Anda di halaman 1dari 17

Yusuf Qaradhawi: Bagaimana Berinteraksi dan Memahami Hadist Nabi

(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Studi Hadits)

Dosen Pengampu:

Dr. H. Zeid B. Smeer, Lc., MA

Disusun oleh :

1. Ulyn Nuha Arif (19771033)

2. Muhamad jamil Hadi (19771037)

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berbagai
nikmat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya yang telah dianugerahkan kepada kita semua
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Yusuf Qaradhawi:
Bagaimana Berinteraksi dan Memahami Hadist Nabi” dengan tujuan untuk memenuhi
tugas kelompok pada mata kuliah Studi Hadits.
Shalatullah wa salamuhu semoga terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang telah membimbing, menuntun dan mengarahkan umat manusia
sehingga dapat memilih jalan yang benar, yakni Agama Islam.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari
segi isi, sistematika maupun tingkat penggunaan bahasa yang mungkin kurang sesuai. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi sempurnanya
makalah ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung
pembuatan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama dosen
pengampu mata kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Bapak Dr. H. Zeid B. Smeer, Lc.,
MA dan teman-teman Magister Pendidikan Agama Islam kelas B. Teriring doa semoga
makalah ini banyak memberi manfaat kepada pembaca yang merupakan komponen
bangsa, kader ulama yang intelek yang akan meneruskan estafet perjuangan Islam dan
kemajuan bangsa Indonesia di masa-masa yang akan datang, Aamiin Yaa Rabbal Alamiin.

Malang - Mojokerto,
Oktober 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................................2

Daftar Isi...............................................................................................................................3

BAB I: PENDAHULUAN...................................................................................................4

A. Latar Belakang..................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah.............................................................................................................5

C. Tujuan................................................................................................................................5

BAB II: PEMBAHASAN....................................................................................................6

A. Biografi Yusuf Qaradhawi................................................................................................6

B. Kitab Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah.................................................7

C. Petunjuk dan Ketentuan Umum untuk Memahami As-Sunnah Nabawiyah.....................9

1. Memahami As-Sunnah Sesuai Petunjuk Al-Qur'an......................................................9

2. Menggabungkan Hadits-Hadits Yang Terjalin Dalam Tema Yang Sama..................11

3. Penggabungan Atau Pentarjihan Antara Hadits-Hadits Yang Bertentangan..............12

4. Memahami Hadits-Hadits Sesuai Latar Belakang, Situasi beserta Tujuan.................14

5. Membedakan Antara Sarana Yang Berubah-Ubah Dan Tujuan Yang Tetap Dari

Setiap Hadits....................................................................................................................

6. Membedakan Antara Fakta Dan Metafora Dalam Memahami Hadits............................

7. Membedakan Antara Yang Ghaib Dan Nyata.................................................................

8. Memastikan Makna Kata-Kata Dalam Hadits................................................................

BAB III: PENUTUP..............................................................................................................

A. Kesimpulan.........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
As-Sunnah merupakan penafsiran Al-Qur'an dalam praktik atau penerapan
ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi
Muhammad Saw. Merupakan perwujudan dari Al-Qur'an yang ditafsirkan untuk
manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Makna
seperti itulah yang dipahami oleh Ummul Mukminin Siti Aisyah r.a dengan
pengetahuannya yang mendalam dan perasaannya yang tajam serta pengalaman
hidupnya bersama Rasulullah Saw. Pemahamannya dituangkan dalam susunan kalimat
yang singkat, padat, dan cemerlang, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan
kepadanya tentang akhlak Nabi Muhammad Saw.: "Akhlak beliau adalah Al-
Qur'an!".1
Dalam kenyataannya, Nabi Muhammad Saw. merupakan pemberi penjelas
bagi Al-Qur'an, dan beliau pulalah yang mengaktualisasikan ajaran Islam, dengan
ucapan dan tindakannya, bahkan dengan seluruh perilakunya, di dalam rumah ataupun
diluarnya, di tempat kediamannya ataupun di kala berpergian jauh, di waktu tidurnya
ataupun ketika terjaga, dalam kehidupan pribadinya ataupun diantara khalayak, dalam
hubungannya dengan Allah SWT ataupun dengan masyarakat, bersama mereka yang
dekat hubungan keluarganya ataupun yang jauh, kawan ataupun lawan, dalam masa
damai ataupun perang, dan dalam saat-saat aman sejahtera ataupun ketika dalam
cobaan dan kesulitan.
Adalah kewajiban kaum Muslimin untuk memahami manhaj Nabawi yang
terinci ini dengan semua ciri khasnya yang komprehensif, saling melengkapi,
seimbang dan penuh kemudahan. Serta prinsip-prinsip ilahi yang kukuh, kemanusiaan
yang mendalam, dan aspek-aspek budi pekerti luhur yang kesemuanya jelas tampak di
dalamnya.
Hal ini yang mengharuskan kaum Muslimin berusaha memahami Sunnah yang
mulia ini dengan sebaik-baiknya dan berinteraksi dengannya dalam aspek hukum dan

1
Dirawikan oleh Muslim dengan redaksi: "Akhlaknya adalah Al-Qur'an." Juga dirawikan oleh
Ahmad, Abu Daud dan Nasa'iy, sebagaimana tersebut dalam tafsir surah Nun, karangan Ibn
Katsir.
4
moralnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh generasi Muslim terbaik: para
Sahabat serta Tabi'in, yang mengikuti mereka dalam kebaikan.
Krisis utama yang dihadapi kaum Muslim masa kini adalah krisis pemikiran,
dan hal itu mendahului krisis kesadaran hati nurani. Contoh terbaik yang
menunjukkan hal tersebut adalah adanya krisis dalam memahami Sunnah dan
bagaimana berinteraksi dengannya. Terutama yang tampak pada sebagian aliran yang
mengacu kepada "kebangkitan-kebangkitan Islam", dan yang sesungguhnya sangat
diharapkan dan didambakan oleh umat di seluruh penjuru, di Barat maupun di Timur.
Tidak jarang mereka inilah yang terjerumus ke dalam kekeliruan, akibat kurangnya
pemahaman mereka terhadap Sunnah yang suci ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Yusuf Qaradhawi?
2. Bagaimana Kitab Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah?
3. Bagaimana petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami As-Sunnah
Nabawiyah dengan baik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi Yusuf Qaradhawi.
2. Untuk mengetahui Kitab Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah.
3. Untuk mengetahui petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami As-Sunnah
Nabawiyah dengan baik.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Yusuf Qaradhawi

Yusuf al-Qardawi adalah cendekiawan Muslim Mesir modern. Ia lahir di


sebuah desa yang bernama Saft al-Turab pada tahun 1926 M. Pada usianya yang
masih dini, ia berkenalan dengan pemikiran-pemikiran tasawwuf karya Abu Hamid al-
Gazali. Buku tasawwuf pertama yang dia baca adalah Minhaj al-‘Abidin, yang
diperoleh dari Syaikh Tantawi Murad. Sedangkan buku kedua adalah Ihya’ ‘Ulum al-
Din, yang menurut pengakuannya sangat mengesankan karena berbagai kelembutan
yang terkandung di dalamnya. Bahkan, ketika membacanya seluruh badannya bergetar
dan air matanya mengalir.2 Selain tertarik kepada buku-buku tasawwuf, al-Qardawi –
setelah menamatkan sekolah menengah pertama-- tertarik juga kepada buku-buku
sastra. Buku-buku sastra yang ia gemari adalah karya al-Manfalusi, al-Nazarat serta
al-‘Aqd al-Farid karya Ibn ‘Abd al-Rabbah.3
Pendidikan menengah pertama dan pendidikan atas Yusuf al-Qardawi secara
formal diselesaikan di Tanta. Meskipun masih di pendidikan tingkat menengah, ia
sudah gemar membaca buku-buku karya ulama al-Azhar. Setelah tamat pendidikan
menengah atas ia meneruskan pendidikannya di Universitas al-Azhar, Kairo. Di
Universitas tersebut ia memilih Fakultas Ushuluddin sebagai tempat menempa
keilmuannya.4 Oleh sebab itu, tidaklah bisa diragukan bahwa ia memiliki pengetahuan
yang cukup tentang Ilmu Aqidah, Ilmu Filsafat, Ilmu Tafsir dan Ilmu Hadis. Di
samping itu, Yusuf al-Qardawi juga dikenal sebagai ahli fiqih, meskipun ia belajar di
Fakultas Ushuluddin. Dalam membahas persoalan-persoalan fiqih, ia membebaskan
diri dari keterikatan suatu mazhab, tradisi atau pendapat ulama tertentu, meskipun
secara formal ia mempelajari mazhab Hanafi. Ia juga sangat terpengaruh dengan cara
dan metode pembahasan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Ikhwan al-Muslimin, Hasan

2
Yusuf al-Qardawi, Menghidupkan Nuansa Rabbaniyyah dan Ilmiah, terj. Kathur Suhardi
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), 11-13.
3
Ibid.
4
Yusuf al-Qardawi, Fatwa-fatwa Mutakhir , terj. H.M.H. al-Hamid al-Husaini (Jakarta: Yayasan
al-Hamidiy, 1996), 2-3.
6
al-Banna dan tokoh fiqih, Sayyid Sabiq.5 Hal ini dapat dimengerti sebab hubungan
dengan dakwah Ikhwan al-Muslimin telah terjalin sejak ia belum menjadi mahasiswa.
Ia sangat mengagumi pemimpin dan pendirinya, Syaikh Hasan al-Banna. Sisi
kehidupan dakwah Ikhwan al-Muslimin semakin tertanam di dalam pikiran dan jiwa
Yusuf al-Qardawi ketika ia menjalin hubungan dengan al-Bahi al-Khauli pemimpin
Ikhwan al-Muslimin di Mesir bagian barat.6 Dalam kehidupan kerohanian, ia mengaku
terpengaruh oleh dua orang dosennya semasa di perguruan tinggi, yaitu Syaikh
Muhammad al-Audan, dosen hadis alumni al-Azhar dan Syaikh `Abd al-Halim
Mahmud, dosen filsafat alumni Universitas di Prancis.7
Setelah menyelesaikan program doktornya di al-Azhar pada tahun 1973, Yusuf
al-Qardawi semakin aktif dalam kegiatan dakwah dan pendidikan, selain juga menjadi
penulis yang sangat produktif. Disertasinya berjudul Fiqh al-Zakah. Al-Qardawi juga
pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Syari`ah Universitas Qatar dan menjadi
anggota Rabitah al-`Alam al-Islami. Selain itu, ia juga aktif memenuhi undangan
seminar-seminar di berbagai negara yang membahas berbagai persoalan yang dihadapi
kaum muslimin dewasa ini.

B. Kitab Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah

Sebagai seorang pemikir dan penulis yang produktif, Yusuf al-Qardawi telah
menyusun berbagai karya ilmiah di bidang keilmuan Islam. Karya-karya ilmiah
tersebut ada yang berbentuk buku, dan ada juga yang berbentuk artikel. Buku-buku
karya Yusuf al-Qardawi yang telah diterbitkan kurang lebih sekitar lima puluhan, di
antaranya:8 al-Halal wa al-Haram fi al-Islam; al-‘Ibadah fi al-Islam; al-Iman wa al-
Hayah; Fiqh al-Zakah; al-Khasais al-‘Ammah li al-Islam; al-Nas wa al-Haq; Dar al-
Nukhbah al-Saniyah; ‘Alam wa Tagiyah; Fatawa Mu’asirah; al-Sabr fi al-Islam;
Haqiqah al-Tauhid; Nisa’ al-Mu’minah; al-Rasul wa al-‘Ilm; Kayfa Nata’amal ma’a
al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma’alim wa Dawabit dan lain-lain.

5
7Ibid.
6
8 Yusuf al-Qardawi, Menghidupkan Nuansa Rabbaniyah dan Ilmiyah, terj. Kathur Suhardi,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1995), 14.
7
9 Ibid., 15.
8
10Lihat Lampiran pada kitab, Yusuf al-Qardawi, Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-
Nabawiyyah: Ma’alim wa Dawabit , (USA: al-Ma’had al-`Alam li al-Fikr al-Islami, 1990); Juga
pada Yusuf al-Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976).
7
Kitab Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah merupakan karya
Yusuf al-Qardawi dalam bidang Hadis dan ‘Ulum al-Hadis yang sangat monumental.
Buku ini disusun atas permintaan al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami (Lembaga
Internasional untuk Pemikiran Islam) di Washington, Amerika Serikat dan al-Majma’
al-Malaki li Buhus al-Hadarah al-Islamiyyah (Akademi Kerajaan untuk Pengkajian
Kebudayaan Islam) di Yordanian. Lembaga tersebut memintanya untuk menulis karya
tersebut sebagai usaha untuk meredam gejolak yang terjadi atas diterbitkannya karya
Syaikh Muhammad al-Ghozali yang berjudul al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-
Fiqh wa Ahl al-Hadis oleh lembaga yang sama. Buku yang terakhir ini menimbulkan
kontroversi karena dianggap telah melemahkan hadis-hadis yang dianggap sahih oleh
kalangan ahli hadis dengan alasan bahwa hadis-hadis tersebut bertentangan dengan
nash-nash al-Qur`an. Buku karya Yusuf al-Qardawi ini diterbitkan oleh lembaga
tersebut pada tahun 1410 H/1990 M.
Kitab Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian pembahasan. Bagian pertama membahas
tentang kedudukan sunnah, kewajiban kita terhadapnya dan metode berinteraksi
dengannya. Dalam bagian ini, al-Qardawi mengemukakan bahwa sunnah merupakan
metode pelaksanaan ajaran Islam yang komprehensif, seimbang dan memudahkan.
Bagian kedua dari kitab ini membahas tentang kedudukan sunnah di dalam fiqh dan
dakwah. Menurutnya, para ahli fiqih baik dari madrasah al-Hadis maupun dari
madrasah al-ra`yi menjadikan hadis sebagai sumber asasi atau sumber hukum. Maka
mengingat hadis merupakan sumber asasi fiqih, fuqaha’ diharuskan mendalami ilmu
hadis dengan baik. Dalam bidang dakwah, sunnah merupakan sumber yang tidak
pernah kering dan harta karun yang tidak pernah habis. Meski demikian, seorang da`i
agar bersikap hati-hati ketika menyebutkan sebuah hadis yang dijadikannya sebagai
dalil. Hanya sumber-sumber otentik saja yang dapat dijadikan dalil dalam berdakwah.
Sedangkan bagian ketiga menguraikan tentang petunjuk metodologis untuk
memahami hadis, yaitu: (1)memahami sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, (2)
menggabungkan hadis-hadis yang satu tema, (3)mengkompromikan atau mentarjih-
kan antara hadis-hadis yang bertentangan, (4)memahami sesuai dengan latar belakang,
situasi dan kondisi serta tujuannya, (5)membedakan antara sarana yang berubah-ubah
dan tujuan yang tetap, (6)membedakan antara ungkapan haqiqah dan majaz,

8
(7)membedakan antara yang gaib dan yang nyata, (8) memastikan makna kata-kata
dalam hadis.

Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Al-Qaradhawi menerapkan metode


pemahaman hadis dengan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika
berinteraksi dengan sunnah, yaitu:
1. Meneliti kesahihian hadis sesuai acuan umum yang ditetapkan oleh pakar hadis
yang dapat dipercaya, baik sanad maupun matan.
2. Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, ashab al-wurud
teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis yang sebenarnya.
3. Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash yang
lebih kuat.9

C. Petunjuk dan Ketentuan Umum untuk Memahami As-Sunnah Nabawiyah

1. Memahami As-Sunnah sesuai Petunjuk Al-Qur'an

Untuk dapat memahami As-Sunnah dengan pemahaman yang benar, jauh


dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang buruk, maka haruslah kita
memahaminya sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an, yaitu dalam kerangka bimbingan
Ilahi yang pasti benarnya dan tak diragukan keadilannya.

ُ ‫ٱلسم ُيع ْٱل َع ِل‬


‫يم‬ َّ ‫َو َت َّم ْت َك ِل َم ُت َر ّب َك ص ْد ًقا َو َع ْداًل ۚ اَّل ُم َب ِّد َل ِل َك ِل َٰم ِت ِهۦۚ َو ُه َو‬
ِ ِ ِ
Artinya: "Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur'an) dengan benar
dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha
Mendengar, Maha Mengetahui." (Al-An'am: 115)

Jelaslah bahwa Al-Qur'an adalah "ruh" dari eksistensi Islam, dan


merupakan asas bangunannya. Ia merupakan konstitusi dasar yang paling pertama
dan utama, yang kepadanya bermuara segala perundang-undangan Islam.
Sedangkan As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik
dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah
tugas Rasulullah Saw. "menjelaskan manusia apa yang diturunkan kepada mereka".
Oleh sebab itu, tidaklah mungkin sesuatu yang merupakan "pemberi penjelasan"

9
Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata'amal Ma'a Al-Sunnah Nabawiyah, hal.43-45
9
bertentangan dengan "apa yang hendak dijelaskan" itu sendiri. Atau "cabang"
berlawanan dengan "pokok". Maka, penjelasan yang bersumber dari Nabi
Muhammad Saw, selalu dan senantiasa berkisar di seputar Al-Qur'an, dan tidak
mungkin akan melanggarnya.
Karena itu, tidak mungkin ada suatu hadits sahih yang kandungannya
berlawanan dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang muhkamat, yang berisi tentang
keterangan-keterangan yang jelas dan pasti. Dan kalaupun ada sebagian dari kita
memperkirakan adanya pertentangan seperti itu, maka hal itu pasti disebabkan
tidak sahihnya hadits yang bersangkutan, atau pemahaman kita yang tidak tepat,
ataupun apa yang diperkirakan sebagai "pertentangan" itu hanyalah bersifat semu,
dan bukan pertentangan hakiki. Ini berarti bahwa As-Sunnah harus dipahami dalam
kerangka petunjuk Al-Qur'an.
Atas dasar ini, hadits palsu seperti yang biasa dikenal dengan nama hadits
al-gharaniq, harus ditolak tanpa ragu. Hadits Al-Gharaniq adalah sebuah hadits
palsu, namun disahihkan sanadnya oleh beberapa ahli hadits termasuk Ibnu Hajar,
yaitu ketika masih di Mekkah, Nabi Muhammad Saw membaca surah An-Najm
dan ketika sampai ayat 19 dan 20: ……adakah kalian melihat Latta dan Uzza,
serta Manat (berhala) yang ketiga …..", maka setan menambahkan melalui lidah
Nabi Saw.: ……itulah (berhala-berhala) Gharaniq yang mulia dan syafaat mereka
sungguh diharapkan (untuk dikabulkan). Tambahan kalimat dari setan itu didengar
pula, melalui bacaan Nabi Saw., oleh kaum musyrik. Maka mereka pun berteriak
gembira: "Sungguh Muhammad tidak pernah –sebelum hari ini- menyebut tuhan-
tuhan kita dengan sebutan yang baik!" Lalu ketika Nabi Muhammad Saw sujud,
mereka pun sujud bersamanya. Tak lama kemudian, Jibril datang dan berkata
kepada beliau: "Aku tak pernah membawa wahyu seperti itu, itu hanyalah dari
setan." (Hadits palsu inilah yang kemudian dijadikan oleh Salamn Rushdie, si
penulis berbudi rendah dan berjiwa budak, sebagai landasan bagi judul novelnya,
ayar-ayat setan!).

2. Menghimpun Hadits-hadits yang Terjalin dalam Tema yang Sama

10
Untuk berhasil memahami As-Sunnah secara benar, kita harus menghimpun
semua hadits shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian
mengembalikan kandungannya yang mutasyabuh kepada yang muhkam,
mengaitkan yang muthlaq dengan yang muqayyad, dan menafsirkan yang 'am
dengan yang khash. Dengan cara itu, dapatlah dimengerti maksudnya dengan yang
jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lainnya.
Dan sebagaimana yang telah ditetapkan bersama, bahwa As-Sunnah menafsirkan
Al-Qur'an dan menjelaskan makna-maknanya; dalam arti bahwa ia (As-Sunnah)
merinci apa yang dinyatakan oleh Al-Qur'an secara garis besarnya saja,
menafsirkan bagian-bagiannya yang kurang jelas, mengkhususkan apa yang
disebutnya secara umum dan membatasi apa yang disebutnya secara lepas
(muthlaq); maka sudah barang tentu, ketentuan-ketentuan seperti itu harus pula
diterapkan antara hadis yang satu dengan yang lainnya. Contoh hadis tentang
pemahaman larangan memakai sarung sampai bawah mata kaki:

"Tiga jenis manusia yang kelak pada hari Kiamat, tidak diajak bicara oleh Allah,
tidak dipandang oleh-Nya, tidak ditazkiah oleh-Nya, dan bagi mereka tersedia
adzab yang pedih." (Rasulullah Saw. mengulangi sabda beliau itu tiga kali,
sehingga Abu Dzar berkata: 'Sungguh mereka itu adalah manusia-manusia gagal
dan merugi! Siapa mereka itu, ya Rasulullah?' Maka jawab beliau): 'Orang yang
membiarkan sarung-sarung terjulur sampai ke bawah mata kaki; orang yang
memberi sesuatu untuk kemudian diungkit-ungkit; dan pedagang yang melariskan
barang dagangannya dengan bersumpah bohong."10

Hadis ini difahami al-Qaradhowi dengan melihat hadis yang sepadan yaitu:9

10
Dirawikan oleh Muslim dalam Bab Imam dan Shahih-nya.
11
"Barangsiapa menyeret sarungnya (yakni dijuluskannya sampai menyentuh atau
hamper menyentuh tanah) karena sombong, maka Allah tidak akan memandang
kepadanya, pada hari kiamat." Abu Bakr berkata kepada beliau: "Ya Rasulullah,
salah satu sisi sarungku selalu terjulur ke bawah, kecuali aku sering-sering
membetulkan letaknya." Nabi Saw. berkata kepadanya: "Engkau tidak termasuk
orang-orang yang melakukannya karena kesombongan."11

3. Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadis-Hadis yang (Tampaknya)


Bertentangan.

Pada dasarnya, nash-nash syariat tidak mungkin saling bertentangan. Sebab,


kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila
diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya dalam tampak luarnya
saja, bukan dalam kenyataannya yang hakiki. Dan atas dasar itu, kita wajib
menghilangkannya dengan cara sebagai berikut: Apabila pertentangan itu dapat
dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa
harus memaksakan atau mengada-ngada, sehingga kedua-duanya dapat diamalkan,
maka yang demikian itu lebih utama daripada harus mentarjihkan antara keduanya.
Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya sementara
mengutamakan yang lainnya.

Dalam studi hadis sudah banyak dibahas tentang adanya hadis bertentangan
dengan hadis lain, menurut para ulama hadis pemahaman hadis yang bertentangan
boleh dilakukan jika hadis itu sama-sama bersanadkan shahih minimal hasan dan
bukan dhoif apalagi maudhu, karena kalau maudhu’ bisa langsung ditiggalkan.40
Al-Qaradhowi mensikapi hadis yang bertentangan adalah pertama dengan
menggabungkan antara kedua nash kemudian mentarjih diantara keduanya.41
Contoh tentang pelarangan Nabi untuk ziarah bagi perempuan:

11
Al-Bukhari dalam Bab "Pakaian", pasal: Apa yang Berada di Bawah Kedua Mata kaki akan
masuk Neraka, hlm. 254, hadits no. 5784
12
Hadis Pertama:

"Rasulullah Saw. berkata 'Allah melaknat wanita yang sering menziarahi


kuburan'" (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi yang berkata:
"Hadis ini hasan shahih", sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam
shahihnya).12

Hadits kedua:

"Rasulullah Saw. berkata Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan


mengingatkan kepadamu maut'"13

Melihat kedua hadis tersebut maka jelas ada pertentangan, hadis pertama
melarang perempuan berziarah kubur sedangkan yang kedua meperbolehkan.
Dalam memahami teks ini ulama mempunyai beberape adapat, menurut al-Qurtubi
pelarangan itu diperuntukkan bagi perempuan yang terlalu sering melakukan ziarah
kubur sehingga dia lupa akan kewajbina dirumah, kemudian mayoritas ulama
memahaminya bahwa pelarangan itu hanya ada pada masa awal Islam sebelum kuat
iman umat Islam terutama yang perempuan, kemudian Nabi memunculkan hadis
yang kedua sebagai sebuah pembolehan.14 Demikian juga yang ditempuh al-
Qaradhowi dalam memahami hadis yang bertentangan.

4. Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakang serta tujuannya.

Menurut al-Qaradhowi dalam konteks ini, asbab al-Wurud sebagai


pertimbangan penting ketika ingin memahami hadis, sehingga akan didapatkan
12
Tirmidzi dalam bab Janaiz (1056) Ibnu Majah (1576), dan Ahmad (2/337). Juga dirawikan oleh
Al-Baihaqiy dalam As-SunnahI (4/78)
13
Muslim (976 dan 977)
14
Muslim bin Qutaibah, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadis, (Mesir: Maktabah Kulliyah al-Azhariyah,
1996), 89-90
13
pemahaman yang benar dan terhindar pelbagai perkiraan yang menyimpang dan
terhindar dari pengertian yang jauh dari tujuan. Pendekatan semacam ini disebut
dengan pendekatan sosio-historis. Pendekatan historis menekankan pada kondisi
sejarah ketika sebuah hadis dikeluarkan, termasuk didalamnya sosio kultural Nabi
dan sahabat pada saat itu, sementara pendekatan sosiologis adalah menekankan
pada penerimaan hadis tersebut. Oleh karena itu menurut al-Qaradhowi dalam
memahami hadis dalam hal ini harus dilakukan beberapa hal, yaitu pemilahan
antara yang bersifat khusus dan umum, yang sementara dan abadi, yang partikular
dan universal. Contoh pemahaman hadis tentang "Kalian lebih mengerti urusan
dunia kalian":
‫أنتم أعلم بأمر دنياكم‬

"Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian"15

Hadis ini, oleh sebagian orang dijadikan dalih untuk menghindar dari hukum-
hukum syariat di berbagai bidang ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Sebab
semua itu, seperti yang mereka dakwakan, adalah termasuk urusan dunia kita dan
kita lebih mengerti tentangnya. Sedangkan Rasulullah sendiri telah menguaskan
kepada kita. Apakah memang itu yang dimaksud oleh hadis tersebut? Tentu tidak!
Sebab, diantara berbagai tugas yang dibebankan Allah SWT kepada para utusan-
Nya, adalah meletakkan –untuk manusia- dasar-dasar dan neraca-neraca keadilan
serta ketentuan-ketentuan tentang segala hak dan kewajiban dalam kehidupan dunia
mereka; sedemikian hingga mereka tidak dibingungkan oleh norma-norma yang
kabur, dan tidak dicerai-berai oleh berbagai jalan yang saling berlawanan. Tentang
ini Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hadid: 25
ْ َ ۖ ْ ُ َّ َ ُ َ َ َ ‫َ َ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ُ َ َ ْ َ ّ َٰ َ َ َ ْ َ َ َ ُ ُ ْ َٰ َ َ مْل‬
‫اس ِبٱل ِق ْس ِط َوأ َنزل َنا‬ ‫لقد أرسلنا رسلنا ِبٱلب ِين ِت وأنزلنا معهم ٱل ِكتب وٱ ِ يزان ِليقوم ٱلن‬
َ َّ َْ َ َّ َ َ ْ َ َ َّ ُ َٰ َ َ ٌ َ ٌ ْ َ َ َ ْ
‫نص ُر ُهۥ َو ُر ُسل ُهۥ ِبٱلغ ْي ِ ۚب ِإ َّن ٱلل َه ق ِو ٌّى‬
ُ ‫ٱلل ُه َمن َي‬ ‫اس و ِليعلم‬
ِ ‫ٱلح ِديد ِف ِيه بأس ش ِديد ومن ِفع ِللن‬
‫َع ِز ٌيز‬

15
Dirawikan oleh Muslim dalam Shahih-nya, Bab "Al-Manaqib" (2363), dari hadis Aisyag dan
Anas.
14
Artinya: "Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti
yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan)
agar manusia dapat berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi yang
mempunyai kekuatan, hebat dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar
Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya
walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat,
Mahaperkasa".

Dari sinilah kemudian datangnya nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnag yang


mengatur segala urusan transaksi jual-beli, perseroan, pergadaian, persewaan,
peminjaman uang, dan lain sebagainya. Adapun hadis "Kalian lebih mengerti urusan
dunia kalian" dapat ditafsirkan dengan mengetahui asbab al-wurud (latar belakang
diucapkannya). Hal itu berkenaan dengan "penyerbukab pohon kurma", Ketika itu
Rasulullah Saw. menyatakan pendapat beliau yang berdasarkan perkiraan semata-
mata, berkenaan dengan soal penyerbukan. Sedangkan beliau bukanlah ahli tanaman.
Bahkan beliau dibesarkan di suatu daerah "lembah yang tak bertanaman". Namun
kaum Anshar mengira pendapat beliau itu sebagai wahyu atau perintah agama, lalu
meninggalkan kebiasaan penyerbukan tersebut. Hal itu akhirnya berpengaruh buruk
pada buah kurma di musim itu. Maka Rasulullah Saw. menyatakan: "Sesungguhnya
(pendapatku) itu hanyalah berdasarkan perkiraan semata-mata; maka janganlah
kalian menyalahkan aku karena perkiraan itu. . ." (Pada akhir ucapannya itu, beliau
mengatakan): "Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian".

15
BAB III

KESIMPULAN

1.

16
DAFTAR PUSTAKA

17

Anda mungkin juga menyukai