10 Pengurangan Resiko Kebakaran Hutan Dan Lahan Melalui Pemetaan HGU Dan Pengendalian Pertanahan PDF
10 Pengurangan Resiko Kebakaran Hutan Dan Lahan Melalui Pemetaan HGU Dan Pengendalian Pertanahan PDF
Abstract: Oil palm plantation expansion through inappropriate land clearing usually trigger forest fire and peat land fire in
Riau Province. The purpose of this paper is to find the method to reduce disaster risk through preventive activities, conducted
by mapping the distribution of Cultivation Right, and was overlaid with the map of disaster risk and agrarian control through
location permit and control of spatial planning. The method used to produce disaster-prone area map was quantitative
scoring and weighting, using Composite Mapping Analysis (CMA) method based on the relationship between factors with the
percentage of fire spot (hotspot). The results show that from the distribution of cultivation right based on the level of vulner-
ability in Riau Province, there are 45 location of cultivation right lies along very high-risk area of forest fire with the total area
of 95.260,7 hectares (10,4%); most of the area, counted for 70,4% with the area of 647.140,3 hectares covering 143
Cultivation Right location, located on the vulnerable area of forest fire; while 19,2% of the total cultivation right area are in
less vulnerable area, spreading over 25 Cultivation Right location.
Keywords: forest and land fire, vulnerability maps, agrarian.
Intisari: Ekspansi perkebunan sawit melalui land clearing yang tidak tepat seringkali memicu terjadinya kebakaran hutan dan
lahan gambut di Provinsi Riau. Pengurangan resiko bencana melalui kegiatan preventif yaitu penyusunan peta sebaran HGU
dioverlaykan dengan peta tingkat kerawanan bencana serta pengendalian pertanahan melalui ijin lokasi dan pengendalian
melalui RTRW merupakan tujuan dari tulisan ini. Metode yang digunakan untuk menyusun peta kerawanan bencana adalah
scoring dan pembobotan dilakukan secara kuantitatif menggunakan metode Composite Mapping Analysis (CMA) berdasarkan
hubungan setiap faktor terhadap persentase titik api (hotspot). Hasil analisis menunjukkan bahwa dari sebaran HGU berdasarkan
tingkat kerawanan di Provinsi Riau sebanyak 45 lokasi HGU berada pada daerah sangat rawan bencana kebakaran dengan
total luasan 95.260,7 ha (10,4%); sebagian besar yaitu 70,4% dengan luasan 647.160,3 ha dengan sebaran sebanyak 143
HGU berada pada kawasan ancaman rawan terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan; sementara 19,2% dari total luasan
HGU berada pada kategori kurang rawan yang tersebar pada 25 HGU.
Kata kunci: Kebakaran hutan dan lahan, Peta tingkat kerawanan bencana, pertanahan.
giatan yang dilakukan perusahaan di atas HGU yang diilustrasikan lahan gambut merupakan spon besar
telah diberikan. dalam hal mengatur kestabilan hidrologis. Kondisi
Kompleksnya permasalahan kebakaran hutan yang terjadi adalah saat ini banyak lahan gambut
dan lahan mulai dari faktor penyebab dan dampak- yang telah terkonversi akibat dari ekspansi perke-
nya membuat penulis mengkaji hal tersebut secara bunan kelapa sawit. Perkembangan teknologi
lebih mendalam terutama kaitannya dengan perkebunan dengan pembuatan kanal-kanal telah
peranan Kementerian ATR/BPN. Penyusunan peta merusak kemampuan lahan gambut dalam
dengan melakukan overlay peta kerawanan ben- menjaga kestabilan air. Hal ini tentunya berdampak
cana kebakaran dan peta penguasaan HGU di pada penurunan ketebalan tanah serta berkurang-
Provinsi Riau tentunya dapat dijadikan dasar untuk nya potensi tanah dalam menyimpan air. Kondisi
mengupayakan pengurangan resiko bencana keba- yang terjadi adalah pada saat musim hujan maka
karan hutan dan lahan. Peta ini diharapkan mampu gambut tidak dapat menyimpan air sehingga dapat
memberikan kontribusi terhadap pengendalian dan memicu terjadinya banjir. Dan sebaliknya pada saat
pengaturan kepada pemegang HGU untuk menjaga musim kemarau dikarenakan gambut tidak lagi
dan mengelola perkebunan sesuai peraturan per- menyimpan cadangan air maka gambut menjadi
undang-undangan yang telah ditetapkan. sangat kering yang membuat gambut menjadi
mudah terbakar.
B. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut Pengelolaan lahan gambut telah diatur melalui
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu Surat Instruksi Menteri Lingkungan Hidup dan
bencana yang diakibatkan faktor alam ataupun Kehutanan (LHK) S.495/2015 tanggal 5 November
bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia (UU 2015 di dalamnya diatur bahwa:
No 24 Tahun 2007). Faktor utama terjadinya
kebakaran dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), “Dilarang melakukan pembukaan lahan (land clearing)
untuk penanam baru, meskipun dalam area yang sudah
yaitu pemicu kebakaran dan kondisi pendukung.
memiliki izin konsesi,” serta “Dilarang melakukan
Pemicu kebakaran berdasarkan faktor alam dapat aktifitas penanaman di lahan dan hutan yang terbakar
berasal dari adanya halilintar, lelehan lahar gunung karena sedang dalam proses penegakan hukum dan
api, dan gesekan ranting kering, namun kejadian ini pemulihan.”
sangat jarang terjadi di Indonesia karena Indonesia Pasca kebakaran di Provinsi Riau Tim Eye of
memiliki hutan hujan tropis dengan kelembaban Forest melakukan penelitian berbasis data titik
tinggi (Solichin et al., 2007). Kebakaran hutan dan panas dan titik api yang dipantau satelit NASA
lahan yang sering terjadi di Indonesia sebagian besar Modis Firms Fire pada kurun Juli–Oktober 2015.
diakibatkan oleh ulah manusia/unsur kesengajaan. Hasilnya menunjukkan bahwa Konsesi HTI meru-
Sementara kita ketahui bahwa lahan gambut pakan kelompok terbanyak memiliki titik panas/
memiliki fungsi penting, seperti fungsi hidrologis, api selama kurun ini disusul dengan area perke-
penambat (sequester) karbon, dan biodiversitas bunan sawit. Sebaran titik api panas pada konsesi
(Sondang M. 2015). Kegunaan gambut dalam hal HTI di Riau pada Tahun 2015 pada bulan Juli atau
hidrologis di antaranya untuk menjaga kestabilan puncak musim kemarau mencapai 621 titik dan
sumber daya air bagi daerah sekitarnya. Hal ini hingga bulan Oktober jumlah total titik api menca-
dikarenakan pada saat musim kemarau gambut pai 1.327 titik (Eyes on the Forest, 2015). Sementara
dapat melepaskan airnya ke daerah sekitar dan untuk sebaran titik panas pada perkebunan sawit
sebaliknya pada musim penghujan mampu di bulan Juli 458, Agustus 166, September 308 dan
menyerap cadangan air cukup besar, atau dapat bulan Oktober 86 titik. Pada bulan Oktober nilai titik
Westi Utami dkk., Pengurangan Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan ... 232-245 235
hot-spot menurun dikarenakan bulan ini merupakan gambut, dan elevasi (zona iklim).
musim penghujan (Eyes on the Forest, 2015). Topograf i/ketinggian tempat, letak, lereng, dan
Dari sebaran titik api tersebut menunjukkan kondisi permukaan tanah berpengaruh pada
bahwa lahan gambut merupakan salah satu lahan penjalaran kebakaran. Pada daerah yang tidak rata/
terbanyak (mencapai 71 persen) yang terbakar di daerah bergelombang dimana frekuensi dan variasi
Provinsi Riau. Sebagaimana kita ketahui bahwa dari topografi cukup besar, maka penyebaran keba-
Riau merupakan provinsi dengan sebaran gambut karan tidak berjalan dengan cepat (Hawley dan
terluas. Rekapitulasi sebaran titik panas/api di Stickel, 1948). Brown dan Davis (1973) mengatakan
hutan dan lahan gambut selama Juli-Oktober 2015 bahwa faktor topografi yang berperan dalam mem-
di Riau disajikan pada Gambar 1. pengaruhi kebakaran adalah kemiringan. Sifat api
adalah mempunyai tendensi membakar cepat ke
atas bukit dan lambat ke arah lembah. Hal ini dise-
babkan oleh adanya angin permukaan yang naik
ke atas lereng, sementara api mengalami perlam-
batan ke arah lembah dikarenkaan adanya kadar
air yang tinggi di lembah menyebabkan penjalaran-
nya melambat dan bahkan api menjadi padam.
Mekanisme yang diterapkan dalam penyusunan
peta ini menggunakan faktor bio-f isik yang ber-
pengaruh terhadap tingkat kerawanan kebakaran,
kemudian dilakukan pengkelasan untuk selanjut-
nya diberikan skor dan bobot. Scoring dan pembo-
botan dilakukan secara kuantitatif menggunakan
metode Composite Mapping Analysis (CMA) berda-
sarkan hubungan setiap faktor terhadap persentase
Gambar 1. Rekapitulasi sebaran titik panas/api di titik api (hotspot). Hotspot yang digunakan dalam
hutan dan lahan gambut selama Juli-Oktober metoda CMA merupakan hasil perekaman sensor
2015 di Riau (sumber, Eyes on the Forest 2015)
MODIS yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua.
Data hotspot disortir hanya yang memiliki tingkat
C. Penyusunan Peta Rawan Bencana kepercayaan (conf idence level) e”80%. Pengkelasan
Kebakaran Hutan dan Lahan pada masing-masing faktor beserta rumus perhi-
1. Metode dan Sumber Data tungan skor dan bobot disajikan sebagai berikut.
Peta rawan bencana kebakaran disusun untuk
memetakan daerah dengan ancaman kebakaran Tabel 1. Klasifikasi Faktor Bio-fisik
sesuai dengan tingkatan kerawanan. Penyusunan
peta diharapkan sebagai langkah pencegahan untuk
memetakan lokasi, mengetahui sebaran dan luasan
daerah, serta dijadikan dasar untuk melakukan
monitoring terhadap ancaman kebakaran. Peta
kerawanan kebakaran secara sederhana dapat
disusun melalui pemodelan berdasarkan kombi- Sumber: Modul Teknis Pemutakhiran Peta Rawan
Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Sumatra
nasi faktor bio-f isik, yaitu tutupan lahan, sebaran Selatan Tahun 2015
236 Bhumi Vol. 3 No. 2 November 2017
Rumus scoring dan pembobotan (Boonya- kebakaran dilakukan tahapan sebagaimana tersaji
nuphap, et.al., 2001): pada bagan alir Gambar 2.
Keterangan:
xi = skor kelas pada masing-masing faktor
oi = jumlah hotspot pada setiap kelas (ob
served hotspot)
ei = jumlah hotspot yang diharapkan pada
setiap kelas (expected hotspot)
T = jumlah total hotspot
F = persentase luas setiap kelas
wi = bobot setiap faktor
Mi = persentase kerapatan hotspot untuk Gambar 2. Tahapan Pemodelan dalam
setiap faktor Menyusun Peta Kerawanan Bencana Kebakaran
Nilai total hasil dari perkalian skor dan bobot Hutan dan Lahan
semua faktor menjadi dasar dalam pemetaan
Sebaran hotspot dilakukan analisis tumpang
tingkat kerawanan bencana kebakaran. Penentuan
susun terhadap peta-peta penyusun model sehingga
interval kelas didapatkan dari perhitungan selisih
diketahui hubungan/keterkaitannya. Secara spasial
nilai maksimum dan minimum dibagi dengan jum-
hubungan antara peta-peta penyusun model
lah kelas yang diinginkan. Kelas kerawanan bencana
terhadap sebaran hotspot disajikan pada Gambar
kebakaran selanjutnya dikelompokkan menjadi
3, Gambar 4, dan Gambar 5.
empat kelas, yaitu (1) tidak rawan, (2) kurang
rawan, (3) rawan, dan (4) sangat rawan. Selanjutnya
hasil klasif ikasi dilakukan verif ikasi terhadap
sebaran hotspot tahun-tahun sebelumnya. Adapun
jenis dan sumber data yang diperlukan untuk
menyusun peta kerawanan bencana kebakaran
hutan dan lahan tersaji pada Tabel 2.
Gambar 5. Overlay Peta Elevasi dan Peta Sebaran Hotspot Provinsi Riau. (Sumber : Citra SRTM-30)
238 Bhumi Vol. 3 No. 2 November 2017
Dari perhitungan menggunakan metode Com- dan dibagi menjadi empat kelas kerawanan (Tabel
posite Mapping Analysis (CMA), secara kuantitatif 6). Hasil klasif ikasi tingkat kerawanan menun-
hasil scoring dan pembobotan setiap faktor jukkan Provinsi Riau didominasi oleh daerah rawan
disajikan pada Tabel 3. terbakar mencapai 56,36%, disusul secara
berurutan daerah sangat rawan 23,36%, daerah
Tabel 3. Hasil Scoring dan Pembobotan Metode CMA kurang rawan 19,70%, dan daerah tidak rawan
0,57%. Sebaran spasial tingkat kerawanan keba-
karan hutan dan lahan di Provinsi Riau disajikan
pada Gambar 6.
Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, b. Peran Pertimbangan Teknis Pertanahan
dimana dalam Inpres tersebut Presiden meng- dalam mendukung upaya Disaster Risk
instruksikan kepada Kementerian Lingkungan Reduction kebakaran hutan dan lahan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian di Provinsi Riau
Dalam Negeri, Kementerian ATR/BPN, Badan
Informasi Geospasial (BIG), dan para Gubernur
serta Bupati untuk saling bersinergi mengelola
hutan dan lahan gambut.
Melalui inpres ini presiden memberikan kebi-
jakan yang tegas terhadap pengendalian dan mora-
torium pemberian izin HGU dan Hak Pakai dengan
mendasarkan pada Peta Indikatif Penundaaan Izin
Baru, sebagaimana pemberian izin merupakan
domain BPN. Dan domain Kementerian dalam hal
Tata Ruang dituangkan dalam ayat (2), dimana
dengan adanya Peta indikatif penundaan izin baru
yang disusun oleh BIG melalui kerjasama dengan
Kementerian LHK, dan Kementerian ATR/BPN
agar peta tersebut segera disesuaikan dan dikon-
solidasikan dengan RTRW. RTRW tentunya menjadi
rambu-rambu dan pegangan bagi provinsi dan
kabupaten/kota dalam mengeluarkan izin dan
sebagai pedoman dalam merencanakan, mengelola, Gambar 8. Pertimbangan Teknis Pertanahan
Dalam Mendukung Upaya Disaster Risk Reduction
dan mengendalikan penggunaan tanah yang ada di
Kebakaran Hutan Dan Lahan
wilayahnya. Kebijakan ini tentunya akan sangat
berpengaruh terhadap pengendalian pemberian izin Gambar 8 di atas menjelaskan tentang syarat-
baru dan pengelolaan hutan serta lahan gambut. syarat dalam penerbitan Izin Lokasi adalah
Lebih rinci lagi dalam rangka merespon tinggi- Pertimbangan Teknis Pertanahan yang dikeluarkan
nya tingkat kebakaran, Kementerian ATR/BPN oleh kantor pertanahan setempat. Dalam Pertim-
sebagai kementerian yang bertanggungjawab terha- bangan Teknis Pertanahan terdapat tujuh peta yaitu;
dap pemberian serta pengawasan HGU dan Hak 1) peta petunjuk letak lokasi; 2) peta penggunaan
Pakai maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri tanah; 3) peta gambaran umum penguasaan tanah;
Agraria dan Tata Ruang No. 15 Tahun 2016 tentang 4) peta kemampuan tanah; 5) peta kesesuaian
Tata Cara Pelepasan atau Pembatalan Hak Guna penggunaan tanah; 6) peta ketersediaan tanah; 7)
Usaha atau Hak Pakai Pada Lahan yang Terbakar. peta pertimbangan teknis pertanahan.
Peraturan ini mengatur secara tegas kepada peme- Dalam kaitannya dengan pengurangan resiko
gang HGU dan Hak Pakai agar mengelola dan me- kebakaran hutan dan lahan terdapat aspek penting
nambah tingkat kesuburan tanah yang telah yang perlu diperhatikan yaitu mengenai kebera-
diberikan HGU/Hak Pakai-nya dan juga secara daan lahan gambut. Dalam pembuatan peta ke-
tegas memberikan sanksi kepada pemegang HGU/ mampuan tanah diwajibkan melakukan survei
Hak Pakai apabila terbukti pemegang hak sebagai lapang dan dalam menyusun peta kemampuan
pelaku penyebab kebakaran hutan/lahan. tanah juga memasukkan unsur gambut sebagai
Westi Utami dkk., Pengurangan Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan ... 232-245 241
faktor pembatas. Menurut Peraturan Menteri c. Disaster Risk Reduction (DRR) Keba-
Pertanian Nomor: 14/Permentan/Pl.110/2/ 2009, karan Hutan dan Lahan Kementerian
hanya lahan gambut dengan kedalaman kurang dari ATR/BPN Pasca diterbitkannya HGU
3 meter yang boleh dijadikan lahan perkebunan, Sesuai amanat UUPA bahwa pemegang HGU
sehingga jika ditemui kedalaman gambut lebih dari wajib untuk memelihara tanah termasuk menam-
3 meter maka tidak boleh digunakan untuk lahan bah kesuburannya serta mencegah kerusakannya,
perkebunan. Dalam peraturan ini sangat jelas sehingga BPN sebagai instansi yang menerbitkan
perlindungan dan larangan untuk mengusahakan HGU perlu untuk melaksanakan pengawasan/
lahan terhadap lahan gambut dengan kedalaman monitoring kegiatan yang dilakukan perusahaan
lebih dari 3 m. Untuk mengetahui sebaran spasial pemegang HGU. Terjadinya kebakaran lahan pada
kedalaman lahan gambut maka di dalam peta lokasi HGU merupakan bentuk penyimpangan
kemampuan tanah yang disusun harus memuat terhadap pemeliharaan tanah yang mengakibatkan
informasi mengenai faktor pembatas gambut. kerusakan sumber daya alam. Salah satu cara untuk
Peta kemampuan tanah beserta peta petunjuk mencegah kebakaran lahan adalah dengan menum-
letak lokasi, dan peta penggunaan tanah meru- pangsusunkan peta rawan bencana kebakaran
pakan masukan dalam pembuatan peta kesesuaian lahan dan hutan dengan peta sebaran bidang tanah
penggunaan tanah. Selain itu dalam membuat peta HGU. Hasil tumpang susun ini akan memberikan
kesesuaian penggunaan tanah diperlukan masukan informasi bidang tanah HGU yang rawan terhadap
lain berupa peta Rencana Tata Ruang Wilayah kebakaran beserta luasannya. Langkah selanjutnya
(RTRW), peta kawasan hutan dan peta indikatif BPN dapat melakukan himbauan kepada perusa-
penundaan pemberian izin baru yang lazim disebut haan pemegang HGU pada lokasi dengan tingkat
peta moratorium gambut. Peta moratorium gam- kerawanan bencana sangat rawan dan tingkat kera-
but merupakan amanat dari Instruksi Presiden wanan tinggi diwajibkan untuk menyediakan sara-
Nomor 8 Tahun 2015, yang mana merupakan upa- na dan prasarana pengendalian kebakaran lahan,
ya untuk melindungi keberadaan lahan gambut menyediakan sumber daya air dan melakukan
serta salah satu upaya mencegah terjadinya keba- tindakan pencegahan serta melakukan koordinasi
karan hutan dan lahan. Salah satu contoh peta dengan instansi terkait. Peran Kementerian ATR/
moratorium gambut ada pada Gambar 9. BPN terhadap pengurangan bencana kebakaran
hutan dan lahan disajikan pada Gambar 10.
Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Vol. VII No. Infrasruktur, Jalan Danau Jempang Blok B III
2: 33 – 45. No 81, Jakarta Pusat, Indonesia.
Calkin E David, Thompson P Matthew, Finney A Wade, Gabrielle, 2008, “Reducing Deforestation
Mark, 2015, “Negative Consequences of Posi- Important to Cutting Carbon Emissions”,
tive Feedbacks in US Wildf ire Management”, Mediaglobal, 28 September, at: http://
Journal Forest Ecosystem, 2-10. www.mediaglobal.org/article/2008-09-28/
Castaneda, Laura Silva, 2011, “Certif ication reducingdeforestation-important-to-cutting-
Dispositifs and Land Conflicts; The Case of carbon-emissions.
The Roundtable on Sustainable Palm Oil VCS Version 3, “CCB Standards Third Edition Proyek
(RSPO)”, artikel dalam Internasional Confer- Restorasi dan Konservasi Hutan Lahan
ence and Global Land Grabbing 6-8 April 2011. Gambut Katingan”, Annual Civil Engineering
Land Deals Politics Initiative (LDPI). Journal Seminar 2015, Pekanbaru.
of Peasant University of Sussex. Zen, Z., Barlow C. and Gondowarsito, R., 2005, Oil
Charles Palmer1 and Stefanie Engel. For better or palm in Indonesian socio-economic improve-
for worse? Local impacts of the decentraliza- ment: a review of options, Research School of
tion of Indonesia’s forest sector. Pacif ic and Asian Studies, Australian National
Christin Zachary L., Kenneth J. Bagstad, Michael University, at:http://rspas.anu.edu.au/eco-
A. Verdone, 2016, “A Decision Framework for nomics/publish/papers/wp2005/wp-econ-
Identifying Models fo Estimate Forest Ecosys- 2005-11.pdf
tem Services Gains From Restoration”, Jour- Zachary L. Christin1, Kenneth J. Bagstad, Michael
nal of Forest Ecosystem, 2 - 12. A. Verdone, A Decision Framework for Identi-
IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance), 2007, Re- fying Models to Estimate Forest Ecosystem Ser-
ducing emissions from deforestation and forest vices Gains from Restoration, Forest Ecosystem,
degradation in Indonesia, Indonesia Forest Cli- (http://creativecommons.org/licenses/by/
mate Alliance, Jakarta. 4.0).
Davis, K. P, 1959, Forest Fire Control and Use, Laporan dan Modul Teknis Pemutakhiran Peta
McGraw Hill Book Company. Inc. New York. Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan di
Hunt, Colin, 2010, “The Costs of Reducing Defor- Provinsi Sumatra Selatan Tahun 2015. ISBN:
estation in Indonesia”, Bulletin of Indonesian 978-602-741-644-4.
Economic Studies, Routledge. https://beritagar.id/artikel/sains-tekno/mengapa-
Khairul Anwar, 2011, “Sinergi Dan Strategi kebakaran-lahan-gambut-sulit-dipadamkan
Kebijakan Lintas Kementerian: Kasus Kelapa diakses pada 9 Oktober 2016 (20:00).
Sawit K2-I di Riau”, Jurnal Kebijaan Publik, Vol http://www.cifor.org/ipn-toolbox/tema-c/ diakses
11 Tahun 2011, https://ejournal.unri.ac.id/ pada 9 Oktober 2016 (20:00).
index.php/JKP/article/view/892. https://jurnalbumi.com/lahan-gambut/ diakses
Khairul Anwar, 2011, “Perubahan Politik Lokal Di pada 8 Oktober 2016 (20:00).
Riau: Kasus Pembangunan Perkebunan Kelapa http://www.mongabay.co.id/2016/08/26/bentang-
Sawit 1999-2009”, Jurnal Demokrasi dan lahan-gambut-kebakaran-dan-sejarah-tata-
Otonomi Daerah, Vol 9 tahun 2011. kelolanya-di-indonesia/ diakses pada 8
Paul K. Gellert, 1998, A Brief History and Analysisof Oktober 2016 (20:00).
Indonesia Forest Fire Crisis, Southeast Asia
Program Publications at Comell University, Peraturan-Peraturan:
www.jstore.org/stable/3351404 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Napitupulu, Sondang M., dan Mudiantoro, Bagus, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Lahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Gambut Yang Berkelanjutan Pusat Studi Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Westi Utami dkk., Pengurangan Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan ... 232-245 245
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai Atas Tanah.
Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2015 tentang Pe-
nundaan Pemberian Izin Baru dan Penyem-
purnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan
Lahan Gambut.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 15
Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelepasan atau
Pembatalan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai
Pada Lahan yang Terbakar.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut.