PENDAHULUAN
1
masyarakat dan pemerintah karena penanganannya perlu teknologi tinggi dan
biaya yang besar. Hal ini dibuktikan dengan data BPJS tahun 2017, 5,7%
peserta JKN mendapat pelayanan untuk penyakit katastropik namun
menghabiskan 21,8 persen dari seluruh biaya kesehatan sehingga tindakan
promotive dan preventif menjadi hal penting untuk dilakukan.
Dirjen P2MPTM (2018) mengatakan bahwa prioritas pencegahan dan
pengendalian penyakit menular tertuju pada HIV/AIDS, tuberculosis,
pneumonia, hepatitis, malaria, demam berdarah, influenza, flu burung, dan
penyakit neglected disease seperti kusta, frambusia, filariasis dan
schistosomiasis. Termasuk prioritas dalam kewaspadaan dini kejadian luar
biasa, kekarantinaan Kesehatan untuk mencegah terjadinya Kejadian
Kesehatan yang Meresahkan (KKM) dan pegendalian penyakit infeksi
emerging.
Penyakit menular juga menyebabkan beban ekonomi yang tidak
sedikit di Indonesia. Studi pada tahun 2013 The Economic Burden of TB in
Indonesia menunjukkan bahwa beban ekonomi yang disebabkan oleh TB
mencapai 27,7 T rupiah tapi dengan tindakan pencegahan yang sesuai maka
beban ekonomi dapat diturunkan menjadi Rp 10,7T. Selain itu, dalam kasus
lain, potensi kerugian yang ditimbulkan oleh hepatitis adalah 463 T. Hal
diatas membuktikan bahwa tindakan pencegahan merupakan hal yang
penting dilakukan untuk mengurangi beban ekonomi (Dirjen P2MPTM,
2015).
Salah satu penyakit yang termasuk infeksi emerging adalah COVID-
19. COVID-19 merupakan pneumonia yang disebabkan oleh coronavirus
dengan strain Sars-Cov-2 yang baru ditemukan pada tahun 2019 lalu. Oleh
karena itu, tatalaksana kuratif juga belum efektif dilakukan sehingga yang
paling baik dilakukan adalah upaya preventif. Upaya-upaya ini juga perlu
dilakukan beberapa perubahan seiring dengan perkembangan kasus di
Indonesia. Pedoman untuk tatalaksana COVID-19 baik di fasyankes tingkat
pertama dan tingkat lanjutan sudah dibuat tapi pengaplikasiannya belum
merata di seluruh Indonesia.
2
Unit Pengendalian Penyakit menular dan Penyakit Tidak menular
merupakan unit yang menjalankan UKM pelayanan pencegahan dan
pengendalian penyakit di puskesmas terutama yang bersifat promotive dan
preventif. Menurut data Riskesdas 2018, secara keseluruhan tingkat
prevalensi penyakit tidak menular masih meningkat dan penyakit menular
juga masih terus bertambah maupun berulang dari tahun ke tahun
Memperbaiki upaya-upaya preventif dan promotif merupakan hal yang
paling sesuai untuk kondisi tersebut sehingga beban masyarakat dan
pemerintah baik dari bidang Kesehatan, ekonomi dan lainnya dapat
berkurang.
Penggunaan data tahun 2019 dilakukan untuk mengetahui data
capaian program dalam setahun penuh yang terbaru sehingga dapat
disesuaikan dengan target terbaru yang yang ditentukan oleh perwakilan
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten Pacitan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, didapatkan rumusan masalah yaitu
“Bagaimana pelaksanaan program Program Pengendalian Penyakit Menular
dan Tidak Menular Puskesmas Tulakan pada tahun 2019”
1.3 Tujuan Kegiatan
A. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pelaksanaan program yang dijalankan oleh
bagian PPM-PTM Puskesmas Tulakan tahun 2019
B. Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui program Pengendalian Penyakit Menular dan
Tidak Menular Puskesmas Tulakan pada tahun 2019
- Untuk mengetahui capaian program Pengendalian Penyakit Menular
dan Tidak Menular Puskesmas Tulakan pada tahun 2019
- Untuk mengetahui program yang telah dijalankan dalam upaya
pencegahan dan pengendalian pandemi COVID-19
1.4 Manfaat Kegiatan
a. Bagi Dokter Internsip
3
- Mendapatkan gambaran program-program yang dijalankan
puskesmas baik untuk penyakit menular maupun tidak menular
- Menambah wawasan tentang manajemen pandemik COVID-19 di
Fasyankes tingkat pertama
b. Bagi Puskesmas Tulakan
- Kegiatan ini dapat membantu sebagai dasar untuk melakukan
perbaikan program yang telah ada sebelumnya
- Mendapatkan informasi tentang program-program pengendalian
penyakit menular yang dijalankan oleh puskesmas
- Dapat membantu menentukan kebijakan dalam rangka penanganan
COVID-19 khususnya dalam wujud deteksi dan respon.
c. Bagi Masyarakat
- Setelah kegiatan ini diharapkan masyarakat bisa mendapatkan
pelayanan yang lebih optimal baik dari segi promotif, preventif,
maupun kuratif.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Menular
Prioritas pencegahan dan pengendalian penyakit menular tertuju pada
pencegahan dan pengendalian penyakit HIV/AIDS, tuberculosis, pneumoni,
hepatitis, malaria, demam berdarah, influenza, dan penyakit neglected diseases
antara lain kusta, filariasis. Selain penyakit tersebut, penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I) seperti polio, campak, difteri, pertusis, hepatitis B, dan
tetanus baik pada maternal maupun neonatal juga tetap menjadi perhatian
walaupun pada tahun 2014 Indonesia telah dinyatakan bebas polio dan tahun
2016 sudah mencapai eliminasi tetanus neonatorum. Termasuk prioritas dalam
pengendalian penyakit menular adalah pelaksanaan Sistim Kewaspadaan Dini
Kejadian Luar Biasa (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
5
meningkat. Pada awal tahun 2009, prevalensi kasus HIV pada penduduk usia
15 - 49 tahun hanya 0,16% namun meningkat menjadi 0,30% pada tahun
2011, meningkat lagi menjadi 0,32% pada 2012, dan terus meningkat
menjadi 0,36% pada 2015 (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan ODHA,
diantaranya dengan memberikan pengobatan dan perawatan ODHA untuk
mencegah penularan kepada orang yang belum terinfeksi, mengedukasi
masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat
terhadap HIV AIDS, pemberian Layanan Komprehensif Berkesinambungan
(LKB) di beberapa kabupaten/kota di Indonesia serta penerapan SUFA
(Strategic Use of ARV) dalam upaya pencegahan dan pengobatan untuk
mendukung akselerasi upaya pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS.
Selain upaya tersebut, pelaksanaan tes pada populasi kunci dan upaya lain
juga terus dilakukan. Pada tahun 2010 telah dilakukan tes pada 300.577
orang dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 1.264.871 tes. Sampai Maret
2015 tercatat terdapat 1.377 Layanan Konseling dan Tes HIV Sukarela
(KTS), 500 Layanan PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) yang aktif
melakukan pengobatan ARV yang terdiri dari 352 RS Rujukan dan 148
Satelit, 91 Layanan PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon), 1.082
Layanan IMS (Infeksi Menular Seksual), 131 Layanan PPIA (Pencegahan
Penularan Ibu ke Anak) dan 223 Layanan yang mampu melakukan Layanan
TB-HIV (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Pelaksanaan berbagai upaya tersebut juga didukung oleh tersedianya
tata laksana penanganan pasien, tenaga kesehatan, pelayanan kesehatan
(khususnya Rumah Sakit), dan laboratorium kesehatan. Setidaknya terdapat
empat laboratorium yang sudah terakreditasi dengan tingkat keamanan
biologi 3 (BSL 3), yakni Laboratorium Badan Litbang Kesehatan, Institute of
Human Virology and Cancer Biology (IHVCB) Universitas Indonesia,
Institut Penyakit Tropis Universitas Airlangga, dan Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
b. TB
6
Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab utama kematian dimana
sebagian besar infeksi terjadi pada orang antara usia 15 dan 54 tahun yang
merupakan usia paling produktif, hal ini menyebabkan peningkatan beban
sosial dan keuangan bagi keluarga pasien (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Studi pada tahun 2013 The Economic Burden of TB in Indonesia,
memberikan gambaran bahwa peningkatan jumlah kasus memiliki dampak
yang besar pada beban ekonomi. Sebagai gambaran, pada tahun 2011 angka
penemuan kasus TB adalah 72,7% dan TB MDR adalah 6,7% maka beban
ekonomi yang diakibatkan adalah Rp.27,7 triliu, tetapi jika angka penemuan
kasus TB ditingkatkan menjadi 92,7% dan TB MDR 31,4% maka beban
ekonomi diturunkan menjadi Rp. 17,4 triliun. Dengan penambahan investasi
untuk biaya pengobatan sebesar Rp. 455 miliar untuk peningkatan penemuan
kasus maka akan didapat pengurangan beban ekonomi sebesar Rp. 10,4
triliun, dan adanya penurunan jumlah kematian terkait TB akan berkurang
sebesar 37%, dari 95.718 ke 59.876. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa
langkah pencegahan penularan di masyarakat harus menjadi prioritas utama
dalam program Pengendalian TB (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Indonesia telah berhasil menurunkan angka kesakitan dan kematian
akibat TB di tahun 2015 jika dibandingkan dengan tahun 1990. Angka
prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar 1025 per 100.000 penduduk,
pada tahun 2015 menjadi 647 per100.000 penduduk. Sedangkan angka
kematian pada tahun 1990 sebesar 64 menurun menjadi 41 per 100.000
penduduk pada tahun 2015 (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Berdasarkan hasil Survei Prevalensi TB Indonesia tahun 2013-2014,
diperkirakan kasus TB semua bentuk untuk semua umur adalah 660 per
100.000 penduduk dengan angka absolute diperkirakan 1.600.000 orang
dengan TB. Walaupun prevalensi TB semua kasus dapat diturunkan, tetapi
terdapat notifikasi kasus tahun 2015 sebanyak 325.000 kasus, dengan
demikian angka case detection TB di Indonesia hanya sekitar 32% dan masih
terdapat 685 .000 kasus yang belum ditemukan (Ditjen P2P Depkes RI,
2018).
7
Untuk mengatasi permasalahan TB, diperlukan kerja sama lintas
sektor karena prevalensi/beban TB disebabkan oleh multisektor seperti
kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan disparitas yang
terlalu besar, masalah sosial penganguran dan belum semua masyarakat
dapat mengakses layanan TB khususnya di Daerah Terpencil, Perbatasan dan
Kepulauan (DTPK) (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Permasalahan tersebut memacu Kementerian Kesehatan untuk terus
melakukan intensifikasi, akselerasi, eketensifikasi dan inovasi melalui
Strategi Nasional Penanggulangan TB antara lain : 1) Peningkatan Akses
layanan TOSS (Temukan Obati Sampai Sembuh) -TB bermutu melalui
Peningkatan jejaring layanan TB (public-private mix), penemuan aktif
berbasis keluarga dan masyarakat, penemuan intensif melalui kolaborasi
(TB-HIV, TB-DM, PAL, TB-KIA, dll) dan investigasi kontak, serta inovasi
deteksi dini dengan rapid tes TB, 2) Penguatan Kepemimpinan program dan
dukungan sistem melalui advokasi dan fasilitasi dalam perumusan Rencana
Aksi Daerah Eliminasi TB dan Regulasi 3) Pengendalian faktor risiko TB,
4). Membangun kemitraan dan kemandirian program, serta 5. Pemanfaatan
Informasi Strategis dan Penelitian (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
c. ISPA
Penyakit infeksi saluran pernafasan akut, khususnya pneumonia
masih menjadi penyebab kematian terbesar bayi dan balita, lebih banyak
dibanding dengan gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Bahkan
badan kesehatan dunia (WHO) menyebut sebagai ”the forgotten killer of
children”. Pneumonia dikatakan sebagai pembunuh utama balita di dunia,
berdasarkan data WHO dari 6,6 juta balita yang meninggal di dunia , 1,1 juta
meninggal akibat pneumonia pada tahun 2012 dan 99% kematian pneumonia
anak terjadi di negara berkembang. Sementara di Indonesia, dari hasil SDKI
2012 disebutkan bahwa angka kematian balita adalah sebesar 40 per 1000.
Sementara berdasarkan Riskesdas (2007), penyebab kematian bayi terbanyak
adalah diare (31,4%) dan pnemonia (23,8%). Sedangkan penyebab terbanyak
8
kematian anak balita adalah diare (25,2%) dan pnemonia (15,5%) (Ditjen
P2P Depkes RI, 2018).
Tiga provinsi yang mempunyai insiden pneumonia balita tertinggi
adalah Nusa Tenggara Timur (38,5%), Sulawesi Barat (34,8%), dan
Kalimantan Tengah (32 %). Dari laporan rutin puskesmas tahun 2014
disebutkan jumlah pneumonia balita yang dilaporkan adalah 657.490 kasus
dan 496 kematian balita karena pneumonia (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Pneumonia balita merupakan penyakit yang dapat didiagnosis dan
diobati dengan teknologi dan biaya yang murah, namun jika terlambat maka
akan menyebabkan kematian pada balita. Dari perhitungan beban penyakit
yang dilakukan Litbangkes, diperkirakan akibat pneumonia pada usia balita
(< 5 tahun) di tahun 2015 akan terdapat DALYs loss sekitar 1 triliun rupiah.
Penemuan dan tatalakasana kasus pneumonia pada balita secara dini
diharapkan dapat menekan angka kematian yang diakibatkan karena
pneumonia, dari hasil kajian WHO tatalaksana pneumonia balita dapat
mencegah kematian balita karena pneumonia sebesar 40% (Ditjen P2P
Depkes RI, 2018).
9
sesorang yang terinfeksi hepatitis B tidak mengetahui dirinya sudah
terinfeksi (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Dalam hal pengendalian Hepatitis maka strategi utama adalah
melaksanakan upaya peningkatan pengetahuan dan kepedulian, pencegahan
secara komprehensif, pengamatan penyakit dan pengendalian termasuk
tatalaksana dan peningkatan akses layanan (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Untuk itu kegiatan deteksi dini hepatitis menjadi sangat penting untuk
dapat memutus rantai penularan (terutama dari ibu ke bayi) serta untuk
mengetahui sedini mungkin seseorang terinfeksi hepatitis dan tindak lanjut
terapinya. Dengan deteksi dini seseorang sapat diterapi lebih awal sehingga
seseorang yang terinfeksi hepatitis dapat meningkat kwalitas hidupnya dan
hati tidak menjadi sirosis atau kanker hati.
Perkembangan teknologi dalam tatalaksana hepatitis C di dunia
sangat cepat. Dengan ditemukannya obat baru dalam tatalaksana hepatitis C (
sobosfovir ) dengan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi, menjadi peluang
bagi program pengendalian hepatitis untuk melaksanakan deteksi dini
hepatitis C, terutama pada kelompok berisiko. Dengan demikian eliminasi
Hepattitis B dan C menjadi mungkin untuk dicapai (Ditjen P2P Depkes RI,
2018).
Untuk penyakit diare, meskipun penyakit ini mudah diobati dan di
tatalaksana, namun saat ini diare masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat terutama pada bayi dan balita dimana diare merupakan
salah satu penyebab kematian utama. Dari kajian masalah kesehatan
berdasarkan siklus kehidupan tahun 2011 yang dilakukan oleh badan
Litbangkes, diare merupakan penyebab kematian nomor 2 sesudah
penumonia, proporsi penyebab kematian pada bayi post neonatal sebesar
17,4% dan pada bayi sebesar 13,3%.
Penyakit lain yang juga memerlukan perhatian adalah tifoid. Tifoid
merupakan salah satu penyakit endemis yang ada di Indonesia, mayoritas
mengenai anak usia sekolah dan kelompok usia produktif, penyakit ini
menyebabkan angka absensi yang tinggi, rata – rata perlu waktu 7 – 14 hari
10
untuk perawatan apabila seseorang terkena Tifoid. Apabila pengobatan yang
dilakukan tidak tuntas maka dapat menyebabkan terjadinya karier yang
kemudian menjadi sumber penularan bagi orang lain. Dampak penyakit ini
adalah, tingginya angka absensi, penurunan produktifitas, timbulnya
komplikasi baik di saluran pencernaan maupun diluar saluran pencernaan,
kerugian ekonomi untuk biaya pengobatan dan perawatan, kematian.
Menurut data WHO tahun 2008, angka kejadian Tifoid <15 tahun
adalah 180,3/100.000 penduduk, sedangkan kejadian Tifoid pada seluruh
umur adalah 81,7/100.000 penduduk. Berdasarkan angka tersebut maka pada
tahun 2015 ini diperkirakan terdapat 289.687 orang akan terkena Tifoid.
Jumlah sebesar itu akan memerlukan biaya perawatan sebesar Rp. 1,5 triliun
berupa biaya perawatan pasien, maupun biaya kerugian lain akibat tidak
masuk kerja atau sekolah, dan biaya lain terkait yang dikeluarkan oleh
keluarga akibat anggota keluarga dirawat karena Tifoid (Ditjen P2P Depkes
RI, 2018).
11
masyarakat dan berkurangnya stigma dan diskriminasi terhadap penderita
dan keluarganya (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
12
b. Zoonosis
Zoonosis adalah penyakit dan infeksi yang ditularkan secara alami di
antara hewan vertebrata dan manusia (WHO). Dalam rangka akselerasi
pengendalian zoonosis telah dibentuk Komisi Nasional Pengendalian
Zoonosis melalui PERPRES No.30 Tahun 2011 tentang Pengendalian
Zoonosis.
Rabies adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat akut pada manusia
dan hewan berdarah panas yang disebabkan oleh lyssa virus, dan
menyebabkan kematian pada hampir semua penderita rabies baik manusia
maupun hewan. Pada manusia, rabies menyebabkan kematian jika sudah
terjadi gejala klinis. Selama 2009 – 2013 terjadi lebih dari 361.935 kasus
gigitan hewan penular rabies, sekitar 299.209 orang (82,67 %) diberikan
Vaksin Anti Rabies (VAR) dan 841 orang meninggal akibat rabies (lyssa). Di
Indonesia rabies terjadi di 265 Kabupaten/Kota (sebagai data dasar sasaran).
Sebanyak 25 provinsi telah tertular rabies dan hanya 9 provinsi masih bebas
historis dan telah dibebaskan dari rabies (Provinsi Kepulauan Riau, Bangka
Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat) (Ditjen P2P Depkes RI,
2018).
Eliminasi rabies di ASEAN telah menjadi komitmen bersama yakni
ASEAN Bebas Rabies 2020. Indonesia sebagai salah satu Negara ASEAN
juga mempunyai komitmen guna mencapai tujuan lndonesia Bebas Rabies
2020.
Flu Burung/Avian Influenza adalah suatu penyakit menular pada
unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dengan subtipe H5N1. Di
Indonesia kasus tersebut pertama kali terjadi pada manusia pada tahun 2005
sampai 2014. Pada kurun waktu tersebut telah dilaporkan 197 kasus
konfirmasi dengan 165 kematian dan tersebar sporadis di 15 provinsi (Ditjen
P2P Depkes RI, 2018).
Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
13
bakteri dari genus leptospira yang patogen dan dapat menyerang manusia dan
hewan. Tikus dicurigai sebagai sumber utama infeksi pada manusia di
Indonesia. Pada tahun 2014 dilaporkan kasus Leptospirosis nasional 524
kasus dengan 62 kematian (CFR 11,83%) (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Penyakit antraks adalah termasuk salah satu zoonosis yang disebabkan
oleh bacillus anthracis, dapat menyerang manusia melalui 3 cara yaitu melalui
kulit yang lecet, abrasi atau luka, dapat melalui pernafasan (inhalasi) dan
melalui mulut karena makan bahan makanan yang tercemar kuman antraks
misalnya daging yang terinfeksi yang dimasak kurang sempurna. Spora
antraks ini dapat digunakan sebagai senjata bioterorisme (Ditjen P2P Depkes
RI, 2018).
Pes (Plague) disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang terdapat
pada binatang pengerat/rodensia seperti tikus/bajing dan dapat menular antar
binatang pengerat melalui gigitan pinjal dan ke manusia melalui gigitan
pinjal. Fokus Pes di Indonesia adalah Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur),
Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah), Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa
Yogyakarta).
14
disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.
Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan
pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki,l
engan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Hingga tahun 2013
terdapat 12.714 kasus kronis. WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global
untuk mengeliminasi filariasis pada tahun 2020 (The Global Goal of
Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year
2020). Indonesia melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap
yang telah dimulai sejak tahun 2002 di 5 kabupaten. Program eliminasi
dilaksanakan melalui pengobatan massal Pemberian Obat Massal Pencegahan
(POMP) flariasis dengan DEC dan albendazol setahun sekali selama 5 tahun
di lokasi yang endemis serta perawatan kasus klinis baik yang akut maupun
kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitaannya. Sampai
tahun 2012 kabupaten/kota yang melaksanakan POMP filariasis sudah
mencapai 86 kabupaten/kota dari 245 kabupaten/kota yang endemis filariasis
dan bertambah menjadi 92 Kabupaten/Kota pada tahun 2013. Program POPM
Filariasis merupakan tahapan menuju eliminasi sebagaimana telah ditetapkan
dalam sasaran RPJMN 2015-2019 dimana pada akhir tahun 2019 Kabupaten/
Kota yang mencapai eliminasi Filariasis ditargetkan sebanyak 35 Kabupaten/
Kota (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
d. Arbovirus
Arbovirus adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
infeksi virus yang ditularkan ke manusia dari serangga yang dikenal sebagai
arthropoda. Salah satu penyakit yang disebabkan arbovirus adalah Dengue
Fever. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
menular yang disebabkan infeksi virus dengue dengan vektor nyamuk Aedes
aegypty. Nyamuk yang paling cepat berkembang di dunia ini telah
menyebabkan hampir 390 juta orang terinfeksi setiap tahunnya (Infodatin
Kemenkes RI, 2018).
Dalam tiga dekade terakhir, penyakit DBD meningkat insidennya di
15
berbagai belahan dunia terutama daerah tropis dan sub-tropis, serta banyak
ditemukan di wilayah urban dan semi-urban, termasuk di Indonesia. Untuk
penyakit DBD, target angka kesakitan DBD secara nasional tahun 2012
sebesar 53 per 100.000 penduduk atau lebih rendah. Sampai tahun 2013, di
Indonesia tercatat angka kesakita sebesar 45 per 100.000 penduduk yang
berarti telah melampaui target yang ditetapkan. Angka Kematian DBD juga
mengalami penurunan. Pada tahun 1968 angka CFR mencapai 41,30% dan
menjadi 0,77% pada tahun 2013. Cara yang dapat dilakukan untuk upaya
pengendalian DBD adalah melalui upaya pengendalian nyamuk penular dan
upaya membatasi kematian karena DBD. Atas dasar itu, maka upaya
pengendalian DBD memerlukan kerjasama dengan program dan sektor terkait
serta peran serta masyarakat (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Jenis penyakit yang berpotensi KLB yang dipantau dalam SKDR yaitu
sebanyak 23 penyakit, antara lain: Diare Akut, Malaria Konfirmasi, Tersangka
Dengue, Pneumonia, Diare Berdarah/Disentri, Suspek Demam Tifoid, Sindrom
Jaundice Akut, Suspek Chikungunya, Suspek Flu Burung pada manusia, Suspek
Campak, Suspek Difteri, Pertusis, Acute Flacid Paralysis (AFP), Gigitan Hewan
Penular Rabies (GHPR), Suspek Antraks, Suspek Leptospirosis, Suspek Kolera,
kluster penyakit yang tidak lazim, Suspek Meningitis/Encephalitis, Suspek
Tetanus Neonatorum, Suspek Tetanus, ILI (penyakit serupa influenza), dan
16
Suspek HFMD (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan
pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata
5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang
berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan
bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian
besar kasus adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan
bernapas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru
(Ditjen P2P Depkes RI, 2020).
17
sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia/ Public
Health Emergency of International Concern (KKMMD/PHEIC). Penambahan
jumlah kasus COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran
antar negara. Sampai dengan 3 Maret 2020, secara global dilaporkan 90.870
kasus konfimasi di 72 negara dengan 3.112 kematian (CFR 3,4%). Rincian
negara dan jumlah kasus sebagai berikut: Republik Korea (4.812 kasus, 28
kematian), Jepang (268 kasus, 6 kematian), Singapura (108 kematian), Australia
(33 kasus, 1 kematian), Malaysia (29 kasus), Viet Nam (16 kasus), Filipina (3
kasus, 1 kematian), New Zealand (2 kasus), Kamboja (1 kasus), Italia (2.036
kasus, 52 kematian), Perancis (191 kasus, 3 kematian), Jerman (157 kasus),
Spanyol (114 kasus), United Kingdom (39 kasus), Swiss (30 kasus), Norwegia
(25 kasus), Austria (18 kasus), Belanda (18 kasus), Swedia (15 kasus), Israel (10
kasus), Kroasia (9 kasus), Islandia (9 kasus), San Marino (8 kasus), Belgia (8
kasus), Finlandia (7 kasus), Yunani (7 kasus), Denmark (5 kasus), Azerbaijan (3
kasus), Republik Ceko (3 kasus), Georgia (3 kasus), Romania (3 kasus), Rusia (3
kasus), Portugal (2 kasus), Andorra (1 kasus), Armenia (1 kasus), Belarus (1
kasus), Estonia (1 kasus), Irlandia (1 kasus), Republik Latvia (1 kasus), Lithuania
(1 kasus), Luxembourg (1 kasus), Monako (1 kasus), Makedonia Utara (1 kasus),
Thailand (43 kasus, 1 kasus), India (5 kasus), Indonesia (2 kasus), Nepal (1
kasus), Sri Lanka (1 kasus), Iran (1.501 kasus, 66 kematian), Kuwait (56 kasus),
Bahrain (49 kasus), Iraq (26 kasus), Uni Emirat Arab (21 kasus), Libanon (13
kasus), Qatar (7 kasus), Oman (6 kasus), Pakistan (5 kasus), Mesir (2 kasus),
Afghanistan (1 kasus), Yordania (1 kasus), Maroko (1 kasus), Arab Saudi (1
kasus), Tunisia (1 kasus), Amerika Serikat (64 kasus, 2 kematian), Kanada (27
kasus), Ekuador (6 kasus), Meksiko (5 kasus), Brasil (2 kasus), Republik
Dominika (1 kasus), Algeria (5 kasus), Nigeria (1 kasus), Senegal (1 kasus).
Diantara kasus tersebut, sudah ada beberapa petugas kesehatan yang dilaporkan
terinfeksi (Ditjen P2P Depkes RI, 2020).
18
berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang kontak erat dengan pasien
COVID-19 termasuk yang merawat pasien COVID-19. Rekomendasi standar
untuk mencegah penyebaran infeksi adalah melalui cuci tangan secara teratur,
menerapkan etika batuk dan bersin, menghindari kontak secara langsung dengan
ternak dan hewan liar serta menghindari kontak dekat dengan siapa pun yang
menunjukkan gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin. Selain itu,
menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat berada di fasilitas
kesehatan terutama unit gawat darurat.
19
terbesar kematian (WHO, 2013).
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dan 2013 menunjukkan bahwa
telah terjadi peningkatan PTM secara bermakna, diantaranya prevalensi penyakit
stroke meningkat dari 8,3 per mil pada 2007 menjadi 12,1 per mil pada 2013.
Lebih lanjut diketahui bahwa 61 persen dari total kematian disebabkan oleh
penyakit kardiovaskuler, kanker, diabetes dan PPOK. Tingginya prevalensi bayi
dengan BBLR (10%, tahun 2013) dan lahir pendek (20%, tahun 2013), serta
tingginya stunting pada anak balita di Indonesia (37,2%, 2013) perlu menjadi
perhatian oleh karena berpotensi pada meningkatnya prevalensi obese yang erat
kaitannya dengan peningkatan kejadian PTM. Dengan demikian, pencegahan dan
pengendalian PTM juga perlu mengintegrasikan dengan upaya-upaya yang
mendukung 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK).
20
komunitas telah diinisiasi pembentukan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) PTM
dimana dilakukan deteksi dini faktor risiko, penyuluhan dan kegiatan bersama
komunitas untuk menuju Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Sejak mulai
dikembangkan pada tahun 2011 Posbindu¬PTM pada tahun 2015 telah
berkembang menjadi 11.027 Posbindu di seluruh Indonesia (Ditjen P2P Depkes
RI, 2018).
21
diperlukan intervensi spesifik (Ditjen P2P Depkes RI, 2018).
22
r
Indonesia 37% 6% 13% 7% 5% 10%
India 26% 2% 7% 12% 13% 12%
Thailand 29% 4% 17% 11% 9% 12%
Myanmar 25% 3% 11% 11% 9% 11%
Nepal 22% 3% 8% 10% 13% 14%
Sri Lanka 40% 7% 10% 14% 8% 10%
Bangladesh 17% 3% 10% 9% 11% 18%
23
dengan aktifitas fisik kurang adalah sebesar 26.1 persen, yang menunjukkan
penurunan dibandingkan tahun 2007. Penurunan ini berkaitan dengan
penggunanaan definisi yang berbeda antara 2007 dan 2013. Proporsi perilaku
kurang konsumsi sayur dan buah masih sangat tinggi di tahun 2007 dan 2013
(93.6% dan 93.5%). Rata-rata konsumsi sayur dan buah di Indonesia masih
berkisar antara satu sampai dua porsi sehari dan sebesar 77.4 persen
mengkonsumsi sayur dan buah sebanyak satu sampai dua porsi sehari. Sementara
terkait faktor risiko biologis, seperti obesitas sentral menunjukkan angka yang
meningkat dari 18.8 persen di tahun 2007 menjadi 26.6 persen di tahun 2013
(Table 2).
Tabel 2. Proporsi (%) faktor risiko PTM tahun 2007 dan 2013
24
Indikator dan Program P2PTM (Ditjen P2PTM Depkes RI, 2019)
Tabel 3. Indikator dan program P2PTM
25
26
BAB III
A. Penyakit Menular
a) Penyakit Menular Langsung
1. PMS dan HIV/AIDS
Tabel. Evaluasi Kinerja UKM P2P bagian pencegahan dan
penanggulangan PMS dan HIV/AIDS Puskesmas Tulakan tahun
2019
Target
Pelayanan Kesehatan/ Pencapaian %
Tahun Satuan Total Target
Program/Variabel/Sub dalam satuan Cakupan
2019 Sasaran Sasaran sasaran
Variabel Program sasaran riil
(dalam %)
1. Sekolah (SMP dan 100% anak 3153 3153 407 12,9
SMA/sederajat) yang
sudah dijangkau
penyuluhan HIV/AIDS
2. Orang yang beresiko 100% orang 9584 9584 640 6,7
terinfeksi HIV
mendapatkan
pemeriksaan HIV
27
dijangkau penyuluhan HIV/AIDS sebesar 407 anak (12,9%), yang
artinya belum memenuhi target sebesar 100%.
Kemudian total sasaran orang yang beresiko terinfeksi HIV
mendapatkan pemeriksaan HIV sebesar 9584 orang, dengan target
sasaran 9584 orang. Selama tahun 2019, jumlah orang yang beresiko
terinfeksi HIV mendapatkan pemeriksaan HIV sebesar 604 orang
(6,7%), yang artinya belum memenuhi target sebesar 100%.
2. TB
Tabel. Evaluasi Kinerja UKM P2P bagian TB Paru Puskesmas
Tulakan tahun 2019
Target
Pelayanan Kesehatan/ Pencapaian %
Tahun Satuan Total Target
Program/Variabel/Sub dalam satuan Cakupan
2019 Sasaran Sasaran sasaran
Variabel Program sasaran riil
(dalam %)
1.Kasus TBC yang 80% orang 126 100,8 14 11,1
ditemukan dan diobati
2.Terduga TBC yang 100% orang 1260 1260 256 20,3
mendapatkan pelayanan
diagnostik baku
3.Angka Keberhasilan 90% orang 126 113,4 3 2,4
pengobatan kasus TBC
(Success Rate/SR)
28
14 orang (11,1%), yang artinya belum memenuhi target sebesar
80%.
Kemudian total sasaran terduga TBC yang mendapatkan
pelayanan diagnostik baku sebesar 1260 orang, dengan target
sasaran 1260 orang. Selama tahun 2019, jumlah terduga TBC yang
mendapatkan pelayanan diagnostik baku sebesar 256 orang (20,3%),
yang artinya belum memenuhi target sebesar 100%.
Selanjutnya total sasaran keberhasilan pengobatan kasus
TBC (Success Rate/SR) sebesar 126 orang, dengan target sasaran
113 orang. Selama tahun 2019, jumlah keberhasilan pengobatan
kasus TBC (Success Rate/SR) sebesar 3 orang (2,4%), yang artinya
belum memenuhi target sebesar 90%.
iii. ISPA
Tabel 1. Evaluasi Kinerja UKM P2P Kasus ISPA PKM Tulakan tahun
2019
Target
Pelayanan Kesehatan/ Pencapaian %
Tahun Satuan Total Target
Program/Variabel/Sub dalam satuan Cakupan
2019 Sasaran Sasaran sasaran
Variabel Program sasaran riil
(dalam %)
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa program P2P bagian ISPA
yaitu Penemuan penderita pneumonia pada balita. Penemuan penderita
pneumonia pada balita dengan target 85%, total sasaran 341 orang. Hasil
pencapaian penemuan penderita pneumonia balita di PKM Tulakan sebesar 3
orang, dengan cakupan 0.9%.
29
v. Diare
Tabel 1. Evaluasi Kinerja UKM P2P Kasus Diare PKM Tulakan tahun
2019
Target
Pelayanan Kesehatan/ Pencapaian %
Tahun Satuan Total Target
Program/Variabel/Sub dalam satuan Cakupan
2019 Sasaran Sasaran sasaran
Variabel Program sasaran riil
(dalam %)
30
cakupan 26.6%.
31
2. Follow up pasien dengan penyakit kusta (pengobatan, skoring ulang
kecacatan, dan kasus defaulter)
3. Sosialisasi penyakit kust baik pada tenaga Kesehatan, kader, maupun
masyarakat
4. Screening kusta pada fasilitas Pendidikan seperti SD/MI
Target tahun 2019 untuk pemeriksaan kontak dari pasien kusta baru adalah >80%
dari 9 orang target sasaran. Pencapaian pemeriksaan kontak pasien kusta baru di
Puskesmas Tulakan tahun 2019 adalah 3 orang dibawah dari target satuan yang
berjumlah 7,2 dengan cakupan riil 33,3% dari target.
Pencapaian kasus kusta yang dilakukan PPS rutin adalah 3 orang dengan total
sasaran 9 orang dan target 9 orang. Ini menunjukkan bahwa cakupan riil di
Puskesmas Tulakan adalah 33,3% dibawah dari target sasaran yaitu >95%.
Pencapaian RFT kasus kusta tahun 2019 adalah 3 orang dengan total sasaran 9
orang dan target 9 orang. Ini menunjukkan bahwa cakupan riil di Puskesmas
Tulakan adalah 33,3% dibawah dari target sasaran yaitu >90%.
Tidak terdapat penderita baru pasca pengobatan dengan score kecacatannya tidak
bertambah atau tetap tahun 2019 dengan total sasaran 9 orang dan target 9
orang. Ini menunjukkan bahwa cakupan riil di Puskesmas Tulakan adalah 0%
dibawah dari target sasaran yaitu >97%.
Tidak terdapat kasus defaulter kusta tahun 2019 dengan total sasaran 0 orang
dan target 0 orang. Ini menunjukkan bahwa cakupan riil di Puskesmas Tulakan
adalah 0% dibawah dari target sasaran yaitu <0,5%.
Jumlah tenaga kesehatan Kusta tersosialisasi tahun 2019 adalah satu orang
dengan total sasaran 24 orang dan target 23 orang. Ini menunjukkan bahwa
cakupan riil di Puskesmas Tulakan adalah 4,2% dibawah dari target sasaran yaitu
>95%.
Kader kesehatan Kusta tersosialisasi tahun 2019 berjumlah 22 orang dengan total
sasaran 22 orang dan target 21 orang. Ini menunjukkan bahwa cakupan riil di
32
Puskesmas Tulakan adalah 100% di atas dari target sasaran yaitu >95%.
SD/MI yang dilakukan screening kusta tahun 2019 berjumlah 55 dengan total
sasaran 55 dan target 55. Ini menunjukkan bahwa cakupan riil di Puskesmas
Tulakan adalah 100% memenuhi target sasaran yaitu 100%.
Target
Pelayanan Kesehatan/ Pencapaian %
Tahun Satuan Total Target
Program/Variabel/Sub dalam satuan Cakupan
2019 Sasaran Sasaran sasaran
Variabel Program sasaran riil
(dalam %)
Angka Bebas Jentik (ABJ) lebih dari rumah 17612 16731,4 1011 5,7
95%
Penderita DBD ditangani 100% orang 74 74 42 56,8
PE kasus DBD 100% orang 74 74 42 56,8
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa program P2P bagian Dengue
meliputi:
1) Pendataan sasaran yang dilaksanakan oleh petugas P2P DB
2) Pemantauan Jentik Berkala atau Pemberantasan Sarang Nyamuk
dalam rangka memberantas jentik-jentik nyamuk agar tercapai target
yang ditetapkan untuk ABJ sebesar 95%
3) Penangan penderita DBD dengan melakukan anamnesa,
pemeriksaan fisik, pengobatan , dan rujukan oleh dokter dan
paramedis
4) Penanggulangan kasus berdasarkan hasil Penelusuran Epidemiologi
33
(PE) berupa fogging, penyuluhan 3M.
Diketahui total sasaran rumah untuk angka bebas jentik nyamuk
sekitar 17612 rumah, dengan target sasaran 16731 rumah. Selama tahun
2019, rumah yang sudah bebas jentik nyamuk sekitar 1011 dengan cakupan
5.7% yang artinya belum memenuhi sesuai target sebesar 95%.
Kemudian penderita DBD yang ditangani dengan target 100%, total
sasaran 74 orang. Hasil pencapaian penderita DBD yang ditangani di PKM
Tulakan sebesar 42 orang, dengan cakupan 56.8%.
Penulusaran Epidemiologi kasus DBD dengan target 100&, total
sasaran 74 orang. Hasil pencapaian penelusuran epidemiologi kasus DBD di
PKM Tulakan sebesar 42 orang, dengan cakupan 56.8%.
34
orang dalam pemantauan (ODP) selesai pemantaun 41 orang ,tidak
terdapat pasien dalam pengawasan (PDP) dalam pemantaun, tidak terdapat
pasien dalam pengawasan (PDP) selesai pemantaun, dan pasien positif
covid 19 1 orang.
35
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
36
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Pastikan ada ruang yang cukup untuk triase (pastikan ada jarak setidaknya 1
meter antara staf skrining dan pasien/staf yang masuk.
2. Sediakan pembersih tangan alkohol dan masker (serta sarung tangan medis,
pelindung mata dan jubah untuk digunakan sesuai penilaian risiko) .
4. Pastikan agar alur gerak pasien dan staf tetap satu arah.
37
Upaya deteksi dini Covid 19 di wilayah Kerja Puskesmas Tulakan sesuai
dengan pedoman pencehagan dan pengendalian coronavirus disease (Covid-19)
yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Revisi ke 4.
38
39
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Program Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak Menular di
Puskesmas Tulakan pada tahun 2019 terdiri dari 22 program dengan
rincian 18 program pengendalian penyakit menular yang berfokus
pada PMS dan HIV/AIDS, TBC, ISPA, Diare, Kusta, dan Dengue
Fever dan 4 program pengendalian penyakit tidak menular.
2. Dari 22 program Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak
Menular Puskesmas Tulakan pada tahun 2019, terdapat 4 program
yang mencapai target sasaran dan 18 program lainnya yang tidak
mencapai target sasaran.
3. Program yang telah dijalankan dalam upaya pencegahan dan
pengendalian pandemi COVID-19 diantaranya adalah pendataan
terhadap ODR, ODP, dan PDP Covid-19 berdasarkan desa. Dengan
desa dengan jumlah pemantauan Covid-19 terbanyak adalah di Desa
Ketro, sedangkan desa dengan jumlah pemantauan Covid-19
terendah adalah Desa Bungur.
4. Identifikasi awal pengendalian sumber penularan Covid 19 di
Puskesmas Tulakan belum memenuhi strandart dari pedoman
pencegahan dan pengendalian coronavirus disease (Covid 19).
B. Saran
Untuk meningkatkan kinerja program Pengendalian Penyakit
Menular dan Tidak Menular di Puskesmas Tulakan pada tahun mendatang,
diharapkan Puskesmas Tulakan dapat melakukan :
1. Menjalankan Program Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak
Menular di Puskesmas Tulakan yang sudah ada dengan semaksimal
mungkin, terutama pada beberapa program yang belum mencapai target
sasaran pada tahun 2019.
2. Mengkaji ulang penyebab beberapa Program Pengendalian Penyakit
40
Menular dan Tidak Menular di Puskesmas Tulakan yang belum
mencapai target sasaran pada tahun 2019.
3. Kerjasama yang kokoh antar lintas program antara Puskesmas, Rumah
Sakit, dokter Spesialis Paru serta warga masyarakat dalam mewujudkan
keberhasilan Program Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak
Menular di Puskesmas Tulakan pada tahun mendatang.
41
DAFTAR PUSTAKA
42