Disusun oleh:
JAKARTA
2020
I. PENDAHULUAN
Salah satu masalah yang sering timbul pada sektor perikanan adalah dalam
mempertahankan mutu. Mutu ikan dapat terus dipertahankan jika ikan tersebut ditangani
dengan hati-hati (carefull), bersih (clean), disimpan dalam ruangan dengan suhu yang dingin
(cold) dan cepat (quick). Pada suhu ruang, ikan lebih cepat memauki fase rigor mortis dan
berlangsung lebih singkat. Jika fase rigor tidak dapat dipertahankan lebih lama maka
pembusukan oleh aktivitas enzim dan bakteri akan berlangsung lebih cepat. Aktivitas enzim
dan bakteri tersebut menyebabkan perubahan yang sangat pesat sehingga ikan memasuki
fase post rigor. Fase ini menunjukkan bahwa mutu ikan sudah rendah dan tidak layak untuk
dikonsumsi (Munandar et al, 2009).
Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisika, kimia, dan organoleptik
berlangsung dengan cepat yang akhirnya mengarah ke pembusukan, dengan urutan proses
perubahan yang terjadi meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitass enzim, aktivitas
mikroba dan oksidasi. Secara umum peristiwa rigor mortis terdiri dari tiga tahap yaitu pre
rigor, rigor mortis, dan post rigor. Penentuan tingkat kesegaran ikan dapat dilakukan melalui
parameter fisika, sensorik/ organoleptik, kimia, maupun mikrobologi (Jaya dan Ramadhan,
2006)
Penurunan tingkat kesegaran fillet ikan terlihat dengan adanya perubahan fisik,
kimia, dan organoleptik pada fillet ikan. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke
pembusukan. Urutan proses perubahan tersebut meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis,
aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan oksidasi (Erlangga, 2009).
Setelah ikan mati, perubahan-perubahan biokimia pun berlangsung dan mulai terjadi
proses penurunan mutu ikan deteriorasi yang disebabkan leh tiga macam kegiatan, yaitu
autolisis, kimiawi, dan bakterial. Pada deteriorasi ikan, reaksi kimia yang terjadi adalah auto
oksidasi pigmen mioglobin, serta perubahan lainnya. Perubahan lainnya merupakan suatu
perangkat yang kompleks, yaitu reaksi biokimiawi yang tergantung pada jumlah dan jenis
enzim yang ada pada ikan ddan bakteri yang menghuni pada ikan (Suwetja, 2011).
Syarat pertama dan utama dalam mengolah ikan adalah tersedianya bahan baku
yang bermutu baik. Sedangkan ikan adalah bahan nbaku yang cepat mengalami kerusakan.
Proses penurunan mutu ikan segar diawali dengan perombakan oleh aktivitas enzim yang
secara alami terdapat didalam daging ikan hingga tahap tertentu dan disusul dengan proses
pembusukan. Proses perubahan yang terjadi pada ikan setelah mati meliputi perubahan pre
rigor mortis, rigor mortis, ativitas enzim (autolisis), aktivitas mikroba (bakteriologi) dan
oksidasi (Vatria, 2010).
1.2 Tujuan
1) Untuk mengetahui proses kemunduran mutu pada ikan patin (Pangasius sp.)
2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu pada ikan
patin (Pangasius sp.)
II. Tinjauan Pustaka
2.1 Klasifikasi Ikan Patin
Klasifikasi ikan patin menurut (Hernowo, 2001), adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Ostariophysi
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius sp
2.4 Habitat
Habitat ikan patin adalah di tepi sungai – sungai besar dan di muara – muara sungai
serta danau. Dilihat dari bentuk mulut ikan patin yang letaknya sedikit agak ke bawah, maka
ikan patin termasuk ikan yang hidup di dasar perairan. Ikan patin sangat terkenal dan
digemari oleh masyarakat karena daging ikan patin sangat gurih dan lezat untuk dikonsumsi
(Susanto dan Khairul, 2007). Ikan patin merupakan jenis ikan dasar perairan (demersal). Hal
ini dibuktikan dengan bentuk mulutnya yang melebar dan menghadap ke bawah serta
kebiasaan hidupnya yang lebih suka menetap di dasar dari pada muncul di permukaan
perairan. Pada habitat aslinya ia hidup di sungai yang dalam , agak keruh dan dasar yang
berlumpur. Ikan ini bersifat nocturnal, keluar dari persembunyiannya dan melakukan
aktivitas pada malam hari. Patin hidup secara berkelompok atau bergerombol. Hal ini
merupakan faktor yang dapat merangsang nafsu makannya.
III. PEMBAHASAN
3.1. Proses Kemunduran Mutu Ikan
Secara umum ikan diperdagangkan dalam keadaan sudah mati dan seringkali dalam
keadaan masih hidup. Pada kondisi hidup tentu saja ikan dapat diperdagangkan dalam jangka
waktu yang lama. Sebaliknya dalam kondisi mati ikan akan segera mengalami kemunduran
mutu. Segera setelah ikan mati, maka akan terjadi perubahan-perubahan yang mengarah
kepada terjadinya pembusukan. Perubahan-perubahan tersebut terutama disebabkan adanya
aktivitas enzim, kimiawi dan bakteri. Enzim yang terkandung dalam tubuh ikan akan
merombak bagian-bagian tubuh ikan dan mengakibatkan perubahan rasa (flavor), bau (odor),
rupa (appearance) dan tekstur (texture). Aktivitas kimiawi adalah terjadinya oksidasi lemak
daging oleh oksigen. Oksigen yang terkandung dalam udara mengoksida lemak daging ikan
dan menimbulkan bau tengik (rancid).
Perubahan yang diakibatkan oleh bakteri dipicu oleh terjadinya kerusakan komponen-
komponen dalam tubuh ikan oleh aktivitas enzim dan aktivitas kimia. Aktivitas kimia
menghasilkan komponen yang yang lebih sederhana. Kondisi ini lebih disukai bakteri
sehingga memicu pertumbuhan bakteri pada tubuh ikan.
Dalam kenyataannya proses kemunduran mutu berlangsung sangat kompleks. Satu dengan
lainnya saling kait mengait, dan bekerja secara simultan. Untuk mencegah terjadinya
kerusakan secara cepat, maka harus selalu dihindarkan terjadinya ketiga aktivitas secara
bersamaan. Kemunduran mutu ikan ditandai dengan adanya perubahan fisik dan kimia yang
di sebabkan oleh aktifitas enzim dan mikoorganisme setelah ikan mati.
Kemunduran mutu ikan tak dapat dipungkiri sebab ikan merupakan produk yang high
perishable (mudah rusak) sehingga memerlukan penanganan khusus. Tingkat kemunduran
ikan ditentukan sejak penangkapan, pengolahan sampai penyajian. Proses kemunduran mutu
ikan berlangsung cepat di daerah beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban tinggi
ditambah dengan proses penangkapan yang tidak baik yang menyebabkan ikan mengalami
kemunduran mutu sehinggga penanganan yang baik perlu dilakukan yang bertujuan untuk
mengusahakan agar kesegaran ikan dapat dipertahankan atau kebusukan ikan dapat ditunda.
Post Rigor yaitu kondisi daging berubah menjadi lentur dan daging menjadi lunak.
Bersamaan dengan itu terjadilah proses perlendiran pada bagian kulit sebagai akibat
terbentuknya mulkosa kulit oleh enzim (Sumardi, 2000)
3.2.4 Autolisis
Proses autolisis tidak dapat dihentikan walaupundalam suhu yang angat rendah.
Proses ini dimulai bersamaan dengan menurunnnya pH. Protein dipecah menjadi molekul-
molekul yang lebih sederhanayang menyebabkan peningkatan dehidrasi protein. protein
terpecah menjadi protease, lalu pecah menjadi pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi
asam amino. Hidrolisis lemak juga terjadi pada proses autolisis yang menghasilkan lemak
bebas dan gliserol ( Erlangga, 2009).
Penurunan mutu secara autolisis. Autolisis adaalah penguraian protein dan lemak
enzim (protease dan lipase) yang terdapat didalam daging ikan atau semua ktivitas enzim
setelah kematian. Enzim mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif, namun kerja
enzim menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungsi lagi, akibatnya enzim
dapat merusak organ tubuh ikan, peristiwa ini disebut autolisis. Ciri terjadinya perubahan
autolisis ini adalah dengan dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir, penguraian protein
dan lemak dalam autolisis ini adalah dihasilkannya amoniak (Vatria, 2010).
Menurut Suwetja (2011), adapun tanda-tanda autolisis pada daging ikan ialah:
Otot-otot daging lumpuh terkulai
Sarkoplasmic protein sebagian terhidrolisa
Banyak protein yang dapat di ekstrak
3.2.5 Bakteriologis
Pada awal penyimpanan total bakteri yang terdapat pada ikan relatif tidak berbeda.
Jumlah bakteri semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Hal ini
dikarenakan lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan bakteri yang menyebabkna bakteri
dapat tumbuh secara maksimal (Munandar et al, 2009).
Tahap akhir proses autolisis adalah berlangsungnya perombakan oleh bakteri.
Pertumbtuhan bakteri yang makin cepat membuat proses kerusakan juga berjalan semakin
cepat. Kerusakan yang terjadi pada tubuh ikan karena serangan bakteri lebih parah
daripada kerusakan yang disebabkan oleh enzim (Erlangga, 2009).
Penurunan mutu secara bakterial adalah tahapan dimana bakteri mulai banyak dan
secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri mulai
berlangsung intensif setelah rigor mortis berlalu yaitu setelah daging mengendut dan celah-
celah seratnya terisi cairan (Vatria, 2010).