Anda di halaman 1dari 53

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Kebutuhan Eliminasi Fekal


Eliminasi fekal merupakan proses pembuangan sisa metabolisme yang tidak
terpakai lagi. Sisa metabolisme tersebut berbentuk feses. Eliminasi fekal yang teratur
penting untuk menjaga fungsi tubuh normal.
2.1.1. Sistem Tubuh yang Berperan
Sistem tubuh yang berperan dalam eliminasi fekal (buang air besar) adalah
system gastrointestinal bawah. Sistem ini terdiri atas usus halus (duodenum,
jejunum, dan ileum) serta usus besar (sekum, apendiks, kolon, rectum, dan
anus).
1. Usus halus
Usus halus merupakan tabung dengan panjang sekitar 6m dan
diameter 2,5m. Dinding usus halus terdiri atas empat lapisan, yaitu lapisan
luar, lapisan berotot, lapisan submukosa, dan lapisan mukosa. Lapisan
berotot terdiri atas dua bagian, yaitu bagian luar (berupa serabut
longitudinal) dan bagian dalam (berupa serabut sirkular). Lapisan ini
memungkinkan usus halus mencampur dan mendorong kimus.
Usus halus terdiri atas tiga bagian, yaitu duodenum, jejunum, dan
ileum. Duodenum merupakan saluran berbentuk C dibelakang abdomen
yang mengitari kaput pancreas. Panjang duodenum adalah sekitar 25cm.
Jejunum dan ileum memiliki panjang antara 300-900cm, tetapi batas antara
keduanya tidak jelas.
Fungsi usus halus :
1) Mensekresikan getah usus
2) Menerima getah empedu dan getah pancreas
3) Mencerna makanan
4) Mengabsorpsi air, garam, dan mineral
5) Menggerakkan kimus ke usus besar dengan gerak peristaltik
2. Usus besar
Batas antara usus halus dan usus besar adalah katup ileosekal. Usus
besar kemudian dimulai dari sekum hingga ke anus (dubur). Usus ini
memiliki panjang sekitar 1,5m dengan diameter 5-6cm. Bagian-bagian
usus besar meliputi sekum, apendiks, kolon (asenden, transversus,
desenden, serta sigmoid), rectum, dan anus.
Fungsi usus besar :
1) Menyerap air dan makanan
2) Tempat tinggal bakteri koli
3) Tempat menampung feses
Usus besar menerima sisa-sisa makanan dari usus halus dalam bentuk
cair. Air, nutrient, dan elektrolit dalam sisa-sisa makanan tersebut
kemudian diserap oleh usus besar. Lalu, usus besar menyekresi mucus,
kalium, bikarbonat, dan enzim untuk mengubah sisa-sisa makanan menjadi
feses. Setelah itu, feses diteruskan ke rectum dengan cara kontraksi.
Proses perjalanan sisa makanan di kolon memiliki beberapa gerakan,
antara lain :
1) Haustral shuffling, gerakan mencampur kimus untuk membantu
absorpsi air
2) Kontraksi haustral, gerakan mendorong materi cair dan semipadat di
sepanjang kolon
3) Peristaltik, gerakan berupa gelombang menuju anus
2.1.2. Proses Defekasi
Defekasi atau buang air besar merupakan proses pengosongan usus. Pada
saat makanan masuk ke lambung, timbul gerak peristaltic didalm usus besar
yang disebabkan oleh reflex gastrokolon. Gerakan peristaltic di usus besar
mendorong isi usus besar ke dalam rectum sehingga terjadi peregangan rectum
yang memicu reflex defekasi.
Secara umum, reflex yang membantu defekasi dapat dibedakan menjadi
reflex defekasi intrinsic dan reflex defekasi parasimpatetik.
1. Refleks Defekasi Intrinsik
Dimulai dari terdapatnya zat sisa makanan (feses) dalam rectum
sehingga menyebabkan distensi. Pleksus mesenterikus kemudian
merangsang gerak peristaltic dan akhirnya feses sampai di anus. Sphincter
internal melemas, tetapi sphincter eksternal relaksasi secara volunter.
Tekanan dihasilkan oleh otot-otot abdomen. Pada saat ini terjadilah
defekasi
Didahului tranpor
feses masuk ke
rektum

Mengakibatkan ketegangan
(distensi rektum)

Akan terjadi rangsangan refleks


defekasi pada pleksus
mesentrikus

Otot usus lain berkontraksi, terjadi


peristaltik di kolon asenden, sigmoid, dan
rektum

Feses akan terdorong


ke anus

Sfingter internal melepas, tetapi pada


sfingter eksternal relaksasi (otot
levator) relaksasi secara volunter dan
tekanan ditimbulkan oleh otot-otot
abdomen

Sfingter internal melepas, tetapi pada


sfingter eksternal relaksasi (otot levator)
relaksasi secara volunter dan tekanan
ditimbulkan oleh otot-otot abdomen
2. Refleks Defekasi Parasimpatetis
Refleks defekasi parasimpatis berlangsung seperti bagan berikut ini (John
Gibson, 2002)
Feses masuk ke rektum

Terjadi rangsangan saraf


rektum

Selanjutnya ditranmiskan sepanjang saraf


parasimpatis aferen ke pers sakralis medulla spinalis

Pesan aferen ditranmisikan sepanjang saraf


parasimpatis aferen untuk mencapai kerja otot

Akibatnya kombinasi refleks dan usaha volunteer


adalah :

1. Terjadi relaksasi sfingter anus


2. Kontraksi otot kolon
3. Kontraksi otot perut dan diagfragma
4. Dan pelvis naik
5. Terjadi defekasi
6. Sfingter berkontrakasi mengeluarkan
feses
3. Upaya volunteer
Selain kedua mekanisme refleks di atas, defekasi juha bisa terjadi karena
upaya volunteer seperti yang terlihat pada bagan :

Kontraksi otot abdominal dan diagfragma

Dengan demikian tekanan intraabdominal naik

Otot eleveator anus kontraksi

Menggerakkan feses untuk melalui saluran anus

Dipermudah dengan :

Terjadi Defekasi 1. Fleksi otot femur


2. Posisi saaat defekasi seperti
jongkok

2.1.3. Produk Defekasi


Produk utama defekasi adalah feses. Feses tersusun atas 75% air dan
25% materi padat. Didalamnya terkandung sterkobilin dan urobilin, sejumlah
kecil nitrogen (terutama musin), garam (terutama kalsium fosfat), serta sedikit
zat besi, selulosa, sisa zat makanan, dan air. Pencernaan di dalam usus besar
juga menghasilkan gas yang terdiri atas CO2, metana, H2S, O2, dan nitrogen.
2.1.4. Faktor Yang Mempengaruhi Defekasi
1. Usia
Bayi belum dapat mengendalikan defekasi secara penuh sehingga ia
sering melakukan defekasi langsung. Pada lansia, kemampuan untuk
mengendalikan defekasi berkurang karena kemampuan fisiologis sejumlah
organ menurun sehingga ia sering melakukan defekasi langsung.
2. Diet
Diet atau pola makan tertentu memengaruhi asupan nutrisi. Beberapa
jenis makanan dapat membantu memperlancar proses defekasi, misalnya
makanan berserat. Kekurangan makanan berserat akan menyebabkan
kesulitan melakukan defekasi. Selain itu, secara fisiologis, jumlah
makanan yang dikonsumsi oleh tubuh juga berpengaruh terhadap
keinginan defekasi. Makin banyak makanan yang masuk ke dalam tubuh,
makin kuat keinginan defekasi.
3. Asupan cairan
Kekurangan asupan cairan menyebabkan feses menjadi lebih keras
karena adanya absorpsi air di kolon. Akibatnya, proses defekasi menjadi
sulit.
4. Tonus otot
Proses defekasi dibantu oleh kontraksi dari berbagai macam otot,
contohnya otot perut dan diafragma. Aktivitas tonus otot tersebut
membantu kelancaran proses defekasi. Apabila tonus otot kolon baik,
peristaltic didaerah kolon juga baik sehingga defekasi dapat berjalan
lancar.
5. Gaya hidup dan Kebiasaan
Orang yang terbiasa buang air besar di toilet tertutup akan kesulitan
apabila harus buang air besar di tempat terbuka. Terkadang, orang yang
terbiasa buang air besar di toilet jongkok akan kesulitan apabila harus
buang air besar di toilet duduk. Begitu pula sebaliknya.
6. Faktor psikologis
Stres psikologis seperti perasaan cemas atau takut dapat memengaruhi
gerak peristaltic atau motilitas usus. Akibatnya, proses defekasi menjadi
terganggu dan akhirnya dapat menyebabkan diare atau konstipasi.
7. Medikasi
Beberapa jenis obat dapat menyebabkan konstipasi, misalnya morfin
dan kokain. Obat laksatif dan katartik dapat melunakkan feses serta
meningkatkan peristaltic.
8. Penyakit
Beberapa jenis penyakit yang menyerang system pencernaan dapat
menyebabkan diare atau konstipasi.
9. Nyeri
Kondisi tertentu, misalnya hemoroid, bedah rectum, dan melahirkan,
dapat menimbulkan rasa nyeri pada saat defekasi. Hal ini menyebabkan
pasien sering kali menahan keinginannya untuk defekasi. Jika hal ini
dibiarkan terlalu lama, dapat terjadi konstipasi.
10. Kerusakan Sensoris dan Motoris
Kerusakan pada system sensoris dan motoris di medulla spinalis atau
didaerah kepala dapat menyebabkan penurunan stimulasi sensoris dalam
berdefekasi.
11. Pembedahan dan Anestesi
Pemberian anestesi pada saat pembedahan dapat menurunkan atau
memberhentikan gerakan peristaltic untuk sementara waktu. Kondisi ini
disebut ileus paralitik dan umumnya berlangsung selama 24-48 jam.
12. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic tertentu mengharuskan dilakukan pengosongan
lambung, misalnya dengan enema atau katartik. Tindakan ini dapat
menyebabkan pola eliminasi terganggu. Prosedur pemeriksaan dengan
menggunakan barium juga dapat mengganggu defekasi karena barium
yang tersisa di saluran pencernaan dapat mengeras dan menyebabkan
impaksi usus.
2.1.5. Konstipasi
Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi
dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu
frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu dan konsistensi tinja lebih
keras dari biasanya.
Konstipasi merupakan keluhan paling sering dalam praktik klinis.
Kebanyakan orang mempunyai sedikitnya tiga gerakan usus per minggu, dan
konstipasi didefinisikan sebagai frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per
minggu. Namun, frekuensi feses sendiri bukan merupakan kriteria yang cukup
digunakan, karena banyak pasien konstipasi menunjukkan frekuensi defekasi
normal, tetapi keluhan subjektif mengenai feses keras, mengejan, rasa penuh
bagian abdomen bawah dan rasa evakuasi tak lengkap. Sehingga, kombinasi
kriteria objektif dan subjektif harus digunakan untuk menerangkan konstipasi.
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya
frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan
mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini
terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air
diserap.

2.1.5.1. Etiologi
Penyebabnya :
1. Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk, bermain, pindah
tempat, dan lain-lain.
2. Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur), tidak
ada gigi, makanan lemak dan cairan kurang
3. Meningkatnya stress psikologik.
4. Kurang olahraga /aktifitas : berbaring lama.
5. Obat-obatan: kodein, morfin, anti kolinergik, zat besi. Penggunaan
obat pencahar/laksatif menyebabkan tonus otot intestinal kurang
sehingga refleks BAB hilang.
6. Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut menurun
sehingga menimbulkan konstipasi..
7. Penyakit-penyakit : Obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada
spinal cord dan tumor.
2.1.5.2. Faktor – Faktor Risiko Konstipasi
Pengenalan dini faktor risiko terjadinya konstipasi dapat
membantu untuk mencegah konstipasi. Beberapa faktor risiko yang
berhubungan dengan konstipasi pada anak telah diteliti yaitu
ketidakcukupan asupan serat dan cairan harian, riwayat penyakit
kronis, riwayat keluarga konstipasi, psikologis, alergi susu sapi dan
riwayat asupan susu sapi pada usia awal kehidupan, kelainan yang
berhubungan kolon dan rektum seperti irritable bowel syndrome,
hirschsprung disease, dan fisura ani (Borowizt dkk., 2003).
1. Asupan serat harian
Asupan serat merupakan faktor penting penyebab konstipasi
pada anak. Asupan serat harus ditingkatkan secara bertahap di masa
kanak-kanak, karena diet serat penting bagi kesehatan anak
terutama dalam hal menormalkan BAB. Penelitian yang dilakukan
oleh Ip dkk. (2005) menunjukkan bahwa gejala konstipasi pada
anak sangat berkaitan dengan asupan serat makanan yang rendah.
Penelitian serupa dilakukan oleh Lee dkk. (2008) yang menyatakan
bahwa asupan serat yang rendah berhubungan dengan kejadian
konstipasi pada anak sekolah taman kanak-kanak di Hongkong.
Penelitian di Hong Kong dan Maldives (India) menunjukkan bahwa
konsumsi serat pada anak lebih rendah dari nilai yang dianjurkan
(Lee dkk., 2008).
Serat adalah bahan makanan nabati yang tidak dapat dicerna
oleh enzim pencernaan dalam tubuh. Berdasarkan analisis kimia,
serat dalam makanan digolongkan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah selulosa yang merupakan polisakarida.
Selulosa adalah serat yang paling banyak dijumpai pada sayuran
dan buah-buahan. Kelompok kedua adalah pektin, gum dan
mucilago, yang merupakan polisakarida non-selulosa. Pektin
mempunyai sifat membentuk gel jika bergabung dengan air. Gum
pada tanaman biasanya diproduksi saat kulit tanaman tergores, dan
ditemukan juga dalam biji-bijian, seperti buncis, kacang polong dan
kapri (Gremse dkk., 2002).
Berdasarkan sifat larutan, serat dibedakan menjadi dua
golongan yaitu serat yang larut dalam air, seperti pektin, gum,
mucilago, dan serat yang tidak larut dalam air seperti selulosa,
hemi-selulosa dan lignin (Pashankar dkk., 2003). Serat makanan
bersifat hidrofilik atau pembentuk masa. Kemampuan serat
makanan sebagai laksansia tergantung dari kemampuannnya
menghindari pencernaan dan absorpsi di usus halus dan
menghindari metabolisme bakteri di kolon. Peningkatan volume di
usus yang berkaitan dengan bahan padat dan air diduga
menstimulasi motilitas dan peningkatan transit isi usus melalui
kolon, sehingga meningkatkan feses yang dikeluarkan. Konsistensi
feses juga dipengaruhi oleh serat makanan sehingga mempermudah
defekasi. Efektivitas serat makanan sebagai bahan pembentuk masa
tergantung pada jumlah, kemampuan mengikat air, banyaknya
penghancuran oleh proses fermentasi bakteri dan efektivitas produk
fermentasi yang dapat meningkatkan efek laksatif (Pijpers dkk.,
2010).
Pada anak asupan serat makanan harian yang
direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics
Committee On Nutrition adalah 0,5 gram/kilogram berat badan
sampai dengan 35 gram per hari. Kebutuhan serat berdasarkan
rekomendasi tersebut terlalu besar bagi anak usia muda sehingga
diperbaharui kembali berdasarkan usia, namun beberapa penelitian
menyatakan saat ini asupan serat makanan pada anak di negara
maju dan berkembang tidak sesuai dengan rekomendasi, sedangkan
menurut American Health Foundation untuk anak di atas usia 2
tahun minimal diberi diet serat dengan formula usia + 5 g/hari dan
maksimal usia + 10 g/hari (Lee dkk., 2008). Diet serat harus
dilakukan bertahap yaitu dengan mulai menambah satu atau lebih
jenis makanan tiap harinya. Jenis makanan yang dapat diberikan
berupa buah segar yang tinggi serat (seperti apel, blueberry, pisang,
kurma, pir, jeruk), sayuran segar atau telah diproses (seperti
brokoli, tauge, wortel, jagung, kacang polong dan kentang dengan
kulitnya, atau salad dalam jumlah banyak. Setiap sediaan buah
segar memberikan serat sebanyak 2-3 gram dan sayuran
memberikan serat 2-2,5 gram. Diet serat akan menyebabkan retensi
air dalam kolon yang mengakibatkan masa feses bertambah dan
lebih lunak sehingga asupan air juga ditingkatkan (Van Der Plas
dkk., 2000).
2. Asupan cairan harian
Jumlah cairan yang dibutuhkan pada anak agar feses bertambah
lunak diperkirakan 6-8 gelas per hari (Tabel 2.2). Jumlah cairan
yang dikonsumsi mempengaruhi konsistensi tinja. Penambahan
cairan pada kolon dan masa tinja membuat pergerakan usus
menjadi lebih lembut dan mudah dilalui. Oleh karena ini penderita
yang mengalami konstipasi sebaiknya mengkonsumsi banyak
cairan setiap hari yaitu sekitar tujuh gelas setiap hari. (Lee dkk.,
2008). Tabel 2.2
3. Riwayat Keluarga Dengan Konstipasi
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa riwayat konstipasi
pada keluarga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
konstipasi. Hal ini selain karena faktor genetik, perilaku orang tua
mengajarkan toilet training merupakan hal penting. Toilet training
dapat terabaikan atau bahkan orangtua terlalu berlebihan
mengajarkan pada anak sehingga terdapat sikap menolak dari anak
ketika diajak defekasi (Ip dkk., 2005; Rajindrajith dkk., 2010).
4. Riwayat Penyakit Kronis
Hubungan antara riwayat penyakit kronis dengan konstipasi
belum diketahui secara pasti dari beberapa tinjauan pustaka.
Penelitian Firmansyah (2007) didapatkan hubungan riwayat
penyakit kronis seperti tuberkulosis dan penyakit neurologis
(cerebral palsy, epilepsi). Penelitian lainnya didapatkan anak
dengan penyakit kronis seperti asma dan neoplasma, berhubungan
dengan konstipasi (Devanarayana dkk., 2010; Van Dijk dkk.,
2007).
5. Psikologis
Penelitian Inan dkk. (2007) didapatkan bahwa trauma fisik dan
psikologis berhubungan dengan kejadian konstipasi pada anak usia
sekolah. Penelitian di Sri Lanka yang mengambil sampel pada anak
sekolah usia 10-16 tahun didapatkan bahwa stres yang berhubungan
dengan sekolah seperti kegagalan ujian, orangtua kehilangan
pekerjaan dan hukuman yang sering oleh orang tua merupakan
faktor risiko yang menyebabkan konstipasi (Devanarayana dan
Rajindrajith, 2011; Van Der Plas dkk., 2000; Voskuilj dkk., 2004).
6. Riwayat alergi susu sapi dan pemberian susu formula berlebihan
Beberapa penelitian tentang alergi susu sapi menunjukan
bahwa anak yang mengkonsumsi susu sapi atau susu formula pada
usia pertama kehidupan memiliki konsistensi tinja yang padat dan
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya konstipasi. Hal ini
disebabkan susu sapi mengandung mineral dan lemak yang lebih
banyak dan lebih sedikit mengandung karbohidrat, serta
mengandung asam palmitat pada posisi Sn1 dan Sn3 sehingga asam
palmitat membutuhkan hidrolisis oleh lipase pankreas. Proses
hidrolisis ini menghasilkan asam palmitat bebas yang akan bereaksi
dengan kalsium sehingga membentuk calcium fatty acid soaps yang
sulit diserap. Pembentukan calsium soaps ini berhubungan
bermakna dengan tingkat kepadatan feses sehingga anak yang
mengkonsumsi susu formula memiliki tinja yang lebih padat dan
dapat menimbulkan konstipasi (Iacono dkk., 2005; Daher dkk.,
2001).
2.1.5.3. Manifestasi Klinis
Menurut Akmal, dkk (2010), ada beberapa tanda dan gejala yang
umum ditemukan pada sebagian besar atau terkadang beberapa
penderita sembelit sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh dan kaku;
2. Tubuh tidak fit, terasa tidak nyaman, lesu, cepat lelah sehingga
malas mengerjakan sesuatu bahkan terkadang sering mengantuk
3. Sering berdebar-debar sehingga memicu untuk cepat emosi,
mengakibatkan stress, rentan sakit kepala bahkan demam
4. Aktivitas sehari-hari terganggu karena menjadi kurang percaya diri,
tidak bersemangat, tubuh terasa terbebani, memicu penurunan
kualitas, dan produktivitas kerja
5. Feses lebih keras, panas, berwarna lebih gelap, dan lebih sedikit
daripada biasanya
6. Feses sulit dikeluarkan atau dibuang ketika air besar, pada saat
bersamaan tubuh berkeringat dingin, dan terkadang harus mengejan
atupun menekannekan perut terlebih dahulu supaya dapat
mengeluarkan dan membuang feses ( bahkan sampai mengalami
ambeien/wasir )
7. Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan bagai
terganjal sesuatu disertai rasa sakit akibat bergesekan dengan feses
yang kering dan keras atau karena mengalami wasir sehingga pada
saat duduk tersa tidak nyaman
8. Lebih sering bung angin yang berbau lebih busuk daripada biasanya
9. Usus kurang elastis ( biasanya karena mengalami kehamilan atau
usia lanjut), ada bunyi saat air diserap usus, terasa seperti ada yang
mengganjal, dan gerakannya lebih lambat daripada biasanya
10. Terjadi penurunan frekuensi buang air besar
11. Rasa nyeri dan tekanan
12. Penurunan nafsu makan

2.1.5.4. Patofisiologi
Patofisiologi konstipasi masih belum dipaham. Konstipasi
diyakini, berhubungan dengan pengaruh dari sepertiga fungsi utama
kolon
1. Transport mukosa (sekresi mukosa memudahkan gerakan isi kolon)
2. Aktivitas mioelektrik (pencampuran massa rektal dan kerja
propulsive), atau
3. Proses defekasi.
Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi
rektal, melalui empat tahap kerja: rangsangan reflex penyekat
rektoanal, relaksi otot sfingter internal, relaksasi sfringter eksternal dan
otot dalam regina pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen.
Gangguan salah satu dari empat proses ini dapat menimbulkan
konstipasi.
Apabila dorongan untuk defekasi diabaikan, membrane mukosa
rektal dan muscular menjadi tidak peka terhadap adanya masa fekal,
dan akibatnya rangsangan yang lebih kuat diperlukan untuk
menghasilkan dorongan peristaltic tertentu agar terjadi defekasi. Efek
awal retensi fekal ini adalah menimbulkan kepekaan kolon, dimana
pada tahap ini sering mengalami spasme, khususnya setelah makan,
sehingga menimbulkan nyeri kolik pada abdominal atau abdomen
bawah. Setelah proses ini berlangsung sampai beberapa tahun, kolon
kehilangan tonus dan menjadi sangat tidak responsive terhadap
rangsangan normal, akhrinya terjadi konstipasi. Atoni usus juga terjadi
pada proses penuaan, dan hal ini dapat diakibatkan oleh pengguanaan
laksatif yang berlebihan.
PATOFISIOLOGI KONSTIPASI

Diet rendah serat,asupan cairan kurang, kondisi psikis, kondisi Penggunaan obat-obatan
metabolik, penyakit yang diderita tertentu(seperti gol.opiat)
dan mengandung Al dan Ca

Abssorbsi cairan dan


elektrolit Memberi efek pada
segmen usus

Memperpanjang waktu
transit di kolon karena Memperpanjang waktu
absorbsi terus transit di kolon
berlangsung

Kontraksi tidak
Feses mengeras mendorong

Gangguan fungsi utama kolon Gangguan defekasi konstipasi


(transpor mukosa, aktivasi
mioelektrik, proses defekasi)
Rangsangan refleks
penyekat rekto anal

Relaksasi sfingter interna


dan eksterna

Membran mukorektal dan


muskulatur tidak peka Tekanan intra abdomen
terhadap rangsangan fekal

Diperlukan rangsangan yg lebih kuat untuk mendorong feses kelemahan

Spasme setelah makan, nyeri kolik pada abdomen bawah Nyeri akut

Kolon kehilangan tonus Tidak responsif terhadap Konstipasi


rangsangan normal
2.1.5.5. Diagnosis Konstipasi
Pada umumnya, gejala klinis dari konstipasi adalah frekuensi
defekasi kurang dari 3 kali per minggu, feses keras dan kesulitan
untuk defekasi. Anak sering menunjukkan perilaku tersendiri untuk
menghindari proses defekasi. Pada bayi, nyeri ketika akan defekasi
ditunjukkan dengan menarik lengan dan menekan anus dan otot-otot
bokong untuk mencegah pengeluaran feses. Balita menunjukkan
perilaku menahan defekasi dengan menaikkan ke atas ibu jari-ibu jari
dan mengeraskan bokongnya. Sesuai dengan Kriteria Rome III,
diagnosis konstipasi fungsional berdasarkan beberapa kriteria sebagai
berikut: 4 Kriteria diagnostik harus memenuhi dua atau lebih dari
kriteria di bawah ini, dengan usia minimal 4 tahun:
1. Kurang atau sama dengan 2 kali defekasi per minggu.
2. Minimal satu episode inkontinensia per minggu.
3. Riwayat retensi tinja yang berlebihan.
4. Riwayat nyeri atau susah untuk defekasi.
5. Teraba massa fekal yang besar di rektum.
6. Riwayat tinja yang besar sampai dapat menghambat kloset.
Kriteria dipenuhi sedikitnya 1 kali dalam seminggu dan
minimal terjadi 2 bulan sebelum diagnosis.
2.1.5.6. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat pemeriksaan penunjang pada konstipasi, yaitu :
1. Darah Perifer Lengkap
2. Glukosa dan elektrolit (terutama kalium dan kalsium) darah
3. Fungsi tiroid
4. CA
5. Anuskopi (dilanjutkan dilakukan secara rutin pada semua pasien
dengan konstipasi untuk menemukan adalah fisura, ulkus, hemoroid
dan keganasan). Foto polos perut harus dikerjakan pada pasien
konstipasi, terutama yang terjadinya akut untuk mendeteksi adanya
implaksi feses yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi
kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat danjutkan
dengan barium enema untuk memastikan tempat dan sifat
sumbatan.
6. Pemeriksaan yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3-6
bulan pengobatan konstipasi kuran berhasil dan dilakukannya hanya
pada pusat – pusat pengelolaan konstipasi tertentu :
a. Ujian yang dikerjakan dapat bersifat anatomis
(enema,proktosigmoidoskopi, kolonskopi) atau fisiologi
(waktu singgah di kolon, sinedefekografi, manometri, dan
elektromiografi).
b. Waktu persinggahana atau radio-opak di kolon dapat diikuti
dengan melakukan pemeriksaan radiologis setelah menelan
bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama ditemukan
direktum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi,
sedangkan bila di kolon menunjukkan kelemahan yang
menyeluruh.
c. Sinedefeografi adalah pemeriksaan radiologis daerah
anorektal untuk menilai evakuasi feses secara tuntas,
mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi
kontraksi serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai pasta
yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan kedalam
rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang
diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita diminta
mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai
kelainan anorektal saat proses berlangsung.
7. Uji mamometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum
dan saluran anus saat istirahat dan pada berbagai ransnagan untuk
menilai fungsi anorektal.
8. Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan
sfingter dan fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang
dibuktikan dengan renspons sfingter yang terhambat. Pada
kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomis maupun
fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut sebagai non
spesifik.
2.1.5.7. Komplikasi
Komplikasi kontsipasi mencakup hipertensi arterial, impaksi
fekal, hemoroid dan fisura, serta megakolon.
Peningkatan tekanan arteri dapat terjadi pada defekasi
Mengenjan saat defekasi, yang mengakibatkan maneuver Valsalva
(mengeluarkan napas dengan kuat sambil glottis tertutup),
mempunyai efek pengerutan pada tekanan darah arteri. Selama
mengenjan aktif, aliran darah vena di dada untuk sementara dihambat
akibat peningkatan tekanan intraorakal. Tekanan ini cenderung
menimbulkan kolaps pada vena besar di atas di dada. Atrium dan
ventrikel menerima sedikit darah, dan akibatnya sedikit yang
dikirimkan melalui kontraksi sistolik dari ventrikel kiri : curah
jantung menruun, dan terjadi penurunan sementara dalam tekanan
arteri. Hampir segera setelah periode hipotensi ini, terjadi peningkatan
pada tekanan arteri: tekanan ditingkatkan sementara melewati tingkat
asalnya (fenomena “rebound”). Pada pasien dengan hipertensi
arterial, reaksi kompensasi ini dapat diperbesar, dan puncak tekanan
yang dicapai dapat sang berbahaya cukup untuk menimbulkan rupture
arteri utama di otak atau tempat lain.
Impaksi fekal terjadi apabila suatu akumulasi massa feses kering
tidak dapat dikeluarkan. Massa ini dapat diraba pada pemeriksaan
manual, dapat menimbulkan tekanan pada mukosa kolon yang
mengakibatkan pembentukan ulkus, dan dapat menimbulkan
rembesan feses cair yang sering.
Hemoroid dan Fisura Anal dapat terjadi sebagai akibat
konstipasi. Fisura anal dapat diakibatkan oleh pasase feses yang keras
melalui anus, merobek lapisan kanal anal. Hemoroid terjadi sebagai
akibat kongesti vaskuler pelianar yang disebabkan oleh peregangan.
Megakolon adalah dilatasi dan anatoni kolon yang disebabkan
oleh massa fekal yang menyumbat pasase isi kolon. Gejala meliputi
konstipasi, inkontinensui fekal cair, dan distensi abdomen.
Megakolon dapat menimbulkan perforasi usus
2.1.5.8. Penatalaksanaan
Penanganan konstipasi harus disesuaikan menurut keadaan
masing-masing pasien dengan memperhitungkan lama dan intensitas
konstipasi, faktor-faktor kontribusi yang potensial, usia pasien dan
harapan pasien. Terapi simtomatik sangat empirik sehingga sering
terdapat sedikit tanda objektif untuk mendukung strategi khusus.
Terapi inisial biasanya berupa diet dengan penekanan pada
peningkatan asupan serat makanan ( dietary fiber), Meskipun tidak
banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang yang menderita
konstipasi mengkonsumsi lebih sedikit serat makanan dibandingkan
dengan orang tidak pernah mengalami konstipasi, namun banyak
pasien konstipasi yang memperlihatkan responsnya terhadap
peningkatan asupan serat makanan hingga mencapai jumlah antara 20
dan 30 gram/hari. Suplementasi serat dapat meningkatkan berat tinja
serta frekuensi defekasi dan menurunkan waktu transit
gastrointestinal. Efek serat yang menghasilkan massa dalam kotoran
dapat berhubungan dengan peningkatan retensi air maupun dengan
proliferasi bakteri kolon yang memproduksi gas di dalam tinja.
Suplementasi serat bukan terapi yang tepat bagi pasien dengan lesi
obstruktif traktus gastrointestinal atau bagi pasien penyakit
megakolon atau megarektum.
Kecuali preparat laksatif yang menghasilkan massa tinja,
penggunaan laksatif lain secara rutin untuk jangka waktu lama tidak
dianjurkan karena risiko timbulnya efek samping seperti pneumonia
lipid akibat minyak mineral atau kerusakan pada pleksus mienteiikus
yang menimbulkan “kolon katartik” akibat preparat laksatif stimulan
antrakuinon seperti senna. Preparat laksatif yang membentuk massa
tinja terdiri atas bahan alami (psyllium) atau polisakarida sintetik atau
derivat selulosa yang bekerja dengan cara yang serupa dengan cara
kerja serat makanan. Asupan cairan harus ditingkatkan dengan
penggunaan preparat ini. Preparat laksatif emolien mencakup minyak
mineral, yang kalau diberikan per oral atau melalui enema akan
merembas serta melunakkan feses, dan garam-garam dokusat yang
merupakan surfaktan anionik; garam-garam dokusat ini menurunkan
tegangan permukaan tinja sehingga memungkinkan pencampuran
substansi aqueous dengan lemak dan dengan demikian melunakkan
tinja. Preparat hiperosmoler mencakup larutan campuran elektrolit
Preparat hiperosmoler mencakup larutan campuran elektrolit
yang mengandung polietilen glikol dan gula yang tidak dapat diserap
seperti laktulosa serta sorbitol yang bekerja sebagai preparat osmotik
dan digunakan untuk membersihkan usus sebelum tindakan
kolonoskopi. Preparat laksatif salin mengandung kation dan anion
yang tidak terserap serta menimbulkan efek osmotik untuk
meningkatkan kandungan air intraluminal. Preparat laksatif stimulan
mencakup minyak kastroli, antrakuinon seperti senna, dan
difenilmetana seperti fenolftalein serta bisakodil. Minyak kastroli
akan dikonversikan menjadi asam risinoleat yang menstimulasi
sekresi intestinal dan meningkatkan motilitas intestinal. Preparat
antrakuinon meningkatkan penimbunan cairan serta elektrolit di
dalam ileum distal dan kolon. Fenolftalein dan bisakodil menstimulasi
aktivitas motorik kolon dan menghambat absorpsi glukosa serta
natrium. Akhir-akhir ini, preparat prokinetik eksprimental cisapride
ternyata dapat meningkatkan transit intestinal lewat kolon proksimal,
tetapi peranannya dalam penatalaksanaan konstipasi masih belum
pasti. Peranan opioid endogen berlebihan pada konstipasi yang
dikaitkan dengan gangguan motilitas telah menjadi hipotesis, dan
keuntungan antagonis reseptor opioid pada pengobatan konstipasi
telah dilaporkan, tetapi memerlukan uji lanjutan. Teknik biofeedback
telah menjadi alat yang menjanjikan pengobatan konstipasi akibat
kontraksi otot dasar pelvis dan sfingter ani eksterna yang tidak sesuai.
Terapi obat-obatan khusus dapat digunakan untuk
meningkatkan fungsi motorik intrinsic usus. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa penggunaan preparat prokinetik seperti
Cisaprinde dapat meningkatkan frekuensi defekasi.
Pengobatan pembedahan untuk konstipasi kronik yang berat
umumnya kontroversial, kecuali pada penyakit Hirschsprung, di mana
reseksi pembedahan segmen aganglionik merupakan pengobatan
pilihan. Pada inersia kolon, kolektomi subtotal dengan anastomosis
ileorektal dapat merupakan indikasi pada pasien yang terpilih cermat
dengan motilitas gastrointestinal atas normal dan gangguan motilitas
anorektal telah disingkirkan. Pembedahan untuk mengurangi atau
memotong rektokel, intususepsi atau prolaps harus dilakukan dengan
hati-hati, karena gejala-gejala sering tidak reda.
2.1.6. Inkontinensia Alvi/feses
Inkotinensia alvi adalah ketidak mampuan seseorang dalam menahan
dan mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat. Inkontinensia dapat
diklasifikasikan menjadi soil (kehilangan mukus), insufisiensi (tidak ada
kontrol gas dan diare), dan inkontinensia (tidak ada kontrol untuk membentuk
feses padat). Klasifikasi lain membagi inkontinensia menjdai inkontinensia
minor dan inkontinensia mayor. Inkontinensia mayor adalah keadaan tidak
dapat mengontrol membentuk konsistensi tinja yang normal. Sedangkan
inkontinensia minor adalah soilling sebagian atau keadaan dimana sewaktu-
waktu dapat mengeluarkan tinja secara normal dan tepat atau dapat diartikan
sebagai bentuk tinja yang encer/cair.
Inkontinensia alvi merupakan salah satu masalah kesehatan yang
cukup serius pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia alvi ini lebih
sedikit dibandingkan pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data
di luar negeri menyebutkan bahwa 30-50% pasien geriatri yang mengalami
inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia alvi. Inkontinensia alvi
merupakan hal yang sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus
diupayakan mencari penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan baik.
2.1.6.1.Etiologi
Penyebab utama timbulnya inkotinensia alvi adalah masalah
sembelit, penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti
demensia dan stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare,
neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rectum.
Konstipasi atau sembelit merupakan kejadian yang paling sering
timbul pada pasien geriatri dan bila menjadi kronik akan menyebabkan
timbulnya inkontinensia alvi. Skibala akan mengiritasi rektum dan
menghasilkan mukus dan cairan. Cairan ini akan membanjiri tinja yang
mengeras dan mempercepat terjadinya inkontinensia. Konstipasi sulit
untuk didefinisikan dan secara teknik biasanya diindentikkan dengan
buang air besar sebanyak tiga kali dalam seminggu.
Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok :
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
2. Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit
pada usus besar.
3. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses
defekasi (inkontinensia neurogenik).
4. Inkontinensia alvi karena hilangnya refleks anal.
2.1.6.2.Manifestasi Klinis
Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000):
1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar
merembes.
2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari,
dipakaian atau ditempat tidur.
Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi
ini dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan
petunjuk untuk diagnosis.
2.1.6.3.Tipe-Tipe Inkontiensia Alvi atau feses
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
Konstipasi merupakan keadaan individu yang mengalami
atau beresiko tinggi mengalami statis usus besar sehingga
menimbulkan eliminasi yang jarang atau keras, atau keluarnya
tinja terlalu kering dan keras.
Tanda Klinis :
a. Adanya feses yang keras
b. Defekasi kurang dari 3x seminggu
c. Menurunnya bising usus
d. Adanya keluhan pada rektum
e. Nyeri saat mengejan dan defekasi
f. Adanya perasaan masih ada sisa feses
Kemungkinan Penyebab :
a. Defek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas karena cidera
serebrosspinalis,CVA, dll.
b. Pola defekasi tidak teratur
c. Nyeri saat defekasi karena hemoroid
d. Menurunnya peristaltik karena stres psikologis
e. Penggunaan obat, seperti penggunaan antasida, laksantiv, atau
anastesi.
f. Proses penuaan (usia lanjut).
Batasan dari konstipasi (obstipasi) masih belum tegas. Secara
teknis dimaksudkan untuk buang air besar kurang dari tiga kali per
minggu. Tetapi banyak penderita sudah mengeluhkan konstipasi
bila ada kesulitan mengeluarkan feses yang keras atau merasa
kurang puas saat buang air besar (Kane dkk, 1989). Konstipasi
sering sekali dijumpai pada lanjut usia dan merupakan penyebab
yang paling utama pada inkontinensia alvi pada lanjut usia
(Brocklehurst dkk, 1987).
Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan
sumbatan/impaksi dari masa feses yang keras (skibala). Masa feses
yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari
anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal.
Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan
antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan
merembes keluar (Broklehurst dkk, 1987).
Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada
mukosa rektum dan terjadi produksi cairan dan mukus, yang
selanjutnya melalui sela-sela dari feses yang impaksi akan keluar
dan terjadi inkontinensia alvi (Kane dkk, 1989). Diagnosis
ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, antara lain
meraba adanya skibala pada colok dubur.
2. Inkontinensia alvi simtomatik
Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan
klinis dari macam-macam kelainan patologik yang dapat
menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan
adanya perubahan berkaian dengan bertambahnya usia dari proses
kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair,
dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan
flatus dan feses yang cair (Brocklehurst dkk, 1987).
Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia
alvi simtomatik ini antara lain gastroenteritis, divertikulitis,
proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulceratif, karsinoma kolon/rektum.
Penyebab lain dari inkontinensia alvi simtomatik misalnya
kelainan metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan
endokrin seperti tiroksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai
komplikasi dari operasi hemoroid yang kurang berhasil dan
prolapsus rekti.
Penyebab yang paling umum dari diare pada usia lanjut usia
adalah obat-obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau
memang akibat pencahar (Brocklehurst dkk, 1987; Robert-
Thomson).
3. Inkontinensia alvi neurogenik
Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguan fungsi
menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi
rektum. Proses normal dari defekasi melalui refleks gastro-kolon.
Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan
menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah
rektum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan
seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari
rektum pada orang dewasa normal, karena ada inhibisi/hambatan
dari pusat di korteks serebri (Brocklehurst dkk, 1987). Bila buang
air besar tidak memungkinkan, maka hal ini tetap ditunda dengan
inhibisi yang disadari terhdap kontraksi rektum dan sfingter
eksternanya. Pada lanjut usia dan terutama pada penderita dengan
penyakit serebrovaskuler, kemampuan untuk menghambat proses
defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang.
Karakteristik inkontinensia neurogenik ini tampak pada
penderita dengan infark serebri multipel, atau penderita demensia.
Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah
berbentuk ditempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau
makan.
4. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat hilangnya refleks anal,
disertai kelemahan otot-otot seran lintang.
Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip
oleh Brocklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit-
unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerah sfingter dan
pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal,
berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus.
Hal ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan
tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rektum. Pengelolaan
inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk
pengobatannya (Brocklehurst dkk, 1987).
5. Inkontinensia alvi akibat konstipasi kolonik
Konstipasi kolonin merupakan keadaan individu yang
mengalamai atau beresiko mengalami perlambatan pasase residu
makanan yang mengakibatkan feses kering dan keras.
Tanda Klinis :
a. Adanya penurunan frekuensi eliminasi
b. Feses kering dan keras
c. Mengejan saat defekasi
d. Nyeri defekasi
e. Adanya distensi pada abdomen
f. Adanya tekanan pada rektum
g. Nyeri abdomen
Kemungkinan Penyebab :
a. Defek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas karena cidera
serebrusspinalis, CVA
b. Pola defkasi yang tidak teratur
c. Efek samping penggunaan obat antasida, anastesi, laksantif dll
d. Menurunnya peristaltik
6. Inkontinensia alvi akibat konstipasi dirasakan
Konstipasi dirasakan merupakan keadaan individu dalam
menentukan sendiri penggunaan laksantif, enema, supositoria
untuk memastikan defkasi setiap harinya.
Tanda Klinis
a. Adanya penggunaan laksansia setiap hari sebagai enema atau
supositoria secara berlebihan.
b. Adanya dugaan pengeluaran feses pada waktu yang sama
setiap hari.
Kemungkinan Penyebab :
a. Persepsi salah akibat depresi.
b. Keyakinan budaya.
7. Inkontinensia alvi akibat diare
Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau
berisiko sering mengalami penegluaran feses dalam bentuk cair,.
Diare sering disertai dengan kejang usus, mungkin disertai oleh
rasa mual dan muntah.
Tanda Klinis :
a. Adanya pengeluaran feses cair.
b. Frekuensi lebih dari 3 kali sehari.
c. Nyeri/kram abdomen.
d. Bising usus meningkat.
Kemungkinan Penyebab :
a. Malabsorpsi atau inflamasi, proses infeksi.
b. Peningkatan peristaltik karena peningkatan metabolisme.
c. Efek tindakan pembedahan usus.
d. Efek penggunaan obat seperti antasida, laksansia, antibiotik dll.
e. Stres psikologis.
8. Inkontinensia alvi akibat kembung
Kembung merupakan keadaan penuh udara dalam perut karena
pengumpulan gas secara berlebihan dalam lambung atau usus.
9. Inkontinensia lavi akibat hemoroid
Hemoroid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di
daerah anus sebagai akibat peningkatan tekanan di daerah anus
yang dapat disebabkan karena konstipasi, peregangan saat defekasi
dll.
10. Fecal Impaction
Fecal impaction merupakan masa feses di lipatan rektum yang
diakibatkan oleh retensi dan akumulasi materi feses yang
berkepanjangan. Penyebab konstipasi adalah asupan kurang,
aktivitas kurang, diet rendah serat, dan kelemahan tonus otot.
2.1.6.4.Patofisiologi Inkontinensia Alvi
Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat
sepanjang hidup. Namun demikian beberapa orang lansia mengalami
ketidaknyamanan akibat motilitas yang melambat. Peristaltic di
esophagus kurang efisien pada lansia. Selain itu, sfingter
gastroesofagus gagal berelaksasi, mengakibatkan pengosongan
esophagus terlambat.keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan
penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster juga
mnurun, akibatnya terjadi keterlambtan pengososngan isis lambung.
Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan menurunkan absorsi besi,
kansium dan vitamin B12.
Absorsi nutrient di usus halus nampaknya juga berkurang dengan
bertambahnya usia namun masih tetap adekuaT. Fungsi hepar, kandung
empedu dan pangkreas tetap dapat di pertahankan, meski terdapat
inefisiensi dalam absorsi dan toleransi terhadap lemak. Impaksi feses
secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter
mengakibatkan inkontinensia alvi.

Reflek defekasi
parasimpatis

Feses masuk rectum

Saraf rectum

Dibawa ke spinal cord


Kembali ke colon desenden,sigmoid dan rectum

Intensifkan peristaltic

Kelemahan spingter interna anus

Inkontinensia alvi

2.1.6.5.Diagnosis
Untuk menentukan diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap
kemungkinan adanya kelainan struktur maupun kelainan saraf yang
bias menyebabkan keadaan ini. Termasuk di dalamnya adalah :
1. Pemeriksaan anus dan rectum
2. Memeriksa tingkat sensasi di sekeliling lubang anus
3. Pemeriksaan sigmoidoiskopi
Mungkin juga di perlukan pemeriksaan fungsi saraf dan lapisan
otot-otot pelvis.
2.1.6.6.Pemeriksaan Penunjang
Terdapat pemeriksaan penunjang pada inkontinensia alvi, yaitu :
1. Anal Manometry : Memeriksa keketatan dari sfingter anal dan
kemampuan sfingter anal dalam merespon sinyal serta sensitivitas
dan fugsi dari rektum. MRI terkadang juga digunakan untuk
mengevaluasi sfingter.
2. Anorectal Ultrasonography : Memeriksa dan mengevaluasi struktur
dari sfingter anal.
3. Proctography : Menunjukan berapa banyak feses yang dapat
ditahan oleh rektum, sebaik apa rektum mampu menahannya dan
sebaik mana rektum mampu mengosongkannya.
4. Progtosigmoidoscopy : Melihat kedalam rektum atau kolon untuk
menemukan tandatanda penyakit atau masalah yang dapat
menyebabkan inkontinensia fekal seperti inflamasi, tumor, atau
jaringan parut.
2.1.6.7.Komplikasi
2.1.6.8.Penatalaksanaan
Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah
timbulnya skibala dan dapat menghindari kejadian inkontinensia alvi.
Langkah utama dalam penanganan sembelit pada pasien geriatri adalah
dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
sembelit. Jika sembelit yang timbul pada pasien geriatri merupakan
suatu keluhan yang baru, maka kemungkinan hal tersebut disebabkan
oleh penyakit kolon, gangguan endokrin dan metabolik, deperesi atau
efek samping obat-obatan.
Untuk pencegahan konstipasi, sebaiknya mengkonsumsi diet yang
cukup cairan dan serat. Dianjurkan untuk mengkonsumsi 4-6 gram
serat kasar sehari (hal ini bisa did apatkan dari 3-4 sendok the biji-
bijian).
Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam penanganan inkotinensia
alvi adalah dengan mengatur waktu ke toilet, meningkatkan mobilisasi,
dan pengaturan posisi tubuh ketika sedang melakukan buang air besar
di toilet. Defekasi sebaiknya dilakukan ditempat yang khusus,
lingkungan yang tenang, dan pada saat timbulnya refleks gastrokolik
yang biasanya timbul lima menit setelah makan.
Pada inkotinensia alvi yang disebabkan oleh gangguan syaraf,
terapi latihan otot dasar panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun
sebagian besar pasien geriatrik dengan dimensia tidak dapat menjalani
terapi tersebut. Pada pasien dengan demensia tahap akhir dengan
inkotinensia alvi, program penjadwalan ke toilet dan penjadwalan
penggunaan obat pencahar secara teratur dapat dilakukan dan efektif
untuk mengontrol defekasi. Usaha terakhir yang dapat dilakukan dalam
penanganan inkontinensia alvi pada pasien ini adalah dengan
menggunakan pampers yang dapat mencegah dari komplikasi.
Rencana Tindakan :
1. Kaji perubahan faktor yang memengaruhi masalah eliminasi alvi.
2. Kurangi faktor yang  memengaruhi terjadinya masalah seperti :
a. Konstipasi secara umum :
1) Membiasakan pasien untuk buang air secara
teratur,misalnya pergi ke kamar mandi satu jam setelah
makan pagidan tinggal di sana sampai ada keinginan untuk
buang air.
2) Meningkatkan asupan cairan dengan banyak  minum.
3) Diet yanag seimbang dan makan bahan makanan yang
banyak mengandung serat.
4) Melakukan latihan fisik, misalya melatih otot perut
5) Mengatur  posisi yang baik untuk buang air
besar,sebaiknya posisi duduk dengan lutut melentur agar
otot punggung dan perut dapat membantu prosesnya.
6) Anjurkan agar tidak memaksakan diri dalam buang besar.
7) Berikan obat laksantif, misalnya Dulcolax atau jenis obat
supositoria.
8) Lakukan enema (huknah).

Isselbacher, dkk.2013.Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam(Harrison’s


Principles Of Internal Medicine) Vol.3 Edisi 13.Jakarta:EGC
Price, Sylvia A & Lorraine M.Wilson.2012.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Vol.1 Edisi 6.Jakarta:EGC
2.2. Kebutuhan Eliminasi Urine
Eliminasi dari saluran kemih biasanya diabaikan. Hanya jika muncul masalah
maka sebagian besar orang baru akan menyadari kebiasaan berkemih mereka dan
menyadari adanya gejala penyerta lain.
Kebiasaan berkemih seseorang bergantung dari budaya social, kebiasaan
pribadi, dan kemampuan fisik. Di Amerika Utara, sebagian besar orang terbiasa
memiliki privasi dan terbiasa dengan lingkungan yang bersih di sekitar mereka
(bahkan dekorasinya) pada saat mereka berkemih.
Kebiasaan seseorang yang berkenaan dengan urinarisasi dipengaruhi oleh etika
social berkemih, ketersediaan fasilitas pribadi yang bersih, dan awal latihan
eliminasi urine mereka. Eliminasi urine sangat penting bagi kesehatan dan berkemih
terlalu besar sehingga tidak dapat dikontrol lagi.
2.2.1. Fisiologi Eliminasi Urine
Eliminasi urine bergantung pada efektivitas fungsi organ saluran
kemih; ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra.
1. Ginjal
Sepasang ginjal terletak di kedua sisi kolumna spinalis, di belakang
rongga peritoneum. Ginjal merupakan pengatur primer keseimbangan
cairan dan asam basa di dalam tubuh. Unit fungsional ginjal, yaitu nefron,
menyaring darah dan membuang sampah metabolisme. Pada orang
dewasa, sekitar 1200 mL darah, atau sekitar 21% curah jantung, mengalir
melalui ginjal setiap menit. Setiap ginjal terdiri dari sekitar 1 juta nefron.
Setiap nefron memiliki glomerulus, seikat kapiler yang dikelilingi oleh
kapsula bowmen. Endothelium kapiler glomerulus memili membrane,
sehingga memungkinkan cairan dan zat terlarut dengan mudah
meUnembus membrane ini menuju kapsula. Namun, protein plasma dan
sel darah terlalu besar untuk dapat menyebrangi membrane ini secara
normal. Filtrate glomerulus memiliki komposisi yang sama dengan
plasma, yang terdiri atas air, elektrolit, glukosa, asam amino, dan sisa
metabolik.
Dari kapsula bowmwn, filtrate mengalir ke tubulus nefron. Di
tubulus kontortus proksimal, sebagian besar air dan elektrolit diserap
kembali. Zat terlarut sebagai glukosa diserap kembali di ansa Henle, tetapi
di area yang sama, zat lain disekresikan ke dalam filtrate, sehingga
memekatkan urine. Dalam tubuh kontortus distal, air dan natrium tambah
diserap kembali di bawah pengaruh hormone seperti ADH (hormone
antideuretik) dan aldosteron. Reabsorpsi terkontrol ini memungkinkan
pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit yang baik di dalam tubuh.
Apabila asupan cairan rendah atau konsentrasi zat terlarut di dalam darah
tinggi, ADH dilepaskan dari hiposfisis anterior, lebih banyak air
diabsorpsi di tubulus distal, dan lebih sedikit urine yang di eksresikan.
Sebaliknya, jika asupan cairan tinggi atau konsentrasi zat terlarut dalam
darah rendah, ADH ditekan. Tanpa ADH, tubulus distal menjadi tidak
permeable terhadap air, dan lebih banyak urine yang dieksresikan.
Aldosteron juga memengaruhi tubulus. Apabila aldosteron dilepaskan dari
korteks adrenal, natrium dan air direabsorpsi dalam jumlah besar, yang
meningkatkan volume darah dan menurunkan haluan urine.
2. Ureter
Setelah urine dibentuk di ginjal, urine mengalir melalui duktus
pengumpul menuju kaliks pelvis ginjal dan kemudian menuju ureter.
Panjang ureter orang dewasa adalah 25 sampai 30 cm dan diameternya
sekitar 1,25 cm. bagian ujung atas setiap ureter yang masuk ke dalam
ginjal berbentuk seperti corong. Bagian ujung bawah ureter memasuki
kandung kemih di ujung posterior dasar kandung kemih. Di laut antara
ureter dan kandung kemih. Di taut antara ureter dan kandung kemih,
lipatan membrane mukosa yang berbentuk seperti gelambir bekerja
sebagai sebuah katup untuk mencegah refluks (aliran balik) urine ke
ureter.
3. Kandung Kemih
Kandung kemih adalah sebuah organ muskular berongga, yang
berfungsi sebagai sebuah reservoir urine dan sebagai organ ekskresi.
Apabila kosong, kandung kemih terletak di belakang simfisis pubis. Pada
pria, kandung kemih terletak di depan rektum dan di atas glandula prostat.
Pada wanita, kandung kemih terletak di depan uterus dan vagina. Dinding
kandung kemih tersusun atas empat lapisan: (a) lapisan mukosa dalam, (b)
lapisan jaringan ikat, (c) tiga lapis serat otot polos, beberapa diantaranya
memanjang, beberapa yang lain miring, dan beberapa lagi kurang lebih
berbentuk lingkaran, dan (d) lapisan serosa luar. Kumpulan lapisan otot
polos secara kolektif disebut otot detrusor. Trigonum di dasar kandung
kemih adalah sebuah area berbentuk segitiga yang ditandai dengan dua
lubang ureter di ujung posterior dan lubang uretra diujung inferior
anterior.
Kandung kemih mampu berdistensi secara bermakna karena terdapat
rugae (lipatan) di lapisan membran mukosa dan karena elastisitas
dindingnya. Pada saat penuh, kubah kandung kemih dapat memanjang
hingga melebihi simiisis pubis; dalam situasi ekstrem, kandung kemih
dapat memanjang hingga setinggi umbilikus.
4. Uretra
Uretra memanjang dari kandung kemih ke meatus (lubang) uranium.
Pada wanita dewasa, uretra berada tepat di belakang simfisis pubis, di
depan vagina, dan panjangnya sekitar 3,7 cm. Uretra hanya berfungsi
sebagai saluran eliminasi urine Meatus urinarius terdapat di antara labia
minora, di depan vagina, dan di bawah klitoris. Panjang uretra pria adalah
sekitar 20 cm dan berfungsi sebagai saluran keluar semen dan urine.
Meatus terletak di ujung distal penis.
Otot slingter internal yang berada di dasar kandung kemih berada di
bawah kontrol mvolunter. Otot sfingter eksternal berada di bawah kontrol
volunter, yang memungkinkan individu memilih kapan waktu urine
dieliminasikan. Pada pria dan wanita, uretra memiliki lapisan membran
mukosa yang bersambungan dengan kandung kemih dan ureter. Dengan
demikian, infeksi uretra dapat meluas dari saluran kemih ke ginjal. Wanita
terutama rentan terkena infeksi saluran kemih karena uretra mereka yang
pendek dan karena kedekatan meatus urinarius ke vagina dan anus.
5. Urinasi
Mikturisi, berkemih, dan urinasi adalah proses pengosongan kandung
kemih. Urine terkumpul di kandung kemih sampai tekanan menstimulasi
ujung saraf sensorik khusus di dinding kemih yang disebut reseptor
regang'. Ini terjadi jika kandung kemih orang dewasa berisi antara 250
sampai 450 mL urine. Pada anak-anak, volume yang jauh lebih sedikit, 50
sampai 200 mL, menstimulasi saraf ini.
Reseptor regang mengirimkan impuls ke medula spinalis, terutama ke
pusat reiieks berkemih yang berada di vertebra sakralis kedua sampai
keempat, sehingga menyebabkan siingter internal berelaksasi dan
menstimulasi desakan untuk berkemih. Apabila waktu dan tempatnya
tepat untuk urinasi, bagian otak yang sadar akan merelaksasi otot siingter
uretra eksternal dan urinasi terajadi. Apabila waktu dan tempat tidak tepat,
masks mikturisi biasanya mereda sampai kandung kemih menjadi lebih
penuh dan refleks terstimulasi kembali.
Kontrol urinasi secara volunter hanya memungkinkan jika saraf yang
menyuplai kandung kemih dan uretra, sistem saraf medula spinalis dan
otak, dan area motorik serebrum utuh. Individu harus mampu merasakan
bahwa kandung kemihnya penuh. Cedera pada salah satu bagian sistem
saraf ini misalnya, karena perdarahan otak atau cedera medula spinalis di
atas tinggi sakralis-menyebabkan pengosongan kandung kemih terjadi
secara intermiten dan involunter. Lansia yang kognisinya terganggu
mungkin tidak menyadari kebutuhan untuk berkemih atau tidak mampu
berespons terhadap desakan ini dengan mencari fasilitas toilet.
2.2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Berkemih
Beragam faktor memengaruhi volume dan karakteristik urine yang
dihasilkan dan cara urine diekskresikan.
1. Faktor Perkembangan
a. Bayi
Haluaran urine bervariasi sesuai dengan asupan cairan tetapi
secara bertahap meningkat menjadi 250 sampm 500 mL sehari selama
tahun pertama. Seorang bayi dapat berkemih sampai 20 kali sehari.
Urine neonatus tidak berwarna dan tidak berbau serta memiliki berat
jenis 1,008. Karena bayi baru lahir dan bayi memiliki ginjal yang
belum matang, mereka tidak mampu memekatkan urine dengan
sangat efektif.
Bayi dilahirkan tanpa kontrol urine. Sebagian besar akan
mengembangkan kemampuan untuk mengontrol urine pada usia
antara 2 dan 5 tahun. Kontrol selama siang hari normalnya terjadi
lebih dulu dari pada kontrol di malam hari.
b. Prasekolah
Anak prasekolah mampu memikul tanggung jawab untuk
melakukan eliminasi secara mandiri. Orang tua perlu menyadari
bahwa ketidaksengajaan bisa saja terjadi dan jangan menghukum atau
mengganjar anak karena hal ini. Anak-anak sering kali lupa mencuci
tangan mereka atau menyiram toilet serta memerlukan instruksi untuk
mengelap alat kelamin mereka setelah berkemih. Anak perempuan
harus diajarkan untuk mengelap dari depan ke belakang untuk
mencegah kontaminasi saluran urine dengan feses.
c. Anak Usia Sekolah
Sistem eliminasi anak usia sekolah mencapai kematangan pada
periode ini. Ukuran ginjal menjadi dua kali lebih besar antara usia 5
dan 10 tahun. Selama periode ini, anak berkemih sebanyak enam
sampai delapan kali sehari. Enuresis, yang didefinisikan sebagai
pengeluaran urine secara involunter saat kontrol seharusnya sudah
ajeg (sekitar usia 5 tahun), dapat menjadi masalah bagi beberapa anak
usia sekolah. Sekitar 10% anak berusia 6 tahun mengalami kesulitan
untuk mengontrol kandung kemihnya. Enuresis nokturnal, atau
ngompol, adalah pengeluaran urine secara involunter selama tidur.
Ngompol tidak boleh dianggap masalah sampai setelah anak berusia 6
tahun. Enuresis nokturnal dapat dianggap primer jika anak belum
pernah bisa mengendalikan kemih di malam hari. Penyebab
terseringnya adalah karena predisposisi genetik dan keterlambatan
kematangan (Cendron, 1999). lnsidensi enuresis nokturnal menurun
saat anak telah matur. Enuresis sekunder adalah enuresis yang terkait
dengan masalah fisik lain seperti stres atau penyakit dan sembuh jika
penyebabnya dihilangkan.
d. Lansia
Fungsi ekskresi ginjal berkurang seiring dengan pertambahan
usia, tetapi biasanya tidak berkurang secara bermakna sampai di
bawah tingkat normal kecuali terganggu oleh proses penyakit. Aliran
darah dapat berkurang karena arteriosklerosis, yang mengganggu
fungsi ginjal. Seiring dengan pertambahan usia, jumlah fungsi nefron
menurun beberapa derajat, mengganggu kemampuan penyaringan
ginjal. Kondisi yang mengubah asupan dan haluaran cairan normal,
seperti terkena influenza atau mengalami pembedahan, dapat
menurunkan kemampuan ginjal untuk menyaring, mempertahankan
keseimbangan asam basa, dan mempertahankan keseimbangan
elektrolit pada lansia. Kondisi tersebut juga menyebabkan lamanya
fungsi ginjal untuk kembali normal. Penurunan fungsi ginjal juga
membuat lansia berisiko mengalami keracunan obat bila laju ekskresi
lebih lama.
Perubahan yang lebih mencolok karena pertambahan usia adalah
perubahan yang terkait dengan kandung kemih. Keluhan desakan
berkemih dan sering berkemih kerap terjadi. Pada pria, perubahan ini
sering kali terjadi karena pembesaran kelenjar prostat dan pada wanita
terjadi karena kelemahan otot yang menyokong kandung kemih atau
kelemahan sfingter uretra, Kapasitas kandung kemih dan
kemampuannya untuk mengeluarkan urine secara total dari kandung
kemih berkurang seiring dengan pertambahan usia. Ini menjelaskan
alasan perlunya lansia untuk bangun di malam hari untuk berkemih
(frekuensi [sering berkemih) nokturnal) dan retensi residu urine, yang
menyebabkan lansia terkena infeksi kandung kemih.
2. Faktor Psikososial
Bagi banyak orang, serangkaian keadaan membantu menstimulasi
retieks berkemih. Kondisi ini meliputi privasi, posisi normal, kecukupan
waktu, dan, terkadang, air mengalir. Situasi yang berlawanan dengan yang
biasa dihadapi klien dapat menimbulkan ansietas dan ketegangan otot.
Akibatnya, seseorang tidak dapat merelaksasikan otot abdomen dan
perineum serta shngter uretra eksternal dan berkemih terhambat.
Seseorang juga dapat menahan urinasi secara sengaja karena adanya
tekanan waktu; misalnya, perawat sering kali mengabaikan desakan
berkemih sampai mereka dapat beristirahat. Perilaku ini dapat
meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.
3. Asupan Cairan dan Makanan
Tubuh yang sehat mempertahankan keseimbangan antara jumlah
cairan yang ditelan dan jumlah cairan yang dikeluarkan. Oleh karena itu,
apabila jumlah asupan cairan meningkat, haluaran cairan secara normal
juga mening, kat. Cairan tertentu, seperti alkohol, meningkatkan haluaran
cairan dengan menghambat produksi hormon antidiuretik. Cairan yang
mengandung kafein (mis., kopi, teh, dan minuman kola) juga
meningkatkan produksi urine. Sebaliknya, makanan dan cairan tinggi
natrium dapat menyebabkan retensi cairan karena air ditahan untuk
mempertahankan kenorrnalan konsentrasi elektrolit.
Beberapa makanan dan cairan dapat mengubah warna urine.
Misalnya, bit dapat menyebabkan urine berwarna merah; makanan yang
mengandung karoten juga mednyebabkan urine tampak berwarna lebih
kuning dibandingkan biasanya.
4. Obat-Obatan
Banyak obat-obatan, terutama yang memengaruhi sistem saraf
otonom, mengganggu proses urinasi normal dan dapat menyebabkan
retensi. Diuretik (mis., klorotiazid dan furosemid) meningkatkan
pembentukan urine dengan mencegah reabsopsi air dan elektrolit dari
tubulus ginjal ke aliran darah. Beberapa obat dapat mengubah wama
urine.
5. Tonus Otot
Tonus otot yang baik penting untuk mempertahankan tegangan dan
kontraktilitas otot detrusor sehingga kandung kemih dapat diisi secara
adekuat dan dikosongkan secara total. Klien yang memerlukan kateter
retensi untuk periode waktu lama mungkin memiliki tonus otot kandung
kemih yang buruk karena drainase urine secara berkelanjutan mencegah
pengisian dan pengosongan kandung kemih secara normal. Tonus otot
abdomen dan panggul juga turut berperan: Kontraksi otot abdomen
membantu pengosongan kandung kemih; tonus otot panggul merupakan
sebuah faktor agar dapat menahan Urine secara sengaja setelah dirasakan
adanya desakan untuk berkemih.
6. Kondisi Patologis
Beberapa penyakit dan patologi dapat memengaruhi pembentukan
dan ekskresi urine. Penyakit ginjal dapat memengaruhi kemampuan
nefron untuk menghasilkan urine. Jumlah protein atau sel darah yang
abnormal mungkin terdapat dalam urine, atau ginjal mungkin pada
akhirnya berhenti menghasrlkan urine sama sekali. sebuah kondisi yang
dikenal sebagai gagal ginjal. Gangguan jantung dan sirkulasi seperti gagal
jantung. syok, atau hipertensi dapat memengaruhi aliran darah ke ginjal,
yang mengganggu produksi urine. Apabila sejumlah besar cairan hilang
melalui rute lain (mis., muntah atau demam tinggi), air ditahan oleh ginjal
dan haluaran kemih tidak terjadi.
Proses yang mengganggu aliran urine dari ginjal ke uretra
memengaruhi ekskresi urine. Batu kemih (kalkulus) dapat menyumbat
ureter, yang menghambat aliran urine dari ginjal ke kandung kemih.
Hipertroti kelenjar prostat, sebuah kondisi yang sering terjadi pada pria
lansia, dapat menyumbat uretra, mengganggu urinasi dan pengosongan
kandung kemih.
7. Prosedur Bedah dan Diagnostik
Beberapa prosedur bedah dan diagnostik memengaruhi pengeluaran
kemih dan kemih itu sendiri. Uretra dapat bengkak setelah sistoskopi dan
prosedur bedah di suatu bagian di saluran kemih dapat menimbulkan
sedikit perdarahan pascaoperasi; akibatnya, urine dapat berwarna merah
atau merah muda untuk sementara waktu. Anestesi spinal dapat
memengaruhi pengeluaran urine karena menamakan kesadaran klien
tentang kebutuhan untuk berkemih. Pembedahan pada struktur yang
berada di dekat saluran kemih (mis., uterus) dapat juga memengaruhi
berkemih karena adanya pembengkakan di abdomen bawah.
2.2.3. Fisiologi Berkemih
Fisiologi berkemih secara umum Menurut (Gibson;2003) dapat dilihat pada
bagan

Urine masuk ke kandung kemih

Akan terjadi peregangan serat otot dinding


kandung kemih

Impuls berjalan melalui saraf aferen ke pars lumbalis


medulla spinalis dan d transmisikan ke keorteks serebri

Selanjutnya merangsang ingin buang air Miksi dikontrol saraf aferen menuju kandung
kecil kemih, Impuls berjalan menuju saraf
parasimpatis sakralis menyebabkan hal
sebagai berikut :

1. Otot dinding kandung kemih


Pengeluaran urin diabantu kontraksi otot dinding berkontraksi
abdomen dan diagfragma, selain itu adanya 2. Sfingter kandung kemih relaksasi
penambahan tekanan di dalan kandung kemih yakni
sebelumnya telah ada 170-230 ml urine
2.2.4. Inkontinensia Urine
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan. Jika inkontinensia utin terjadi
akibat kelainan inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara.
Namun, jika kejadian timbul karena kelainan neurologi yang serius
(paraplegia), kemungkinan besar sifatnya akan permanen.

Inkontinensia urin bukan konsekuensi normal dari proses penuaan,


namun perubahan fraktus urinarius yang berkaitan dengan usia merupakan
predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia urin. Usia, jenis
kelamin serta jumlah persalinan per vaginam yang pernah dialami
sebelumnya merupakan faktor risiko yang sudah dipastikan dan secara
parsial menyebabkan peningkatan insidensnya pada wanita. Faktor risiko lain
yang diperkirakan merupakan penyebab gangguan ini adalah infeksi saluran
kemih, menopause, pembedahan uroggenital, penyakit kronis dan
penggunaan berbagai obat. Gejala ruam, dekbuitus, infeksi kulit serta saluran
kemih dan pembatasan aktivitas merupakan konsekuensi dari inkontinensia
urin.

2.2.4.1. Etiologi

Secara umum dengan penyebab inkontinensia urin merupakan


kelainan urologis, neurologis dan fungsional. Kalainan urologis
pada inkontinensia urin dapat disebabkan karena adanya tumor,
batu, atau radang. Kelainan neurologis sebagai kerusakan pada pusat
miksi di pons, antara pons atau sakral medula spinalis, serta radiks
S2-S4 akan terjadi menimbulkan gangguan dari fungsi kandung
kemih dan hilang sensibilitas kandung kemih. (Setiati dan
Pramantara, 2007).

Pada wanita, kelemahan otot spingter pada outlet sampai


kandung kemih sering kali disebabkan oleh kelahiran multipel
sehingga pengeluaran urine dari kandungan kemih tidak mampu
dicegah selama masa peningkatan tekanan pada kandung kemih.
Adanya tekanan di dalam abdomen, seperti bersin, batuk, atau saat
latihan juga merupakan faktor kontribusi. Pembesaran kelenjar
prostat pada pria adalah penyebab yang paling umum terjadinya
obstruksi aliran urine dari kandung kemih. Kondisi ini menyebabkan
inkiontinenia karena adanya mekanisme overflow. Namun,
inkontinesia ini dapat juga disebabkan oleh adanya obstruksi yang
berakibat konstipasi dan juga adanya massa maligna (cancer) dalam
pelvis yang dialami oleh pria dan wanita. Akibat dari obstruksi,
tonus kandung kemih akn menghilang sehingga disebut kandung
kemih atonik. Kandung kemih yang kondisinya penuh gagal
berkontraksi, akan tetapi kemudian menyebabkan oveflow, sehingga
terjadi inkontinensia.

Apapun penyebabnya, inkontinensia dapat terjadi saat tekanan


urine di dalam kandung kemih menguasi kemampuan otot spingter
internal dan eksternal (yang berturut-turut baik secara sadar maupun
tidak sadar) untuk menahan urine, tetap berada dalam kandung
kemih. Meskipun berbagai penyebab inkontinensia menghasilkan
proses yag sederhana, tetapi inkontinensia perlu dikategorisasikan,
seperti yang telah di tetapkan oleh perhimpunan kontinensia
internasional.

2.2.4.2. Tipe-Tipe Inkontinensia Urine

1. Inkontinensia akibat stres merupakan eliminasi urin diluar


keinginan melalui uretra sebagai akibat dari peningkatan
mendadak pada tekanan intra-abdomen. Urine yang keluar
kurang dari 50 mL. Kondisi ini biasanya terjadi ketika seseorang
batuk, tertawa, bersin, berolahraga atau gerakan lain yang
meningkatkan tekanan intraabdomen dan dengan demikian
meningkatkan tekanan pada kandung kemih. Tipe inkontinensia
ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan
oleh cedera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan
eksterinsik pelvis, fistula, disfungsi destrusor dan sejumlah
keadaan lainnya. Disamping itu, gangguan ini dapat terjadi
akibat kelainan kongenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter
ektopik).

2. Urgence incontinance, terjadi bila pasien merasakan dorongan


atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu menahanya
cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus,
kontraksi kandung kemih yang tidak di hambat merupakan
faktor yang menyertai, keadaan ini dapat terjadi pada pasien
disfungsi neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi
kandung kemih atau pada pasien dengan gejala lokal iritasi
akibat infeksi saluran kemih atau tumor kandung kemih.

3. Overflow Incontinence, ditandai oleh eliminasi urin yang sering


dan kadang terjadi hampir terus-menerus dari kandung kemih.
Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal
dan mengalami distensi berlebihan. Meskipun eliminasi urin
terjadi dengan sering, kandung kemih tidak pernah kosong.
Overflow incontinence dapat disebabkan oleh kelainan neurologi
(yaitu lesi medula spinalis)atau faktor yang menyumbat saluran
keluar urin (penggunaan obat-obatan, tumor, striktur dan
hiperlasia prosestat).

4. Inkontinensia fungsional, merupakan merupakan keadaan ketika


seseorang dapat merasakan dorongan untuk berkemih, tetapi
tidak dapat menahannya hingga mencapai toilet. Inkontinensia
dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada
faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat
pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya
demensia Alzhemier)atau gangguan fisik yang menyebabkan
pasien sulit atau tidak mengukin menjangkau toilet untuk
melakukan urinasi.

5. Inkontinensia refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan ketika pengeluaran
urine tidak dirasakan. Urine langsung dikeluarkan pada interval
tertentu ketika kandung kemih mencapai jumlah tertentu.
Inkontinensia refleks dapat disebabkan oleh gangguan saraf
akibat penyakit diabetes. kerusakan neurologis (lesi medula
spinalis), dan penyumbatan saluran kencing.

2.2.4.3. Manifestasi Klinis Inkontinensia Urine

1. Inkontinensia stress : Keluarnya urin selama batuk, mengedan,


dan sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk
inkontinensia stress.
2. Inkontinensia urgensi : ketidak mampuan menahan keluarnya
urin dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
3. Enuresis nocturnal : 10% anak usian 5 tahun dan 5% anak usia
10 tahun mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang
lebih tua merupakan sesuatu yang abnormal dan menunjukan
adanya kandung kemih yang tidak stabil.
4. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia),
obstruksi(pancara lemah, menetes), trauma (termasuk
pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal), fistula
(menetes terus menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual
atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapat
menunjukan penyakit yang mendasari.
5. Ketidaknyamanan daerah pubis.
6. Distensi vesika urinaria.
7. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
8. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine (20-50
ml).
9. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan
asupannya.
10. Meningkatkan keresahan dan keinginanan berkemih.
11. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
12. Tidak merasakan urine keluar.
13. Kandung kemih terasa penuh walaupun telah buang air kecil.
2.2.4.4. Patofisiologi Inkontinensia Urine

Pengendalian kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar


terjadi pengeluaran urin secara kontinen. Pengendalian memerlukan
kegiatan otot normal diluar kesadaran dan yang di dalam kesadaran
yang dikoordinasi oleh reflex urethrovesica urinaria. Pengertian
tentang keteraturan stimulus saraf dan kegiatan otot dapat membantu
perawat bagaimana kontinen dapat dapat dipertahankan.
Bila terjadi pengisian kandung kecing, tekanan didalam
kandung kemih meningkat. Otot detrusor (lapisan yang tiga dari
dinding kandung kencing) memberikan respon dengan relaksasi agar
memperbesar volume daya tampung. Bila titik daya tampung telah
dicapai, biasanya 150 sampai 200 ml urin daya rentang reseptor
yang terletak pada dinding kandung kemih mendapat rangsang.
Stimulus ditransmisi lewat serabut reflek eferan ke lengkungan
pusat reflex untuk mikstrurirasi. Impuls kemudian disalurkan
melalui serabut eferen dari lengkungan refleks ke kandung kemih,
menyebabkan kontraksi otot detrusor.
Sfinkter interna yang dalam keadaan normal menutup,
serentak bersama-sama membuka dan urin masuk ke urethra
posterior. Relaksasi sfinkter eksterna dan otot perincal mengikuti
dan isi kandung kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan refleks bisa
mengalami interupsi dan berkemih ditangguhkan melalui
dikeluarkannya impuls inhibitori dari pusat kortek yang berdampak
kontraksi diluar kesadaran dari sfinker eksterna. Bila salah satu
bagian dari fungsi yang komlek ini rusak, bisa terjadi inkontinensia
urin.
Bentuk inkontinensia ini seringkali tidak ada hubungan
dengan kelainan patologi pada tingkat otak. Cerebral clouding
terjadi juga pada orang sakit akut yang menderita begitu sakit
sehingga otak tumpul. Mereka tidak dapat berfikir dan tidak
mempunyai energy untuk mengendalikan di luar kesadaran.
Demikian juga seseorang dalam keadaan koma mengalami
inkontinen, karena hilangnya kemampuan diluar kesadaran
pembukaan sfinter eksterna. Bila air kencing sudah masuk ke
urethra posterior, kandung kencing berkontraksi dan air kemih
keluar. Hal seperti ini menyebabkan kenapa seseorang berkemih
pada waktu anesthesia.
Infeksi dimana saja pada saluran kemih dapat berdampak
inkontinen, karena bakteri pada saluran kemih menyebabkan iritasi
pada lapisan mukosa kandung kemih dan menstimulir rethrovesica
urinaria. Inkontinen terjadi sebagai dampak dari ketidakmampuan
untuk menahan reflek urethro vesica urinaria dengan sempurna oleh
pusat-pusat yang lebih tinggi.
Gangguan reflek urethro vesicalis dapat terjadi karena lesi
tulang sum-sum belakang atau rusak saraf perifer dari kandung
kemih. Bentuk kontinen ini dapat terlihat pada orang dengan
malforsi sum-sum belakang, cedera, tumor dan pada mereka dengan
komprs sum-sum akibat patah vertebra, diskus yang hernia, tumor
metastase di sum-sum belakang pasca bedah. Bentuk kesulitan ini
dapat berakibat kepada dua jenis respon yang dikenal sebagai
neurogenik vesicalis. Orang yang menderita neurogenic vesikalis
tidak mempunyai cara untuk mengetahui kapan berkemih itu terjadi.
Cedera diatas tingkat S2 dari sum-sum belakang atau gangguan
pusat cerebrocortical tidak merusak reflek berkemih, walupun bisa
menghilangkan keteraturan. Lesi bisa merusak potensi kortek untuk
menahan reflek. Dampaknya adalah “motor neuron atas” atau
kandung kencing yang automatis. Kandung kemih menjadi
hipertosis dan hanya mempunyai sedikit kapasitas (kurang dari 150
ml). Peningkatan tonus detrusor dan peningkatan sensitifitas
terhadap jumlah urin yang sedikit di dalam kandung kemih
berdampak mendahului reflek berkemih dan berpotensi terjadi
refluks vesicourethral.
Kerusakan saraf cauda equina atau segmen sakrum bisa
berdampak pada lengkungan refleks oleh interupsi aferennya,
eferannya oleh komponen sentral. Berakibat terjadi “motor neuron
bawah” atau kandung kemih lemah. Kandung kemih menjadi
hipotonis dengan kapasitas 500 ml atau lebih. Inkontinensia luapan,
retensi residu urin, dan potensi vesicourethra refluks merupakan
masalah yang didorong oleh kandung kemih yang hipotosis.
Inkontinensia karena luapan dianggap disebabkan oleh tekanan dari
kandung kemih yang distensi oleh otot-otot abdomen. Residu urin
adalah, urin yang masih berada di dalam kandung kemih setelah
pengosongan yang tidak sempurna, merupakan media untuk
berkembangnya bakteri dan infeksi saluran kemih menjadi lumrah.
Kerusakan jaringan dari sfingter kandung kemih oleh
instrumen, bedah atau kecelakaan, parut yang ditinggalkan infeksi,
lesi yang mengenai sfingter atau relaksasi struktur perineum dapat
berakibat intontinenensia urin. Sebab inkontinen yang akhir kadang-
kadang sering timbul setelah melahirkan anak. Masalah sifatnya
lokal dan tidak menyangkut saraf.
Patofisiologi Inkontinensia Urin

Perubahan Neurologik Perubahan struktur kandung


kemih (degenerative)

Perubahan otot urinari


Gangguan kontrol berkemih

Defisiensi tahanan urethra Tekanan dalam Kandung kemih

Inkontinensia Urin

Inkontinensia Urgensi
Inkontinensia Stress
Status kesehatan berubah Tekanan kandung kemih >
Otot detrusor tidak stabil tekanan urethra

ansietas

Reaksi otot berlebihan Tekanan pada rongga perut

Kencing mendadak Kencing di malam Kencing berulang Kandung kemih bocor


hari kali

batuk bersin tertawa mengedan


Inkontinensia Gangguan Pola
Urinarius Dorongan Tidur
Rembesan urin

Mengenai area
genitalia

Resiko kerusakan
integritas kulit
Inkontinensia Total Inkontinensia Overflow

Adanya fistula Diabetes, cedera sumsum


tl. Belakang, saluran
kencing tersumbat
Vistula vesiko vaginalis
atau vistula uretrovaginalis
Gangguan saraf

Vistula vesiko vaginalis


atau vistula uretrovaginalis Otot detrusor lemah

Urin di kandung kemih


Inkontinensia Bedrest
Urinarius Total
Kapasitas urin di kandung
Immobilitas kemih berlebih

Isolasi Sosial Risiko Infeksi Defisit Perawatan


Diri

Tidak puas setelah Urin yg keluar Pancaran lemah


BAK sedikit

Gangguan Rasa Nyaman Inkontinensia Urinarius


Aliran Berlebih
2.2.4.5. Pemeriksaan Diagnostik Inkontinensia Urine
1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin (Menurut Ouslander)
Tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan
inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan
menentukan tipe inkontinensia.
2. Mengukur sisa urine setelah berkemih
Dilakukan dengan cara setelah buang air kecil, pasang
kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100
cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat. Urinalisis,
dilakukan terhadap spesimen urine yang bersih untuk
mendeteksi adanya factor yang berperan terhadap terjadinya
inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri,
glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu
dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas.
3. Tes lanjutan tersebut adalah :
a. Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea
nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi. Tes
urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan fungsi
saluran kemih bagian bawah.
b. Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di dalam
urethra saat istirahat dan saat dinamis.
4. Imaging adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan
bawah
Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat
dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urine
pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis.
Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound
atau kateterisasi urine. Merembesnya urin pada saat dilakukan
penekanan dapat juga dilakukan.
5. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih
penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta
untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau
berdiri. Merembesnya urin sering kali dapat dilihat. Informasi
yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan
berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak
terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
6. Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium
serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang
menyebabkan poliuri.
7. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola
berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan
jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak
inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia
urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3
hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon
terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena
dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya
inkontinensia urin pada dirinya.
8. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan
glukosa dalam urine.
9. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan
menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan
mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
10. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung
kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor,
tekanan dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih
terhadap rangsangan panas.
11. Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur
laju aliran ketika pasien berkemih
a. Urografi ekskretorik, disebut juga pielografi intravena,
digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal,
ureter dan kandung kemih.
b. Kateterisasi residu pascakemih, digunakan untuk
menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan
jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah
pasien berkemih.
12. Sistometrogram dan elektromiogram.
Dilakukan untuk mengevaluasi otot detrusor, spingter dan
otot perineum.
13. USG kandung kemih, sistoskopi dan IVP.
Dilakukan untuk mengkaji struktur dan fungsi saluran kemih.
2.2.4.6. Komplikasi
1. Masalah kulit
Inkontinensia urin dapat menyebabkan ruam, infeksi kulit
dan luka (ulkus kulit) dari kulit selalu basah
2. Infeksi saluran kemih
Inkontinensia meningkatkan risiko infeksi saliran kemih
berulang
3. Perubahan dalam kegiatan kerja
Inkontinensia urin negatif dapaat mempengaruhi kehidupan
kerja anda. Dorongan anda untuk buang air kecil dapat
menyebabkan harus sering ke toilet. Juga dapat mengganggu
konsentrasi di tempat kerja atau membuat anda terjaga di
malam hari.
4. Perubahan dalam kehidupan pribadi
Mungkin yang paling menyedihkan adalah dampak
inkontinensia dalam kehidupan pribadi. Keluarga mungkin
tidak dapat memahami perilaku anda atau dapat tumbuh
frustasi karna seringnya ke toilet. Keintiman seksual bisa
berkurang karena malu yang disebabkan oleh kebocoran
urin.
2.2.4.7. Penatalaksanaan Inkontinensia Urine
Penanganan inkontinensia urin begantung pada faktor
penyebab yang mendasarinya. Namum demikian, sebelum terapi
yang tepat dimulai, munculnya masalah ini hari diidentifikasi
kemungkinan keberhasilanya terapi diakui. Upaya yang bersifat
interdispliner dan kolaboratif sering sangat penting dalam mengkaji
dan mengatasi inkontinensia urin secara efektif.
Inkontinensia urin dapat bersifat sepintas atau reversibel,
setelah penyebab yang mendasari berhasil diatasi, pola urinasi
pasien akan kembali normal. Penyebab yang bersifat revresibel dan
sering terjadi secara singkat dan diingat melalui singkatan
DIAPPERS. Penyebab ini mencakup keadaan, delirium, infeksi
saluran kemih, atrofik vaginitis atau uretritis, pharmacologic
agent( preparat antikolonergik, preparat adrenergik), psychologi
factors (depresi, regresi), excessive urin production (asupan cairan
yang berlebihan, kelainan endokrin yang menyebabkan diuresis),
aktivitas yang terbatas, impaksi fekal.
1. Kateterisasi, ada tiga macam kateterisasi pada inkontinensia
urine :
a. Kateterisasi luar : terutama pada pria yang memakai system
kateter kondom. Efek samping yang utama adalah iritasipad
kulit dan sering lepas.
b. Katerisasi intermiten : katerisasi secara intermiten dapat
dicoba, terutama pada wanita lanjut usia yang menderita
inkontinensia urine. Frekuensi pemasangan 2-4x sehari
dengan sangat memperhatikan sterilisasi dan tehnik
prosedurnya.
c. Kateterisasi secara menetap : pemasangan kateter secara
menetap harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang
tepat. Misalnya untuk ulkus dekubitus yang terganggu
penyembuhannya karena ada inkontinensia urine ini.
Komplikasi dari kateterisasi secara terus-menerus ini
disamping infeksi. Juga menyebabkan batu kandung kemih,
abses ginjal dan bahkan proses keganasan dari saluran
kemih.
2. Medikasi
a. Estrogen, untuk mengurangi atropik vanigitis uretra dan
memulihkan uretra yang supel
b. Antikolinergik, untuk mengurangi spastisitas kandung
kemih, relaksasi otot.
c. Kolinergik, untuk memperbaiki kandung kemih yang flaksid
dengan menstimulasi kontraksi kandung kemih.
d. Penyekat alfa-adrenergik, untuk mengurangi spastisitas
leher kandung kemih
e. Simpatomimetik, untuk meningkatkan tonus leher kandung
kemih dan uretra
f. Penyekat saluran kalsium, untuk mengurangi kontraksi otot
detrusor.
3. Diet
Modifikasi diet terdiri dari penjadwalan asupan cairan.
Asupan cairan setelah makan malam perlu dikurangi.makanan
yang dapat menstimulasi kandung kemih perlu dihindari,
misalnya kopi, the, alcohol, dan cokelat.
4. Pengelolaan inkontinensia urine pada penderita usia lanjut,
secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut :
a. Program rehabilitasi
1) Melatih respon kandung kemih agar kembali baik lagi.
2) Melatih perilaku berkemih.
3) Latihan otot-otot dasar panggul.
4) Modifikasi tempat untuk berkemih.
5) Kateterisasi baik secara berkala atau menetap.
6) Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung
kemih, esterogen.
7) Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab
sumbatan atau keadaan patologi lain.
Penatalaksanaan bedah :
Koreksi dengan pembedahan mungkin diperlukan untuk
mengatasi inkontinensia stres. Ada bebrbagai macam tindakan yang
dapat dilakukan: perbaikan vagina, suspensi kandung kemih pada
abdomen dan elevasi kolum vesika urinaria. Sfingter artifisial yang
dimodifikasi dengan menggunakan balon karet-silikon sebagai
mekanisme swa-regulasi dapat digunakan untuk menurup ureta.
Metode lain untuk mengontrol inkontinensia stess adalah aplikai
stimulasi elektronik pada dasar panggul dengan bantuan pulsa
generator miniatur yang dilengkapi elektrode yang dipasang pada
sumbta intra-anal.

Anda mungkin juga menyukai