DISUSUN OLEH :
PEMBIMBING :
drg. ALBERT SURYAPRAWIRA, M.ScD., M.Orth., RCSED., Sp. Ort
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) adalah penyakit neurogenik yang
menyebabkan gangguan fungsi otak baik fokal maupun global dan merupakan penyebab
kecacatan yang paling banyak. Stroke merupakan sindrom atau sekumpulan gejala dan tanda
yang muncul akibat hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang
Stroke menyebabkan kematian dengan durasi awitan berlangsung lebih dari 24 jam.
Stroke dapat menimbulkan masalah tidak hanya secara fisik namun juga masalah mental
(Buckman & Sutcliffe, 2010). Masalah mental yang muncul akibat stroke yaitu mengalami
kebingungan, hilangnya ingatan visual dan verbal, kesulitan belajar dan berpikir, hilangnya
konsentrasi dan kemampuan berorganisasi, masalah psikologis cemas dan frustasi, yang
sering diikuti depresi dan kemarahan. Sedangkan masalah keperawatan secara fisik kepada
pasien stroke adalah gangguan personal hygiene (salah satu hygiene gigi dan mulut).
Personal hygiene adalah suatu cara untuk memelihara kebersihan mulut dan gigi dalam hal
kesejahteraan baik fisik maupun psikisnya. Personal hygiene dapat dipengaruhi oleh
tahun (2013), stroke merupakan penyebab utama kematian pada pasien yang dirawat di
rumah sakit dengan prevalensi stroke di Indonesia sebesar 0,7% dimana kasus stroke di
perkotaan tinggi lebih tinggi dari pada pedesaan. Selain itu disebutkan bahwa masalah yang
diakibatkan oleh stroke karena adanya penurunan kemampuan menggosok gigi dan mulut
sekitar 62% (menggosok gigi dan mulut 25,9%, dan masalah gigi 36,1%).3
Pasien pasca stroke akan mengalami penurunan ADL (Activity Daily Living) yang
disebabkan oleh kelemahan pada otot. Personal hygiene mulut dapat membantu
mempertahankan status kesehatan mulut, gigi, gusi, dan bibir. Menggosok atau
membersihkan gigi dari partikel-partikel makanan, plak, bakteri, masase gusi, mengurangi
rasa ketidaknyamanan yang dirasakan dari bau dan rasa yang tidak nyaman. Dampak yang
terjadi apabila pasien pasca stroke tidak dapat mempertahankan personal hygiene mulut
menyebabkan karies gigi, gingivitis (radang gusi), dan sariawan. Kesulitan makan terjadi
akibat penurunan fungsi gerak otot mastikasi dan lidah yang meningkatkan akumulasi debris
kariogenik pada daerah pipi dan dasar mulut, sehingga terjadi perubahan pola makan yang
berdampak negatif terhadap nutrisi dan massa tubuh. Asupan nutrisi adekuat mutlak
meningkatkan risiko karies dan penyakit periodontal. Karies gigi dapat menyebabkan gigi
berlubang yang berisiko menimbulkan infeksi sistemik, karena bakteri rongga mulut dapat
Tujuan perawatan kebersihan gigi dan mulut pada pasien pasca stroke memiliki
mukosa mulut serta mencegah penyakit yang ditularkan mulut, mencegah penyakit mulut dan
gigi, meningkatkan daya tahan tubuh, mencapai rasa nyaman (Hidayat, 2010).
BAB II
2.1 Geriatri
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari aspek kesehatan dan
kedokteran pada lanjut usia, termasuk memberikan pelayanan kesehatan kepada lanjut usia
terkait dengan proses menua. Usia lanjut (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia
60 tahun ke atas.6 Penuaan merupakan proses menurunnya atau terjadinya gangguan secara
progresif pada fungsi tubuh yang menghasilkan hilangnya respon adaptif terhadap stres dan
meningkatnya risiko akan penyakit yang terkait dengan usia lanjut.7 Seiring dengan
bertambahnya usia akan terjadi penurunan fungsi organ tubuh dan berbagai perubahan fisik.
Penurunan terjadi pada semua tingkat seluler, organ, dan sistem. Selain itu rongga mulut juga
akan mengalami perubahaan akibat terjadinya proses penuaan.8
d. Infeksi (Infection)
Penyakit infeksi merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada lanjut usia.
Beberapa faktor penyebab terjadinya infeksi pada lanjut usia adalah adanya perubahan sistem
imun, perubahan fisik (penurunan refleks batuk, sirkulasi yang terganggu dan perbaikan luka
yang lama) dan beberapa penyakit kronik lain. Infeksi yang paling sering terjadi pada lanjut
usia adalah infeksi paru, saluran kemih dan kulit. Gejala dan tanda infeksi pada lanjut usia
biasanya tidak jelas.
j. Isolasi (Isolation)
Yang dimaksud dengan isolasi adalah menarik diri dari lingkungan sekitar. Penyebab
tersering adalah depresi dan hendaya fisik yang berat. Dalam keadaan yang sangat lanjut
dapat muncul kecenderungan bunuh diri baik aktif maupun pasif.
2.2 Stroke
2.2.1 Pengertian Stroke
Stroke adalah kondisi penurunan aliran darah ke otak baik disebabkan oleh
penyumbatan maupun pecahnya pembuluh darah di otak. 10 Menurut WHO, stroke atau
dengan cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global seperti koma dan perdarahan
subarachnoid) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain penyebab vaskuler.12
Cerebrovascular accident (CVA): CVA, atau stroke, muncul sebagai kelumpuhan atau
kelemahan, seringkali melibatkan otot-otot wajah, pasien mungkin mengalami sakit kepala,
mual dan muntah dan mati rasa atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh. Kebingungan dan
menyebabkan suplai darah ke otak dapat tersumbat atau disebut dengan stroke iskemik, dan
juga dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak atau disebut dengan stroke
Kerusakan sel-sel otak menimbulkan berbagai gejala seperti, kelumpuhan atau kelemahan
pada sebagian tubuh yang terjadi secara tiba-tiba, gangguan komunikasi, wajah tidak
seimbang, kesulitan menelan, serta gangguan keseimbangan. Semakin luas daerah otak yang
mengalami kerusakan, maka akan semakin banyak gejala yang akan dialami pasien.11
definisi ini mengecualikan serangan iskemik transien (TIA). Iskemik transien adalah sindrom
klinis yang ditandai dengan hilangnya fungsi serebral atau monokuler fokal akut dengan
gejala yang berlangsung kurang dari 24 jam dan diduga disebabkan oleh suplai darah otak
atau okular yang tidak memadai akibat aliran darah rendah, trombosis arteri, atau emboli.
Batas waktu 24 jam agak sulit dan pada kenyataannya sebagian besar serangan
iskemik transien (TIA) berlangsung kurang dari satu jam. Oleh karena itu, beberapa dokter
juga menggambarkan defisit neurologis iskemik reversibel (RIND) yang berlangsung selama
lebih dari 24 jam tetapi di mana tanda dan gejala hilang dalam tiga minggu.12
1. Trombosit pembuluh darah kecil atau besar (misalnya karotis), biasanya pada
penderita hipertensi dan diabetes. Peristiwa ini datang lebih lambat dari embolus.
Transient ischaemic attack (TIA) mungkin merupakan peringatan dari CVA yang
akan datang;
2. Emboli, yang biasanya berasal dari jantung atau leher (misalnya percabangan karotis),
atau fibrilasi atrium. Defisitnya tiba-tiba dan hanya membaik secara perlahan;
3. Perdarahan, yang biasanya spontan, atau sekunder akibat hipertensi atau aneurisma,
Patologi stroke diklasifikasikan sebagai stroke iskemik/ non hemoragik dan stroke
hemoragik. Stroke iskemik lebih sering ditemukan daripada stroke hemoragik. Stroke
iskemik atau stroke non hemoragik adalah kematian jaringan otak karena gangguan aliran
darah ke daerah otak, yang disebabkan oleh tersumbatnya arteri serebral atau servikal atau
yang kurang mungkin tersumbat, vena serebral.15 Stroke iskemik mencakup transient
ischemic attack, stroke-in-evolution, thrombotic stroke, embolic stroke, dan stroke akibat
kompresi seperti tumor, abses, dan granuloma.16 Klasifikasi stroke iskemik yang sering
digunakan pada penelitian untuk mengklasifikasikan subtipe stroke iskemik adalah klasifikasi
Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment (TOAST), yaitu (1) aterosklerosis pembuluh
darah besar, (2) kardioembolik, (3) lakunar, (4) penyebab lain, dan (5) tidak diketahui
penyebabnya. Stroke iskemik dengan aterosklerosis pada pembuluh darah besar dan stroke
lakunar adalah jenis patologi yang utama.5 Darah yang keluar dan menyebar menuju jaringan
parenkim otak, ruang serebrospinal, atau kombinasi keduanya adalah akibat dari pecahnya
kombinasi fungsi sensorik dan motorik atau, lebih jarang, hilangnya kesadaran secara tiba-
tiba. Gejala dapat bervariasi sesuai dengan bagian otak yang terkena tetapi mungkin termasuk
· Ketidakseimbangan (Ataxia)
· Kehilangan kesadaran
Lesi di sebagian otak yang dominan cenderung menyebabkan kurangnya bicara dan
penglihatan, sementara tidak ada lesi di sebagian otak yang dominan membuat seseorang
mengabaikan dirinya.2
diagnostik spesifik. Gambaran ini mirip dengan yang ada pada stroke tetapi penting untuk
menghilangkan gejala yang tidak umum disebabkan oleh iskemia. Contoh yang terakhir
termasuk vertigo, amnesia, tuli, dysarthria, pingsan, pusing non spesifik, kebingungan,
kemunduran mental, inkontinensia dan kehilangan kesadaran. Serangan iskemik transien
cenderung berulang dan sering mendahului bentuk lain dari stroke emboli.2
2.2.5 Mekanisme
Ada tiga bentuk stroke lengkap yang disebabkan oleh hilangnya aliran darah ke otak:12
Stroke iskemik disebabkan oleh aterosklerosis pada sistem arteri serebral yang menyebabkan
terhentinya aliran darah, trombosis lokal dan akhirnya oklusi (stroke trombotik). Ketika aliran
darah berkurang di arteri karotis, infark dapat terjadi pada jangkauan terjauh dari sistem
arteri. Sebagai alternatif, trombus dapat terlepas seluruhnya atau sebagian dan membentuk
embolus yang menghalangi arteri distal yang lebih kecil (stroke emboli). Emboli paling
Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya arteri serebral. Penyebab utamanya adalah
hipertensi. Telah terbukti bahwa orang lanjut usia dengan tekanan darah sistolik yang
meningkat memiliki risiko stroke yang jauh lebih besar sehingga ada alasan penting untuk
mengobati kondisi ini. Sejumlah penelitian juga menunjukkan hubungan antara hipertensi
Perdarahan sub arachnoid paling sering disebabkan oleh pecahnya aneurisma di dasar otak
(85% kasus). Aneurisma serebral berkembang sepanjang hidup. Mereka mungkin terkait
dengan beberapa kelainan jaringan ikat, hipertensi, cacat anatomi lokal dan cacat
Terdapat sejumlah faktor risiko stroke yang diketahui yang diuraikan dalam Tabel 1.
Penting bagi dokter gigi untuk menyadari hal ini karena peran yang harus dia lakukan dalam
pencegahan stroke. Selain itu, penderita stroke sering datang dengan riwayat kesehatan yang
Ada insidensi stroke yang lebih tinggi pada kelompok yang kurang beruntung secara
ekonomi dan di antara kelompok etnis tertentu. Orang dari etnis Afrika atau Karibia dua kali
lebih mungkin terkena stroke dibandingkan dengan yang berkulit putih. Meskipun stroke
lebih sering terjadi pada pria, mereka lebih mungkin untuk bertahan hidup daripada wanita.12
1. Keturunan
2. Negara Asal
3. Merokok
4. Hipertensi
5. Obesitas
6. Gaya Hidup
7. Kolesterol Tinggi
8. Polisitemia
9. Sindrom Antiphospholipid
2.2.7 Pencegahan Stroke
Pencegahan penyakit stroke terdiri dari pencegahan primer dan sekunder. Pada
pencegahan primer meliputi upaya – upaya perbaikan pola hidup dan pengendalian faktor –
faktor risiko. Pencegahan ini ditujukan kepada masyarakat yang sehat dan belum pernah
terserang stroke, namun termasuk pada kelompok masyarakat risiko tinggi. Upaya - upaya
3. Pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter (diet dan obat)
Pencegahan sekunder, yakni dengan mengendalikan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan dapat digunakan sebagai penanda (marker) stroke pada masyarakat,
sedangkan pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi kita dapat melakukan evaluasi
kepada pasien stroke saat dirawat maupun ketika keluar dari RS. Pencegahan sekunder yang
2. Pencitraan non invasif rutin dilakukan dalam waktu 24 jam sejak pasien
masuk RS, dimana hanya untuk pasien dengan Modified Rankin Scale (MRS)
0-2
3. Monitoring jantung harus dilakukan setidaknya selama 24 jam pertama
5. Pengukuran kadar kolesterol darah pada pasien yang telah mendapatkan terapi
statin
6. Penilaian troponin awal dapat diberikan, tetapi tidak boleh menunda alteplase
IV atau trombektomi
pasien stroke dengan Modified Rankin Scale (MRS) 0-2, jika tidak ada
kontraindikasi.
terapi perilaku pada pasien stroke yang memiliki kebiasaan merokok, serta
Dengan demikian, pentingnya pencegahan sejak dini pada pasien stroke iskemik akut,
baik sebelum maupun sesudah terjadi serangan stroke. Berbagai upaya – upaya pencegahan
dapat berhasil dilakukan jika adanya dukungan dari pihak keluarga, masyarakat, petugas
kesehatan di FKTP, termasuk profesional pemberi asuhan (PPA) di RS, sehingga masyarakat
dapat terhindar dari stroke dan yang dalam perawatan stroke mendapatkan penanganan sesuai
2.2.2.2 Periodontitis
Kesehatan jaringan periodontal individu dengan penyakit stroke lebih buruk
dibandingkan dengan individu sehat. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa pasien
stroke lebih rentan terhadap penumpukan plak di dalam mulut, bleeding on probing, dan
peningkatan pada poket periodontal. Kesehatan jaringan periodontal dan stroke memiliki
hubungan dengan kebiasaan merokok.
Atherosclerosis merupakan faktor etiologi utama pada stroke embolik yang
disebabkan oleh karena terjadinya inflamasi kronik arteri. Penyakit periodontal juga
merupakan penyakit inflamatori kronik. Respon inflamasi dan patogen yang memiliki kaiitan
dengan penyakit periodontal diketahui berkontribusi pada atherosclerosis sehingga
menyebabkan meningkatnya risiko stroke. Beberapa penelitian epidemiologi telah
membuktikan keterkaitan hal ini.
2.2.2.3 Xerostomia
Xerostomia atau mulut kering, merupakan efek samping umum yang disebabkan oleh
terapi obat, seperti antikoagulan yang digunakan sebagai secondary stroke prevention dan
antikoagulan juga dapat meningkatkan tingkat bakteri dalam mulut. Xerostomia dapat
memberikan dampak terhadap rongga mulut yang menjadi rentan akan perkembangan koloni
bakteri dan pembentukan plak. Gejala xerostomia meliputi: mukosa terasa kering, tidak
adanya genangan saliva, saliva terlihat berbusa, thick ‘ropey’ saliva, dan lidah tampak
berbulu dan mengkerut.11,17 Kawasaka et al, menjelaskan bahwa ditemukannya secara
signifikan sekresi saliva yang rendah pada pasien stroke dibandingkan dengan pasien non-
stroke. Oral fungi (Candida albicans) dalam jumlah banyak juga ditemukan pada pasien
stroke yang masih dirawat yang mengalami disfagia serta sedang dalam terapi antibiotik.
Penggunaan gigi tiruan serta alat intubasi juga mendukung dalam peningkatan bakteri dalam
mulut. Xerostomia juga dapat meningkatan risiko kerusakan pada gigi dan penyakit
periodontal, karena berkurangnya kadar saliva di dalam rongga mulut untuk melakukan self
cleansing dan meningkatnya kolonisasi bakteri.17,18
Penurunan formasi bakteri dan plak di dalam mulut dapat berkurang bila adanya
peningkatan kebersihan mulut yang dilakukan oleh caregivers dan atau seiring dengan
pulihnya kemampuan motorik pasien pasca stroke untuk menjaga kebersihan mulutnya.
Terdapat penelitian yang mengatakan bahwa Staphloccoci spp dan Candida spp berkembang
lebih mudah dalam rongga mulut pasien pasca stroke yang memiliki kemampuan terbatas
dalam melakukan aktivitas sehari-hari dibandingkan dengan pasien yang sudah dapat pulih
dengan normal untuk mengerjakan aktivitas sehari-hari. Jadi, pergerakan tangan yang cukup
dan kemampuan untuk self-feeding merupakan faktor penting untuk mencegah terbentuknya
kolonisasi bakteri oropharyngeal.17
2.2.2.6 Disfagia
Gangguan atau melemahnya kemampuan mastikasi dan menelan (disfagia)
merupakan masalah yang signifikan pada populasi stroke, terutama pada pasien dengan
stroke sedang sampai buruk. Hemiplegia dapat mempengaruhi kemampuan daya gigit pada
sisi wajah yang terkena stroke. Umumnya pasien yang memperoleh texture-modified diet
dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan atrofi otot mastikatori dan berkurangnya
daya gigit. Disfagia juga mempengaruhi masuknya nutrisi ke dalam tubuh.17
Disfagia merupakan faktor risiko yang sangat signifikan untuk terjadinya pneumonia
aspirasi dan kematian pasca stroke. Keadaan kebersihan mulut yang buruk meningkatkan
jumlah bakteri di dalam saliva, yang dapat berkontribusi dalam berkembangnya pneumonia.
Bakteri tidak hanya dapat berkolonisasi di dalam paru-paru namun bakteri juga dapat
menyebabkan infeksi sistemik pada tubuh.17 Disfagia dapat didiagnosis melalui pemeriksaan
klinis dan dengan menggunakan uji khusus. Pemeriksaan klinis dilakukan dengan
menanyakan riwayat masalah menelan serta mengobservasi kemampuan individu untuk
menelan makanan dan minuman dengan berbagai konsistensi. Uji khusus meliputi
videofluoroscopy (VFS) dan nasendoscopy. Prosedur uji tersebut terbukti lebih akurat untuk
mendiagnosis disfagia.11
2.2.2.7 Komunikasi
Terdapat beberapa gangguaan kognitif dan komunikasi yang berhubungan dengan
stroke termasuk aphasia, dysphasia, dan dysarthria. Gangguan-gangguan ini membatasi
kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dan untuk mengutarakan keinginannya.
Komunikasi memakan waktu lebih banyak dan menjadi hal yang memberikan tekanan dalam
hidupnya, dimana seseorang ingin menyampaikan maksud hatinya namun tidak dapat untuk
mengekspresikan dirinya, dan terkadang berakibat pada emotional outbursts.11
Aphasia adalah gangguan dalam berkomunikasi yang disebabkan oleh adanya
kerusakan pada bagian otak yang bertanggung jawab dalam kemampuan berbicara. Gangguan
ini membatasi kemampuan seseorang untuk memproses suatu bahasa dan memberikan
dampak negatif yang besar dalam sosial, fisik, dan emosi. Aphasia umumnya terjadi secara
mendadak saat stroke. Stroke merupakan penyebab utama 23-40% pasien pasca stroke
memiliki long-term aphasia. Aphasia berbeda-beda pada setiap individu dan kesulitan dalam
berkomunikasi dapat berubah seiring dengan waktu. Penting bagi pekerja kesehatan dan
keluarga untuk mengetahui dan memahami tipe aphasia yang diderita oleh pasien, karena
mempengaruhi bagaimana cara untuk berkomunikasi dengan tehnik yang ada. Tipe aphasia
meliputi: Global Aphasia, Broca’s Aphasia, Wernicke’s Aphasia, dan Anomic Aphasia.11
Sedangkan dysarthria adalah gangguan berbicara yang disebabkan oleh adanya
gangguan pada saraf yang berfungsi untuk mengontrol kerja otot dan biasanya dikarenakan
oleh facial paralysis serta melemahnya otot bicara. Dysarthria menyebabkan masalah dalam
artikulasi dan resonansi pada pasien. Semua jenis dysarthria berdampak pada artikulasi
konsonan sehingga pasien terdengar berbicara dengan tidak jelas dan kondisi ini sering
disalah artikan bahwa pasien sedang mabuk. Kejelasan pasien dysarthria dalam berbicara
tergantung pada seberapa besarnya kerusakan yang terjadi pada saraf.11
2.3 Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut Pasien Geriatri Pasca Stroke
2.3.1 Memelihara Kesehatan Mulut
Pasien umumnya dapat melakukan kembali perawatan ke dokter gigi setelah enam
bulan post stroke untuk memberikan waktu pada pasien untuk mencapai rehabilitasi
maksimal dan untuk mempertimbangkan rencana perawatan untuk pasien secara
keseluruhan.20 Dokter gigi harus menginstruksikan dan mendorong pasien untuk kembali
bertanggung jawab atas kesehatan gigi dan mulutnya dan dokter gigi juga harus
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai pasien tersebut, seperti obat apa saja
yang dikonsumsi beserta efek sampingnya, apakah pasien sedang dalam pengobatan
antikoagulan dan anti aggregant, dan apakah obat yang dikonsumsi dapat menyebabkan
xerostomia, haemorrhagia, ataupun gingival hyperplasia. Dokter Gigi juga harus paham dan
menyesuaikan dengan suasana hati pasien untuk dapat melakukan evaluasi apakah pasien
memiliki anxiety disorders atau depresi.21
Pasien pasca stroke disertai hipertensi yang sedang dalam pengobatan antikoagulan
(warfarin, aspirin, atau clopidogrel) harus diperhatikan. Internationalized Normalized Ratio
test (INR) pada kasus penggunaan warfarin, digunakan untuk mengevaluasi risiko perdarahan
yang disebabkan oleh prosedur perawatan gigi invasif dan untuk mengetahui tingkat
antikoagulasi pada pasien. Antikoagulan juga dapat digunakan sebagai secondary stroke
prevention sehingga sebaiknya semua pasien yang menggunakan obat golongan tersebut
dilakukan uji laboratorium terlebih dahulu untuk mengetahui risiko perdarahan.6,17,20
Faktor gaya hidup seperti diet, merokok, konsumsi alkohol, kebiasaan menjaga
kebersihan mulut, dan perawatan gigi sebelum stroke akan berdampak pada kesehatan mulut
individu, seperti yang akan mempengaruhi masalah medis seperti diabetes. Gejala dan efek
pada tubuh dari stroke bersamaan dengan efek samping oral dari pengobatan dalam terapi
stroke akan berdampak pada kesehatan mulut yang membutuhkan perhatian ekstra pada
kebersihan mulut. Orang dewasa penyandang disabilitas yang menjadi lumpuh di kemudian
hari dan pengasuhnya mungkin mengalami kesulitan dalam menerapkan kebersihan yang
baik.
Standar kebersihan mulut yang tinggi harus dijaga pada pasien dengan disfagia, dan
terutama pada mereka dengan pemasangan PEG atau NG feeding , untuk meningkatkan
kesehatan dan kenyamanan mulut. Perawatan oral untuk pasien yang memiliki
ketergantungan, disfagik atau sakit kritis harus mengikuti pedoman BSDH (Griffiths dan
Lewis, 2002); aspirasi selama kebersihan mulut harus ada untuk pasien yang mengalami
disfagik. Kebutuhan akan alat bantu yang tepat untuk kebersihan mulut dan gigi tiruan harus
diperhitungkan secara bersama oleh terapis okupasi dan dokter gigi atau dental hygienist.
Termasuk penggunaan sikat gigi elektrik atau sikat dengan pegangan yang dimodifikasi
untuk mempermudah pengaplikasian.
Gambar. Sikat gigi dengan pegangan yang dimodifikasi untuk mempermudah pengaplikasian.
Rencana perawatan untuk kebersihan mulut harus didasarkan pada penilaian individu
terhadap status gigi dan faktor risiko kesehatan mulut. Ini harus mencakup analisis diet,
pemicu stres untuk kesehatan mulut, efek samping oral dari pengobatan dan kemampuan atau
tingkat ketergantungan individu untuk kebersihan mulut harian. Penilaian harus diulang
secara berkala dengan mempertimbangkan setiap perubahan dalam gangguan fisik atau
kognitif, dan manajemen medis. Kebersihan mulut harus didasarkan pada protokol kebersihan
mulut tertentu, saran preventif untuk pasien tentang suplemen makanan, dan rekomendasi
dalam 'Menilai kesehatan mulut seseorang'.
Poin Utama:
Baik gingivitis dan periodontitis adalah infeksi oportunistik yang diakibatkan oleh
bakteri yang berkoloni pada gigi dan jaringan periodontal. Tujuan perawatan periodontal
adalah untuk menghilangkan atau mengendalikan gingivitis dan untuk menghentikan
perkembangan periodontitis dengan menghilangkan plak mikroba. Perawatan gingivitis
dilakukan dengan debridemen (pengangkatan plak dan kalkulus) dari gigi dengan scaling dan
menghilangkan atau mengurangi faktor risiko, diikuti dengan perawatan di rumah setiap hari
dan profilaksis yang dilakukan profesional saat tindak lanjut. Periodontitis kronis diobati
dengan debridemen dan alat mekanis lainnya yang dapat melibatkan pembedahan.
Konsultasi dengan dokter pada pasien lanjut usia sering kali diperlukan sebelum
perawatan untuk mengklarifikasi aspek tertentu dari masalah medis dan / atau
pengobatannya. Pasien dengan penyakit katup jantung tertentu harus menerima antibiotik
sebelum scaling dan pembedahan untuk mencegah infeksi melalui penyebaran hematogen.
Pada pasien usia lanjut yang terganggu secara medis dan / atau mental, terapi periodontal
non-bedah mungkin merupakan pendekatan terbaik untuk pengobatan. Pada orang tua yang
kesehatannya buruk, tujuan perawatan yaitu menjaga pasien agar bebas dari rasa sakit dan
infeksi dan untuk menjaga gigi dalam kondisi fungsional seumur hidup.
A. Perawatan non-bedah
● Antibiotik sistemik
Tiga tinjauan sistematis yang mengevaluasi regimen antibiotik sistemik yang berbeda
dalam pengobatan periodontitis kronis dan agresif menyimpulkan bahwa kombinasi
amoksisilin dan metronidazol tampaknya paling kuat dan menghasilkan perbaikan klinis yang
lebih nyata pada probing dalam dan tingkat perlekatan klinis. Sebuah tinjauan sistematis dan
meta analisis studi tentang penggunaan kombinasi antibiotik ini selain terapi periodontal non-
bedah menyimpulkan bahwa ada bukti yang cukup kuat untuk mendukung bahwa strategi
pengobatan ini memperlihatkan hasil klinis yang lebih unggul secara signifikan dalam hal
pengurangan kedalaman probing, peningkatan perlekatan klinis dan perdarahan saat probing
berkurang daripada scaling dan root planing saja.
B. Perawatan bedah
Debridemen flap terbuka adalah prosedur di mana bagian gingiva dipisahkan dari
jaringan di bawahnya untuk memberikan visibilitas dan akses ke lesi. Bedah pengurangan
poket termasuk reseksi jaringan lunak dan keras menggunakan berbagai teknik. Pembedahan
regeneratif mencakup petunjuk regenerasi jaringan (penggunaan barier membran untuk
memusatkan pertumbuhan periodonsium baru, dengan mencegah pertumbuhan epitel dan
jaringan ikat di area di mana tulang dan ligamen periodontal diinginkan), pencangkokan dan
penggunaan biologis. Laser-assisted new attachment procedure (LANAP) baru-baru ini
diperkenalkan sebagai alternatif konservatif untuk terapi bedah.
(Kinane DF, Stathopoulou PG, Papapanou PN. Periodontal Disease. Disease Primers. 2017;
3 (17038): 1-14.)
(Pedersen PH, Walls A, Ship J. Textbook of Geriatry Dentistry. Hoboken, New Jersey: Wiley
Blackwell. 2015.)
Aturan pola makan untuk penderita xerostomia harus menghindari makanan yang
mengandung gula, terutama makanan ringan, untuk melawan risiko berkembangnya karies
dan kebutuhan untuk membatasi konsumsi makanan dan minuman yang bersifat asam.
Penderita xerostomia harus menghindari makanan yang kering, keras, lengket, asam, dan
yang mengandung gula. Pasien xerostomia mungkin memilih untuk menghindari makanan
yang berbumbu kuat.
Obat kumur klorheksidin dapat menjadi antiseptik yang efektif dan berguna untuk
mengendalikan radang gusi. Obat kumur chlorhexidine bebas alkohol direkomendasikan
untuk digunakan pada pasien xerostomia untuk membantu mencegah penyakit periodontal.
Ini dapat digunakan dua kali sehari selama maksimal dua minggu setiap tiga bulan, tetapi
penggunaan berlebihan dapat menyebabkan noda pada gigi dan nyeri pada mulut.
Kesehatan mulut pada pasien xerostomia tidak bergigi dapat ditingkatkan dan
dipertahankan dengan:
• Membilas gigi tiruan dan mulut beberapa kali sehari, terutama setelah makan;
Saliva Pengganti
Kekeringan mulut sedang hingga parah biasanya ditangani dengan pengganti saliva
topikal yang tersedia secara komersial. Pengganti air liur berupa oral spray, gel dan obat
kumur, dapat juga meletakkan bedside humidifier saat tidur. Sediaan pH netral yang
mengandung fluor harus diresepkan untuk pasien bergigi. Sediaan dengan pH asam dan / atau
tanpa fluorida tambahan sebaiknya hanya digunakan pada pasien tidak bergigi. Keefektifan
pengobatan topikal untuk xerostomia tidak terdapat bukti yang kuat untuk efektivitas tablet
hisap, oral spray, obat kumur, gel, minyak, permen karet dan pasta gigi. Namun, pasien
melaporkan peningkatan kenyamanan mulut dengan penggunaan satu atau lebih produk ini.
Permen karet bebas gula juga direkomendasikan untuk mengatasi mulut kering.
Tindakan mekanis mengunyah merangsang produksi air liur. Selain itu, ada beberapa bukti
bahwa xylitol non-sugar mungkin memiliki peran dalam pencegahan karies dengan
sendirinya.
Pasien xerostomia telah terbukti memiliki kadar Candida yang tinggi, meskipun
kebersihan mulutnya baik, dan kandidiasis mulut berulang adalah masalah umum pada pasien
dengan mulut kering. Kehadiran gigi tiruan dan merokok mendorong lingkungan untuk
terinfeksi Candida berulang dan persisten. Kandidiasis rongga mulut bisa muncul sebagai
plak putih atau bercak eritematosa di mulut. Direkomendasikan penggunaan obat cair nistatin
oral 1ml lima kali sehari selama tujuh hari. Perawatan ini bisa diulang selama satu minggu,
setiap delapan minggu, jika infeksinya kambuh. Flukonazol sistemik 50mg sekali sehari
selama 10 hari diperlukan untuk mengobati infeksi eritematosa yang sudah berlangsung lama.
Candida juga dapat menginfeksi sudut mulut, menyebabkan lesi fisure eritematosa –
angular cheilitis. Perawatan yang direkomendasikan untuk lesi ini adalah aplikasi topikal
mikonazol selama dua minggu, menggunakan cotton bud bersih untuk dioleskan ke setiap sisi
untuk mencegah kontaminasi silang dan persistensi infeksi. Kondisi ini dapat diperburuk oleh
gigi tiruan yang ketinggian vertikalnya rendah.
(Tappuni AR, Wilson N. Dry Mouth: Advice and Management. The Pharmaceutical
Journal.2018; 300 (7911): 1-13.)
(Joanna NDY, Thomson WM. Dry Mouth – An Overview. Singapore Dental Journal. 2015;
36: 12-17.)
A. Complete Dentures
● Rebasing
Jika fit surface atau ekstensi dari gigi tiruan yang tidak mendukung, reline
atau rebase dapat diindikasikan. Rebasing gigi tiruan yang sudah ada adalah prosedur
yang relatif mudah dan ini bisa menjadi keuntungan tersendiri bagi pasien yang
lemah. Namun, perawatan harus dilakukan untuk menghindari perubahan ekstensif
pada gigi tiruan di mana kemampuan adaptif pasien diragukan. Dalam situasi ini,
mungkin lebih baik membuat ulang gigi tiruan menggunakan copy technique.
Rebasing atau relining ulang gigi tiruan dapat dilakukan menggunakan chairside atau
dilakukan di laboratorium. Reline pada laboratorium akan memiliki permukaan akhir
yang lebih baik dan lebih tahan lama, namun pasien harus tidak menggunakan gigi
tiruan untuk jangka waktu tertentu. Bahan chairside dijual sebagai bahan permanen
tetapi biasanya membutuhkan penggantian setelah satu tahun karena kerusakannya.
● Eliminasi Sulkus
Makanan dapat menumpuk di permukaan bukal dari gigi tiruan lengkap bagian
bawah pada sisi wajah yang lumpuh. Hal ini dapat dicegah dengan menambahkan
resin akrilik yang sesuai untuk penggunaan intra oral, seperti bahan mahkota
sementara, ke permukaan bukal yang dipoles dari gigi tiruan di sisi yang terkena
untuk mengisi sulkus. Akrilik ditambahkan pada gigi bawah sehingga perlu untuk
menyesuaikan pada permukaan bukal dari gigi tiruan atas. Jika eliminator sulkus
dapat ditoleransi dengan baik dan kelumpuhan wajah tidak membaik maka gigi tiruan
dapat diperbaiki dengan perubahan pada permukaan poles secara utuh. Menempatkan
gigi tiruan posterior bawah lebih jauh ke arah bukal pada sisi yang terkena, saat
membuat gigi palsu baru, juga dapat mengurangi masalah stagnasi makanan.
● Replacement Denture
a. b.
Gambar 2 a & b. Piezograf bawah lebih maju dibandingkan galangan gigit atas. Perhatikan
posisi bukal yang dibentuk oleh tekanan lidah
Gambar. Gigi tiruan lengkap bawah dimodifikasi dengan wax dan compound sebelum
dilakukan salinan. Koreksi telah dilakukan pada tingkat bidang oklusal dan border extension
B. Partial Dentures
Gigi tiruan sebagian harus dibuat sehigienis mungkin dengan mengurangi cakupan
margin gingiva. Cakupan margin gingiva oleh komponen gigi tiruan telah terbukti
meningkatkan jumlah plak di mulut pemakainya. Desain yang higienis paling baik dicapai
dengan menggunakan kerangka logam yang dapat menggabungkan fitur untuk
memaksimalkan penyangga gigi dan menghindari tertutup berlebih. Desainnya mungkin
perlu menggabungkan fitur seperti dukungan logam pada gigi dengan prognosis jangka
panjang yang meragukan. Hal ini akan memudahkan penambahan prosthetic teeth ke gigi
tiruan jika terjadi kehilangan gigi lebih lanjut.
Gigi tiruan resin akrilik mungkin lebih cocok jika gigi asli yang tersisa memiliki
prognosis yang buruk. Gigi tiruan tersebut harus dirancang agar bebas dari margin gingiva
jika memungkinkan meskipun ini biasanya hanya dapat dicapai pada lengkung rahang atas.
Persimpangan antara permukaan akrilik dan gigi harus ditempatkan setinggi mungkin pada
permukaan gigi lingual / palatal untuk memberikan dukungan tertentu. Cakupan pada margin
gingiva harus diminimalkan untuk mencegah terjadinya ‘gum stripping' dari gigi tiruan yang
tidak didukung dengan baik. Hal ini dapat dicapai dengan meminta teknisi untuk memblokir
area tersebut dengan plester sebelum memproses gigi tiruan.
(British Society of Gerodontology. Guidelines for the Oral Healthcare of Stroke Survivors.
2010)
Mungkin sulit bagi seseorang untuk mengatasi perawatan restoratif ekstensif setelah
stroke. Tujuan perawatan harus fokus pada masalah yang berdampak pada kualitas hidup
individu. Ini termasuk memaksimalkan kenyamanan, martabat dan otonomi. Pasien mungkin
merasa sulit untuk berbaring di dental chair dan mungkin perlu menggunakan beberapa
bentuk penyangga seperti bantal untuk sisi yang sakit. Rubber dam berguna selama
perawatan restoratif untuk melindungi jalan napas pasien yang menderita disfagia atau yang
merasa sulit untuk berbaring di dental chair.
A. Karies akar
Karies gigi dan stroke berbagi faktor risiko umum termasuk status sosial ekonomi,
obesitas dan diet; Oleh karena itu, pasien stroke cenderung mengalami karies gigi. Menurut
Survei Diet dan Nutrisi Nasional, karies akar terjadi pada 13% populasi lansia yang hidup
sehat. Sedangkan 39% untuk populasi lansia yang dilembagakan yang mungkin mencakup
banyak penderita stroke. Upaya untuk menghentikan lesi karies akar yang dapat disikat harus
dilakukan. Hal ini dapat dicapai dengan pengendalian plak termasuk penggunaan obat kumur
klorheksidin, gel atau varnish. Fluorida topikal sangat efektif untuk mencegah karies akar dan
tersedia juga dalam bentuk obat kumur, pasta gigi, gel dan varnish. Baru-baru ini pasta yang
mengandung kalsium fosfat amorf dan kasein fosfopeptida (ACP-CPP) telah tersedia (Tooth
Mousse). Bahan aktif tersebut meningkatkan ion kalsium dan fosfat pada permukaan gigi dan
pada plak gigi, kemudian dilepaskan ketika pH di mulut turun, sehingga mendorong
terjadinya remineralisasi.
Jika karies akar dapat diakses dengan menyikat gigi, upaya untuk menghentikan lesi
harus dilakukan dengan kombinasi kontrol plak dan aplikasi fluoride. Lesi yang
membutuhkan restorasi seringkali pada interproksimal gigi karena paling sulit diakses.
Memungkinkan untuk mengekskavasi lesi yang lebih kecil dan menghaluskan permukaan
kavitas tanpa restorasi. Untuk pasien yang kurang kooperatif, perawatan restoratif atraumatic
(ART) dapat diindikasikan. Karies lunak dapat diekskavasi dengan instrumen manual atau
elektrik. Sebagai alternatif, metode kemo mekanis (misalnya Carisolv) dapat digunakan. Lesi
yang terdapat karies, kemudian direstorasi dengan glass ionomer cement yang merupakan
bahan pilihan untuk lesi karies akar. Kavitas harus ditutup rapat untuk mencegah masuknya
bakteri dan melindungi pulpa dari kerusakan.
B. Ekstraksi Gigi
Pasien pasca stroke dapat menggunakan obat antiplatelet atau antikoagulan oral
sebagai bagian dari perawatan medis mereka yang sedang berlangsung. Bukti saat ini
menunjukkan bahwa terapi antiplatelet dengan aspirin tidak perlu dihentikan sebelum
ekstraksi sederhana. Demikian pula, Warfarin tidak harus dihentikan sebelum pencabutan
gigi, tetapi INR pasien (Rasio Normalisasi Internasional) harus diuji dalam 24 jam sebelum
prosedur. Jika INR kurang dari 4.0 maka hingga tiga ekstraksi dapat dilakukan dalam satu
pertemuan dan soket ditutup dengan bahan hemostatik yang dapat diserap dan dijahit untuk
mengontrol perdarahan pasca operasi.
Perencanaan perawatan restoratif lanjutan untuk penderita stroke dilakukan atas dasar
keinginan dan kebutuhan individu. Perawatan restoratif tidak mungkin dilakukan pada tahap
awal (beberapa bulan pertama) pemulihan stroke, tetapi mungkin merupakan bagian dari
rehabilitasi jangka panjang. Rencana perawatan harus dibuat sesederhana mungkin dan
restorasi direncanakan untuk memungkinkan pasien menjaga kebersihan.
Mungkin sulit bagi pasien untuk melakukan perawatan dengan waktu yang lama yang
mungkin diperlukan untuk prostodontik cekat konvensional. Pertimbangan perlu diberikan,
apakah gigi yang hilang benar-benar perlu diganti. Anjuran untuk tidak mengganti gigi yang
hilang terkadang bisa menjadi pilihan yang lebih tepat ketika mempertimbangkan masalah
dalam menjaga kebersihan di sekitar fixed bridges. Penerimaan lengkung gigi yang
diperpendek sebagai konsep perawatan telah diakui selama beberapa waktu [56]. Keputusan
untuk menerima gigi yang missing akan tergantung pada keinginan pasien, masalah
fungsional dan estetika serta stabilitas oklusi.
Adhesive bridge untuk menggantikan satu unit gigi yang hilang dapat mencegah
kebutuhan akan gigi palsu. Teknik ini membutuhkan sedikit atau tidak memerlukan preparasi
gigi penyangga. Cantilever resin bonded bridge telah terbukti memiliki tingkat ketahanan
yang lebih tinggi daripada desain fixed dalam kebanyakan situasi dan mungkin lebih mudah
bagi pasien untuk menjaga kebersihan. Jika ruang oklusal terbatas, dimungkinkan untuk
memberikan banyak semen pada retainer dan memungkinkan oklusi terbentuk kembali
dengan gerakan gigi aksial lokal. Program pemeliharaan preventif harus dilakukan sebelum
perawatan restoratif kompleks dilakukan.
(British Society of Gerodontology. Guidelines for the Oral Healthcare of Stroke Survivors.
2010)
2.4 Pembahasan
2.4.1 Laporan Kasus
Seorang pria berkulit putih berusia 70 tahun dengan keadaan edentulous dirujuk ke
KA-Dent Dental Clinic, Wschowa, Polandia, untuk dibuatkan gigi tiruan lengkap rahang atas
dan rahang bawah. Riwayat medisnya mengungkapkan bahwa ia menderita hipertensi,
trombositopenia, dan penyakit Parkinson, yang semuanya berada di bawah kendali medis.
Selain itu, ia pernah mengalami stroke hemisferis unilateral 2 tahun sebelumnya, dimana ia
telah menerima rehabilitasi motorik dan sensorik.
Selama kunjungan, pasien mengeluhkan gerakan lidah yang terganggu dan kesulitan
dalam mengunyah. Pemeriksaan ekstraoral menunjukkan bibir yang kompeten dengan
pembukaan mulut normal, profil wajah cekung, dan hemiparesis ringan pada bagian wajah
kanan. Secara intraoral, terlihat adanya deviasi mandibula ke arah sisi kanan dan protrusi
mandibula, serta gerakan lidah yang terbatas. Tidak ada penurunan kemampuan berbicara.
Tanda dan gejala disfungsi sendi temporomandibular terdeteksi (Sendi kanan terbuka lebih
awal dan adanya click saat akhir menutup mulut).
Pasien diminta untuk meletakkan lidah diberbagai bagian mulut untuk menentukan
tingkat deviasi mandibula dan inkompetensi gerakan lidah. Pasien dapat menyentuh bagian
anterior dan median dari palatum keras dengan sedikit deviasi ke kanan dan mukosa bukal
kiri, tetapi sulit untuk menyentuh palatum bagian posterior, dan ia tidak dapat menyentuh
mukosa bukal sebelah kanan. Setelah menggerakkan lidah ke bagian palatum anterior, ia
menunjukkan posisi wajah yang lebih baik dan tidak ada click pada sendi kanan, namun
setelah beberapa menit, ia kembali ke posisi biasanya.
Rencana perawatannya adalah membuat gigi tiruan rahang atas menggunakan pearl di
atas kawat pada bagian palatal untuk memandu mandibula ke CR dan untuk OMT.
Pencetakan awal dibuat dengan menggunakan stock tray dan hidrokoloid ireversibel
(Kromopan; Lascod SpA.). Definitif impression dibuat dengan menggunakan tray costum
yang terbuat dari resin akrilik terpolimerisasi ringan (Elite LC Tray; Zhermack SpA) dan
bahan cetakan silikon (Xan-topren M mucosa; Heraeus Kulzer GmbH) setelah dilakukan
bolder molding dengan impression compound modelling plastic (Impression Compound Type
I Red; Kerr Corp). Hubungan mandibula dicatat dengan meminta pasien untuk mengangkat
lidah ke bagian paling posterior dari palatum yang dapat dijangkau dan dapat ditutup dalam
posisi retrusi. Penataan gigi didasarkan pada oklusi seimbang.
Percobaan gigi tiruan dievaluasi dan kemudian diproses dengan menggunakan teknik
eliminasi wax konvensional. Gigi tiruan definitif dievaluasi secara intraoral. Namun, pasien
menunjukkan deviasi mandibula dan protrusi mandibula dalam posisi kebiasaannya (Gambar
1-3). Radiografi sefalometri lateral (CS 9000 3D; Carestream Health Inc) mengkonfirmasi
profil skeletal kelas III (Gbr. 4). Untuk memandu mandibula ke CR, kawat stainless (diameter
0,9 mm, spring hard, Remanium, Dentaurum GmbH & Co. KG) dengan pearl resin akrilik
autopolimerisasi (diameter 5 mm; Premacryl Plus, SpofaDental as) ditempatkan disebagian
besar bagian palatal posterior dari gigi tiruan rahang atas yang dapat dijangkau dengan lidah
pasien (bagian anteriomedian) dengan menggunakan bahan resin akrilik autopolimerisasi
(Duracryl Plus; SpofaDental as) (Gbr. 5). Tekukan posterior pada kawat dibuat untuk
menjaga pearl tetap di garis tengah. Pemeriksaan radiografi kedua menunjukkan posisi
mandibula yang benar ketika pasien menyentuh pearl (Gambar 6, 7). Pasien disarankan untuk
selalu menggunakan prostesis kecuali saat tidur dan melakukan latihan lidah setidaknya
selama 15 menit 3 kali sehari, yang melibatkan menyentuh pearl tersebut, memutar pearl di
sekitar porosnya dari anterior ke bagian posterior gigi tiruan dan sebaliknya, dan juga
memindahkannya dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri. Ia disarankan untuk
membersihkan prostesis setiap habis makan.
Gambar 7. A. Hasil intraoral setelah 3 bulan. B. Hasil intraoral setelah 6 bulan dengan gigi
tiruan RA tanpa pearl.
2.4.2 Pembahasan
DAFTAR PUSTAKA
1. Islam, Syaiful M. Patogenesis dan Diagnosis Stroke, Lab/SMF Penyakit Saraf FK-
Perawatan Kesehatan Mulut dan Gigi Pasien Pasca Stroke di Instalasi Rawat Jalan Rs.
Kemenkes RI
terhadap Indeks Kebersihan Rongga Mulut (Tinjauan pada Pasien Stroke di Klinik
Millennia Banjarmasin Tahun 2014) Jurnal Kedokteran Gigi. Vol 1(2); 2016
6. Pedersen PH, Walls A, Ship J. Textbook of Geriatry Dentistry. Hoboken, New Jersey:
dengan Indeks DMF-T Lansia usia 45-65 Tahun di Kecamatan Kronjo, Kabupaten
dengan Indeks DMF-T Lansia usia 45-65 Tahun di Kecamatan Kronjo, Kabupaten
19. Yunus GY, Itagi ABH. Oral Health Status in Cerebrovascular Accident Survivors
(CVA)-A Descriptive Cross Sectional Study. Ind J Sci Res and Tech. 2015; 2 (1): 61-
68.
20. Friedman PK. Geriatric Dentistry Caring for Our Aging Population. Hoboken, New
21. Corsalini M, Rapone B, Grassi FR, Venere DD. A Study on Oral Rehabilitation in
182.