Anda di halaman 1dari 69

TUGAS ILMU BEDAH

“PENYAKIT UROLOGI PADA GERIATRI”

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Bedah
Di RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

HALAMAN JUDUL

Disusun oleh :
Verdita Mustika Happy
30101407345

Pembimbing :
Prof. Dr. dr. H. Rifki muslim, Sp. B, Sp.U

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
PERIODE 13 Agustus 2018
BAB I
PENDAHULUAN

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secara perlahan – lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri / mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang
terus – menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua
makhluk hidup.Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu.
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada
semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan
suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan
berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatanyang berbeda,
di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi. Menua bukanlah suatu
penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit
yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang
mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan
jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.Pada
tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya
kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan
fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti gangguan dalam sistem perkemihan
(infeksi saluran kemih, inkontinensia urin, pembesaran prostat, dan gagal ginjal kronik).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Lansia
 Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada kehidupan manusia.
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesehatan
dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60
tahun.
 Menurut UU No.4 tahun 1945, lansia adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun,
tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan
menerima nafkah dari orang lain.
 Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun keatas. Usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria yaitu : usia
pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut
usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.
 Menurut Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu : pertama (fase inventus) ialah
25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65
tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia.
 Menurut Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): > 65 tahun atau 70 tahun. Masa
lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-
75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Efendi, 2009).
Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia (Maryam, Ekasar, Risdawati,
Jubaedi, dan Batubara, 2008):
1. Prelansia (prasenelis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3. Lansia risiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 yahun atau lebih / seseorang yang berusia 60 tahun atau
lebih dengan masalah kesehatan (Depkes. RI, 2003).
4. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat
menghasilkan barang/jasa (Depkes. RI, 2003)
5. Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada
bantuan orang lain.
Karakteristik Lansia
Menurut Budi Anna Keliat (1999) dalam kutipan Maryam, Ekasar, Risdawati,
Jubaedi, dan Batubara, 2008, lansia memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Berusiah lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang
Kesehatan)
2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dan rentang sehat sampai sakit, dari
kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondidi
maladaptif.
3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
Batasan Umur Lansia
Berikut adalah batasna-batasan umur yang mencakup batasan umur lansia dari
pendapat berbagai ahli yang dikutip dari Nugroho (2000) dalam Buku (Efendi, Ferry,
Makhfudli, 2009)
1. Menurut Undang-undang Nomor 13 1998 dalam Bab 1 Ayat 2 yang berbunyi “Lanjut
usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.
2. Menurut WHO (World health Organization)
a. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun
3. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI)
Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa.kedewasaan dapat dibagi menjadi
empat bagian sebagai berikut :
a. Pertama (fase iuventus) : 25-40 tahun
b. Kedua (fase virilitas) : 40-55 tahun
c. Ketiga (fase presenium) : 55-65 tahun
d. Keempat (fase senium) : 65 hingga tutup usia.
Birren dan Jenner (1877) mengusulkan untuk membedakan usia antara usia biologis,
psikologis, dan usia sosial. Usia biologis adalh usia yang merujuk pada jangka waktu
seseorang sejak lahirnya, berada dalam keadaan hidup, tidak mati. Usia psikologis adalah
usia yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-
penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya. Sedangkan usia sosial adalah usia yang
merujuk kepada peran-peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat kepada
seseorang sehubungan dengan usianya. (Efendi, Ferry, Makhfudli, 2009)
- Penyakit Urologi pada Geriatri –

1. Gangguan Inkontinensia Urine Pada Lansia


I. DEFINISI
Inkontinensia urine pada populasi lansia merupakan masalah serius. Definisi paling
sederhana inkontinensia urine yaitu berkemih nonvolunter, ketika tekanan di dalam
kandung kemih lebih besar dari resistansi uretra. Agency for Health Care Policy and
Research (AHCPR) Guidline mendefinisikan inkontinensia urine sebagai “ pengeluaran
urine involunter yang cukup menimbulkan masalah” (Mass, L, Meridean, 2001).
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai
keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta
secara objektif tampak nyata. Inkontinensia urin dapat merupakan suatu gejala, tanda
ataupun suatu kondisi. Kondisi ini bukan merupakan bagian yang normal dari proses
penuaan, walaupun prevalensinya meningkat sejalan dengan peningkatan usia.
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara
atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna. Merembesnya urine
dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005).
Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot
sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum
penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat,
penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko
terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah
diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit
rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006
Keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera
setelah merasa dorongan yang kuat setelah
berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan
1. Inkontine seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam
nsia sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat,
Dorongan 2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera
setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan
ini disebabkan otot detrusor sudah mulai
mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.
Keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak
dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab
2. Inkontine inkontinensia total antara lain: disfungsi
nsia Total neorologis, kontraksi independen dan refleks
detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati.
3. Inkontine Stres Inkontinensia Urin (SUI) didefinisikan
nsia Stress oleh Internasional Continence Society (ICS)
adalah keluarnya urin tanpa disadari pada saat
aktifitas atau saat bersin atau saat batuk.
Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya
urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di
abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan
abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin,
mengangkat benda yang berat, maupun
tertawa.(Mass, L, Meridean, dkk. (2001)
Keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan
disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis
4. Inkontine
(lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks
nsia Reflex
ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih
penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
kemih tidak dihambat pada interval teratur
keadaan seseorang yang mengalami
pengeluaran urin secara tanpa disadari dan
5. Inkontine tidak dapat diperkirakan. Keadaan
nsia inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya
Fungsional dorongan untuk berkemih, merasa bahwa
kandung kemih penuh, kontraksi kandung
kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin. 

II. EPIDEMIOLOGI
Inkontinensia urin merupakan salah satu kondisi umum yang mengenai setidaknya 14
% wanita berumur di atas 30 tahun. Studi epidemiologi pun telah dilakukan untuk
mengukur besarnya populasi wanita dengan inkontinensia, dan untuk mendapatkan faktor
risiko spesifik dari para penderita inkontinensia (B, Pribakti, 2011).
Meskipun inkontinensia dianggap merupakan konsekuensi normal dari proses
penuaan dan persalinan, namun banyak faktor predisposisi lain yang penting. Hubungan
antara prolaps genital dan inkontinensia urine juga perlu diingat, seperti juga perbedaan
antara inkontiensi jaringan dan wanita yang inkonten (B, Pribakti, 2011).
Inkontinensia urin adalah tahap akhir dari banyak proses patologik, dan penelitian
akhir-akhir ini memfokuskan pada dua hal : diagnosis yang akurat dan penanganan
selanjutnya. Acuan dari semua panelitian ini adalah klasifikasi umum dari disfungsi
saluran kemmih bagian bawah yang distandarisasi oleh Komite International Continence
Society (ICS) (B, Pribakti, 2011).
III. ETIOLOGI
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak
dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding
kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih. (Darmojo, 2009). Penyebab utama Inkontinensia urin
dapat terdaftar sebagai berikut :
1. GSI (Genuine stress incontinence)
GSI adalah diagnosis yang dibuat oleh penilaian urodinamik. GSI didefinisikan
sebagai pengeluaran urin yang tidak disadari ketika tekanan intra vesikalis melebihi
tekanan penutupan uretra maksimal, dan tidak ada aktivitas detrusor. Hal ini terjadi
karena tidak kompeten yang dapat disebabkan oleh kelemahan komponen mekanisme
sfingter uretra (B, Pribakti, 2011).
2. Ketidakstabilan Detrusor
Detrusor (lapisan muskuler) yang tidak stabil adalah salah satu yang ditampilkan
objektif untuk berkontraksi, secara spontan atau provokasi, selama fase pengisian
sistrometri sementara pasien berusaha menahan berkemih. Kontransi ini dapat
mengakibatkan kebocoran urin. Insiden ini meningkat dengan usia, dan DI adalah
penyebab paling umum inkontinensia urin pada orang tua (B, Pribakti, 2011).
Kontraksi detrusor dapat berupa phasic atau sistolik, dimana mereka meniru
refleks berkemih normal, atau kandung kemih bisa menunjukkan tingkat pengosongan
lambat. (B, Pribakti. 2011)
Patofisiologi DI masih kurang dipahami, dan penyebab yang mendasari kondisi ini
jarang ditemukan. Pada kebanyakan kasus digunakan istilah DI idiopati.
Ketidakstabilan detrusor dan inkompetensi sfingter uretra (GSI) dapat terjadi bersama-
sama, dan DI apat timbul kembali setelah operasi untuk inkontinensia stres (B,
Pribakti, 2011).
3. Overflow Inkontinensia
Inkontinensia overflow adalah kondisi ekstrim yang mengakibatkan kesulitan
untuk menahan keinginan berkemih, dan setiap kondisi yang dapat menyebabkan
aliran yang jelak dan pengosongan kandung kemih inkomplit, tanpa terjadinya
inkontinensia (B, Pribakti, 2011).
Ini suatu kondisi dimana kandung kemih menjadi lembek dengan aktivitas
detrusor sedikit atau tidak ada. Kadang terdapat obstruksi kronis kandung kemih
menjadi kecil karena fibrosis, namun tetap hanya sedikit atau tidak ada aktivitas
detrusor. Wanita itu gagal untuk mengosongkan dan kansung kemih bocor setiap kali
penuh. Selain itu karena kapasitas kandung kemih fungsional sangat kecil, frekwensi
berkemih meningkat dan infeksi saluran kemih berulang (B, Pribakti, 2011).
Kandung kemih perempuan sangat sensitif terhadap overdistensi bahkan satu
episode retensi urin akut bisa mengakibatkan atoni kronis kandung kemih dan
seringkali membutuhkan kateterisasi jangka panjang. Diagnosis inkontinensia
overflow dibuat bila sisa urin lebih dari 50% dari kapasitas kandung kemih (B,
Pribakti, 2011).
4. Infeksi
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi
saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau
uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku
harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi
feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan
cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa
terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab (Darmojo, 2009).
5. Kehamilan
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Faktor risiko
yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya
juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).
IV. TANDA DAN GEJALA
1. Inkontinensia Stres
Merupakan gejala paling umum pada perempuan yang memeriksakan diri ke dokter
kandungan, pengeluaran urine yang tidak disadari selama aktivitas fisik.
2. Inkontinensia Urgensi
Merupakan pengeluaran urin yang tidak disadari dengan kenginan yang kuat untuk
buang air.
3. Inkontinensia tak sadar
Merupakan pengeluaran urin yang tidak disadari tanpa danya urgensi
4. Enuresis
Merupakan semua pengeluaran urin yang tidak disadari, meskipun biasanya
digunakan untuk menggambarkan inkontinensia selama tidur (Enuresis Noctural).
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah
(2008) yaitu:
1. Ketidaknyamanan daerah pubis
2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
V. FAKTOR PREDISPOSISI DAN PENCETUS
1. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum mampu
untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem
neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus
otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam
pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko mengalami
konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter
sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).
Inkontinensia urine lebih umum di perempuan dibandingkan dengan laki-laki,
dan prevalensi meningkat dengan membahayakan usia. Banyak wanita tua
sebenarnya menganggap gejala berkemih mereka merupakan bagian normal dari
proses penuaan dari pada manifestasi penyakit (B, Pribakti, 2011).
Fungsi kandung kemih menjadi kurang efisien seiring bertambahnya umur dan
Malone Lee telah menunjukkan bahwa perempuan tua memiliki penurunan tingkat
aliran urine, peningkatan risidu urine, kapasitas kandung kemih berkurang, dan
telakan maksimum yang legih rendah.
Gangguan fisik pada lansia menyebabkan gejala tambahan dari inkontinensia,
yang jarang pada wanita muda, sebagai berikut:
a. Dimensia
b. Infeksi saluran kemih
c. Penurunan mobilitas
d. Masalah ginjal
e. Obat-obatan (misalnya diuretik, hipnotik)
2. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya
jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi karena
kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak dapat
menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat saluran
kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu (Asmadi, 2008).
3. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal
untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih pekat
(Asmadi, 2008).
4. Hormon Sex
Memburuknya fungsi ovarium yang berhubungan menopause dimana terjadi
penurunan produksi estrogen endogen dan peningkatan insidensi gejala urin,
termasuk disuria, nokturia dan inkontinensia. Selain itu, infeksi saluran kemih (UTI)
menjadi lebih umum (B, Pribakti, 2011).
5. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh
karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan
kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran
urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu
terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).
6. Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin),
antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik
(inderal) (Potter & Perry,2006).
VI. PATOFISIOLOGI
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga
dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling
dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur
aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis
(Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang
dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul
(Potter & Perry, 2006).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang
menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih
berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya
berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia
sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat
mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan  relaksasi uretra yang mana
gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia (Potter & Perry,
2006).
VII. PENATALAKSANAAN
1. Non-Farmakologi
Penatalaksanaan pada inkontinensia urin secara non farmakologis bisa dilakukan
dengan latihan otot dasar panggul atau latihan Kegel, agar otot dasar panggul menjadi
lebih kuat dan uretra dapat tertutup dengan baik (Setiati, 2001). Latihan dasar
panggul melibatkan kontraksi berulang otot pubokoksigeus, otot yang membentuk
struktur penyokong panggung dan mengelilingi pintu panggul pada vagina, uretra,
dan rektum. Manfaat dari latihan Kegel ini adalah :
a. Menghentika aliran urine ketika berkemih, dengan tujuan menguatkan pintu
keluar kandung kemih.
b. Meningkatkan tonus otot dasar panggul dan meningkatkan ambang berkemih,
yang mengakibatkan urgensi.
c. Mampu meningkatkan kapasitas kandung kemih dan menunda episode
inkontinensia.
2. Farmakologis
Secara farmakologis yaitu menggunakan obat-obatan untuk merelaksasikan
kandung kemih. Ini biasanya dilakukan bila terapi non farmakologis tidak dapat
menyelesaikan masalah inkontinensia urin (Setiati,2001). Obat tersebut meliputi :
a. Propantelin (Pro-Banthine): Mengurangi kontraksi kandung kemih.
b. Efredin (Sudafed) : Menguatkan pintu kandung kemih.
c. Estrogen (Premarin) : Meningkatkan jaringan penopangan di sekitar uretra.
2 Pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin.
Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic (pada wanita) (Setiati,2001).
3 Modalitas lain
Selain farmakologis dan non farmakologis yang menyangkut penyebab
inkontinensia urin karena sumbatan atau keadaan patologik dilakukan dengan
pembedahan. Sambil melakukan terapi dan masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu yang digunakan oleh
lansia yang mengalami inkontinensia urin seperti kateter, pampers, dan komod
(Setiati,2001).
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi
lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan
alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan (Setiati,2001).
2. Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

I. DEFINISI

Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral
prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain
itu, BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada
laki-laki yang biasanya pada usia pertengahan atau lanjut. 4

Gambar 3. Benign Prostat Hyperplasia

II. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat;
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua) . Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak adalah : (1) Teori
Dihidrotestosteron, (2) Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, (3) Interaksi
antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4) Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5)
Teori Stem sel.5

a. Teori Dihidrotestosteron (DHT)


Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh
enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti dan
sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH
lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal. 5

b. Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron


Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar estrogen
relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relatif meningkat. Telah
diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel- sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan
jumlah kematian sel- sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah,
meskipun rangsangan terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan testosterone menurun,
tetapi sel – sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga
massa prostat jadi lebih besar. 5

c. Interaksi stroma epitel


Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel- sel stroma melalui suatu mediator (growth
factor) tertentu. Setelah sel- sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol,
sel- sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel- sel
stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin, serta mempengaruhi sel- sel epitel secara
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel- sel epitel maupun stroma. 5

d. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis)


Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostatis kelenjar
prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga mengakibatkan
pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat
proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat.1

b. Teori stem cell


Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar
prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara
jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang
menjadi sel aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan
berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga
dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan
prostat yang normal.

III. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan
karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada
hormon testosteron, yang di dalam sel- sel kelenjar prostat hormon akan dirubah menjadi
metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α reduktase.
Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel- sel kelenjar
prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat. 5
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat
aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urine, buli- buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli- buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli- buli.
Perubahan struktur pada buli- buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala prostatimus. 5
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli tidak terkecuali pada
kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine
dari buli- buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus
akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal
ginjal. 5

IV. MANIFESTASI KLINIK

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)5

Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi :


Obstruksi Iritasi
 Hesistansi  Frekuensi

 Pancaran miksi lemah  Nokturi

 Intermitensi  Urgensi

 Miksi tidak puas  Disuria

 Distensi abdomen Urgensi dan disuria jarang terjadi,


jika ada disebabkan oleh
 Terminal dribbling (menetes)
ketidakstabilan detrusor sehingga
 Volume urine menurun terjadi kontraksi involunter.

 Mengejan saat berkemih


Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi Benigna Prostat Hiperplasia

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung
tiga faktor, yaitu:

 Volume kelenjar periuretral

 Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

 Kekuatan kontraksi otot detrusor

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk


mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatigue) sehingga
jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.

Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh factor pencetus antara lain :

1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan yang mengandung
diuretikum, minum tertalu banyak)

2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/ infeksi prostat)

3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor (golongan
antikolinergik atau adrenergic-α)

Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis
pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring
yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor International
Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological
Association (AUA). Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri
derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara
0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat.

b. Gejala pada saluran kemih bagian atas5

Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi antara lain nyeri
pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam (infeksi/ urosepsis).

c. Gejala di luar saluran kemih

Keluhan pada penyakit hernia/ hemoroid sering mengikuti penyakit hipertropi


prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan
muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddarth, 2001). Secara klinik
derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:

 Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok dubur)


ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
 Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang
dari 100 ml.

 Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin
lebih dari 100 ml.

 Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

V. PEMERIKSAAN FISIK

Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi
urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes yang merupakan pertanda dari
inkontinensia paradoksa.

1) Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )

Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat memberikangambaran tonus


sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain sepertibenjolan di dalam rektum dan tentu
saja meraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :

 Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal

 Adakah asimetri

 Adakah nodul pada prostat

 Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih dapat diraba biasanya
besar prostat diperkirakan <60 gr.
Gambar 4. Pemeriksaan Colok Dubur

Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal, permukaan licin dan
konsistensi kenyal.12 Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria
bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan
disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila
sudah terjadi retensi total, buli-buli penuh (ditemukan massa supra pubis) yang nyeri dan
pekak pada perkusi. Daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya
hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab
yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau
uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus1.

2) Derajat berat obstruksi

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi
spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan
kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih
setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi
melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.Derajat berat obstruksi dapat pula diukur
dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka
normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20
ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 – 8 ml/detik, sedangkan
maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium 5,7,9:


a. Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran
kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit, bakteri, protein atau glukosa.
b. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan
sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan
c. Faal ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas.
Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk insufisiensi ginjal kronis pada pasien
yang memiliki postvoid residu (PVR) yang tinggi.
d. Gula darah
Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan
kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli neurogenik)
e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
Jika curiga adanya keganasan prostat
2. Pemeriksaan Patologi Anatomi 9
BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan stroma di prostat.
Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot hampir murni, meskipun kebanyakan
menunjukkan pola fibroadenomyomatous hyperplasia
Gambar 5. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Benigna Prostat Hiperplasia

3. Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia:


a. Foto polos5
Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa
prostat dan kadangkala menunjukan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang
merupakan tanda suatu retensi urine
b. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)5,7,10
Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe dimasukkan ke dalam rektum
mengarahkan gelombang suara di prostat. Gema pola gelombang suara merupakan
gambar dari kelenjar prostat pada layar tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah
yang abnormal tampak memang tumor, digunakan probe dan gambar USG untuk
memandu jarum biopsi untuk tumor yang dicurigai. Jarum mengumpulkan beberapa
potong jaringan prostat untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Biopsy terutama
dilakukan untuk pasien yang dicurigai memiliki keganasan prostat.
Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk pengukur volume
prostat, caranya antara lain :
 Metode “step planimetry”. Yang menghitung volume rata-rata area horizontal
diukur dari dasar sampai puncak.
 Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi (H/height) ,lebar
(W/width) dan panjang (L/length) dengan rumus : ½ (H x W x L)
c. Sistoskopi 7,11
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui pembukaan urethra di
dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah solusi numbs bagian dalam penis sehingga
sensasi semua hilang. Tabung, disebut sebuah “cystoscope” , berisi lensa dan sistem
cahaya yang membantu dokter melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih. Tes ini
memungkinkan dokter untuk menentukan ukuran kelenjar dan mengidentifikasi lokasi
dan derajat obstruksi.

Gambar 6. Gambaran Sistoskopi Benigna Prostat Hiperplasia


d. Ultrasonografi trans abdominal 10,11
 Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan pembesaran bagian
dalam glandula, yang relatif hipoechoic dibanding zona perifer. Zona transisi
hipoekoik cenderung menekan zona central dan perifer. Batas yang memisahkan
hyperplasia dengan zona perifer adalah “surgical capsule”.
 USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun
kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.

Gambar 7. Gambaran Sonografi Prostat Normal

Gambar 8. Gambaran Sonografi Benigna Prostat Hiperplasia


e.Sistografi buli11

Gambar 9.Gambaran Elevasi Dasar Buli yang Mengindikasikan Benigna Prostat


Hiperplasia

4. Pemeriksaan lain5,12 :
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur:
 Residual urin :
Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan kateterisasi/USG setelah miksi
 Pancaran urin/flow rate :
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Aliran
yang berkurang sering pada BPH. Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya kurang
dari 15mL/s dan terdapat peningkatan residu urin. Post-void residual mengukur jumlah
air seni yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah buang air kecil. PRV kurang
dari 50 mL umum menunjukkan pengosongan kandung kemih yang memadai dan
pengukuran 100 sampai 200 ml atau lebih sering menunjukkan sumbatan. Pasien
diminta untuk buang air kecil segera sebelum tes dan sisa urin ditentukan oleh USG
atau kateterisasi.

Gambar 10. Gambaran Pancaran Urin Normal dan pada BPH


Keterangan :

Gambaran aliran urin atas : dewasa muda yang asimtomatik, aliran urin lebih dari
15mL/s, urin residu 9 mL pada ultrasonografi.
Gambaran aliran urin bawah : dewasa tua dengan benigna hyperplasia prostat, terlihat waktu
berkemih memanjang dengan aliran urin kurang dari 10mL/s, pasien ini urin residunya 100
mL.

VII. KOMPLIKASI
 Retensi urine akut – ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin, distensi kandung kemih,
nyeri suprapubik
 Retensi urine kronik –residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba, tidak nyeri
 Infeksi traktus urinaria
 Batu buli
 Hematuri
 Inkontinensia-urgensi
 Hidroureter
 Hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal

VIII. PENATALAKSANAAN

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik. Kadang-kadang
mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun
atau hanya dengan nasehat saja. Namun adapula yang membutuhkan terapi medikamentosa atau
tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan
kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika
terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urine setelah miksi dan (6) mencegah
progrefitas penyakit. Hal ini dapat dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan
endourologi yang kurang invasive.

Observasi Medikamentosa Operasi Invasive minimal


Watchful Penghambat Prostatektomi terbuka  TUMT
waiting adrenergik α  TUBD
Penghambat Endourologi
 Stent uretra
reduktese α
Fisioterapi 1. TURP  TUNA
Hormonal
2. TUIP
3. TULP
Elektovaporasi
Tabel 3. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna

Riwayat
Bagan 2. Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia14

Penatalaksanaan Nilai indeks gejala BPH Efek samping


Wactfull waiting Gejala hilang/timbul Risiko kecil , dapat terjadi retensi
urinaria
Penatalaksanaan medis
Alpha-blockers Sedang 6-8 Gaster/usus halus-11%
Hidung berair-11%
Sakit kepala-12%
Menggigil-15%
5 alpha-reductase inhibitors Ringan 3-4 Masalah ereksi-8%
Kehilangan hasrat sex-5%
Berkurangnya semen-4%
Terapi kombinasi Sedang 6-7 kombinasi
Terapi invasi minimal
Transuretral microwave heat Sedang-berat 9-11 Urgensi/frekuensi-28-74%
Infeksi-9%
Prosedur kedua dibutuhkan-10-
16%
TUNA Sedang 9 Urgensi/frekuensi-31%
Infeksi-17%
Prosedur kedua dibutuhkan-23%
Operasi
TURP, laser & operasi Berat 14-20 Retensi urinaria-1-21%
sejenis Urgensi&frekuensi-6-99%
Gangguan ereksi-3-13%
Operasi terbuka Berat Inkontinensia 6%
Tabel 4. Penatalaksaan Berdasarkan Nilai Indeks Gejala Benigna Prostat Hiperplasia 15
a. Watchful waiting 5
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu
keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapat terapi namun
hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya,
misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam, (2) kurangi
konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), (3) batasi
penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan
pedasadan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya keluhannya apakah
menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan
laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada
sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi resistansi otot polos
prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker dan (2) mengurangi volume prostat sebagai
komponen static dengan cara menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT)
melalui penghambat 5α-reduktase.
1) Penghambat reseptor adrenergik α. 5,
Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang membantu untuk
meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh pembesaran prostat di BPH.
Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan.
Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin (Flomax), alfuzosin
(Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti terazosin (Hytrin) atau doxazosin
(Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan pancaran urin dan mengakibatkan
perbaikan gejala dalam beberapa minggu dan tidak berpengaruh pada ukuran prostat.
Gambar 14. Lokasi Reseptor 1-Adrenergik (1-ARs)
2) Penghambat 5 α reduktase 5
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari
testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 α reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya
kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun.
Pembesaran prostat di BPH secara langsung tergantung pada DHT, sehingga obat ini
menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran prostat lebih dari 6 sampai 12 bulan.
c. Terapi Invasif Minimal
Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap pembedahan
1) Microwave transurethral.
Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang menggunakan gelombang mikro
untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan prostat yang berlebih. Dalam prosedur
yang disebut microwave thermotherapy transurethral (TUMT), perangkat mengirim
gelombang mikro melalui kateter untuk memanaskan bagian prostat dipilih untuk
setidaknya 111 derajat Fahrenheit. Sebuah sistem pendingin melindungi saluran kemih
selama prosedur.
Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat dilakukan secara rawat
jalan tanpa anestesi umum. TUMT belum dilaporkan menyebabkan disfungsi ereksi atau
inkontinensia. Meskipun terapi microwave tidak menyembuhkan BPH, tapi mengurangi
gejala frekuensi kencing, urgensi, tegang, dan intermitensi.

Gambar 11. Microwave Transurethral


2) Transurethral jarum ablasi. Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui transurethral
jarum ablasi invasif minimal (TUNA) sistem untuk pengobatan BPH. Sistem TUNA
memberikan energy radiofrekuensi tingkat rendah melalui jarum kembar untuk region
prostat yang membesar. Shields melindungi uretra dari kerusakan akibat panas. Sistem
TUNA meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan efek samping yang
lebih sedikit jika dibandingkan dengan reseksi transurethral dari prostat (TURP).

Gambar 12. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal

3) Thermotherapy dengan air. Terapi ini menggunakan air panas untuk menghancurkan
jaringan kelebihan dalam prostat. Sebuah kateter mengandung beberapa lubang
diposisikan dalam uretra sehingga balon pengobatan terletak di tengah prostat. Sebuah
komputer mengontrol suhu air, yang mengalir ke balon dan memanaskan jaringan
prostat sekitarnya. Sistem ini memfokuskan panas di wilayah yang tepat prostat. Sekitar
jaringan dalam uretra dan kandung kemih dilindungi. Jaringan yang hancur keluar
melalui urin

Gambar 13. Thermotherapy dengan Air

d. Bedah
1) Operasi transurethral. 5,11,13,16,17
Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan. Setelah memberikan anestesi,
ahli bedah mencapai prostat dengan memasukkan instrumen melalui uretra.
Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari prostat (TURP) digunakan untuk 90
persen dari semua operasi prostat dilakukan untuk BPH. Dengan TURP, alat yang
disebut resectoscope dimasukkan melalui penis. The resectoscope, yaitu panjang sekitar
12 inci dan diameter 1 / 2 inci, berisi lampu, katup untuk mengendalikan cairan irigasi,
dan loop listrik yang memotong jaringan dan segel pembuluh darah.
Cairan irigan yang dipakai adalah aquades . kerugian dari aquades adalah sifatnya
yang hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi sistemik dan menyebabkan
hipotermia relative atau gejala intoksikasi air yang dikenal dengan sindrom TURP.
Ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, somnolen dan tekanan darah meningkat dan
terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak dan
jatuh ke dalam koma. Untuk mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP operator
harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam dan baru
memasang sistostomi terlebih dauhlu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi
penyerapan air ke sistemik.
Selama operasi 90-menit, ahli bedah menggunakan loop kawat resectoscope untuk
menghilangkan jaringan obstruksi satu bagian pada suatu waktu. Potongan-potongan
jaringan dibawa oleh cairan ke kandung kemih dan kemudian dibuang keluar pada akhir
operasi. Prosedur transurethral kurang traumatis daripada bentuk operasi terbuka dan
memerlukan waktu pemulihan lebih pendek. Salah satu efek samping yang mungkin
TURP adalah ejakulasi retrograde, atau ke belakang. Dalam kondisi ini, semen mengalir
mundur ke dalam kandung kemih selama klimaks bukannya keluar uretra.

Selama operasi Pasca bedah dini Pasca bedah lanjut


Perdarahan Perdarahan Inkontinensi
Sindrom TURP Infeksi lokal/sistemik Dinsfungsi ereksi
Perforasi Ejakulasi retrograde
Striktur uretra

Berbagai Penyulit TURP, Selama maupun Setelah Pembedahan

(a)
(b)

Gambar 14. (a) alat TURP, (b) cara melakukan TURP, (c) uretra prostatika pasca TURP
Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat (TUIP), prosedur ini melebar
urethra dengan membuat beberapa potongan kecil di leher kandung kemih, di mana terdapat
kelenjar prostat. Prosedur ini digunakan pada hiperplasi prostat yang tidak tartalu besar, tanpa
ada pembesaran lobus medius dan pada pasen yang umurnya masih muda.

2) Open surgery. 5,12


Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak dapat digunakan,
operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal, dapat digunakan. Open surgery
sering dilakukan ketika kelenjar sangat membesar (>100 gram), ketika ada komplikasi,
atau ketika kandung kemih telah rusak dan perlu diperbaiki. Prostateksomi terbuka
dilakukan melalui pendekatan suprarubik transvesikal (Freyer) atau retropubik
infravesikal (Millin). Penyulit yang dapat terjadi adalah inkontinensia uirn (3%),
impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli
(305%). Perbaikan gejala klinis 85-100%.
5, 7,11
3) Operasi laser
Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami koagulasi dan pada suhu
yang lebih dari 100oC mengalami vaporasi. Teknik laser menimbulkan lebih sedikit
komplikasi sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun.
Kekurangannya adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi
(kecuali paad Ho:YAG coagulation), sering banyak menimbulkan disuri pasca bedah
yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah
operasi dan peak flow rate lebih rendah daripada pasca TURP. Serat laser melalui uretra
ke dalam prostat menggunakan cystoscope dan kemudian memberikan beberapa
semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60 detik. Energi laser menghancurkan
jaringan prostat dan menyebabkan penyusutan.

Gambar 16. Operasi Laser pada Prostat


a) Interstitial laser coagulation. Tidak seperti prosedur laser lain, koagulasi laser
interstisial tempat ujung probe serat optik langsung ke jaringan prostat untuk
menghancurkannya.

Gambar 17. Interstitial laser coagulation


b) Potoselectif vaporisasi prostat (PVP).
PVT a-energi laser tinggi untuk menghancurkan jaringan prostat. Cara sama dengan
TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik dengan mesin
diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporasi kelenjar prostat.
Teknik ini cukup aman tidak menimbulkan perdarahan pada saat operasi. Namun
teknik ini hanya diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan
membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.

Gambar 18. Potoselectif vaporisasi prostat


e. Kontrol berkala 5

 Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terdapat
perbaikan klinis
 Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
 Pengobatan penghambat 5α-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan melakukan
pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi
 Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian skor miksi,
juga diperiksa kultur urin
 Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan penyulit.

3. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

I. DEFINISI ISK

ISK adalah istilah umum yang menunjukan keberadaan mikroorganisme (MO) dalam
urine.

Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria) : bakteriuria bermakna menunjukan


pertumbuhan mikroorganisme (MO) murni lebih dari 105 colony forming units (cfu/ml) pada
biakan urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan
bakteriuria asimptomatik (covert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai
presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria bermakna simptomatik. Pada beberapa keadaan
pasien dengan presentasi klinis ISK tanpa bakteriuria bermakna. Banyak faktor yang
menyebabkan negatif palsu pada pasien dengan presentasi klinis ISK.2

Tabel 1. Faktor penyebab negatif palsu pada pasien isk


- Pasien telah mendapat terapi antimikroba
- Terapi antidiuretika
- Minum banyak
- Waktu pengambilan sampel tidak tepat
- Peranan bakteriofag

Piuria bermakna (significant pyuria), bila ditemukan netrofil > 10 per lapang pandang

ISK dibagi atas2 :

1. Infeksi saluran kemih (ISK) bawah


Presentasi klinis ISK bawah tergantung dari gender :
a. Perempuan
- Sistitis. Sistitis adalah presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai bakteriuria bermakna
- Sindroma urethra akut (SUA). Sindroma urethra akut adalah presentasi klinis sistitis tanpa
ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis bakterialis. Penelitian terkini
SUA disebabkan MO anaerobik
b. Laki-laki
- Presentasi klinis ISK bawah pada laki laki mungkin bisa sistitis, prostatitis, epididimidis dan
urethritis.
2. Infeksi saluran kemih (ISK) atas
a. Pielonefritis akut (PNA). Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang
disebabkan oleh infeksi bakteri.
b. Pielonefritis kronik (PNK). Pieloenefritis kronik mungkin akibat lanjutan dari infeksi
bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks
vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat
parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik. Bakteriuria asimptomatik
kronik pada orang dewasa tanpa faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan
pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal. Data epidemiologik klinik tidak pernah
melaporkan hubungan antara bakteriuria asimptomatik dengan pielonefritis kronik.
II. EPIDEMIOLOGI

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu infeksi yang umum terjadi pada populasi usia
lanjut, umumnya berupa ISK asimtomatik. Walaupun mortalitas langsung akibat ISK dikatakan cukup
jarang, namun insidensnya yang tinggi (baik di komunitas maupun di tempat perawatan jangka
panjang) menimbulkan masalah baru berupa penggunaan antibiotika secara berlebihan yang
meningkatkan laju resistensi kuman terhadap berbagai jenis antibiotika. Bakteriuria asimptomatik
meningkat tajam prevalensinya seiring meningkatnya usia, terutama pada wanita. Prevalens
bakteriuria asimptomatik juga meningkat tajam pada populasi usia lanjut yang berada di tempat
perawatan jangka panjang dan panti werdha. Sementara bakteriuria simptomatik ditemukan sebanyak
13 per 100 orang per tahun, yaitu 10,9 pada pria dan 14 pada wanita.1

Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan cenderung menderita ISK
dibandingkan dengan laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai dengan
faktor predisposisi (faktor pencetus).2

Tabel 2. Faktor predisposisi ( pencetus ISK )


- Lithiasis
- Obstruksi saluran kemih
- Penyakit ginjal polikistik
- Nekrosis papilar
- Diabetes mellitus pasca transplantasi ginjal
- Nefropathi analgesik
- Penyakit sickle-cell
- Senggama
- Kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron
- kateterisasi

III. ETIOLOGI

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi bakterial yang paling sering timbul dan sumber
utama bakteriemia pada usia lanjut. Faktor yang mempredisposisi seorang usia lanjut mengalami isk
adalah penggunaan kateter (baik folley maupun kondom), dan neurogenic bladder dengan
peningkatan volume residu urine, faktor yang secara spesifik turut pula berperan adalah hipertrofi
prostat pada pria, serta meningkatnya pH vagina dan terjadinya atrofi vagina sehubungan dengan
deplesi esterogen post menopause dan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna pada
wanita. Faktor-faktor tersebut memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkolonisasi dan
meningkatkan resiko terjadinya bakteriuria asimptomatik dan ISK pada usia lanjut.6

Mikroorganisme penyebab ISK umumnya disebabkan oleh bakteri atau MO tunggal5 :

- Escherichia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan infeksi
simptomati maupun asimptomatik
- Mikroorganisme lainnya sering ditemukan seperti proteus spp, klabsiella spp, dan stafilokokus
dengan koagulase negatif
- Infeksi yang disebabkab oleh pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus adalah
bakteri penyebab pasca keteterisasi.
IV. FAKTOR RESIKO

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi pada Usia Lanjut1 :

Infeksi yang terjadi pada usia lanjut, selain dipengaruhi adanya mikroorganisme penyebab infeksi
(faktor agen) dan faktor lingkungan juga sangat dipengaruhi perubahan mekanisme respon imun yang
menyebabkan daya tahan tubuh (host defence).

Menurunnya daya tahan tubuh sendiri, selain disebabkan perubahan sisitem imun, juga dapat
disebabkan oleh kondisi malnutrisi dan banyaknya penyakit komorbid yang sering menyertai seorang
berusia lanjut. Beberapa faktor yang dapat menjadi faktor resiko, faktor predisposisi dan faktor
kontributor terjadinya infeksi pada usia lanjut antara lain1 :

1. Perubahan sistem imun dan respon imun

Seorang yang berusia lanjut akan mengalami penurunan kemampuan untuk melawan agen
penyebab infeksi(mikroorganisme), yang disebabkan oleh disfungsi sistem imunitas adaptif maupun
alami (non-adaptif). Produksi dan proliferasi limfosit-T akan menurun seiring meningkatnya usia,
menyebabkan berkurangnya kemampuan imunitas yang di mediasi-sel, sementara pada sel B
terjadinya produksi antibodi terhadap antigen baru. Menipisnya kulit, membesarnya prostat,
menurunnya refleks batuk, serta perubahan anatomik maupun fisiologis yang terkait usia akan
mengubah imunitas non adaptif yang menempatkan seorang usia lanjut rentan tehadap infeksi.

2. Adanya penyakit komorbid tertentu

Penyakit penyakit kronik seperti keanasan, aterosklerosis, diabetes melitus, demensia, merupakan
predisposisi terhadap terjadinya infeksi tertentu. Penggunaan obat-obatan seperti sedatif, narkotika,
antikolinergik, dan obat penekan asam lambung akan menekan mekanisme daya tahan tubuh jauh
lagi. Komorbiditas pada usia lanjut akan menyebabkan menurunnya imunitas alamiah yang non-
spesifik seperti integritas kulit, refleks batuk, bersihan mukosilier, maupun respon imun yang dipacu
oleh pengenalan terhadap produk mikroba. Penyakit paru obstruktif (PPOK) dan diabetes melitus
(DM) merupakan contoh penyakit komorbid yang merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pada
usia lanjut.

3. Malnutrisi
Malnutrisi, sering dijumpai pada populasi usia lanjut, baik di komunitas maupun yang tinggal di
panti werdha, berperan dalam menurunkan imunitas usia lanjut khususnya malnutrisi yang dimediasi-
sel. Seorang usia lanjut rentan terhadap terjadinya mal-nutrisi yang dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, baik fisiologis maupun psikologis, yang mempengaruhi keinginan/nafsu untuk makan dan
berbagai halangan fisik maupun ekonomi terhadap kebiasaan makanan sehat.

Malnutrisi sering dialami oleh mereka yang berusia sangat lanjut (the oldest old), yang tinggal di
tempat perawatan jangka panjang, beberapa etnik minoritas, dan mereka dengan status sosial ekonomi
rendah, seorang lanjut usia yang mengalami malnutrisi lebih mudah mengalamai sakit dan mati
dibandingkan berstatus nutrisi baik, atau mudah mengalami luka tekan (ulkus dekubitus) serta
penyembuhan luka yang lambat selama perawatan akut dirumah sakit atau tempat perawatan lain.

4. Gangguan fungsional

Gangguan fungsional (seperti imobilisasi, inkontonensia, disfagia) yang sering terjadi pada usia
lanjut dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi karena selain menimbulkan berbagai
komplikasi juga meningkatkan kebutuhan akan pemakaian kateter, selang makanan (feeding tubes),
dan peralatan invasif lainnya.

5. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan cukup besar berperan dalam meningkatnya insidens infeksi pada kelompok
usia lanjut. Populasi yang secara khusus rentan terhadap terjadinya infeksi adalah penghuni panti
wedha, yang di Indonesia umumnya mereka yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah yang
tinggal di lingukan panti wedha dengan tingkat higiene yang kurang memadai. Di Indonesia, faktor
lingkungan ini masih berkutat pada masalah buruknya higine, padatnya penduduk di suatu wilayah,
dan sarana kesehatan belum merata. Kelomppok usia lanjut dengan latar belakang ekonomi rendah
sebagai kelompok yang rentan, masih belum menjadi prioritas dari pemerintah maupun masyarakat,
sehingga insidens infeksi dan kondisi-kondisi yang berkaitan dengan infeksi tetap tinggi.6

V. Patofisiologi & Patogenesis

Dua jalur utama masuknya bakteri ke saluran kemih adalah jalur hematogen dan asending,
tetapi asending lebih sering terjadi.8

1. Infeksi hematogen (desending)


Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh rendah,
karena menderita suatu penyakit kronik, atau pada pasien yang sementara mendapat pengobatan
imunosupresif. Penyebaran hematogen dapat juga terjadi akibat adanya fokus infeksi di salah satu
tempat. Contoh mikroorganisme yang dapat menyebar secara hematogen adalah Staphylococcus
aureus, Salmonella sp, Pseudomonas, Candida sp., dan Proteus sp.
Ginjal yang normal biasanya mempunyai daya tahan terhadap infeksi E.coli karena itu
jarang terjadi infeksi hematogen E.coli. Ada beberapa tindakan yang mempengaruhi struktur dan
fungsi ginjal yang dapat meningkatkan kepekaan ginjal sehingga mempermudah penyebaran
hematogen. Hal ini dapat terjadi pada keadaan sebagai berikut9 :

a. Adanya bendungan total aliran urin


b. Adanya bendungan internal baik karena jaringan parut maupun terdapatnya presipitasi
obat intratubular, misalnya sulfonamide
c. Terdapat faktor vaskular misalnya kontriksi pembuluh darah
d. Pemakaian obat analgetik
e. Pijat ginjal
f. Penyakit ginjal polikistik
g. Penderita diabetes melitus
2. Infeksi asending
a. Kolonisasi uretra dan daerah introitus vagina
Saluran kemih yang normal umumnya tidak mengandung mikroorganisme kecuali pada
bagian distal uretra yang biasanya juga dihuni oleh bakteri normal kulit seperti basil difteroid,
streptpkokus. Di samping bakteri normal flora kulit, pada wanita, daerah 1/3 bagian distal uretra
ini disertai jaringan periuretral dan vestibula vaginalis yang juga banyak dihuni oleh bakteri yang
berasal dari usus karena letak usus tidak jauh dari tempat tersebut. Pada wanita, kuman penghuni
terbanyak pada daerah tersebut adalah E.coli di samping enterobacter dan S.fecalis. Kolonisasi
E.coli pada wanita didaerah tersebut diduga karena8 :

 adanya perubahan flora normal di daerah perineum


 Berkurangnya antibodi lokal
 Bertambahnya daya lekat organisme pada sel epitel wanita
b. Masuknya mikroorganisme dalam kandung kemih
Proses masuknya mikroorganisme ke dalam kandunh kemih belum diketahui dengan jelas.
Beberapa faktor yang mempengaruhi masuknya mikroorganisme ke dalam kandung kemih
adalah8 :

1) Faktor anatomi
Kenyataan bahwa infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki
disebabkan karena :

 Uretra wanita lebih pendek dan terletak lebih dekat anus


 Uretra laki-laki bermuara saluran kelenjar prostat dan sekret prostat merupakan
antibakteri yang kuat
2) Faktor tekanan urin pada waktu miksi
Mikroorganisme naik ke kandung kemih pada waktu miksi karena tekanan urin. Selama miksi
terjadi refluks ke dalam kandung kemih setelah pengeluarann urin.

3) Faktor lain, misalnya


 Perubahan hormonal pada saat menstruasi
 Kebersihan alat kelamin bagian luar
 Adanya bahan antibakteri dalam urin
 Pemakaian obat kontrasepsi oral
c. Multiplikasi bakteri dalam kandung kemih dan pertahanan kandung kemih
Dalam keadaan normal, mikroorganisme yang masuk ke dalam kandung kemih akan cepat
menghilang, sehingga tidak sempat berkembang biak dalam urin. Pertahanan yang normal dari
kandung kemih ini tergantung tiga faktor yaitu9 :

1) Eradikasi organisme yang disebabkan oleh efek pembilasan dan pemgenceran urin
2) Efekantibakteri dari urin, karena urin mengandung asam organik yang bersifat
bakteriostatik. Selain itu, urin juga mempunyai tekanan osmotik yang tinggi dan pH
yang rendah
3) Mekanisme pertahanan mukosa kandung kemih yang intrinsik
Mekanisme pertahanan mukosa ini diduga ada hubungannya dengan mukopolisakarida
dan glikosaminoglikan yang terdapat pada permukaan mukosa, asam organik yang bersifat
bakteriostatik yang dihasilkan bersifat lokal, serta enzim dan lisozim. Selain itu, adanya sel
fagosit berupa sel neutrofil dan sel mukosa saluran kemih itu sendiri, juga IgG dan IgA yang
terdapat pada permukaan mukosa. Terjadinya infeksi sangat tergantung pada keseimbangan antara
kecepatan proliferasi bakteri dan daya tahan mukosa kandung kemih10.

Eradikasi bakteri dari kandung kemih menjadi terhambat jika terdapat hal sebagai berikut :
adanya urin sisa, miksi yang tidak kuat, benda asing atau batu dalam kandung kemih, tekanan
kandung kemih yang tinggi atau inflamasi sebelumya pada kandung kemih.

d. Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal


Hal ini disebabkan oleh refluks vesikoureter dan menyebarnya infeksi dari pelvis ke korteks
karena refluks internal. Refluks vesikoureter adalah keadaan patologis karena tidak berfungsinya
valvula vesikoureter sehingga aliran urin naik dari kandung kemih ke ginjal. Tidak berfungsinya
valvula vesikoureter ini disebabkan karena9,10 :

 Memendeknya bagian intravesikel ureter yang biasa terjadi secara kongenital


 Edema mukosa ureter akibat infeksi
 Tumor pada kandung kemih
 Penebalan dinding kandung kemih
VI. MANIFESTASI KLINIS

Gejala – gejala dari cystitis sering meliputi8,9,10:

· Gejala yang terlihat, sering timbulnya dorongan untuk berkemih


· Rasa terbakar dan perih pada saat berkemih
· Seringnya berkemih, namun urinnya dalam jumlah sedikit (oliguria)
· Adanya sel darah merah pada urin (hematuria)
· Urin berwarna gelap dan keruh, serta adanya bau yang menyengat dari urin
· Ketidaknyamanan pada daerah pelvis renalis
· Rasa sakit pada daerah di atas pubis
· Perasaan tertekan pada perut bagian bawah
· Demam
· Pada wanita yang lebih tua juga menunjukkan gejala yang serupa, yaiu kelelahan, hilangnya
kekuatan, demam
· Sering berkemih pada malam hari
Gejala- gejala dari cystitis di atas disebabkan karena beberapa kondisi8,9,10:

· Penyakit seksual menular, misalnya gonorrhoea dan chlamydia


· Terinfeksi bakteri, seperti E-coli
· Jamur (Candida)
· Terjadinya inflamasi pada uretra (uretritis)
· Wanita atau gadis yang tidak menjaga kebersihan bagian kewanitaannya
· Wanita hamil
· Inflamasi pada kelerjar prostat, tau dikenal dengan prostatitis
· Seseorang yang menggunakan cateter
· Anak muda yang melakukan hubungan seks bebas
Jika infeksi dibiarkan saja, infeksi akan meluas dari kandung kemih hingga ginjal. Gejala –
gejala dari adanya infeksi pada ginjal berkaitan dengan gejala pada cystitis, yaitu demam, kedinginan,
rasa nyeri pada punggung, mual, dan muntah. Cystitis dan infeksi ginjal termasuk dalam infeksi
saluran kemih.

Tidak setiap orang dengan infeksi saluran kemih dapat dilihat tanda – tanda dan gejalanya,
namun umumnya terlihat beberapa gejala, meliputi8:

· Desakan yang kuat untuk berkemih


· Rasa terbakar pada saat berkemih
· Frekuensi berkemih yang sering dengan jumlah urin yang sedikit (oliguria)
· Adanya darah pada urin (hematuria)
Setiap tipe dari infeksi saluran kemih memilki tanda – tanda dan gejala yang spesifik,
tergantung bagian saluran kemih yang terkena infeksi11:

1. Pyelonephritis akut. Pada tipe ini, infeksi pada ginjal mungkin terjadi setelah meluasnya
infeksi yang terjadi pada kandung kemih. Infeksi pada ginjal dapat menyebabkan rasa salit
pada punggung atas dan panggul, demam tinggi, gemetar akibat kedinginan, serta mual atau
muntah.
2. Cystitis. Inflamasi atau infeksi pada kandung kemih dapat dapat menyebabkan rasa tertekan
pada pelvis, ketidaknyamanan pada perut bagian bawah, rasa sakit pada saat urinasi, dan bau
yang mnyengat dari urin.
3. Uretritis. Inflamasi atau infeksi pada uretra menimbulkan rasa terbakar pada saat urinasi. Pada
pria, uretritis dapat menyebabkan gangguan pada penis.
Gejala pada infeksi saluran kemih ringan (misalnya: cystitis, uretritis) meliputi10:

1. rasa sakit pada punggung


2. adanya darah pada urin (hematuria)
3. adanya protein pada urin (proteinuria)
4. urin yang keruh
5. ketidakmampuan berkemih meskipun tidak atau adanya urin yang keluar
6. demam
7. dorongan untuk berkemih pada malam hari (nokturia)
8. tidak nafsu makan
9. lemah dan lesu (malaise)
10. rasa sakit pada saat berkemih (dysuria)
11. rasa sakit di atas bagian daerah pubis (pada wanita)
12. rasa tidak nyaman pada daerah rectum (pada pria)
Gejala yang mengindikasikan infeksi saluran kemih lebih berat (misalnya: pyelonephritis)
meliputi10:

a. kedinginan
b. demam tinggi dan gemetar
c. mual
d. muntah (emesis)
e. rasa sakit di bawah rusuk
f. rasa sakit pada daerah sekitar abdome
Pada pasien dengan usia lanjut gejala-gejala ISK yang dapat terlihat adalah sebagai berikut1:
a. Nyeri berkemih, frekuensi atau urgensi yang baru muncul atau meningkat

b. Perubahan karakter urine : keruh, berdarah, atau berbau

c. Suhu tubuh meningkat

d. Nyeri baru atau memberat di suprapubic, pinggang atau kostovertebral

e. Inkontinensia yang baru muncul atau memberat

f. Penurunan status mental atau fungsional

Pada pasien-pasien usia lanjut yang memerlukan perawatan di rumash sakit, selain urinalisis
dan kultur urine, kultur darah juga harus dilakukan. Pasien yang dirawat dan terdapat infeksi yang
complicated (saluran kemih bagian atas berulang, atau terkait kateter) memerlukan pengkajian fungsi
ginjal (ureum, kreatinin) juga evaluasi terhadap anatomi saluran kemih (ultrasonografi,pyelografi
intrvena) dan fungsi kandung kemih (volume residu urine). Beberapa pasien memerlukan
pemeriksaan sistoskopi, sementara pada pasoen laki-laki diperlukan pemeriksaan terhadap kelenjar
prostat. Untuk menyingkirkan prostatitis bakterial kronik dan hiperplasia prostat3.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan infeksi saluran kemih, digunakan urin segar (urin pagi). Urin pagi adalah urin
yang pertama – tama diambil pada pagi hari setelah bangun tidur. Digunakan urin pagi karena yang
diperlukan adalah pemeriksaan pada sedimen dan protein dalam urin. Sampel urin yang sudah
diambil, harus segera diperiksa dalam waktu maksimal 2 jam. Apabila tidak segera diperiksa, maka
sampel harus disimpan dalam lemari es atau diberi pengawet seperti asam format3.
Bahan untuk sampel urin dapat diambil dari:
 Urin porsi tengah, sebelumnya genitalia eksterna dicuci dulu dengan air sabun dan NaCl 0,9%.
 Urin yang diambil dengan kateterisasi 1 kali.
 Urin hasil aspirasi supra pubik.
Bahan yang dianjurkan adalah dari urin porsi tengah dan aspirasi supra pubik.

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya adalah sebagai berikut3:

1. Analisa Urin (urinalisis)


Pemeriksaan urinalisis meliputi:
 Leukosuria (ditemukannya leukosit dalam urin).
Dinyatakan positif jika terdapat 5 atau lebih leukosit (sel darah putih) per lapangan pandang
dalam sedimen urin.
 Hematuria (ditemukannya eritrosit dalam urin).
Merupakan petunjuk adanya infeksi saluran kemih jika ditemukan eritrosit (sel darah merah)
5-10 per lapangan pandang sedimen urin. Hematuria bisa juga karena adanya kelainan atau
penyakit lain, misalnya batu ginjal dan penyakit ginjal lainnya.
2. Pemeriksaan bakteri (bakteriologis)
Pemeriksaan bakteriologis meliputi3:

 Mikroskopis.
Bahan: urin segar (tanpa diputar, tanpa pewarnaan).
Positif jika ditemukan 1 bakteri per lapangan pandang.
 Biakan bakteri.
Untuk memastikan diagnosa infeksi saluran kemih.
3. Pemeriksaan kimia
Tes ini dimaksudkan sebagai penyaring adanya bakteri dalam urin. Contoh, tes reduksi griess
nitrate, untuk mendeteksi bakteri gram negatif. Batasan: ditemukan lebih 100.000 bakteri. Tingkat
kepekaannya mencapai 90 % dengan spesifisitas 99%.

4. Tes Dip slide (tes plat-celup)


Untuk menentukan jumlah bakteri per cc urin. Kelemahan cara ini tidak mampu mengetahui jenis
bakteri.

5. Pemeriksaan penunjang lain


Meliputi: radiologis (rontgen), IVP (pielografi intra vena), USG dan Scanning. Pemeriksaan
penunjang ini dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya batu atau kelainan lainnya.
Pemeriksaan penunjang dari infeksi saluran kemih terkomplikasi4:

1. Bakteriologi / biakan urin


Tahap ini dilakukan untuk pasien dengan indikasi:
 Penderita dengan gejala dan tanda infeksi saluran kemih (simtomatik).
 Untuk pemantauan penatalaksanaan infeksi saluran kemih.
 Pasca instrumentasi saluran kemih dalam waktu lama, terutama pasca keteterisasi urin.
 Penapisan bakteriuria asimtomatik pada masa kehamilan.
 Penderita dengan nefropati / uropati obstruktif, terutama sebelum dilakukan
Beberapa metode biakan urin antara lain ialah dengan plat agar konvensional, proper plating
technique dan rapid methods. Pemeriksaan dengan rapid methods relatif praktis digunakan dan
memiliki ambang sensitivitas sekitar 104 sampai 105 CFU (colony forming unit) kuman3.

Pada biakan urin dinilai jenis mikroorganisme, kuantitas koloni (dalam satuan CFU), serta
tes sensitivitas terhadap antimikroba (dalam satuan millimeter luas zona hambatan). Pada uretra
bagian distal, daerah perianal, rambut kemaluan, dan sekitar vagina adalah habitat sejumlah flora
normal seperti laktobasilus, dan streptokokus epidermis. Untuk membedakan infeksi saluran
kemih yang sebenarnya dengan mikroorganisme kontaminan tersebut, maka hal yang sangat
penting adalah jumlah CFU. Sering terdapat kesulitan dalam mengumpulkan sampel urin yang
murni tanpa kontaminasi dan kerap kali terdapat bakteriuria bermakna tanpa gejala, yang
menyulitkan penegakkan diagnosis infeksi saluran kemih. Berdasarkan jumlah CFU, maka
interpretasi dari biakan urin adalah sebagai berikut3:

a. Pada hitung koloni dari bahan porsi tengah urin dan dari urin kateterisasi.
 Bila terdapat > 105 CFU/ml urin porsi tengah disebut dengan bakteriuria bermakna
 Bila terdapat > 105 CFU/ml urin porsi tengah tanpa gejala klinis disebut bakteriuria
asimtomatik
 Bila terdapat mikroba 102 – 103 CFU/ml urin kateter pada wanita muda asimtomatik yang
disertai dengan piuria disebut infeksi saluran kemih.
b. Hitung koloni dari bahan aspirasi supra pubik.
Berapapun jumlah CFU pada pembiakan urin hasil aspirasi supra pubik adalah infeksi saluran
kemih.

Interpretasi praktis biakan urin oleh Marsh tahun 1976, ialah sebagai berikut:

Kriteria praktis diagnosis bakteriuria. Hitung bakteri positif bila didapatkan:

 > 100.000 CFU/ml urin dari 2 biakan urin porsi tengah yang dilakukan seara berturut –
turut.
 > 100.000 CFU/ml urin dari 1 biakan urin porsi tengah dengan leukosit > 10/ml urin segar.
 > 100.000 CFU/ml urin dari 1 biakan urin porsi tengah disertai gejala klinis infeksi saluran
kemih.
 > 10.000 CFU/ml urin kateter.
 Berapapun CFU dari urin aspirasi suprapubik.
Berbagai faktor yang mengakibatkan penurunan jumlah bakteri biakan urin pada infeksi
saluran kemih:

1) Faktor fisiologis
 Diuresis yang berlebihan
 Biakan yang diambil pada waktu yang tidak tepat
 Biakan yang diambil pada infeksi saluran kemih dini (early state)
 Infeksi disebabkan bakteri bermultiplikasi lambat
 Terdapat bakteriofag dalam urin
2) Faktor iatrogenic
 Penggunaan antiseptic pada waktu membersihkan genitalia
 Penderita yang telah mendapatkan antimikroba sebelumnya
Cara biakan yang tidak tepat:

 Media tertentu yang bersifat selektif dan menginhibisi


 Infeksi E. coli (tergantung strain), baketri anaerob, bentuk K, dan basil tahan asam
 Jumlah koloni mikroba berkurang karena bertumpuk.
2. Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari piuria (pus dalam urin)
1) Urin tidak disentrifus (urin segar)
Piuria apabila terdapat ≥10 leukosit/mm3 urin dengan menggunakan kamar hitung.
2) Urin sentrifus
Terdapatnya leukosit > 10/Lapangan Pandang Besar (LPB) disebut sebagai piuria. Pada
pemeriksaan urin porsi tengah dengan menggunakan mikroskop fase kontras, jika terdapat
leukosit >2000/ml, eritrosit >8000/ml, dan casts leukosit >1000/ml, maka disebut sebagai
infeksi saluran kemih.
3) Urin hasil aspirasi suprapubik
Disebut piuria jika didapatkan >800 leukosit/ml urin aspirasi supra pubik. Keadaan piuria
bukan merupakan indikator yang sensitif terhadap adanya infeksi saluran kemih, tetapi sensitif
terhadap adanya inflamasi saluran kemih.
3. Tes Biokimia
Bakteri tertentu golongan enterobacteriae dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit (Griess
test), dan memakai glukosa (oksidasi). Nilai positif palsu prediktif tes ini hanya <5%. Kegunaan
tes ini terutama untuk infeksi saluran kemih rekurens yang simtomatik. Pada infeksi saluran
kemih juga sering terdapat proteinuria yang biasanya < 1 gram/24 jam. Membedakan bakteriuria
dan infeksi saluran kemih yaitu, jika hanya terdapat piuria berarti inflamasi, bila hanya terdapat
bakteriuria berarti kolonisasi, sedangkan piuria dengan bakteriuria disertai tes nitrit yang positif
adalah infeksi saluran kemih.
4. Lokalisasi infeksi
Tes ini dilakukan dengan indikasi:
 Setiap infeksi saluran kemih akut (pria atau wanita) dengan tanda – tanda sepsis.
 Setiap episode infeksi saluran kemih (I kali) pada penderita pria.
 Wanita dengan infeksi rekurens yang disertai hipertensi dan penurunan faal ginjal.
 Biakan urin menunjukkan bakteriuria pathogen polimikrobal.
Penentuan lokasi infeksi merupakan pendekatan empiris untuk mengetahui etiologi infeksi
saluran kemih berdasarkan pola bakteriuria, sekaligus memperkirakan prognosis, dan untuk
panduan terapi. Secara umum dapat dikatakan bahwa infeksi saluran kemih atas lebih mudah
menjadi infeksi saluran kemih terkomplikasi. Suatu tes noninvasif pembeda infeksi saluran kemih
atas dan bawah adalah dengan ACB (Antibody-Coated Bacteria). Pemeriksaan ini berdasarkan
data bahwa bakteri yang berasal dari saluran kemih atas umumnya diselubungi antibody,
sementara bakteri dari infeksi saluran kemih bawah tidak. Pemeriksaan ini lebih dianjurkan untuk
studi epidemiologi, karena kurang spesifik dan sensitif.

Identifikasi / lokalisasi sumber infeksi:

a. Non invasif
 Imunologik
 ACB (Antibody-Coated Bacteria)
 Autoantibodi terhadap protein saluran Tam-Horsfall
 Serum antibodi terhadap antigen polisakarida
 Komplemen C
 Nonimunologik
 Kemampuan maksimal konsentrasi urin
 Enzim urin
 Protein Creaktif
 Foto polos abdomen
 Ultrasonografi
 CT Scan
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
 Bakteriuria polimikrobial / relaps setelah terapi (termasuk pada terapi tunggal)
b. Invasif
 Pielografi IV / Retrograde / MCU
 Kultur dari bahan urin kateterisasi ureteroan bilasan kandung kemih
 Biopsi ginjal (kultur pemeriksaan imunofluoresens)
5. Pemeriksaan radiologis dan penunjang lainnya
Prinsipnya adalah untuk mendeteksi adanya faktor predisposisi infeksi saluran kemih,
yaitu hal – hal yang mengubah aliran urin dan stasis urin, atau hal – hal yang menyebabkan
gangguan fungsional saluran kemih. Pemeriksaan tersebut antara lain berupa:
a. Foto polos abdomen
Dapat mendeteksi sampai 90% batu radio opak
b. Pielografi intravena (PIV)
Memberikan gambaran fungsi eksresi ginjal, keadaan ureter, dan distorsi system pelviokalises.
Untuk penderita: pria (anak dan bayi setelah episode infeksi saluran kemih yang pertama
dialami, wanita (bila terdapat hipertensi, pielonefritis akut, riwayat infeksi saluran kemih,
peningkatan kreatinin plasma sampai < 2 mg/dl, bakteriuria asimtomatik pada kehamilan,
lebih dari 3 episode infeksi saluran kemih dalam setahun. PIV dapat mengkonfirmasi adanya
batu serta lokasinya. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi batu radiolusen dan
memperlihatkan derajat obstruksi serta dilatasi saluran kemih. Pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan setelah > 6 minggu infeksi akut sembuh, dan tidak dilakukan pada penderita yang
berusia lanjut, penderita DM, penderita dengan kreatinin plasma > 1,5 mg/dl, dan pada
keadaan dehidrasi.
c. Sistouretrografi saat berkemih

Pemeriksaan ini dilakukan jika dicurigai terdapat refluks vesikoureteral, terutama pada anak –
anak

d. Ultrasonografi ginjal

Untuk melihat adanya tanda obstruksi/hidronefrosis, scarring process, ukuran dan bentuk
ginjal, permukaan ginjal, masa, batu, dan kista pada ginjal.

e. Pielografi antegrad dan retrograde


(a). Pielografi retrograde (b). Pielografi antegrade
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat potensi ureter, bersifat invasive dan mengandung
factor resiko yang cukup tinggi. Sistokopi perlu dilakukan pada refluks vesikoureteral dan
pada infeksi saluran kemih berulang untuk mencari factor predisposisi infeksi saluran kemih.

f. CT-scan

Pemeriksaan ini paling sensitif untuk menilai adanya infeksi pada parenkim ginjal, termasuk
mikroabses ginjal dan abses perinefrik. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk menunjukkan
adanya kista terinfeksi pada penyakit ginjal polikistik. Perlu diperhatikan bahwa pemeriksaan
in lebih baik hasilnya jika memakai media kontras, yang meningkatkan potensi
nefrotoksisitas.

g. DMSA scanning
Penilaian kerusakan korteks ginjal akibat infeksi saluran kemih dapat dilakukan dengan
skintigrafi yang menggunakan (99mTc) dimercaptosuccinic acid (DMSA). Pemeriksaan ini
terutama digunakan untuk anak – anak dengan infeksi saluran kemih akut dan biasanya
ditunjang dengan sistoureterografi saat berkemih. Pemeriksaan ini 10 kali lebih sensitif untuk
deteksi infeksi korteks ginjal dibanding ultrasonografi.

VIII. PENATALAKSANAAN

Bakteria asimptomatik pada usia lanjut seharusnya tidak diterapi karena terbukti tidak mengurangi
morbiditas dan mortalitas, bahkan akan meningkatkan resistensi terhadap antibiotik, meningkatkan
resiko terjadinya efek samping obat yang umum terjadi pada usia lanjut, serta meningkatkan biaya.

Terapi pada isk yang simptomatik memerlukan kultur urine untuk diagnosis yang optimal,
pemilihan antibiotika yang sesuai, serta lamanya terapi yang memadai. Pemilihan antibiotik untuk
pengobatan isk pada usia lanjut sama dengan dewasa muda. Terapi empirik yang direkomendasikan
pada pasien rawat jalan adalah dengan trimetroprim-sulfametoxazole.

Fluoroquinolone oral saat ini dianjurkan sebagai alternatif terapi isk pada pasien yang intoleran
terhadap trimetoprim-sulfametoxazole atau yang gagal dengan terapi tersebut. Lama terapi umumnya
7 hari, atau pada kasus yang complicated dapat dianjurkan sampai 14 hari. Pada laki-laki usia lanjut
lama terapi antibiotika yang dianjurkan adalah 14 hari. Pemeriksaan kultur urine ulang sebaiknya
dilakukan setelah 7 sampai 10 hari setelah terapi selesai.

Pasien usia lanjut yang memerlukan perawatan rumah sakit akibat isk umumnya diterapi dengan
antibiotika parenteral sampai terdapat perbaikan klinis. Antibiotika parenteral yang dianjurkan
digunakan sebagai terapi empirik isk pada lanjut usia yang dirawat adalah fluoroquinolone,
cephalosporine spektrum luas, beta-lactam dan anti beta-lactamase, dan aminoglicoside. Pada
perawatan di rumah sakit, lama terapi umumnya sekitar 10 sampai 14 hari. Evaluasi ulang kultur
harus dilakukan setelah 7 sampai 10 hari setelah selesainya pemberian antibiotika.
Tabel 5. Regimen antibiotika parenteral untuk pengobatan infeksi saluran kemih komplikata

Antibiotika Dosis
Ciprofloxacin 200-400 mg tiap 12 jam
Ceftriaxone 1-2 gram tiap 24 jam
Ceftazoline 1-2 gram tiap 8 jam
Cefotaxime 1-2 gram tiap 8 jam
Ceftazidime 0,5-2 gram tiap 8 jam
Ampicilin 1 gram tiap 4-6 jam
Piperacillin/tazobactam 4,5 gram tiap 8 jam
Gentamicin 1-1,5 mg/KgBB tiap 8 jam atau 4-5
mg/KgBB tiap 24 jam
Amikacin 5 mg/KgBB tiap 8 jam atau 15 mg/KgBB
tiap 24 jam
Imipenem/cilastatin 500mg tiap 6 jam

Suatu uji klinis pada 237 pasien dengan rerata usia hampir 60 tahun yang mengalami pielonefritis
akut atau isk komplikata, menunjukan bahwa terapi dengan antibiotika piperacillin-tazobactam sama
efektifnya dengan imipenem-cilastatin dalam hal keberhasilan klinis (83,0% vs 79,9%) tidak jauh
berbeda secara statistik. Namun respon microbiologis lebih baik pada piperacillin-tazobactam
(57,9%) bila dibandingkan imipenem-cilastatin (48,6%), dengan efektifitas piperazilin-tazobactam
yang lebih baik terhadap E.coli, Enterobacter Claloe, dan P. Aeroginosa. Kedua obat ini cukup aman
dan dapat ditoleransi dengan baik.(kejadian efek samping obat, masing-masing 9,6 dan 9,9%)

IX. PROGNOSIS

Pada lansia prognosis isk lebih buruk dibandingkan isk pada dewasa, meskipun tidak mengancam
jiwa namun isk menjadi salah satu penyebab yang membuat bakteriemia dan sepsis yang secara tidak
langsung isk akan meningkatkan mortalitas bagi usia lanjut. Isk pada usia lanjut juga dapat mudah
terjadi karena faktor komorbid yang banyak di punyai oleh usia lanjut.

X. PREVENTIF

Pada populasi usia lanjut yang mempunyai beberapa faktor resiko yang harus pertama-tama
dilakukan adalah memodifikasi faktor faktor resiko dan faktor predisposisi terjadinya isk pada usia
lanjut. Beberapa cara intervensi telah dievaluasi untuk mencegah isk pada populasi usia lanjut, antara
lain konsumsi cranberry juice dan pemberian antibiotika dosis rendah, terutama pada perempuan usia
lanjut yang mengalami episode kekambuhan sistitis akut yang sering. Terapi profilaksis ini diberikan
pada waktu menjelang tidur, dan diteruskan selama 6 bulan sampai 1 tahun.

Tabel 6. Antibiotika Profilaksis padaISK Simptomatis Akut yang Berulang

Antibiotika yang dianjurkan Dosis


Nitrofurantoin 50-100 mg per hari
Trimetoprim-sulfametoxazole 80/400 mg per hari atau 3 kali perminggu
Trimetoprim alternative 100 mg per hari
Cafalexine 125 mg per hari
Norfloxacine 200 mg per hari atau tiga kali perminggu
Ciprofloxacine 125 per hari

4. Chronic Kidney Disease


A. DEFINISI

Penyakit ginjal kronik adalah suatu kelainan struktur atau fungsi ginjal yang
terjadi selama lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan tubuh. Namun
dapat diartikan sebagai suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kategori laju
filtrasi glomerulus dan albuminuria.
B. KRITERIA

Kriteria penyakit ginjal kronik berdasarkan kriteria KDIGO 2012.

Kriteria Chronic Kidney Disease (salah satu kriteria terjadi > 3 bulan)

Marker / Penanda kerusakan  Albuminuria (AER > 30 mg/24 jam, ACR > 30 mg/g
ginjal (satu atau lebih)
 Hasil sedimen urin abnormal

 Elektrolit abnormal dan kelainan yang berhubungan


dengan gangguan tubulus

 Ditemukan kelainan pada pemeriksaan histologi

 Ditemukan kelainan pada pemeriksaan pencitraan


(imaging test)

 Riwayat transplantasi ginjal

2
Penurunan GFR GFR < 60 ml/menit/1,73 m (kategori GFR G3a – G5)

Keterangan : AER = albumin excretion rate; ACR = albumin to creatinine ratio; GFR =
glomerular filtration rate.

C. KLASIFIKASI

Klasifikasi penyakit ginjal kronik disusun berdasarkan rekomendasi KDIGO


yaitu klasifikasi berdasarkan penyebab, kategori GFR dan albuminuria.

Kategori Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Tingkat GFR

2
Kategori GFR GFR (ml/menit/1,73 m ) Keterangan

G1 ≥ 90 Kerusakan ginjal dengan GFR


normal atau meningkat

G2 60 – 89 Kerusakan ginjal derajat ringan*


G3a 45 – 59 Kerusakan ginjal derajat ringan
hingga sedang

G3b 30 – 44 Kerusakan ginjal derajat sedang

G4 15 – 29 Kerusakan ginjal derajat berat

G5 < 15 Gagal ginjal

Keterangan : *relatif pada usia dewasa muda.

Klasifikasi atas dasar GFR, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft – Gault
sebagai berikut :

2
LFG (ml/mnt/1,73m ) = (140 – umur) X berat badan *)

72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Tingkat Albuminuria

Kategori AER ACR Keterangan

(mg/24 jam) (mg/mmol) (mg/g)

A1 < 30 <3 < 30 Normal atau derajat ringan

A2 30 – 300 3 – 30 30 – 300 Derajat sedang*

A3 > 300 > 30 > 300 Derajat berat**


Keterangan : AER = albumin excretion rate; ACR = albumin to creatinine ratio; *relatif pada
usia dewasa muda; **termasuk sindroma nefrotik (biasanya AER >2200 mg/24 jam, ACR
>220 mg/mmol atau ACR >2220 mg/g.

Klasifikasi atas dasar albuminuria, yang dihitung adalah AER dan ACR dengan rumus sebagai
berikut.

AER (mg/24 jam) = albumin (mg/dl) x volume urin 24 jam

ACR (mg/mmol) = albumin (mg/dl) x 10

ACR (mg/g) = (albumin (mg/dl) x 1000) ÷ creatinine (mg/dl)


Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Penyakit Sistemik dan Penemuan PA Ginjal

Penyakit Sistemik Yang Penyakit Ginjal Primer Tanpa


Mempengaruhi Ginjal Penyakit Sistemik

Penyakit Glomerulus  Diabetes  Glomerulonefritis difus,


 Autoimun fokal atau proliferative
 Infeksi sistemik kresentik
 Obat-obatan  Glomerulosklerosis fokal
 Keganasan dan segmental
 Nefropati membranosa
 Minimal change disease

Penyakit  Infeksi sistemik  Infeksi saluran kemih


Tubulointertisial  Autoimun  Batu saluran kemih
 Sarkoidosis  Obstruksi saluran kemih
 Obat-obatan
 Racun alam (asam
aristolohik)
 Myeloma

Penyakit Vaskular  Atherosklerosis  ANCA vasculitis


 Hipertensi  Displasia fibromuskular
 Iskemia
 Kolesterol
 Emboli
 Vaskulitis sistemik

14
 Mikroangiopati
trombotik
 Sklerosis sistemik

Penyakit Kistik dan  Penyakit polikistik  Displasia ginjal


Kongenital ginjal  Penyakit kistik medular
 Sindroma Alport  Podositopati
 Penyakit Fabry

Keterangan : ANCA = Antineutrophil Cytoplasmic Antibody

D. ETIOLOGI
Berdasarkan data insidensi penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat,
terdapat beberapa penyebab utama terjadinya penyakit ginjal kronik yaitu sebagai
berikut.

Etiologi CKD di Amerika Serikat

Penyebab Insiden (%)

Diabetes mellitus 44
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27
Glomerulonefritis 10
Nefritis interstisialis 4
Kista 3
Penyakit sistemik (Lupus, Vasculitis) 2
Neoplasma 2
Tidak diketahui 4
Penyakit lain 4
Berdasarkan data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
penyebab terjadinya gagal ginjal yang mengalami hemodialysis di Indonesia
adalah sebagai berikut.

Etiologi CKD di Indonesia

Penyebab Insiden (%)

Glomerulonefritis 46
Diabetes mellitus 18

Obstruksi dan infeksi 12


Hipertensi 8
Sebab lain 14

E. FAKTOR RISIKO
Faktor resiko CKD diantara lain yaitu pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu dengan riwayat
diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta kumpulan
populasi yang memiliki angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti African
Americans, Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American Indians.

F. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit


yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pada CKD terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa
setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron
yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi
hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Adanya peningkatan aktivitas
aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan
hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Dengan adanya
penurunan LFG maka akan terjadi :

 Anemia

Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan produksi


eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit menimbulkan
anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan
diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu CKD dapat
menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering
menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada CKD akan
mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan
normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek
inhibisi eritropoiesis.

 Dyspnoe dan Hipertensi

Adanya kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan


perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga
mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek
vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah dan merangsang
pelepasan aldosteron dan ADH sehingga menyebabkan retensi NaCl dan air 
volume ekstrasel meningkat (hipervolemia)  volume cairan berlebihan 
ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer  LVH  peningkatan tekanan
atrium kiri  peningkatan tekanan vena pulmonalis  peningkatan tekanan di
kapiler paru  edema paru  sesak nafas

 Hiperlipidemia  Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam


lemak bebas oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.
 Hiperurisemia  Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi
di dalam darah. Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan
kristal urat dalam sendi  artritis gout.
 Hiponatremia  Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran
hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada
tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan
jumlah nefron, natriuresis akan meningkat.

 Hiperfosfatemia  Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi


fosfat sehingga fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika

2+
kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca untuk membentuk
kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap
di sendi dan kulit yang bermanifestasi menjadi artritis dan pruritus.
2+
 Hipokalsemia Disebabkan karena Ca membentuk kompleks dengan fosfat.
Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid
sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi
demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi
fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal.
Jadi meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma
2+
tidak berlebihan dan konsentrasi Ca dapat meningkat. Namun pada insufisiensi
ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi
fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan
2+
konsentrasi Ca di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk
pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-
menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan
lebih banyak PTH.

+
 Hiperkalemia  Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H
plasma meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –
+
selginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K ke dalam plasma.
+
Peningkatan konsentrasi ion H dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan
sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga
menyebabkanhiperkalemia.

G. DIAGNOSIS

 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :


1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus (polidipsi,
polifagia, polyuria, pruritus, polyneuritis, berat badan menurun), infeksi /
batu traktus urinarius, hipertensi, SLE dan lainnya.

2. Sindroma uremia yaitu lemah, lethargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,


volume overload, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis,
kejang maupun koma.

3. Gejala komplikasi yang mungkin sudah terjadi seperti anemia, hipertensi,


CHF, asidosis dan gangguan elektrolit.

 Gambaran Laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :

1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin


serum, dan penurunan LFG.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic.

4. Kelainan urinalisis meliputi albuminuria, proteinuria, hematuria, leukosuria,


cast, isostenuria.

 Gambaran Radiologi

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :

1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak

2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa


melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

3. Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi

4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,


korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi

5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi


H. TATALAKSANA

 Non Medikamentosa

o Pengaturan asupan protein


 Pasien non dialysis 0,6 – 0,75 gram/kgBB ideal/hari
 Pasien hemodialysis 1 – 1,2 gram/kgBB ideal/hari

 Pasien peritoneal dialysis 1,3 gram/kgBB/hari

o Pengaturan asupan kalori 35 Kal/kgBB ideal/hari

o Pengaturan asupan lemak 30 – 40% dari kalori total dan mengandung

jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh.

o Pengaturan asupan karbohidrat 50 – 60% dari kalori total


o Garam (NaCl) 2 – 3 gram/hari

o Kalium 40 – 70 mEq/kgBB/hari

o Fosfor 5 – 10 mg/kgBB/hari

o Kalsium 1400 – 1600 mg/hari

o Besi 10 – 18 mg/hari

o Magnesium 200 – 300 mg/hari

o Air dengan menghitung jumlah urin 24 jam ditambah 500 ml.

 Medikamentosa

o Kontrol tekanan darah dengan ACE Inhibitor, Antagonis reseptor

angiotensin B, calcium channel blocker, dan diuretic.

o Pasien DM kontrol gula darah dengan menghindari pemakaian


metformin dan obat sulfonylurea dengan masa kerja panjang. Target
HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi dan untuk DM
tipe 2 adalah 6%.
o Koreksi anemia dengan target Hb 10 -12 g/dL.

o Kontrol manifestasi klinis dari komplikasi.

I. KOMPLIKASI

 Gangguan cairan dan elektrolit


 Asidosis metabolic
 CHF
 Anemia
 Osteodistrofi renal
 Neuropati perifer dan ensefalopati

J. PROGNOSIS

Prognosis pasien dapat diukur dengan melihat penyebab / etiologi dari CKD,
tingkat GFR, tingkat ACR, dan faktor komorbid pasien yang dapat disimpulkan pada
tabel berikut.
BAB III
KESIMPULAN

Definisi geriatri atau lansia menurut ahli, yaitu :


 Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 tahun 1998
tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun.
 Menurut UU No.4 tahun 1945, lansia adalah seseorang yang mencapai umur 55
tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-
hari dan menerima nafkah dari orang lain.
 Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun keatas. Usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria yaitu :
usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74
tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas
90 tahun.
 Menurut Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu : pertama (fase
inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase
presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia.
 Menurut Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): > 65 tahun atau 70 tahun.
Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu
young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Efendi,
2009).

Penyakit urologi pada geriatri terdiri dari :


1. Inkontinensia Urin
Inkontinensia urine pada populasi lansia merupakan masalah serius. Definisi
paling sederhana inkontinensia urine yaitu berkemih nonvolunter, ketika tekanan
di dalam kandung kemih lebih besar dari resistansi uretra. Agency for Health Care
Policy and Research (AHCPR) Guidline mendefinisikan inkontinensia urine
sebagai “ pengeluaran urine involunter yang cukup menimbulkan masalah” (Mass,
L, Meridean, 2001).
2. Beningna Prostat Hyperplasia (BPH)
Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar
periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat
yang asli ke perifer. Selain itu, BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat yang
bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki yang biasanya pada usia
pertengahan atau lanjut.

3. Infeksi Saluran Kemih (ISK)


ISK adalah istilah umum yang menunjukan keberadaan mikroorganisme (MO)
dalam urine.
Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria) : bakteriuria bermakna
menunjukan pertumbuhan mikroorganisme (MO) murni lebih dari 105 colony
forming units (cfu/ml) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa
disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria asimptomatik (covert
bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai presentasi klinis ISK
dinamakan bakteriuria bermakna simptomatik.

4. Chronic Kidney Disease


Penyakit ginjal kronik adalah suatu kelainan struktur atau fungsi ginjal yang
terjadi selama lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan tubuh.
Identifikasi CKD saat ini berbasis pada rekomendasi KDIGO 2012 yaitu penyakit
ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kategori laju filtrasi
glomerulus, albuminuria dan faktor komorbid maupun penyakit sistemik yang
terjadi pada pasien. Hingga saat ini etiologi paling terbanyak masih diduduki oleh
diabetes mellitus dan glomerulonephritis
69

Anda mungkin juga menyukai