Anda di halaman 1dari 38

GERIATRI 2

PEMELIHARAAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT PASIEN


GERIATRI DENGAN RIWAYAT PASCA STROKE

DISUSUN OLEH :

ENRINA GEAVITHA (2018-16-037)


ERISYA RAMADIA DARDI (2018-16-038)
ERLITA GHINA KHALISA (2018-16-039)
ERSHALITA FEBIANI (2018-16-040)
ESTRY ADE NENG TYAS (2018-16-041)
FAUZI SAEFUL ROHMAN (2018-16-042)

PEMBIMBING :
drg. ALBERT SURYAPRAWIRA, M.ScD., M.Orth., RCSED., Sp. Ort

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
JAKARTA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) adalah penyakit neurogenik yang

menyebabkan gangguan fungsi otak baik fokal maupun global dan merupakan penyebab

kecacatan yang paling banyak. Stroke merupakan sindrom atau sekumpulan gejala dan tanda

yang muncul akibat hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang

cepat (dalam detik atau menit).1,2

Stroke menyebabkan kematian dengan durasi awitan berlangsung lebih dari 24 jam.

Stroke dapat menimbulkan masalah tidak hanya secara fisik namun juga masalah mental

(Buckman & Sutcliffe, 2010). Masalah mental yang muncul akibat stroke yaitu mengalami

kebingungan, hilangnya ingatan visual dan verbal, kesulitan belajar dan berpikir, hilangnya

konsentrasi dan kemampuan berorganisasi, masalah psikologis cemas dan frustasi, yang

sering diikuti depresi dan kemarahan. Sedangkan masalah keperawatan secara fisik kepada

pasien stroke adalah gangguan personal hygiene (salah satu hygiene gigi dan mulut).

Personal hygiene adalah suatu cara untuk memelihara kebersihan mulut dan gigi dalam hal

kesejahteraan baik fisik maupun psikisnya. Personal hygiene dapat dipengaruhi oleh

dukungan keluarga yang meliputi dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan

penilaian, dan dukungan emosional (Setiadi, 2008).2

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2008) dan Riskesdas

tahun (2013), stroke merupakan penyebab utama kematian pada pasien yang dirawat di

rumah sakit dengan prevalensi stroke di Indonesia sebesar 0,7% dimana kasus stroke di

perkotaan tinggi lebih tinggi dari pada pedesaan. Selain itu disebutkan bahwa masalah yang
diakibatkan oleh stroke karena adanya penurunan kemampuan menggosok gigi dan mulut

sekitar 62% (menggosok gigi dan mulut 25,9%, dan masalah gigi 36,1%).3

Pasien pasca stroke akan mengalami penurunan ADL (Activity Daily Living) yang

disebabkan oleh kelemahan pada otot. Personal hygiene mulut dapat membantu

mempertahankan status kesehatan mulut, gigi, gusi, dan bibir. Menggosok atau

membersihkan gigi dari partikel-partikel makanan, plak, bakteri, masase gusi, mengurangi

rasa ketidaknyamanan yang dirasakan dari bau dan rasa yang tidak nyaman. Dampak yang

terjadi apabila pasien pasca stroke tidak dapat mempertahankan personal hygiene mulut

menyebabkan karies gigi, gingivitis (radang gusi), dan sariawan. Kesulitan makan terjadi

akibat penurunan fungsi gerak otot mastikasi dan lidah yang meningkatkan akumulasi debris

kariogenik pada daerah pipi dan dasar mulut, sehingga terjadi perubahan pola makan yang

berdampak negatif terhadap nutrisi dan massa tubuh. Asupan nutrisi adekuat mutlak

diperlukan untuk pemulihan dan menghindari malnutrisi. Rekomendasi makanan berkalori

meningkatkan risiko karies dan penyakit periodontal. Karies gigi dapat menyebabkan gigi

berlubang yang berisiko menimbulkan infeksi sistemik, karena bakteri rongga mulut dapat

menyebar melalui pembuluh darah.2,4

Tujuan perawatan kebersihan gigi dan mulut pada pasien pasca stroke memiliki

mukosa mulut serta mencegah penyakit yang ditularkan mulut, mencegah penyakit mulut dan

gigi, meningkatkan daya tahan tubuh, mencapai rasa nyaman (Hidayat, 2010).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

2.1 Geriatri
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari aspek kesehatan dan
kedokteran pada lanjut usia, termasuk memberikan pelayanan kesehatan kepada lanjut usia
terkait dengan proses menua. Usia lanjut (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia
60 tahun ke atas.6 Penuaan merupakan proses menurunnya atau terjadinya gangguan secara
progresif pada fungsi tubuh yang menghasilkan hilangnya respon adaptif terhadap stres dan
meningkatnya risiko akan penyakit yang terkait dengan usia lanjut.7 Seiring dengan
bertambahnya usia akan terjadi penurunan fungsi organ tubuh dan berbagai perubahan fisik.
Penurunan terjadi pada semua tingkat seluler, organ, dan sistem. Selain itu rongga mulut juga
akan mengalami perubahaan akibat terjadinya proses penuaan.8

2.1.1 Sindrom Geriatri


Sindrom geriatri adalah kumpulan gejala atau masalah kesehatan yang sering dialami
oleh seorang pasien geriatri. Sindrom geriatri ini dikenal juga dengan istilah 14 I yaitu:9
1. Immobilisasi (berkurangnya kemampuan gerak);
2. Instabilitas postural (jatuh dan patah tulang);
3. Inkontinensia urin (mengompol);
4. Infection (infeksi);
5. Impairment of senses (gangguan fungsi panca indera);
6. Inanition (gangguan gizi);
7. Iatrogenik (masalah akibat tindakan medis);
8. Insomnia (gangguan tidur);
9. Intellectual impairment (gangguan fungsi kognitif);
10. Isolation (isolasi/menarik diri);
11. Impecunity (berkurangnya kemampuan keuangan);
12. Impaction (konstipasi);
13. Immune deficiency (gangguan sistem imun);
14. Impotence (gangguan fungsi seksual)
a. Berkurangnya Kemampuan Gerak (Immobilisation)
Berkurangnya kemampuan gerak yang dikenal dengan istilah imobilisasi digunakan
untuk menggambarkan suatu sindrom penurunan fungsi fisik sebagai akibat dari penurunan
aktivitas dan adanya penyakit penyerta. Tidak mampu bergerak selama minimal 3 kali 24 jam
sesuai definisi imobilisasi. Immobilisasi seringkali diabaikan dan tidak ditatalaksana dengan
baik sejak awal perawatan, baik di rumah maupun di rumah sakit.

b. Jatuh dan Patah Tulang (Instabilitas Postural)


Perubahan cara jalan dan keseimbangan seringkali menyertai proses menua. Instabilitas
postural dapat meningkatkan risiko jatuh, yang selanjutnya mengakibatkan trauma fisik
maupun psikososial. Hilangnya rasa percaya diri, cemas, depresi, rasa takut jatuh sehingga
pasien terpaksa mengisolasi diri dan mengurangi aktivitas fisik sampai immobilisasi.

c. Mengompol (Inkontinensia Urin)


Secara umum inkontinensia urin didefinisikan sebagai ketidakmampuan menahan
keluarnya urin atau keluarnya urin secara tak terkendali pada saat yang tidak tepat dan tidak
diinginkan.

d. Infeksi (Infection)
Penyakit infeksi merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada lanjut usia.
Beberapa faktor penyebab terjadinya infeksi pada lanjut usia adalah adanya perubahan sistem
imun, perubahan fisik (penurunan refleks batuk, sirkulasi yang terganggu dan perbaikan luka
yang lama) dan beberapa penyakit kronik lain. Infeksi yang paling sering terjadi pada lanjut
usia adalah infeksi paru, saluran kemih dan kulit. Gejala dan tanda infeksi pada lanjut usia
biasanya tidak jelas.

e. Gangguan fungsi indera (Impairment Of Senses)


Gangguan fungsi indera merupakan masalah yang sering ditemui pada Lanjut Usia.
Keadaan tersebut dapat menyebabkan timbulnya gangguan fungsional yang menyerupai
gangguan kognitif serta isolasi sosial. Untuk itu, sangat penting bagi tenaga kesehatan untuk
dapat mengidentifikasi Lanjut Usia yang mengalami gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, gangguan penciuman gangguan pengecapan dan gangguan perabaan,
mengidentifikasi penyebabnya dan memberikan terapi yang sesuai.
f. Kekurangan Gizi (Inanition)
Gangguan gizi pada Lanjut Usia dapat merupakan konsekuensi masalah-masalah
somatik, fisik atau sosial. Kekurangan zat gizi energi dan protein terjadi karena kurangnya
asupan energi dan protein, peningkatan metabolik karena trauma atau penyakit tertentu dan
peningkatan kehilangan zat gizi. Asupan energi secara signifikan menurun seiring proses
menua, karena berhubungan dengan penurunan aktivitas fisik pada Lanjut Usia serta
perubahan komposisi tubuh.

g. Masalah Akibat Tindakan Medis (Iatrogenik)


Iatrogenik adalah masalah kesehatan yang diakibatkan oleh tindakan medis.
Polifarmasi merupakan contoh yang paling sering ditemukan pada Lanjut Usia. Polifarmasi
adalah meresepkan obat melebihi dari obat yang secara klinis diperlukan atau penggunaan
obat lebih dari lima jenis obat. Polifarmasi mengindikasikan bahwa pasien menerima terlalu
banyak obat, menggunakan obat terlalu lama atau obat dengan dosis yang berlebihan.

h. Gangguan Tidur (Insomnia)


Insomnia dapat disebabkan oleh gangguan cemas, depresi, delirium, dan demensia.
Gangguan tidur yang kronik seringkali menyebabkan jiwa pasien tertekan (distress).

i. Gangguan Fungsi Kognitif (Intellectual Impairment)


Gangguan fungsi kognitif adalah kapasitas intelektual yang berada dibawah rata-rata
normal untuk usia dan tingkat pendidikan seseorang tersebut. Gangguan fungsi kognitif ini
dapat disebabkan oleh sindrom delirium dan demensia.

j. Isolasi (Isolation)
Yang dimaksud dengan isolasi adalah menarik diri dari lingkungan sekitar. Penyebab
tersering adalah depresi dan hendaya fisik yang berat. Dalam keadaan yang sangat lanjut
dapat muncul kecenderungan bunuh diri baik aktif maupun pasif.

k. Berkurangnya Kemampuan Keuangan (Impecunity)


Impecunity mencakup pengertian ketidakberdayaan finansial. Walaupun dapat terjadi
pada kelompok usia lain namun, khususnya pada Lanjut Usia menjadi sangat penting karena
meningkatkan risiko keterbatasan akses terhadap berbagai layanan kesehatan, pemenuhan
kebutuhan nutrisi, dan asuhan psikososial.
l. Konstipasi (Impaction)
Kesulitan buang air besar (Konstipasi) sering terjadi pada lanjut usia karena
berkurangnya gerakan (peristaltik) usus.

m. Gangguan Sistem Imun (Immune Deficiency)


Gangguan kesehatan yang disebabkan oleh perubahan sistem imunitas pada Lanjut
Usia. Sistem imunitas yang tersering mengalami gangguan adalah sistem immunitas seluler.
Berkaitan dengan hal tersebut, kejadian infeksi tuberkulosis meningkat pada populasi Lanjut
Usia ini sehingga memerlukan kewaspadaan.

n. Gangguan Fungsi Seksual (Impotence)


Gangguan fungsi ereksi pada laki-laki Lanjut Usia dapat berupa ketidakmampuan
ereksi, ketidakmampuan penetrasi, atau ketidakmampuan mempertahankan ereksi. Gangguan
ini dapat disebabkan oleh obat-obat antihipertensi, diabetes melitus dengan kadar gula darah
yang tidak terkendali, merokok, dan hipertensi lama.

2.2 Stroke
2.2.1 Pengertian Stroke

Stroke adalah kondisi penurunan aliran darah ke otak baik disebabkan oleh

penyumbatan maupun pecahnya pembuluh darah di otak. 10 Menurut WHO, stroke atau

cerebrovascular accident (CVA) merupakan adanya tanda-tanda klinis yang berkembang

dengan cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global seperti koma dan perdarahan

subarachnoid) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang

menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain penyebab vaskuler.12

Cerebrovascular accident (CVA): CVA, atau stroke, muncul sebagai kelumpuhan atau

kelemahan, seringkali melibatkan otot-otot wajah, pasien mungkin mengalami sakit kepala,

mual dan muntah dan mati rasa atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh. Kebingungan dan

afasia juga sering terjadi.13


Stroke menyebabkan gangguan suplai darah ke otak secara mendadak sehingga

menyebabkan suplai darah ke otak dapat tersumbat atau disebut dengan stroke iskemik, dan

juga dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak atau disebut dengan stroke

hemoragik.14 Berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan sel-sel otak.

Kerusakan sel-sel otak menimbulkan berbagai gejala seperti, kelumpuhan atau kelemahan

pada sebagian tubuh yang terjadi secara tiba-tiba, gangguan komunikasi, wajah tidak

seimbang, kesulitan menelan, serta gangguan keseimbangan. Semakin luas daerah otak yang

mengalami kerusakan, maka akan semakin banyak gejala yang akan dialami pasien.11

Dengan mendefinisikan periode di mana tanda-tanda neurological harus berlanjut,

definisi ini mengecualikan serangan iskemik transien (TIA). Iskemik transien adalah sindrom

klinis yang ditandai dengan hilangnya fungsi serebral atau monokuler fokal akut dengan

gejala yang berlangsung kurang dari 24 jam dan diduga disebabkan oleh suplai darah otak

atau okular yang tidak memadai akibat aliran darah rendah, trombosis arteri, atau emboli.

disebabkan oleh penyakit arteri, jantung atau darah.12

Batas waktu 24 jam agak sulit dan pada kenyataannya sebagian besar serangan

iskemik transien (TIA) berlangsung kurang dari satu jam. Oleh karena itu, beberapa dokter

juga menggambarkan defisit neurologis iskemik reversibel (RIND) yang berlangsung selama

lebih dari 24 jam tetapi di mana tanda dan gejala hilang dalam tiga minggu.12

2.2.2 Penyebab Stroke

Cerebrovascular accident (CVA) dapat disebabkan oleh tiga kejadian:13

1. Trombosit pembuluh darah kecil atau besar (misalnya karotis), biasanya pada

penderita hipertensi dan diabetes. Peristiwa ini datang lebih lambat dari embolus.
Transient ischaemic attack (TIA) mungkin merupakan peringatan dari CVA yang

akan datang;

2. Emboli, yang biasanya berasal dari jantung atau leher (misalnya percabangan karotis),

atau fibrilasi atrium. Defisitnya tiba-tiba dan hanya membaik secara perlahan;

3. Perdarahan, yang biasanya spontan, atau sekunder akibat hipertensi atau aneurisma,

kadang-kadang dari koagulopati. Gejala timbul secara tiba-tiba.

2.2.3 Patogenesis dan Tipe

Patologi stroke diklasifikasikan sebagai stroke iskemik/ non hemoragik dan stroke

hemoragik. Stroke iskemik lebih sering ditemukan daripada stroke hemoragik. Stroke

iskemik atau stroke non hemoragik adalah kematian jaringan otak karena gangguan aliran

darah ke daerah otak, yang disebabkan oleh tersumbatnya arteri serebral atau servikal atau

yang kurang mungkin tersumbat, vena serebral.15 Stroke iskemik mencakup transient

ischemic attack, stroke-in-evolution, thrombotic stroke, embolic stroke, dan stroke akibat

kompresi seperti tumor, abses, dan granuloma.16 Klasifikasi stroke iskemik yang sering

digunakan pada penelitian untuk mengklasifikasikan subtipe stroke iskemik adalah klasifikasi

Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment (TOAST), yaitu (1) aterosklerosis pembuluh

darah besar, (2) kardioembolik, (3) lakunar, (4) penyebab lain, dan (5) tidak diketahui

penyebabnya. Stroke iskemik dengan aterosklerosis pada pembuluh darah besar dan stroke

lakunar adalah jenis patologi yang utama.5 Darah yang keluar dan menyebar menuju jaringan

parenkim otak, ruang serebrospinal, atau kombinasi keduanya adalah akibat dari pecahnya

pembuluh darah otak yang dikenal dengan stroke hemoragik.17

2.2.4 Gejala Klinis


Ketika seseorang mengalami stroke, gejala awal biasanya mencakup hilangnya

kombinasi fungsi sensorik dan motorik atau, lebih jarang, hilangnya kesadaran secara tiba-

tiba. Gejala dapat bervariasi sesuai dengan bagian otak yang terkena tetapi mungkin termasuk

satu atau lebih dari hal berikut ini:2

· Lemah atau kaku di salah satu sisi tubuh (Hemiparesis)

· Tidak dapat bergerak (kaku) di kedua sisi tubuh (Paraparesis)

· Kesulitan menelan (Dysphagia)

· Ketidakseimbangan (Ataxia)

· Kesulitan dalam memahami atau mengekspresikan bahasa (Aphasia)

· Cadel/kurang jelas pada saat berbicara (Dysarthria)

· Kehilangan penglihatan pada salah satu mata (kebutaan monokuler

sementara) atau pada kedua mata

· Penglihatan ganda (Diplopia)

· Kehilangan kesadaran

Lesi di sebagian otak yang dominan cenderung menyebabkan kurangnya bicara dan

penglihatan, sementara tidak ada lesi di sebagian otak yang dominan membuat seseorang

mengabaikan dirinya.2

Serangan iskemik transien didiagnosis berdasarkan gambaran klinis dan bukan

diagnostik spesifik. Gambaran ini mirip dengan yang ada pada stroke tetapi penting untuk

menghilangkan gejala yang tidak umum disebabkan oleh iskemia. Contoh yang terakhir

termasuk vertigo, amnesia, tuli, dysarthria, pingsan, pusing non spesifik, kebingungan,
kemunduran mental, inkontinensia dan kehilangan kesadaran. Serangan iskemik transien

cenderung berulang dan sering mendahului bentuk lain dari stroke emboli.2

2.2.5 Mekanisme

Ada tiga bentuk stroke lengkap yang disebabkan oleh hilangnya aliran darah ke otak:12

- Stroke iskemik - IS (sekitar 80% dari semua kejadian)

- Perdarahan intraserebral primer - PICH (sekitar 15%)

- Perdarahan sub arachnoid - SAH (sekitar 5%)

Stroke iskemik disebabkan oleh aterosklerosis pada sistem arteri serebral yang menyebabkan

terhentinya aliran darah, trombosis lokal dan akhirnya oklusi (stroke trombotik). Ketika aliran

darah berkurang di arteri karotis, infark dapat terjadi pada jangkauan terjauh dari sistem

arteri. Sebagai alternatif, trombus dapat terlepas seluruhnya atau sebagian dan membentuk

embolus yang menghalangi arteri distal yang lebih kecil (stroke emboli). Emboli paling

sering muncul dari percabangan arteri karotis komunis dan jantung.12

Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya arteri serebral. Penyebab utamanya adalah

hipertensi. Telah terbukti bahwa orang lanjut usia dengan tekanan darah sistolik yang

meningkat memiliki risiko stroke yang jauh lebih besar sehingga ada alasan penting untuk

mengobati kondisi ini. Sejumlah penelitian juga menunjukkan hubungan antara hipertensi

sistolik, stroke, dan demensia multi infark.12

Perdarahan sub arachnoid paling sering disebabkan oleh pecahnya aneurisma di dasar otak

(85% kasus). Aneurisma serebral berkembang sepanjang hidup. Mereka mungkin terkait

dengan beberapa kelainan jaringan ikat, hipertensi, cacat anatomi lokal dan cacat

angiogenesis tetapi seringkali penyebabnya tidak diketahui.12


2.2.6 Faktor Resiko

Terdapat sejumlah faktor risiko stroke yang diketahui yang diuraikan dalam Tabel 1.

Penting bagi dokter gigi untuk menyadari hal ini karena peran yang harus dia lakukan dalam

pencegahan stroke. Selain itu, penderita stroke sering datang dengan riwayat kesehatan yang

kompleks yang mungkin mempengaruhi perencanaan pengobatan.12

Ada insidensi stroke yang lebih tinggi pada kelompok yang kurang beruntung secara

ekonomi dan di antara kelompok etnis tertentu. Orang dari etnis Afrika atau Karibia dua kali

lebih mungkin terkena stroke dibandingkan dengan yang berkulit putih. Meskipun stroke

lebih sering terjadi pada pria, mereka lebih mungkin untuk bertahan hidup daripada wanita.12

Tabel 1. Faktor Resiko pada Stroke

1. Keturunan

2. Negara Asal

3. Merokok

4. Hipertensi

5. Obesitas

6. Gaya Hidup

7. Kolesterol Tinggi

8. Polisitemia

9. Sindrom Antiphospholipid
2.2.7 Pencegahan Stroke

Pencegahan penyakit stroke terdiri dari pencegahan primer dan sekunder. Pada

pencegahan primer meliputi upaya – upaya perbaikan pola hidup dan pengendalian faktor –

faktor risiko. Pencegahan ini ditujukan kepada masyarakat yang sehat dan belum pernah

terserang stroke, namun termasuk pada kelompok masyarakat risiko tinggi. Upaya - upaya

yang dapat dilakukan adalah:15

1. Mengatur pola makan sehat

2. Penanganan stress dan beristirahat yang cukup

3. Pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter (diet dan obat)

Pencegahan sekunder, yakni dengan mengendalikan faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi dan dapat digunakan sebagai penanda (marker) stroke pada masyarakat,

sedangkan pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi kita dapat melakukan evaluasi

kepada pasien stroke saat dirawat maupun ketika keluar dari RS. Pencegahan sekunder yang

dapat dilakukan pada pasien stroke iskemik akut:15

1. Pemeriksaan MRI pada beberapa pasien dapat dipertimbangkan untuk

mendapatkan informasi tambahan dalam penegakan diagnosis dan dalam

membuat perencanaan perawatan selanjutnya

2. Pencitraan non invasif rutin dilakukan dalam waktu 24 jam sejak pasien

masuk RS, dimana hanya untuk pasien dengan Modified Rankin Scale (MRS)

0-2
3. Monitoring jantung harus dilakukan setidaknya selama 24 jam pertama

4. Pemeriksaan diabetes mellitus dengan pengujian glukosa plasma darah,

hemoglobin A1c atau tes toleransi glukosa oral

5. Pengukuran kadar kolesterol darah pada pasien yang telah mendapatkan terapi

statin

6. Penilaian troponin awal dapat diberikan, tetapi tidak boleh menunda alteplase

IV atau trombektomi

7. Pemberian antikoagulasi pada pasien yang memiliki hasil tes koagulasi

abnormal pasca stroke iskemik

8. Pemberian antitrombotik pada pasien stroke iskemik akut non kardioemboli,

yakni pemilihan antiplatelet dapat mengurangi risiko stroke berulang dan

kejadian kardiovaskular lainnya

9. Pemberian terapi statin pada pasien selama periode akut

10. Revaskularisasi karotid dapat dilakukan untuk pencegahan sekunder pada

pasien stroke dengan Modified Rankin Scale (MRS) 0-2, jika tidak ada

kontraindikasi.

11. Inisiasi intervensi di RS dengan menggabungkan farmakoterapi dan dukungan

terapi perilaku pada pasien stroke yang memiliki kebiasaan merokok, serta

melakukan konseling rutin agar membantu pasien berhenti merokok.


12. Memberikan pendidikan tentang stroke. Pasien harus diberikan informasi,

saran, dan kesempatan untuk berdiskusi mengenai dampak stroke dalam

kehidupan sehari-hari mereka.

Dengan demikian, pentingnya pencegahan sejak dini pada pasien stroke iskemik akut,

baik sebelum maupun sesudah terjadi serangan stroke. Berbagai upaya – upaya pencegahan

dapat berhasil dilakukan jika adanya dukungan dari pihak keluarga, masyarakat, petugas

kesehatan di FKTP, termasuk profesional pemberi asuhan (PPA) di RS, sehingga masyarakat

dapat terhindar dari stroke dan yang dalam perawatan stroke mendapatkan penanganan sesuai

standar pelayanan stroke.15

2.2.2 Dampak Stroke terhadap Rongga Mulut dan Sekitarnya


Stroke dapat memberikan dampak yang besar terhadap rongga mulut dan jaringan
serta saraf wajah, seperti keterbatasan gerak pada bibir, palatum, dan faring yang dapat
menyebabkan timbulnya kesulitan dalam mengerjakan kebiasaan sehari-hari seperti makan,
minum, menelan, berkomunikasi, dan oral clearance. Dampak stroke terhadap rongga mulut
berbeda pada setiap orang. Beberapa pasien pasca stroke hanya memiliki sedikit kesulitan
namun ada juga pasien pasca stroke yang mengalami kesulitan yang besar akibat dari durasi
atau lamanya pasien tersebut mengalami stroke dan efek direct serta indirect dari stroke
tersebut. Stroke dapat mempengaruhi kerja fungsi dasar mulut yang dapat berkontribusi
dalam oral infection dan decay. Pada individu pasca stroke kebersihan dan kesehatan yang
harus diperhatikan adalah mastikasi, disfagia, nutrisi, kebersihan mulut, prostesis, dan
kualitas hidup.11,17

2.2.2.1 Kualitas Hidup


Keterbatasan beraktivitas yang dialami oleh sebagian besar pasien pasca stroke dapat
mempengaruhi kualitas hidup. Kualitas hidup berhubungan dengan aspek fisik dan
psikososial dari kesehatan rongga mulut. Pasien yang tidak puas dengan penampilan, cara
makan, dan kemampuan berbicaranya pasca stroke dapat mempengaruhi keadaan psikologis
dan interaksi sosialnya. Penelitian yang dilakukan O’Malley et al, menemukan bahwa
masalah utama mengenai kesehatan gigi dan mulut pada pasien pasca stroke adalah bahwa
mereka masih peduli dengan penampilan dan konsekuensi sosial yang akan mereka terima
jika mereka memiliki kesehatan gigi dan mulut yang buruk seperti bau mulut. 12,18 Individu
dengan stroke memiliki beberapa kesulitan dalam hidupnya yang disebabkan oleh
melemahnya keadaan motorik, gangguan penglihatan, gangguan visuospasial, aphasia,
apraxia, dan kemampuan menelan. Semua hal tersebut membatasi kemampuan pasien untuk
melakukan self-care dan aktivitas sehari-hari. Masalah yang dijumpai seperti sulitnya untuk
berkoordinasi saat menggunakan sikat gigi, berkumur, dan menghilangkan sisa makanan
yang masih ada di dalam mulut dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Beberapa
pasien pasca stroke melaporkan bahwa kehidupan mereka sekarang bergantung kepada orang
lain baik dari keluarga ataupun health care professionals dikarenakan oleh kelumpuhan pada
salah satu sisi tubuh mereka yang terkena stroke (hemiplegia).18
Hemiplegia menyebabkan sulitnya untuk menyikat gigi secara optimal.
Membersihkan rongga mulut secara tidak optimal dapat meningkatkan kadar bakteri di dalam
mulut, karies gigi, dan penyakit periodontal. 17 Pada salah satu penelitian di India menjelaskan
bahwa hemiplegia ditemukan pada sebagian besar subjek, mempengaruhi 131 (55%) subjek
pada sisi kanan (sisi dominan) dan 108 (45%) subjek pada sisi kiri (sisi non-dominan).
Meskipun begitu, keterbatasan yang disebabkan oleh stroke dapat bertambah baik seiring
dengan waktu dan rehabilitasi yang mereka lakukan. Kesembuhan pada pasien stroke juga
tergantung pada jenis dan tingkat keparahan stroke.19

2.2.2.2 Periodontitis
Kesehatan jaringan periodontal individu dengan penyakit stroke lebih buruk
dibandingkan dengan individu sehat. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa pasien
stroke lebih rentan terhadap penumpukan plak di dalam mulut, bleeding on probing, dan
peningkatan pada poket periodontal. Kesehatan jaringan periodontal dan stroke memiliki
hubungan dengan kebiasaan merokok.
Atherosclerosis merupakan faktor etiologi utama pada stroke embolik yang
disebabkan oleh karena terjadinya inflamasi kronik arteri. Penyakit periodontal juga
merupakan penyakit inflamatori kronik. Respon inflamasi dan patogen yang memiliki kaiitan
dengan penyakit periodontal diketahui berkontribusi pada atherosclerosis sehingga
menyebabkan meningkatnya risiko stroke. Beberapa penelitian epidemiologi telah
membuktikan keterkaitan hal ini.
2.2.2.3 Xerostomia
Xerostomia atau mulut kering, merupakan efek samping umum yang disebabkan oleh
terapi obat, seperti antikoagulan yang digunakan sebagai secondary stroke prevention dan
antikoagulan juga dapat meningkatkan tingkat bakteri dalam mulut. Xerostomia dapat
memberikan dampak terhadap rongga mulut yang menjadi rentan akan perkembangan koloni
bakteri dan pembentukan plak. Gejala xerostomia meliputi: mukosa terasa kering, tidak
adanya genangan saliva, saliva terlihat berbusa, thick ‘ropey’ saliva, dan lidah tampak
berbulu dan mengkerut.11,17 Kawasaka et al, menjelaskan bahwa ditemukannya secara
signifikan sekresi saliva yang rendah pada pasien stroke dibandingkan dengan pasien non-
stroke. Oral fungi (Candida albicans) dalam jumlah banyak juga ditemukan pada pasien
stroke yang masih dirawat yang mengalami disfagia serta sedang dalam terapi antibiotik.
Penggunaan gigi tiruan serta alat intubasi juga mendukung dalam peningkatan bakteri dalam
mulut. Xerostomia juga dapat meningkatan risiko kerusakan pada gigi dan penyakit
periodontal, karena berkurangnya kadar saliva di dalam rongga mulut untuk melakukan self
cleansing dan meningkatnya kolonisasi bakteri.17,18
Penurunan formasi bakteri dan plak di dalam mulut dapat berkurang bila adanya
peningkatan kebersihan mulut yang dilakukan oleh caregivers dan atau seiring dengan
pulihnya kemampuan motorik pasien pasca stroke untuk menjaga kebersihan mulutnya.
Terdapat penelitian yang mengatakan bahwa Staphloccoci spp dan Candida spp berkembang
lebih mudah dalam rongga mulut pasien pasca stroke yang memiliki kemampuan terbatas
dalam melakukan aktivitas sehari-hari dibandingkan dengan pasien yang sudah dapat pulih
dengan normal untuk mengerjakan aktivitas sehari-hari. Jadi, pergerakan tangan yang cukup
dan kemampuan untuk self-feeding merupakan faktor penting untuk mencegah terbentuknya
kolonisasi bakteri oropharyngeal.17

2.2.2.4 Kebutuhan akan Prosthesis


Stroke pada umumnya terjadi pada usia lanjut, sehingga banyak dari mereka yang
sudah menggunakan atau membutuhkan gigi tiruan. Suatu penelitian mengatakan bahwa
sebanyak 50% pasien pasca stroke membutuhkan gigi tiruan lepasan. Pasca stroke,
kebanyakan individu akan kesulitan untuk merawat dan membersihkan gigi tiruan mereka
karena hemiparesis atau hemiplegia yang mereka alami. Pasien dengan refleks muntah
hiperaktif yang disebabkan oleh kerusakan pada saraf glossofaringeal membutuhkan anestesi
palatal agar pasien dapat terbiasa dengan gigi tiruannya lagi. Beberapa individu bahkan
membutuhkan gigi tiruan baru untuk menyesuaikan dengan kondisi rongga mulutnya pasca
stroke. Penelitian Corsalini et al menyatakan bahwa, ditemukan sebanyak 42% pasien pasca
stroke yang membutuhkan gigi tiruan baru karena kerusakan atau ukuran gigi tiruan yang
sudah tidak adekuat. Ill-fitting dentures juga dapat berdampak pada intake nutrisi, pneumonia
aspirasi, dan estetik yang buruk.17
Individu yang menggunakan gigi tiruan membutuhkan kontrol otot yang optimal
untuk mendapatkan kestabilan gigi tiruan maksimal. Kontrol otot wajah pada pasien pasca
stroke cenderung mengalami penurunan. Kemampuan pasien edentulous dengan facial
paralysis untuk merasakan bentuk objek yang diletakkan di dalam mulut berkurang jika
dibandingkan dengan kontrol grup edentulous tanpa facial paralysis. Kemampuan pasien
akan meningkat jika pasien diberikan gigi tiruan baru yang sesuai. Pasien pasca stroke dapat
diedukasi untuk menggunakan gigi tiruannya dan disesuaikan dengan keadaan barunya agar
terjadinya peningkatkan respon mengunyah dan menelan.11

2.2.2.5 Facial Palsy


Saraf motorik yang bekerja pada wajah adalah N. Cranial VII (N. facial). Kerusakan
pada saraf yang disebabkan oleh stroke dapat terjadi dalam otak (kerusakan pada neuron
motorik atas) yang menghasilkan hilang atau berkurangnya pergerakan otot volunter. Wajah
dapat tampak turun atau kendur pada sisi yang terkena stroke dan disertai dengan kesulitan
untuk berbicara, menelan, dan mengunyah. Facial Palsy juga dapat menyebabkan tidak
sadarnya pasien bila ada sisa makanan yang terperangkap di dalam sulcus buccal yang dapat
mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Pada penderita stroke umumnya mengalami
unilateral facial palsy yang biasanya berdampak terhadap wajah bagian bawah, lidah, dan
palatum lunak.11,17,19

2.2.2.6 Disfagia
Gangguan atau melemahnya kemampuan mastikasi dan menelan (disfagia)
merupakan masalah yang signifikan pada populasi stroke, terutama pada pasien dengan
stroke sedang sampai buruk. Hemiplegia dapat mempengaruhi kemampuan daya gigit pada
sisi wajah yang terkena stroke. Umumnya pasien yang memperoleh texture-modified diet
dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan atrofi otot mastikatori dan berkurangnya
daya gigit. Disfagia juga mempengaruhi masuknya nutrisi ke dalam tubuh.17
Disfagia merupakan faktor risiko yang sangat signifikan untuk terjadinya pneumonia
aspirasi dan kematian pasca stroke. Keadaan kebersihan mulut yang buruk meningkatkan
jumlah bakteri di dalam saliva, yang dapat berkontribusi dalam berkembangnya pneumonia.
Bakteri tidak hanya dapat berkolonisasi di dalam paru-paru namun bakteri juga dapat
menyebabkan infeksi sistemik pada tubuh.17 Disfagia dapat didiagnosis melalui pemeriksaan
klinis dan dengan menggunakan uji khusus. Pemeriksaan klinis dilakukan dengan
menanyakan riwayat masalah menelan serta mengobservasi kemampuan individu untuk
menelan makanan dan minuman dengan berbagai konsistensi. Uji khusus meliputi
videofluoroscopy (VFS) dan nasendoscopy. Prosedur uji tersebut terbukti lebih akurat untuk
mendiagnosis disfagia.11

2.2.2.7 Komunikasi
Terdapat beberapa gangguaan kognitif dan komunikasi yang berhubungan dengan
stroke termasuk aphasia, dysphasia, dan dysarthria. Gangguan-gangguan ini membatasi
kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dan untuk mengutarakan keinginannya.
Komunikasi memakan waktu lebih banyak dan menjadi hal yang memberikan tekanan dalam
hidupnya, dimana seseorang ingin menyampaikan maksud hatinya namun tidak dapat untuk
mengekspresikan dirinya, dan terkadang berakibat pada emotional outbursts.11
Aphasia adalah gangguan dalam berkomunikasi yang disebabkan oleh adanya
kerusakan pada bagian otak yang bertanggung jawab dalam kemampuan berbicara. Gangguan
ini membatasi kemampuan seseorang untuk memproses suatu bahasa dan memberikan
dampak negatif yang besar dalam sosial, fisik, dan emosi. Aphasia umumnya terjadi secara
mendadak saat stroke. Stroke merupakan penyebab utama 23-40% pasien pasca stroke
memiliki long-term aphasia. Aphasia berbeda-beda pada setiap individu dan kesulitan dalam
berkomunikasi dapat berubah seiring dengan waktu. Penting bagi pekerja kesehatan dan
keluarga untuk mengetahui dan memahami tipe aphasia yang diderita oleh pasien, karena
mempengaruhi bagaimana cara untuk berkomunikasi dengan tehnik yang ada. Tipe aphasia
meliputi: Global Aphasia, Broca’s Aphasia, Wernicke’s Aphasia, dan Anomic Aphasia.11
Sedangkan dysarthria adalah gangguan berbicara yang disebabkan oleh adanya
gangguan pada saraf yang berfungsi untuk mengontrol kerja otot dan biasanya dikarenakan
oleh facial paralysis serta melemahnya otot bicara. Dysarthria menyebabkan masalah dalam
artikulasi dan resonansi pada pasien. Semua jenis dysarthria berdampak pada artikulasi
konsonan sehingga pasien terdengar berbicara dengan tidak jelas dan kondisi ini sering
disalah artikan bahwa pasien sedang mabuk. Kejelasan pasien dysarthria dalam berbicara
tergantung pada seberapa besarnya kerusakan yang terjadi pada saraf.11

2.3 Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut Pasien Geriatri Pasca Stroke
2.3.1 Memelihara Kesehatan Mulut
Pasien umumnya dapat melakukan kembali perawatan ke dokter gigi setelah enam
bulan post stroke untuk memberikan waktu pada pasien untuk mencapai rehabilitasi
maksimal dan untuk mempertimbangkan rencana perawatan untuk pasien secara
keseluruhan.20 Dokter gigi harus menginstruksikan dan mendorong pasien untuk kembali
bertanggung jawab atas kesehatan gigi dan mulutnya dan dokter gigi juga harus
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai pasien tersebut, seperti obat apa saja
yang dikonsumsi beserta efek sampingnya, apakah pasien sedang dalam pengobatan
antikoagulan dan anti aggregant, dan apakah obat yang dikonsumsi dapat menyebabkan
xerostomia, haemorrhagia, ataupun gingival hyperplasia. Dokter Gigi juga harus paham dan
menyesuaikan dengan suasana hati pasien untuk dapat melakukan evaluasi apakah pasien
memiliki anxiety disorders atau depresi.21
Pasien pasca stroke disertai hipertensi yang sedang dalam pengobatan antikoagulan
(warfarin, aspirin, atau clopidogrel) harus diperhatikan. Internationalized Normalized Ratio
test (INR) pada kasus penggunaan warfarin, digunakan untuk mengevaluasi risiko perdarahan
yang disebabkan oleh prosedur perawatan gigi invasif dan untuk mengetahui tingkat
antikoagulasi pada pasien. Antikoagulan juga dapat digunakan sebagai secondary stroke
prevention sehingga sebaiknya semua pasien yang menggunakan obat golongan tersebut
dilakukan uji laboratorium terlebih dahulu untuk mengetahui risiko perdarahan.6,17,20

Faktor gaya hidup seperti diet, merokok, konsumsi alkohol, kebiasaan menjaga
kebersihan mulut, dan perawatan gigi sebelum stroke akan berdampak pada kesehatan mulut
individu, seperti yang akan mempengaruhi masalah medis seperti diabetes. Gejala dan efek
pada tubuh dari stroke bersamaan dengan efek samping oral dari pengobatan dalam terapi
stroke akan berdampak pada kesehatan mulut yang membutuhkan perhatian ekstra pada
kebersihan mulut. Orang dewasa penyandang disabilitas yang menjadi lumpuh di kemudian
hari dan pengasuhnya mungkin mengalami kesulitan dalam menerapkan kebersihan yang
baik.

Kelumpuhan wajah dan hilangnya sensasi dapat menyebabkan sisa makanan


menumpuk dan mengumpul di sisi yang terkena. Gangguan menelan dapat meningkatkan
waktu kontak makanan ke gigi; penatalaksanaan dengan melunakkan konsistensi makanan
dan menggunakan cairan kental meningkatkan risiko karies gigi. Penyesuaian pola makan
untuk memperbaiki status gizi dengan suplemen makanan yang berpotensi menimbulkan
kariogenik dan pemberian makan dengan cara 'menghisap' lebih meningkatkan risiko karies.
Mulut kering adalah efek samping oral yang paling umum dari pengobatan yang selanjutnya
meningkatkan risiko karies, penyakit periodontal, infeksi mulut dan masalah gigi tiruan.

Kelemahan otot, kehilangan kecekatan dan perubahan penggunaan tangan yang


dominan dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk merawat diri sendiri dalam
kebersihan mulut dan gigi tiruan. Gangguan komunikasi, kehilangan memori dan gangguan
kognitif juga dapat mempengaruhi kebersihan mulut dan keterampilan belajar. Pengetahuan
dan keterampilan pengasuh, baik pribadi maupun profesional dalam memberikan dukungan
dan memberikan kebersihan mulut perlu diperhatikan.

Standar kebersihan mulut yang tinggi harus dijaga pada pasien dengan disfagia, dan
terutama pada mereka dengan pemasangan PEG atau NG feeding , untuk meningkatkan
kesehatan dan kenyamanan mulut. Perawatan oral untuk pasien yang memiliki
ketergantungan, disfagik atau sakit kritis harus mengikuti pedoman BSDH (Griffiths dan
Lewis, 2002); aspirasi selama kebersihan mulut harus ada untuk pasien yang mengalami
disfagik. Kebutuhan akan alat bantu yang tepat untuk kebersihan mulut dan gigi tiruan harus
diperhitungkan secara bersama oleh terapis okupasi dan dokter gigi atau dental hygienist.
Termasuk penggunaan sikat gigi elektrik atau sikat dengan pegangan yang dimodifikasi
untuk mempermudah pengaplikasian.
Gambar. Sikat gigi dengan pegangan yang dimodifikasi untuk mempermudah pengaplikasian.

Rencana perawatan untuk kebersihan mulut harus didasarkan pada penilaian individu
terhadap status gigi dan faktor risiko kesehatan mulut. Ini harus mencakup analisis diet,
pemicu stres untuk kesehatan mulut, efek samping oral dari pengobatan dan kemampuan atau
tingkat ketergantungan individu untuk kebersihan mulut harian. Penilaian harus diulang
secara berkala dengan mempertimbangkan setiap perubahan dalam gangguan fisik atau
kognitif, dan manajemen medis. Kebersihan mulut harus didasarkan pada protokol kebersihan
mulut tertentu, saran preventif untuk pasien tentang suplemen makanan, dan rekomendasi
dalam 'Menilai kesehatan mulut seseorang'.

Poin Utama:

● Pemeliharaan kebersihan mulut harus menjadi bagian dari rencana perawatan


penderita stroke secara keseluruhan.
● Menyikat gigi pada penderita stroke dengan disfagia harus dilakukan dengan
menggunakan aspirasi dan sedikit pasta gigi.
● Sediakan perawatan emergensi dan minimalkan tingkat stres pasien selama
perawatan.
● Usahakan pertemuan dalam waktu singkat dan monitor blood pressure, dan batasi
penggunaan epinephrine.
● Jika diduga ada gangguan kognitif, konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter yang
bersangkutan sblm melakukan perawatan.
● Identifikasi pasien jika pasien membutuhkan ambulans atau bantuan lain sebagai
pencegahan pasien risiko jatuh.
● Tingkat stroke 2-4 kali lebih tinggi pada pasien yang disertai diabetes.11

2.3.1.1 Manajemen Periodontal Disease

Baik gingivitis dan periodontitis adalah infeksi oportunistik yang diakibatkan oleh
bakteri yang berkoloni pada gigi dan jaringan periodontal. Tujuan perawatan periodontal
adalah untuk menghilangkan atau mengendalikan gingivitis dan untuk menghentikan
perkembangan periodontitis dengan menghilangkan plak mikroba. Perawatan gingivitis
dilakukan dengan debridemen (pengangkatan plak dan kalkulus) dari gigi dengan scaling dan
menghilangkan atau mengurangi faktor risiko, diikuti dengan perawatan di rumah setiap hari
dan profilaksis yang dilakukan profesional saat tindak lanjut. Periodontitis kronis diobati
dengan debridemen dan alat mekanis lainnya yang dapat melibatkan pembedahan.

Usia pasien bukan merupakan kontraindikasi bedah periodontal. Misalnya, seorang


berusia 80 tahun yang kuat mungkin merupakan kandidat yang sangat baik untuk perawatan
maksimal. Prinsip bedah periodontal pada dasarnya sama untuk orang dewasa dari segala
usia, dan tidak ada perbedaan nyata antara prosedur bedah yang digunakan pada orang tua
dan muda. Bukti yang ada dengan jelas menunjukkan bahwa penyembuhan luka yang sangat
baik dapat diperoleh pada orang tua, asalkan jaringannya ditangani dengan benar.

Konsultasi dengan dokter pada pasien lanjut usia sering kali diperlukan sebelum
perawatan untuk mengklarifikasi aspek tertentu dari masalah medis dan / atau
pengobatannya. Pasien dengan penyakit katup jantung tertentu harus menerima antibiotik
sebelum scaling dan pembedahan untuk mencegah infeksi melalui penyebaran hematogen.
Pada pasien usia lanjut yang terganggu secara medis dan / atau mental, terapi periodontal
non-bedah mungkin merupakan pendekatan terbaik untuk pengobatan. Pada orang tua yang
kesehatannya buruk, tujuan perawatan yaitu menjaga pasien agar bebas dari rasa sakit dan
infeksi dan untuk menjaga gigi dalam kondisi fungsional seumur hidup.

A. Perawatan non-bedah

Terapi non-bedah awal untuk penyakit periodontal terdiri dari pengangkatan


profesional plak gigi supragingiva dan subgingiva serta kalkulus dengan scaling dan root
planing. Scaling dan root planing dilakukan dengan scaler tangan dan kuret atau instrumen
ultrasonik, atau keduanya. Scaler tangan dan kuret adalah instrumen tajam dengan satu atau
dua ujung tajam yang digunakan untuk menghilangkan kalkulus, plak dan noda, baik
supragingiva dan, khususnya, subgingival, yang sangat penting dalam penyakit periodontal.
Instrumentasi manual dan ultrasonik efektif dalam menghilangkan kalkulus subgingiva dan
mengubah mikrobiota subgingiva. Selain itu, kedua jenis instrumentasi mencapai perbaikan
yang sebanding dalam parameter klinis (yaitu, penurunan kedalaman probing, peningkatan
tingkat perlekatan klinis, dan pengurangan perdarahan saat probing).

Perawatan non-bedah tambahan


Untuk meningkatkan hasil perawatan, beberapa tambahan untuk perawatan
periodontal non-bedah telah diusulkan, termasuk pemakaian obat lokal, antibiotik sistemik.

● Pemakaian obat lokal

Obat tambahan termasuk antibiotik, seperti minocycline dan doksisiklin, atau


antimikroba, seperti klorheksidin, yang diaplikasikan langsung ke poket periodontal dengan
bentuk bubuk, gel, serpihan atau fiber untuk pengobatan lokal. Tinjauan lain
merekomendasikan penggunaan antimikroba lokal tambahan di poket yang dalam atau gigi
dengan penyakit berulang.

● Antibiotik sistemik

Tiga tinjauan sistematis yang mengevaluasi regimen antibiotik sistemik yang berbeda
dalam pengobatan periodontitis kronis dan agresif menyimpulkan bahwa kombinasi
amoksisilin dan metronidazol tampaknya paling kuat dan menghasilkan perbaikan klinis yang
lebih nyata pada probing dalam dan tingkat perlekatan klinis. Sebuah tinjauan sistematis dan
meta analisis studi tentang penggunaan kombinasi antibiotik ini selain terapi periodontal non-
bedah menyimpulkan bahwa ada bukti yang cukup kuat untuk mendukung bahwa strategi
pengobatan ini memperlihatkan hasil klinis yang lebih unggul secara signifikan dalam hal
pengurangan kedalaman probing, peningkatan perlekatan klinis dan perdarahan saat probing
berkurang daripada scaling dan root planing saja.

B. Perawatan bedah

Debridemen flap terbuka adalah prosedur di mana bagian gingiva dipisahkan dari
jaringan di bawahnya untuk memberikan visibilitas dan akses ke lesi. Bedah pengurangan
poket termasuk reseksi jaringan lunak dan keras menggunakan berbagai teknik. Pembedahan
regeneratif mencakup petunjuk regenerasi jaringan (penggunaan barier membran untuk
memusatkan pertumbuhan periodonsium baru, dengan mencegah pertumbuhan epitel dan
jaringan ikat di area di mana tulang dan ligamen periodontal diinginkan), pencangkokan dan
penggunaan biologis. Laser-assisted new attachment procedure (LANAP) baru-baru ini
diperkenalkan sebagai alternatif konservatif untuk terapi bedah.

(Kinane DF, Stathopoulou PG, Papapanou PN. Periodontal Disease. Disease Primers. 2017;
3 (17038): 1-14.)
(Pedersen PH, Walls A, Ship J. Textbook of Geriatry Dentistry. Hoboken, New Jersey: Wiley
Blackwell. 2015.)

2.3.1.2 Manajamen Xerostomia

Penderita xerostomia harus disarankan untuk melakukan kebersihan mulut yang


sangat baik. Anjurannya harus mencakup menyikat gigi setidaknya dua kali sehari (tetapi
tidak segera setelah makan), termasuk pada malam hari,memakai dental floss, menggunakan
pasta gigi dengan kandungan fluoride tinggi seukuran kacang polong, untuk mengkompensasi
kekurangan fluoride saliva dan meningkatkan perlindungan dari karies gigi. Perlindungan ini
dapat ditingkatkan dengan penggunaan mousse atau gel gigi yang mengandung fluoride, yang
dioleskan dua kali sehari. Penderita xerostomia harus menghindari penggunaan obat kumur
yang mengandung alkohol, kafein, konsumsi minuman bersoda (terutama minuman bersoda
yang mengandung gula), dan sering ngemil. Pasien dengan xerostomia memerlukan
peningkatan frekuensi pemeriksaan gigi pada dokter gigi.

Aturan pola makan untuk penderita xerostomia harus menghindari makanan yang
mengandung gula, terutama makanan ringan, untuk melawan risiko berkembangnya karies
dan kebutuhan untuk membatasi konsumsi makanan dan minuman yang bersifat asam.
Penderita xerostomia harus menghindari makanan yang kering, keras, lengket, asam, dan
yang mengandung gula. Pasien xerostomia mungkin memilih untuk menghindari makanan
yang berbumbu kuat.

Obat kumur klorheksidin dapat menjadi antiseptik yang efektif dan berguna untuk
mengendalikan radang gusi. Obat kumur chlorhexidine bebas alkohol direkomendasikan
untuk digunakan pada pasien xerostomia untuk membantu mencegah penyakit periodontal.
Ini dapat digunakan dua kali sehari selama maksimal dua minggu setiap tiga bulan, tetapi
penggunaan berlebihan dapat menyebabkan noda pada gigi dan nyeri pada mulut.

Kesehatan mulut pada pasien xerostomia tidak bergigi dapat ditingkatkan dan
dipertahankan dengan:

• Membersihkan gigi tiruan secara teratur;

• Membilas gigi tiruan dan mulut beberapa kali sehari, terutama setelah makan;

• Setidaknya melepas gigi tiruan dalam sehari, sebaiknya dalam semalam.


• Jika kecekatan protesa gigi tiruan berkurang, dapat dilakukan denture adhesive.

Saliva Pengganti

Alasan melakukan perawatan xerostomia adalah untuk melindungi, merangsang dan


menggantikan saliva. Jika gejala mulut kering ringan, meminum air secara teratur dan
sesering mungkin atau mengunyah permen karet bebas gula mungkin cukup untuk meredakan
ketidaknyamanan.

Kekeringan mulut sedang hingga parah biasanya ditangani dengan pengganti saliva
topikal yang tersedia secara komersial. Pengganti air liur berupa oral spray, gel dan obat
kumur, dapat juga meletakkan bedside humidifier saat tidur. Sediaan pH netral yang
mengandung fluor harus diresepkan untuk pasien bergigi. Sediaan dengan pH asam dan / atau
tanpa fluorida tambahan sebaiknya hanya digunakan pada pasien tidak bergigi. Keefektifan
pengobatan topikal untuk xerostomia tidak terdapat bukti yang kuat untuk efektivitas tablet
hisap, oral spray, obat kumur, gel, minyak, permen karet dan pasta gigi. Namun, pasien
melaporkan peningkatan kenyamanan mulut dengan penggunaan satu atau lebih produk ini.

Stimulan saliva topikal

Permen karet bebas gula juga direkomendasikan untuk mengatasi mulut kering.
Tindakan mekanis mengunyah merangsang produksi air liur. Selain itu, ada beberapa bukti
bahwa xylitol non-sugar mungkin memiliki peran dalam pencegahan karies dengan
sendirinya.

Stimulan saliva sistemik

● Pilocarpine hydrochloride bertindak sebagai agonis pada reseptor muskarinik-


kolinergik, merangsang sekresi saliva. Namun, ada kontraindikasi untuk obat ini,
termasuk sindrom iritasi usus besar, asma, dan penyakit jantung. Efek sampingnya
biasa dan tergantung dosis, termasuk berkeringat, jantung berdebar dan kemerahan.
Diperlukan waktu hingga 12 minggu untuk mendapatkan manfaat terapeutik.
Pedoman nasional merekomendasikan pemakaian pilocarpine 5 mg sekali sehari,
ditingkatkan bertahap menjadi 5mg empat kali sehari, untuk pasien dengan gejala
kekeringan mulut yang parah, selama tidak ada kontraindikasi untuk penggunaannya
dan pasien dapat mentolerir efek sampingnya.
● Cevimeline adalah agonis muskarinik lain yang merangsang produksi air liur dan air
mata. Obat ini memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
pilocarpine karena memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk reseptor muskarinik yang
terletak di epitel kelenjar lakrimal dan ludah.

Pengobatan kandidiasis oral

Pasien xerostomia telah terbukti memiliki kadar Candida yang tinggi, meskipun
kebersihan mulutnya baik, dan kandidiasis mulut berulang adalah masalah umum pada pasien
dengan mulut kering. Kehadiran gigi tiruan dan merokok mendorong lingkungan untuk
terinfeksi Candida berulang dan persisten. Kandidiasis rongga mulut bisa muncul sebagai
plak putih atau bercak eritematosa di mulut. Direkomendasikan penggunaan obat cair nistatin
oral 1ml lima kali sehari selama tujuh hari. Perawatan ini bisa diulang selama satu minggu,
setiap delapan minggu, jika infeksinya kambuh. Flukonazol sistemik 50mg sekali sehari
selama 10 hari diperlukan untuk mengobati infeksi eritematosa yang sudah berlangsung lama.

Candida juga dapat menginfeksi sudut mulut, menyebabkan lesi fisure eritematosa –
angular cheilitis. Perawatan yang direkomendasikan untuk lesi ini adalah aplikasi topikal
mikonazol selama dua minggu, menggunakan cotton bud bersih untuk dioleskan ke setiap sisi
untuk mencegah kontaminasi silang dan persistensi infeksi. Kondisi ini dapat diperburuk oleh
gigi tiruan yang ketinggian vertikalnya rendah.

(Tappuni AR, Wilson N. Dry Mouth: Advice and Management. The Pharmaceutical
Journal.2018; 300 (7911): 1-13.)

(Joanna NDY, Thomson WM. Dry Mouth – An Overview. Singapore Dental Journal. 2015;
36: 12-17.)

2.3.1.3 Manajemen Prostodontik

A. Complete Dentures
● Rebasing
Jika fit surface atau ekstensi dari gigi tiruan yang tidak mendukung, reline
atau rebase dapat diindikasikan. Rebasing gigi tiruan yang sudah ada adalah prosedur
yang relatif mudah dan ini bisa menjadi keuntungan tersendiri bagi pasien yang
lemah. Namun, perawatan harus dilakukan untuk menghindari perubahan ekstensif
pada gigi tiruan di mana kemampuan adaptif pasien diragukan. Dalam situasi ini,
mungkin lebih baik membuat ulang gigi tiruan menggunakan copy technique.
Rebasing atau relining ulang gigi tiruan dapat dilakukan menggunakan chairside atau
dilakukan di laboratorium. Reline pada laboratorium akan memiliki permukaan akhir
yang lebih baik dan lebih tahan lama, namun pasien harus tidak menggunakan gigi
tiruan untuk jangka waktu tertentu. Bahan chairside dijual sebagai bahan permanen
tetapi biasanya membutuhkan penggantian setelah satu tahun karena kerusakannya.

Bahan soft lining temporary atau tissue conditioner berguna untuk


meningkatkan kecekatan permukaan gigi tiruan. Hal ini memungkinkan pasien untuk
terus memakai gigi tiruan segera pasca stroke di mana kehilangan kendali otot paling
besar. Jika tissue conditioner digunakan untuk memperbaiki gigi tiruan dan ditoleransi
dengan baik, gigi tiruan dapat disalin. Tissue conditioner dapat digunakan sebagai
rebase impression jika dibiarkan secara in situ selama enam jam. Bahan-bahan ini
keropos dan sulit untuk dijaga kebersihannya sehingga diperlukan pemeriksaan rutin.

Fiksatif gigi tiruan kadang-kadang dapat direkomendasikan untuk digunakan


dengan gigi tiruan atas yang tidak permanen, terutama pada tahap awal rehabilitasi.
Namun, penyebab yang mendasari kurangnya retensi harus ditangani secepat
mungkin.

● Eliminasi Sulkus

Makanan dapat menumpuk di permukaan bukal dari gigi tiruan lengkap bagian
bawah pada sisi wajah yang lumpuh. Hal ini dapat dicegah dengan menambahkan
resin akrilik yang sesuai untuk penggunaan intra oral, seperti bahan mahkota
sementara, ke permukaan bukal yang dipoles dari gigi tiruan di sisi yang terkena
untuk mengisi sulkus. Akrilik ditambahkan pada gigi bawah sehingga perlu untuk
menyesuaikan pada permukaan bukal dari gigi tiruan atas. Jika eliminator sulkus
dapat ditoleransi dengan baik dan kelumpuhan wajah tidak membaik maka gigi tiruan
dapat diperbaiki dengan perubahan pada permukaan poles secara utuh. Menempatkan
gigi tiruan posterior bawah lebih jauh ke arah bukal pada sisi yang terkena, saat
membuat gigi palsu baru, juga dapat mengurangi masalah stagnasi makanan.

● Replacement Denture

Pertimbangan yang cermat perlu diberikan, apakah gigi palsu pengganti


diperlukan. Penting untuk menentukan manfaat yang dapat diperoleh individu dari
gigi tiruan baru dan mempertimbangkan potensi masalah dalam menyesuaikan diri
dengan prostesis baru. Gigi tiruan pengganti idealnya harus diperluas sebanyak
mungkin di area bantalan gigi tiruan untuk memaksimalkan retensi, penopang dan
stabilitasnya. Ini sering dilakukan dengan menggunakan nampan khusus yang dibuat
pada cetakan utama yang membutuhkan dua kunjungan untuk tahap impression.
Posisi gigi ditentukan dengan membentuk pinggiran oklusal menggunakan wax untuk
mendekati posisi gigi asli pasien. Panduan biometrik dapat digunakan untuk
menyesuaikan pinggiran oklusal. Teknik zona netral (piezograf) untuk mencetak
bentuk lengkung bawah dan permukaan yang dipoles mungkin sangat membantu di
mana kontrol otot berkurang.

a. b.

Gambar 2 a & b. Piezograf bawah lebih maju dibandingkan galangan gigit atas. Perhatikan
posisi bukal yang dibentuk oleh tekanan lidah

Teknik konvensional tidak selalu merupakan pendekatan yang ideal untuk


membuat gigi tiruan baru. Beberapa pasien mungkin memiliki gigi tiruan yang telah
berhasil mereka pakai selama beberapa tahun atau mereka mungkin tidak dapat
sepenuhnya mengikuti prosedur yang diperlukan untuk gigi tiruan pengganti
konvensional. Dalam situasi ini, copy technique sangat membantu. Merupakan hal
yang tidak biasa untuk membuat gigi tiruan tanpa membuat beberapa perubahan
dalam desain seperti memperbaiki fit surface atau meningkatkan dimensi vertikal. Hal
ini dapat dilakukan sebagai percobaan pada gigi tiruan yang ada sebelum salinan
dibuat. Oleh karena itu dimungkinkan untuk membandingkan pengaruh perubahan
yang terjadi sambil mempertahankan fitur gigi tiruan lama yang berhasil. Metode
yang berbeda dapat digunakan untuk mengcopy gigi tiruan. Metode apa pun yang
dipilih, penting untuk memperhatikan teknik yang cermat untuk mencegah terjadinya
kesalahan yang tidak diinginkan.

Gambar. Gigi tiruan lengkap bawah dimodifikasi dengan wax dan compound sebelum
dilakukan salinan. Koreksi telah dilakukan pada tingkat bidang oklusal dan border extension

B. Partial Dentures

Gigi tiruan sebagian harus dibuat sehigienis mungkin dengan mengurangi cakupan
margin gingiva. Cakupan margin gingiva oleh komponen gigi tiruan telah terbukti
meningkatkan jumlah plak di mulut pemakainya. Desain yang higienis paling baik dicapai
dengan menggunakan kerangka logam yang dapat menggabungkan fitur untuk
memaksimalkan penyangga gigi dan menghindari tertutup berlebih. Desainnya mungkin
perlu menggabungkan fitur seperti dukungan logam pada gigi dengan prognosis jangka
panjang yang meragukan. Hal ini akan memudahkan penambahan prosthetic teeth ke gigi
tiruan jika terjadi kehilangan gigi lebih lanjut.

Gigi tiruan resin akrilik mungkin lebih cocok jika gigi asli yang tersisa memiliki
prognosis yang buruk. Gigi tiruan tersebut harus dirancang agar bebas dari margin gingiva
jika memungkinkan meskipun ini biasanya hanya dapat dicapai pada lengkung rahang atas.
Persimpangan antara permukaan akrilik dan gigi harus ditempatkan setinggi mungkin pada
permukaan gigi lingual / palatal untuk memberikan dukungan tertentu. Cakupan pada margin
gingiva harus diminimalkan untuk mencegah terjadinya ‘gum stripping' dari gigi tiruan yang
tidak didukung dengan baik. Hal ini dapat dicapai dengan meminta teknisi untuk memblokir
area tersebut dengan plester sebelum memproses gigi tiruan.

Orang dengan hemiplegia mungkin mengalami kesulitan untuk memasang dan


melepas gigi tiruan dengan satu tangan. Ini akan sangat jelas jika sisi yang lebih kuat terkena.
Guide planes pada gigi harus digunakan untuk memberikan jalan yang mulus saat insersi dan
pelepasan. Pertimbangan juga harus diberikan untuk mengurangi jumlah clasp jika terdapat
gigi penyangga yang mencukupi. Bagian labial gigi tiruan dapat dibuat berlekuk untuk
memungkinkan pemasangan kuku jari atau 'mencongkel' untuk memudahkan pengangkatan.

(British Society of Gerodontology. Guidelines for the Oral Healthcare of Stroke Survivors.
2010)

2.3.1.4 Perawatan Restorasif

Mungkin sulit bagi seseorang untuk mengatasi perawatan restoratif ekstensif setelah
stroke. Tujuan perawatan harus fokus pada masalah yang berdampak pada kualitas hidup
individu. Ini termasuk memaksimalkan kenyamanan, martabat dan otonomi. Pasien mungkin
merasa sulit untuk berbaring di dental chair dan mungkin perlu menggunakan beberapa
bentuk penyangga seperti bantal untuk sisi yang sakit. Rubber dam berguna selama
perawatan restoratif untuk melindungi jalan napas pasien yang menderita disfagia atau yang
merasa sulit untuk berbaring di dental chair.

A. Karies akar

Karies gigi dan stroke berbagi faktor risiko umum termasuk status sosial ekonomi,
obesitas dan diet; Oleh karena itu, pasien stroke cenderung mengalami karies gigi. Menurut
Survei Diet dan Nutrisi Nasional, karies akar terjadi pada 13% populasi lansia yang hidup
sehat. Sedangkan 39% untuk populasi lansia yang dilembagakan yang mungkin mencakup
banyak penderita stroke. Upaya untuk menghentikan lesi karies akar yang dapat disikat harus
dilakukan. Hal ini dapat dicapai dengan pengendalian plak termasuk penggunaan obat kumur
klorheksidin, gel atau varnish. Fluorida topikal sangat efektif untuk mencegah karies akar dan
tersedia juga dalam bentuk obat kumur, pasta gigi, gel dan varnish. Baru-baru ini pasta yang
mengandung kalsium fosfat amorf dan kasein fosfopeptida (ACP-CPP) telah tersedia (Tooth
Mousse). Bahan aktif tersebut meningkatkan ion kalsium dan fosfat pada permukaan gigi dan
pada plak gigi, kemudian dilepaskan ketika pH di mulut turun, sehingga mendorong
terjadinya remineralisasi.

Jika karies akar dapat diakses dengan menyikat gigi, upaya untuk menghentikan lesi
harus dilakukan dengan kombinasi kontrol plak dan aplikasi fluoride. Lesi yang
membutuhkan restorasi seringkali pada interproksimal gigi karena paling sulit diakses.
Memungkinkan untuk mengekskavasi lesi yang lebih kecil dan menghaluskan permukaan
kavitas tanpa restorasi. Untuk pasien yang kurang kooperatif, perawatan restoratif atraumatic
(ART) dapat diindikasikan. Karies lunak dapat diekskavasi dengan instrumen manual atau
elektrik. Sebagai alternatif, metode kemo mekanis (misalnya Carisolv) dapat digunakan. Lesi
yang terdapat karies, kemudian direstorasi dengan glass ionomer cement yang merupakan
bahan pilihan untuk lesi karies akar. Kavitas harus ditutup rapat untuk mencegah masuknya
bakteri dan melindungi pulpa dari kerusakan.

B. Ekstraksi Gigi

Pasien pasca stroke dapat menggunakan obat antiplatelet atau antikoagulan oral
sebagai bagian dari perawatan medis mereka yang sedang berlangsung. Bukti saat ini
menunjukkan bahwa terapi antiplatelet dengan aspirin tidak perlu dihentikan sebelum
ekstraksi sederhana. Demikian pula, Warfarin tidak harus dihentikan sebelum pencabutan
gigi, tetapi INR pasien (Rasio Normalisasi Internasional) harus diuji dalam 24 jam sebelum
prosedur. Jika INR kurang dari 4.0 maka hingga tiga ekstraksi dapat dilakukan dalam satu
pertemuan dan soket ditutup dengan bahan hemostatik yang dapat diserap dan dijahit untuk
mengontrol perdarahan pasca operasi.

C. Fixed Prosthodontics (Bridges)

Perencanaan perawatan restoratif lanjutan untuk penderita stroke dilakukan atas dasar
keinginan dan kebutuhan individu. Perawatan restoratif tidak mungkin dilakukan pada tahap
awal (beberapa bulan pertama) pemulihan stroke, tetapi mungkin merupakan bagian dari
rehabilitasi jangka panjang. Rencana perawatan harus dibuat sesederhana mungkin dan
restorasi direncanakan untuk memungkinkan pasien menjaga kebersihan.
Mungkin sulit bagi pasien untuk melakukan perawatan dengan waktu yang lama yang
mungkin diperlukan untuk prostodontik cekat konvensional. Pertimbangan perlu diberikan,
apakah gigi yang hilang benar-benar perlu diganti. Anjuran untuk tidak mengganti gigi yang
hilang terkadang bisa menjadi pilihan yang lebih tepat ketika mempertimbangkan masalah
dalam menjaga kebersihan di sekitar fixed bridges. Penerimaan lengkung gigi yang
diperpendek sebagai konsep perawatan telah diakui selama beberapa waktu [56]. Keputusan
untuk menerima gigi yang missing akan tergantung pada keinginan pasien, masalah
fungsional dan estetika serta stabilitas oklusi.

Adhesive bridge untuk menggantikan satu unit gigi yang hilang dapat mencegah
kebutuhan akan gigi palsu. Teknik ini membutuhkan sedikit atau tidak memerlukan preparasi
gigi penyangga. Cantilever resin bonded bridge telah terbukti memiliki tingkat ketahanan
yang lebih tinggi daripada desain fixed dalam kebanyakan situasi dan mungkin lebih mudah
bagi pasien untuk menjaga kebersihan. Jika ruang oklusal terbatas, dimungkinkan untuk
memberikan banyak semen pada retainer dan memungkinkan oklusi terbentuk kembali
dengan gerakan gigi aksial lokal. Program pemeliharaan preventif harus dilakukan sebelum
perawatan restoratif kompleks dilakukan.

(British Society of Gerodontology. Guidelines for the Oral Healthcare of Stroke Survivors.
2010)

2.4 Pembahasan
2.4.1 Laporan Kasus
Seorang pria berkulit putih berusia 70 tahun dengan keadaan edentulous dirujuk ke
KA-Dent Dental Clinic, Wschowa, Polandia, untuk dibuatkan gigi tiruan lengkap rahang atas
dan rahang bawah. Riwayat medisnya mengungkapkan bahwa ia menderita hipertensi,
trombositopenia, dan penyakit Parkinson, yang semuanya berada di bawah kendali medis.
Selain itu, ia pernah mengalami stroke hemisferis unilateral 2 tahun sebelumnya, dimana ia
telah menerima rehabilitasi motorik dan sensorik.
Selama kunjungan, pasien mengeluhkan gerakan lidah yang terganggu dan kesulitan
dalam mengunyah. Pemeriksaan ekstraoral menunjukkan bibir yang kompeten dengan
pembukaan mulut normal, profil wajah cekung, dan hemiparesis ringan pada bagian wajah
kanan. Secara intraoral, terlihat adanya deviasi mandibula ke arah sisi kanan dan protrusi
mandibula, serta gerakan lidah yang terbatas. Tidak ada penurunan kemampuan berbicara.
Tanda dan gejala disfungsi sendi temporomandibular terdeteksi (Sendi kanan terbuka lebih
awal dan adanya click saat akhir menutup mulut).
Pasien diminta untuk meletakkan lidah diberbagai bagian mulut untuk menentukan
tingkat deviasi mandibula dan inkompetensi gerakan lidah. Pasien dapat menyentuh bagian
anterior dan median dari palatum keras dengan sedikit deviasi ke kanan dan mukosa bukal
kiri, tetapi sulit untuk menyentuh palatum bagian posterior, dan ia tidak dapat menyentuh
mukosa bukal sebelah kanan. Setelah menggerakkan lidah ke bagian palatum anterior, ia
menunjukkan posisi wajah yang lebih baik dan tidak ada click pada sendi kanan, namun
setelah beberapa menit, ia kembali ke posisi biasanya.
Rencana perawatannya adalah membuat gigi tiruan rahang atas menggunakan pearl di
atas kawat pada bagian palatal untuk memandu mandibula ke CR dan untuk OMT.
Pencetakan awal dibuat dengan menggunakan stock tray dan hidrokoloid ireversibel
(Kromopan; Lascod SpA.). Definitif impression dibuat dengan menggunakan tray costum
yang terbuat dari resin akrilik terpolimerisasi ringan (Elite LC Tray; Zhermack SpA) dan
bahan cetakan silikon (Xan-topren M mucosa; Heraeus Kulzer GmbH) setelah dilakukan
bolder molding dengan impression compound modelling plastic (Impression Compound Type
I Red; Kerr Corp). Hubungan mandibula dicatat dengan meminta pasien untuk mengangkat
lidah ke bagian paling posterior dari palatum yang dapat dijangkau dan dapat ditutup dalam
posisi retrusi. Penataan gigi didasarkan pada oklusi seimbang.
Percobaan gigi tiruan dievaluasi dan kemudian diproses dengan menggunakan teknik
eliminasi wax konvensional. Gigi tiruan definitif dievaluasi secara intraoral. Namun, pasien
menunjukkan deviasi mandibula dan protrusi mandibula dalam posisi kebiasaannya (Gambar
1-3). Radiografi sefalometri lateral (CS 9000 3D; Carestream Health Inc) mengkonfirmasi
profil skeletal kelas III (Gbr. 4). Untuk memandu mandibula ke CR, kawat stainless (diameter
0,9 mm, spring hard, Remanium, Dentaurum GmbH & Co. KG) dengan pearl resin akrilik
autopolimerisasi (diameter 5 mm; Premacryl Plus, SpofaDental as) ditempatkan disebagian
besar bagian palatal posterior dari gigi tiruan rahang atas yang dapat dijangkau dengan lidah
pasien (bagian anteriomedian) dengan menggunakan bahan resin akrilik autopolimerisasi
(Duracryl Plus; SpofaDental as) (Gbr. 5). Tekukan posterior pada kawat dibuat untuk
menjaga pearl tetap di garis tengah. Pemeriksaan radiografi kedua menunjukkan posisi
mandibula yang benar ketika pasien menyentuh pearl (Gambar 6, 7). Pasien disarankan untuk
selalu menggunakan prostesis kecuali saat tidur dan melakukan latihan lidah setidaknya
selama 15 menit 3 kali sehari, yang melibatkan menyentuh pearl tersebut, memutar pearl di
sekitar porosnya dari anterior ke bagian posterior gigi tiruan dan sebaliknya, dan juga
memindahkannya dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri. Ia disarankan untuk
membersihkan prostesis setiap habis makan.

Gambar 1. Profil wajah cekung setelah Gambar 2. Gambaran intraoral setelah


pemasangan gigi tiruan lengkap pemasangan gigi tiruan lengkap tanpa
mandible dan tongue guidance.

Gambar 3. Gambaran ekstraoral protesis Gambar 4. Radiografi sefalometri lateral


dengan occlusal wax registration. memverifikasi protrusi mandibula dan
profil skeletal kelas III.

Gambar 5. Gigi tiruan RA yang Gambar 6. Radiografi sefalometri lateral


digabungkan dengan pearl di atas kawat setelah koreksi hubungan sentris dengan
stainless pada bagian gigi tiruan gigi tiruan RA yang dimodifikasi dan
anteriomedian palatal. terapi gerakan lidah.
Setelah 3 bulan rehabilitasi, dilaporkan bahwa saat kunjungan evaluasi klinis pasien
menunjukan tidak adanya deviasi dan protrusi mandibula, aktivitas pengunyahan dan
deglutisi meningkat, serta tidak menunjukan adanya gejala gangguan temporomandibular.
Gerakan lidah meningkat secara signifikan (menyentuh bagian anterior dan median palatum
tanpa deviasi, dan sedikit deviasi ke kanan di bagian posterior). Di akhir kunjungan, kawat
dengan pearl dilepas. Saat kontrol kedua, 6 bulan kemudian, efek terapeutik telah
dipertahankan. Pasien secara subyektif menunjukkan kepuasan dengan perawatannya.

Gambar 7. A. Hasil intraoral setelah 3 bulan. B. Hasil intraoral setelah 6 bulan dengan gigi
tiruan RA tanpa pearl.

2.4.2 Pembahasan

DAFTAR PUSTAKA

1. Islam, Syaiful M. Patogenesis dan Diagnosis Stroke, Lab/SMF Penyakit Saraf FK-

UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 2009


2. Kristanti. EE. Kurniawati. F. Gambaran Dukungan Keluarga Emosional pada

Perawatan Kesehatan Mulut dan Gigi Pasien Pasca Stroke di Instalasi Rawat Jalan Rs.

Baptis Kediri. Jurnal Stikes. Volume 10 (2); 2017: 89-160

3. Kemenkes.2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013.Jakarta :

Kemenkes RI

4. Aldiaman. H, Adhani. R, Adenan. Efektivitas Menyikat Gigi dengan Metode Fone

terhadap Indeks Kebersihan Rongga Mulut (Tinjauan pada Pasien Stroke di Klinik

Millennia Banjarmasin Tahun 2014) Jurnal Kedokteran Gigi. Vol 1(2); 2016

5. Departemen Kesehatan RI. Undang-Undang nomor 79 tahun 2015 tentang

Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri di Rumah Sakit. Undang-undang Negara

Republik Indonesia. 2015.

6. Pedersen PH, Walls A, Ship J. Textbook of Geriatry Dentistry. Hoboken, New Jersey:

Wiley Blackwell. 2015.

7. Prihastari L. Survei Epidemiologi: Hubungan antara Perilaku Kesehatan Gigi Mulut

dengan Indeks DMF-T Lansia usia 45-65 Tahun di Kecamatan Kronjo, Kabupaten

Tangerang. Odonto Dental Journal. 2017; 4(2): 101-107.

8. Prihastari L. Survei Epidemiologi: Hubungan antara Perilaku Kesehatan Gigi Mulut

dengan Indeks DMF-T Lansia usia 45-65 Tahun di Kecamatan Kronjo, Kabupaten

Tangerang. Odonto Dental Journal. 2017; 4(2): 101-107.

9. Kementerian Kesehatan RI. Undang-Undang nomor 67 tahun 2015 tentang

Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia Di Pusat Kesehatan Masyarakat.

Undang-undang Negara Republik Indonesia. 2015.

10. Dharma, K. K. Pemberdayaan Keluarga Mengoptimalkan Kualitas Hidup Pasien


Pasca Stroke. Yogyakarta: Deepublish. 2018: 1 - 143
11. British of Society Gerodontology. Guidelines for The Oral Healthcare of Stroke
Survivors. BSG. 2010: 1 – 58
12. Pedersen PH, Walls A, Ship J. Textbook of Geriatric Dentistry Third Edition. India:
Willey Blackwell. 2015: 1 - 388
13. Hartono E, dkk. Gambaran Tekanan Darah pada Pasien Stroke Hemoragik dengan
Diabetes Melitus dan Non Diabetes Melitus di Bagian Saraf Rumkital Dr.Ramelan
Surabaya. Jurnal Sinaps. 2019; 2 (1): 1 – 8
14. Mutiarasari D. Ischaemic Stroke: Symptoms, Risk Factors and Prevention. Medika
Tadulako, Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2019; 6 (1): 60 - 73
15. Kesuma NMTS, Dharmawan DK, Fatmawati H. Gambaran Faktor Risiko dan Tingkat
Risiko Stroke Iskemik Berdasarkan Stroke Risk Scorecard di RSUD Klungkung.
Directory of Open Access Journals. 2019; 10 (3): 720 - 729
16. Darotin R, Nurdiana, Nasution TH. Analisis Faktor Prediktor Mortalitas Stroke
Hemoragik di Rumah Sakit Daerah Dr. Soebandi Jember. NurseLine Journal. 2017; 2
(2): 134 - 145
17. Kwok C, Mcintyre A, Janzen S, Mays R, Teasell R. Oral Care Post Stroke: a Scoping
Review. Journal of Oral Rehabilitation. 2015; 42: 65-74.)
18. O’Malley L, et al. A Qualitative Exploration of Oral Health Care Among Stroke

Survivors Living in the Community. Health Expectations. 2020; 00: 1-10.

19. Yunus GY, Itagi ABH. Oral Health Status in Cerebrovascular Accident Survivors

(CVA)-A Descriptive Cross Sectional Study. Ind J Sci Res and Tech. 2015; 2 (1): 61-

68.

20. Friedman PK. Geriatric Dentistry Caring for Our Aging Population. Hoboken, New

Jersey: Wiley Blackwell. 2014

21. Corsalini M, Rapone B, Grassi FR, Venere DD. A Study on Oral Rehabilitation in

Stroke Patients: Analysis of a Group of 33 Patients. Gerodontology. 2015; 27: 178-

182.

Anda mungkin juga menyukai