Anda di halaman 1dari 20

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan penelitian

3.1.1 Jenis penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, jenis penelitian yang


digunakan adalah penelitian survey deskriptif dengan menggambarkan
bagaimana pola kuman yang terdapat pada jaringan mukosa sinus
maksilla pada penderita rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip yang
berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan dan RS. Haji Medan.

3.1.2 Rancangan penelitian


Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan case series yaitu
seluruh kasus RSK yang di BSEF.

3.2 Tempat dan Sampel penelitian


3.2.1 Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMF. THT. RSUP. H. Adam Malik Medan,
RS. Haji Medan dan SMF Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU. Alasan
pemilihan lokasi adalah karena RSUP. H. Adam Malik dan RS. Haji Medan
merupakan rumah sakit yang terdapat dokter THT memiliki ketrampilan
khusus tindakan RSK di Sumatera Utara.

3.2.2 Sampel penelitian


Yang menjadi sampel penelitian adalah seluruh populasi total yaitu
seluruh pasien RSK dengan dan tanpa polip yang berkunjung ke RSUP.
H. Adam Malik dan Rumah sakit jejaring (RS. Haji Medan) bagian Telinga
Hidung dan Tenggorokan dari bulan Mei 2016 – Agustus 2016.

18

Universitas Sumatera Utara


19

3.3 Tehnik dan Besar Sampel


3.3.1 Tehnik pengambilan sampel
Keseluruhan populasi yang dijadikan sampel akan dipilih sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi :
1. Penderita RSK dengan atau tanpa polip yang dilakukan Bedah
Sinus Endoskopi Fungsional
2. Usia ≥ 15 Tahun.
3. Pada CT.Scan tampak gambaran isodens pada sinus maksila
4. Penderita RSK yang tidak disebabkan tumor
5. Penderita RSK yang bebas antibiotik 48 – 72 jam sebelum
dilakukan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
b. Kriteria eksklusi :
Penderita yang tidak bersedia melanjutkan keterlibatannya dalam
penelitian

3.3.2 Besar sampel


Besar sampel adalah seluruh pasien RSK dengan dan tanpa polip dari
bulan Mei 2016 – Agustus 2016.

3.4 Bahan dan Cara Kerja

3.4.1 Bahan
a. Alat yang digunakan dalam penelitian :
- Catatan medis penderita dan formulir persetujuan ikut penelitian - Alat
pemeriksan THT rutin
b. Sampel
Sampel diambil pada jaringan mukosa sinus maksila dengan
pendekatan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional pada penderita
rinosinusitis Kronik yang bebas antibiotik 48 – 72 jam.

Universitas Sumatera Utara


20

c. Media transport
Tujuannya mempertahankan pH, mencegah kekeringan dan
mempertahankan agar mikroba patogen tetap hidup.

3.4.2 Cara kerja


a. Pengambilan sampel
Semua penderita dianamnesa yang berhubungan dengan keluhan
pasien lalu dilakukan pemeriksaan THT rutin dan CT. Scan
Sinusparanasal dan ditegakkan dengan diagnosa RSK, sebelum
dilakukan tindakan terlebih dahulu diberikan penjelasan mengenai
tindakan yang akan dilakukan terhadap penderitanya sekaligus membuat
informed consent.
- Sampel pada sinus maksilla
Data diperoleh dengan melakukan anamnesa pasien lalu di tegakkan
Rinosinusitis Kronik dengan atau tanpa polip setelah terapi tidak ada
penyembuhan, diberi selang waktu 48 – 72 jam bebas antibiotik lalu
diambil jaringan mukosa sinus maksilla dengan pendekatan Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional dan dimasukkan kedalam tabung mikrobiologi berisi
Nacl 0,9 % langsung diantar kurang dari 2 jam
- Jaringan yang telah diambil langsung diantar ke Departemen
Mikrobiologi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan untuk dilakukan
identifikasi bakteri aerob dengan memasukkan jaringan pada Mc Conkey
agar kemudian ditanam dan dieramkan dalam inkubator dengan suhu
37˚C selama 24 jam sedangkan anaerob menggunakan media
thioglycolate broth dan agar brucella dalam suasana anaerob pada suhu
370C diperkaya dengan darah domba defibrinated 55, vitamin K, hemin.
Sebelum dimasukkan ke inkubator, terhadap media yang telah disemai
dilakukan isolasi terlebih dahulu dengan memasukkan media tersebut ke
bejana anaerob yang menggunakan gas-pak sebagai generator H2 dan

Universitas Sumatera Utara


21

CO2 dan palladium sebagai katalisator. Pembacaan koloni dilakukan 24


jam kemudian dan bila pertumbuhan kurang baik pengeraman ulang
dilakukan untuk 24 jam berikutnya. Identifikasi jenis bakteri dengan
menggunakan Automatic Machine Vitex-2 Compact
b.Uji sensitifitas antibiotika dilakukan secara manual dengan metode difusi
dan dilusi.
c.Pembacaan hasil dan interpretasi kuman dinyatakan sensitif,
intermedia, resisten.

3.5 Definisi Operasional

1. Pola bakteri adalah karakteristik dari suatu bakteri yang melakukan


metabolisme untuk respirasi selnya baik dengan bantuan oksigen
ataupun tidak.

Alat ukur : pemeriksaan dengan Automatic Machine Vitex-2 Compact


Hasil ukur : terdapat bakteri atau tidak terdapat bakteri

Skala ukur : nominal

2. Rinosinusitis Kronik adalah peradangan pada mukosa hidung dan sinus


paranasal disertai dengan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor
dan dua kriteria minor lebih dari 12 minggu.

Alat ukur : anamnesis / kuesioner, pemeriksaan rinoskopi


anterior/posterior, CT-scan sinusparanasal

Hasil ukur : Rinosinusitis kronik atau tidak Rinosinusitis kronik

Skala ukur : nominal

3. Polip dan tanpa polip adalah suatu proses inflamasi kronis pada
mukosa hidung dan sinus paranasal dengan ciri adanya massa atau
tidak yang endematous pada rongga hidung.

Alat ukur : pemeriksaan rinoskopi anterior

Hasil ukur : terdapat polip atau tidak terdapat polip

Skala ukur : nominal

Universitas Sumatera Utara


22

4. Umur adalah rentang waktu sejak pasien dilahirkan sampai ulang tahun
terakhir yang dihitung dalam tahun, perhitungan berdasarkan kalender
Masehi.
Alat ukur : anamnesis/kuesioner
Hasil ukur : dalam tahun
Skala ukur : ordinal
5. Jenis kelamin yaitu ciri biologis yang membedakan antara laki-laki
dan perempuan.
Alat ukur : anamnesis/kuesioner
Hasil ukur : laki-laki/perempuan
Skala ukur : nominal
6. Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan yang membuat
pasien datang berobat.
Alat ukur : anamnesis/kuesioner
Hasil ukur : dijumpai keluhan
Skala ukur : nominal
7. Sensitifitas antimikroba suatu usaha untuk membiakkan mikroba yang
kemudian dibuat percobaan kepekaannya terhadap beberapa
antibiotika.
Alat ukur : pemeriksaan dengan metode difusi dan dilusi.
Hasil ukur : sensitif, intermediate, resisten.
Skala ukur : nominal

Universitas Sumatera Utara


23

3.6 Kerangka Kerja

Universitas Sumatera Utara


24

3.7 Jadwal Penelitian


Penelitian ini dimulai dari pembuatan proposal hingga selesai
dilaksanakan pada bulan Maret 2016 sampai Mei 2017
No Jenis Kegiatan Mar Apr Mei Jun- Jan Mar Apr Mei
2016 2016 2016 Des 2017 2017 2017 2017
2016
1. Persiapan
proposal
2. Presentasi
proposal
3. Pengumpulan
data
4. Pengolahan
data dan
pembuatan
laporan
5. Laporan hasil

3.8 Pengolahan dan Analisa Data

Data yang telah diperoleh diolah dengan program computer SPSS for
Windows. hasil akan dianalisis secara deskriptif dan akan ditampilkan
dalam tabel distribusi frekuensi

3.9 Etika Penelitian

Subjek penelitian telah diberi penjelasan mengenai maksud, tujuan, dan


manfaat penelitian. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian
diminta untuk menandatangani informed consent . Subjek berhak menolak
untuk diikutsertakan tanpa ada konsekuensi apapun.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif yang dilakukan di Departemen Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK USU/RSU
H Adam Malik dan Rumah sakit jejaring (RS. Haji Medan) bagian Telinga
Hidung dan Tenggorokan dari bulan Mei 2016 – Agustus 2016.

Jumlah pasien sebagai sampel adalah sebanyak 23 pasien. Data yang


dikumpulkan disajikan dalam bentuk tabel.

Tabel 4.1 Distribusi Proporsi Kelompok Umur Penderita Rinosinusitis


Kronis Dengan dan Tanpa Polip
Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (n) Persen (%)
15-24 5 21,74
25-34 6 26,08
35-44 5 21,74
45-54 3 13,04
>54 4 17,4
Jumlah 23 100

Dari tabel 4.1 diatas didapati bahwa jumlah penderita rinosinusitis kronis
dengan dan tanpa polip tertinggi adalah pada kelompok umur 25-34 tahun
yaitu sebanyak 6 penderita (26,8%) dan yang adalah pada kelompok umur
45-54 tahun yaitu sebanyak 3 penderita (13,04%).

25

Universitas Sumatera Utara


26

Tabel 4.2 Distribusi Proporsi Kelompok Jenis Kelamin Penderita


Rinosinusitis Kronis Dengan dan Tanpa Polip
Jenis kelamin Jumlah (n) Persen (%)
Laki-laki 18 78,26
Perempuan 5 21,74
Jumlah 23 100

Dari tabel 4.2 diatas didapati bahwa penderita rinosinusitis kronis dengan
dan tanpa polip berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 18 penderita
(78,26%) dan berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 5 penderita
(21,74%).

Tabel 4.3 Distribusi Proporsi Keluhan Utama Penderita Rinosinusitis


Kronis Dengan dan Tanpa Polip
Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (n) Persen (%)
Hidung tersumbat 19 82,61
Nyeri wajah 3 13,04
Penciuman menurun 0 0
PND/Post Nasal Drip 1 4,35
jumlah 23 100

Dari tabel 4.3 diatas didapati bahwa pada penderita rinosinusitis kronis
dengan dan tanpa polip dijumpai keluhan utama paling banyak adalah
hidung tersumbat pada 19 penderita (82,61%) dan yang paling sedikit
adalah post nasal drip pada yaitu 1 penderita (4,35%).

Universitas Sumatera Utara


27

Tabel 4.4 Distribusi Keterlibatan Sinus Maksila Penderita Rinosinusitis


Kronis Dengan dan Tanpa Polip

Keterlibatan Sinus Jumlah (n) Persen (%)


Maksila
Kanan 9 39,13
Kiri 14 60,87
Jumlah 23 100

Dari tabel 4.4 diatas didapati bahwa pada penderita rinosinusitis kronis
dengan dan tanpa polip, keterlibatan sinus maksila paling banyak adalah
sinus maksila kiri yaitu pada 14 penderita (60,87%) dan yang paling sedikit
adalah sinus maksila kanan pada 9 penderita (39,13%).

Tabel 4.5 Distribusi Pola Kuman Aerob pada Penderita Rinosinusitis


Kronis Dengan dan Tanpa Polip

Pola Kuman Aerob Jumlah (n) Persen (%)

Tidak terdapat bakteri 8 35


Gram (+)
Staphylococcus aureus 3 13
Staphylococcus epidermidis 1 4,3
Gram (-)
Klebsiella pneumonia 3 13
Klebsiella oxytoca 5 21,7
Proteus vulgaris 3 13
Jumlah 23 100

Universitas Sumatera Utara


28

Dari tabel 4.5 diatas didapati bahwa pada penderita rinosinusitis kronis
dengan dan tanpa polip, hasil kultur kuman aerob paling banyak adalah
kuman aerob Gram (-) Klebsiella oxytoca yaitu sebanyak 5 penderita
(21,7%) dan paling sedikit adalah kuman aerob Gram (+) Staphlococcus
epidermidis pada 1 penderita (4,3%), dan tidak dijumpai pertumbuhan
bakteri sebanyak 8 penderita (35%).

Tabel 4.6 Distribusi Pola Kuman Anaerob pada Penderita Rinosinusitis


Kronis Dengan Dan Tanpa Polip

Pola Kuman Anaerob Jumlah (n) Persen (%)


Tidak terdapat bakteri 22 95
Gram (+)
Peptostreptococcus 1 5
Jumlah 23 100
Pola Kuman Anerob Jumlah (n) Persen (%)
Tidak terdapat bakteri 22 95
Gram (+)
Peptostreptococcus 1 5
Jumlah 23 100

Dari tabel 4.6 diatas didapati bahwa pada penderita rinosinusitis kronis
dengan dan tanpa polip, kuman anaerob paling banyak adalah
Peptostreptococcus sebanyak 1 penderita (5%) dan tidak dijumpai
pertumbuhan bakteri anaerob sebanyak 22 penderita (95%).

Universitas Sumatera Utara


29

Tabel 4.7 Distribusi Pola Kepekaan Bakteri Terhadap Antibiotik Penderita


Rinosinusitis Kronis Dengan dan Tanpa Polip

Keterangan:
S=Sensitif R=Resisten

(*) = Antibiotik untuk Aerob gram (+)

(**) = Antibiotik untuk Aerob gram (+) dan gram (-)

(-) = Uji sensitivitas tidak dilakukan

Dari tabel 4.7 diatas didapati bahwa pada penderita rinosinusitis kronis
dengan dan tanpa polip dari 23 sampel ada kuman aerob terdiri dari gram
(+) Staphlococcus aureus (3 sampel) dan Staphlococcus epidermidis (1
sampel), gram (-) terdiri dari Klebsiella pneumonia (3 sampel), Klebsiella
oxytoca (5 sampel), Proteus vulgaris (3 sampel) juga kuman anaerob

Universitas Sumatera Utara


30

gram (+) Peptostreptococcus (1 sampel) dan tidak dijumpai pertumbuhan


bakteri sebanyak 8 sampel.

Pada kuman aerob gram (+) Staphylococcus aureus dan


Staphylococcus epidermidis antibiotik yang sensitif didapatkan Cefotaxim,
Ceftazidime, Cefoperazone, Levofloxacin, Ciprofloxacin, Vancomycin
masing – masing sebesar (100%) tetapi resisten pada pemberian
antibiotik Amoxixilin dan Penicillin.

Pada kuman aerob gram (-) Klebsiella pneumonia di uji sensitifitas


antibiotik Amikasin, Ceftriaxone, Cefotaxime, Ceftazidime, Cefuroxime,
Cefoperazone, Levofloxacin, Meropenem, Penicillin maka yang sensitif
adalah Ceftriaxone, Cefotaxim, Levofloxacin dan Meropenem (100%).
Resisten pada pemakaian antibiotik Penicillin (100%).

Pada kuman aerob gram (-) Klebsiella oxytoca antibiotik yang sensitif
adalah Amikasin, Ceftriaxone, Cefotaxim, Ceftazidime, Cefuroxime,
Cefoperazone, Ciprofloxacin, Levofloxacin dan Meropenem (100%) tetapi
didapatkan resisten pada pemakaian antibiotik Penicillin, Tetracycline
(100%).

Pada kuman aerob gram (-) Proteus vulgaris antibiotik yang sensitif
adalah Ceftriaxone, Cefotaxim, Ceftazidime, Cefuroxime, Cefoperazone,
Ciprofloxacin, levofloxacin dan Meropenem (100%). Resisten pada
pemakaian antibiotik Penicillin, Tetracycline (100%).

Pada kuman Anaerob gram (+) Peptostreptococcus diberikan antibiotik


Chloramphenicol, Erythromycin, Kanamycin, Penicillin, Vancomycin
didapatkan yang sensitif hanya Chloramphenicol (100%).

Universitas Sumatera Utara


BAB V
PEMBAHASAN

Pada penelitian yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK. USU/RSU. H. Adam Malik
dan Rumah sakit jejaring (RSU. Haji Medan) bagian Telinga Hidung dan
Tenggorokan dari bulan Mei 2016 – Agustus 2016 didapatkan pada 23
penderita rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip.

Dari hasil penelitian penderita rinosinusitis kronis dengan dan tanpa


polip terbanyak pada umur 25-34 tahun yaitu sebanyak 6 penderita
(26,8%) dan yang terendah pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu
sebanyak 3 penderita (13,04%).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di Cina dimana prevalensi


kelompok umur terbanyak adalah 15-34 tahun yaitu 280 penderita (8,93%)
(Shi, Fu, Zhang, Cheng, et al, 2015). Hal serupa juga pada penelitian di
Nigeria dimana prevalensi usia terbanyak yaitu usia 31-40 tahun yaitu 42
penderita (35%) dan usia 21-30 tahun yaitu 35 penderita (29,1%) (Adoga
dan Ma’an, 2011). Dari penelitian – penelitian ini menyatakan bahwa umur
terbanyak rerata 15 – 34 tahun akibat aktivitas seperti sekolah ataupun
bekerja yang tinggi sehingga rentan terinfeksi hidung.

Juga didapatkan bahwa penderita rinosinusitis kronis dengan dan


tanpa polip berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 18 penderita
(78,26%) dan berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 5 penderita
(21,74%).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh National Health Interview
Survey pada tahun 2012 dimana prevalensi laki-laki lebih tinggi dibanding
perempuan yaitu 15% dibanding 9% pada 34.525 orang (Shi, Fu, Zhang,
Cheng, et al, 2015). Hal yang sesuai juga didapat pada penelitian di Cina
bahwa prevalensi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan di kota Beijing

31

Universitas Sumatera Utara


32

(38orang(5,38%):34orang(4,28%)), Guangzhou 67orang(8,97%) : 61orang


(7,88%)), Urumqi 87orang(12,385%) : 56 orang (7,03%), Wuhan 81orang
(10,06%) : 71orang (9,23%), Changcun 69 orang (9,34%) : 67orang
(8,80%), Huaian 47orang (6,40%) : 29 orang(3,75%) (Shi, Fu, Zhang,
Cheng, et al, 2015). Prevalensi didominasi laki-laki juga didapati pada
penelitian di Seoul National University yaitu laki-laki 180 pasien,
perempuan 161 pasien (Cho, S.H., Kim, D.W., Lee, S.H., Kolliputi, N., et
al, 2015). Hasil serupa dijumpai di Nigeria dimana prevalensi laki-laki 36
(57%) : perempuan 24 (43%) (Amodu, Fasunla, Akano dan Olusesi,
2014). Hal ini bisa terjadi dikarenakan aktivitas kerja laki-laki lebih tinggi
sehingga rentan sakit.

Berbeda dengan penelitian di kota Chengdu dimana prevalensi


rinosinusitis kronis perempuan lebih tinggi daripada laki - laki yaitu 9,9 :
8,9 (Shi, Fu, Zhang, Cheng, et al, 2015). Hal ini akibat perempuan di
daerah tersebut lebih banyak bekerja sehingga mudah terinfeksi.

Pada keluhan penderita rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip


didapatkan keluhan utama paling banyak adalah hidung tersumbat pada
19 penderita (82,61%) dan yang paling sedikit adalah post nasal drip pada
yaitu 1 penderita (4,35%).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terhadap 10.636 pasien


rinosinusitis kronis dimana keluhan utamanya paling sering adalah hidung
tersumbat dan keluhan utama paling jarang adalah penciuman menurun
(Shi, Fu, Zhang, Cheng, et al, 2015). Hal yang sama didapati di Korea
bahwa keluhan utama paling banyak adalah hidung tersumbat selama
lebih dari 3 bulan (Bachert, Pawankar, Zhang, Bunnag, et al, 2014). Hasil
sama dijumpai pada penelitian di Nigeria dimana keluhan utama terbanyak
adalah hidung tersumbat yaitu pada 101 pasien (Adoga dan Ma’an, 2011;
Ballenger, 2002). Hal ini dikarenakan kapiler darah dilatasi, mukosa
menjadi tebal dan terjadi pembengkakan struktur epitel pada

Universitas Sumatera Utara


33

hidung dan sinusparanasal dalam waktu yang cukup lama sehingga terjadi
sumbat pada hidung.

Pada penderita rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip, hasil kultur
didapati penderita rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip kuman
aerob paling banyak adalah kuman aerob Gram (-) Klebsiella oxytoca
yaitu sebanyak 5 penderita (21,7%) dan paling sedikit adalah kuman
aerob Gram (+) Staphlococcus epidermidis pada 1 penderita (4,3%), dan
tidak dijumpai pertumbuhan bakteri sebanyak 8 penderita (35%).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di ruang rawat intensif RS


Fatmawati Jakarta pada kurun waktu 2001-2002 dimana jenis kuman
patogen yang dijumpai terbanyak adalah aerob gram (-) yaitu Klebsiella sp
dilanjutkan aerob gram (+) yaitu Staphylococcus epidermidis dan
Staphylococcus aureus (Refdanita, Maksum, Nurgani dan Endang, 2004).
Berbeda dengan penelitian Kenjono tahun 2004 didapatkan kuman aerob
gram (+) yaitu Staphylococcus yang merupakan salah satu kuman
tersering dijumpai pada rinosinusitis kronis (Kentjono, 2004). Salah satu
kuman aerob terbanyak berdasarkan hasil antrostomi adalah
Staphylococcus aureus sebanyak 10% (Finegold, Flynn, Rose dan
Jousimies-Somer, et al, 2002) hal ini disebabkan karena seringnya
pemberian antibiotik yang banyak mematikan kuman aerob gram (+)
sehingga hanya terlihat kuman gram (-) terutama di rumah sakit.

Dilihat dari penyebab kuman anaerob yang dijumpai hanya kuman


anaerob Gram (+) yaitu Peptostreptococcus sebanyak 1 penderita (5%)
dan tidak dijumpai pertumbuhan bakteri anaerob sebanyak 22 penderita
(95%). Pada penderita ini ditemukan gangren di Molar 1 atas. Sesuai
dengan hasil penelitian Sumilat 2009 mendapatkan 2 dari 14 pasien karies
gigi di diagnosa gangren radiks dengan posisi gigi di M1 yang memiliki
kuman Actinomyces spp, Porphyromonas, Prevotella, Peptostreptococcus
dan Fusibacterium spp (Sumilat, Suheryanto, Rahaju, 2009). Pada

Universitas Sumatera Utara


34

penelitian Finegold (2002) didapatkan juga kuman anaerob terbanyak


adalah anaerobic Streptococci (Finegold, Rose, Jousimies-Somer,
Jakielaszek, et al, 2002). Hal yang sama pada penelitian Bachert dkk
(2014) pada penderita Rinosinusitis terdapat kuman anaerob. Hal ini
diakibatkan kuman anaerob tumbuh fase transisi infeksi dari fase akut
menuju kronik. Tidak terjadinya pertumbuhan bakteri anaerob disebabkan
sulit menumbuhkan dalam kultur dilihat dari tehnik pengambilan sampel
juga waktu transportasi. Sesuai dengan penelitian Nigro (2006) dimana
tidak terdapat kuman anaerob pada maksila akibat dipengaruhi oleh faktor
transportasi dan cara pengambilan sampel (Nigro et al, 2006)

Didapatkan 23 sampel penderita rinosinusitis kronis dengan dan tanpa


polip, antibiotik untuk kuman aerob gram (+) didapatkan antibiotik sensitif
pada kuman aerob gram (+) adalah Cefotaxim, Levofloxacin,
Ciprofloksasin, Vancomycin masing – masing sebesar (100%). Hasil yang
didapatkan pada penelitian Li (2016) didapatkan antibiotik yang sensitif
Amikacin, Daptomycin, Linezolid, Vancomycin, Teicoplanin, Amoxicillin
and Clavulanate potassium, Cefuroxime. Hasil antibiotik sensitif yang
sama hanya dijumpai pada Vancomycin (Li, Wu, Li, Di, et al, 2016).

Pada kuman aerob gram (-) didapatkan yang sensitif adalah


Ceftriaxone, Cefotaxim, Levofloxacin dan Meropenem (100%) sedangkan
yang resistensi antibiotik Penicillin (100%). Terjadi resistensi antibiotik
Penicillin dikarenakan kuman membentuk enzim penisilinase yang mampu
memecah cincin beta lactam dan Penicillin diubah menjadi penicilloic acid
yang tidak aktif, Enzim ini mempunyai peranan besar dalam menyebabkan
resistensi bakteri gram (+) terhadap Penicillin. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Refdanita (2004) di ruang rawat intensif rumah sakit Fatmawati
Jakarta pada tahun 2001-2002 dimana Klebsiella sp sangat peka terhadap
Ceftriakson (Refdanita, Maksum, Nurgani dan Endang, 2004).

Universitas Sumatera Utara


35

Hasil yang berbeda pada penelitian Li (2016) di Cina yaitu antibiotik


yang sensitif untuk RSK dengan bakteri Staphylococcus aureus adalah
Amikasin, Cefoperazone/sulbactam, Imipenem, Ceftazidime, Aztreonam,
Levofloxacin. Perbedaan ini dikarenakan pemakaian kultur (Germiculture)
sedangkan penelitian ini memakai kultur agar darah dan jumlah sampel
penelitian yang berbeda.

Pada Peptostreptococcus didapatkan antibiotik Chloramphenicol


sensitif (100%). Sesuai dengan penelitian Brook (2017) menyatakan
Peptostreptococcus dapat diberikan antibiotik Clindamycin, Amoxixilin-
clavulanat, dan Chloramphenicol. Hal ini menunjukkan hanya
Chloramphenicol yang masih sensitif pada penelitian ini dan terjadi
resistensi pada antibiotik lain dapat diakibatkan pemakaian antibiotik tidak
adekuat.

Universitas Sumatera Utara


BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

6.1.1 Penderita RSK dengan dan tanpa polip di RSUP. Haji Adam Malik
dan RS. Haji Mina terbanyak pada kelompok umur 25-34 tahun
yaitu sebesar 26,8% dan yang terendah pada kelompok umur 45-
54 tahun yaitu sebesar 13,04%

6.1.2 Penderita RSK dengan dan tanpa polip kebanyakan berjenis


kelamin laki-laki yaitu sebesar 78,26%.

6.1.3 Penderita RSK dengan dan tanpa polip berdasarkan keluhan


utama dijumpai distribusi terbanyak pada hidung tersumbat
sebesar 82,61% dan paling sedikit adalah post nasal drip sebesar
4,35%.

6.1.4 Hasil kultur kuman aerob pada penderita RSK dengan dan tanpa
polip diperoleh distribusi terbanyak adalah kuman aerob gram (-)
Klebsiella oxytoca yaitu sebesar 21,7% dan kuman aerob paling
sedikit adalah gram (+) Staphylococcus epidermidis 4,3%. Kuman
anaerob yang didapatkan adalah Peptostreptococcus sebesar 5%.

6.1.5 Antibiotik yang sensitif pada penderita RSK dengan dan tanpa
polip pada kuman aerob gram (+) Staphylococcus aureus,
Staphlococcus epidermidis adalah Cefotaxim, Levofloxacin,
Ciprofloksasin, Vancomycin (100%). Kuman aerob gram (-)
Klebsiella pneumoniae, Klebsiella oxytoca, Proteus vulgaris
adalah Ceftriaxone, Cefotaxim, Levofloxacin dan Meropenem
sebesar (100%). Pada kuman anaerob gram (+)
Peptostreptococcus adalah antibiotik Chloramphenicol (100%).

36

Universitas Sumatera Utara


37

6.2 Saran

6.2.1 Pemberian terapi pada RSK dengan dan tanpa polip haruslah
berdasarkan data empirik, dimana data ini dapat berubah maka
diperlukan pemeriksaan pola kuman dan sensitifitas terhadap
antibiotika sebelum memberikan antibiotik sehingga dokter dapat
memberikan terapi yang tepat.

6.2.2 Sebagai data dasar untuk jenis bakteri dan sensitifitas antibiotik
pada RS. Haji Adam Malik Medan dan RS. Haji Mina Medan pada
terapi antibiotik RSK dengan dan tanpa polip.

6.2.3 Dikarenakan jumlah sampel yang masih sedikit perlu dilakukan


penelitian lebih lanjut mengenai peran sensitifitas antibiotik
terhadap RSK dengan dan tanpa polip dalam jumlah sampel yang
lebih banyak untuk keakuratan data.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai