Secara etimologis istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti “gagasan, konsep,
pengertian dasar, cita-cita”, dan “logos” yang berarti “ilmu”. Kata idea berasal dari bahasa
Yunani “ideos” yang berarti bentuk, karena itu secara terminologis ideologi berarti ilmu
pengetahuan tentang ide-ide atau ajaran tentang pengertin-pengertian dasar. Dengan demikian
ideologi mencakup pengertian tentang ide-ide, pengertian-pengertian dasar, gagasan-gagasan,
dan cita-cita.
Untuk lebih mendekatkan kita pada pengertian yang relevan dengan tema makalah ini,
penulis perlu mengemukakan tiga pandangan terkait kajian tentang ideologi ini.
Sebagai kader PMII tentu saja kita menghendaki PMII selalu menunjukkan bentuk
dinamisnya dan peran historisnnya tidak usang oleh perubahan jaman. Hal ini tentu saja
membutuhkan keseriusan dalam membina keorganisasian dan bahkan melakukan kritik dan
otokritik terhadap eksistensi dan kiprah PMII selama ini. Dalam tradisi keilmuan dan gerakan,
kritisisme adalah conditio sine qua none yang mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis,
peka sosial dan menjadi anak zamannya. Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah
yang akan mampu menghantarkan PMII beserta kader-kadernya ‘melek sosial’ dan
berperadaban dimana ia tidak hanya menjadikan kader PMII lebih kritis dalam ranah perjuangan
perubahan. Lebih dari itu, kritisisme itu akan menjadi salah satu takaran penting dalam
mengejawantahkan berbagai nilai-nilai ideologis-paradigmatis PMII dalam menjawab persoalan
kekinian maupun akan datang.
Pertama, berkaitan dengan tatanan internal keorganisasian, yang bertumpu pada lima fakta
organisasi.
Kedua, platform dan pola relasi PMII dengan institusi, kekuatan dan realitas sekelilingnya, yang
meliputi:
a. Relasi PMII dengan negara
b. Relasi PMII dengan rakyat serta kekuatan sipil lainnya
c. Relasi PMII dengan kampus, gerakan mahasiswa dan pro demokrasi
d. Relasi PMII dengan kekuatan kapitalisme global.
Tak satupun organisasi bergerak tanpa payung ideologi yang jelas. Ideologi berfungsi
ibarat obor penerang jalan kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang kerap dimaknai sebagai “a
set of closely related belief, or ideas, or even attitudes, characteristics of a group or community”
(Plamenatz; 1970), akan menjadi titik pembeda antara PMII dengan organisasi kemahasiswaan
lainnya.
Dalam wilayah ideal, PMII mestinya mampu memerankan dirinya pada kerja-kerja besar
ideologi, mulai dari; pertama, PMII mampu menjadi penggagas ideologi bagi diri dan
masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud kukuh dalam setiap
gerakannya. Ini berarti PMII harus mampu menyusun dan mengembangkan ideologinya, mulai
dari postulasi pemikiran yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat, hingga tafsir
dan detail pengembangan dan penggunaannya. Kalau hal ini tak tercapai, maka kedua, PMII
berfungsi menjadi pendukung dan mufassir ideologi tertentu sebagai pembenar dalam setiap
sikap dan tindakannya. Dan ketiga, menggiring PMII sebagai pengemban ideologi, dimana PMII
menggerakkan diri dan masyarakatnya untuk mencapai arah akhir dari ideologi anutannya.
(bandingkan dengan Hanief & Zaini; 2000).
Dalam intensitas dan spektrum yang berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga bentuk
peran tersebut, selama 4 (empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara terkotak-kotak dalam politik
aliran era Orde Lama Soekarno, yang menempatkan politik sebagai panglima, PMII memainkan
peran pendukung sekaligus ideologi politik Islam tradisionalis. Peran ini menjebak PMII tercebur
dalam kerja-kerja politik praktis yang menghilangkan watak radikal dan independensinya sebagai
sebuah organisasi kemahasiswaan.
Begitu pula pada awal Orde Baru ditegakkan, PMII masih berkutat dengan pergulatan
Islam sebagai ideologi politik dan tawaran developmentalisme yang memaksakan depolitisasi
aliran dan dealiranisasi politik. Titik balik terjadi, ketika PMII kemudian mentahbiskan dirinya
independen tidak terkait dengan organisasi politik manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di
Malang. Independensi PMII ini bermakna hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan
tindakan siapapun dan hanya setia dengan perjuangan PMII sendiri serta cita-cita perjuangan
nasional berlandaskan Pancasila.
Puncaknya, independensi PMII itu menjadi entry point upaya pencarian jati diri organisasi
yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai harus mengurus dirinya sendiri tanpa menggantungkan
dirinya dengan orang (kekuatan) lain, sambil terus berpegang pada landasan yang berasal dari
dalam tradisinya sendiri serta kekuatan yang dibangunnya sendiri. Sikap ini telah mampu
mencairkan berbagai trauma-trauma politik dan gerakan PMII di masa sebelumnya, hingga PMII
memiliki keleluasaan gerak lebih lugas memilih peran-peran intelekual, kemasyarakatan dan
kritisisme terhadap agama maupun negara tanpa terbebani oleh kejumudan tradisi (ortodoksi
pemahaman keagamaan) ataupun terbatasi oleh keterikatan politik dengan kekuatan manapun.
Perumusan ideologi PMII sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1).
Kembalinya NU kepada khittah 1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azaz
tunggal dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3). Serta dirumuskannya NDP PMII
dalam Konggres ke-8 tahun 1985. Bersamaan dengan itu kader PMII telah mulai menyebar di
berbagai kampus umum dan aktif bergerak di berbagai LSM untuk melakukan gerakan
pemberdayaan masyarakat serta terlibat intens dalam aksi-aksi jalanan melawan hegemoni
negara.
Akhirnya pada paruh pertama dasa warsa ‘90-an, berbagai rumusan ideologi dan
paradigma gerakan PMII terbentuk. Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan ideologi sekuler,
melainkan ideologi berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun oleh PMII menggambarkan
susunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dicita-citakan, dalam keterkaitan di
antara hubungan kekuasaan sesama manusia di dalam masyarakatnya dengan pengabdian
manusia kepada Tuhan sebagai penguasa tertinggi berasal dari tradisi pemahaman ke-Islaman
dan bersumber dari nilai-nilai Aswaja (yang dipandang sebagai manhaj al-fikr).
Dengan ideologi yang bersumber dari agama, watak paradigma PMII pun tak lepas dari
landasan teologis yang dianutnya. Corak pemahaman teologis yang mempengaruhi cara
pandang dan etos gerakan PMII inilah yang nantinya menjadi pembeda dengan berbagai
paradigma gerakan mahasiswa atau kekuatan sipil lainnya. Akhirnya, PMII memilih paradigma
kritis transformatif sebagai paradigma gerakannya, bahkan rumusan ini termaktub dengan jelas
dalam Bab V pasal 6 Anggaran Dasar PMII hasil Kongres PMII Medan tahun 2000 lalu.
Namun, harus disadari bahwa masih banyak kelemahan dan ke-simpangsiur-an konsep
maupun aplikasi praktis dari bangunan ideologi dan paradigma gerakan PMII. Kritik atas ideologi
dan paradigma PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini, sebab ada beberapa hal yang
mesti dituntaskan berkaitan dengan persoalan tersebut.
Pertama, rumusan teologis paradigma PMII selama ini didasarkan pada rumusan Aswaja
dan NDP yang masih normatif. Padahal proyek dekonstruksi Aswaja sampai hari ini masih terus
berlangsung dan belum menemukan konsepsi otoritatifnya. Bagaimana PMII kemudian berani
mendasarkan landasan teologisnya pada sebuah diskursus dekonstruksi dan rekonstruksi
Aswaja yang belum usai, menyimpan kontradiksi di sana-sini, belum ada bangunan
epistimologisnya, dan dipenuhi perdebatan teologis dari pemikir Islam tradisional? Jangan-
jangan ini hanya menjadi semacam “kegenitan” intelektual” para aktifis PMII yang kemudian
menjadikan rumusan teologis PMII sebagai media “uji coba” dalam mencari konsepsi teologis
Islam tradisional yang paling sesui dengan gerak dinamika sosial dan sejarah?.
Postulasi pandangan teologis seperti ini memang lebih maju sebagai upaya penafsiran
atas normatifitas NDP PMII, namun sebenarnya belum memberikan jawaban apapun atas
berbagai persoalan dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah hampir satu dasa warsa ini
diperdebatkan. Apalagi kalau kemudian konsepsi ini digugat dengan realitas di lapangan, bahwa
tidak ada korelasi positif antara pandangan teologis PMII ini dengan seluruh etos dan pola
gerakan PMII hari ini. Sementara itu PMII telah memilih transformasi sebagai pilihan
paradigmanya, padahal pandangan teologis antroposentrisme-transendental PMII masih belum
mampu menjawab apa bangunan epistimologisnya, realitas wujudnya dan corak serta watak
teologi apa yang sebenarnya dihasilkan, apakah revolusioner? Transformatif ? Normatif ? Atau
bahkan malah fundamentalis-formalistik ? Sungguh masih sangat banyak pertanyaan dan
problema yang muncul dari berbagai rumusan teologis yang telah PMII klaim sebagai basis
ideologi dan paradigmanya.
Kedua, rumusan sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang dan waktu
(space and time) serta harus bersifat terbuka atas perubahan (open ended). Artinya, paradigma
PMII ini akan mengalami deviasi atau shifting paradigm yang akan melahirkan
sebuah community consensus baru, hal ini akan berlangung terus menerus. Karena itu, watak
paradigma PMII adalah temporal/ tidak permanen, dan akan terus mengalami perubahan
sebagai bentuk tuntutan penyesuaian atas watak dinamis gerak sejarah kemanusiaan yang terus
berkembang dan berubah-ubah.
Sangat wajar, jika kemudian 2 tahun terakhir ini mulai dipertanyakan kembali rumusan
teologis dan paradigma gerakan PMII itu oleh beberapa aktifis PMII sendiri? Sebab
kenyataannya, tidak ada relasi timbal-balik antara rumusan teologis dan paradigma itu dengan
seluruh aktifitas yang dilakukan oleh PMII di seluruh tingkatan? Sulit menyimpulkan apakah
kalau PMII itu melakukan aksi jalanan ataupun pemikiran itu dijiwai / disemangati oleh landasan
teologis dan paradigma PMII sendiri.
Pencermatan akan kandungan kritik-kritik tersebut, baik pada ideologi melaksanakan kritik
maupun pada ideologi mengalami kritik, mengantar pada refleksi bahwa ideologi mengalami
kritik ilmiah cenderung jauh dari signifikansi ideologisnya. Ideologi kapitalisme dan ideologi
sosialisme telah menoreh noktah-noktah destruktif bagi kehidupan masyarakat yang beradab,
memperkosa harkat martabat manusia. Ideologi Kapitalisme bertahan karena kemampuannya
memperoleh dukungan politik. Hal tersebut bertalian dengan sistem kelas, di samping
mekanisme untuk mempertahankan legitimasi (proses demokratik, persaingan antar partai,
reformasi sosial, kesejahteraan). Namun nampak kesulitan mempertahankan legitimasi suatu
sistem politik yang berdasarkan kekuatan kelas yang tidak sama. Di samping itu terdapat
kecenderungan krisis yang terjadi dalam masyarakat kapitalis, yang akan mempersulit
pertahanan stabilitas politik melalui persetujuan belaka. Masyarakat kapitalis memungkinkan
konflk antara logika akumulasi kapitalis dengan tekanan dari rakyat yang menuntut partisipasi
dan persamaan lebih besar. Kondisi yang demikian itulah yang akan mempersulit pertahanan
legitimasi. Paradigma negara kesejahteraan merupakan obsesi negara-negara Barat dalam
mengantisipasi kesulitan pertahanan legitimasi. Tetapi paradigma tersebut juga menghadapi
kesulitan, sehingga dicari berbagai jalan tengah (Giddens, 1998; Giddens, 2000).
Ideologi sosialisme bertahan karena paradigma bahwa semua orang akan memberi
menurut kecakapannya dan akan menerima menurut kebutuhannya. Tetapi paradigam tersebut
menghadapi kesulitan yakni memerlukan kewenangan yang akan mengatur kebutuhan dan
kecakapan. Sementara itu masyarakat merupakan kumpulan individu-individu, sehingga
kebahagiaan seseorang pada gilirannya akan memajukan kebahagaan orang-orang lain. Maka
parameter kemajuan masyarakat adalah kemajuan para individu yang membentuknya. Pada
galibnya ideologi sosialisme mencari identifikasi diri pada kemajuan menghadapi konservatif dan
penderitaan yang mengalami ketimpangan. Sementara itu pencarian identifikasi diri tersebut
menghadapi kekurangan asas-asas kebebasan dan subjektivitas, dan sering gagal sebagai
suatu sistem ekonomik dan meragukan dalam hal moral (Murchland, 1992).
Dilema pada ideologi kapitalisme dan ideologi sosialisme tersebut mengusik wacana
ideologi alternatif. Sementara itu wacana alternatif ideologi dirasa akan memfungsikan aspek-
aspek kehidupan sebagai suatu ideologi, sehingga justru akan menimbulkan permasalahan
substantif. Hal itu misalnya akan nampak dalam ideologi ilmu yang bebas nilai, ideologi agama
yang inklusif-fundamentalistik. Sedangkan ketika paradigma agama diantisipasi sebagai modus
pencarian ideologi alternatif ( agama pascaideologi) akan menimbulkan polemik di dalam dirinya
sendiri dan polemik agama sebagai sistem sosial yang komprehensif (Maksum, ed. 1994).
Pranarka (1971) menyebut paradigma humanisme baru untuk menunjukkan bahwa semua
dapat bekerja untuk semua, semua membangun untuk semua, semua berbahagia bersama
semua. Humanisme baru dibangkitkan oleh proses sejarah itu sendiri. Humanisme baru
berprinsip bahwa manusia merupakan faktor penentu dalam sejarah, dan semakin memilih untuk
berbuat baik daripada melakukan yang jahat, memilih membangun daripada merusak, memilih
perdamaian daripada peperangan dan pembunuhan, memilih pengabdian daripada adu
kekuatan. Di situ terdapat penegasan pilihan antara humanisme theis, a-theis, atau
independent?! Dengan otonomi, independensi dan mentalitas kritis yang tidak absolut,
humanisme baru diantisipasi dapat merupakan ideologi alternatif dalam mengkritisi kemasan
ideologi-ideologi. Di dalam humanisme baru maka fajar-baru-umat-manusia diantisipasi
menyingsingkan kecerdasan spiritual yang berintikan kepekaan hati-nurani.