Penyakit Urologi PD Geriatri
Penyakit Urologi PD Geriatri
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Bedah
Di RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HALAMAN JUDUL
Disusun oleh :
Verdita Mustika Happy
30101407345
Pembimbing :
Prof. Dr. dr. H. Rifki muslim, Sp. B, Sp.U
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secara perlahan – lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri / mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang
terus – menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua
makhluk hidup.Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu.
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada
semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan
suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan
berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatanyang berbeda,
di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi. Menua bukanlah suatu
penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit
yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang
mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan
jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.Pada
tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya
kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan
fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti gangguan dalam sistem perkemihan
(infeksi saluran kemih, inkontinensia urin, pembesaran prostat, dan gagal ginjal kronik).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada kehidupan manusia.
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesehatan
dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60
tahun.
Menurut UU No.4 tahun 1945, lansia adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun,
tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan
menerima nafkah dari orang lain.
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun keatas. Usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria yaitu : usia
pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut
usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.
Menurut Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu : pertama (fase inventus) ialah
25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65
tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia.
Menurut Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): > 65 tahun atau 70 tahun. Masa
lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-
75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Efendi, 2009).
Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia (Maryam, Ekasar, Risdawati,
Jubaedi, dan Batubara, 2008):
1. Prelansia (prasenelis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3. Lansia risiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 yahun atau lebih / seseorang yang berusia 60 tahun atau
lebih dengan masalah kesehatan (Depkes. RI, 2003).
4. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat
menghasilkan barang/jasa (Depkes. RI, 2003)
5. Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada
bantuan orang lain.
Karakteristik Lansia
Menurut Budi Anna Keliat (1999) dalam kutipan Maryam, Ekasar, Risdawati,
Jubaedi, dan Batubara, 2008, lansia memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Berusiah lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang
Kesehatan)
2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dan rentang sehat sampai sakit, dari
kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondidi
maladaptif.
3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
Batasan Umur Lansia
Berikut adalah batasna-batasan umur yang mencakup batasan umur lansia dari
pendapat berbagai ahli yang dikutip dari Nugroho (2000) dalam Buku (Efendi, Ferry,
Makhfudli, 2009)
1. Menurut Undang-undang Nomor 13 1998 dalam Bab 1 Ayat 2 yang berbunyi “Lanjut
usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.
2. Menurut WHO (World health Organization)
a. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun
3. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI)
Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa.kedewasaan dapat dibagi menjadi
empat bagian sebagai berikut :
a. Pertama (fase iuventus) : 25-40 tahun
b. Kedua (fase virilitas) : 40-55 tahun
c. Ketiga (fase presenium) : 55-65 tahun
d. Keempat (fase senium) : 65 hingga tutup usia.
Birren dan Jenner (1877) mengusulkan untuk membedakan usia antara usia biologis,
psikologis, dan usia sosial. Usia biologis adalh usia yang merujuk pada jangka waktu
seseorang sejak lahirnya, berada dalam keadaan hidup, tidak mati. Usia psikologis adalah
usia yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-
penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya. Sedangkan usia sosial adalah usia yang
merujuk kepada peran-peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat kepada
seseorang sehubungan dengan usianya. (Efendi, Ferry, Makhfudli, 2009)
- Penyakit Urologi pada Geriatri –
II. EPIDEMIOLOGI
Inkontinensia urin merupakan salah satu kondisi umum yang mengenai setidaknya 14
% wanita berumur di atas 30 tahun. Studi epidemiologi pun telah dilakukan untuk
mengukur besarnya populasi wanita dengan inkontinensia, dan untuk mendapatkan faktor
risiko spesifik dari para penderita inkontinensia (B, Pribakti, 2011).
Meskipun inkontinensia dianggap merupakan konsekuensi normal dari proses
penuaan dan persalinan, namun banyak faktor predisposisi lain yang penting. Hubungan
antara prolaps genital dan inkontinensia urine juga perlu diingat, seperti juga perbedaan
antara inkontiensi jaringan dan wanita yang inkonten (B, Pribakti, 2011).
Inkontinensia urin adalah tahap akhir dari banyak proses patologik, dan penelitian
akhir-akhir ini memfokuskan pada dua hal : diagnosis yang akurat dan penanganan
selanjutnya. Acuan dari semua panelitian ini adalah klasifikasi umum dari disfungsi
saluran kemmih bagian bawah yang distandarisasi oleh Komite International Continence
Society (ICS) (B, Pribakti, 2011).
III. ETIOLOGI
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak
dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding
kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih. (Darmojo, 2009). Penyebab utama Inkontinensia urin
dapat terdaftar sebagai berikut :
1. GSI (Genuine stress incontinence)
GSI adalah diagnosis yang dibuat oleh penilaian urodinamik. GSI didefinisikan
sebagai pengeluaran urin yang tidak disadari ketika tekanan intra vesikalis melebihi
tekanan penutupan uretra maksimal, dan tidak ada aktivitas detrusor. Hal ini terjadi
karena tidak kompeten yang dapat disebabkan oleh kelemahan komponen mekanisme
sfingter uretra (B, Pribakti, 2011).
2. Ketidakstabilan Detrusor
Detrusor (lapisan muskuler) yang tidak stabil adalah salah satu yang ditampilkan
objektif untuk berkontraksi, secara spontan atau provokasi, selama fase pengisian
sistrometri sementara pasien berusaha menahan berkemih. Kontransi ini dapat
mengakibatkan kebocoran urin. Insiden ini meningkat dengan usia, dan DI adalah
penyebab paling umum inkontinensia urin pada orang tua (B, Pribakti, 2011).
Kontraksi detrusor dapat berupa phasic atau sistolik, dimana mereka meniru
refleks berkemih normal, atau kandung kemih bisa menunjukkan tingkat pengosongan
lambat. (B, Pribakti. 2011)
Patofisiologi DI masih kurang dipahami, dan penyebab yang mendasari kondisi ini
jarang ditemukan. Pada kebanyakan kasus digunakan istilah DI idiopati.
Ketidakstabilan detrusor dan inkompetensi sfingter uretra (GSI) dapat terjadi bersama-
sama, dan DI apat timbul kembali setelah operasi untuk inkontinensia stres (B,
Pribakti, 2011).
3. Overflow Inkontinensia
Inkontinensia overflow adalah kondisi ekstrim yang mengakibatkan kesulitan
untuk menahan keinginan berkemih, dan setiap kondisi yang dapat menyebabkan
aliran yang jelak dan pengosongan kandung kemih inkomplit, tanpa terjadinya
inkontinensia (B, Pribakti, 2011).
Ini suatu kondisi dimana kandung kemih menjadi lembek dengan aktivitas
detrusor sedikit atau tidak ada. Kadang terdapat obstruksi kronis kandung kemih
menjadi kecil karena fibrosis, namun tetap hanya sedikit atau tidak ada aktivitas
detrusor. Wanita itu gagal untuk mengosongkan dan kansung kemih bocor setiap kali
penuh. Selain itu karena kapasitas kandung kemih fungsional sangat kecil, frekwensi
berkemih meningkat dan infeksi saluran kemih berulang (B, Pribakti, 2011).
Kandung kemih perempuan sangat sensitif terhadap overdistensi bahkan satu
episode retensi urin akut bisa mengakibatkan atoni kronis kandung kemih dan
seringkali membutuhkan kateterisasi jangka panjang. Diagnosis inkontinensia
overflow dibuat bila sisa urin lebih dari 50% dari kapasitas kandung kemih (B,
Pribakti, 2011).
4. Infeksi
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi
saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau
uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku
harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi
feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan
cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa
terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab (Darmojo, 2009).
5. Kehamilan
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Faktor risiko
yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya
juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).
IV. TANDA DAN GEJALA
1. Inkontinensia Stres
Merupakan gejala paling umum pada perempuan yang memeriksakan diri ke dokter
kandungan, pengeluaran urine yang tidak disadari selama aktivitas fisik.
2. Inkontinensia Urgensi
Merupakan pengeluaran urin yang tidak disadari dengan kenginan yang kuat untuk
buang air.
3. Inkontinensia tak sadar
Merupakan pengeluaran urin yang tidak disadari tanpa danya urgensi
4. Enuresis
Merupakan semua pengeluaran urin yang tidak disadari, meskipun biasanya
digunakan untuk menggambarkan inkontinensia selama tidur (Enuresis Noctural).
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah
(2008) yaitu:
1. Ketidaknyamanan daerah pubis
2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
V. FAKTOR PREDISPOSISI DAN PENCETUS
1. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum mampu
untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem
neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus
otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam
pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko mengalami
konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter
sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).
Inkontinensia urine lebih umum di perempuan dibandingkan dengan laki-laki,
dan prevalensi meningkat dengan membahayakan usia. Banyak wanita tua
sebenarnya menganggap gejala berkemih mereka merupakan bagian normal dari
proses penuaan dari pada manifestasi penyakit (B, Pribakti, 2011).
Fungsi kandung kemih menjadi kurang efisien seiring bertambahnya umur dan
Malone Lee telah menunjukkan bahwa perempuan tua memiliki penurunan tingkat
aliran urine, peningkatan risidu urine, kapasitas kandung kemih berkurang, dan
telakan maksimum yang legih rendah.
Gangguan fisik pada lansia menyebabkan gejala tambahan dari inkontinensia,
yang jarang pada wanita muda, sebagai berikut:
a. Dimensia
b. Infeksi saluran kemih
c. Penurunan mobilitas
d. Masalah ginjal
e. Obat-obatan (misalnya diuretik, hipnotik)
2. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya
jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi karena
kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak dapat
menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat saluran
kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu (Asmadi, 2008).
3. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal
untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih pekat
(Asmadi, 2008).
4. Hormon Sex
Memburuknya fungsi ovarium yang berhubungan menopause dimana terjadi
penurunan produksi estrogen endogen dan peningkatan insidensi gejala urin,
termasuk disuria, nokturia dan inkontinensia. Selain itu, infeksi saluran kemih (UTI)
menjadi lebih umum (B, Pribakti, 2011).
5. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh
karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan
kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran
urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu
terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).
6. Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin),
antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik
(inderal) (Potter & Perry,2006).
VI. PATOFISIOLOGI
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga
dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling
dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur
aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis
(Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang
dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul
(Potter & Perry, 2006).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang
menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih
berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya
berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia
sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat
mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana
gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia (Potter & Perry,
2006).
VII. PENATALAKSANAAN
1. Non-Farmakologi
Penatalaksanaan pada inkontinensia urin secara non farmakologis bisa dilakukan
dengan latihan otot dasar panggul atau latihan Kegel, agar otot dasar panggul menjadi
lebih kuat dan uretra dapat tertutup dengan baik (Setiati, 2001). Latihan dasar
panggul melibatkan kontraksi berulang otot pubokoksigeus, otot yang membentuk
struktur penyokong panggung dan mengelilingi pintu panggul pada vagina, uretra,
dan rektum. Manfaat dari latihan Kegel ini adalah :
a. Menghentika aliran urine ketika berkemih, dengan tujuan menguatkan pintu
keluar kandung kemih.
b. Meningkatkan tonus otot dasar panggul dan meningkatkan ambang berkemih,
yang mengakibatkan urgensi.
c. Mampu meningkatkan kapasitas kandung kemih dan menunda episode
inkontinensia.
2. Farmakologis
Secara farmakologis yaitu menggunakan obat-obatan untuk merelaksasikan
kandung kemih. Ini biasanya dilakukan bila terapi non farmakologis tidak dapat
menyelesaikan masalah inkontinensia urin (Setiati,2001). Obat tersebut meliputi :
a. Propantelin (Pro-Banthine): Mengurangi kontraksi kandung kemih.
b. Efredin (Sudafed) : Menguatkan pintu kandung kemih.
c. Estrogen (Premarin) : Meningkatkan jaringan penopangan di sekitar uretra.
2 Pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin.
Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic (pada wanita) (Setiati,2001).
3 Modalitas lain
Selain farmakologis dan non farmakologis yang menyangkut penyebab
inkontinensia urin karena sumbatan atau keadaan patologik dilakukan dengan
pembedahan. Sambil melakukan terapi dan masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu yang digunakan oleh
lansia yang mengalami inkontinensia urin seperti kateter, pampers, dan komod
(Setiati,2001).
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi
lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan
alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan (Setiati,2001).
2. Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
I. DEFINISI
Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral
prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain
itu, BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada
laki-laki yang biasanya pada usia pertengahan atau lanjut. 4
II. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat;
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua) . Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak adalah : (1) Teori
Dihidrotestosteron, (2) Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, (3) Interaksi
antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4) Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5)
Teori Stem sel.5
III. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan
karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada
hormon testosteron, yang di dalam sel- sel kelenjar prostat hormon akan dirubah menjadi
metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α reduktase.
Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel- sel kelenjar
prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat. 5
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat
aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urine, buli- buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli- buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli- buli.
Perubahan struktur pada buli- buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala prostatimus. 5
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli tidak terkecuali pada
kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine
dari buli- buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus
akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal
ginjal. 5
Intermitensi Urgensi
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung
tiga faktor, yaitu:
Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh factor pencetus antara lain :
1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan yang mengandung
diuretikum, minum tertalu banyak)
2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/ infeksi prostat)
3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor (golongan
antikolinergik atau adrenergic-α)
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis
pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring
yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor International
Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological
Association (AUA). Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri
derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara
0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat.
Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi antara lain nyeri
pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam (infeksi/ urosepsis).
Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin
lebih dari 100 ml.
V. PEMERIKSAAN FISIK
Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi
urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes yang merupakan pertanda dari
inkontinensia paradoksa.
Adakah asimetri
Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih dapat diraba biasanya
besar prostat diperkirakan <60 gr.
Gambar 4. Pemeriksaan Colok Dubur
Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal, permukaan licin dan
konsistensi kenyal.12 Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria
bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan
disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila
sudah terjadi retensi total, buli-buli penuh (ditemukan massa supra pubis) yang nyeri dan
pekak pada perkusi. Daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya
hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab
yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau
uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus1.
2) Derajat berat obstruksi
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi
spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan
kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih
setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi
melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.Derajat berat obstruksi dapat pula diukur
dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka
normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20
ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 – 8 ml/detik, sedangkan
maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.
4. Pemeriksaan lain5,12 :
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur:
Residual urin :
Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan kateterisasi/USG setelah miksi
Pancaran urin/flow rate :
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Aliran
yang berkurang sering pada BPH. Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya kurang
dari 15mL/s dan terdapat peningkatan residu urin. Post-void residual mengukur jumlah
air seni yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah buang air kecil. PRV kurang
dari 50 mL umum menunjukkan pengosongan kandung kemih yang memadai dan
pengukuran 100 sampai 200 ml atau lebih sering menunjukkan sumbatan. Pasien
diminta untuk buang air kecil segera sebelum tes dan sisa urin ditentukan oleh USG
atau kateterisasi.
Gambaran aliran urin atas : dewasa muda yang asimtomatik, aliran urin lebih dari
15mL/s, urin residu 9 mL pada ultrasonografi.
Gambaran aliran urin bawah : dewasa tua dengan benigna hyperplasia prostat, terlihat waktu
berkemih memanjang dengan aliran urin kurang dari 10mL/s, pasien ini urin residunya 100
mL.
VII. KOMPLIKASI
Retensi urine akut – ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin, distensi kandung kemih,
nyeri suprapubik
Retensi urine kronik –residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba, tidak nyeri
Infeksi traktus urinaria
Batu buli
Hematuri
Inkontinensia-urgensi
Hidroureter
Hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal
VIII. PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik. Kadang-kadang
mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun
atau hanya dengan nasehat saja. Namun adapula yang membutuhkan terapi medikamentosa atau
tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan
kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika
terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urine setelah miksi dan (6) mencegah
progrefitas penyakit. Hal ini dapat dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan
endourologi yang kurang invasive.
Riwayat
Bagan 2. Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia14
3) Thermotherapy dengan air. Terapi ini menggunakan air panas untuk menghancurkan
jaringan kelebihan dalam prostat. Sebuah kateter mengandung beberapa lubang
diposisikan dalam uretra sehingga balon pengobatan terletak di tengah prostat. Sebuah
komputer mengontrol suhu air, yang mengalir ke balon dan memanaskan jaringan
prostat sekitarnya. Sistem ini memfokuskan panas di wilayah yang tepat prostat. Sekitar
jaringan dalam uretra dan kandung kemih dilindungi. Jaringan yang hancur keluar
melalui urin
d. Bedah
1) Operasi transurethral. 5,11,13,16,17
Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan. Setelah memberikan anestesi,
ahli bedah mencapai prostat dengan memasukkan instrumen melalui uretra.
Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari prostat (TURP) digunakan untuk 90
persen dari semua operasi prostat dilakukan untuk BPH. Dengan TURP, alat yang
disebut resectoscope dimasukkan melalui penis. The resectoscope, yaitu panjang sekitar
12 inci dan diameter 1 / 2 inci, berisi lampu, katup untuk mengendalikan cairan irigasi,
dan loop listrik yang memotong jaringan dan segel pembuluh darah.
Cairan irigan yang dipakai adalah aquades . kerugian dari aquades adalah sifatnya
yang hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi sistemik dan menyebabkan
hipotermia relative atau gejala intoksikasi air yang dikenal dengan sindrom TURP.
Ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, somnolen dan tekanan darah meningkat dan
terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak dan
jatuh ke dalam koma. Untuk mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP operator
harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam dan baru
memasang sistostomi terlebih dauhlu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi
penyerapan air ke sistemik.
Selama operasi 90-menit, ahli bedah menggunakan loop kawat resectoscope untuk
menghilangkan jaringan obstruksi satu bagian pada suatu waktu. Potongan-potongan
jaringan dibawa oleh cairan ke kandung kemih dan kemudian dibuang keluar pada akhir
operasi. Prosedur transurethral kurang traumatis daripada bentuk operasi terbuka dan
memerlukan waktu pemulihan lebih pendek. Salah satu efek samping yang mungkin
TURP adalah ejakulasi retrograde, atau ke belakang. Dalam kondisi ini, semen mengalir
mundur ke dalam kandung kemih selama klimaks bukannya keluar uretra.
(a)
(b)
Gambar 14. (a) alat TURP, (b) cara melakukan TURP, (c) uretra prostatika pasca TURP
Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat (TUIP), prosedur ini melebar
urethra dengan membuat beberapa potongan kecil di leher kandung kemih, di mana terdapat
kelenjar prostat. Prosedur ini digunakan pada hiperplasi prostat yang tidak tartalu besar, tanpa
ada pembesaran lobus medius dan pada pasen yang umurnya masih muda.
Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terdapat
perbaikan klinis
Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
Pengobatan penghambat 5α-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan melakukan
pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi
Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian skor miksi,
juga diperiksa kultur urin
Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan penyulit.
I. DEFINISI ISK
ISK adalah istilah umum yang menunjukan keberadaan mikroorganisme (MO) dalam
urine.
Piuria bermakna (significant pyuria), bila ditemukan netrofil > 10 per lapang pandang
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu infeksi yang umum terjadi pada populasi usia
lanjut, umumnya berupa ISK asimtomatik. Walaupun mortalitas langsung akibat ISK dikatakan cukup
jarang, namun insidensnya yang tinggi (baik di komunitas maupun di tempat perawatan jangka
panjang) menimbulkan masalah baru berupa penggunaan antibiotika secara berlebihan yang
meningkatkan laju resistensi kuman terhadap berbagai jenis antibiotika. Bakteriuria asimptomatik
meningkat tajam prevalensinya seiring meningkatnya usia, terutama pada wanita. Prevalens
bakteriuria asimptomatik juga meningkat tajam pada populasi usia lanjut yang berada di tempat
perawatan jangka panjang dan panti werdha. Sementara bakteriuria simptomatik ditemukan sebanyak
13 per 100 orang per tahun, yaitu 10,9 pada pria dan 14 pada wanita.1
Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan cenderung menderita ISK
dibandingkan dengan laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai dengan
faktor predisposisi (faktor pencetus).2
III. ETIOLOGI
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi bakterial yang paling sering timbul dan sumber
utama bakteriemia pada usia lanjut. Faktor yang mempredisposisi seorang usia lanjut mengalami isk
adalah penggunaan kateter (baik folley maupun kondom), dan neurogenic bladder dengan
peningkatan volume residu urine, faktor yang secara spesifik turut pula berperan adalah hipertrofi
prostat pada pria, serta meningkatnya pH vagina dan terjadinya atrofi vagina sehubungan dengan
deplesi esterogen post menopause dan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna pada
wanita. Faktor-faktor tersebut memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkolonisasi dan
meningkatkan resiko terjadinya bakteriuria asimptomatik dan ISK pada usia lanjut.6
- Escherichia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan infeksi
simptomati maupun asimptomatik
- Mikroorganisme lainnya sering ditemukan seperti proteus spp, klabsiella spp, dan stafilokokus
dengan koagulase negatif
- Infeksi yang disebabkab oleh pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus adalah
bakteri penyebab pasca keteterisasi.
IV. FAKTOR RESIKO
Infeksi yang terjadi pada usia lanjut, selain dipengaruhi adanya mikroorganisme penyebab infeksi
(faktor agen) dan faktor lingkungan juga sangat dipengaruhi perubahan mekanisme respon imun yang
menyebabkan daya tahan tubuh (host defence).
Menurunnya daya tahan tubuh sendiri, selain disebabkan perubahan sisitem imun, juga dapat
disebabkan oleh kondisi malnutrisi dan banyaknya penyakit komorbid yang sering menyertai seorang
berusia lanjut. Beberapa faktor yang dapat menjadi faktor resiko, faktor predisposisi dan faktor
kontributor terjadinya infeksi pada usia lanjut antara lain1 :
Seorang yang berusia lanjut akan mengalami penurunan kemampuan untuk melawan agen
penyebab infeksi(mikroorganisme), yang disebabkan oleh disfungsi sistem imunitas adaptif maupun
alami (non-adaptif). Produksi dan proliferasi limfosit-T akan menurun seiring meningkatnya usia,
menyebabkan berkurangnya kemampuan imunitas yang di mediasi-sel, sementara pada sel B
terjadinya produksi antibodi terhadap antigen baru. Menipisnya kulit, membesarnya prostat,
menurunnya refleks batuk, serta perubahan anatomik maupun fisiologis yang terkait usia akan
mengubah imunitas non adaptif yang menempatkan seorang usia lanjut rentan tehadap infeksi.
Penyakit penyakit kronik seperti keanasan, aterosklerosis, diabetes melitus, demensia, merupakan
predisposisi terhadap terjadinya infeksi tertentu. Penggunaan obat-obatan seperti sedatif, narkotika,
antikolinergik, dan obat penekan asam lambung akan menekan mekanisme daya tahan tubuh jauh
lagi. Komorbiditas pada usia lanjut akan menyebabkan menurunnya imunitas alamiah yang non-
spesifik seperti integritas kulit, refleks batuk, bersihan mukosilier, maupun respon imun yang dipacu
oleh pengenalan terhadap produk mikroba. Penyakit paru obstruktif (PPOK) dan diabetes melitus
(DM) merupakan contoh penyakit komorbid yang merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pada
usia lanjut.
3. Malnutrisi
Malnutrisi, sering dijumpai pada populasi usia lanjut, baik di komunitas maupun yang tinggal di
panti werdha, berperan dalam menurunkan imunitas usia lanjut khususnya malnutrisi yang dimediasi-
sel. Seorang usia lanjut rentan terhadap terjadinya mal-nutrisi yang dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, baik fisiologis maupun psikologis, yang mempengaruhi keinginan/nafsu untuk makan dan
berbagai halangan fisik maupun ekonomi terhadap kebiasaan makanan sehat.
Malnutrisi sering dialami oleh mereka yang berusia sangat lanjut (the oldest old), yang tinggal di
tempat perawatan jangka panjang, beberapa etnik minoritas, dan mereka dengan status sosial ekonomi
rendah, seorang lanjut usia yang mengalami malnutrisi lebih mudah mengalamai sakit dan mati
dibandingkan berstatus nutrisi baik, atau mudah mengalami luka tekan (ulkus dekubitus) serta
penyembuhan luka yang lambat selama perawatan akut dirumah sakit atau tempat perawatan lain.
4. Gangguan fungsional
Gangguan fungsional (seperti imobilisasi, inkontonensia, disfagia) yang sering terjadi pada usia
lanjut dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi karena selain menimbulkan berbagai
komplikasi juga meningkatkan kebutuhan akan pemakaian kateter, selang makanan (feeding tubes),
dan peralatan invasif lainnya.
5. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan cukup besar berperan dalam meningkatnya insidens infeksi pada kelompok
usia lanjut. Populasi yang secara khusus rentan terhadap terjadinya infeksi adalah penghuni panti
wedha, yang di Indonesia umumnya mereka yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah yang
tinggal di lingukan panti wedha dengan tingkat higiene yang kurang memadai. Di Indonesia, faktor
lingkungan ini masih berkutat pada masalah buruknya higine, padatnya penduduk di suatu wilayah,
dan sarana kesehatan belum merata. Kelomppok usia lanjut dengan latar belakang ekonomi rendah
sebagai kelompok yang rentan, masih belum menjadi prioritas dari pemerintah maupun masyarakat,
sehingga insidens infeksi dan kondisi-kondisi yang berkaitan dengan infeksi tetap tinggi.6
Dua jalur utama masuknya bakteri ke saluran kemih adalah jalur hematogen dan asending,
tetapi asending lebih sering terjadi.8
1) Faktor anatomi
Kenyataan bahwa infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki
disebabkan karena :
1) Eradikasi organisme yang disebabkan oleh efek pembilasan dan pemgenceran urin
2) Efekantibakteri dari urin, karena urin mengandung asam organik yang bersifat
bakteriostatik. Selain itu, urin juga mempunyai tekanan osmotik yang tinggi dan pH
yang rendah
3) Mekanisme pertahanan mukosa kandung kemih yang intrinsik
Mekanisme pertahanan mukosa ini diduga ada hubungannya dengan mukopolisakarida
dan glikosaminoglikan yang terdapat pada permukaan mukosa, asam organik yang bersifat
bakteriostatik yang dihasilkan bersifat lokal, serta enzim dan lisozim. Selain itu, adanya sel
fagosit berupa sel neutrofil dan sel mukosa saluran kemih itu sendiri, juga IgG dan IgA yang
terdapat pada permukaan mukosa. Terjadinya infeksi sangat tergantung pada keseimbangan antara
kecepatan proliferasi bakteri dan daya tahan mukosa kandung kemih10.
Eradikasi bakteri dari kandung kemih menjadi terhambat jika terdapat hal sebagai berikut :
adanya urin sisa, miksi yang tidak kuat, benda asing atau batu dalam kandung kemih, tekanan
kandung kemih yang tinggi atau inflamasi sebelumya pada kandung kemih.
Tidak setiap orang dengan infeksi saluran kemih dapat dilihat tanda – tanda dan gejalanya,
namun umumnya terlihat beberapa gejala, meliputi8:
1. Pyelonephritis akut. Pada tipe ini, infeksi pada ginjal mungkin terjadi setelah meluasnya
infeksi yang terjadi pada kandung kemih. Infeksi pada ginjal dapat menyebabkan rasa salit
pada punggung atas dan panggul, demam tinggi, gemetar akibat kedinginan, serta mual atau
muntah.
2. Cystitis. Inflamasi atau infeksi pada kandung kemih dapat dapat menyebabkan rasa tertekan
pada pelvis, ketidaknyamanan pada perut bagian bawah, rasa sakit pada saat urinasi, dan bau
yang mnyengat dari urin.
3. Uretritis. Inflamasi atau infeksi pada uretra menimbulkan rasa terbakar pada saat urinasi. Pada
pria, uretritis dapat menyebabkan gangguan pada penis.
Gejala pada infeksi saluran kemih ringan (misalnya: cystitis, uretritis) meliputi10:
a. kedinginan
b. demam tinggi dan gemetar
c. mual
d. muntah (emesis)
e. rasa sakit di bawah rusuk
f. rasa sakit pada daerah sekitar abdome
Pada pasien dengan usia lanjut gejala-gejala ISK yang dapat terlihat adalah sebagai berikut1:
a. Nyeri berkemih, frekuensi atau urgensi yang baru muncul atau meningkat
Pada pasien-pasien usia lanjut yang memerlukan perawatan di rumash sakit, selain urinalisis
dan kultur urine, kultur darah juga harus dilakukan. Pasien yang dirawat dan terdapat infeksi yang
complicated (saluran kemih bagian atas berulang, atau terkait kateter) memerlukan pengkajian fungsi
ginjal (ureum, kreatinin) juga evaluasi terhadap anatomi saluran kemih (ultrasonografi,pyelografi
intrvena) dan fungsi kandung kemih (volume residu urine). Beberapa pasien memerlukan
pemeriksaan sistoskopi, sementara pada pasoen laki-laki diperlukan pemeriksaan terhadap kelenjar
prostat. Untuk menyingkirkan prostatitis bakterial kronik dan hiperplasia prostat3.
Mikroskopis.
Bahan: urin segar (tanpa diputar, tanpa pewarnaan).
Positif jika ditemukan 1 bakteri per lapangan pandang.
Biakan bakteri.
Untuk memastikan diagnosa infeksi saluran kemih.
3. Pemeriksaan kimia
Tes ini dimaksudkan sebagai penyaring adanya bakteri dalam urin. Contoh, tes reduksi griess
nitrate, untuk mendeteksi bakteri gram negatif. Batasan: ditemukan lebih 100.000 bakteri. Tingkat
kepekaannya mencapai 90 % dengan spesifisitas 99%.
Pada biakan urin dinilai jenis mikroorganisme, kuantitas koloni (dalam satuan CFU), serta
tes sensitivitas terhadap antimikroba (dalam satuan millimeter luas zona hambatan). Pada uretra
bagian distal, daerah perianal, rambut kemaluan, dan sekitar vagina adalah habitat sejumlah flora
normal seperti laktobasilus, dan streptokokus epidermis. Untuk membedakan infeksi saluran
kemih yang sebenarnya dengan mikroorganisme kontaminan tersebut, maka hal yang sangat
penting adalah jumlah CFU. Sering terdapat kesulitan dalam mengumpulkan sampel urin yang
murni tanpa kontaminasi dan kerap kali terdapat bakteriuria bermakna tanpa gejala, yang
menyulitkan penegakkan diagnosis infeksi saluran kemih. Berdasarkan jumlah CFU, maka
interpretasi dari biakan urin adalah sebagai berikut3:
a. Pada hitung koloni dari bahan porsi tengah urin dan dari urin kateterisasi.
Bila terdapat > 105 CFU/ml urin porsi tengah disebut dengan bakteriuria bermakna
Bila terdapat > 105 CFU/ml urin porsi tengah tanpa gejala klinis disebut bakteriuria
asimtomatik
Bila terdapat mikroba 102 – 103 CFU/ml urin kateter pada wanita muda asimtomatik yang
disertai dengan piuria disebut infeksi saluran kemih.
b. Hitung koloni dari bahan aspirasi supra pubik.
Berapapun jumlah CFU pada pembiakan urin hasil aspirasi supra pubik adalah infeksi saluran
kemih.
Interpretasi praktis biakan urin oleh Marsh tahun 1976, ialah sebagai berikut:
> 100.000 CFU/ml urin dari 2 biakan urin porsi tengah yang dilakukan seara berturut –
turut.
> 100.000 CFU/ml urin dari 1 biakan urin porsi tengah dengan leukosit > 10/ml urin segar.
> 100.000 CFU/ml urin dari 1 biakan urin porsi tengah disertai gejala klinis infeksi saluran
kemih.
> 10.000 CFU/ml urin kateter.
Berapapun CFU dari urin aspirasi suprapubik.
Berbagai faktor yang mengakibatkan penurunan jumlah bakteri biakan urin pada infeksi
saluran kemih:
1) Faktor fisiologis
Diuresis yang berlebihan
Biakan yang diambil pada waktu yang tidak tepat
Biakan yang diambil pada infeksi saluran kemih dini (early state)
Infeksi disebabkan bakteri bermultiplikasi lambat
Terdapat bakteriofag dalam urin
2) Faktor iatrogenic
Penggunaan antiseptic pada waktu membersihkan genitalia
Penderita yang telah mendapatkan antimikroba sebelumnya
Cara biakan yang tidak tepat:
a. Non invasif
Imunologik
ACB (Antibody-Coated Bacteria)
Autoantibodi terhadap protein saluran Tam-Horsfall
Serum antibodi terhadap antigen polisakarida
Komplemen C
Nonimunologik
Kemampuan maksimal konsentrasi urin
Enzim urin
Protein Creaktif
Foto polos abdomen
Ultrasonografi
CT Scan
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Bakteriuria polimikrobial / relaps setelah terapi (termasuk pada terapi tunggal)
b. Invasif
Pielografi IV / Retrograde / MCU
Kultur dari bahan urin kateterisasi ureteroan bilasan kandung kemih
Biopsi ginjal (kultur pemeriksaan imunofluoresens)
5. Pemeriksaan radiologis dan penunjang lainnya
Prinsipnya adalah untuk mendeteksi adanya faktor predisposisi infeksi saluran kemih,
yaitu hal – hal yang mengubah aliran urin dan stasis urin, atau hal – hal yang menyebabkan
gangguan fungsional saluran kemih. Pemeriksaan tersebut antara lain berupa:
a. Foto polos abdomen
Dapat mendeteksi sampai 90% batu radio opak
b. Pielografi intravena (PIV)
Memberikan gambaran fungsi eksresi ginjal, keadaan ureter, dan distorsi system pelviokalises.
Untuk penderita: pria (anak dan bayi setelah episode infeksi saluran kemih yang pertama
dialami, wanita (bila terdapat hipertensi, pielonefritis akut, riwayat infeksi saluran kemih,
peningkatan kreatinin plasma sampai < 2 mg/dl, bakteriuria asimtomatik pada kehamilan,
lebih dari 3 episode infeksi saluran kemih dalam setahun. PIV dapat mengkonfirmasi adanya
batu serta lokasinya. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi batu radiolusen dan
memperlihatkan derajat obstruksi serta dilatasi saluran kemih. Pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan setelah > 6 minggu infeksi akut sembuh, dan tidak dilakukan pada penderita yang
berusia lanjut, penderita DM, penderita dengan kreatinin plasma > 1,5 mg/dl, dan pada
keadaan dehidrasi.
c. Sistouretrografi saat berkemih
Pemeriksaan ini dilakukan jika dicurigai terdapat refluks vesikoureteral, terutama pada anak –
anak
d. Ultrasonografi ginjal
Untuk melihat adanya tanda obstruksi/hidronefrosis, scarring process, ukuran dan bentuk
ginjal, permukaan ginjal, masa, batu, dan kista pada ginjal.
f. CT-scan
Pemeriksaan ini paling sensitif untuk menilai adanya infeksi pada parenkim ginjal, termasuk
mikroabses ginjal dan abses perinefrik. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk menunjukkan
adanya kista terinfeksi pada penyakit ginjal polikistik. Perlu diperhatikan bahwa pemeriksaan
in lebih baik hasilnya jika memakai media kontras, yang meningkatkan potensi
nefrotoksisitas.
g. DMSA scanning
Penilaian kerusakan korteks ginjal akibat infeksi saluran kemih dapat dilakukan dengan
skintigrafi yang menggunakan (99mTc) dimercaptosuccinic acid (DMSA). Pemeriksaan ini
terutama digunakan untuk anak – anak dengan infeksi saluran kemih akut dan biasanya
ditunjang dengan sistoureterografi saat berkemih. Pemeriksaan ini 10 kali lebih sensitif untuk
deteksi infeksi korteks ginjal dibanding ultrasonografi.
VIII. PENATALAKSANAAN
Bakteria asimptomatik pada usia lanjut seharusnya tidak diterapi karena terbukti tidak mengurangi
morbiditas dan mortalitas, bahkan akan meningkatkan resistensi terhadap antibiotik, meningkatkan
resiko terjadinya efek samping obat yang umum terjadi pada usia lanjut, serta meningkatkan biaya.
Terapi pada isk yang simptomatik memerlukan kultur urine untuk diagnosis yang optimal,
pemilihan antibiotika yang sesuai, serta lamanya terapi yang memadai. Pemilihan antibiotik untuk
pengobatan isk pada usia lanjut sama dengan dewasa muda. Terapi empirik yang direkomendasikan
pada pasien rawat jalan adalah dengan trimetroprim-sulfametoxazole.
Fluoroquinolone oral saat ini dianjurkan sebagai alternatif terapi isk pada pasien yang intoleran
terhadap trimetoprim-sulfametoxazole atau yang gagal dengan terapi tersebut. Lama terapi umumnya
7 hari, atau pada kasus yang complicated dapat dianjurkan sampai 14 hari. Pada laki-laki usia lanjut
lama terapi antibiotika yang dianjurkan adalah 14 hari. Pemeriksaan kultur urine ulang sebaiknya
dilakukan setelah 7 sampai 10 hari setelah terapi selesai.
Pasien usia lanjut yang memerlukan perawatan rumah sakit akibat isk umumnya diterapi dengan
antibiotika parenteral sampai terdapat perbaikan klinis. Antibiotika parenteral yang dianjurkan
digunakan sebagai terapi empirik isk pada lanjut usia yang dirawat adalah fluoroquinolone,
cephalosporine spektrum luas, beta-lactam dan anti beta-lactamase, dan aminoglicoside. Pada
perawatan di rumah sakit, lama terapi umumnya sekitar 10 sampai 14 hari. Evaluasi ulang kultur
harus dilakukan setelah 7 sampai 10 hari setelah selesainya pemberian antibiotika.
Tabel 5. Regimen antibiotika parenteral untuk pengobatan infeksi saluran kemih komplikata
Antibiotika Dosis
Ciprofloxacin 200-400 mg tiap 12 jam
Ceftriaxone 1-2 gram tiap 24 jam
Ceftazoline 1-2 gram tiap 8 jam
Cefotaxime 1-2 gram tiap 8 jam
Ceftazidime 0,5-2 gram tiap 8 jam
Ampicilin 1 gram tiap 4-6 jam
Piperacillin/tazobactam 4,5 gram tiap 8 jam
Gentamicin 1-1,5 mg/KgBB tiap 8 jam atau 4-5
mg/KgBB tiap 24 jam
Amikacin 5 mg/KgBB tiap 8 jam atau 15 mg/KgBB
tiap 24 jam
Imipenem/cilastatin 500mg tiap 6 jam
Suatu uji klinis pada 237 pasien dengan rerata usia hampir 60 tahun yang mengalami pielonefritis
akut atau isk komplikata, menunjukan bahwa terapi dengan antibiotika piperacillin-tazobactam sama
efektifnya dengan imipenem-cilastatin dalam hal keberhasilan klinis (83,0% vs 79,9%) tidak jauh
berbeda secara statistik. Namun respon microbiologis lebih baik pada piperacillin-tazobactam
(57,9%) bila dibandingkan imipenem-cilastatin (48,6%), dengan efektifitas piperazilin-tazobactam
yang lebih baik terhadap E.coli, Enterobacter Claloe, dan P. Aeroginosa. Kedua obat ini cukup aman
dan dapat ditoleransi dengan baik.(kejadian efek samping obat, masing-masing 9,6 dan 9,9%)
IX. PROGNOSIS
Pada lansia prognosis isk lebih buruk dibandingkan isk pada dewasa, meskipun tidak mengancam
jiwa namun isk menjadi salah satu penyebab yang membuat bakteriemia dan sepsis yang secara tidak
langsung isk akan meningkatkan mortalitas bagi usia lanjut. Isk pada usia lanjut juga dapat mudah
terjadi karena faktor komorbid yang banyak di punyai oleh usia lanjut.
X. PREVENTIF
Pada populasi usia lanjut yang mempunyai beberapa faktor resiko yang harus pertama-tama
dilakukan adalah memodifikasi faktor faktor resiko dan faktor predisposisi terjadinya isk pada usia
lanjut. Beberapa cara intervensi telah dievaluasi untuk mencegah isk pada populasi usia lanjut, antara
lain konsumsi cranberry juice dan pemberian antibiotika dosis rendah, terutama pada perempuan usia
lanjut yang mengalami episode kekambuhan sistitis akut yang sering. Terapi profilaksis ini diberikan
pada waktu menjelang tidur, dan diteruskan selama 6 bulan sampai 1 tahun.
Penyakit ginjal kronik adalah suatu kelainan struktur atau fungsi ginjal yang
terjadi selama lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan tubuh. Namun
dapat diartikan sebagai suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kategori laju
filtrasi glomerulus dan albuminuria.
B. KRITERIA
Kriteria Chronic Kidney Disease (salah satu kriteria terjadi > 3 bulan)
Marker / Penanda kerusakan Albuminuria (AER > 30 mg/24 jam, ACR > 30 mg/g
ginjal (satu atau lebih)
Hasil sedimen urin abnormal
2
Penurunan GFR GFR < 60 ml/menit/1,73 m (kategori GFR G3a – G5)
Keterangan : AER = albumin excretion rate; ACR = albumin to creatinine ratio; GFR =
glomerular filtration rate.
C. KLASIFIKASI
2
Kategori GFR GFR (ml/menit/1,73 m ) Keterangan
Klasifikasi atas dasar GFR, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft – Gault
sebagai berikut :
2
LFG (ml/mnt/1,73m ) = (140 – umur) X berat badan *)
Klasifikasi atas dasar albuminuria, yang dihitung adalah AER dan ACR dengan rumus sebagai
berikut.
14
Mikroangiopati
trombotik
Sklerosis sistemik
D. ETIOLOGI
Berdasarkan data insidensi penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat,
terdapat beberapa penyebab utama terjadinya penyakit ginjal kronik yaitu sebagai
berikut.
Diabetes mellitus 44
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27
Glomerulonefritis 10
Nefritis interstisialis 4
Kista 3
Penyakit sistemik (Lupus, Vasculitis) 2
Neoplasma 2
Tidak diketahui 4
Penyakit lain 4
Berdasarkan data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
penyebab terjadinya gagal ginjal yang mengalami hemodialysis di Indonesia
adalah sebagai berikut.
Glomerulonefritis 46
Diabetes mellitus 18
E. FAKTOR RISIKO
Faktor resiko CKD diantara lain yaitu pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu dengan riwayat
diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta kumpulan
populasi yang memiliki angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti African
Americans, Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American Indians.
F. PATOFISIOLOGI
Anemia
2+
kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca untuk membentuk
kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap
di sendi dan kulit yang bermanifestasi menjadi artritis dan pruritus.
2+
Hipokalsemia Disebabkan karena Ca membentuk kompleks dengan fosfat.
Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid
sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi
demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi
fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal.
Jadi meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma
2+
tidak berlebihan dan konsentrasi Ca dapat meningkat. Namun pada insufisiensi
ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi
fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan
2+
konsentrasi Ca di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk
pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-
menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan
lebih banyak PTH.
+
Hiperkalemia Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H
plasma meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –
+
selginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K ke dalam plasma.
+
Peningkatan konsentrasi ion H dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan
sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga
menyebabkanhiperkalemia.
G. DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis
Gambaran Laboratorium
Gambaran Radiologi
Non Medikamentosa
jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh.
o Kalium 40 – 70 mEq/kgBB/hari
o Fosfor 5 – 10 mg/kgBB/hari
o Besi 10 – 18 mg/hari
Medikamentosa
I. KOMPLIKASI
J. PROGNOSIS
Prognosis pasien dapat diukur dengan melihat penyebab / etiologi dari CKD,
tingkat GFR, tingkat ACR, dan faktor komorbid pasien yang dapat disimpulkan pada
tabel berikut.
BAB III
KESIMPULAN