Anda di halaman 1dari 12

Nama Peserta : dr.

Riski Fitriani
Nama Wahana : BLUD RSUD H. Padjonga Daeng Ngalle, Kabupaten Takalar
Topik : Pneumothoraks spontan sekunder
Tanggal (kasus): 23 Mei 2020
Nama Pasien : Tn. J
Jenis Kelamin : Laki-laki No. RM : 306176
Umur : 61 tahun
Tanggal Presentasi : Juli 2020 Pendamping : dr. Irmastuti, MARS
Tempat Presentasi: Ruang Pertemuan RSUD H. Padjonga Daeng Ngalle Kabupaten Takalar
Objek Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:
 Laki-laki, 61 tahun

 Sesak yang tidak dipengaruhi oleh posisi secara tiba-tiba sejak ±2 jam sebelum masuk
rumah sakit

1  Nyeri dada kanan saat Tarik napas

 Disertai batuk berdahak sejak lama.

 Tekanan darah 170/110 mmHg.

Tujuan : Menegakkan diagnosis pneumothoraks spontan sekunder dan penatalaksanaan awalnya


Tinjauan
Bahan Bahasan : Riset Kasus Audit
pustaka
Presentasi dan
Cara Membahas : Diskusi E-mail Pos
diskusi

Data Pasien Tn. J No. RM : 306176


Nama tempat RSUD H. Padjonga Dg.Ngalle Terdaftar sejak : 23 Mei 2020
Data utama untuk bahan diskusi :
A. KELUHAN UTAMA

Sesak

B. ANAMNESIS TERPIMPIN
Keluhan dialami sejak ± 2 jam sebelum masuk rumah sakit secara tiba-tiba. Sesak tidak
dipengaruhi oleh posisi. Keluhan Nyeri dada ada, terutama sebelah kanan saat menarik
napas. Keluhan disertai batuk disertai dahak berwarna putih kekuningan yang dialami
sejak lama, sekitar hamper setahun. Tidak ada riwayat bercak darah pada dahak. Riwayat
demam ada kadang-kadang, demam naik turun. Tidak ada keluhan keringat di malam
hari. Tidak ada penurunan berat badan.
Riwayat kesehatan/penyakit
Riwayat didiagnosis TB dan konsumsi obat anti tuberkulosis tidak ada.
Riwayat perokok berat ada, sekitar 1 bungkus perhari.
Riwayat kontak dengan orang yang mempunyai riwayat batuk lama tidak jelas
Riyawat Hipertensi ada, namun tidak berobat teratur.
Riwayat keluarga
Riwayat keluhan atau penyakit yang sama pada keluarga tidak ada.

Lain-lain
Tidak ada

Daftar Pustaka

1. Henry M, Arnold T, et al. BTS guideline for the management of spontaneous


pneumothorax. Thorax. 2003;58(Suppl II):ii39-ii52.
2. Michael H. Baumann MD, FCCP, Charlie Strange MD, FCCP, et al. Management of
2
Spontaneous Pneumothorax An American College of Chest Physicians (ACCP) Delphi
Consensus Statement. CHEST. 2001;119:590-602.
3. MD Masoud Shamaei, MD Payam Tabarsi, et al. Tuberculosis-associated secondary
pneumothorax: A retrospective study of 53 patients. Respiratory Care. 2011;56(3):298-
302.
4. Raviglione Mario C. Tuberculosis. In: Kasper Dennis L., Hauser Stephen L., et al., editors.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 19 ed. New York: McGraw-Hill Companies,
Inc; 2015.
5. Onuki Takuya, Ueda Sho, et al. Primary and secondary spontaneous pneumothorax:
Prevalence, clinical features, and in-hospital mortality. Canadian Respiratory Journal.
2017.
6. Mackenzie S. J., Gray A. Primary spontaneous pneumothorax: why all the confusion over
first-line treatment? Journal of Royal College of Physicians of Edinburgh. 2007;37:335-8.
7. Choi Won-Il. Pneumothorax. Tuberc Respir Dis. 2014;76:99-104.
8. Daley Brian J. Pneumothorax: Medscape; 2018 [cited 2019 7 October].
9. Herring William. Learning Radiology: Recognizing The Basics. 3 ed. Philadelphia:
Elsevier; 2016.
10. Subuh Mohammad, Prohutomo Sigit. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. In:
Indonesia Kementerian Kesahatan Republik, editor. Jakarta2014.

RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO:

A. SUBJEKTIF

Seorang laki-laki usia 61 tahun datang dengan keluhan sesak dialami sejak ± 2 jam
sebelum masuk rumah sakit secara tiba-tiba. Sesak tidak dipengaruhi oleh posisi. Keluhan
Nyeri dada ada, terutama saat akan menarik napas. Keluhan disertai batuk disertai dahak
berwarna putih kekuningan yang dialami sejak lama, sekitar 1 tahun. Tidak ada bercak
darah pada dahak. Riwayat demam ada kadang-kadang, demam naik turun. Tidak ada
keluhan keringat di malam hari. Tidak ada penurunan berat badan. Riwayat didiagnosis
tuberkulosis dan konsumsi obat anti tuberkulosis disangkal. Riwayat perokok berat ada,
sekitar 1 bungkus perhari. Riwayat kontak dengan orang yang mempunyai riwayat batuk
lama tidak jelas. Riyawat Hipertensi ada, namun tidak berobat teratur. Riwayat DM
disangkal.
B. OBJEKTIF

3
Status generalisata : sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
Status vitalis:
Tekanan darah : 170/110 mmHg
Frekuensi nadi : 98 x/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi pernapasan : 32 x/menit
Suhu : 36,5oC

Pemeriksaan Fisik

 Kepala : Konjungtiva anemis : -/-


Sklera ikterus : tidak ada
Bibir sianosis : tidak
 Leher: JVP = R + 1 cmH2O
Nyeri tekan : tidak ada
Massa tumor : tidak ada
Pembesaran KGB : tidak ada
 Paru-paru
Inspeksi : Pengembangan dada tidak simetris, dengan dada sebelah kanan
tertinggal saat pergerakan napas.
Palpasi : Tactile fremitus menurun pada dada kanan
Perkusi : Dada kanan lebih sonor dibandingkan dada kiri
Auskultasi : Suara napas menurun pada dada kanan, vocal fremitus menurun pada
dada kanan, wheezing dan rhonki tidak ada

 Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas-batas jantung sulit dinilai
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni, reguler, murmur tidak ada
 Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Perkusi : Timpani

Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak ada, hepar dan lien tidak
teraba
4
 Ekstremitas : Akral hangat, edema pretibial tidak ada
Pemeriksaan Penunjang
 Foto X-ray toraks posisi posteroanterior
 Laboratorium (23 - Mei - 2020)

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan


WBC 22.8 4.00-10.0
RBC 4.23 3.80-5.80
HGB 14.8 12.0-16.0
PLT 375 150-400

C. ASSESSMENT

Berdasarkan anamnesis, didapatkan gejala klinis bermakna berupa sesak yang dirasakan
5 secara tiba-tiba sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak dipengaruhi posisi,
trauma, dan stres. Nyeri dada ada, terutama saat akan menarik napas. Batuk ada dialami sejak
1 tahun terakhir, disertai dahak berwarna putih kekuningan. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan gerakan dada tidak simetris, dada kanan tertinggal saat ekspirasi, tactile fremitus
menurun pada dada kanan. Dada kanan terkesan lebih sonor dibandingkan dada kiri, suara
napas pada dada kanan menurun, dan vocal fremitus pada dada kanan menurun.

Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan peningkatan WBC 22.800/mm3. Pada


pemeriksaan foto x-ray toraks posisi posteroanterior, ditemukan gambaran shift trakea ke sisi
kiri, hiperlusen avaskuler disertai gambaran pleural white line pada hemitoraks kanan, bercak
infiltrate & berselubung pada paracardial kedua paru, fibrosis pada lobus superior paru
sinistra, jantung bergeser ke kiri, efusi pleura bilateral minimal. Sehingga, berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien ini didiagnosis dengan
Pneumotoraks Spontan Sekunder ec. Suspek TB paru DD PPOK

D. PLANNING

• Inform Consent
• IVFD RL 16 tpm
• O2 via NRM 6-8 lpm
• Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
• Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
• Inj. Dexamethason 5 mg/8 jam/IV
• Inj. Furosemide 40mg/ extra IV
• Asetil sistein 200 mg 3 x 1
• Konsultasi ke Dokter Spesialis Bedah > Rujuk untuk tindakan lebih lanjut

E. TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Pneumotoraks adalah keadaan dimana terdapat udara dalam cavum pleura, ruang
antara paru dan dinding dada. Pada kondisi normal, cavum pleura tidak terisi udara
sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pneumotoraks
dapat terjadi spontan atau traumatik. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer dan
sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dibagi dua yaitu iatrogenik dan non

6
iatrogenik.(1)

Pneumotoraks spontan adalah pneumotoraks yang terjadi tanpa didahului trauma


toraks. Pneumotoraks spontan primer terjadi ketika tidak terdapat penyakit paru yang
mendasarinya. Pneumotoraks spontan sekunder terjadi ketika terdapat penyakit paru yang
mendasarinya. Sebagian besar kasus pneumotoraks spontan sekunder terjadi berhubungan
dengan adanya Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Tetapi, penelitian terbaru melaporkan
bahwa penumotoraks dapat ditemukan pada setiap penyakit paru.(2)

Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab pneumotoraks, terutama tuberkulosis


berat, dan membutuhkan penanganan bedah.(3) Tuberculosis merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.(4) Pada tahun 2011, Indonesia
(dengan 0.38 – 0.54 juta kasus) menempati urutan keempat setelah India, Cina, Afrika
Selatan untuk kasus TB terbanyak. Indonesia merupakan negara dengan beban tinggi TB
pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Millenium Development Goals
(MDG) untuk penemuan kasus TB di atas 70% dan angka kesembuhan 85% pada tahun
2006.(5, 6)

Etiologi
Pneumotoraks, berdasarkan mekanisme yang mendasari, dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu pneumotoraks spontan dan traumatik. Pneumotoraks spontan
terbagi menjadi dua, primer dan sekunder. Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa
adanya penyakit paru yang mendasari. Pada pasien ini, bleb dan bula subpleura berperan
penting. Etiologi terbentuknya bula masih belum jelas, tetapi rokok berperan dalam kasus
tersebut. Obstruksi saluran napas kecil, disebabkan oleh sebukan sel inflamasi, berperan
dalam terjadinya pneumotoraks spontan. Pasien dengan pneumotoraks primer biasanya
lebih tinggi dibandingkan kontrol. Perbedaan tekanan pleura meningkat dari dasar ke
apeks paru, sehingga tekanan alveolus di apeks paru lebih tinggi dibandingkan dasar paru
pada individu tinggi, dan secara teori, lebih rentan untuk terbentuknya bleb subpleura.(1)

Pneumotoraks spontan sekunder terjadi akibat penyakit paru yang mendasari.


Penyakit paru yang paling sering menyebabkan pneumotoraks spontan sekunder adalah
PPOK dengan emfisema, fibrosis kistik, tuberkulosis, kanker paru, pneumonitis
interstisial, dan pneumonia Pneumocystis carinii pada pasien dengan infeksi HIV.(8)

Pneumotoraks traumatik terbagi menjadi iatrogenik dan non iatrogenik.


Pneumotoraks iatrogenik merupakan pneumotoraks yang terjadi akibat pembukaan
7 rongga paru secara paksa saat tindakan diagnosis atau terapi invasif dilakukan. Tindakan
seperti torakosentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter vena sentral, biopsi paru
perkutan, bronkoskopi dengan biopsi transbronkial, aspirasi transtoraks, dan ventilasi
tekanan positif dapat menjadi etiologinya. Pneumotoraks traumatik non iatrogenik
disebabkan oleh trauma tumpul atau tajam yang merusak pleura viseralis atau parietalis.
Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk ke rongga pleura langsung ke
dinding toraks atau menuju pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial.(9)

Pneumotoraks merupakan salah satu komplikasi dari tuberkulosis. Tuberkulosis


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang, tidak
membentuk spora, dan bersifat aerobik. M. tuberculosis biasanya bersifat netral pada
pewarnaan Gram. Tetapi, ketika telah diwarnai, warna pada bakteri tidak dapat
dihilangkan dengan alkohol asam, sehingga bakteri ini digolongkan sebagai bakteri tahan
asam (BTA). Sifat ini disebabkan oleh banyaknya kandungan asam mycolic, asam lemak
rantai panjang, dan lemak lain pada dinding sel bakteri.(4)

Patofisiologi

Pada orang sehat, tekanan dalam kavum pleura dipertahankan tetap negatif sesuai
dengan tekanan atmosfir selama siklus respiratorik. Perbedaan tekanan antara alveolus
dan kavum pleura disebut tekanan transpulmoner, dan tekanan ini menyebabkan rekoil
elastis paru. Pada pneumotoraks, alveolus atau jalan napas berhubungan dengan kavum
pleura, dan udara berpindah dari alveolus ke dalam kavum pleura hingga tekanan antara
keduanya menjadi seimbang. Begitupun ketika dinding dada dan kavum pleura
terhubung, udara akan berpindah ke dalam kavum pleura dari lingkungan hingga tidak
ada perbedaan tekanan atau hingga hubungan tersebut tertutup. Ketika udara dalam
kavum pleura cukup untuk meningkatkan tekanan pleura dari -5 cmH 2O menjadi -2.5
cmH2O, tekanan transpulmoner akan berkurang dari 5 cmH2O menjadi 2.5 cmH2O, dan
kapasitas vital paru akan berkurang sebanyak 33%. Udara yang mengisi kavum pleura
akan menekan paru dan mengurangi kapasitas vital paru sebanyak 25%. Selain itu,
perubahan tekanan dalam kavum pleura akan meningkatkan tekanan toraks dan
mengganggu proses pengembangan dinding dada, dan sekitar 8% dari kapasitas vital paru
akan berkurang. Ketika tekanan dalam kavum pleura meningkat, mediastinum akan
berpindah ke arah sebaliknya, memperluas toraks pada sisi yang sama, dan menekan
diafragma.(10)

Perubahan utama pada pneumotoraks adalah berkurangnya tekanan oksigen arteri


8
akibat berkurangnya kapasitas vital paru. Pada pasien pneumotoraks sekunder dengan
penyakit paru, berkurangnya kapasitas vital paru dapat menyebabkan hipoventilasi
alveolus dan gagal napas. Berkurangnya tekanan oksigen dapat disebabkan oleh shunt
anatomi, dan hipoventilasi alveolus pada daerah pneumotoraks disebabkan oleh
berkurangnya rasio ventilasi-perfusi dalam alveolus paru.(10)
Pneumotoraks merupakan salah satu komplikasi tuberkulosis yang membutuhkan
penanganan bedah. Pneumotoraks akibat tuberkulosis biasanya terjadi pada infeksi
tuberkulosis luas yang melibatkan paru, dan menyebabkan pembentukan fistula
bronkopleura serta empiema dan akhirnya membentuk kavitas. Organisme tuberkulosis
akan menginvasi pleura dan membentuk nekrosis liquifaksi, yang akhirnya akan
menyebabkan ruptur pleura parietal.(3)

Gejala Klinis

Sebagian besar pasien dengan pneumotoraks mengeluhkan nyeri dada akut dan tiba-
tiba disertai dengan sesak napas. Nyeri pada pasien tersebut biasanya lebih berat saat
inhalasi dan terlokalisir pada daerah dengan pneumotoraks. Beratnya gejala sepeerti
dispnea sesuai dengan ukuran pneumotoraks, tetapi 5% pasien biasanya asimptomatik;
pasien tersebut biasanya memiliki kondisi sistemik yang buruk. Pneumotoraks spontan
biasanya terjadi saat istirahat, yang berarti terjadinya pneumotoraks tidak dipengaruhi
oleh trauma dan stres. Pasien dengan pneumotoraks spontan primer, nyeri dan dispnea
biasanya membaik dalam 24 jam, tetapi pasien dengan pneumotoraks spontan sekunder
biasanya mengalami gejala yang lebih berat. Udara dalam jumlah kecil di kavum pleura
dapat menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia.(10)
Pada pemeriksaan fisis, dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan
nafas, tertinggal pada sisi yang sakit. Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal
atau melebar, iktus jantung terdorong ke sisi thoraks yang sehat. Fremitus suara melemah
atau menghilang. Pada perkusi, suara ketok hipersonor sampai timpani dan tidak bergetar,
batas jantung terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya tinggi. Pada periksa
dengar, didapatkan suara napas melemah sampai menghilang, nafas dapat amforik
apabila ada fistel yang cukup besar.(10)

Diagnosis Klinis

Pemeriksaan penunjang radiologi dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis


9
pneumotoraks. Pemeriksaan radiologi akan memberikan gambaran :(10)

Gambar 1. X-ray pneumotoraks tampak visceral pleural line(10)


 Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general
 Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, sehingga memberikan
gambaran avaskuler
 Pneumotoraks dengan ukuran besar dapat menyebabkan terjadinya kolaps dari
paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang terdesak ini lebih padat
dengan densitas seperti bayangan tumor
 Pneumotoraks dengan ukuran besar dapat menyebabkan terjadinya perdorongan
pada jantung
 Mediastinum dan trakea dapat terdorong ke sisi yang berlawanan

Manajemen Pneumotoraks
Menentukan ukuran pneumotoraks berdasarkan BTS tahun 2003, yaitu
perbandingan antara diameter paru dan diameter hemitoraks. Pneumotoraks dengan
ukuran 1 cm pada hasil radiologi menunjukan volume pneumotoraks sekitar 27%,
sedangkan ukuran 2 cm menunjukan volume pneumotoraks sekitar 49%. Perumpamaan
diameter paru 9 cm dan diameter hemitoraks 10 cm, (103-93)/103 = 27%. Ukuran
pneumotoraks kurang dari 1 cm tidak dianjurkan untuk dilakukan aspirasi. Jika ukuran
pneumotoraks 2 cm dengan perkiraan volume 50%, maka diindikasikan untuk dilakukan
aspirasi.(1)

10

Gambar 3. Penentuan ukuran pneumotoraks berdasarkan pedoman BTS(1)


Sedangkan berdasarkan ACCP tahun 2001, ukuran pneumotoraks ditentukan
berdasarkan jarak dari apeks paru ke kupola toraks ipsilateral pada permukaan parietal.
Pneumotoraks ukuran kecil jika jarak apeks ke kupola berjarak 3 cm, dan pneumotoraks
besar jika jarak antara apeks dan kupola berjarak ≥ 3 cm.(2)
Terapi yang diberikan pada pasien didasari pada jenis pneumotoraks dan ukuran
pneumotoraks.(10)
1. Terapi oksigen
Terapi oksigen dibahas dalam pedoman pneumotoraks yang dikeluarkan oleh
British Thoracic Society. Gas dalam kavum pleura diabsorsi secara difusi dan dapat
ditingkatkan dengan mengubah komposisi gas dalam kavum pleura. Oksigen
diabsorbsi 62 kali lebih cepat dibandingkan nitrogen, dan karbon dioksida
diabsorbsi 23 kali lebih cepat dari oksigen. Ketika pasien menghirup oksigen 100%
nitrogen akan menghilang dari kavum pleura, meninggalkan oksigen dan akan
diabsorbsi lebih cepat ke dalam vena. Laju absorbsi gas dalam kavum pleura sekitar
1.25% per hari. Jika pasien diberikan oksigen, laju absorbsi akan meningkat hingga
3-4 kali. Pedoman BTS merekomendasikan oksigen 10 L/menit pada pasien
simptomatik. Tetapi, perlu diperhatikan pada pasien PPOK karena dapat
menyebabkan hiperkarbi.
2. Aspirasi sederhana
Aspirasi pneumotoraks dilakukan dengan menggunakan kateter kecil. Kateter
dimasukkan ke dalam kavum pleura, kateter dapat dilepaskan segera setelah udara
dievakuasi dari kavum pleura atau dibiarkan sambil mengobservasi pasien.
Pedoman dari American College of Chest Physicians merekomendasikan aspirasi
sederhana pada pasien pneumotoraks spontan sekunder jika pasien akan dirawat di
rumah sakit dan dilanjutkan dengan pemasangan chest tube. Pedoman BTS
merekomendasikan aspirasi pada pneumotoraks kecil dengan gejala respiratorik
yang ringan pada pasien usia kurang dari 50 tahun.
3. Pemasangan chest tube
ACCP merekomendasikan pemasangan chest tube atau observasi pada pasien
pneumotoraks spontan sekunder yang berukuran kecil. Pada pasien pneumotoraks

11 yang berukuran besar, baik pasien stabil ataupun tidak stabil, ACCP
merekomendasikan pemasangan chest tube. Pedoman BTS juga merekomendasikan
pemasangan chest tube, kecuali pada pasien pneumotoraks yang berukuran kecil (1-
2 cm) dan tidak memiliki gejala respiratorik.

4. Pembedahan
ACCP dan BTS merekomendasikan intervensi bedah untuk mencegah rekurensi
atau untuk menghentikan kebocoran udara yang persisten. ACCP
merekomendasikan pleurektomi dan bullektomi, atau abrasi pleura parietal pada
seperdua atas pleura dan bullektomi. BTS merekomendasikan beberapa intervensi
seperti pleurektomi parietal serta abrasi pleura parietal dan pleurodesis
menggunakan talc.
5. Pleurodesis dan katup Heimlich
ACCP dan BTS merekomendasikan pleurodesis menggunakan agen seperti talc dan
doksisiklin yang dimasukkan melalui chest tube pada pasien pneumotoraks spontan
sekunder yang tidak dapat menjalani tindakan bedah. Pasien dengan pneumotoraks
spontan sekunder yang tidak dapat menjalani tindakan bedah dapat dipertimbangkan
untuk rawat jalan dan menggunakan katup Heimlich.
12

Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan pneumotoraks spontan sekunder


berdasarkan pedoman BTS(1)

Takalar, Juli 2020

Peserta

dr. Riski Fitriani


Pendamping

dr. Irmastuti, MARS

Anda mungkin juga menyukai