PEMBAHASAN
Mengakibatkan ketegangan
(distensi rektum)
Dipermudah dengan :
2.1.5.1. Etiologi
Penyebabnya :
1. Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk, bermain, pindah
tempat, dan lain-lain.
2. Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur), tidak
ada gigi, makanan lemak dan cairan kurang
3. Meningkatnya stress psikologik.
4. Kurang olahraga /aktifitas : berbaring lama.
5. Obat-obatan: kodein, morfin, anti kolinergik, zat besi. Penggunaan
obat pencahar/laksatif menyebabkan tonus otot intestinal kurang
sehingga refleks BAB hilang.
6. Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut menurun
sehingga menimbulkan konstipasi..
7. Penyakit-penyakit : Obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada
spinal cord dan tumor.
2.1.5.2. Faktor – Faktor Risiko Konstipasi
Pengenalan dini faktor risiko terjadinya konstipasi dapat
membantu untuk mencegah konstipasi. Beberapa faktor risiko yang
berhubungan dengan konstipasi pada anak telah diteliti yaitu
ketidakcukupan asupan serat dan cairan harian, riwayat penyakit
kronis, riwayat keluarga konstipasi, psikologis, alergi susu sapi dan
riwayat asupan susu sapi pada usia awal kehidupan, kelainan yang
berhubungan kolon dan rektum seperti irritable bowel syndrome,
hirschsprung disease, dan fisura ani (Borowizt dkk., 2003).
1. Asupan serat harian
Asupan serat merupakan faktor penting penyebab konstipasi
pada anak. Asupan serat harus ditingkatkan secara bertahap di masa
kanak-kanak, karena diet serat penting bagi kesehatan anak
terutama dalam hal menormalkan BAB. Penelitian yang dilakukan
oleh Ip dkk. (2005) menunjukkan bahwa gejala konstipasi pada
anak sangat berkaitan dengan asupan serat makanan yang rendah.
Penelitian serupa dilakukan oleh Lee dkk. (2008) yang menyatakan
bahwa asupan serat yang rendah berhubungan dengan kejadian
konstipasi pada anak sekolah taman kanak-kanak di Hongkong.
Penelitian di Hong Kong dan Maldives (India) menunjukkan bahwa
konsumsi serat pada anak lebih rendah dari nilai yang dianjurkan
(Lee dkk., 2008).
Serat adalah bahan makanan nabati yang tidak dapat dicerna
oleh enzim pencernaan dalam tubuh. Berdasarkan analisis kimia,
serat dalam makanan digolongkan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah selulosa yang merupakan polisakarida.
Selulosa adalah serat yang paling banyak dijumpai pada sayuran
dan buah-buahan. Kelompok kedua adalah pektin, gum dan
mucilago, yang merupakan polisakarida non-selulosa. Pektin
mempunyai sifat membentuk gel jika bergabung dengan air. Gum
pada tanaman biasanya diproduksi saat kulit tanaman tergores, dan
ditemukan juga dalam biji-bijian, seperti buncis, kacang polong dan
kapri (Gremse dkk., 2002).
Berdasarkan sifat larutan, serat dibedakan menjadi dua
golongan yaitu serat yang larut dalam air, seperti pektin, gum,
mucilago, dan serat yang tidak larut dalam air seperti selulosa,
hemi-selulosa dan lignin (Pashankar dkk., 2003). Serat makanan
bersifat hidrofilik atau pembentuk masa. Kemampuan serat
makanan sebagai laksansia tergantung dari kemampuannnya
menghindari pencernaan dan absorpsi di usus halus dan
menghindari metabolisme bakteri di kolon. Peningkatan volume di
usus yang berkaitan dengan bahan padat dan air diduga
menstimulasi motilitas dan peningkatan transit isi usus melalui
kolon, sehingga meningkatkan feses yang dikeluarkan. Konsistensi
feses juga dipengaruhi oleh serat makanan sehingga mempermudah
defekasi. Efektivitas serat makanan sebagai bahan pembentuk masa
tergantung pada jumlah, kemampuan mengikat air, banyaknya
penghancuran oleh proses fermentasi bakteri dan efektivitas produk
fermentasi yang dapat meningkatkan efek laksatif (Pijpers dkk.,
2010).
Pada anak asupan serat makanan harian yang
direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics
Committee On Nutrition adalah 0,5 gram/kilogram berat badan
sampai dengan 35 gram per hari. Kebutuhan serat berdasarkan
rekomendasi tersebut terlalu besar bagi anak usia muda sehingga
diperbaharui kembali berdasarkan usia, namun beberapa penelitian
menyatakan saat ini asupan serat makanan pada anak di negara
maju dan berkembang tidak sesuai dengan rekomendasi, sedangkan
menurut American Health Foundation untuk anak di atas usia 2
tahun minimal diberi diet serat dengan formula usia + 5 g/hari dan
maksimal usia + 10 g/hari (Lee dkk., 2008). Diet serat harus
dilakukan bertahap yaitu dengan mulai menambah satu atau lebih
jenis makanan tiap harinya. Jenis makanan yang dapat diberikan
berupa buah segar yang tinggi serat (seperti apel, blueberry, pisang,
kurma, pir, jeruk), sayuran segar atau telah diproses (seperti
brokoli, tauge, wortel, jagung, kacang polong dan kentang dengan
kulitnya, atau salad dalam jumlah banyak. Setiap sediaan buah
segar memberikan serat sebanyak 2-3 gram dan sayuran
memberikan serat 2-2,5 gram. Diet serat akan menyebabkan retensi
air dalam kolon yang mengakibatkan masa feses bertambah dan
lebih lunak sehingga asupan air juga ditingkatkan (Van Der Plas
dkk., 2000).
2. Asupan cairan harian
Jumlah cairan yang dibutuhkan pada anak agar feses bertambah
lunak diperkirakan 6-8 gelas per hari (Tabel 2.2). Jumlah cairan
yang dikonsumsi mempengaruhi konsistensi tinja. Penambahan
cairan pada kolon dan masa tinja membuat pergerakan usus
menjadi lebih lembut dan mudah dilalui. Oleh karena ini penderita
yang mengalami konstipasi sebaiknya mengkonsumsi banyak
cairan setiap hari yaitu sekitar tujuh gelas setiap hari. (Lee dkk.,
2008). Tabel 2.2
3. Riwayat Keluarga Dengan Konstipasi
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa riwayat konstipasi
pada keluarga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
konstipasi. Hal ini selain karena faktor genetik, perilaku orang tua
mengajarkan toilet training merupakan hal penting. Toilet training
dapat terabaikan atau bahkan orangtua terlalu berlebihan
mengajarkan pada anak sehingga terdapat sikap menolak dari anak
ketika diajak defekasi (Ip dkk., 2005; Rajindrajith dkk., 2010).
4. Riwayat Penyakit Kronis
Hubungan antara riwayat penyakit kronis dengan konstipasi
belum diketahui secara pasti dari beberapa tinjauan pustaka.
Penelitian Firmansyah (2007) didapatkan hubungan riwayat
penyakit kronis seperti tuberkulosis dan penyakit neurologis
(cerebral palsy, epilepsi). Penelitian lainnya didapatkan anak
dengan penyakit kronis seperti asma dan neoplasma, berhubungan
dengan konstipasi (Devanarayana dkk., 2010; Van Dijk dkk.,
2007).
5. Psikologis
Penelitian Inan dkk. (2007) didapatkan bahwa trauma fisik dan
psikologis berhubungan dengan kejadian konstipasi pada anak usia
sekolah. Penelitian di Sri Lanka yang mengambil sampel pada anak
sekolah usia 10-16 tahun didapatkan bahwa stres yang berhubungan
dengan sekolah seperti kegagalan ujian, orangtua kehilangan
pekerjaan dan hukuman yang sering oleh orang tua merupakan
faktor risiko yang menyebabkan konstipasi (Devanarayana dan
Rajindrajith, 2011; Van Der Plas dkk., 2000; Voskuilj dkk., 2004).
6. Riwayat alergi susu sapi dan pemberian susu formula berlebihan
Beberapa penelitian tentang alergi susu sapi menunjukan
bahwa anak yang mengkonsumsi susu sapi atau susu formula pada
usia pertama kehidupan memiliki konsistensi tinja yang padat dan
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya konstipasi. Hal ini
disebabkan susu sapi mengandung mineral dan lemak yang lebih
banyak dan lebih sedikit mengandung karbohidrat, serta
mengandung asam palmitat pada posisi Sn1 dan Sn3 sehingga asam
palmitat membutuhkan hidrolisis oleh lipase pankreas. Proses
hidrolisis ini menghasilkan asam palmitat bebas yang akan bereaksi
dengan kalsium sehingga membentuk calcium fatty acid soaps yang
sulit diserap. Pembentukan calsium soaps ini berhubungan
bermakna dengan tingkat kepadatan feses sehingga anak yang
mengkonsumsi susu formula memiliki tinja yang lebih padat dan
dapat menimbulkan konstipasi (Iacono dkk., 2005; Daher dkk.,
2001).
2.1.5.3. Manifestasi Klinis
Menurut Akmal, dkk (2010), ada beberapa tanda dan gejala yang
umum ditemukan pada sebagian besar atau terkadang beberapa
penderita sembelit sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh dan kaku;
2. Tubuh tidak fit, terasa tidak nyaman, lesu, cepat lelah sehingga
malas mengerjakan sesuatu bahkan terkadang sering mengantuk
3. Sering berdebar-debar sehingga memicu untuk cepat emosi,
mengakibatkan stress, rentan sakit kepala bahkan demam
4. Aktivitas sehari-hari terganggu karena menjadi kurang percaya diri,
tidak bersemangat, tubuh terasa terbebani, memicu penurunan
kualitas, dan produktivitas kerja
5. Feses lebih keras, panas, berwarna lebih gelap, dan lebih sedikit
daripada biasanya
6. Feses sulit dikeluarkan atau dibuang ketika air besar, pada saat
bersamaan tubuh berkeringat dingin, dan terkadang harus mengejan
atupun menekannekan perut terlebih dahulu supaya dapat
mengeluarkan dan membuang feses ( bahkan sampai mengalami
ambeien/wasir )
7. Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan bagai
terganjal sesuatu disertai rasa sakit akibat bergesekan dengan feses
yang kering dan keras atau karena mengalami wasir sehingga pada
saat duduk tersa tidak nyaman
8. Lebih sering bung angin yang berbau lebih busuk daripada biasanya
9. Usus kurang elastis ( biasanya karena mengalami kehamilan atau
usia lanjut), ada bunyi saat air diserap usus, terasa seperti ada yang
mengganjal, dan gerakannya lebih lambat daripada biasanya
10. Terjadi penurunan frekuensi buang air besar
11. Rasa nyeri dan tekanan
12. Penurunan nafsu makan
2.1.5.4. Patofisiologi
Patofisiologi konstipasi masih belum dipaham. Konstipasi
diyakini, berhubungan dengan pengaruh dari sepertiga fungsi utama
kolon
1. Transport mukosa (sekresi mukosa memudahkan gerakan isi kolon)
2. Aktivitas mioelektrik (pencampuran massa rektal dan kerja
propulsive), atau
3. Proses defekasi.
Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi
rektal, melalui empat tahap kerja: rangsangan reflex penyekat
rektoanal, relaksi otot sfingter internal, relaksasi sfringter eksternal dan
otot dalam regina pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen.
Gangguan salah satu dari empat proses ini dapat menimbulkan
konstipasi.
Apabila dorongan untuk defekasi diabaikan, membrane mukosa
rektal dan muscular menjadi tidak peka terhadap adanya masa fekal,
dan akibatnya rangsangan yang lebih kuat diperlukan untuk
menghasilkan dorongan peristaltic tertentu agar terjadi defekasi. Efek
awal retensi fekal ini adalah menimbulkan kepekaan kolon, dimana
pada tahap ini sering mengalami spasme, khususnya setelah makan,
sehingga menimbulkan nyeri kolik pada abdominal atau abdomen
bawah. Setelah proses ini berlangsung sampai beberapa tahun, kolon
kehilangan tonus dan menjadi sangat tidak responsive terhadap
rangsangan normal, akhrinya terjadi konstipasi. Atoni usus juga terjadi
pada proses penuaan, dan hal ini dapat diakibatkan oleh pengguanaan
laksatif yang berlebihan.
PATOFISIOLOGI KONSTIPASI
Diet rendah serat,asupan cairan kurang, kondisi psikis, kondisi Penggunaan obat-obatan
metabolik, penyakit yang diderita tertentu(seperti gol.opiat)
dan mengandung Al dan Ca
Memperpanjang waktu
transit di kolon karena Memperpanjang waktu
absorbsi terus transit di kolon
berlangsung
Kontraksi tidak
Feses mengeras mendorong
Spasme setelah makan, nyeri kolik pada abdomen bawah Nyeri akut
Reflek defekasi
parasimpatis
Saraf rectum
Intensifkan peristaltic
Inkontinensia alvi
2.1.6.5.Diagnosis
Untuk menentukan diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap
kemungkinan adanya kelainan struktur maupun kelainan saraf yang
bias menyebabkan keadaan ini. Termasuk di dalamnya adalah :
1. Pemeriksaan anus dan rectum
2. Memeriksa tingkat sensasi di sekeliling lubang anus
3. Pemeriksaan sigmoidoiskopi
Mungkin juga di perlukan pemeriksaan fungsi saraf dan lapisan
otot-otot pelvis.
2.1.6.6.Pemeriksaan Penunjang
Terdapat pemeriksaan penunjang pada inkontinensia alvi, yaitu :
1. Anal Manometry : Memeriksa keketatan dari sfingter anal dan
kemampuan sfingter anal dalam merespon sinyal serta sensitivitas
dan fugsi dari rektum. MRI terkadang juga digunakan untuk
mengevaluasi sfingter.
2. Anorectal Ultrasonography : Memeriksa dan mengevaluasi struktur
dari sfingter anal.
3. Proctography : Menunjukan berapa banyak feses yang dapat
ditahan oleh rektum, sebaik apa rektum mampu menahannya dan
sebaik mana rektum mampu mengosongkannya.
4. Progtosigmoidoscopy : Melihat kedalam rektum atau kolon untuk
menemukan tandatanda penyakit atau masalah yang dapat
menyebabkan inkontinensia fekal seperti inflamasi, tumor, atau
jaringan parut.
2.1.6.7.Komplikasi
2.1.6.8.Penatalaksanaan
Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah
timbulnya skibala dan dapat menghindari kejadian inkontinensia alvi.
Langkah utama dalam penanganan sembelit pada pasien geriatri adalah
dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
sembelit. Jika sembelit yang timbul pada pasien geriatri merupakan
suatu keluhan yang baru, maka kemungkinan hal tersebut disebabkan
oleh penyakit kolon, gangguan endokrin dan metabolik, deperesi atau
efek samping obat-obatan.
Untuk pencegahan konstipasi, sebaiknya mengkonsumsi diet yang
cukup cairan dan serat. Dianjurkan untuk mengkonsumsi 4-6 gram
serat kasar sehari (hal ini bisa did apatkan dari 3-4 sendok the biji-
bijian).
Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam penanganan inkotinensia
alvi adalah dengan mengatur waktu ke toilet, meningkatkan mobilisasi,
dan pengaturan posisi tubuh ketika sedang melakukan buang air besar
di toilet. Defekasi sebaiknya dilakukan ditempat yang khusus,
lingkungan yang tenang, dan pada saat timbulnya refleks gastrokolik
yang biasanya timbul lima menit setelah makan.
Pada inkotinensia alvi yang disebabkan oleh gangguan syaraf,
terapi latihan otot dasar panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun
sebagian besar pasien geriatrik dengan dimensia tidak dapat menjalani
terapi tersebut. Pada pasien dengan demensia tahap akhir dengan
inkotinensia alvi, program penjadwalan ke toilet dan penjadwalan
penggunaan obat pencahar secara teratur dapat dilakukan dan efektif
untuk mengontrol defekasi. Usaha terakhir yang dapat dilakukan dalam
penanganan inkontinensia alvi pada pasien ini adalah dengan
menggunakan pampers yang dapat mencegah dari komplikasi.
Rencana Tindakan :
1. Kaji perubahan faktor yang memengaruhi masalah eliminasi alvi.
2. Kurangi faktor yang memengaruhi terjadinya masalah seperti :
a. Konstipasi secara umum :
1) Membiasakan pasien untuk buang air secara
teratur,misalnya pergi ke kamar mandi satu jam setelah
makan pagidan tinggal di sana sampai ada keinginan untuk
buang air.
2) Meningkatkan asupan cairan dengan banyak minum.
3) Diet yanag seimbang dan makan bahan makanan yang
banyak mengandung serat.
4) Melakukan latihan fisik, misalya melatih otot perut
5) Mengatur posisi yang baik untuk buang air
besar,sebaiknya posisi duduk dengan lutut melentur agar
otot punggung dan perut dapat membantu prosesnya.
6) Anjurkan agar tidak memaksakan diri dalam buang besar.
7) Berikan obat laksantif, misalnya Dulcolax atau jenis obat
supositoria.
8) Lakukan enema (huknah).
Selanjutnya merangsang ingin buang air Miksi dikontrol saraf aferen menuju kandung
kecil kemih, Impuls berjalan menuju saraf
parasimpatis sakralis menyebabkan hal
sebagai berikut :
2.2.4.1. Etiologi
5. Inkontinensia refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan ketika pengeluaran
urine tidak dirasakan. Urine langsung dikeluarkan pada interval
tertentu ketika kandung kemih mencapai jumlah tertentu.
Inkontinensia refleks dapat disebabkan oleh gangguan saraf
akibat penyakit diabetes. kerusakan neurologis (lesi medula
spinalis), dan penyumbatan saluran kencing.
Inkontinensia Urin
Inkontinensia Urgensi
Inkontinensia Stress
Status kesehatan berubah Tekanan kandung kemih >
Otot detrusor tidak stabil tekanan urethra
ansietas
Mengenai area
genitalia
Resiko kerusakan
integritas kulit
Inkontinensia Total Inkontinensia Overflow