Persagi Ide awal pembentukan Persagi berasal dari pelukis Sudjojono.
Ia selalu percaya bahwa kualitas
pelukis-pelukis bumiputra tak kalah dari pelukis-pelukis Barat yang berkarya di Hindia Belanda. Kepercayaan itu kian besar kala lukisannya "Kinderen met Kat" mendapat apresiasi positif dalam sebuah pameran bersama di Bataviasch Kunstkring pada 1938. “Kepercayaan saya sebagai bangsa Indonesia secara sadar mulai kukuh, naik dari kedudukan ‘inlander’ rasanya. [...] Orang Barat harus kita taklukkan. Lusa atau besok kamu akan nyembah di depan lukisan kami di museum Indonesia yang akan datang,” ungkap Sudjojono dalam otobiografinya Cerita tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya (2017, hlm. 55). Usai pameran ia mulai mendiskusikan idenya mendirikan organisasi pelukis bumiputra bersama Yudhokusumo, ayah angkatnya, dan karibnya Agus Djaya. Dari pembicaraan tersebut, mereka lantas mengajak serta kawan-kawan pelukis lainnya di Batavia. Tak lama kemudian, di tahun yang sama berdirilah Persagi dengan ketua pertamanya pelukis Agus Djaya, sementara Sudjojono menjadi sekretaris. Persagi menghimpun pelukis-pelukis seperti Soerono, Rameli, Herbert Hutagalung, Ateng Roesian, Abdulsalam, hingga pelukis perempuan Emiria Soenassa dan Saptarita Latif. Di Persagi, Sudjojono tampak bagai ideolog. Ia dan Agus Djaya sangat menekankan kepada anggota Persagi agar tak sekadar membebek kepada aliran dan teknik dari Barat. Ia bahkan menganggap pada titik tertentu teknik dan rumus malah hanya menghalangi penemuan kreatif. Baca juga: Gerilya Kebudayaan Pelukis Djaya Bersaudara “Semboyan ekstremnya ialah: Teknik tidak penting. Yang penting isi jiwa ini tumpahkan saja di atas kanvas. [...] Tujuan perjuangan Persagi: Mengembangkan seni lukis di kalangan bangsa Indonesia dengan mencari corak Indonesia Baru,” tulis Sudarmaji dalam bunga rampai Perjalanan Seni Rupa Indonesia dari Zaman Prasejarah hingga Masa Kini (1990, hlm. 74-75). Persagi tak hanya diisi pelukis-pelukis cakap saja, tetapi juga mereka yang benar-benar masih awal belajar. Mereka rutin menggelar kegiatan melukis bersama di Sekolah Arjuna di bilangan Petoyo. Selain itu, mereka juga sering mengadakan diskusi. Temanya beragam, dari mulai teori melukis hingga soal-soal politik saat itu. Gairah organisasi-organisasi ini langsung padam ketika Jepang menduduki Indonesia. Beberapa di antara anggotanya kemudian memilih aktif di lembaga kesenian bikinan Jepang, Keimin Bunka Shidoso.
Baca selengkapnya di artikel ""Tak Ingin Membebek Barat": Gairah Seni Rupa Indonesia 1930-an", https://tirto.id/c7uQ.