Anda di halaman 1dari 13

PAPER

MANAJEMEN MUTU HASIL PERIKANAN

KEMUNDURAN MUTU IKAN PATIN (Pangasius sp.)

Disusun oleh:

Perdi Darmawan 53173111913


Petrus Pieter Ringgo 53173111914
Rezky Putri Ismanur 53173211917
Risda Maharani 53173211918

POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN

JAKARTA

2020
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu masalah yang sering timbul pada sektor perikanan adalah dalam
mempertahankan mutu. Mutu ikan dapat terus dipertahankan jika ikan tersebut ditangani
dengan hati-hati (carefull), bersih (clean), disimpan dalam ruangan dengan suhu yang dingin
(cold) dan cepat (quick). Pada suhu ruang, ikan lebih cepat memauki fase rigor mortis dan
berlangsung lebih singkat. Jika fase rigor tidak dapat dipertahankan lebih lama maka
pembusukan oleh aktivitas enzim dan bakteri akan berlangsung lebih cepat. Aktivitas enzim
dan bakteri tersebut menyebabkan perubahan yang sangat pesat sehingga ikan memasuki
fase post rigor. Fase ini menunjukkan bahwa mutu ikan sudah rendah dan tidak layak untuk
dikonsumsi (Munandar et al, 2009).

Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisika, kimia, dan organoleptik
berlangsung dengan cepat yang akhirnya mengarah ke pembusukan, dengan urutan proses
perubahan yang terjadi meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitass enzim, aktivitas
mikroba dan oksidasi. Secara umum peristiwa rigor mortis terdiri dari tiga tahap yaitu pre
rigor, rigor mortis, dan post rigor. Penentuan tingkat kesegaran ikan dapat dilakukan melalui
parameter fisika, sensorik/ organoleptik, kimia, maupun mikrobologi (Jaya dan Ramadhan,
2006)

Penurunan tingkat kesegaran fillet ikan terlihat dengan adanya perubahan fisik,
kimia, dan organoleptik pada fillet ikan. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke
pembusukan. Urutan proses perubahan tersebut meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis,
aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan oksidasi (Erlangga, 2009).

Setelah ikan mati, perubahan-perubahan biokimia pun berlangsung dan mulai terjadi
proses penurunan mutu ikan deteriorasi yang disebabkan leh tiga macam kegiatan, yaitu
autolisis, kimiawi, dan bakterial. Pada deteriorasi ikan, reaksi kimia yang terjadi adalah auto
oksidasi pigmen mioglobin, serta perubahan lainnya. Perubahan lainnya merupakan suatu
perangkat yang kompleks, yaitu reaksi biokimiawi yang tergantung pada jumlah dan jenis
enzim yang ada pada ikan ddan bakteri yang menghuni pada ikan (Suwetja, 2011).

Syarat pertama dan utama dalam mengolah ikan adalah tersedianya bahan baku
yang bermutu baik. Sedangkan ikan adalah bahan nbaku yang cepat mengalami kerusakan.
Proses penurunan mutu ikan segar diawali dengan perombakan oleh aktivitas enzim yang
secara alami terdapat didalam daging ikan hingga tahap tertentu dan disusul dengan proses
pembusukan. Proses perubahan yang terjadi pada ikan setelah mati meliputi perubahan pre
rigor mortis, rigor mortis, ativitas enzim (autolisis), aktivitas mikroba (bakteriologi) dan
oksidasi (Vatria, 2010).

1.2 Tujuan

1) Untuk mengetahui proses kemunduran mutu pada ikan patin (Pangasius sp.)
2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu pada ikan
patin (Pangasius sp.)
II. Tinjauan Pustaka
2.1 Klasifikasi Ikan Patin
Klasifikasi ikan patin menurut (Hernowo, 2001), adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Ostariophysi
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius sp

Gambar 1. Ikan Patin (Pangasius sp) (Sumber: Armanda, 2019).

2.2 Taksonomi dan Morfologi Ikan Patin (Pangasius sp)


Ikan patin (Pangasius sp) adalah salah satu ikan asli perairan Indonesia yang telah
berhasil didomestikasi. Jenis–jenis ikan patin di Indonesia sangat banyak, antara lain
Pangasius pangasius atau Pangasius jambal, Pangasius humeralis, Pangasiuslithostoma,
Pangasius nasutus, pangasius polyuranodon, Pangasius niewenhuisii. Sedangkan
Pangasius sutchi dan Pangasius hypophtalmus yang dikenal sebagai jambal siam atau lele
bangkok merupakan ikan introduksi dari Thailand (Kordi, 2005).
Ikan patin mempunyai bentuk tubuh memanjang, berwarna putih perak dengan
punggung berwarna kebiruan. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala ikan patin relatif kecil
dengan mulut terletak diujung kepala agak ke bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan
catfish. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm. Sudut mulutnya terdapat dua pasang
kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba. Sirip punggung memiliki sebuah jari–jari
keras yang berubah menjadi patil yang besar dan bergerigi di belakangnya, sedangkan jari–
jari lunak pada sirip punggungnya terdapat 6 – 7 buah (Kordi, 2005). Pada permukaan
punggung terdapat sirip lemak yang ukurannya sangat kecil dan sirip ekornya membentuk
cagak dengan bentuk simetris. Sirip duburnya agak panjang dan mempunyai 30 – 33 jari-jari
lunak, sirip perutnya terdapat 6 jari-jari lunak. Sedangkan sirip dada terdapat sebuah jari-jari
keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal sebagai patil dan memiliki 12 – 13 jari-jari
lunak (Susanto dan Khairul, 2007).

2.3 Siklus Hidup Ikan Patin


Ikan patin dalam menjalani hidupnya mengalami perkembangan atau fase yang akan
dijalaninya selama beberapa waktu sampai akhirnya dapat dikonsumsi ataupun dijadikan
induk untuk menghasilkan benih-benih yang berkualitas. Menurut Lusac dan Southgate
(2012), ikan patin memiliki fase kehidupan yaitu telur, larva, benih dan dewasa.

2.4 Habitat
Habitat ikan patin adalah di tepi sungai – sungai besar dan di muara – muara sungai
serta danau. Dilihat dari bentuk mulut ikan patin yang letaknya sedikit agak ke bawah, maka
ikan patin termasuk ikan yang hidup di dasar perairan. Ikan patin sangat terkenal dan
digemari oleh masyarakat karena daging ikan patin sangat gurih dan lezat untuk dikonsumsi
(Susanto dan Khairul, 2007). Ikan patin merupakan jenis ikan dasar perairan (demersal). Hal
ini dibuktikan dengan bentuk mulutnya yang melebar dan menghadap ke bawah serta
kebiasaan hidupnya yang lebih suka menetap di dasar dari pada muncul di permukaan
perairan. Pada habitat aslinya ia hidup di sungai yang dalam , agak keruh dan dasar yang
berlumpur. Ikan ini bersifat nocturnal, keluar dari persembunyiannya dan melakukan
aktivitas pada malam hari. Patin hidup secara berkelompok atau bergerombol. Hal ini
merupakan faktor yang dapat merangsang nafsu makannya.
III. PEMBAHASAN
3.1. Proses Kemunduran Mutu Ikan
Secara umum ikan diperdagangkan dalam keadaan sudah mati dan seringkali dalam
keadaan masih hidup. Pada kondisi hidup tentu saja ikan dapat diperdagangkan dalam jangka
waktu yang lama. Sebaliknya dalam kondisi mati ikan akan segera mengalami kemunduran
mutu. Segera setelah ikan mati, maka akan terjadi perubahan-perubahan yang mengarah
kepada terjadinya pembusukan. Perubahan-perubahan tersebut terutama disebabkan adanya
aktivitas enzim, kimiawi dan bakteri. Enzim yang terkandung dalam tubuh ikan akan
merombak bagian-bagian tubuh ikan dan mengakibatkan perubahan rasa (flavor), bau (odor),
rupa (appearance) dan tekstur (texture). Aktivitas kimiawi adalah terjadinya oksidasi lemak
daging oleh oksigen. Oksigen yang terkandung dalam udara mengoksida lemak daging ikan
dan menimbulkan bau tengik (rancid).
Perubahan yang diakibatkan oleh bakteri dipicu oleh terjadinya kerusakan komponen-
komponen dalam tubuh ikan oleh aktivitas enzim dan aktivitas kimia. Aktivitas kimia
menghasilkan komponen yang yang lebih sederhana. Kondisi ini lebih disukai bakteri
sehingga memicu pertumbuhan bakteri pada tubuh ikan.
Dalam kenyataannya proses kemunduran mutu berlangsung sangat kompleks. Satu dengan
lainnya saling kait mengait, dan bekerja secara simultan. Untuk mencegah terjadinya
kerusakan secara cepat, maka harus selalu dihindarkan terjadinya ketiga aktivitas secara
bersamaan. Kemunduran mutu ikan ditandai dengan adanya perubahan fisik dan kimia yang
di sebabkan oleh aktifitas enzim dan mikoorganisme setelah ikan mati.
Kemunduran mutu ikan tak dapat dipungkiri sebab ikan merupakan produk yang high
perishable (mudah rusak) sehingga memerlukan penanganan khusus. Tingkat kemunduran
ikan ditentukan sejak penangkapan, pengolahan sampai penyajian. Proses kemunduran mutu
ikan berlangsung cepat di daerah beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban tinggi
ditambah dengan proses penangkapan yang tidak baik yang menyebabkan ikan mengalami
kemunduran mutu sehinggga penanganan yang baik perlu dilakukan yang bertujuan untuk
mengusahakan agar kesegaran ikan dapat dipertahankan atau kebusukan ikan dapat ditunda.

3.2. Fase Kemunduran Mutu Ikan


3.2.1 Pre Rigor
Fase prerigor ditandai dengan lendir yang terleps dari kelenjar dibawah kulit
disekeliling tubuh ikan. Kondisi daging ikan pada fase ini lembut dan lunak, an secara
kimiawi ditandai dengan penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat. Sirkulasi berhenti pada
awal kematian ikan dan menhyebabkan habisnya aliran oksigen didalam jaringan
(Erlangga,2009).
Perubahan pre rigor pada ikan nila terjadi secara bersamaan untu ksemua kombinasi
perlakuan setelah ikan nila mati. Perubahan pre rigor ini ditandai dengan terlepasnya lendir
dari kelenjar dibawah permukaan kulit. Sedangkan perubahan rigor mortis pada ikan nila
ditandai dengan kekakuan otot ikan yang diawali dari pangkal ekor hingga mencapai full
rigor (Munandar et al, 2009).
Pada tahap pertama adalah perubahan biokimiawi yang terjadi sebelum ikan menjadi
kaku (keras). Pada saat ini yang paling banyak mengalami perubahan adalah
pembongkaran ATP dan kreatin Phospat yang akan mengalami pembongkaran menjadi
asam laktat melalui proses glikolisa menyebabkan keadaan daging menjadi asam sehingga
aktivitas enzim ATP-ase dan kreatin fosfokinase meningkat. Tahap pertama ini berlangsung
dalam waktu antara 1-7 jam. Sejak ikan mati tergantung jenis ikan (Adawiyah, 2007).

3.2.2 Rigor Mortis


Fase rigor mortis ditandai dengan keadaan otot yang kaku dan keras. Hilangnya
kelenturan daging ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin pada awal fase pre
rigor. Pembentukan aktomiosin ini berlangsung lambat pada tahap awal dan kemudian
menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Pada fase rigor mortis, sumber energi atau ATP akan
berkurang akibat aktivitas enzim ATPase yang diikuti oleh perubahan glikogen menjadi
asam laktat (Erlangga, 2009).
Rigor mortis ikan memiliki suatu senyawa yang disebut adenosin triphosphat (ATP).
Senyawa ini merupakan sumber energi paling cepat digunakan untuk kegiatan fisik saat ikan
hidup. Ketika ikan mati kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai oleh enzim dalam tubuh
dengan terjadinya suatu proses perubahan biokimia yang menyebabkan bagian protein otot
kaku (Vatria, 2010).
Menurut Adawiyah (2008), pada fase rigor mortis daging ikan akan menjadi lebih
keras dari keadaan sebelumnya. Pada saat itu terjadi penggabungan protein aktin dan
miosin menjadi protein komplek aktomiosin.

3.2.3 Post Rigor


Fase post rigor ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Fase
post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan
pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan
sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan (Erlangga, 2009).
Suwetja (2011) mengatakan bahwa perubahan-perubahan autolisis pada daging ikan
adalah sebagai berikut :
 Proses enzimatis protease
 Menyebabkan terurainya protein menjadi senyawa yang lebih sederhana
 Melibatkan penghasiilan bau
 Menyebabkan perubahan pH kearah yang lebih alkali
 Menyebabkan perubahan tekstur
 Proses hanya boleh diperlambat dengan perubahan suhu
 Kadar autolisis menyeluruh dikawal oleh faktor suhu pengendalian semasa
penangkapan dan spesies.

Post Rigor yaitu kondisi daging berubah menjadi lentur dan daging menjadi lunak.
Bersamaan dengan itu terjadilah proses perlendiran pada bagian kulit sebagai akibat
terbentuknya mulkosa kulit oleh enzim (Sumardi, 2000)

3.2.4 Autolisis
Proses autolisis tidak dapat dihentikan walaupundalam suhu yang angat rendah.
Proses ini dimulai bersamaan dengan menurunnnya pH. Protein dipecah menjadi molekul-
molekul yang lebih sederhanayang menyebabkan peningkatan dehidrasi protein. protein
terpecah menjadi protease, lalu pecah menjadi pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi
asam amino. Hidrolisis lemak juga terjadi pada proses autolisis yang menghasilkan lemak
bebas dan gliserol ( Erlangga, 2009).
Penurunan mutu secara autolisis. Autolisis adaalah penguraian protein dan lemak
enzim (protease dan lipase) yang terdapat didalam daging ikan atau semua ktivitas enzim
setelah kematian. Enzim mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif, namun kerja
enzim menjadi tidak terkontrol karena organ pengontrol tidak berfungsi lagi, akibatnya enzim
dapat merusak organ tubuh ikan, peristiwa ini disebut autolisis. Ciri terjadinya perubahan
autolisis ini adalah dengan dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir, penguraian protein
dan lemak dalam autolisis ini adalah dihasilkannya amoniak (Vatria, 2010).
Menurut Suwetja (2011), adapun tanda-tanda autolisis pada daging ikan ialah:
 Otot-otot daging lumpuh terkulai
 Sarkoplasmic protein sebagian terhidrolisa
 Banyak protein yang dapat di ekstrak

3.2.5 Bakteriologis
Pada awal penyimpanan total bakteri yang terdapat pada ikan relatif tidak berbeda.
Jumlah bakteri semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Hal ini
dikarenakan lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan bakteri yang menyebabkna bakteri
dapat tumbuh secara maksimal (Munandar et al, 2009).
Tahap akhir proses autolisis adalah berlangsungnya perombakan oleh bakteri.
Pertumbtuhan bakteri yang makin cepat membuat proses kerusakan juga berjalan semakin
cepat. Kerusakan yang terjadi pada tubuh ikan karena serangan bakteri lebih parah
daripada kerusakan yang disebabkan oleh enzim (Erlangga, 2009).
Penurunan mutu secara bakterial adalah tahapan dimana bakteri mulai banyak dan
secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri mulai
berlangsung intensif setelah rigor mortis berlalu yaitu setelah daging mengendut dan celah-
celah seratnya terisi cairan (Vatria, 2010).

3.3. Ciri Ikan Segar dan Ikan Busuk


Ikan segar dan ikan busuk dapat di bedakan dengan cara mengamati mata, insang,
tekstur daging, keadaan kulit, keluarnya lender, keadaan perut, sayatan daging, dan bau.
 Mata ikan yang masih segar dapat di lihat dari pupil yang masih hitam menonjol dengan
kornea mata cembung dan cemerlang atau cerah. sedangkan ikan yang busuk pupil
metanya sudah kelabu tertutup lender seperti susu, bola mata cekung dan keruh.
 Insang ikan yang masih segar terlihat berwarna merah tua atau merah cemerlang tanpa
adanya lender, tidak tercium bau yang menyimpang (off dodor). sedangkan ikan yang
sudah busuk warna insangnya merah coklat, bahkan sampai kelabu abuan dan bau
menyengat.
 Tekstur daging ikan yang masih segar jika di tekan tidak meninggalkan bekas jari
(elastic) serta padat atau kompak. sedangkan ikan yang sudah busuk dagingnya sudah
tidak elastic lagi.
 Keadaan kulit dan lender ikan yang masih segar warnanya masih sesuai dengan
aslinya dan cemerlang. lender dipermukaan jernih dan transparan dan baunya segar.
sedangkan ikan yang sudah busuk warnanya sudah pudar dan memucat, lender tebal
dan sudah menggumpal dan lengket.
 Keadaan perut dan syatan daging ikan yang masih segar parutnya masih utuh,tidak
pecah dan warna sayatan daging cemerlang serta jika ikan di belah maka daging
melekat kuat pada tulang terutama rusuk. sedangkan ikan yang sudah busuk perutnya
sudah sobek, sayatan daging kurang cemerlang dan ika dibelah daging mudah lepas.
 Bau ikan yang masih segar baunya masih spesifik menurut jenisnya, segar seperti bau
rumput laut. sedangkan ikan yang sudah busuk baunya seperti asam asetat dan lama
kelamaan akan berubah menjadi busuk.
3.4. Teknik Penanganan Awal Ikan
Mutu ikan dapat terus dipertahankan jika ikan tersebut ditangani dengan hati-hati
(carefull), bersih (clean), disimpan dalam ruangan dengan suhu yang dingin (cold) dan cepat
(quick). Pada suhu ruang, ikan lebih cepat memauki fase rigor mortis dan berlangsung lebih
singkat. Jika fase rigor tidak dapat dipertahankan lebih lama maka pembusukan oleh
aktivitas enzim dan bakteri akan berlangsung lebih cepat (Munandar et al, 2009)
Menurut Suprapti (2002) ada tiga macam penanganan awal dengan pendinginan,
yaitu :
 Cara I : Pada pendinginan cara ini dilakukan pendinginan dengan es batu dan es
kering. Pendinginan hingga -1,25 oC. Namun jika dikelompokkan dengan es kering
mampu menurunkan suhu higga -1,5 oC selama 36 jam
 Cara II : Pada penddinginan yang sama dengan cara I yaitu box polystyrene dengan
bahan pendingin berupa es batu
 Cara III : Pada pendinginan ini digunakan kotak pendingin yang berupa insulateol
box, yang lebih mampu menahan pans dari luar sehingga lebih hemat dalam pemakaian
es batu.
Salah sau cara untuk mempertahankan kesegaran ikan adalah dengan
menempatkan ikan pada suhu rendah. Dalam penanganan ikan segar dikenal dengan istilah
rantai dingin (Cold chain), yaitu penanganan ikan sejak mulai ditangkap, transportasi,
pendistribusian, pemasaran, pengolahan sampai penyimpanan dalam produk olahan.
Sebaiknya tetap diusahakan berada dalam kondisi dingin suhu akhir yang digunakan dalam
rantai dingin adalah 12-18 hari, tergantung pada cara penanganan, kestabilan suhu, dan
tingkat kesegaran ikan (Purnomowati et al 2007).

3.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Mutu Ikan


1) Cara Penangkapan:
Ikan yang ditangkap dengan alat trawl, pole, line, dan sebaginya akan lebih baik
keadaannya bila dibandingkan dengan yang ditangkap menggunakan ill-net dan long-line.
Hal ini dikarenakan pada alat-alat yang pertama, ikan yang tertangkap segera ditarik di
atas dek, sedangkan pada alat-alat yang kedua ikan yang tertangkap dan mati dibiarkan
terendam agak lama di dalam air. Kondisi ini menyebabkan keadaan ikan sudah tidak
segar sewaktu dinaikkan ke atas dek.
2) Reaksi Ikan Menghadapi Kematian
Ikan yang dalam hidupnya bergerak cepat, contoh tongkol, tenggiri, cucut, dan lain-
lain, biasanya meronta keras bila terkena alat tangkap. Akibatnya banyak kehilangan
tenaga, cepat mati, rigor mortis cepat terjadi dan cepat pula berakhir. Kondisi ini
menyebabkan ikan cepat membusuk. Berbeda dengan ikan bawal, ikan jenis ini tidak
banyak memberi reaksi terhadap alat tangkap, bahkan kadang-kadang ia masih hidup
ketika dinaikkan ke atas dek. Jadi masih mempunyai banyak simpanan tenaga. Akibatnya
ikan lama memasuki rigor mortis dan lama pula dalam kondisi ini. Hal ini menyebabkan
pembusukan berlangsung lambat.
3) Jenis dan Ukuran Ikan
Kecepatan pembusukan berbeda pada tiap jenis ikan, karena perbedaan komposisi
kimia ikan. Ikan-ikan yang kecil membusuk lebih cepat dari pada ikan yang lebih besar.
4) Keadaan Fisik Sebelum Mati
Ikan dengan kondisi fisik lemah, misal ikan yang sakit, lapar atau habis bertelur lebih
cepat membusuk.
5) Keadaan Cuaca
Keadaan udara yang panas berawan atau hujan, laut yang banyak bergelombang,
mempercepat pembusukan.
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1) Kemunduran mutu ikan ditandai dengan adanya perubahan fisik dan kimia yang
disebabkan oleh aktifitas enzim dan mikroorganisme.
2) Fase kemunduran mutu ikan setelah ikan mati terdiri dari 3 fase yaitu pre rigor
mortis, rigor mortis dan post rigor mortis.
3) Penurunan mutu ikan juga dapat terjadi oleh pengaruh fisik. Misal kerusakan oleh
alat tangkap waktu ikan berada di atas kapal dan selama ikan disimpan di kapal.
Kerusakan yang dialami ikan secara fisik ini disebabkan karena penanganan yang
kurang baik. Sehingga menyebabkan luka-luka pada badan ikan dan ikan menjadi
lembek.
4) Ciri ikan yang masih segar atau busuk dapat di lihat dari mata, insang, tekstur
daging, keadaan kulit dan lender, keadaan perut dan sayatan daging serta bau ikan.
5) Kecepatan pembusukan berbeda pada tiap jenis ikan, karena perbedaan komposisi
kimia ikan. Ikan-ikan yang kecil membusuk lebih cepat dari pada ikan yang lebih
besar.
DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara.


Adawyah, R. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Armanda Salaha, Dian 2019. Analisis Pengaruh Penambahan Bentonit dan Garam NaCl
untuk Mereduksi Resistensi Pentanahan Dengan Variasi Kedalaman Elektroda dan
Variasi Konsentrasi. Universitas Diponegoro. Semarang
Erlangga. 2009. Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Pada
Penyimpanan Suhu Chilling dengan perlakuan cara kematian. SKRIPSI.IPB : Bogor
Jaya, indra dan Dewi sartika Ramadhan. 2006. Aplikasi Metode Akustik Untuk Uji
Kesegaran Ikan. Buletin Teknologi Hasil Perikaan vol IX FPIK UB
Kordi, M. Ghufran H. 2010. Budidaya Ikan Lele di Kolam Terpal lily publisher
Lucas, J.S and P.C. Southgate, 2012. Aquaculture Farming Aquatic Animals and Plants.
Blackwell Publishing Ltd. Oxford.
Munandar,Aris.2009. Kemunduran mutu ikan Nila (Oreochromis niloticus) Pada
Penyimpanan Suhu Rendah Dengan Perlakuan Cara Kematian dan
Penyiangan .Jurnal Teknologi Pengolahan.
Purnowawati, Ida. Diana Hidayati dan Cahya Saparinto. 2007. Ragam Olahan Bandeng.
Kanisius :Yogyakarta
Suprapti,M.Lus.2002. Bandeng Asap. Kanisius: Yogyakarta
Suwetja.2011. Biokimia Hasil Perikanan.Media Prima Aksara: Jakarta
Vatria, Belvi. 2010. Pengolahan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Tanpa Duri. Jurusan Ilmu
Kelautan dan Perikanan.Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Rekayasa. Edisi Januari
2010.

Anda mungkin juga menyukai