Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas merupakan fasilitas
pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat
dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dengan lebih
mengutamakan upaya promotif dan preventif.UKM (Upaya kesehatan
masyarakat) sendiri adalah setiap kegiatan untuk memlihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menganggulangi timbulnya
masalah kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok dan masyarakat,
sedangkan kegiatan pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kesehatan
dengan sasaran perseorangan disebut UKP (Upaya Kesehatan Perseorangan)
{(Kemkes, 2019).
Menurut Kemkes (2019), terdapat dua jenis UKM tingkat pertama
yaitu UKM esensial dan UKM pengembangan. UKM esensial merupakan
UKM ysng wajib ada dalam puskesmas meliputi pelayanan promosi
kesehatan, pelayanan kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan keluarga,
pelayanan gizi, dan pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit. Selain
itu, puskesmas juga dapat membuat UKM lain yang bersifat inovatif dan
disesuaikan dengan masalah di wilayah kerja puskesmas dalam bentuk UKM
pengembangan.
Indonesia merupakan negara berkembang sehingga baik penyakit
menular maupun tidak menular dapat menjadi masalah. Menurut Dirjen
P2MPTM Kemkes (2019) pada tahun 2016 sekitar 71 persen penyebab
kematian di dunia adalah Penyakit Tidak Menular. Sekitar 80 persen
kematian tersebut berada di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Pada Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 meunjukkan bahwa terjadi
peningkatan pada prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia seperti
hipertensi, prevalensi obesitas dan prevalensi penduduk yang merokok.
Peningkatan kasus PTM secara signifikan dapat menambah beban pada

1
masyarakat dan pemerintah karena penanganannya perlu teknologi tinggi dan
biaya yang besar. Hal ini dibuktikan dengan data BPJS tahun 2017, 5,7%
peserta JKN mendapat pelayanan untuk penyakit katastropik namun
menghabiskan 21,8 persen dari seluruh biaya kesehatan sehingga tindakan
promotive dan preventif menjadi hal penting untuk dilakukan.
Dirjen P2MPTM (2018) mengatakan bahwa prioritas pencegahan dan
pengendalian penyakit menular tertuju pada HIV/AIDS, tuberculosis,
pneumonia, hepatitis, malaria, demam berdarah, influenza, flu burung, dan
penyakit neglected disease seperti kusta, frambusia, filariasis dan
schistosomiasis. Termasuk prioritas dalam kewaspadaan dini kejadian luar
biasa, kekarantinaan Kesehatan untuk mencegah terjadinya Kejadian
Kesehatan yang Meresahkan (KKM) dan pegendalian penyakit infeksi
emerging.
Penyakit menular juga menyebabkan beban ekonomi yang tidak
sedikit di Indonesia. Studi pada tahun 2013 The Economic Burden of TB in
Indonesia menunjukkan bahwa beban ekonomi yang disebabkan oleh TB
mencapai 27,7 T rupiah tapi dengan tindakan pencegahan yang sesuai maka
beban ekonomi dapat diturunkan menjadi Rp 10,7T. Selain itu, dalam kasus
lain, potensi kerugian yang ditimbulkan oleh hepatitis adalah 463 T. Hal
diatas membuktikan bahwa tindakan pencegahan merupakan hal yang
penting dilakukan untuk mengurangi beban ekonomi (Dirjen P2MPTM,
2015).
Salah satu penyakit yang termasuk infeksi emerging adalah COVID-
19. COVID-19 merupakan pneumonia yang disebabkan oleh coronavirus
dengan strain Sars-Cov-2 yang baru ditemukan pada tahun 2019 lalu. Oleh
karena itu, tatalaksana kuratif juga belum efektif dilakukan sehingga yang
paling baik dilakukan adalah upaya preventif. Upaya-upaya ini juga perlu
dilakukan beberapa perubahan seiring dengan perkembangan kasus di
Indonesia. Pedoman untuk tatalaksana COVID-19 baik di fasyankes tingkat
pertama dan tingkat lanjutan sudah dibuat tapi pengaplikasiannya belum
merata di seluruh Indonesia.

2
Unit Pengendalian Penyakit menular dan Penyakit Tidak menular
merupakan unit yang menjalankan UKM pelayanan pencegahan dan
pengendalian penyakit di puskesmas terutama yang bersifat promotive dan
preventif. Menurut data Riskesdas 2018, secara keseluruhan tingkat
prevalensi penyakit tidak menular masih meningkat dan penyakit menular
juga masih terus bertambah maupun berulang dari tahun ke tahun
Memperbaiki upaya-upaya preventif dan promotif merupakan hal yang
paling sesuai untuk kondisi tersebut sehingga beban masyarakat dan
pemerintah baik dari bidang Kesehatan, ekonomi dan lainnya dapat
berkurang.
Penggunaan data tahun 2019 dilakukan untuk mengetahui data
capaian program dalam setahun penuh yang terbaru sehingga dapat
disesuaikan dengan target terbaru yang yang ditentukan oleh perwakilan
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten Pacitan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, didapatkan rumusan masalah yaitu
“Bagaimana pelaksanaan program Program Pengendalian Penyakit Menular
dan Tidak Menular Puskesmas Tulakan pada tahun 2019”
1.3 Tujuan Kegiatan
A. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pelaksanaan program yang dijalankan oleh
bagian PPM-PTM Puskesmas Tulakan tahun 2019
B. Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui program Pengendalian Penyakit Menular dan
Tidak Menular Puskesmas Tulakan pada tahun 2019
- Untuk mengetahui capaian program Pengendalian Penyakit Menular
dan Tidak Menular Puskesmas Tulakan pada tahun 2019
- Untuk mengetahui program yang telah dijalankan dalam upaya
pencegahan dan pengendalian pandemi COVID-19
1.4 Manfaat Kegiatan
a. Bagi Dokter Internsip

3
- Mendapatkan gambaran program-program yang dijalankan
puskesmas baik untuk penyakit menular maupun tidak menular
- Menambah wawasan tentang manajemen pandemik COVID-19 di
Fasyankes tingkat pertama
b. Bagi Puskesmas Tulakan
- Kegiatan ini dapat membantu sebagai dasar untuk melakukan
perbaikan program yang telah ada sebelumnya
- Mendapatkan informasi tentang program-program pengendalian
penyakit menular yang dijalankan oleh puskesmas
- Dapat membantu menentukan kebijakan dalam rangka penanganan
COVID-19 khususnya dalam wujud deteksi dan respon.
c. Bagi Masyarakat
- Setelah kegiatan ini diharapkan masyarakat bisa mendapatkan
pelayanan yang lebih optimal baik dari segi promotif, preventif,
maupun kuratif.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu upaya kesehatan masyarakat yang wajib ada di puskesmas


adalah upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular (P2M). Tujuan
dari upaya ini adalah untuk mencegah terjadinya penularan penyakit, serta
menurunkan angka kesakitan dan kematian di masyarakat.

Penyakit Menular
Prioritas pencegahan dan pengendalian penyakit menular tertuju pada
pencegahan dan pengendalian penyakit HIV/AIDS, tuberculosis, pneumoni,
hepatitis, malaria, demam berdarah, influenza, dan penyakit neglected diseases
antara lain kusta, filariasis. Selain penyakit tersebut, penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I) seperti polio, campak, difteri, pertusis, hepatitis B, dan
tetanus baik pada maternal maupun neonatal juga tetap menjadi perhatian
walaupun pada tahun 2014 Indonesia telah dinyatakan bebas polio dan tahun
2016 sudah mencapai eliminasi tetanus neonatorum. Termasuk prioritas dalam
pengendalian penyakit menular adalah pelaksanaan Sistim Kewaspadaan Dini
Kejadian Luar Biasa (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).

A. Penyakit Menular Langsung


a. HIV AIDS dan IMS
Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai Maret 2015, HIV-
AIDS tersebar di 390 kab/kota dari 514 Kabupaten/Kota di seluruh provinsi
di Indonesia. Jumlah kumulatif infeksi HIV sampai dengan Maret 2015
dilaporkan sebanyak 167.350 kasus dan jumlah AIDS yang dilaporkan
sebanyak 66.835 orang. Sedangkan jumlah ODHA yang mendapatkan ARV
sampai bulan Maret 2015 sebanyak 53.233 orang (Ditjen P2P Depkes RI,
2018).
Kecenderungan prevalensi kasus HIV pada penduduk usia 15 - 49

5
meningkat. Pada awal tahun 2009, prevalensi kasus HIV pada penduduk usia
15 - 49 tahun hanya 0,16% namun meningkat menjadi 0,30% pada tahun
2011, meningkat lagi menjadi 0,32% pada 2012, dan terus meningkat
menjadi 0,36% pada 2015 (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan ODHA,
diantaranya dengan memberikan pengobatan dan perawatan ODHA untuk
mencegah penularan kepada orang yang belum terinfeksi, mengedukasi
masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat
terhadap HIV AIDS, pemberian Layanan Komprehensif Berkesinambungan
(LKB) di beberapa kabupaten/kota di Indonesia serta penerapan SUFA
(Strategic Use of ARV) dalam upaya pencegahan dan pengobatan untuk
mendukung akselerasi upaya pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS.
Selain upaya tersebut, pelaksanaan tes pada populasi kunci dan upaya lain
juga terus dilakukan. Pada tahun 2010 telah dilakukan tes pada 300.577
orang dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 1.264.871 tes. Sampai Maret
2015 tercatat terdapat 1.377 Layanan Konseling dan Tes HIV Sukarela
(KTS), 500 Layanan PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) yang aktif
melakukan pengobatan ARV yang terdiri dari 352 RS Rujukan dan 148
Satelit, 91 Layanan PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon), 1.082
Layanan IMS (Infeksi Menular Seksual), 131 Layanan PPIA (Pencegahan
Penularan Ibu ke Anak) dan 223 Layanan yang mampu melakukan Layanan
TB-HIV (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Pelaksanaan berbagai upaya tersebut juga didukung oleh tersedianya
tata laksana penanganan pasien, tenaga kesehatan, pelayanan kesehatan
(khususnya Rumah Sakit), dan laboratorium kesehatan. Setidaknya terdapat
empat laboratorium yang sudah terakreditasi dengan tingkat keamanan
biologi 3 (BSL 3), yakni Laboratorium Badan Litbang Kesehatan, Institute of
Human Virology and Cancer Biology (IHVCB) Universitas Indonesia,
Institut Penyakit Tropis Universitas Airlangga, dan Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
b. TB

6
Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab utama kematian dimana
sebagian besar infeksi terjadi pada orang antara usia 15 dan 54 tahun yang
merupakan usia paling produktif, hal ini menyebabkan peningkatan beban
sosial dan keuangan bagi keluarga pasien (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Studi pada tahun 2013 The Economic Burden of TB in Indonesia,
memberikan gambaran bahwa peningkatan jumlah kasus memiliki dampak
yang besar pada beban ekonomi. Sebagai gambaran, pada tahun 2011 angka
penemuan kasus TB adalah 72,7% dan TB MDR adalah 6,7% maka beban
ekonomi yang diakibatkan adalah Rp.27,7 triliu, tetapi jika angka penemuan
kasus TB ditingkatkan menjadi 92,7% dan TB MDR 31,4% maka beban
ekonomi diturunkan menjadi Rp. 17,4 triliun. Dengan penambahan investasi
untuk biaya pengobatan sebesar Rp. 455 miliar untuk peningkatan penemuan
kasus maka akan didapat pengurangan beban ekonomi sebesar Rp. 10,4
triliun, dan adanya penurunan jumlah kematian terkait TB akan berkurang
sebesar 37%, dari 95.718 ke 59.876. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa
langkah pencegahan penularan di masyarakat harus menjadi prioritas utama
dalam program Pengendalian TB (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Indonesia telah berhasil menurunkan angka kesakitan dan kematian
akibat TB di tahun 2015 jika dibandingkan dengan tahun 1990. Angka
prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar 1025 per 100.000 penduduk,
pada tahun 2015 menjadi 647 per100.000 penduduk. Sedangkan angka
kematian pada tahun 1990 sebesar 64 menurun menjadi 41 per 100.000
penduduk pada tahun 2015 (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Berdasarkan hasil Survei Prevalensi TB Indonesia tahun 2013-2014,
diperkirakan kasus TB semua bentuk untuk semua umur adalah 660 per
100.000 penduduk dengan angka absolute diperkirakan 1.600.000 orang
dengan TB. Walaupun prevalensi TB semua kasus dapat diturunkan, tetapi
terdapat notifikasi kasus tahun 2015 sebanyak 325.000 kasus, dengan
demikian angka case detection TB di Indonesia hanya sekitar 32% dan masih
terdapat 685 .000 kasus yang belum ditemukan (Ditjen P2P Depkes RI,
2018).

7
Untuk mengatasi permasalahan TB, diperlukan kerja sama lintas
sektor karena prevalensi/beban TB disebabkan oleh multisektor seperti
kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan disparitas yang
terlalu besar, masalah sosial penganguran dan belum semua masyarakat
dapat mengakses layanan TB khususnya di Daerah Terpencil, Perbatasan dan
Kepulauan (DTPK) (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Permasalahan tersebut memacu Kementerian Kesehatan untuk terus
melakukan intensifikasi, akselerasi, eketensifikasi dan inovasi melalui
Strategi Nasional Penanggulangan TB antara lain : 1) Peningkatan Akses
layanan TOSS (Temukan Obati Sampai Sembuh) -TB bermutu melalui
Peningkatan jejaring layanan TB (public-private mix), penemuan aktif
berbasis keluarga dan masyarakat, penemuan intensif melalui kolaborasi
(TB-HIV, TB-DM, PAL, TB-KIA, dll) dan investigasi kontak, serta inovasi
deteksi dini dengan rapid tes TB, 2) Penguatan Kepemimpinan program dan
dukungan sistem melalui advokasi dan fasilitasi dalam perumusan Rencana
Aksi Daerah Eliminasi TB dan Regulasi 3) Pengendalian faktor risiko TB,
4). Membangun kemitraan dan kemandirian program, serta 5. Pemanfaatan
Informasi Strategis dan Penelitian (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).

c. ISPA
Penyakit infeksi saluran pernafasan akut, khususnya pneumonia
masih menjadi penyebab kematian terbesar bayi dan balita, lebih banyak
dibanding dengan gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Bahkan
badan kesehatan dunia (WHO) menyebut sebagai ”the forgotten killer of
children”. Pneumonia dikatakan sebagai pembunuh utama balita di dunia,
berdasarkan data WHO dari 6,6 juta balita yang meninggal di dunia , 1,1 juta
meninggal akibat pneumonia pada tahun 2012 dan 99% kematian pneumonia
anak terjadi di negara berkembang. Sementara di Indonesia, dari hasil SDKI
2012 disebutkan bahwa angka kematian balita adalah sebesar 40 per 1000.
Sementara berdasarkan Riskesdas (2007), penyebab kematian bayi terbanyak
adalah diare (31,4%) dan pnemonia (23,8%). Sedangkan penyebab terbanyak

8
kematian anak balita adalah diare (25,2%) dan pnemonia (15,5%) (Ditjen
P2P Depkes RI, 2018).
Tiga provinsi yang mempunyai insiden pneumonia balita tertinggi
adalah Nusa Tenggara Timur (38,5%), Sulawesi Barat (34,8%), dan
Kalimantan Tengah (32 %). Dari laporan rutin puskesmas tahun 2014
disebutkan jumlah pneumonia balita yang dilaporkan adalah 657.490 kasus
dan 496 kematian balita karena pneumonia (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Pneumonia balita merupakan penyakit yang dapat didiagnosis dan
diobati dengan teknologi dan biaya yang murah, namun jika terlambat maka
akan menyebabkan kematian pada balita. Dari perhitungan beban penyakit
yang dilakukan Litbangkes, diperkirakan akibat pneumonia pada usia balita
(< 5 tahun) di tahun 2015 akan terdapat DALYs loss sekitar 1 triliun rupiah.
Penemuan dan tatalakasana kasus pneumonia pada balita secara dini
diharapkan dapat menekan angka kematian yang diakibatkan karena
pneumonia, dari hasil kajian WHO tatalaksana pneumonia balita dapat
mencegah kematian balita karena pneumonia sebesar 40% (Ditjen P2P
Depkes RI, 2018).

d. Hepatitis dan ISP


Hepatitis virus yang terdiri dari hepatitis A, B, C, D dan E merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Hepatitis A dan E
yang ditularkan secara fecal oral sering menimbulkan KLB di beberapa
wilayah di Indonesia. Sedangkan Hepatitis B dan C adalah merupakan
penyakit kronis yang dapat menimbulkan sirosis dan kanker hati bagi
penderitanya. Saat ini diperkirakan terdapat 28 juta orang dengan Hepatitis B
dan 3 juta orang dengan Hepatitis C . Dari 28 juta yang terinfeksi Hepatitis B
ada sebanyak 14 juta (50%) diantaranya yang berpotensi kronik, dan dari 14
juta tersebut 1.400.000 orang (10%) berpotensi menjadi sirosis dan kanker
hati bila tidak diterapi dengan tepat. Hepatitis B yang disebabkan oleh virus
hepatitis B dapat dicegah dengan imunisasi (baik aktif maupun pasif). Pada
tahap awal infeksi, sebagian besar hepatitis B tidak bergejala sehingga

9
sesorang yang terinfeksi hepatitis B tidak mengetahui dirinya sudah
terinfeksi (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Dalam hal pengendalian Hepatitis maka strategi utama adalah
melaksanakan upaya peningkatan pengetahuan dan kepedulian, pencegahan
secara komprehensif, pengamatan penyakit dan pengendalian termasuk
tatalaksana dan peningkatan akses layanan (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Untuk itu kegiatan deteksi dini hepatitis menjadi sangat penting untuk
dapat memutus rantai penularan (terutama dari ibu ke bayi) serta untuk
mengetahui sedini mungkin seseorang terinfeksi hepatitis dan tindak lanjut
terapinya. Dengan deteksi dini seseorang sapat diterapi lebih awal sehingga
seseorang yang terinfeksi hepatitis dapat meningkat kwalitas hidupnya dan
hati tidak menjadi sirosis atau kanker hati.
Perkembangan teknologi dalam tatalaksana hepatitis C di dunia
sangat cepat. Dengan ditemukannya obat baru dalam tatalaksana hepatitis C (
sobosfovir ) dengan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi, menjadi peluang
bagi program pengendalian hepatitis untuk melaksanakan deteksi dini
hepatitis C, terutama pada kelompok berisiko. Dengan demikian eliminasi
Hepattitis B dan C menjadi mungkin untuk dicapai (Ditjen P2P Depkes RI,
2018).
Untuk penyakit diare, meskipun penyakit ini mudah diobati dan di
tatalaksana, namun saat ini diare masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat terutama pada bayi dan balita dimana diare merupakan
salah satu penyebab kematian utama. Dari kajian masalah kesehatan
berdasarkan siklus kehidupan tahun 2011 yang dilakukan oleh badan
Litbangkes, diare merupakan penyebab kematian nomor 2 sesudah
penumonia, proporsi penyebab kematian pada bayi post neonatal sebesar
17,4% dan pada bayi sebesar 13,3%.
Penyakit lain yang juga memerlukan perhatian adalah tifoid. Tifoid
merupakan salah satu penyakit endemis yang ada di Indonesia, mayoritas
mengenai anak usia sekolah dan kelompok usia produktif, penyakit ini
menyebabkan angka absensi yang tinggi, rata – rata perlu waktu 7 – 14 hari

10
untuk perawatan apabila seseorang terkena Tifoid. Apabila pengobatan yang
dilakukan tidak tuntas maka dapat menyebabkan terjadinya karier yang
kemudian menjadi sumber penularan bagi orang lain. Dampak penyakit ini
adalah, tingginya angka absensi, penurunan produktifitas, timbulnya
komplikasi baik di saluran pencernaan maupun diluar saluran pencernaan,
kerugian ekonomi untuk biaya pengobatan dan perawatan, kematian.
Menurut data WHO tahun 2008, angka kejadian Tifoid <15 tahun
adalah 180,3/100.000 penduduk, sedangkan kejadian Tifoid pada seluruh
umur adalah 81,7/100.000 penduduk. Berdasarkan angka tersebut maka pada
tahun 2015 ini diperkirakan terdapat 289.687 orang akan terkena Tifoid.
Jumlah sebesar itu akan memerlukan biaya perawatan sebesar Rp. 1,5 triliun
berupa biaya perawatan pasien, maupun biaya kerugian lain akibat tidak
masuk kerja atau sekolah, dan biaya lain terkait yang dikeluarkan oleh
keluarga akibat anggota keluarga dirawat karena Tifoid (Ditjen P2P Depkes
RI, 2018).

e. Penyakit Tropis Menular Langsung


Hingga akhir tahun 2013 Indonesia masih memiliki 14 provinsi dan
147 kab/kota yang belum mencapai eliminasi kusta. Berdasarkan situasi
tersebut, pemerintah telah menyusun peta jalan program pengendalian kusta
menuju eliminasi tingkat provinsi dan kab/kota. Indonesia diharapkan dapat
mencapai target eliminasi kusta di seluruh provinsi pada tahun 2019 dan
eliminasi kusta di seluruh kab/kota pada tahun 2020.
Salah satu strategi yang dilakukan dalam rangka pencapaian target
tersebut antara lain dengan penemuan kasus dini kusta tanpa cacat yang
diikuti dengan pengobatan hingga selesai. Upaya yang juga dapat mendorong
percepatan eliminasi adalah dengan melakukan intensifikasi komunikasi,
informasi dan edukasi serta juga intensifikasi penemuan kasus. Kegiatan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan angka penemuan sukarela,
meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat terkecil yaitu keluarga
dan pada akhirnya berdampak pada menurunnya penularan di tengah

11
masyarakat dan berkurangnya stigma dan diskriminasi terhadap penderita
dan keluarganya (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).

B. Penyakit Tular Vektor Zoonotik


a. Malaria
Pengendalian penyakit malaria yang merupakan komitmen global
telah menunjukkan pencapaian program yang cukup baik. Annual Parasite
Incidence (API) yang menjadi indikator keberhasilan upaya penanggulangan
malaria cenderung menurun dari tahun ke tahun. Secara nasional kasus
malaria selama tahun 1990-2015 cenderung menurun. API pada tahun 1990
sebesar 4,69 per 1000 penduduk turun menjadi 1,85% pada awal tahun 2009.
Pada tahun 2011 angka tersebut turun lagi menjadi 1,75%, menurun lagi
menjadi 1,69% pada tahun 2012, dan terus menurun menjadi 1,38% pada
tahun 2013, mendekati target 1% pada tahun 2014. Pada tahun 2015 target
API malaria mencapai target < 1 yaitu 0,85 per 1.00 penduduk (Ditjen P2P
Depkes RI, 2018).
Walaupun secara nasional kasus malaria telah mengalami penurunan
namun masih terjadi disparitas kejadian malaria di daerah terutama di 5
Provinsi wilayah Timur Indonesia yaitu di Papua, Papua Barat, Nusa Tenggra
Timur, Maluku dan Maluku Utara. Berbeda dengan Indikator RPJMN 2010-
2014 yang berupa pencapaian API di bawah 1 per 1000 penduduk, maka pada
RPJMN 2015-2019 indikator berupa jumlah kumulatif kabupaten/ kota
mencapai eliminasi malaria. Pada tahun 2014 terdapat 212 kabupaten/kota
yang telah mencapai status eliminasi , sehingga masih terdapat 88 kabupaten/
Kota yang harus mencapai status eliminasi sebagaimana ditetapkan dalam
target RPJMN yaitu 300 Kabupaten/ Kota mencapai eliminasi Malaria pada
tahun 2019 (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Untuk mencapai target tersebut, pada tahun 2014-2015 dilakukan
upaya pencegahan berupa pembagian kelambu secara masal (total coverage).
Sehingga diharapkan kasus malaria menurun pada 5 tahun mendatang dan
target kab/kota eliminasi malaria dapat tercapai.

12
b. Zoonosis
Zoonosis adalah penyakit dan infeksi yang ditularkan secara alami di
antara hewan vertebrata dan manusia (WHO). Dalam rangka akselerasi
pengendalian zoonosis telah dibentuk Komisi Nasional Pengendalian
Zoonosis melalui PERPRES No.30 Tahun 2011 tentang Pengendalian
Zoonosis.
Rabies adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat akut pada manusia
dan hewan berdarah panas yang disebabkan oleh lyssa virus, dan
menyebabkan kematian pada hampir semua penderita rabies baik manusia
maupun hewan. Pada manusia, rabies menyebabkan kematian jika sudah
terjadi gejala klinis. Selama 2009 – 2013 terjadi lebih dari 361.935 kasus
gigitan hewan penular rabies, sekitar 299.209 orang (82,67 %) diberikan
Vaksin Anti Rabies (VAR) dan 841 orang meninggal akibat rabies (lyssa). Di
Indonesia rabies terjadi di 265 Kabupaten/Kota (sebagai data dasar sasaran).
Sebanyak 25 provinsi telah tertular rabies dan hanya 9 provinsi masih bebas
historis dan telah dibebaskan dari rabies (Provinsi Kepulauan Riau, Bangka
Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat) (Ditjen P2P Depkes RI,
2018).
Eliminasi rabies di ASEAN telah menjadi komitmen bersama yakni
ASEAN Bebas Rabies 2020. Indonesia sebagai salah satu Negara ASEAN
juga mempunyai komitmen guna mencapai tujuan lndonesia Bebas Rabies
2020.
Flu Burung/Avian Influenza adalah suatu penyakit menular pada
unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dengan subtipe H5N1. Di
Indonesia kasus tersebut pertama kali terjadi pada manusia pada tahun 2005
sampai 2014. Pada kurun waktu tersebut telah dilaporkan 197 kasus
konfirmasi dengan 165 kematian dan tersebar sporadis di 15 provinsi (Ditjen
P2P Depkes RI, 2018).
Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

13
bakteri dari genus leptospira yang patogen dan dapat menyerang manusia dan
hewan. Tikus dicurigai sebagai sumber utama infeksi pada manusia di
Indonesia. Pada tahun 2014 dilaporkan kasus Leptospirosis nasional 524
kasus dengan 62 kematian (CFR 11,83%) (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Penyakit antraks adalah termasuk salah satu zoonosis yang disebabkan
oleh bacillus anthracis, dapat menyerang manusia melalui 3 cara yaitu melalui
kulit yang lecet, abrasi atau luka, dapat melalui pernafasan (inhalasi) dan
melalui mulut karena makan bahan makanan yang tercemar kuman antraks
misalnya daging yang terinfeksi yang dimasak kurang sempurna. Spora
antraks ini dapat digunakan sebagai senjata bioterorisme (Ditjen P2P Depkes
RI, 2018).
Pes (Plague) disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang terdapat
pada binatang pengerat/rodensia seperti tikus/bajing dan dapat menular antar
binatang pengerat melalui gigitan pinjal dan ke manusia melalui gigitan
pinjal. Fokus Pes di Indonesia adalah Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur),
Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah), Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa
Yogyakarta).

c. Filariasis dan Kecacingan


Penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted
Helminthiasis/STH), masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
negaranegara beriklim tropis dan sub tropis, termasuk negara Indonesia.
Prevalensi kecacingan saat ini berkisar 20-86 % dengan rata-rata 30%. Infeksi
cacing perut ini dapat mempengaruhi status gizi, proses tumbuh kembang dan
merusak kemampuan kognitif pada anak yang terinfeksi. Kasus-kasus
malnutrisi, stunting, anemia bisa disebabkan oleh karena kecacingan. Upaya
pengendalian kecacingan dengan strategi pemberian obat cacing massal
dilakukan secara terintegrasi dengan Program Gizi melalui pemberian vitamin
A pada anak usia dini dan melalui Program UKS (Usaha Kesehatan Sekolah)
untuk anak usia sekolah.
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit menular yang

14
disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.
Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan
pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki,l
engan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Hingga tahun 2013
terdapat 12.714 kasus kronis. WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global
untuk mengeliminasi filariasis pada tahun 2020 (The Global Goal of
Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year
2020). Indonesia melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap
yang telah dimulai sejak tahun 2002 di 5 kabupaten. Program eliminasi
dilaksanakan melalui pengobatan massal Pemberian Obat Massal Pencegahan
(POMP) flariasis dengan DEC dan albendazol setahun sekali selama 5 tahun
di lokasi yang endemis serta perawatan kasus klinis baik yang akut maupun
kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitaannya. Sampai
tahun 2012 kabupaten/kota yang melaksanakan POMP filariasis sudah
mencapai 86 kabupaten/kota dari 245 kabupaten/kota yang endemis filariasis
dan bertambah menjadi 92 Kabupaten/Kota pada tahun 2013. Program POPM
Filariasis merupakan tahapan menuju eliminasi sebagaimana telah ditetapkan
dalam sasaran RPJMN 2015-2019 dimana pada akhir tahun 2019 Kabupaten/
Kota yang mencapai eliminasi Filariasis ditargetkan sebanyak 35 Kabupaten/
Kota (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).

d. Arbovirus
Arbovirus adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
infeksi virus yang ditularkan ke manusia dari serangga yang dikenal sebagai
arthropoda. Salah satu penyakit yang disebabkan arbovirus adalah Dengue
Fever. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
menular yang disebabkan infeksi virus dengue dengan vektor nyamuk Aedes
aegypty. Nyamuk yang paling cepat berkembang di dunia ini telah
menyebabkan hampir 390 juta orang terinfeksi setiap tahunnya (Infodatin
Kemenkes RI, 2018).
Dalam tiga dekade terakhir, penyakit DBD meningkat insidennya di

15
berbagai belahan dunia terutama daerah tropis dan sub-tropis, serta banyak
ditemukan di wilayah urban dan semi-urban, termasuk di Indonesia. Untuk
penyakit DBD, target angka kesakitan DBD secara nasional tahun 2012
sebesar 53 per 100.000 penduduk atau lebih rendah. Sampai tahun 2013, di
Indonesia tercatat angka kesakita sebesar 45 per 100.000 penduduk yang
berarti telah melampaui target yang ditetapkan. Angka Kematian DBD juga
mengalami penurunan. Pada tahun 1968 angka CFR mencapai 41,30% dan
menjadi 0,77% pada tahun 2013. Cara yang dapat dilakukan untuk upaya
pengendalian DBD adalah melalui upaya pengendalian nyamuk penular dan
upaya membatasi kematian karena DBD. Atas dasar itu, maka upaya
pengendalian DBD memerlukan kerjasama dengan program dan sektor terkait
serta peran serta masyarakat (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).

Penyakit Menular Berpotensi KLB dan Menimbulkan Kedaruratan


Kesehatan Masyarakat
Dalam rangka menurunkan kejadian luar biasa penyakit menular telah
dilakukan pengembangan Early Warning and Respons System (EWARS) atau
Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR), yang merupakan penguatan dari
Sistem Kewaspadaan Dini - Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB). Melalui
penggunaan EWARS diharapkan terjadi peningkatan dalam deteksi dini dan
respon terhadap peningkatan trend kasus penyakit, khususnya yang berpotensi
menimbulkan KLB.

Jenis penyakit yang berpotensi KLB yang dipantau dalam SKDR yaitu
sebanyak 23 penyakit, antara lain: Diare Akut, Malaria Konfirmasi, Tersangka
Dengue, Pneumonia, Diare Berdarah/Disentri, Suspek Demam Tifoid, Sindrom
Jaundice Akut, Suspek Chikungunya, Suspek Flu Burung pada manusia, Suspek
Campak, Suspek Difteri, Pertusis, Acute Flacid Paralysis (AFP), Gigitan Hewan
Penular Rabies (GHPR), Suspek Antraks, Suspek Leptospirosis, Suspek Kolera,
kluster penyakit yang tidak lazim, Suspek Meningitis/Encephalitis, Suspek
Tetanus Neonatorum, Suspek Tetanus, ILI (penyakit serupa influenza), dan

16
Suspek HFMD (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).

Untuk penyakit infeksi emerging, dalam beberapa dasawarsa terakhir


sejumlah penyakit baru bermunculan dan sebagian bahkan berhasil masuk serta
merebak di Indonesia, seperti SARS, dan flu burung. Saat ini Indonesia dan dunia
sedang dihadapi oleh pandemi Corona Virus.

Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit


mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang
diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti
Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS). Coronavirus Disease2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis
baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab
COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan
antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan
dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia.
Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini sampai saat ini
masih belum diketahui (Ditjen P2P Depkes RI, 2020).

Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan
pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata
5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang
berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan
bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian
besar kasus adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan
bernapas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru
(Ditjen P2P Depkes RI, 2020).

Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus


pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei,
Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina mengidentifikasi pneumonia yang tidak
diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis baru coronavirus (coronavirus
disease, COVID-19). Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO telah menetapkan

17
sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia/ Public
Health Emergency of International Concern (KKMMD/PHEIC). Penambahan
jumlah kasus COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran
antar negara. Sampai dengan 3 Maret 2020, secara global dilaporkan 90.870
kasus konfimasi di 72 negara dengan 3.112 kematian (CFR 3,4%). Rincian
negara dan jumlah kasus sebagai berikut: Republik Korea (4.812 kasus, 28
kematian), Jepang (268 kasus, 6 kematian), Singapura (108 kematian), Australia
(33 kasus, 1 kematian), Malaysia (29 kasus), Viet Nam (16 kasus), Filipina (3
kasus, 1 kematian), New Zealand (2 kasus), Kamboja (1 kasus), Italia (2.036
kasus, 52 kematian), Perancis (191 kasus, 3 kematian), Jerman (157 kasus),
Spanyol (114 kasus), United Kingdom (39 kasus), Swiss (30 kasus), Norwegia
(25 kasus), Austria (18 kasus), Belanda (18 kasus), Swedia (15 kasus), Israel (10
kasus), Kroasia (9 kasus), Islandia (9 kasus), San Marino (8 kasus), Belgia (8
kasus), Finlandia (7 kasus), Yunani (7 kasus), Denmark (5 kasus), Azerbaijan (3
kasus), Republik Ceko (3 kasus), Georgia (3 kasus), Romania (3 kasus), Rusia (3
kasus), Portugal (2 kasus), Andorra (1 kasus), Armenia (1 kasus), Belarus (1
kasus), Estonia (1 kasus), Irlandia (1 kasus), Republik Latvia (1 kasus), Lithuania
(1 kasus), Luxembourg (1 kasus), Monako (1 kasus), Makedonia Utara (1 kasus),
Thailand (43 kasus, 1 kasus), India (5 kasus), Indonesia (2 kasus), Nepal (1
kasus), Sri Lanka (1 kasus), Iran (1.501 kasus, 66 kematian), Kuwait (56 kasus),
Bahrain (49 kasus), Iraq (26 kasus), Uni Emirat Arab (21 kasus), Libanon (13
kasus), Qatar (7 kasus), Oman (6 kasus), Pakistan (5 kasus), Mesir (2 kasus),
Afghanistan (1 kasus), Yordania (1 kasus), Maroko (1 kasus), Arab Saudi (1
kasus), Tunisia (1 kasus), Amerika Serikat (64 kasus, 2 kematian), Kanada (27
kasus), Ekuador (6 kasus), Meksiko (5 kasus), Brasil (2 kasus), Republik
Dominika (1 kasus), Algeria (5 kasus), Nigeria (1 kasus), Senegal (1 kasus).
Diantara kasus tersebut, sudah ada beberapa petugas kesehatan yang dilaporkan
terinfeksi (Ditjen P2P Depkes RI, 2020).

Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular dari manusia ke


manusia melalui kontak erat dan droplet, tidak melalui udara. Orang yang paling

18
berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang kontak erat dengan pasien
COVID-19 termasuk yang merawat pasien COVID-19. Rekomendasi standar
untuk mencegah penyebaran infeksi adalah melalui cuci tangan secara teratur,
menerapkan etika batuk dan bersin, menghindari kontak secara langsung dengan
ternak dan hewan liar serta menghindari kontak dekat dengan siapa pun yang
menunjukkan gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin. Selain itu,
menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat berada di fasilitas
kesehatan terutama unit gawat darurat.

Penyakit Tidak Menular

Kecenderungan penyakit menular terus meningkat dan telah mengancam


sejak usia muda. Selama dua dekade terakhir ini, telah terjadi transisi
epidemiologis yang signifikan, penyakit tidak menular telah menjadi beban
utama, meskipun beban penyakit menular masih berat juga. Indonesia sedang
mengalami double burden penyakit, yaitu penyakit tidak menular dan penyakit
menular sekaligus. Penyakit tidak menular utama meliputi jantung, stroke,
hipertensi, diabetes melitus, kanker dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Jumlah kematian akibat PTM terus meningkat dari 41,75% pada tahun 1995
menjadi 59,7% di 2007 (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).

Di tingkat global, 63 persen penyebab kematian di dunia adalah penyakit


tidak menular (PTM) yang membunuh 36 juta jiwa per tahun, 80 persen kematian
ini terjadi di negara berpenghasilan menengah dan rendah. Penyakit tidak
menular adalah penyakit kronis dengan durasi yang panjang dengan proses
penyembuhan atau pengendalian kondisi klinisnya yang umumnya lambat.
Pengaruh industrialisasi mengakibatkan makin derasnya arus urbanisasi
penduduk ke kota besar, yang berdampak pada tumbuhnya gaya hidup yang tidak
sehat seperti diet yang tidak sehat, kurangnya aktifitas fisik, dan merokok. Hal ini
berakibat pada meningkatnya prevalensi tekanan darah tinggi, glukosa darah
tinggi, lemak darah tinggi, kelebihan berat badan dan obesitas yang pada
gilirannya meningkatkan prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah,
penyakit paru obstruktif kronik, berbagai jenis kanker yang menjadi penyebab

19
terbesar kematian (WHO, 2013).

PTM secara global telah mendapat perhatian serius dengan masuknya


PTM sebagai salah satu target dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
2030 khususnya pada Goal 3: Ensure healthy lives and well-being. SDGs 2030
telah disepakati secara formal oleh 193 pemimpin negara pada UN Summit yang
diselenggarakan di New York pada 25-27 September 2015. Hal ini didasari pada
fakta yang terjadi di banyak negara bahwa meningkatnya usia harapan hidup dan
perubahan gaya hidup juga diiringi dengan meningkatnya prevalensi obesitas,
kanker, penyakit jantung, diabetes dan penyakit kronis lainnya. Penanganan PTM
memerlukan waktu yang lama dan teknologi yang mahal, dengan demikian PTM
memerlukan biaya yang tinggi dalam pencegahan dan penanggulangannya.
Publikasi World Economic Forum April 2015 menunjukkan bahwa potensi
kerugian akibat penyakit tidak menular di Indonesia pada periode 2012-2030
diprediksi mencapai US$ 4,47 triliun, atau 5,1 kali GDP 2012. Masuknya PTM
ke dalam SDGs 2030 mengisyaratkan PTM harus menjadi prioritas nasional yang
memerlukan penanganan secara lintas sector (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dan 2013 menunjukkan bahwa
telah terjadi peningkatan PTM secara bermakna, diantaranya prevalensi penyakit
stroke meningkat dari 8,3 per mil pada 2007 menjadi 12,1 per mil pada 2013.
Lebih lanjut diketahui bahwa 61 persen dari total kematian disebabkan oleh
penyakit kardiovaskuler, kanker, diabetes dan PPOK. Tingginya prevalensi bayi
dengan BBLR (10%, tahun 2013) dan lahir pendek (20%, tahun 2013), serta
tingginya stunting pada anak balita di Indonesia (37,2%, 2013) perlu menjadi
perhatian oleh karena berpotensi pada meningkatnya prevalensi obese yang erat
kaitannya dengan peningkatan kejadian PTM. Dengan demikian, pencegahan dan
pengendalian PTM juga perlu mengintegrasikan dengan upaya-upaya yang
mendukung 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk pencegahan dan penanggulangan


PTM, sejalan dengan pendekatan WHO terhadap penyakit PTM Utama yang
terkait dengan faktor risiko bersama (Common Risk Factors). Di tingkat

20
komunitas telah diinisiasi pembentukan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) PTM
dimana dilakukan deteksi dini faktor risiko, penyuluhan dan kegiatan bersama
komunitas untuk menuju Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Sejak mulai
dikembangkan pada tahun 2011 Posbindu¬PTM pada tahun 2015 telah
berkembang menjadi 11.027 Posbindu di seluruh Indonesia (Ditjen P2P Depkes
RI, 2018).

Di tingkat pelayanan kesehatan juga telah dilakukan penguatan dari


puskesmas selaku kontak pertama masyarakat ke sistem kesehatan. Disadari
bahwa pada saat ini sistem rujukan belum tertata dengan baik dan akan terus
disempurnakan sejalan dengan penyempurnaan program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) yang merupakan bentuk implementasi dari Universal Health
Coverage (UHC) dan diterapkan sejak 1 Januari 2014. Namun demikian hal
diatas belum cukup karena keterlibatan multi-sektor masih terbatas. Dikenali
bahwa PTM amat terkait kepada Social Determinants for Health, khususnya
dalam faktor risiko terkait perilaku dan lingkungan.

Sebagaimana dikemukakan diatas, PTM merupakan sekelompok penyakit


yang bersifat kronis, tidak menular, dimana diagnosis dan terapinya pada
umumnya lama dan mahal. PTM sendiri dapat terkena pada semua organ,
sehingga jenis penyakitnya juga banyak sekali. Berkaitan dengan itu, pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan kesehatan masyarakat (public health). Untuk
itu perhatian difokuskan kepada PTM yang mempunyai dampak besar baik dari
segi morbiditas mapun mortalitasnya sehingga menjadi isu kesehatan masyarakat
(public health issue) . Dikenali bahwa PTM tersebut yang kemudian dinamakan
PTM Utama, mempunyai faktor risiko perilaku yang sama yaitu merokok, kurang
berolah raga, diet tidak sehat dan mengkonsumsi alkohol. Bila prevalensi faktor
risiko menurun, maka diharapkan prevalensi PTM utama juga akan menurun.
Sedangkan dalam pendekatan klinis, setiap penyakit ini akan mempunyai
pendekatan yang berbeda-beda. Namun demikian, tidak semua PTM dengan
prevalensi tinggi memunyai faktor risiko yang sama misalnya kanker hati dan
kanker serviks dimana peran infeksi virus sangat besar. Untuk kondisi ini

21
diperlukan intervensi spesifik (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).

Penyakit yang menjadi perhatian dikarenakan prevalensi mulai meningkat


adalah penyakit katarak. Berdasarkan data Riskesdas Tahun 2013, prevalensi
katarak pada semua kelompok umur sebesar 1,8%, jika mengacu pada kriteria
yang ditetapkan oleh WHO, hal tersebut menjadi masalah kesehatan masyarakat
dan juga masalah sosial. Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang
menyebabkan penurunan tajam penglihatan (visus), yang banyak di derita oleh
kelompok usia diatas 50 tahun. Jika tidak dilakukan upaya pencegahan, maka
jumlah penderita katarak akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia
harapan hidup masyarakat Indonesia; 80% katarak dapat dihindari, baik dengan
cara pencegahan, penyembuhan maupun rehabilitasi (Ditjen P2P Depkes RI,
2018).

Gambaran Morbitas dan Mortalitas Penyakit Tidak Menular


Permasalahan penyakit tidak menular cenderung meningkat dalam
beberapa dekade terakhir ini baik secara global maupun nasional. Morbiditas
maupun mortalitas beberapa penyakit tidak menular utama cenderung meningkat
di hampir semua negara. Persepsi bahwa PTM merupakan masalah di negara
maju ternyata tidak benar. Estimasi penyebab kematian terkait PTM yang
dikembangkan oleh WHO menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskular
merupakan peyebab tertinggi kematian di negara-negara Asia Tenggara, termasuk
di Indonesia sebesar 37 persen1 (Tabel 2.1). Lebih dari 80 persen dari kematian
disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler dan diabetes serta 90 persen dari
kematian akibat penyakit paru obstruktif kronik terjadi di negara-negara
berpendapatan menengah ke bawah. Disamping itu dua per tiga dari kematian
karena penyakit kanker terjadi di negara-negara berpendapatan menengah ke
bawah (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).

Tabel 1. Estimasi Proporsi PTM sebagai penyebab kematian di beberapa Negara


SEARO (WHO, 2014)

Kardiovaskula Diabetes Kanker cedera PPOK lainnya

22
r
Indonesia 37% 6% 13% 7% 5% 10%
India 26% 2% 7% 12% 13% 12%
Thailand 29% 4% 17% 11% 9% 12%
Myanmar 25% 3% 11% 11% 9% 11%
Nepal 22% 3% 8% 10% 13% 14%
Sri Lanka 40% 7% 10% 14% 8% 10%
Bangladesh 17% 3% 10% 9% 11% 18%

Berdasarkan suvei RISKESDAS 2007, diketahui proporsi (%) penyebab


kematian di Indonesia yang tertinggi adalah akibat stroke. Penyebab kematian
utama untuk semua umur adalah strok (15,4%), yang disusul oleh TB (7,5%),
Hipertensi (6,8%), Cedera (6,5%) dan penyakit terkait perinatal (6%) (grafik 2.1).
Sementara diantara kematian akibat penyakit tidak menular didapatkan sekitar
sepertiganya disebabkan oleh penyakit stroke dengan total jumlah kematian 2285.
Berdasarkan perspektif status ekonomi, beberapa penyakit tidak menular
cenderung menjadi masalah pada kelompok eknonomi rendah maupun tinggi,
seperti penyakit stroke dan hipertensi. Sementara pada penyakit PPOK dan asma,
terdapat kencenderungan terjadi pada kelompok dengan status ekonomi yang
lebih rendah. Sebaliknya, untuk penyakit kanker dan diabetes mellitus, lebih
banyak terjadi pada kelompok ekonomi yang lebih tinggi (Ditjen P2P Depkes RI,
2018).

Gambaran Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular


Hasil RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan beberapa faktor risiko
penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
adalah faktor risiko perilaku atau gaya hidup seperti merokok, kurang aktifitas
fisik serta kurang konsumsi sayur dan buah. proporsi merokok sebesar 36.3
persen yang meningkat dibandingkan tahun 2007 (34.7%). Proporsi populasi

23
dengan aktifitas fisik kurang adalah sebesar 26.1 persen, yang menunjukkan
penurunan dibandingkan tahun 2007. Penurunan ini berkaitan dengan
penggunanaan definisi yang berbeda antara 2007 dan 2013. Proporsi perilaku
kurang konsumsi sayur dan buah masih sangat tinggi di tahun 2007 dan 2013
(93.6% dan 93.5%). Rata-rata konsumsi sayur dan buah di Indonesia masih
berkisar antara satu sampai dua porsi sehari dan sebesar 77.4 persen
mengkonsumsi sayur dan buah sebanyak satu sampai dua porsi sehari. Sementara
terkait faktor risiko biologis, seperti obesitas sentral menunjukkan angka yang
meningkat dari 18.8 persen di tahun 2007 menjadi 26.6 persen di tahun 2013
(Table 2).

Konsumsi minuman beralkohol diketahui berkaitan erat dengan terjadinya


risiko abnormalitas fisiologis seperti profil lemak yang terganggu, obesitas dan
peningkatan tekanan darah. Meskipun perilaku konsumsi alcohol masih cukup
rendah tetapi cukup berdampak secara kesehatan, sosial dan ekonomi di
masyarakat apabila dikonsumsi dengan tidak benar. Masalah konsumsi alcohol di
Indonesia adalah konsumsi tidak benar yang mengarah pada cedera dan kematian.
Hasil RISKESDAS 2007 menunjukkan angka prevalensi konsumsi alkohol
adalah 4.3 persen dengan angka tertinggi di provinsi Sulawesi Utara (28.3%).
Dari 4.6 persen populasi yang mengkonsumsi alcohol sebesar 13.4 persen
mengkonsumsi alcohol dalam jumlah yang tinggi atau berbahaya (>= 5 standard
per hari). Untuk angka prevalensi konsumsi alkohol yang tinggi di populasi
umum adalah sebesar 0.57 persen (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).

Tabel 2. Proporsi (%) faktor risiko PTM tahun 2007 dan 2013

24
Indikator dan Program P2PTM (Ditjen P2PTM Depkes RI, 2019)
Tabel 3. Indikator dan program P2PTM

Tabel 4. Indikator perprogram p2ptm

25
26
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penyakit Menular
a) Penyakit Menular Langsung
1. PMS dan HIV/AIDS
Tabel. Evaluasi Kinerja UKM P2P bagian pencegahan dan
penanggulangan PMS dan HIV/AIDS Puskesmas Tulakan tahun
2019

Target
Pelayanan Kesehatan/ Pencapaian %
Tahun Satuan Total Target
Program/Variabel/Sub dalam satuan Cakupan
2019 Sasaran Sasaran sasaran
Variabel Program sasaran riil
(dalam %)
1. Sekolah (SMP dan 100% anak 3153 3153 407 12,9
SMA/sederajat) yang
sudah dijangkau
penyuluhan HIV/AIDS
2. Orang yang beresiko 100% orang 9584 9584 640 6,7
terinfeksi HIV
mendapatkan
pemeriksaan HIV

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa Pelayanan Kesehatan/


Program/Variabel/Sub Variabel Program P2P bagian Pencegahan dan
Penanggulangan PMS dan HIV/AIDS meliputi:
1. Penyuluhan mengenai HIV/AIDS terhadap siswa SMP dan
SMA/sederajat, dan
2. Pemeriksaan HIV terhadap orang yang beresiko terinfeksi HIV.
Diketahui total sasaran siswa sekolah (SMP dan
SMA/Sederajat) yang sudah dijangkau penyuluhan HIV/AIDS
sebesar 3153 anak, dengan target sasaran 3153 anak. Selama tahun
2019, jumlah siswa sekolah (SMP dan SMA/Sederajat) yang sudah

27
dijangkau penyuluhan HIV/AIDS sebesar 407 anak (12,9%), yang
artinya belum memenuhi target sebesar 100%.
Kemudian total sasaran orang yang beresiko terinfeksi HIV
mendapatkan pemeriksaan HIV sebesar 9584 orang, dengan target
sasaran 9584 orang. Selama tahun 2019, jumlah orang yang beresiko
terinfeksi HIV mendapatkan pemeriksaan HIV sebesar 604 orang
(6,7%), yang artinya belum memenuhi target sebesar 100%.
2. TB
Tabel. Evaluasi Kinerja UKM P2P bagian TB Paru Puskesmas
Tulakan tahun 2019

Target
Pelayanan Kesehatan/ Pencapaian %
Tahun Satuan Total Target
Program/Variabel/Sub dalam satuan Cakupan
2019 Sasaran Sasaran sasaran
Variabel Program sasaran riil
(dalam %)
1.Kasus TBC yang 80% orang 126 100,8 14 11,1
ditemukan dan diobati
2.Terduga TBC yang 100% orang 1260 1260 256 20,3
mendapatkan pelayanan
diagnostik baku
3.Angka Keberhasilan 90% orang 126 113,4 3 2,4
pengobatan kasus TBC
(Success Rate/SR)

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa Pelayanan Kesehatan/


Program/Variabel/Sub Variabel Program P2P bagian TB Paru meliputi:
1. Penemuan dan pengobatan kasus TBC
2. Pelayanan diagnostik baku pada terduga TBC
3. Follow up pengobatan kasus TBC yang dilihat dari keberhasilan
pengobatan kasus TBC
Diketahui total sasaran kasus TBC yang ditemukan dan
diobati sebesar 126 orang, dengan target sasaran 101 orang. Selama
tahun 2019, jumlah kasus TBC yang ditemukan dan diobati sebesar

28
14 orang (11,1%), yang artinya belum memenuhi target sebesar
80%.
Kemudian total sasaran terduga TBC yang mendapatkan
pelayanan diagnostik baku sebesar 1260 orang, dengan target
sasaran 1260 orang. Selama tahun 2019, jumlah terduga TBC yang
mendapatkan pelayanan diagnostik baku sebesar 256 orang (20,3%),
yang artinya belum memenuhi target sebesar 100%.
Selanjutnya total sasaran keberhasilan pengobatan kasus
TBC (Success Rate/SR) sebesar 126 orang, dengan target sasaran
113 orang. Selama tahun 2019, jumlah keberhasilan pengobatan
kasus TBC (Success Rate/SR) sebesar 3 orang (2,4%), yang artinya
belum memenuhi target sebesar 90%.

iii. ISPA
Tabel 1. Evaluasi Kinerja UKM P2P Kasus ISPA PKM Tulakan tahun
2019

Target
Pelayanan Kesehatan/ Pencapaian %
Tahun Satuan Total Target
Program/Variabel/Sub dalam satuan Cakupan
2019 Sasaran Sasaran sasaran
Variabel Program sasaran riil
(dalam %)

Penemuan penderita 85% orang 341 289.85 3 0.9


pneumonia balita

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa program P2P bagian ISPA
yaitu Penemuan penderita pneumonia pada balita. Penemuan penderita
pneumonia pada balita dengan target 85%, total sasaran 341 orang. Hasil
pencapaian penemuan penderita pneumonia balita di PKM Tulakan sebesar 3
orang, dengan cakupan 0.9%.

29
v. Diare
Tabel 1. Evaluasi Kinerja UKM P2P Kasus Diare PKM Tulakan tahun
2019

Target
Pelayanan Kesehatan/ Pencapaian %
Tahun Satuan Total Target
Program/Variabel/Sub dalam satuan Cakupan
2019 Sasaran Sasaran sasaran
Variabel Program sasaran riil
(dalam %)

Pelayanan diare balita 100% balita 1522 1522 405 26.6


Penggunaan oralit pada 100% balita 1522 1522 405 26.6
balita diare
Penggunaan zinc pada 100% balita 1522 1522 405 26.6
balita diare
Pelaksanaan kegiatan 100% balita 1522 1522 405 26.6
layanan rehidrasi oral aktif
(LROA)

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa program P2P bagian


diare yaitu: 1) Pelayanan diare balita, 2) Penggunaan oralit pada balita diare, 3)
Penggunaan zinc pada balita diare, 4) Pelaksanaan kegiatan layanan rehidrasi oral
aktif.
Pelayanan diare pada balita dengan target 100%, total sasaran
1522 orang. Hasil pencapaian pelayanan diare pada balita di PKM
Tulakan sebesar 405 orang, dengan cakupan 26.6%.
Penggunaan oralit pada balita diare dengan target 100%, total
sasaran 1522 orang. Hasil pencapaian penggunaan oralit pada balita diare
di PKM Tulakan sebesar 405 orang, dengan cakupan 26.6%.
Penggunaan zinc pada balita diare dengan target 100%, total
sasaran 1522 orang. Hasil pencapaian penggunaan zinc pada balita diare
di PKM Tulakan sebesar 405 orang, dengan cakupan 26.6%.
Pelaksanaan kegiatan layanan rehidrasi oral aktif dengan target
100%, total sasaran 1522 orang. Hasil pencapaian pelaksanaan kegiatan
layanan rehidrasi oral aktif di PKM Tulakan sebesar 405 orang, dengan

30
cakupan 26.6%.

b) Penyakit tropis menular langsung


i. Kusta

No Pelayanan Target Satuan Tota Target Pencapai Cakup


Kesehatan/ Tahun sasaran l Sasara an dalam an Riil
Program/Variabel/ 2019 sasar n satuan (%)
Sub Variabel (dalam an sasaran
Program %)
1 Pemeriksaan lebih orang 9 7,2 3 33,3
kontak dari kasus dari
Kusta baru 80%
2 Kasus Kusta yang lebih orang 9 8,55 3 33,3
dilakukan PFS dari
secara rutin 95%
3 RFT penderita lebih orang 9 8,1 3 33,3
Kusta dari
90%
4 Penderita baru lebih orang 9 8,73 0 0,0
pasca pengobatan dari
dengan score 97%
kecacatannya
tidak bertambah
atau tetap
5 Kasus defaulter Kurang orang 9 0,45 0 0,0
Kusta dari
5%
6 Proporsi tenaga lebih orang 24 22,8 1 4,2
kesehatan Kusta dari
tersosialisasi 95%
7 Kader kesehatan lebih orang 22 20,9 22 100,0
Kusta dari
tersosialisasi 95%
8 SD/ MI telah 100% SD/MI 55 55 55 100,0
dilakukan
screening Kusta

Data di atas menunjukkan bahwa program pengendalian penyakit kusta yang


telah dilakukan di Puskesmas Tulakan adalah:

1. Pemeriksaan kontak pada pasien kusta baru

31
2. Follow up pasien dengan penyakit kusta (pengobatan, skoring ulang
kecacatan, dan kasus defaulter)
3. Sosialisasi penyakit kust baik pada tenaga Kesehatan, kader, maupun
masyarakat
4. Screening kusta pada fasilitas Pendidikan seperti SD/MI

Target tahun 2019 untuk pemeriksaan kontak dari pasien kusta baru adalah >80%
dari 9 orang target sasaran. Pencapaian pemeriksaan kontak pasien kusta baru di
Puskesmas Tulakan tahun 2019 adalah 3 orang dibawah dari target satuan yang
berjumlah 7,2 dengan cakupan riil 33,3% dari target.

Pencapaian kasus kusta yang dilakukan PPS rutin adalah 3 orang dengan total
sasaran 9 orang dan target 9 orang. Ini menunjukkan bahwa cakupan riil di
Puskesmas Tulakan adalah 33,3% dibawah dari target sasaran yaitu >95%.

Pencapaian RFT kasus kusta tahun 2019 adalah 3 orang dengan total sasaran 9
orang dan target 9 orang. Ini menunjukkan bahwa cakupan riil di Puskesmas
Tulakan adalah 33,3% dibawah dari target sasaran yaitu >90%.

Tidak terdapat penderita baru pasca pengobatan dengan score kecacatannya tidak
bertambah atau tetap tahun 2019 dengan total sasaran 9 orang dan target 9
orang. Ini menunjukkan bahwa cakupan riil di Puskesmas Tulakan adalah 0%
dibawah dari target sasaran yaitu >97%.

Tidak terdapat kasus defaulter kusta tahun 2019 dengan total sasaran 0 orang
dan target 0 orang. Ini menunjukkan bahwa cakupan riil di Puskesmas Tulakan
adalah 0% dibawah dari target sasaran yaitu <0,5%.

Jumlah tenaga kesehatan Kusta tersosialisasi tahun 2019 adalah satu orang
dengan total sasaran 24 orang dan target 23 orang. Ini menunjukkan bahwa
cakupan riil di Puskesmas Tulakan adalah 4,2% dibawah dari target sasaran yaitu
>95%.

Kader kesehatan Kusta tersosialisasi tahun 2019 berjumlah 22 orang dengan total
sasaran 22 orang dan target 21 orang. Ini menunjukkan bahwa cakupan riil di

32
Puskesmas Tulakan adalah 100% di atas dari target sasaran yaitu >95%.

SD/MI yang dilakukan screening kusta tahun 2019 berjumlah 55 dengan total
sasaran 55 dan target 55. Ini menunjukkan bahwa cakupan riil di Puskesmas
Tulakan adalah 100% memenuhi target sasaran yaitu 100%.

c) Penyakit Tular Vektor Zoonotik


1. Malaria
2. Filariasis
3. Arbovirus (Dengue Fever)
Tabel 1. Evaluasi Kinerja UKM P2P Kasus Demam Dengue PKM
Tulakan tahun 2019

Target
Pelayanan Kesehatan/ Pencapaian %
Tahun Satuan Total Target
Program/Variabel/Sub dalam satuan Cakupan
2019 Sasaran Sasaran sasaran
Variabel Program sasaran riil
(dalam %)

Angka Bebas Jentik (ABJ) lebih dari rumah 17612 16731,4 1011 5,7
95%
Penderita DBD ditangani 100% orang 74 74 42 56,8
PE kasus DBD 100% orang 74 74 42 56,8

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa program P2P bagian Dengue
meliputi:
1) Pendataan sasaran yang dilaksanakan oleh petugas P2P DB
2) Pemantauan Jentik Berkala atau Pemberantasan Sarang Nyamuk
dalam rangka memberantas jentik-jentik nyamuk agar tercapai target
yang ditetapkan untuk ABJ sebesar 95%
3) Penangan penderita DBD dengan melakukan anamnesa,
pemeriksaan fisik, pengobatan , dan rujukan oleh dokter dan
paramedis
4) Penanggulangan kasus berdasarkan hasil Penelusuran Epidemiologi

33
(PE) berupa fogging, penyuluhan 3M.
Diketahui total sasaran rumah untuk angka bebas jentik nyamuk
sekitar 17612 rumah, dengan target sasaran 16731 rumah. Selama tahun
2019, rumah yang sudah bebas jentik nyamuk sekitar 1011 dengan cakupan
5.7% yang artinya belum memenuhi sesuai target sebesar 95%.
Kemudian penderita DBD yang ditangani dengan target 100%, total
sasaran 74 orang. Hasil pencapaian penderita DBD yang ditangani di PKM
Tulakan sebesar 42 orang, dengan cakupan 56.8%.
Penulusaran Epidemiologi kasus DBD dengan target 100&, total
sasaran 74 orang. Hasil pencapaian penelusuran epidemiologi kasus DBD di
PKM Tulakan sebesar 42 orang, dengan cakupan 56.8%.

B. Penyakit menular berpotensi KLB dan menimbulkan kedaruratan


kesehatan masyarakat
a) Covid 19
ODR ODP PDP
NO DESA Positif Jumlah
DP SP DP SP DP SP
1 Bungur 0 79 0 0 0 0 0 79
2 Jatigunung 0 199 0 7 0 0 0 206
3 Jetak 12 192 0 4 0 0 0 208
4 Ketro 42 197 0 10 0 0 1 249
5 Kluwih 26 124 0 3 0 0 0 153
6 Nglaran 0 220 0 5 0 0 0 225
7 Ngumbul 0 114 0 2 0 0 0 116
8 Padi 31 199 0 6 0 0 0 236
9 Tulakan 0 106 0 0 0 0 0 106
10 Wonoanti 18 178 0 3 0 0 0 199
11 Wonosidi 0 114 0 1 0 0 0 115
Jumlah 129 1068 0 41 0 0 1 1902

Pada bulan Mei 2020 di Kecamatan Tulakan terdapat 1902 orang


pemantauan Covid 19. Terdapat orang dalam resiko (ODR) dalam
pemantaun 129 orang , orang dalam resiko (ODR) selesai pemantaun 1068
orang, tidak terdapat orang dalam pemantauan (ODP) dalam pemantaun,

34
orang dalam pemantauan (ODP) selesai pemantaun 41 orang ,tidak
terdapat pasien dalam pengawasan (PDP) dalam pemantaun, tidak terdapat
pasien dalam pengawasan (PDP) selesai pemantaun, dan pasien positif
covid 19 1 orang.

Desa dengan jumlah pemantauan Covid 19 terbanyak adalah di


Desa Ketro yaitu orang dalam resiko (ODR) dalam pemantaun dengan
jumlah 42 orang, orang dalam resiko (ODR) selesai pemantaun dengan
jumlah 197 orang, orang dalam pemantauan (ODP) selesai pemantaun
dengan jumlah 10 orang, pasien positif covid 19 1 orang, sehingga jumlah
orang pemantauan berjumlah 249 orang. Sedangkan Desa dengan jumlah
pemantauan Covid 19 terendah adalah Desa Bungur yaitu hanya terdapat
orang dalam resiko (ODR) selesai pemantaun dengan jumlah 79 orang.

35
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

Pelayanan Kesehatan/ Target Satuan sasaran Total Target Pencapaia % % Kinerja


Program/Variabel/Su Tahun Sasara Sasara n (dalam Cakupa Puskesma
b Variabel Program 2019 n n satuan n Riil s
(dalam sasaran) (Sub
%) Variabel)
1. Desa/ Kelurahan 50% desa/keluraha 11 5,5 12 109,1 100,0
yang melaksanakan n
kegiatan Posbindu
PTM
2.Sekolah yang ada di 50% sekolah 58 29 18 31,0 62,1
wilayah Puskesmas
atau Puskesmas
melaksanakan KTR

3. Pemeriksaan 100% orang 37552 37552 16728 44,5 44,5


kesehatan usia
produktif ( 15 - 59
tahun)

4. Deteksi Dini 10% orang 4792 479,2 42 0,9 8,8


Kanker Leher rahim
dan kanker Payudara
pada wanita usia 30 -
50 tahun

Berdasarkan tabel diatas tentang pencegahan dan pengendalian penyakit


tidak menular di desa Tulakan pada tahun 2019 (1) Pelaksanaan kegiatan
posbindu PTM yang di lakukan desa/ kelurahan baik dengan hasil cakupan
melebihi dari target tahun 2019 (2) Pelaksanaan kegiatan KTR di sekolah atau
puskesmas wilayah Tulakan dengan hasil cakupan riil 31% dari target 50% (3)
Pelaksanaan kegiataan pemeriksaan usia produktif didapatkan hasil cakupan riil
44,5% dari target 100% (4) Pelaksanaan kegiatan deteksi dini kanker leher Rahim
dan kanker payudara usia 30-50 tahun didapatkan hasil cakupan riil 0,9% dari
target 1%. Kesimpulan dari tabel berikut terdapat satu kegiatan yang sudah
mencapai target capaian di tahun 2019, sedangkan 3 kegiatan masih kurang dari
target capaian.

36
BAB IV

PEMBAHASAN

Penggunaan triase klinik di fasilitas layanan kesehatan untuk tujuan


identifikasi dini pasien yang mengalami infeksi pernapasan akut (ASR) untuk
mencegah transmisi patogen ke tenaga kesehatan pasien lain.

Dalam rangka memastikan identifikasi Pedoman Kesiapsiagaan


Menghadapi Coronavirus Disease (COVID-19) awal pasien suspek, fasyankes
perlu memperhatikan: daftar pertanyaan skrining, mendorong petugas kesehatan
untuk memiliki tingkat kecurigaan klinis yang tinggi, pasang petunjuk-petunjuk
di area umum berisi pertanyaan-pertanyaan skrining sindrom agar pasien
memberi tahu tenaga kesehatan, algoritma untuk triase, media KIE mengenai
kebersihan pernapasan.

Tempatkan pasien ARI di area tunggu khusus yang memiliki ventilasi


yang cukup. Selain langkah pencegahan standar, terapkan langkah pencegahan
percikan (droplet) dan langkah pencegahan kontak (jika ada kontak jarak dekat
dengan pasien atau peralatan permukaan/material terkontaminasi). Area selama
triase perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Pastikan ada ruang yang cukup untuk triase (pastikan ada jarak setidaknya 1
meter antara staf skrining dan pasien/staf yang masuk.

2. Sediakan pembersih tangan alkohol dan masker (serta sarung tangan medis,
pelindung mata dan jubah untuk digunakan sesuai penilaian risiko) .

3. Kursi pasien di ruang tunggu harus terpisah jarak setidaknya 1meter

4. Pastikan agar alur gerak pasien dan staf tetap satu arah.

5. Petunjuk-petunjuk jelas tentang gejala dan arah.

6. Anggota keluarga harus menunggu di luar area triase-mencegah area triase

menjadi terlalu penuh.

37
Upaya deteksi dini Covid 19 di wilayah Kerja Puskesmas Tulakan sesuai
dengan pedoman pencehagan dan pengendalian coronavirus disease (Covid-19)
yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Revisi ke 4.

38
39
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Program Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak Menular di
Puskesmas Tulakan pada tahun 2019 terdiri dari 22 program dengan
rincian 18 program pengendalian penyakit menular yang berfokus
pada PMS dan HIV/AIDS, TBC, ISPA, Diare, Kusta, dan Dengue
Fever dan 4 program pengendalian penyakit tidak menular.
2. Dari 22 program Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak
Menular Puskesmas Tulakan pada tahun 2019, terdapat 4 program
yang mencapai target sasaran dan 18 program lainnya yang tidak
mencapai target sasaran.
3. Program yang telah dijalankan dalam upaya pencegahan dan
pengendalian pandemi COVID-19 diantaranya adalah pendataan
terhadap ODR, ODP, dan PDP Covid-19 berdasarkan desa. Dengan
desa dengan jumlah pemantauan Covid-19 terbanyak adalah di Desa
Ketro, sedangkan desa dengan jumlah pemantauan Covid-19
terendah adalah Desa Bungur.
4. Identifikasi awal pengendalian sumber penularan Covid 19 di
Puskesmas Tulakan belum memenuhi strandart dari pedoman
pencegahan dan pengendalian coronavirus disease (Covid 19).

B. Saran
Untuk meningkatkan kinerja program Pengendalian Penyakit
Menular dan Tidak Menular di Puskesmas Tulakan pada tahun mendatang,
diharapkan Puskesmas Tulakan dapat melakukan :
1. Menjalankan Program Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak
Menular di Puskesmas Tulakan yang sudah ada dengan semaksimal
mungkin, terutama pada beberapa program yang belum mencapai target
sasaran pada tahun 2019.
2. Mengkaji ulang penyebab beberapa Program Pengendalian Penyakit

40
Menular dan Tidak Menular di Puskesmas Tulakan yang belum
mencapai target sasaran pada tahun 2019.
3. Kerjasama yang kokoh antar lintas program antara Puskesmas, Rumah
Sakit, dokter Spesialis Paru serta warga masyarakat dalam mewujudkan
keberhasilan Program Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak
Menular di Puskesmas Tulakan pada tahun mendatang.

41
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Pedoman


Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2020.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Buku
Pedoman Manajemen Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI; 2019.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Rencana
Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 2015-2019 (Revisi 1-
2018). Jakarta: Departemen Kesehatan RI;2018.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi Penyakit
Demam Berdarah di Indonesia tahun 2017. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI;
2018.

42

Anda mungkin juga menyukai