonik pada Kala

Pliosen-Plistosen dimana bagian material alluvium tersebut berasal dari batuan


98

yang sudah mengalami erosi dan tertransportasi mengisi daerah yang datar dan

berelevasi rendah.

A B
Gambar 3.27. Endapan Aluvium Kali Logawa

3.2.4.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan

Aluvium daerah penelitian merupakan endapan batuan paling muda yang

tersingkap. Dilihat dari posisi stratigrafinya, endapan ini berada di atas Satuan

Batupasir, Satuan Batupasir Tufan, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan

Satuan Breksi. Berdasarkan kenampakan dilapangan terlihat endapan ini belum

terkompaksi serta menunjukan proses erosional dan pengendapan yang masih

berlangsung hingga saat ini. Endapan permukaan ini diperkirakan berumur

Holosen – Resen dengan lingkungan pengendapan darat.

3.2.4.3. Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan Hasil rekonstruksi penampang geologi dan pengamatan

langsung di lapangan, alluvium ini diinterpretasikan menindih tidak selaras semua

satuan yang berada di daerah penelitian.


99

3.2.4.4. Kesebandingan Regional

Dari karakteristik fisik yang ditemukan di lapangan, maka endapan

permukaan ini dapat disebandingkan dengan Endapan Aluvium (Djurie dkk,

1996)

Tabel 3.13. Kesebandingan Aluvium dengan Endapan Aluvium (Qa)

Aspek Aluvium Endapan Aluvium (Qa)


Kesebandingan (Djurie dkk, 1996)

Litologi Endapan permukaan yang merupakan Kerikil, pasir, lanau dan


material lepas terdiri atas material Lempung sebagai endapan
kerikil, kerakal, bongkah batuan beku sungai dan pantai. Tebal hingga
dan fragmen halus. 150m.
Posisi Stratigrafi Menindih tak-selaras Satuan Breksi Menindih tidak selaras Formasi
Volkanik dan Satuan Batupasir Hitam Kumbang dan Tapak
Umur Berumur Holosen - Resen Diperkirakan berumur Holosen -
Resen
Lingkungan Darat Diperkirakan darat
Pengendapan

3.3. Struktur Geologi

Penentuan keberadaan dan jenis struktur geologi yang berkembang

didaerah penelitian dilakukan berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran

indikasi struktur geologi yang diamati langsung di lapangan seperti cermin sesar

(slicken side), arah jurus dan kemiringan lapisan, offset litologi dan analisis data

kekar.
100

Selain pengamatan indikasi struktur di lapangan, penentuan struktur

geologi yang berkembang didaerah penelitian juga dibantu dengan analisis citra

DEM untuk mengetahui kelurusan punggungan serta dibantu dengan peta dasar

untuk mengetahui kelurusan kontur dan sungai. Kegiatan analisis ini dapat

membantu penarikan pola jurus dan mengenali daerah-daerah yang kemungkinan

terdapat struktur geologi.

Berdasarkan indikasi di lapangan serta analisis terhadap citra satelit dan

kelurusan sungai serta kontur, maka struktur yang berkembang di lapangan antara

lain Lipatan, Kekar dan Sesar. Hasil pengolahan terhadap data-data tersebut

menunjukan bahwa struktur yang berkembang di daerah penelitian merupakan

hasil dari satu kali periode tektonik yang dialami Pulau Jawa pada Kala Pliosen-

Plistosen yang menghasilkan lipatan antiklin dan sinklin serta sesar berupa sesar

naik dan sesar mendatar yang memotong struktur yang terjadi sebelumnya dan

memotong Satuan Batupasir (Tpbp) yang berumur Pliosen, Satuan Batupasir

Tufan (Tmbp), Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk) dan Satuan Breksi

(Tmb) yang berumur Miosen.

3.3.1. Interpretasi Pola Kelurusan

Interpretasi kelurusan punggungan, kontur maupun sungai dengan

menggunakan data berupa citra DEM dimaksudkan untuk megamati pola-pola

kelurusan yang konsisten yang nantinya dapat membantu dalam interpretasi

struktur geologi didaerah penelitian dan dapat mengetahui pola tegasan yang

terjadi didaerah penelitian pada tahapan pra-lapangan untuk membantu

pengambilan data dan interpretasi struktur geologi di lapangan.


101

Berdasarkan interpretasi kelurusan-kelurusan menggunakan citra DEM,

didapat 116 kelurusan dengan panjang kelurusan dengan interval 182 – 6449

meter. Dengan menempatkan data-data kelurusan DEM, sungai dan kontur ke

dalam diagram bunga, maka dapat disimpulkan umumnya punggungan didaerah

penelitian bearah timurlaut-baratdaya, dengan pola kelurusan memiliki trend yang

dominan pada interval 130º-140º terhadap arah utara.

Gambar 3.28. Analisa Kelurusan Sungai (kiri) dan Analisa Kelurusan Kontur (kanan) tanpa skala
102

Gambar 3.29. Analisa Kelurusan DEM (tanpa skala)

Gambar 3.30. Diagram Roset kelurusan DEM (merah), kelurusan kontur (kuning) dan kelurusan
sungai (hijau)
103

Diagram Roset menunjukan bahwa kelurusan yang dibentuk baik

kelurusan DEM, kelurusan kontur dan kelurusan sungai menunjukan bahwa

daerah penelitian memiliki arah tegasan pembentuk morfologi daerah tersebut

memiliki arah timurlaut-baratdaya.

3.3.2. Struktur Lipatan

Lipatan adalah struktur geologi yang memiliki suatu bentuk lengkungan

(curve) dari suatu bidang lapisan batuan (Park, 1980). Struktur lipatan yang

berkembang didaerah penelitian berupa rangkaian antiklin dan sinklin yang

menyebabkan perlibatan pada Satuan Batupasir (Tpbp), Satuan Batupasir Tufan

(Tmbp), Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk) dan Satuan Breksi (Tmb)

membentang dibagian barat-timur menuju ke selatan daerah penelitian. Penentuan

struktur Sinklin dan Antiklin ini didasarkan oleh rekonstruksi penampang geologi

ditunjang dengan pola jurus perlapisan yang memiliki arah kemiringan (dip) yang

berbeda.

Berdasarkan hasil rekonstruksi pola jurus dan kemiringan lapisan batuan

dalam penampang, maka didapat 4 (empat) buah antiklin dan 3 (tiga) buah sinklin

di daerah penelitian yakni, Sinklin Jatisaba, Antiklin Karangcengis, Antiklin

Karangendep, Sinklin Sawangan Kidul, Antiklin G. Payung, Sinklin Tipar dan

Antiklin Tipar. Persebaran lipatan tersebut secara berurutan dari utara menuju ke

selatan daerah penelitian.


104

3.3.2.1. Sinklin Jatisaba

Sinklin Jatisaba berada dibagian baratlaut daerah penelitian. Struktur

lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 175º E/13º pada

limb1 dan N 338º E/15º pada limb2 serta memiliki arah trend 345º relatif

baratlaut-tenggara dengan plunge 2º sudut kemiringan axial surface sebesar 86º

dan sudut interlimb 155º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini

termasuk kedalam jenis gentle upright sub-horizontal fold.

Gambar 3.31. Stereonet Sinklin Jatisaba dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)

3.3.2.2. Antiklin Karangcengis

Antiklin Karangcengis berada dibagian barat daerah penelitian. Struktur

lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 53º E/21º pada

limb3 dan N 299º E/20º pada limb4 serta memiliki arah trend 84º relatif barat-

timur dengan plunge 11º sudut kemiringan axial surface sebesar 88º dan sudut

interlimb 145º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini termasuk

kedalam jenis gentle upright gently-plunging fold.


105

Gambar 3.32. Stereonet Antiklin Karangcengis dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)

3.3.2.3. Antiklin Karangendep

Antiklin Karangendep berada dibagian tengah menuju ke timur daerah

penelitian. Struktur lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N

121º E/23º pada limb5 dan N 286º E/55º pada limb6 serta memiliki arah trend

289º relatif baratlaut-tenggara dengan plunge 5º sudut kemiringan axial surface

sebesar 75º dan sudut interlimb 103º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka

struktur ini termasuk kedalam jenis open steeply inclined sub-horizontal fold.
106

Gambar 3.33. Stereonet Antiklin Karangendep dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)

Gambar 3.34. Foto perubahan kemiringan lapisan batuan sebagai indikasi Antiklin Karangendep
diantara stasiun ST.44 dan ST.45

3.3.2.4. Sinklin Sawangan Kidul

Sinklin Sawangan Kidul berada dibagian tengah daerah penelitian.

Struktur lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 121º E/23º

pada limb7 dan N 298º E/28º pada limb8 serta memiliki arah trend 299º relatif

barat-timur dengan plunge 1º sudut kemiringan axial surface sebesar 85º dan

sudut interlimb 128º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini

termasuk kedalam jenis gentle upright sub-horizontal fold.


107

Gambar 3.35. Stereonet Sinklin Sawangan Kidul dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)

3.3.2.5. Antiklin G. Payung

Antiklin G.Payung berada dibagian selatan daerah penelitian. Struktur

lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 116º E/46º pada

limb9 dan N 300º E/26º pada limb10 serta memiliki arah trend 117º relatif barat-

timur dengan plunge 1º sudut kemiringan axial surface sebesar 82º dan sudut

interlimb 108º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini termasuk

kedalam jenis Open Upright Sub-Horizontal Fold.


108

Gambar 3.36. Stereonet Antiklin G.Payung dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)

3.3.2.6. Sinklin Tipar

Sinklin Tipar berada dibagian selatan daerah penelitian. Struktur lipatan

ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 115º E/46º pada limb11

dan N 285º E/36º pada limb12 serta memiliki arah trend 291º relatif barat-timur

dengan plunge 5º sudut kemiringan axial surface sebesar 84º dan sudut interlimb

98º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini termasuk kedalam

jenis open upright sub-horizontal fold.


109

Gambar 3.37. Stereonet Antiklin Sidamulih dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)

3.3.2.7. Antiklin Tipar

Antiklin Tipar berada dibagian selatan daerah penelitian. Struktur lipatan

ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 117º E/36º pada limb13

dan N 284º E/34º pada limb14 serta memiliki arah trend 291º relatif barat-timur

dengan plunge 4º sudut kemiringan axial surface sebesar 86º dan sudut interlimb

110º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini termasuk kedalam

jenis open upright sub-horizontal fold.

Gambar 3.38. Stereonet Antiklin Tipar dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)
110

3.3.3. Struktur Kekar

Kekar atau rekahan (Joint) adalah jenis struktur geologi yang merupakan

suatu bidang pecahan atau rekahan planar pada batuan yang sedikit atau tidak

sama sekali mengalami pergeseran (Haryanto, 2003). Dalam mengalami

pergeseran, bidang rekahan pada kekar tidak menunjukan adanya pergerakan yang

berarti sepanjang arah paralel bidang tersebut.Kekar yang berkembang di daerah

penelitian, umumnya merupakan kekar gerus (shear joint). Sulit untuk

menentukan umur kekar yang berada didaerah penelitian karena struktur kekar

dapat menjadi produk dari periode tektonik paling tua hingga periode tektonik

resen yang dialami oleh daerah penelitian. Dengan meninjau dari hasil pada

pengambilan data di lapangan, terdapat 5 stasiun kekar dengan 3 arah tegasan

berbeda.

Dengan keterdapatan data kekar K1, K2 dan K3 dilakukan rekonstruksi

dengan menggunakan stereonet (wuff, schimdt dan karlsberg). Berdasarkan

rekonstruksi stereonet kekar K1, K2 dan K3, didapat hasil interpretasi dengan data

tersebut memiliki arah pola tegasan yang relative sama, yakni memiliki arah

baratlaut-tenggara. Kekar K1 dan K2 memotong Satuan Batupasir (Tpbp)

sedangkan kekar K3 memotong Satuan Batupasir tufan (Tmph). Dari data tersebut

dapat dikerucutkan bahwa kekar K1, K2 dan K3 terjadi minimal saat kala miosen

akhir, setelah Satuan Batupasir Tufan terendapkan. Ketiga data kekar ini dapat

pula menjadi penguat untuk penarikan struktur sesar mendatar yang tercantum

dalam Peta Pola Jurus dan Peta Geologi yang membentang disepanjang

Kalibening.
111

Gambar 3.39. Diagram Stereonet K1 (stasiun ST.44), K2 (stasiun ST.49) dan K3 (stasiun ST.51)
disertai dengan foto Kekar disetiap stasiun

K4 didapat pada stasiun ST.57 pada bagian timur daerah penelitian.

Setelah dilakukan rekonstruksi menggunakan stereonet, diinterpretasikan bahwa

K4 memiliki arah pola tegasan dengan kecenderungan utara-selatan. K4

memotong kontak antara batupasir tufan dengan batupasir karbonatan sehingga

dapat diasumsikan bahwa K4 memiliki umur tidak lebih tua dari kala Pliosen.
112

Disebandingkan dengan data tektonik regional daerah penelitian, Kekar K4

memiliki pola tegasan yang sama dengan pola tegasan tektonik regional. Pada

stasiun ST.57, terdapat pula offset yang mengindikasikan terjadinya sesar naik.

Gambar 3.40. Diagram Stereonet K4 disertai dengan foto Kekar di stasiun ST.57

Data Kekar K5 didapat pada stasiun ST.35 yang terletak dibagian selatan

daerah penelitian. Setelah dilakukan rekonstruksi stereonet menggunakan data

strike dip kekar yang bersangkutan, dihasilkan pola arah tegasan pada K5

cenderung baratdaya-timurlaut. Kekar ini memotong batupasir tufan dan dapat

diasumsikan bahwa Kekar K5 memiliki kisaran umur paling tua pada Kala

Miosen. Data Kekar K5 dapat menjadi bukti penunjang untuk penarikan sesar di

bagian utara stasiun ST.35.


113

Gambar 3.41. Diagram Stereonet K5 disertai dengan foto Kekar di stasiun ST.35

3.3.4. Struktur Sesar

Sesar atau patahan (fault) merupakan salah satu fenomena geologi yang

umum dijumpai di kulit bumi. Sesar didefinisikan sebagai bidang rekahan yang

disertai oleh adanya pergeseran relative (displacement) satu blok terhadap blok

batuan lainnya. Jarak pergeseran tersebut dapat hanya beberapa millimeter hingga

puluhan kilometer, sedangkan bidang sesarnya mulai dari yang berukuran

beberapa centimeter hingga puluhan kilometer (Billing, 1959).

Pada daerah penelitian, terdapat 9 buah Sesar. Sesar-sesar tersebut

sebagian besar didapat dari hasil rekonstruksi berdasarkan data primer berupa

cermin sesar berupa data strikedip sesar dan pitch, serta offset litologi yang

didapat saat tahap pengambilan data lapangan ditunjang oleh data sekunder

berupa lipatan geser (dragfold), keterdapatan breksi sesar, anomali strikedip, zona

hancuran, keterdapatan data kekar, kelurusan DEM, kontur, dan sungai.

Penentuan orde sesar hanya untuk menentukan keterjadian didaerah penelitian,

bukan berdasarkan keterjadian umum secara regional pulau jawa.


114

3.3.4.1. Sesar Naik Karangendep

Sesar Karangendep terdapat dibagian tengah daerah penelitian

membentang tengah menuju timur daerah penelitian. Penarikan Sesar

Karangendep berdasarkan data primer berupa cermin sesar dan ofset litologi pada

stasiun OF9 yang memiliki strikedip sesar N 106º E / 44º dengan pitch 57º NW

yang terdapat pada stasiun ST.57.menunjukan pergeseran relatif naik yang

diakibatkan oleh gaya kompresional dari arah relatif timurlaut-baratdaya.

Ditunjang oleh data sekuder, Sesar Karangendep yang membentang sepanjang

barat-timur daerah penelitian memiliki pola sesar yang sama dengan pola

kelurusan disekitar sesar tersebut, selain itu ditunjang dengan data kekar K4.

Gambar 3.42. Diagram Stereonet OF9 disertai foto ofset dan cermin sesar pada stasiun ST.57

Sesar Karangendep pada daerah penelitian memotong Satuan Batupasir

Tufan Karbonatan (Tmbpk), Satuan Batupasir Tufan (Tmbp) dan Satuan

Batupasir (Tpbp). Disebandingkan dengan tegasan tektonik regional pada daerah

penelitian dan model sesar menurut Moody & Hill,1959 maka didapat umur Sesar
115

Karangendep pada Kala Pliosen-Plistosen dengan tegasan timurlaut-baratdaya

yang merupakan orde ke 1 pada pembentukan struktur geologi daerah penelitian

dalam kurun satu periode tektonik tertentu. Sesar Karangendep ini merupakan

jenis sesar Right Thrust Slip Fault (Rickard, 1972).

Gambar 3.43. Korelasi Sesar Karangendep dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar
berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972

3.3.4.2. Sesar Naik Mandirancan

Sesar Mandirancan terdapat dibagian timur daerah penelitian dengan trend

berarah barat-timur daerah penelitian. Penarikan Sesar Mandirancan berdasarkan

data primer berupa cermin sesar dan ofset litologi pada stasiun OF12 yang

memiliki strike dip sesar N 108º E / 24º dengan pitch 72º NW pada stasiun ST.25

dan OF15 yang memiliki strike dip sesar N 75º E / 60º pada stasiun ST.29

menunjukan pergeseran relatif naik yang diakibatkan oleh gaya kompresional dari

arah relatif timurlaut-baratdaya. Ditunjang oleh data sekuder, Sesar Mandirancan

yang membentang pada timur daerah penelitian memiliki pola sesar yang sama

dengan pola kelurusan disekitar sesar tersebut.


116

Gambar 3.44. Diagram Stereonet OF12 disertai foto ofset dan cermin sesar pada stasiun ST.25

Gambar 3.45. Diagram Stereonet OF15 disertai foto ofset pada stasiun ST.29

Sesar Mandirancan pada daerah penelitian memotong Satuan Batupasir

Tufan Karbonatan (Tmbpk). Disebandingkan dengan tegasan tektonik regional

pada daerah penelitian dan model sesar menurut Moody & Hill,1959 maka

didapat umur Sesar Mandirancan pada Kala Pliosen-Plistosen dengan tegasan

utara-selatan yang merupakan orde ke 1 pada pembentukan struktur geologi

daerah penelitian dalam kurun satu periode tektonik tertentu. Sesar Mandirancan

ini merupakan jenis sesar Right Thrust Slip Fault (Rickard, 1972).
117

Gambar 3.46. Korelasi Sesar Mandirancan dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar
berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972

3.3.4.3. Sesar Mendatar Dekstral Jatisaba

Sesar Jatisaba terdapat dibagian barat daerah penelitian. Penarikan Sesar

Jatisaba berdasarkan data primer berupa cermin sesar pada stasiun OF16 yang

memiliki strikedip sesar N 40º E / 80º dengan pitch 28º SE menunjukan

pergeseran relatif menganan yang diakibatkan oleh gaya dominan kompresional

dari arah relatif barat-timur dan tensional cenderung utara-selatan. Ditunjang oleh

data sekuder, Sesar Jatisaba yang berada dibagian barat daerah penelitian

memiliki pola sesar yang memotong pola kelurusan disekitar sesar dan

membentuk kecenderungan pergeseran bagian timur Sesar Jatisaba dengan

pergerakan keselatan serta diperkuat dengan adanya anomali strikedip dan satuan

batuan disepanjang sungai yang dipotong oleh Sesar Jatisaba.


118

Gambar 3.47. Diagram stereonet pada OF16

Gambar 3.48. Korelasi Sesar Jatisaba dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar
berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan)

Sesar Jatisaba memotong Satuan Batupasir (Tpbp), Satuan Batupasir

Tufan (Tmbp) dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk) yang berada pada

bagian barat daerah penelitian. Umur sesar diperkirakan terjadi pada saat periode

tektonik pliosen-plistosen dengan tegasan utama barat-timur. Dikorelasikan

dengan data yang didapat dari hasil rekonstruksi pada stasiun OF16, didapat

bahwa arah tegasan yang membentuk Sesar Jatisaba berarah timurlaut-baratdaya

dan dicocokan dengan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan tektonik
119

regional daerah penelitian menyimpulkan bahwa Sesar Tambaknegara merupakan

sesar yang terbentuk pada Orde-2 dalam satu fase tektonik yaitu pliosen-plistosen

sebagai hasil re-work dari sesar yang terjadi pada Orde-1. Sesar ini merupakan

jenis sesar normal right slip (Rickard, 1972).

Gambar 3.49. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody
& Hill, 1959 (kanan)

3.3.4.4. Sesar Mendatar Dekstral Pasanggrahan

Sesar Pasanggrahan terdapat dibagian barat daerah penelitian. Penentuan

dan penarikan sesar ini didasari oleh keterdapatan data primer berupa breksi sesar

dan cermin sesar di OF11 yang memiliki strike dip sesar N 37º E / 76º dan pitch

38º SE yang terdapat pada stasiun ST.10, dan ditunjang dari data sekunder berupa

pergeseran dari data kelurusan DEM, sungai, kontur dan anomali strikedip batuan.

Dari data yang telah disebutkan, dapat diasumsikan bahwa pergerakan Sesar

Sawangan merupakan sesar dominan mendatar dekstral.


120

Gambar 3.50. Diagram stereonet pada OF11 disertai foto pada stasiun ST.10

Gambar 3.51. Korelasi Sesar Pasanggrahan dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar
berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan)

Sesar Pasanggrahan memotong Satuan Batupasir Tufan (Tmbp) dan

Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk) pada bagian barat daerah penelitian.

Dari rekonstruksi data ofset yang ada pada OF11 menggunakan stereonet, Sesar

Pasanggrahan memiliki pola tegasan barat-timur. Berdasarkan data tektonik

regional dan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan tegasan utama yang

berasal dari barat-timur disimpulkan bahwa Sesar Pasanggrahan merupakan sesar

yang terjadi pada orde ke-3 di satu periode tektonik regional yaitu periode
121

tektonik pliosen-plistosen. Sesar ini memiliki jenis sesar Normal Right Slip Fault

berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972.

Gambar 3.52. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody
& Hill 1959 (kanan)

3.3.4.5. Sesar Mendatar Sinstral Ciandong

Sesar Ciandong terdapat dibagian tengah daerah penelitian. Penentuan dan

penarikan sesar ini didasari oleh keterdapatan data primer berupa breksi sesar dan

cermin sesar di stasiun OF3 yang memiliki nilai strike dip sesar N 30º E / 56º dan

memiliki nilai pitch 44ºN , pada stasiun OF2 yang memiliki nilai strike dip sesar

N 49º E / 78º , pada stasiun OF4 yang memiliki nilai strike dip sesar N 30º E / 88º

dan stasiun OF5 yang memiliki nilai strike dip sesar N 47º E / 75º. Selain data

primer, terdapat juga data sekunder berupa pergeseran dari data kelurusan DEM,

sungai, kontur, anomali strike dip batuan dan ditunjang oleh data kekar di stasiun

kekar K1, K2 dan K3. Dari data yang telah disebutkan, dapat diasumsikan bahwa

pergerakan Sesar Ciandong merupakan sesar dominan mendatar sinistral.


122

Gambar 3.53. Diagram stereonet dan foto pada OF2

Gambar 3.54. Diagram stereonet dan foto pada OF3


123

Gambar 3.55. Diagram stereonet dan foto ofset pada OF4

Gambar 3.56. Diagram stereonet dan foto pada OF5

Gambar 3.57. Breksi Sesar pada Sesar Semanding


124

Sesar Ciandong memotong Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk),

Satuan Batupasir Tufan (tmbp) dan Satuan Batupasir (Tpbp) pada bagian tengah

daerah penelitian. Dari rekonstruksi data ofset yang ada pada OF3 menggunakan

stereonet, Sesar Pasanggrahan memiliki pola tegasan utara-selatan. Berdasarkan

data tektonik regional dan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan tegasan

utama yang berasal dari utara-selatan disimpulkan bahwa Sesar Pasanggrahan

merupakan sesar yang terjadi pada orde ke-1 di satu periode tektonik regional

yaitu periode tektonik pliosen-plistosen. Sesar ini memiliki jenis sesar Reverse

Left Slip Fault berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972.

Gambar 3.58. Korelasi Sesar Ciandong dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar
berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan)
125

Gambar 3.59. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody
& Hill 1959 (kanan)

3.3.4.6. Sesar Mendatar Sinistral Tipar

Sesar Tipar terdapat dibagian selatan daerah penelitian. Penentuan dan

penarikan sesar ini didasari oleh keterdapatan data primer berupa breksi sesar dan

cermin sesar di stasiun OF7 yang memiliki nilai strike dip sesar N 10º E / 86º dan

memiliki nilai pitch 40ºN. Selain data primer, terdapat juga data sekunder berupa

pergeseran dari data kelurusan DEM, sungai, kontur dan anomali persebaran

batuan. Dari data yang telah disebutkan, dapat diasumsikan bahwa pergerakan

Sesar Tipar merupakan sesar dominan mendatar sinistral.


126

Gambar 3.60. Diagram stereonet dan foto cermin sesar pada OF7

Sesar Tipar memotong Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk),

Satuan Batupasir Tufan (tmbp) dan Satuan Batupasir (Tpbp) pada bagian selatan

daerah penelitian. Dari rekonstruksi data ofset yang ada pada OF7 menggunakan

stereonet, Sesar Tipar memiliki pola tegasan kompresional baratlaut-tengara dan

ekstensional pada arah timurlaut-baratdaya. Berdasarkan data tektonik regional

dan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan tegasan utama yang berasal

dari baratlaut-tenggara disimpulkan bahwa Sesar Tipar merupakan sesar yang

terjadi pada orde ke-3 di satu periode tektonik regional yaitu periode tektonik

pliosen-plistosen. Sesar ini memiliki jenis sesar Reverse Left Slip Fault

berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972.


127

Gambar 3.61. Korelasi Sesar Tipar dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar
berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan)

Gambar 3. 62. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody
& Hill 1959 (kanan)

3.3.4.7. Sesar Mendatar Dekstral Kedungpasung

Sesar Kedungpasung terdapat dibagian tengah daerah penelitian.

Penarikan Sesar Kedungpasung berdasarkan data primer berupa offset litologi

pada stasiun OF7 yang memiliki strikedip sesar N 42º E / 81º menunjukan

pergeseran relatif menganan yang diakibatkan oleh gaya dominan kompresional


128

dari arah relatif barat-timur dan tensional cenderung utara-selatan. Ditunjang oleh

data sekuder, Sesar Kedungpasung yang berada dibagian tengah daerah penelitian

memiliki pola sesar yang memotong pola kelurusan disekitar sesar dan

membentuk kecenderungan pergeseran bagian timur Sesar Kedungpasung dengan

pergerakan keselatan serta diperkuat dengan adanya anomali strikedip dan satuan

batuan disepanjang sungai yang dipotong oleh Sesar Kedungpasung. Pada gambar

stereonet ini diasumsikan nilai pitch 0.

Gambar 3.63. Diagram stereonet dan foto ofset pada OF6

Gambar 3.64. Korelasi Sesar Kedungpasung dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar
berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan)
129

Sesar Kedungpasung memotong Satuan Batupasir (Tpbp), Satuan

Batupasir Tufan (Tmbp) dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk) yang

berada pada bagian tengah daerah penelitian. Umur sesar diperkirakan terjadi pada

saat periode tektonik pliosen-plistosen dengan tegasan utama utara-selatan.

Dikorelasikan dengan data yang didapat dari hasil rekonstruksi pada stasiun OF6,

didapat bahwa arah tegasan yang membentuk Sesar Kedungpasung berarah barat-

timur dan dicocokan dengan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan

tektonik regional daerah penelitian menyimpulkan bahwa Sesar Tambaknegara

merupakan sesar yang terbentuk pada Orde-2 dalam satu fase tektonik yaitu

pliosen-plistosen sebagai hasil re-work dari sesar yang terjadi pada Orde-1. Sesar

ini merupakan jenis sesar right slip (Rickard, 1972).

Gambar 3.65. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody
& Hill 1959 (kanan)
130

3.3.4.8. Sesar Mendatar Dekstral Tambaknegara

Sesar Tambaknegara terdapat dibagian timur daerah penelitian. Penarikan

Sesar Tambaknegara berdasarkan data primer berupa offset litologi pada stasiun

OF10 yang memiliki strikedip sesar N 198º E / 36º menunjukan pergeseran relatif

menganan yang diakibatkan oleh gaya dominan kompresional dari arah relatif

barat-timur dan tensional cenderung utara-selatan. Ditunjang oleh data sekuder,

Sesar Tambaknegara yang berada dibagian timur daerah penelitian memiliki pola

sesar yang memotong pola kelurusan disekitar sesar dan membentuk

kecenderungan pergeseran bagian timur Sesar Tambaknegara dengan pergerakan

keselatan serta diperkuat dengan adanya anomali strikedip dan satuan batuan

disepanjang sungai yang dipotong oleh Sesar Kedungpasung dan ditunjang oleh

data kekar K4. Pada gambar stereonet ini diasumsikan nilai pitch 0.

Gambar 3.66. Diagram stereonet pada OF10


131

Gambar 3.67. Korelasi Sesar Tambaknegara dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar
berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan)

Sesar Tambaknegara memotong Satuan Batupasir (Tpbp), Satuan

Batupasir Tufan (Tmbp) dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk) yang

berada pada bagian timur daerah penelitian. Umur sesar diperkirakan terjadi pada

saat periode tektonik pliosen-plistosen dengan tegasan utama utara-selatan.

Dikorelasikan dengan data yang didapat dari hasil rekonstruksi pada stasiun

OF10, didapat bahwa arah tegasan yang membentuk Sesar Tambaknegara berarah

barat-timur dan dicocokan dengan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan

tektonik regional daerah penelitian menyimpulkan bahwa Sesar Tambaknegara

merupakan sesar yang terbentuk pada Orde-2 dalam satu fase tektonik yaitu

pliosen-plistosen sebagai hasil re-work dari sesar yang terjadi pada Orde-1. Sesar

ini merupakan jenis sesar right slip (Rickard, 1972).


132

Gambar 3.68. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody
& Hill 1959 (kanan)

3.3.4.9. Sesar Mendatar Dekstral Serayu

Sesar Serayu terdapat dibagian timur daerah penelitian. Penarikan Sesar

Serayu Hanya terbatas oleh data sekuder, Sesar Serayu yang berada dibagian

timur daerah penelitian memiliki pola sesar yang memotong pola kelurusan

disekitar sesar dan membentuk kecenderungan pergeseran bagian barat Sesar

Serayu dengan pergerakan keselatan serta diperkuat dengan adanya anomali

strikedip dan satuan batuan serta kelurusan sungai, maka sesar ini dapat

diasumsikan terjadi pada orde ke-2, sejajar dengan Sesar Tambaknegara fakta

dilapangan, daerah yang tersesarkan ini sudah menjadi bendungan dengan aluviun

yang megisi zona lemah dari sesar tersebut.

Umur sesar diperkirakan terjadi pada saat periode tektonik pliosen-

plistosen dengan tegasan utama utara-selatan dicocokan dengan model sesar

mendatar Moody & Hill, 1959 dan tektonik regional daerah penelitian

menyimpulkan bahwa Sesar Serayu merupakan sesar yang terbentuk pada Orde-2
133

dalam satu fase tektonik yaitu pliosen-plistosen sebagai hasil re-work dari sesar

yang terjadi pada Orde-1. Sesar ini merupakan jenis sesar right slip (Rickard,

1972).

Gambar 3.69. Kenampakan peta DEM dari Sesar Serayu

Gambar 3.70. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody
& Hill 1959 (kanan)
134

3.4. Sejarah Geologi

Berdasarkan hasil analisis Stratigrafi dan Struktur Geologi yang telah

dibahas pada sub-bab sebelumnya dapat dijelaskan sejarah geologi daerah

penelitian mulai dari Miosen Tengah hingga saat ini.

Dimulai pada kala Miosen Tengah, daerah penelitian merupakan zona

yang berada dibawah permukaan laut dengan diawali dengan pembentukan Satuan

Breksi, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan Satuan Batupasir Tufan yang

diendapkan secara selaras pada zona batimetri dari Bathyal Tengah hingga Neritik

Luar dengan arus turbidit pada slope dengan penciri dari keterdapatan struktur

sedimen yang ada disertai dengan kenaikan muka air laut (transgresi) yang secara

berutan terendapkan dari material paling kasar berangsur menjadi material halus

yang membawa material-material vulkanik dari hasil letusan gunung api sebelum

miosen tengah dengan posisi dari bawah ke atas secara berurutan yaitu Satuan

Breksi, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan Satuan Batupasir Tufan hingga

kala Miosen Akhir-Pliosen Awal yang disebandingkan dengan Formasi Halang

(Djurie, 1996).

Pada Kala Miosen Akhir-Pliosen Awal muka air laut berubah yang

awalnya naik (transgresi) menjadi turun (regresi). Sebelum pengendapan Satuan

Breksi, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan Satuan Batupasir Tufan terhenti,

diendapkan lagi material pasir yang mengandung foraminifera dan moluska

namun tidak disertai dengan material vulkanik seperti pengendapan sebelumnya.

Material ini diendapkan pada zona batimetri Neritik Dalam hingga Neritik Luar

pada zona pasang surut yang dicirikan dengan keterdapatan pecahan-pecahan


135

cangkang moluska yang diinterpretasikan sebagai akibat energy yang kuat dari

arus pasang surut zona intertidal (Kurniawan, 2012) dengan suksesi batuan

cenderung menghalus keatas. Endapan ini menghasilkan Satuan Batupasir

berumur Pliosen yang disebandingkan dengan Formasi Tapak (Djurie, 1996).

Pada kala Pliosen-Plistosen terjadi proses tektonik penting di pulau Jawa

yang juga mempengaruhi keadaan daerah penelitian dengan arah tegasan utama

relatif utara-selatan dengan sudut pergeseran 10-20º dari arah utara menuju timur

(situmorang, 1976). Daerah penelitian ini mengalami perlipatan dan pensesaran

sesuai dengan arah tegasan utama yang diawali pembentukan lipatan pada semua

satuan yang telah diendapkan sebelumnya yang memiliki trend cenderung

baratlaut-tenggara, lalu dikarenakan tingkat plastisitas batuan sudah mencapai

batasnya, batuan yang sebelumnya mengalami perlipatan pun akhirnya tersesarkan

berupa sesar naik dengan bagian selatan sebagai hanging wall atau bagian yang

bergerak keatas, selanjutnya diikuti dengan sesar-sesar mendatar baik sesar

mendatar sinistral maupun sesar mendatar dekstral yang secara berurutan dari

sesar mendatar orde pertama, diikuti orde kedua dan seterusnya seperti yang telah

dibahas pada sub-bab sebelumnya. Periode tektonik ini dikenal sebagai tektonik

periode Pliosen-Plistosen. Setelah periode tektonik ini berakhir, yang terjadi pada

daerah penelitian adalah proses erosi.

Proses erosi yang terjadi pada seluruh bagian dari daerah penelitian. Hasil

erosi ini kemudian diendapkan pada daerah rendah sebagai material lepas yang

sekarang disebut alluvium. Aluvium ini disebandingkan dengan Endapan

Aluvium (Djurie, 1996)


136

Gambar 3. 71. Tabel Sejarah Geologi Daerah Penelitian

3.5. Sumberdaya dan Kebencanaan Geologi

3.5.1. Potensi Sumber Daya Geologi

Pada daerah penelitian terdapat bahan galian ekonomis berupa bahan

galian C berupa pasir, kerikil, dan bongkah batu beku. Pasir kerikil dan batuan

beku dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai bahan campuran semen,

bahan timbunan jalan dan bangunan, sedangkan batupasir tufan digunakan sebagai

bahan pembuat batako. Penambangan bahan galian tersebut masih dilakukan oleh

penduduk dengan membergunakan alat sederhana. Selain dari bahan galian, pada
137

daerah penelitian juga terdapat potensi Geowisata pada kali Serayu yang saat ini

telah menjadi sarana rekreasi warga sekitar.

Gambar 3.72. Salah satu produsen batako didaerah penelitian

3.5.2. Potensi Kebencanaan Geologi

Berdasarkan pengamatan langsung di Lapangan, dapat disimpulkan bahwa

daerah penelitian memiliki potensi kebencanaan geologi berupa Longsor, Gempa

dan Banjir. Ketiga hal tersebut sangat erat kaitannya dengan geomorfologi, jenis

litologi dan struktur geologi di daerah penelitian. Berdasarkan jenis litologinya,

daerah-daerah dengan litologi berbutir halus, yakni batupasir dan lempung yang

berada pada tebing dapat menimbulkan longsor. Selain itu banyaknya struktur

didaerah penelitian memungkinkan tereaktifasi kembali dan daerah penelitian

mengalami gempa. Mengacu pada Endapan Aluvium hampir sebesar 50%

dikarenakan morfologi yang datar atau sangat landau, memungkinkan keterjadian

banjir apabila debit air tidak sebanding dengan tingkat resapan air.
BAB IV

RANGKUMAN

Berdasarkan hasil penelitian lapangan, rekonstruksi data, dan hasil analisis

laboratorium, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi geologi Daerah Purwokerto

dan sekitarnya, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah

adalah sebagai berikut :

1. Geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi 4 satuan satuan

geomorfologi, yaitu :

a. Satuan Geomorfologi Pedataran Aluvium,

b. Satuan Geomorfologi Pedataran Sedimen Landai,

c. Satuan Geomorfologi Perbukitan Sedimen Agak Curam,

d. Satuan Geomorfologi Perbukitan Sedimen Curam.

2. Litologi penyusun daerah penelitian dapat dibagi menjadi lima satuan

batuan, yang diurutkan dari tua ke muda sesuai litostratigrafi tidak resmi

yaitu :

a. Satuan Breksi (Tmb) berumur Miosen Tengah

b. Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbph) berumur Miosen

Tengah- Miosen Akhir

c. Satuan Batupasir Tufan (Tmbp) berumur Miosen Tengah-Miosen

Akhir

138
139

d. Satuan Batupasir (Tpbp) berumur Pliosen

e. Endapan Aluvium (Ka) berumur Kwarter

3. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terjadi pada

periode tektonik Pliosen - Plistosen yaitu :

a. Lipatan :

 Sinklin Jatisaba

 Sinklin Sawangan Kidul

 Sinklin Tipar

 Antiklin Karangcengis

 Antiklin Karangendep

 Antiklin G.Payung

 Antiklin Tipar

 Antiklin Penjogol

b. Sesar :

 Sesar Naik Karangendep

 Sesar Naik Mandirancan

 Sesar Mendatar Dekstral Jatisaba

 Sesar Mendatar Dekstral Pasanggrahan

 Sesar Mendatar Sinistral Ciandong

 Sesar Mendatar Sinistral Tipar

 Sesar Mendatar Dekstral Kedungpasung

 Sesar Mendatar Dekstral Tambaknegara

 Sesar Mendatar Dekstral Serayu


140

4. Sejarah Geologi daerah penelitian dimulai pada Miosen Tengah dengan

terbentuknya Satuan Breksi yang terendapkan pada lingkungan laut. Pada

Miosen Tengah hingga Miosen Akhir terjadi penaikan muka air laut

dengan diikuti pengendapan material klastik yang lebih halus pada

lingkungan laut yaitu pada zona batimetri bathiyal tengah sampai bathyal

atas, hasil endapan ini dikelompokkan dalam Satuan Batupasir Tufan

Karbonatan dan Satuan Batupasir Tufan. Dikarenakan pengendapan kedua

Satuan ini dilakukan secara bersamaan sehingga hubungan stratigrafinya

adalah selaras menjemari. Pada akhir Miosen Akhir terjadi penurunan

muka air laut yang disertai pengendapan material klastik pada lingkungan

laut yaitu pada zona batimetri neritik luar sampai neritik tengah, hasil

endapan ini dikelompokan dalam Satuan Batupasir. Pada periode tektonik

Pliosen - Plistosen terjadi proses perlipatan dan pensesaran dengan gaya

relatif utara-selatan. Satuan Breksi, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan,

Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Batupasir pada daerah penelitian ini

terlipat menghasilkan Antiklin dan Sinklin. Pada periode ini tekanan yang

berarah relatif utara-selatan masih terus berlanjut yang menyebabkan

batuan terlipat sebelumnya terpatahkan oleh sesar naik Karangendep dan

Sesar naik Mandirancan. Akibat tekanan yang kuat dari periode tektonik

Pliosen - Plistosen ini, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan, Satuan

Batupasir Tufan dan Satuan Batupasir pada daerah penelitian terpotong

oleh sesar - sesar mendatar, yaitu Sesar Jatisaba, Pasanggarahan,

Ciandong, Tipar, Kedungpasung, Tambaknegara dan Serayu. Pada


141

Plistosen sampai Holosen proses pengangkatan terus berlanjut yang

menyebabkan daerah penelitian menjadi daratan. Pada tahap ini juga

terjadi proses erosi.

5. Potensi sumberdaya geologi pada daerah penelitian terdapat bahan galian

ekonomis berupa bahan galian C berupa pasir, kerikil, dan bongkah batu

beku. Pasir kerikil dan batuan beku dimanfaatkan oleh penduduk setempat

sebagai bahan campuran semen, bahan timbunan jalan dan bangunan,

sedangkan batupasir tufan digunakan sebagai bahan pembuat batako.

Penambangan bahan galian tersebut masih dilakukan oleh penduduk

dengan membergunakan alat sederhana. Selain dari bahan galian, pada

daerah penelitian juga terdapat potensi Geowisata pada kali Serayu yang

saat ini telah menjadi sarana rekreasi warga sekitar.

6. Potensi kebencanaan pada daerah penelitian berupa gempa bumi dan tanah

longsor. Gempa bumi dapat terjadi akibat aktifitas tektonik yang masih

aktif sedangkan tanah longsor berkaitan dengan jenis litologi, struktur

geologi dan geomorfologi daerah penelitian. Jenis litologi yang

berkembang yaitu litologi berbutir halus yang memiliki potensi terkena

longsor. Selain itu mengacu kepada keterdapatan endapan Aluvium cukup

besar hampir 50% yang merupakan endapan limpahan banjir pada

umumnya, maka daerah penelitian pada Satuan Geomorfologi pedataran

aluvium dimungkinkan terkena banjir apabila mengalami hujan dengan

debit air yang besar.


DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, R.W. Van. 1949. The Geology of Indonesia, volume I.A. The Hague
Martinus Nijhoff, Netherland.

Boggs, Sam, Jr. 1995. Principles of Sedimentology and Stratigraphy, second


edition. Prentice Hall Englewood Cliffs, New Jersey.

Bolli, W.H., Saunders, J.B., Perc-Nielsen, K. 1986. Plankton Stratigraphy.


Cambridge University.

Compton, R.R. 1985. Geology In The Field. John Wiley & Sons Inc., New York,
Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore.

Gillespic, M.R., and Styles, M.T. 1999, Classification of igneous rocks. Dalam :
BGS Rock Classification Scheme, Volume I, British Geological
Survey Research Report (2nd edition), British Geological Survey,
Keyworth, Nottingham NG12, 5GG, UK, h.1-52.

Haryanto, Iyan. 2003. Geologi Struktur. Program Studi Teknik Geologi, Jurusan
Geologi, Fakultas Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Tidak Diterbitkan.

Kurniawan, I., Aswan, Waluyo, G. Studi Lingkungan Pengendapan Formasi


Tapak daerah Rajawana dan Sekitarnya, Kecamatan Karangmoncol,
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. 2012.JTM.

Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. IAGI.

M.Djuri dkk, dkk. 1996. Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal. Departemen
Pertambangan dan Energi, Direktorat Jendral Geologi dan
Sumberdaya Mineral, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Indonesia.

Martodjojo, Soejono. 1984. Evolusi Cekungan Bogor. Desertasi, Program Pasca


Sarjana, Institut Teknologi Bandung, Tidak Diterbitkan.

Moody, J.D dan M.J Hill.1956. Wrench-Fault Tectonics. Bulletin Of The


Geological Society Of America.

142
143

Mutti, E., Roberto T., Eduard R., Nicola M., Stefano Angella and Luca F. An
Introduction To The Analysis Of Ancient Turbidite Basins From An
Outcrop Perspective.1999. The American Association of Petroleum
Geologists : Oklahoma.

Nichols, Gary. 2009 , Sedimentology and Stratigraphy Second Edition,


Blackwell, UK.

Pettijohn, F. J. 1975. Sedimentary Rock. Harper and Row, Publishers, New York,
Evanston, San Francisco, and London.

Raymond, L. A. 1995. The Study of Igneous, Sedimentary, and Metamophic


Rocks. Second Edition, Appalachian State University.

S. Asikin, dkk. 1992. Geologi Lembar Banyumas. Departemen Pertambangan dan


Energi, Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Indonesia.

Situmorang,dkk. 1976. Tectonic Significance with Relation to Wrench Fault


Tectonic. AAPG, Annual Meeting, Washington DC.

Travis.1955. Classification for Igneous Rock.unknown.

Tucker, Maurice E. 1982. The Field Description of Sedimentary Rocks. John

Wiley & Sons Inc., New York, Toronto.

Walker, Roger. G dan James, Noel.P.,1992. Facies Models Response To Sea Level

Change. Geological Association of Canada. Kanada

Zuidam Van, R.A. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and


Geomorfologic Mapping, Smith Publisher, The Haque, Amsterdam.

Anda mungkin juga menyukai