Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Thalasemia
1. Definisi
Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti
laut. Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley
tahun 1925 di daerah Laut Tengah, dijumpai pada anak-anak yang
menderita anemia dengan pembesaran limfa setelah berusia satu tahun.
Anemia dinamakan splenic atau eritroblastosis atau anemia
mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya
(Ganie, 2008).
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan
oleh kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino
yang membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk
sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal,
sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang
dari 120 hari dan terjadilah anemia (Tamam, 2009).
Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang
berfungsi mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga
memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari
persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin
adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin
pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β)
yang meliputi HbA (α2β2 = 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2
= 2,5%) sisanya HbF (α2ƴ2 = 0,5%).

Gambar 1. Rantai hemoglobin. Sumber : Virginia 2007.


Rantai globin merupakan suatu protein, maka sintesisnya
dikendalikan oleh suatu gen. Dua kelompok gen yang mengatur yaitu
kluster gen globin-α terletak pada kromosom 16 dan kluster gen globin-β
terletak pada kromosom 11. Penyakit thalasemia diturunkan melalui gen
yang disebut sebagai gen globin beta. Gen globin beta ini yang
mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin.
Gen globin beta hanya sebelah yang mengalami kelainan maka disebut
pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia
tampak normal atau sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam
keadaan normal dan dapat berfungsi dengan baik dan jarang
memerlukan pengobatan. Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua
kromosom, dinamakan penderita thalassemia mayor yang berasal dari
kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia.
Proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta
dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Satu dari orang tua
menderita thalasemia trait/bawaan maka kemungkinan 50% sehat dan
50% thalasemia trait. Kedua orang tua thalasemia trait maka
kemungkinan 25% anak sehat, 25% anak thalasemia mayor dan 50%
anak thalasemia trait (Ganie. R.A, 2008).

Gambar 2. Skema Penurunan Gen Thalassemia menurut Hukum


Mendel (Ganie.R.A, 2008)
2. Klasifikasi
Thalasemia dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis hemoglobin
yang mengalami gangguan menjadi Thalasemia alfa dan beta.
Sedangkan berdasarkan jumlah gen yang mengalami gangguan,
Hockenberry & Wilson (2009) mengklasifikasikan Thalasemia menjadi :
a. Thalasemia minor (Trait)
Thalasemia minor merupakan keadaan yang terjadi pada
seseorang yang sehat namun orang tersebut dapat mewariskan gen
Thalasemia pada anak-anaknya. Thalasemia trait sudah ada sejak
lahir dan tetap akan ada sepanjang hidup penderita. Penderita tidak
memerlukan transfusi darah dalam hidupnya.
b. Thalasemia Intermedia
Thalasemia intermedia merupakan kondisi antara
Thalasemia mayor dan minor. Penderita Thalasemia ini mungkin
memerlukan transfusi darah secara berkala, dan penderita
Thalasemia jenis ini dapat bertahan hidup sampai dewasa.
c. Thalasemia Mayor
Thalasemia jenis ini sering disebut Cooley Anemia dan
terjadi apabila kedua orangtua mempunyai sifat pembawa
Thalasemia (Carrier). Anak-anak dengan Thalasemia mayor tampak
normal saat lahir, tetapi akan menderita kekurangan darah pada
usia 3-18 bulan. Penderita Thalasemia mayor akan memerlukan
transfusi darah secara berkala seumur hidupnya dan dapat
meningkatkan usia hidup hingga 10-20 tahun. Namun apabila
penderita tidak dirawat penderita Thalasemia ini hanya bertahan
hidup sampai 5-6 tahun. Thalasemia mayor biasanya menjadi
bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6
bulan kehidupan. Transfusi darah reguler diperlukan pada penderita
ini untuk mencegah kelemahan yang amat dan gagal jantung yang
disebabkan oleh anemia.
3. Etiologi
Penyakit ini pertama kali dijelaskan oleh Cooley (1925), semula
ditemukan disekitar Laut Tengah, menyebar sampai Mediterania,
Afrika, Timur Tengah, India, Asia Tenggara termasuk Cina Selatan dan
Indonesia. Jumlah talasemia karier tertinggi dilaporkan di Cyprus
(14%), Sardina (10,3%) dan Asia Tenggara (Olivieri, 1999). Sampai
saat ini, talasemia masih merupakan kelainan genetik yang paling
sering terjadi di dunia, sekitar 4,83% dari populasi di dunia membawa
varian globin, 1,67% dari populasi merupakan heterozigot dari
talasemia α dan talasemia β (Rund dan Rachmilewitz, 2005). Setiap
tahun diperkirakan lahir 2500 anak dengan talasemia di Indonesia dan
Pusat Talasemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) sampai akhir 2008 terdaftar 1.455 pasien
yang terdiri dari 50% talasemia-β, 48,2% talasemia-β/Hb-E dan 1,8%
pasien talasemia-α (Wahidiyat, 2009). Penderita talasemia di Rumah
Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar periode 2000-2005
sebanyak 10 orang dan jumlahnya meningkat menjadi 15 orang pada
tahun 2011 (Mudita, 2007; Arimbawa dan Ariawati, 2011).

4. Patofisiologi
Pada trimester pertama kehidupan intrauterin, zeta, epsilon,
alpha, dan rantai gamma berada pada kadar yang signifikan dan pada
beberapa kondisi membentuk Hb Gower I (ζ2ε2), Hb Gower II (α2ε2),
Hb Portland (ζ2γ2), and hemoglobin F (HbF) (α2γ2 136-G and α2γ2
136-A). Hb Gower dan Hb Portland segera menghilang, HbF akan
menetap dan membentuk pigmen respirasi selama kehidupan
intrauterin. Sebelum lahir, produksi rantai gamma mulai berkurang
sehingga setelah usia 6 bulan setelah kelahiran, hanya tersisa HbF
(<2%) dalam jumlah sedikit yang terdeteksi di dalam darah. Pada fase
awal kehidupan intrauterin, sintesis rantai beta dipertahankan dalam
kadar rendah, akan tetapi secara bertahap meningkat sampai kadar
signifikan pada akhir trimester ketiga dan berlanjut hingga neonatal dan
dewasa. Sintesis rantai delta tetap dipertahankan dalam kadar rendah
sampai usia dewasa (<3%). Oleh karena itu selama perkembangan
normal, sintesis Hb Gower janin dan Portland digantikan oleh sintesis
HbF, dan nantinya digantikan oleh hemoglobin dewasa, HbA dan HbA2
(Marengo-Rowe, 2007).
Gambar 3. Perubahan produksi rantai globin, tempat eritropoiesis, dan

morfologi sel darah merah (dikutip dari Wood WG, 1993)

Pada talasemia terjadi hampir 200 mutasi genetik yang


berhubungan dengan kelainan yang ditimbulkan. Semua mutasi yang
terjadi berakibat pada tidak terjadinya sintesis rantai β-globin yang
disebut sebagai talasemia-βo atau pengurangan sintesis rantai β-globin
yang disebut sebagai talasemia-β+. Talasemia secara klinis bersifat
heterogen, hal ini disebabkan karena terjadi berbagai kelainan genetik
akibat mutasi, sehingga menyebabkan gangguan sintesis dari rantai
globin. Pada talasemia terjadi hemolisis dan eritropoiesis yang tidak
efektif. Hal ini terjadi secara bersama-sama sehingga mengakibatkan
anemia pada talasemia (Rani dkk., 2013). Anemia yang terjadi akibat
hemolisis perifer disebabkan oleh rantai globin alfa yang tidak larut,
sehingga memicu terjadinya kerusakan membran pada eritrosit.
Anemia akan merangsang produksi eritropietin yang cukup intensif,
akan tetapi akibat sumsum tulang yang tidak efektif akan menyebabkan
terjadinya deformitas pada tulang. Anemia yang berat serta
berkepanjangan dan meningkatnya eritropoiesis akan mengakibatkan
pembesaran pada hepar dan lien serta eritropoiesis ekstrameduler
(Stanley dan Schrier, 2002).
Pada pasien talasemia, sumsum tulang mengandung 5 sampai
6 kali jumlah prekursor eritroid lebih banyak dibandingkan pada orang
normal yang sehat, dengan jumlah sel apoptosis 15 kali lebih banyak.
Apoptosis yang terjadi lebih cepat merupakan penyebab utama
terjadinya eritropoiesis yang tidak efektif, hal ini menyebabkan terdapat
rantai alfa yang berlebih pada prekursor eritoid (Mathias dkk., 2000).
Meskipun mekanisme apoptosis dari sel tersebut belum diketahui
dengan jelas,

5. Faktor Resiko
Pengobatan yang semakin maju sekarang ini memungkinkan
para penderita Thalassemia untuk hidup lebih lama lagi. Namun,
pengobatan dan perawatan tersebut juga mengakibatkan efek
samping yang membuat para penderita Thalassemia mengalami
komplikasi. Komplikasi yang dialami penderita Thalassemia tersebut
yakni :
a. Jantung dan Liver
Transfusi darah secara teratur merupakan perawatan
standar untuk penderita Thalassemia. Namun, transfus darah
tersebut dapat menyebabkan peningkatan jumlah zat besi dalam
darah.. Hal ini dapat merusak organ dan jaringan, terutama
jantung dan hati. Penyakit jantung yang disebabkan oleh
kelebihan zat besi adalah penyebab utama kematian pada
seseorang yang menderita Thalassemia. Penyakit jantung tersebut
diantaranya gagal jantung, aritmia (detak jantung tidak teratur), dan
serangan jantung (NHLBI, 2012).
b. Infeksi
Di antara para penderitaThalassemia, infeksi merupakan
penyebab utama penyakit dan penyebab paling umum kedua
kematian dari para penderita Thalassemia. Para penderita
Thalassemia yang telah menjalani operasi pengangkatan limpa
memiliki risiko lebih tinggi, karena mereka tidak lagi memiliki organ
untuk melawan infeksi ini (NHLBI, 2012).
6. Obat-obatan terkait Penyakit
a. Transfusi Darah (NHLBI, 2012)
Transfusi darah adalah perawatan utama bagi orang-orang
yang menderita Thalassemia. Perawatan ini bertujuan untuk
memberikan sel-sel darah merah yang sehat bagi penderita.
Penderita beta Thalassemia mayor (anemia Cooley)
membutuhkan transfusi darah secara teratur (setiap 2 minggu
sekali ataupun 1 bulan sekali). Transfusi ini membantu para
penderita Thalassemia untuk mempertahankan hemoglobin
normal dan kadar sel darah merah. Transfusi darah membuat
para penderita Thalassemia merasa lebih sehat, sehingga dapat
menikmati kegiatan normal, dan hidup sampai dewasa. Transfusi
darah yang teratur perlu dilakukan untuk mempertahankan
hemoglobin penderita di atas 10 g/dL.
Transfusi darah secara teratur dapat menyebabkan
penumpukan zat besi dalam darah. Kondisi ini disebut kelebihan
zat besi. Kondisi tersebut dapat merusak hati, jantung, dan bagian
lain dari tubuh. Untuk mencegah kerusakan ini, maka dilakukan
suatu bentuk terapi khelasi zat besi untuk membuang kelebihan
zat besi dari tubuh. Pemberian terapi khelasi zat besi
(deferoxamine) diberikan setelah kadar ferritin serum sudah
mencapai 1000 mg/l atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
b. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian khelasi besi, untuk
mengikatkan efek khelasi besi.
c. SuplemenAsam Folat
Asam folat adalah vitamin B yang membantu membangun sel-sel
darah merah yang sehat. Pemberian asam folat 2-5 mg/hari dapat
memenuhi kebutuhan tubuh.
d. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah.

B. Anemia
1. Definisi
Anemia adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan kadar
hemoglobin (Hb) atau sel darah merah (eritrosit) sehingga
menyebabkan penurunan kapasitas sel darah merah dalam membawa
oksigen (Badan POM, 2011).
Anemia adalah penyakit kurang darah, yang ditandai dengan
kadar hemoglobin Hb) dan sel darah merah eritrosit) lebih rendah
dibandingkan normal. Jika kadar hemoglobin kurang dari 14 g/dl dan
eritrosit kurang dari 41% pada pria, maka pria tersebut dikatakan
anemia. Demikian pula pada wanita, wanita yang memiliki kadar
hemoglobin kurang dari 12 g/dl dan eritrosit kurang dari 37%, maka
wanita itu dikatakan anemia. Anemia bukan merupakan penyakit
melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau akibat
gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis anemia terjadi apabila terdapat
kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan.

2. Klasifikasi
Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis (Bakta, 2009)
a. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum
tulang.
1) Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi vitamin B12
2) Gangguan penggunaan besi
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia sideroblastik
3) Kerusakan sumsum tulang
- Anemia aplastic
- Anemia mieloptisik
- Anemia pada keganasan hematologi
- Anemia diseritropoietik
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
b. Anemia akibat perdarahan
1) Anemia pasca perdarahan akut
2) Anemia akibat perdarahan kronik
c. Anemia hemolitik
1) Anemia hemolitik intrakorpuskular
- Gangguan membran eritrosit (membranopati)
- Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat
defisiensi G6PD
- Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
a) Thalasemia
b) Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2) Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
- Anemia hemolitik autoimun
- Anemia hemolitik mikroangiopatik
- Lain-lain
3) Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan
patogenesis yang kompleks
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi (Bakta, 2009)
a. Anemia hipokromik mikrositer
1) Anemia defisiensi besi
2) Thalasemia major
3) Anemia akibat penyakit kronik
4) Anemia sideroblastik
b. Anemia normokromik normositer
1) Anemia pasca perdarahan akut
2) Anemia aplastic
3) Anemia hemolitik didapat
4) Anemia akibat penyakit kronik
5) Anemia pada gagal ginjal kronik
6) Anemia pada sindrom mielodisplastik
7) Anemia pada keganasan hematologik
c. Anemia makrositer
1) Bentuk megaloblastik
a) Anemia defisiensi asam folat
b) Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
2) Bentuk non-megaloblastik
a) Anemia pada penyakit hati kronik
b) Anemia pada hipotiroidisme
c) Anemia pada sindrom mielodisplastik
Selain itu, anemia juga diklasifikasikan berdasarkan hemoglobin.
Beriku klasifikasi anemia berdasarkan hemoglobin menurut WHO dalam
Handayani W, dan Haribowo A S, (2008):
Tabel 1. Klasifikasi Anemia menurut WHO dalam Handayani W, dan
Haribowo A S, (2008)
Derajat Hb (g/dl)
Ringan sekali 10,00 g/dl -13,00 g/dl
Ringan 8,00 g/dl -9,90 g/dl
Sedang 6,00 g/dl -7,90 g/dl
Berat < 6,00 g/dl

3. Etiologi
Menurut Badan POM (2011), Penyebab anemia yaitu:
a. Kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi,
vitamin B12, asam folat, vitamin C, dan unsur-unsur yang
diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
b. Darah menstruasi yang berlebihan. Wanita yang sedang menstruasi
rawan terkena anemia karena kekurangan zat besi bila darah
menstruasinya banyak dan dia tidak memiliki cukup persediaan zat
besi.
c. Kehamilan. Wanita yang hamil rawan terkena anemia karena janin
menyerap zat besi dan vitamin untuk pertumbuhannya.
d. Penyakit tertentu. Penyakit yang menyebabkan perdarahan terus-
menerus di saluran pencernaan seperti gastritis dan radang usus
buntu dapat menyebabkan anemia.
e. Obat-obatan tertentu. Beberapa jenis obat dapat menyebabkan
perdarahan lambung (aspirin, anti infl amasi, dll). Obat lainnya
dapat menyebabkan masalah dalam penyerapan zat besi dan
vitamin (antasid, pil KB, antiarthritis, dll).
f. Operasi pengambilan sebagian atau seluruh lambung (gastrektomi).
Ini dapat menyebabkan anemia karena tubuh kurang menyerap zat
besi dan vitamin B12.
g. Penyakit radang kronis seperti lupus, arthritis rematik, penyakit
ginjal, masalah pada kelenjar tiroid, beberapa jenis kanker dan
penyakit lainnya dapat menyebabkan anemia karena
mempengaruhi proses pembentukan sel darah merah.
h. Pada anak-anak, anemia dapat terjadi karena infeksi cacing
tambang, malaria, atau disentri yang menyebabkan kekurangan
darah yang parah.

4. Patofisiologi
Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat
digolongkan pada tiga kelompok (Edmunson, 2013):
a. Akibat produksi yang berkurang atau gagal
Pada anemia tipe ini, tubuh memproduksi sel darah yang
terlalu sedikit atau sel darah merah yang diproduksi tidak berfungsi
dengan baik.Hal ini terjadi akibat adanya abnormalitas sel darah
merah atau kekurangan mineral dan vitamin yang dibutuhkan agar
produksi dan kerja dari eritrosit berjalan normal. Kondisi - kondisi
yang mengakibatkan anemia ini antara lain Sickle cell anemia,
gangguan sumsum tulang dan stem cell, anemia defisiensi zat besi,
vitamin B12, dan Folat, serta gangguan kesehatan lain yang
mengakibatkan penurunan hormon yang diperlukan untuk proses
eritropoesis.
b. Anemia akibat penghancuran sel darah merah
Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuh dan tidak
mampu bertahan terhadap tekanan sirkulasi maka sel darah merah
akan hancur lebih cepat sehingga menimbulkan anemia hemolitik.
Penyebab anemia hemolitik yang diketahui antara lain:
1) Keturunan, seperti sickle cell anemia dan thalassemia
2) Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan, atau
beberapa jenis makanan
3) Toksin dari penyakit liver dan ginjal kronis
4) Autoimun
5) Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka
bakar, paparan kimiawi, hipertensi berat, dan gangguan
thrombosis
6) Pada kasus yang jarang, pembesaran lien dapat menjebak sel
darah merah dan menghancurkannya sebelum sempat
bersirkulasi.
c. Anemia Akibat Kehilangan Darah
Anemia ini dapat terjadi pada perdarahan akut yang hebat
ataupun pada perdarahan yang berlangsung perlahan namun
kronis. Perdarahan kronis umumnya muncul akibat gangguan
gastrointestinal (misal ulkus, hemoroid, gastritis, atau kanker
saluran pencernaan), penggunaan obat obatan yang
mengakibatkan ulkus atau gastritis (misal OAINS), menstruasi, dan
proses kelahiran.

C. Trombositopenia
1. Definisi
Trombositopenia adalah keadaan dimana trombosit dalam darah
yang bersirkulasi jumlahnya sedikit. Pasien trombositopenia cenderung
mengalami perdarahan, perdarahan tidak akan terjadi sampai jumlah
trombosit dalam darah turun dibawah 50.000/µl. Nilai normal trombosit
dalam darah adalah 150.000-300.000. Kadar trombosit yang rendah
yaitu 10.000/µl sering menimbulkan kematian. Pada pasien
trombositopenia biasanya timbul bintik-bintik perdarahan di seluruh
jaringan tubuh. Kulit pasien menampakkan bercak-bercak kecil
berwarna ungu, sehingga penyakit itu disebut trombositopenia purpura.
Trombosit ini dibutuhkan untuk menutup kebocoran-kebocoran kecil di
kapiler dan pembuluh kecil lainnya (Tanzil A, 2014).

2. Etiologi
Trombositopenia terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu
penurunan produksi trombosit, peningkatan destruksi trombosit, dan
sekuestrasi trombosit.
a. Penurunan produksi trombosit
Trombosit dilepaskan dari tepi luar sel terikat sumsum tulang
yang sangat besar .dikenal sebagai megakariosit (Sherwood, 2016).
Supresi megakariosit atau penekanann sumsum tulang akan
mengurangi produksi trombosit yang menyebabkan trombositopenia
(Bimlesh, et al., 2016). Beberapa faktor yang dapat menurunkan
trombosit diantaranya konsumsi alkohol, infeksi virus, infiltrasi
sumsum tulang (leukemia, tumor), radiasi, dan kemoterapi (Andreas
dan Sixten 2016).
Kemoterapi dapat menyebabkan trombositopenia melalui
berbagai mekanisme antara lain karena meningkatnya proses
mielosupresif, yakni dengan terbunuhnya sel stem dan progenitor
megakariosit pada sumsum tulang yang selanjutnya menyebabkan
penurunan jumlah trombosit yang dilepaskan ke sirkulasi atau
mensupresi megakariositopoisis yang merupakan proses proliferasi
dan maturasi megakariosit muda. Kondisi ini menjadi penting oleh
karena trombositopenia dapat mengakibatkan kejadian klinis yang
serius misalnya perdarahan, tertundanya kemoterapi dan
penurunan dosis kemoterapi hingga kadar suboptimal yang pada
akhirnya menurunkan efikasi kemoterapi dan kematian (Bimlesh, et
al., 2016).
Penelitian sumsum tulang pada pasien DBD (Demam
Berdarah Dengue) sewaktu demam akut menunjukkan terjadi
depresi sumsum tulang yaitu tahap hiposeluler pada hari ke 3
sampai 4 demam dan perubahan patologis sistem megakariosit,
eritroblast dan prekursor mieloid (Russa dan Innis, 2017).
Penemuan ini selanjutnya dijelaskan dengan adanya infeksi virus
langsung pada sel hematopoietik progenitor dan sel stromal. Hal ini
sesuai dengan keadaan klinis pasien DBD di mana jumlah trombosit
mulai menurun pada hari ke 3 demam dan mengalami
trombositopenia pada hari ke 4-5 demam (Chuansumrit dan
Tangnararatchakit, 2015).
b. Peningkatan destruksi trombosit
Trombositopenia yang diakibatkan karena pengaruh obat-
obatan, biasanya penyakit ini didiagnosis dengan mencatat
hubungan waktu antara pemberian obat dan mulai timbulnya
trombositopenia, melalui mekanisme imun, trombositopenia yang
diinduksi oleh inhibisi GPIIb/IIIa dalam waktu 24 jam setelah
pajanan. Peningkatan destruksi trombosit dikaitkan dengan
penggunaan diuretik tiazid, etanol, esterogen, trimetropim-
sulfamethoxazol, dan agensia kemoterapi. Peningkatan perusakan
trombosit diduga terjadi pada pasien yang diberi obat quinine,
quinidine, heparin, garam-garam emas, rifampin dan sulfonamid
(Bimlesh, et al., 2016).
Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) adalah penyakit
autoimun yang disebabkan oleh destruksi trombosit akibat adanya
antibodi terhadap glikoprotein yang terdapat pada membran
trombosit (antibody-mediated destruction of platelets) dan gangguan
produksi megakariosit (Michele P dan Terry B, 2017). Pada
umumnya pasien ITP tampak sehat, namun tiba-tiba mengalami
perdarahan pada kulit (petekie atau purpura) atau pada mukosa
hidung (epistaksis) (Axel, et al., 2018). Klasifikasi ITP mencakup
new diagnosed ITP, ITP persisten, dan ITP kronis. Bentuk yang
kronis paling sering terjadi pada orang dewasa, jarang ada riwayat
infeksi sebelumnya. ITP orang dewasa bermula secara perlahan-
lahan dan jarang mereda secara spontan (Michele P dan Terry B,
2017).
Terkait dengan infeksi virus dengue, antibodi yang
diproduksi sewaktu terjadinya infeksi virus dengue menunjukkan
adanya reaksi silang dengan beberapa self antigens (Martina, et al.,
2015). Pengaruh dari reaksi silang antara antibodi dengan trombosit
adalah terjadinya lisis dari trombosit dan inhibisi agregasi trombosit.
Trombosit yang bereaksi silang dengan antibodi anti-NS1 akan
mengaktivasi komplemen yang akhirnya akan mengakibatkan
bertambah banyaknya lisis dari trombosit sehingga menyebabkan
trombositopenia (Lei, et al., 2016).
c. Sekuestrasi trombosit
Limpa adalah organ limfoid dalam tubuh yang memiliki
fungsi filtrasi darah dan koordinasi respon imun. Organ ini berperan
penting untuk mencegah infeksi dengan memproduksi sel darah
putih, serta membuang bahan-bahan yang tidak diperlukan dari
dalam darah seperti sel darah merah yang rusak. Limpa dapat
membesar pada keadaan tertentu dengan tujuan untuk melakukan
fungsi pembersihan secara adekuat, keadaan ini disebut
spleenomegali (Tanzil A, 2014). Sekuestrasi limpa terjadi saat
pembesaran limpa, misalnya diakibatkan oleh sirosis hati atau jenis
leukemia tertentu. Hal ini menyebabkan trombosit terjebak
(trapping) dan tersimpan terlalu banyak didalam limpa sehingga
menyebabkan penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi, disebut
juga dengan trombositopenia (Bimlesh, et al., 2016).

D. Asuhan Gizi
Terapi gizi medik dahulunya dikenal dengan istilah terapi diet (dietary
treatment) yaitu pengaturan jumlah serta jenis makanan dan jadwal makan
setiap hari yang bertujuan membantu penyembuhan pasien. Didalam terapi
gizi medik merupakan alur proses kegiatan perencanaan makan sampai
makanan disajikan kepada pasien yang melibatkan beberapa orang yang
memiliki profesi yang berbeda seperti dokter spesialis gizi klinik, ahli gizi, dan
pramusaji dengan menghasilkan suatu makanan yang sesuai dengan
standar mulai dari perencanaan sampai disajikan harus sesuai dengan
jumlah, jenis, dan jadwal makan pasien. Proses tahapan dari terapi gizi
medik dimulai dari preskripsi diet, kitir makanan, pemorsian makanan, dan
makanan yang disajikan untuk pasien (Almatsier, 2012). Ada pun diet yang
diterapkan kepada penderita penyakit kanker yaitu diet tinggi kalori tinggi
protein.

Anda mungkin juga menyukai