Perkawinan campuran adalah Perkawinan antara dua orang yang berbeda Kewarganegaraan” (pasal 57). Dari definisi pasal 57 UU Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut: a. perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita; b. di Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda; c. karena perbedaan kewarganegaraan; d. salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur kedua menunjukkan kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang kawin itu. Tetapi perbedaan itu bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena unsur ketiga karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat bahwa salah satu kewarganegaraan itu ialah kewarganegaraan Indonesia. Tegasnya perkawinan campuran menurut UU ini adalah perkawinan antar warganegara Indonesia dan warganegara asing. Karena berlainan kewarganegaraan tentu saja hukum yang berlaku bagi mereka juga berlainan.
B. Syarat-syarat dan Pelangsungan Perkawinan Campuran
Apabila perkawinan campuran itu dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran dilakukan menurut UU Perkawinan (pasal 59 ayat 2) yang menyatakan: bahwa perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Pasal 60 ayat 1 menyatakan: Mengenai syarat-syarat perkawinan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak. Pasal 60 ayat 2 menyatakan: Pejabat yang berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak ialah pegawai pencatat menurut hukum masing-masing pihak. Pasal 60 ayat 3 menyatakan: Apabila pegawai pencatat menolak memberikan surat keterangan itu, yang berkepentingan itu mengajukan permohonan kepada Pengadilan, dan pengadilan memberikan keputusannya. Jika keputusan pengadilan itu menyatakan bahwa penolakkan itu tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti surat keterangan tersebut. Setelah surat keterangan Pengadilan atau keputusan Pengadilan diperoleh, maka perkawinan segera dilangsungkan. Pelangsungan perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Bagi yang beragama islam, menurut hukum islam yaitu dengan upacara akad nikah, sedangkan bagi agama yang bukan islam dilakukan menurut hukum agamanya itu. Dengan kata lain supaya dapat dilakukan akad nikah menurut agama islam, kedua mempelai harus beragama islam. Supaya dapat dilakukan upacara perkawinan menurut catatan sipil, kedua pihak yang kawin itu harus tunduk ketentuan upacara catatan sipil. Pelangsungan perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat. Ada kemungkinan setelah mereka memperoleh surat keterangan atau putusan Pengadilan, perkawinan tidak segera mereka lakukan. Apabila perkawinan mereka tidak dilangsungkan dalam masa enam bulan sesudah keterangan atau putusan itu diberikan, maka surat keterangan atau putusan pengadilan itu tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5).
C. Tata Cara Perkawinan Campuran
Bagi Warga Negara Asing yang akan melakukan perkawinan campuran di Indonesia, maka yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) Fotokopi paspor yang sah; 2) Surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon; 3) Surat Status dari catatan sipil negara pemohon; 4) Pasfoto uuran 2x3 sebanyak 3 lembar; 5) Kepastian kehadirin wali atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA Wanita; 6) Membayar biaya pencatatan. Bagi pihak WNI harus memenuhi mekanisme pelayanan pernikahan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. 1). Calon pengantin datang ke kantor kepala desa/ kelurahan untuk mendapatkan : a. Surat Keterangan untuk nikah (N.1) b. Surat Keterangan asal usul (N.2) c. Surat Persetujuan mempelai (N.3) d. Surat Keterangan tentang orang tua (N.4) e. Surat pemberitahuan kehendak nikah (N.7). 2). Calon Pengantin datang ke Puskesmas untuk mendapatkan : a. Imunisasi Tetanus Toxsoid 1 bagi calon pengantin wanita, b. Kartu imunisasi, c. Imunisasi Tetanus Toxoid II Setelah proses pada poin (1) dan (2) selesai, calon pengantin datang ke KUA kecamatan, untuk : 1. Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis ( menurut model N7), apabila calon pengantin berhalangan pemberitahuan nikah dapat dilakukan oleh wali atau wakilnya; 2. Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebagai berikut (1) Pernikahan yang dilaksanakan di balai nikah/ kantor KUA, (2) Pernikahan yang dilaksanakan di luar balai nikah/ Kantor KUA. di tambah biaya nikah sesuai ketentuan yang ditetapkan Kepala Kanwil/ Kantor Departemen Agama masing- masing daerah. 3. Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan oleh penghulu. a. Surat keterangan untuk nikah menurut N.1 b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa/ pejabat setingkat menurut model N2; c. Persetujuan kedua calon mempelai menurut model N3, d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/ pejabat setingkat menurut model N4, e. Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun menurut model N5. f. Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud angka 5 di atas diperlukan izin dari pengadilan. g. Pasfoto masing-masing 3x2 sebanyak 3 lembar. h. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun. i. Jika calon mempelai anggota TNI/POLRI diperlukan surat izin dari atasanya atau kesatuannya. j. Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang. k. Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-undang nomor 7 tahun 1989. l. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/istri dibuat oleh kepala desa/ lurah atau pejabat yang berwenang yang menjadi dasar pengisian model N6 bagi janda/duda yang akan menikah. m. Surat ganti nama bagi warganegara Indonesia keturunan. 4. Penghulu sebagai PPN memasang pengumuman kehendak nikah selama 10 hari sejak saat pendaftaran. 5. Calon pengantin wajib mengikuti kursus calon pengantin selama 1 hari. 6. Calon pengantin memperoleh sertifikat kursus calon pengantin. 7. Pelaksanaan akad nikah dipimpin oleh penghulu. 8. Penghulu segera menyerahkan buku nikah kepada pengantin setelah pelaksanaan akad nikah. 9. Pendaftaran kehendak nikah diajukan kepada KUA kecamatan minimal 10 hari kerja sebelum pelaksanaan pernikahan.
D. Pengertian Perkawinan Antar Agama Menurut Undang-Undang
Perkawinan menurut UUP ialah Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa, yang menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita. Perkawinan tersebut akan diakui sah oleh negara bilamana pelaksanaannya adalah memperhatikan ketentuan dari Pasal 2 UUP, yaitu sebagai berikut: 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan berdasarkan bunyi UUP harus dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan dari mempelai yang akan melangsungkan pernikahan tersebut, dan selanjutnya untuk yang beragama Islam maka pencatatannya dilakukan di Kantor Urusan Agama, sedangkan untuk yang non-muslim pencatatannya dilakukan dihadapan Kantor Catatan Sipil. Dalam UUP sendiri pengertian perkawinan antar agama tidak diketemukan yang ada hanyalah perkawinan campuran yang terdapat dalam Pasal 57 UUP yang menyatakan bahwa perkawinan campuran itu suatu perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya berkewarganegaraan Indonesia. Melihat pengertian di atas jelas bahwa pengertian perkawinan campuran di dalam undang- undang perkawinan hanya memandang dalam pengertian yang lebih khusus. Rumusan dalam Pasal 57 mengenai apa yang dimaksud dengan perkawinan campur dapat juga diketemukan dalam peraturan perundang- undangan sebelum UUP yaitu peraturan tentang perkawinan campuran yang terdapat dalam GHR. Peraturan mengenai perkawinan campuran yang terdapat dalam GHR dapat diberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal 66 UUP yang memberikan suatu kelonggaran, yaitu agar tidak tercipta suatu kondisi kekosongan hukum. Untuk lebih mendapat gambaran yang lebih tegas antara peraturan perkawinan campuran yang terdapat dalam GHR dengan peraturan perkawinan campuran yang terdapat dalam UUP, maka berikut akan dijabarkan lebih lanjut mengenai kedua peraturan tersebut.